Disusun Oleh :
Dosen :
Ustadz Zulkarnain, MA
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hambanya.
Alhamdulillah karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas
makalah mata kuliah Aqidah Islamiyah ini. Adapun maksud dan tujuan kami disini yaitu
menyajikan beberapa hal yang menjadi materi dari makalah kami. Makalah ini membahas
mengenai Tauhid Asma Wa Sifat”. Makalah ini menggunakan bahasa yang mudah
Kami menyadari bahwa didalam makalah kami ini masih banyak kekeurangan, kami
mengharapkan kritik dan saran demi menyempurnakan makalah kami agar lebih baik dan
dapat berguna semaksimal mungkin. Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu proses penyusunan dan penyempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pembahasan mengenai Tauhid merupakan hal yang paling urgen dalam Agama Islam,
dimana Tauhid mengambil peranan penting dalam membentuk pribadi-pribadi yang tangguh,
selain juga sebagai inti atau akar daripada ‘Aqidah Islamiyah. Tauhid Asma’ Wa Sifat
merupakan salah satu macam-macam tauhid yang artinya mengesakan Allah dalam apa yang
Namun rupanya saat ini pembahasan masalah tauhid khususnya Tauhid Asma’ wa Sifat
menjadi sesuatu yang yang terpecah ke dalam berbagai golongan, sehingga melahirkan
berbagai macam pendapat yang berbeda-beda. Dalam agama islam, Asma’ul husna adalah
nama-nama Allah ta’ala yang indah dan baik. Asma berarti nama dan husna berarti yang baik
atau yang indah jadi asma’ul husna adalah nama-nama milik Allah ta’ala yang baik lagi indah.
Asma’ul husna secara harfiah ialah nama-nama,sebutan,gelar Allah yang baik dan agung
sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu
Diharapkan dari penulisan makalah ini, kita mendapatkan pengetahuan yang lebih luas
tentang tauhid khususnya Tauhid asma’ wa Sifat sebagai salah satu dari sekian banyak macam
ilmu tauhid.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
3) Untuk mengetahui apa saja kaidah-kaidah penting tentang nama dan sifat Allah
BAB II
PEMBAHASAN
Tauhid asma wa sifat adalah mengesakan Allah dengan cara menetapkan bagi Allah
nama-nama dan sifat-sifat yang ditetapkan sendiri oleh-Nya (dalam firman-Nya), atau yang
dengan sesuatu (Tamtsil), atau menyimpangkan makna (Tahrif), atau bahkan menolak nama atau
sifat tersebut (Ta’thil).
Adapun dalil mengenai tauhid asma’ wa sifat dari Al-Qur’an di antaranya ialah firman
َ َو ٰ هّلِلٰ ااْلَ اس َم ۤا ُء اال ُحس ٰانى فَا ادع اُوهُ بٰ َه ۖا َوذَ ُروا الَّ ٰذيانَ ي اُلحٰ د اُونَ فٰ ْٓاي ا َ اس َم ۤا ِٕى ٖۗه
َسيُجازَ اونَ َما كَانُ اوا يَ اع َملُ اون
“Dan Allah memiliki Asma'ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah
menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.”
ٰ علَ اي ٰٖۗه َولَهُ اال َمث َ ُل ااْلَع ٰالى فٰى السَّمٰ ٰو
ِۚ ٰ ت َو ااْلَ ار
ض َوه َُو َ ُي يَ اب َدؤُا االخ اَلقَ ث ُ َّم يُ ٰع ايد ُٗه َوه َُو ا َ اه َون
َوه َُو الَّ ٰذ ا
االعَ ٰزي ُاز اال َح ٰك اي ُم
“Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih
mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang
Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sungguh, Allah mengetahui,
nama dan sifat-sifat bagi Allah . Tidak diragukan lagi, bahwa menetapkan nama dan sifat-sifat
bagi Allah haruslah dengan prinsip-prinsip yang benar. Ahlus Sunnah menyucikan nama dan
sifat-sifat Allah tanpa menolaknya dan menetapkannya tanpa menyerupakannya (dengan nama
dan sifat-sifat makhluk). Ada 4 perkara yang diingkari oleh Ahlus Sunnah dalam menetapkan
1. Tahrif
Tahrif secara bahasa maknanya mengubah atau mengganti. Menurut pengertian
syar’i berarti: mengubah lafazh Al Asma’ul Husna dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi atau
Tahrif Lafdzi adalah mengubah suatu bentuk ke bentuk lainnya. Baik dengan
mengubah harokat ataupun menambah kata atau huruf. Contohnya dengan mengubah
dengan menambah satu huruf. Tujuan nya adalah menolak sifat istiwa'.
