Anda di halaman 1dari 16

Tauhid Asma Wa Sifat

Disusun Oleh :

Farah Annisa Anidia (19011043)

Farah Nabilah Zahra (19011072)

Lailatus Zuhriyah (19011085)

Nurunnisaai Tazkiyah Sulthoni (18012245)

Dosen :

Ustadz Zulkarnain, MA
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI ILMU USHULUDDIN

TAHUN AJARAN 2019/2020

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hambanya.

Alhamdulillah karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas

makalah mata kuliah Aqidah Islamiyah ini. Adapun maksud dan tujuan kami disini yaitu

menyajikan beberapa hal yang menjadi materi dari makalah kami. Makalah ini membahas

mengenai Tauhid Asma Wa Sifat”. Makalah ini menggunakan bahasa yang mudah

dimengerti untuk para pembacanya.

Kami menyadari bahwa didalam makalah kami ini masih banyak kekeurangan, kami

mengharapkan kritik dan saran demi menyempurnakan makalah kami agar lebih baik dan

dapat berguna semaksimal mungkin. Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada

semua pihak yang telah membantu proses penyusunan dan penyempurnaan makalah ini.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pembahasan mengenai Tauhid merupakan hal yang paling urgen dalam Agama Islam,

dimana Tauhid mengambil peranan penting dalam membentuk pribadi-pribadi yang tangguh,

selain juga sebagai inti atau akar daripada ‘Aqidah Islamiyah. Tauhid Asma’ Wa Sifat

merupakan salah satu macam-macam tauhid yang artinya mengesakan Allah dalam apa yang

Allah miliki dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Namun rupanya saat ini pembahasan masalah tauhid khususnya Tauhid Asma’ wa Sifat
menjadi sesuatu yang yang terpecah ke dalam berbagai golongan, sehingga melahirkan

berbagai macam pendapat yang berbeda-beda. Dalam agama islam, Asma’ul husna adalah

nama-nama Allah ta’ala yang indah dan baik. Asma berarti nama dan husna berarti yang baik

atau yang indah jadi asma’ul husna adalah nama-nama milik Allah ta’ala yang baik lagi indah.

Asma’ul husna secara harfiah ialah nama-nama,sebutan,gelar Allah yang baik dan agung

sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu

kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah.

Diharapkan dari penulisan makalah ini, kita mendapatkan pengetahuan yang lebih luas

tentang tauhid khususnya Tauhid asma’ wa Sifat sebagai salah satu dari sekian banyak macam

ilmu tauhid.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian tauhid asma wa sifat ?

2. Apa prinsip-prinsip dalam menetapkan nama dan sifat Allah?

3. Apa saja kaidah-kaidah penting tentang nama dan sifat Allah

4. Apa pentingnya mempelajari tauhid asma wa sifat?

C. Tujuan Masalah

1) Untuk mengetahui pengertian ilmu tauhid asma wa sifat

2) Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam menetapkan nama dan sifat Allah

3) Untuk mengetahui apa saja kaidah-kaidah penting tentang nama dan sifat Allah

4) Untuk mengetahui pentingnya mempelajari tauhid asma wa sifat.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tauhid Asma Wa Sifat

Tauhid asma wa sifat adalah mengesakan Allah dengan cara menetapkan bagi Allah

nama-nama dan sifat-sifat yang ditetapkan sendiri oleh-Nya (dalam firman-Nya), atau yang

disebutkan oleh Rosul-Nya (dalam hadits), tanpa mengilustrasikan (Takyif), menyerupakan

dengan sesuatu (Tamtsil), atau menyimpangkan makna (Tahrif), atau bahkan menolak nama atau
sifat tersebut (Ta’thil).

Adapun dalil mengenai tauhid asma’ wa sifat dari Al-Qur’an di antaranya ialah firman

Allah sebagai berikut :

Q.S Al-A’raf ayat 180 :

َ ‫َو ٰ هّلِلٰ ااْلَ اس َم ۤا ُء اال ُحس ٰانى فَا ادع اُوهُ بٰ َه ۖا َوذَ ُروا الَّ ٰذيانَ ي اُلحٰ د اُونَ فٰ ْٓاي ا َ اس َم ۤا ِٕى ٖۗه‬
َ‫سيُجازَ اونَ َما كَانُ اوا يَ اع َملُ اون‬
“Dan Allah memiliki Asma'ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah

kepada-Nya dengan menyebutnya Asma'ul-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang

menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah

mereka kerjakan.”

