Pembagian Ilmu Tauhid
Pembagian Ilmu Tauhid
Tauhid secara bahasa merupakan mashdar (kata benda dari kata kerja, ed) dari kata wahhada.
Jika dikatakan wahhada syai’a artinya menjadikan sesuatu itu satu. Sedangkan menurut
syariat berarti mengesakan Allah dalam sesuatu yang merupakan kekhususan bagi-Nya
berupa rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat ( Al-Qaulul Mufiiid Syarh Kitabi At-Tauhid
I/7).
Kata tauhid sendiri merupakan kata yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, “Engkau
akan mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah materi dakwah yang kamu sampaikan
pertama kali adalah agar mereka mentauhidkan Allah”. Demikan juga dalam perkataan
sahabat Nabi, “Rasulullah bertahlil dengan tauhid”. Dalam ucapan beliau labbaika
Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, ucapan talbiyah yang diucapkan
ketika memulai ibadah haji. Dengan demikian kata tauhid adalah kata syar’i dan terdapat
dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah li Syaikh
Shalih Alu Syaikh 63).
Pembagian yang populer di kalangan ulama adalah pembagian tauhid menjadi tiga yaitu
tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Pembagian ini terkumpul dalam firman
Allah dalam Al Qur’an:
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya,
maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu
mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).
ِ ت َو أاْلَ أر
(1). Dalam firman-Nya (ض ِ اوا
َ س َم
َّ ب ال
ُّ )ر
َ (Rabb (yang menguasai) langit dan bumi)
merupakan penetapan tauhid rububiyah.
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah” (Al- A’raf: 54).
2. Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatanya
kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk
(hamba). Adapun maksudnya ialah pengesaan Allah dalam ibadah, yakni bahwasanya
hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman:
ِ َذَلِكَ بِأ َ َّن هللاَ ه َُو أال َح ُّق َوأَ َّن َمايَدأعُونَ ِمن د ُونِ ِه أالب
اط ُل
”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang
mereka seru selain Allah adalah batil” (Luqman: 30).
3. Tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan
nama-nama dan sifat-sifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal
yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh nama dan sifat
bagi Allah sebgaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau sunnah
nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam nama dan
sifat-Nya. Dalam menetapkan sifat bagi Allah tidak boleh melakukan ta’thil, tahrif,
tamtsil, maupun takyif. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
ير
ُ ص َ أس ك َِمثأ ِل ِه
ِ ش أي ٌء َوه َُو الس َِّمي ُع ال َب َ لَي
”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11) (Lihat Al-Qaulul Mufiiid I/7-10).
Sebagian ulama membagi tauhid menjadi dua saja yaitu tauhid dalam ma’rifat wal itsbat
(pengenalan dan penetapan) dan tauhid fii thalab wal qasd (tauhid dalam tujuan ibadah). Jika
dengan pembagian seperti ini maka tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat termasuk
golongan yang pertama sedangkan tauhid uluhiyah adalah golongan yang kedua (Lihat
Fathul Majid 18).
Pembagian tauhid dengan pembagian seperti di atas merupakan hasil penelitian para ulama
terhadap seluruh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga pembagian tersebut bukan
termasuk bid’ah karena memiliki landasan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat
dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan
seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah.
Barangsiapa yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhannya yang menciptakannya dan
mengatur segala urusannya, maka dia harus beribadah hanya kepada Allah dan tidak
menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah.
Maksudnya, tauhid rububiyah termasuk bagian dari tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang
beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya, pasti dia meyakini bahwa
Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebagaimana perkatan Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam:
} الَّذِي َخلَقَ ِني فَ ُه َو77{ َ} َفإ ِ َّن ُه أم َعد ٌُّو ِّلي ِإالَّ َربَّ أال َعا َل ِمين76{ َ} أَنت ُ أم َو َءا َبآؤُ ُك ُم اأْل َ أقدَ ُمون75{ َقَا َل أَفَ َر َء أيتُم َّما ُكنت ُ أم تَ أعبُدُون
} َوالَّذِي81{ ين ِ } َوالَّذِي ي ُِميتُنِي ث ُ َّم يُحأ ِي80{ ين } َوإِذَا َم ِر أ79{ ين
ِ ضتُ فَ ُه َو َي أش ِف } َوالَّذِي ه َُو ي أ78{ ِين
ِ ُط ِع ُمنِي َويَ أس ِق ِ يَ أهد
ِين
ِ ّ د ال م و
َ َأ ي ي ت
ِ َ ئ يَطِ خ ي ل
ِ ر ف
ِ
َ َأ
غ ي ن َ أ ع م
ُ َ أ
ط َ أ }82{
“Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah
(75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? (76), karena sesungguhnya apa yang
kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam (77), (yaitu Tuhan) Yang
telah menciptakan aku, maka Dialah yang memberi petunjuk kepadaku (78), dan Tuhanku,
Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku (79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang
menyembuhkanku (80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku
(kembali) (81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari
kiamat (82)” (Asy- Syu’araa’: 75-82).
Tauhid rububiyah dan uluhiyah terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya
berbeda, karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan
dengan kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana dalam firman
Allah:
“Katakanlah;” Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia (1).
Raja manusia (2). Sesembahan manusia (3)” (An-Naas: 1-3).
Makna Rabb dalam ayat ini adalah raja yang mengatur manusia, sedangkan makna Ilaah
adalah sesembahan satu-satunya yang berhak untuk disembah.
Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika
disebutkan salah satunya mencakup makna keduanya. Contohnya pada ucapan malaikat maut
kepada mayit di kubur: “Siapa Rabbmu?”, yang maknanya adalah: “Siapakah penciptamu dan
sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan firman Allah:
ُق إِآلَّ أَن يَقُولُوا َربُّنَا هللا ِ َالَّذِينَ أ ُ أخ ِر ُجوا ِمن ِدي
ٍّ ّ ارهِم بِغَي ِأر َح
“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali karena mereka berkata: ”Tuhan (Rabb) kami hanyalah Allah” (Al-Hajj: 40).
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka
istiqamah” (Fushshilat: 30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas mengandung
makna uluhiyah ( Lihat Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqad 27-28).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa isi Al-Qur’an semuanya adalah
tentang tauhid. Maksudnya karena isi Al-Qur’an menjelaskan hal-hal berikut:
Dengan demikian, Al-Qur’an seluruhnya berisi tentang tauhid, hak-haknya dan balasannya.
Selain itu juga berisi tentang kebalikan dari tauhid yaitu syirik, tentang orang-orang musyrik,
dan balasan bagi mereka (Lihat Fathul Majid 19).
Sumber: https://muslimah.or.id/7017-pembagian-tauhid-dalam-al-quran.html