Q.S Ar-Rum ayat 27 :

ٰ ‫علَ اي ٰٖۗه َولَهُ اال َمث َ ُل ااْلَع ٰالى فٰى السَّمٰ ٰو‬
ِۚ ٰ ‫ت َو ااْلَ ار‬
‫ض َوه َُو‬ َ ُ‫ي يَ اب َدؤُا االخ اَلقَ ث ُ َّم يُ ٰع ايد ُٗه َوه َُو ا َ اه َون‬
‫َوه َُو الَّ ٰذ ا‬
‫االعَ ٰزي ُاز اال َح ٰك اي ُم‬
“Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih

mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang

Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

Q.S An-Nahl ayat 74 :

‫فَ ََل تَض ٰارب اُوا ٰ هّلِلٰ ااْلَ امثَا َل ا َّٰن ه‬


َ‫ّللاَ يَ اعلَ ُم َوا َ انت ُ ام َْل ت َ اعلَ ُم اون‬

“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sungguh, Allah mengetahui,

sedang kamu tidak mengetahui.”

B. Prinsip-prinsip dalam Menetapkan Nama dan Sifat Allah

Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, Ahlus Sunnah menetapkan

nama dan sifat-sifat bagi Allah . Tidak diragukan lagi, bahwa menetapkan nama dan sifat-sifat

bagi Allah haruslah dengan prinsip-prinsip yang benar. Ahlus Sunnah menyucikan nama dan

sifat-sifat Allah tanpa menolaknya dan menetapkannya tanpa menyerupakannya (dengan nama

dan sifat-sifat makhluk). Ada 4 perkara yang diingkari oleh Ahlus Sunnah dalam menetapkan

nama dan sifat-sifat bagi Allah , sebagai berikut:

1. Tahrif
Tahrif secara bahasa maknanya mengubah atau mengganti. Menurut pengertian

syar’i berarti: mengubah lafazh Al Asma’ul Husna dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi atau

makna-maknanya. Tahrif ada dua macam :

Tahrif Lafdzi adalah mengubah suatu bentuk ke bentuk lainnya. Baik dengan

mengubah harokat ataupun menambah kata atau huruf. Contohnya dengan mengubah

kata (‫ )استوى‬dalam firman Allah ‫ ) )الرحمن على العرش استوى‬dengan (‫ )استولى‬yaitu

dengan menambah satu huruf. Tujuan nya adalah menolak sifat istiwa'.

Tahrif Maknawi adalah mengubah suatu makna dari hakikatnya. Seperti ahlul bid'ah

yang mengartikan sifat rahmah dengan keinginan memberi nikmat. Maksdunya

adalah untuk menolak sifat rahmah yang hakiki dari Allah SWT.

2. Ta'thil

Ta'thil artinya mengosongkan dan meniadakan.. Adapun menurut pengertian syar’i

adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-

sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara

tahrif dan ta’thil yaitu : ta’thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan

oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur’an

dan As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil.

Ta’thil ada bermacam-macam:

a. Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara

meniadakan Asma’ dan Sifat-sifat-Nya, atau sebagian dari-nya, sebagaimana yang

dilakukan oleh para penganut paham Jahmiyah dan Mu’tazilah.

b. Meninggalkan muamalah dengan-Nya, yaitu dengan cara meninggalkan ibadah

kepada-Nya, baik secara total maupun sebagian, atau dengan cara beribadah kepada

selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya.

c. Meniadakan pencipta bagi makhluk. Contohnya adalah pendapat orang-orang yang

mengatakan : “Sesungguhnya alamlah yang menciptakan segala sesuatu dan yang


mengatur dengan sendirinya.”

Jadi, setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta’thil, akan tetapi

tidak semua orang yang melakukan ta’thil melakukan tahrif. Barangsiapa yang

menetapkan suatu makna yang batil dan menafikan suatu makna yang benar, maka ia

seorang pelaku tahrif sekaligus pelaku ta’thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka

ia seorang mu’athil, (pelaku ta’thil), tetapi bukan muharif, (pelaku tahrif).

3. Takyif

Takyif maknanya meyakini sifat-sifat Allah dalam bentuk tertentu yang

dibayangkan di alam pikiran, atau menanyakan bagaimana bentuknya walaupun tanpa

menyerupakannya dengan sesuatu yang wujud.

Inilah paham yang dianut oleh kaum salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam

Malik Rahimahullah Ta’ala ketika ditanya tentang bentuk/keadaan istiwa’, -bersemayam-

. Beliau Rahimahullah menjawab :

“Istiwa’ itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui,

mengimaninya wajib, sedangkan menanyakan (bagaimana)nya (adalah) bid’ah.” [Fatawa

Ibnu Taimiyyah, V/144]

Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan

menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan,

dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat

tersebut maupun maknanya secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk / keadaannya.

Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu terhadap makna-maknanya.

4. Tamtsil

Tamtsil artinya menyebutkan sesuatu dengan semisalnya. Yakni menyamakan

nama dan sifat Allah dengan makhluk. Allah melarang perbuatan ini dalam Q.S Asy-
Syuraa ayat 11 :

‫ض َجعَ َل لَ ُك ام م اٰن ا َ انفُ ٰس ُك ام ا َ از َوا ًجا َّومٰ نَ ااْلَ انعَ ٰام ا َ از َوا ًج ِۚا يَ اذ َر ُؤ ُك ام‬
ٖۗ ٰ ‫ت َو ااْلَ ار‬
ٰ ‫فَاطٰ ُر السَّمٰ ٰو‬

ٰ َ‫ش اي ٌء َوه َُو السَّمٰ اي ُع االب‬


‫صي ُار‬ َ ‫اس َكمٰ ثالٰه‬
َ ‫فٰ اي ٰٖۗه لَي‬
“(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan

dari jenis kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga).

Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang

serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Tamtsil ada dua bentuk :

Menyamakan makhluk dengan pencipta

Maksdunya menetapkan sesuatu bagi makhluk yang merupakan kekhususan Allah,

baik dari perbuatan Nya, hak Nya untuk di ibadahi, maupun dalam nama dan

sifatNya.

Menyerupakan pencipta dengan makhluk

Maksudnya menetapkan bagi zat maupun sifat Allah betupa kekhususan seperti yang

ada pada makhluk.

C.Kaidah-Kaidah Penting Tentang Nama dan Sifat Allah

1.Kaidah Dalam Asma Allah

-Asma Allah seluruhnya husna(paling baik)

Dalam kebaikan Allahlah yang paling tinggi karena nama Allah mengandung sifat yang

sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dari segala sisi.

C. َ‫َو ٰ َّّلِلٰ األ اس َما ُء اال ُحسان‬

“Dan bagi Allah asmaul husna” (Al A’raf: 180)

Contoh:

Ar Rahman adalah salah satu dari nama-nama Allah, menunjukkan atas sifat yang agung

yaitu memiliki rahmat yang luas.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa ad dahr (waktu) bukan termasuk salah satu

dari nama Allah karena tidak mengandung makna yang terpuji. Adapun sabda

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


“Janganlah kalian menela dahr (masa) karena Allah adalah Dahr” (HR. Muslim)

Maka maknanya adalah Allah lah yang menguasai masa. Kita palingkan ke makna tersebut

dengan dalil hadis,

“Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku yang membolak-balikkan siang dan malam” (HR.

Bukhari)

– Nama Allah tidak dibatasi pada bilangan tertentu

Kaidah ini didasari doa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang masyhur,

“Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau gunakan untuk

diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang

dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-

Mu”(HR. Ahmad, HR Ibnu Hibban)

Lalu bagaimana menggabungkan dengan hadits berikut,

“Sesngguhnya ada 99 nama milik Allah, barang siapa menjaganya akan masuk syurga” (HR.

Bukhari)

Makna hadits ini adalah:Diantara nama Allah ada 99 nama yang jika kita menjaganya kita

akan masuk syurga. Dan tidaklah dimaksudkan disini membatasi nama Allah hanya 99. Kita

bisa melihat hal ini dengan contoh perkataan “saya mempunyai 100 dirham untuk

disedekahkan”. Maka pernyataan ini tidak menafikan kalau saya mempunyai dirham yang

lain yang saya peruntukkan untuk selain sedekah.

– Nama Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal tetapi harus dengan dalil syar’i

Nama Allah adalah tauqifiyah, yaitu harus ditetapkan berdasarkan dalil syari’at, tidak boleh

menambahnya dan tidak boleh menguranginya karena akal tidak mungkin mencapai semua

yang menjadi hak Allah dari nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini kita wajib untuk

mencukupkan diri dengan dalil syar’i. Hal ini karena menamai Allah dengan nama yang tidak

Allah namakan diri-Nya dengan nama tersebut atau mengingkari nama yang Allah menamai

diri-Nya dengan nama tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak Allah ta’ala. Kita wajib

mempunyai adab yang baik kepada Allah ta’ala.

– Seluruh nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas dzat Allah, sifat yang terkandung
di dalam nama tersebut, dan adanya pengaruh yang dihasilkan jika nama tersebut adalah

nama yang muta’adi (membutuhkan objek)

Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan sifat Allah kecuali dengan

menetapkan semua hal tersebut.

Contoh nama Allah yang bukan muta’adi: Al ‘Adzim (Yang Maha Agung)

Tidak sempurna mengimani nama ini sampai mengimani dengan menetapkan 2 hal:

a. Menetapkan Al Adzim sebagai nama Allah yang menunjukkan pada Dzat Allah

b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Al ‘Udzmah(keagungan)

Contoh nama Allah yang muta’adi: Ar Rahman

Tidak sempurna mengimaninya sampai mengimani dengan menetapkan 3 hal:

a. Menetapkan Ar Rahman sebagai nama Allah yang menunjukkan pada dzat Allah

b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Ar Rahmah ,

c. Menetapkan adanya pengaruh dari nama itu, yaitu merahmati siapa yang Allah kehendaki.

2.Kaidah dalam memahami sifat Allah

– Sifat Allah seluruhnya tinggi, sempurna, mengandung pujian, dan tidak ada kekurangan

dari sisi mana pun.

Seperti Al Hayah (hidup), Al’ Ilmu (mengetahui), Al Qudrah(kehendak), As

Sama(mendengar), Al Bashar(melihat), Al Hikmah, Ar Rahmah, Al Uluw (tinggi), dll. Allah

berfirman,

‫ّلِل اال َمث َ ُل األ اعلَى‬


ٰ َّ ٰ ‫َو‬

“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi” (Qs. An Nahl: 60)

Karena Allah adalah Rabb yang maha sempurna maka sifatnya harus sempurna.

– Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan kesempurnaan sama sekali maka

mustahil sifat itu dimiliki Allah, seperti Al Maut (mati), Al Jahl (bodoh), Al Ajs (lemah), As

Samam (tuli), Al ‘Ama (buta), dll.Oleh karena itu Allah membantah orang yang mensifati

diri-Nya dengan kekurangan dan mensucikan diri-Nya dari kekurangan tersebut. Allah tidak

mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan mengurangi keberadaan-Nya sebagai

Rab semesta alam.


– Jika sifat tersebut di satu sisi menunjukkan kesempurnaan sedangkan di sisi lain

menunjukkan kekurangan maka sifat ini tidak dinisbatkan dan tidak dinafikan (ditolak) dari

Allah secara mutlak akan tetapi perlu dirinci. Kita menetapkan sifat tersebut dalam keadaan

yang menunjukkan kesempurnaan dan kita menolak sifat tersebut dalam keadaan yang

menunjukkan kekurangan.

Contohnya sifat Al Makr, Al Kaid, Al Khida’ (makna ketiganya adalah tipu daya)

Sifat ini merupakan sifat yang sempurna jika dalam rangka menghadapi semisalnya

(membalas orang yang berbuat tipu daya) Karena hal ini menunjukkan bahwa yang

mempunyai sifat ini (Allah) tidak lemah menghadapi tipu daya musuh-musuh-Nya.

Dan sifat ini menupakan sifat yang kurang dalam keadaan selain diatas. Maka kita

menetapkan sifat tersebut untuk Allah dalam keadaan yang pertama, bukan yang kedua.

Allah ta’ala berfirman,

َ‫ّللاُ َخي ُار اال َماك ٰٰرين‬ َّ ‫َويَ ام ُك ُر‬


َّ ‫ّللاُ َو‬
“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik

pembalas tipu daya.” (Qs. Al Anfal: 30)

)١٦( ‫) َوأَكٰي ُد َك ايدًا‬١٥( ‫ٰإنَّ ُه ام يَكٰيدُونَ َك ايدًا‬


“Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-

benarnya. Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.” (Qs. At Thariq: 15-

16)

‫ع ُه ام‬ َّ َ‫ٰإ َّن اال ُمنَا ٰفقٰينَ يُخَا ٰدعُون‬


ُ ‫ّللاَ َوه َُو خَا ٰد‬

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan

mereka.” (Qs. An Nisa: 142)

Jika dikatakan Apakah Allah disifati dengan Al Makr? Maka jangan menjawab “ya” dan

jangan pula menjawab “tidak”, akan tetapi kaakanlah “Allah berbuat makar terhadap orang

yang pantas mendapatkannya” wallahu a’lam.

– Sifat Allah terbagi menjadi dua, yaitu tsubutiyah dansalbiyah

Tsubutiyah yaitu sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya seperti Al Hayah, Al Alim, Al

Qudrah. Sifat ini wajib kita tetapkan pada Allah sesuai dengan keagungan-Nya karena Allah
sendiri menetapkan sifat tersebut untuk diri-Nya dan Allah lebih mengetahui tentang sifat

diri-Nya.

Salbiyah yaitu sifat yang Allah nafikan (tiadakan) untuk diri-Nya seperti dzalim. Sifat ini wajib

kita nafikan pada Allah karena Allah telah menafikan sifat tersebut pada diri-Nya. Dan kita

wajib untuk menetapkan pada Allah sifat yang merupakan lawannya yaitu sifat yang

menunjukkan sifat kesempurnaan. Penafian tidak sempurna tanpa menetapkan

kebalikannya.

Contohnya, Firman Allah ta’ala,


‫ َوْل يَ ا‬,)
٤٩ ‫ظ ٰل ُم َربُّكَ أ َ َحدًا‬

“Dan Rabmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Qs. Al Kahfi: 49)

Kita wajib menafikan sifat dzalim dari Allah disertai dengan keyakinan menetapkan sifat adil

bagi Allah yang mana sifat adil tersebut dalam bentuk yang sempurna.

– Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu sifatdzatiyah dan sifat fi’liyah

Sifat dzatiyah yaitu sifat yang terus-menerus ada (selalu melekat) pada diri Allah seperti

sifat As Sama, Al Bashar

Sifat fi’liyah yaitu sifat yang terikat dengan kehendak Allah. Jika Allah menghendaki maka Dia

melakukannya dan jika Allah tidak menghendaki maka Dia tidak melakukannya. Contohnya

sifat istiwa’ di atas arsy, sifat maji’ (datang)

Dan ada beberapa sifat yang termasuk sifat dzatiyahsekaligus fi’liyah jika dilihat dari dua sisi.

Contohnya sifat kalam(berbicara). Dilihat dari sisi asalnya sifat tersebut merupakan

sifat dzatiyah karena Allah senantiasa berbicara. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, kalam

merupakan sifat fi’liyahkarena Allah berbicara tergantung pada kehendak-Nya. Dia berbicara

kapan dan bagaimana Dia kehendaki.

D. Pentingnya Tauhid Asma Wa Sifat

Dibawah ini adalah point-poit pentingnya kita mempelajari ilmu Tauhid Asma Wa

sifat :

1. Separuh bab iman kepada Allah SWT

Bagi seorang muslim, sungguh sangat jelas pentingnya iman kepada Allah. Karena, rukun
tersebut merupakan rukun iman pertama, bahkan terbesar. Rukun-rukun selainnya mengikut

kepadanya dan cabang dari padanya. Itulah tujuan diciptakan makhluk, diturunkan kitab-kitab,

diutus dan rasul-rasul, serta agama ini dibangun di atasnya. Jadi, iman kepada Allah merupakan

asas segala kebajikan dan sumber hidayah serta sebab segala kebahagiaan.

Yang demikian itu, karena manusia sebagai makhluk yang diciptakan dan dipelihara, segala

ilmu dan amalnya kembali (tergantung) kepada pencipta dan pemeliharanya. DariNya-lah

petunjuk, untukNya beramal, dan kepadaNya akan dikembalikan. Manusia tidak bisa bebas

dariNya. Berpaling dariNya, berarti kebinasaan dan kehancuran itu sendiri.

Seorang hamba tidak akan mendapat kebaikan dan tidak pula kebahagiaan, kecuali dengan

mengenal Rabb-nya dan beribadah kepadaNya. Bila ia melakukan yang demikian itu, maka

itulah puncak yang dikehendakiNya, yaitu untukNya ia diciptakan. Adapun selain itu, mungkin

suatu yang utama dan bermanfaat, atau keutamaan yang tidak ada manfaatnya, atau suatu

tambahan yang membahayakan. Oleh karena itulah, dakwah para rasul kepada ummatnya adalah

(menyeru) untuk beriman kepada Allah dan beribadah kepadaNya. Setiap rasul memulai

dakwahnya dari hal itu, sebagaimana (dapat) diketahui dari sejarah dakwah para rasul yang

diterangkan dalam Al Qur’an.

Untuk memiliki kebahagiaan dan keselamatan serta keberuntungan, yaitu dengan

merealisasikan tauhid yang dibangun di atas keimanan kepada Allah. Dan untuk mewujudkan

keduanya, (maka) Allah mengutus utusanNya. Itulah yang didakwahkan para rasul, dari yang

pertama (Nuh) hingga yang terakhir (Muhammad).

A. Pertama : Yaitu tauhid ‘ilmi khabari al i’tiqadi. Meliputi penetapan sifat-sifat kesempurnaan

Allah dan menyucikanNya dari segala penyerupaan dan penyamaan, serta mensucikan dari sifat-

sifat tercela.

B. Kedua : Yaitu beribadah kepadaNya saja, tidak menyekutukanNya dan memurnikan kecintaan

kepadaNya, serta mengikhlaskan kepadaNya perasaan khauf, raja’, tawakal kepadaNya dan ridha

terhadapNya sebagai Rabb, ilah dan wali. Tidak menjadikan untukNya tandingan dalam perkara

apapun.

Allah telah mengumpulkan kedua jenis tauhid ini dalam surat Al Ikhlas dan Al Kafirun.
Surat Al Kafirun mencakup ilmi khabari iradi dan surat Al Ikhlash juga mencakup tauhid ilmi

khabari.

Di dalam surat Al Ikhlash terdapat keterangan yang wajib dimiliki Allah, yaitu berupa sifat-

sifat sempurna. Juga menegaskan apa-apa yang wajib disucikan dariNya, yaitu berupa sifat-sifat

tercela dan penyerupaan. Adapun surat Al Kafirun, menerangkan wajibnya beribadah hanya

kepadaNya, tidak menyekutukanNya dan berlepas diri dari segala peribadatan kepada selainNya.

Salah satu dari dua tauhid diatas tidak akan terjadi, kecuali bila disertai tauhid yang satunya

lagi. Oleh karena itu, Nabi sering membaca dua surat ini dalam shalat sunnah Fajar, Maghrib dan

Witir. Karena kedua kedua surat itu merupakan pembuka amal dan penutup amal. Sehingga

permulaan siang harinya (dimulai) dengan tauhid dan ditutup dengan tauhid.

Jadi, separuh (sebagian) tauhid yang dituntut dari seorang hamba, dan separuhnya adalah

tauhid Asma’ wa Sifat.

2. Secara mutlak Ilmu yang mulia dan ilmu yang penting

Sesungguhnya mulianya suatu ilmu, tergantung pada isi ilmu itu sendiri, karena tingkat

kepercayan seseorang pada dalil-dalil serta bukti-bukti tentang adanya. Disamping isi ilmu itu

amat perlu difahami dan sangat besar manfaatnya bila difahami.

Tidak diragukan, bahwa sesuatu yang paling agung, paling mulia dan paling besar untuk

diketahui adalah tentang Allah. Dzat yang tidak ada sesuatupun berhak diibadahi kecuali Dia,

Rabb alam semesta, Pemelihara langit, Maha Raja Yang Haq, yang disifati dengan semua sifat

sempurna. Dzat yang Maha Suci dari segala kekurangan dan cela, Maha Suci dari keserupaan

serta kesamaan dalam kesempurnaanNya. Maka tidak diragukan bahwa mengilmui nama-nama

dan sifat-sifat serta perbuatan-perbuatanNya merupakan pengetahuan paling agung dan paling

utama. [2]

Bila dikatakan bahwa ilmu adalah sarana bagi amal, ia dimaksudkan untuk diamalkan, dan

amal adalah tujuan ilmu. Padahal telah diketahui, tujuan lebih utama dari sarana. Dengan

demikian, bagaimana sarana lebih diutamakan daripada tujuannya?

Perlu dijawab, masingmasing ilmu maupun amal dibagi menjadi dua. Diantaranya ada yang

menjadi sarana (wasilah), dan diantaranya ada yang menjadi tujuan (ghayah). Jadi, tidak seluruh
ilmu adalah sarana untuk mendapatkan yang lainnya. Karena sesungguhnya ilmu tentang Allah,

nama-nama dan sifat-sifatNya adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak. Jadi ilmu ini adalah

ilmu yang dituntut dan kehendaki itu sendiri. Allah berfirman.


َ ‫هللا قَ اد أ َ َحا‬
َ ‫ط بٰ ُك ٰل‬
ٍ‫ش اىء‬ َ ‫ٰير َوأ َ َّن‬ َ َ‫ض مٰ ثالَ ُه َّن يَتَن ََّز ُل ااأل َ ام ُر بَ اينَ ُه َّن ٰلت َ اع َل ُموا أ َ َّن هللا‬
َ ‫علَى كُ ٰل‬
ٌ ‫ش اىءٍ قَد‬ ٰ ‫ت َومٰ نَ ااأل َ ار‬
ٍ ‫س َم َاوا‬ َ َ‫هللاُ الَّذٰي َخلَق‬
َ ‫س اب َع‬
‫ع اٰل ًما‬
Allah yang telah menciptakan tujuh lapis langit dan bumi semisalnya. PerintahNya berlaku

padanya. Agar kamu mengetahui, bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan

sesungguhnya Allah, ilmuNya benar-benar meliputi segala sesuatu. [Ath Thalaq : 12].

Allah telah mengabarkan, bahwa Dia menciptakan langit dan bumi, dan memberlakukan

perintahNya kepadanya, supaya hamba-hambaNya mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui

segala sesuatu. Jadi, ilmu ini sebagai puncak (tujuan) penciptaan yang dituntut (untuk diketahui).

Allah berfirman:

ُ‫فَا اعلَ ام أَنَّه ُ آلإٰلَهَ إْٰلَّهللا‬


Ketahuilah, bahwasanya tidak ada yang diibadahi dengan benar, kecuali Allah. [Muhammad :

19].

Jadi, mengilmui ke-Maha-Esaan Allah menjadi keharusan, dan tidak cukup dengan itu saja,

tetapi harus disertai dengan beribadah kepadaNya semata, tidak menyekutukanNya dengan

sesuatu apapun. Keduanya adalah dua perkara yang dituntut. Pertama, untuk mengenal Allah

dengan namanama, sifat-sifat, perbuatanperbuatan dan hukumhukumnya. Kedua, untuk

beribadah sebagai konsekwensi dan kewajibannya.

Jadi, mengilmui ke-Maha Esaan Allah menjadi keharuasan, dan tidak cukup dengan itu saja,

tetapi harus disertai dengan beribadah kepadaNya semata, tidak menyekutukanNya dengan

sesuatu apapun. Keduanya adalah dua perkara yang dituntut. Pertama, untuk mengenal Allah

dengan nama-nama, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan dan hukum-hukumnya. Kedua, untuk

beribadah sebagai konsekwensi dan kewajibannya.

Jadi seperti halnya beribadah kepadaNya itu dituntut dan dikehendaki, demikian pula

mengilmui tentangNya, karena sesungguhnya ilmu termasuk seutama-utama ibadah.


3. Dasar ilmu agama

Tauhid asma’, sifat dan af’al, adalah ilmu yang paling agung, paling mulia dan paling mulia

dan paling besar, yang merupakan ashlu (prinsip) agama. Semua ilmu mengikut pada ilmu ini

dan sangat membutuhkannya. Sehingga mengilmui tentangnya termasuk prinsip keilmuan dan

permulaannya. Karena, barangsiapa mengenal Allah, maka akan mengenal yang lainnya. Dan

barangsiapa yang tidak mengenal Rabb-nya, maka terhadap yang lainnya (pun) dia tidak lebih

mengetahui. Allah berfirman,

َ‫س ُه ام أ ُ اولَئٰكَ ُه ُم االفَا ٰسقُون‬


َ ُ‫سا ُه ام أَنف‬
َ ‫سوا هللاَ فَأَن‬
ُ َ‫َوْلَت َ ُكونُوا كَالَّذٰينَ ن‬
Dan janganlah engkau menjadi seperti orang-orang yang melalaikan Allah, lalu mereka

melalaikan diri mereka sendiri. [Al Hasyr : 19].

Amatilah ayat ini, engkau akan mendapatkan makna yang mulia dan agung. Yaitu,

barangsiapa yang melalaikan diri dan pribadinya, sehingga ia tidak mengetahui hakikat dirinya

dan tidak pula (mengetahui) kemaslahatan dirinya. Bahkan melalaikan kemaslahatan dan

kebahagiaan dirinya di dunia dan di akhirat. Karena ia (telah) keluar dari fitrah, yang untuk itu ia

diciptakan. Sehingga, karena ia melalaikan Rabb-nya, maka dilalaikanlah dia dari dirinya,

sifatnya, (dilalaikan dari) apa saja yang dapat menyempurnakan diri dan membersihkan dirinya,

serta apa saja yang dapat membahagiakan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Allah

berfirman,

َ ُ‫َوْلَتُطٰ اع َم ان أ َ اغف اَلنَا قَ ال َبه‬


ً ‫ع ان ٰذ اك ٰرنَا َوات َّ َب َع ه ََواهُ َو َكانَ أ َ ام ُرهُ فُ ُر‬
‫طا‬
Dan janganlah engkau mentaati orang-orang yang Kami lalaikan hatinya dari mengingat

Kami dan mengikuti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya melewati batas. [Al Kahfi:28]

Jadi, lalai dari mengingat Rabb-nya akan mengakibatkan persoalan diri dan hatinya melampui

batas. Sehingga ia terpalingkan dari menadapatkan kemaslahatan, kesempurnaan, dan apa yang

dapat membersihkan jiwa dan hatinya. Bahkan yang demikian itu (dapat) mencabik-cabik hati

dan menghancurkannya, membingungkannya dan tidak mengetahui jalan.

Begitulah, ilmu tentang Allah adalah pangkal semua ilmu. Dan ilmu ini merupakan pangkal

ilmu pengetahuan seorang hamba tentang kebahagiaannya, kesempurnaanya, kemaslahatan dunia


dan akhiratnya.

Sedangkan tidak berilmu tentang Allah, akan mengakibatkan kebodohan terhadap dirinya,

kemaslahatannya, kesempurnaannya, dan apa saja yang dapat membersihkan serta

membahagiakan dirinya. Maka memahami Allah, berarti kebahagiaan bagi seorang hamba. Dan

bodoh terhadapNya berarti pangkal kebinasaan baginya.

BAB III

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Tauhid_Asmaa’_dan_Sifat

https://muslim.or.id/29794-larangan-terhadap-nama-dan-sifat-allah.html

https://muslimah.or.id/2609-kaidah-kaidah-penting-untuk-memahami-asma-dan-sifat-allah.html

Anda mungkin juga menyukai