Tahrif Maknawi adalah mengubah suatu makna dari hakikatnya. Seperti ahlul bid'ah
adalah untuk menolak sifat rahmah yang hakiki dari Allah SWT.
2. Ta'thil
adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-
sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara
tahrif dan ta’thil yaitu : ta’thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan
oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur’an
a. Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara
kepada-Nya, baik secara total maupun sebagian, atau dengan cara beribadah kepada
Jadi, setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta’thil, akan tetapi
tidak semua orang yang melakukan ta’thil melakukan tahrif. Barangsiapa yang
menetapkan suatu makna yang batil dan menafikan suatu makna yang benar, maka ia
seorang pelaku tahrif sekaligus pelaku ta’thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka
3. Takyif
Inilah paham yang dianut oleh kaum salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam
Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan
menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan,
dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat
4. Tamtsil
nama dan sifat Allah dengan makhluk. Allah melarang perbuatan ini dalam Q.S Asy-
Syuraa ayat 11 :
ض َجعَ َل لَ ُك ام م اٰن ا َ انفُ ٰس ُك ام ا َ از َوا ًجا َّومٰ نَ ااْلَ انعَ ٰام ا َ از َوا ًج ِۚا يَ اذ َر ُؤ ُك ام
ٖۗ ٰ ت َو ااْلَ ار
ٰ فَاطٰ ُر السَّمٰ ٰو
dari jenis kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga).
Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.”
baik dari perbuatan Nya, hak Nya untuk di ibadahi, maupun dalam nama dan
sifatNya.
Maksudnya menetapkan bagi zat maupun sifat Allah betupa kekhususan seperti yang
Dalam kebaikan Allahlah yang paling tinggi karena nama Allah mengandung sifat yang
Contoh:
Ar Rahman adalah salah satu dari nama-nama Allah, menunjukkan atas sifat yang agung
Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa ad dahr (waktu) bukan termasuk salah satu
dari nama Allah karena tidak mengandung makna yang terpuji. Adapun sabda
Maka maknanya adalah Allah lah yang menguasai masa. Kita palingkan ke makna tersebut
“Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku yang membolak-balikkan siang dan malam” (HR.
Bukhari)
“Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau gunakan untuk
diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang
dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-
“Sesngguhnya ada 99 nama milik Allah, barang siapa menjaganya akan masuk syurga” (HR.
Bukhari)
Makna hadits ini adalah:Diantara nama Allah ada 99 nama yang jika kita menjaganya kita
akan masuk syurga. Dan tidaklah dimaksudkan disini membatasi nama Allah hanya 99. Kita
bisa melihat hal ini dengan contoh perkataan “saya mempunyai 100 dirham untuk
disedekahkan”. Maka pernyataan ini tidak menafikan kalau saya mempunyai dirham yang
– Nama Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal tetapi harus dengan dalil syar’i
Nama Allah adalah tauqifiyah, yaitu harus ditetapkan berdasarkan dalil syari’at, tidak boleh
menambahnya dan tidak boleh menguranginya karena akal tidak mungkin mencapai semua
yang menjadi hak Allah dari nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini kita wajib untuk
mencukupkan diri dengan dalil syar’i. Hal ini karena menamai Allah dengan nama yang tidak
Allah namakan diri-Nya dengan nama tersebut atau mengingkari nama yang Allah menamai
diri-Nya dengan nama tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak Allah ta’ala. Kita wajib
– Seluruh nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas dzat Allah, sifat yang terkandung
di dalam nama tersebut, dan adanya pengaruh yang dihasilkan jika nama tersebut adalah
Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan sifat Allah kecuali dengan
Contoh nama Allah yang bukan muta’adi: Al ‘Adzim (Yang Maha Agung)
Tidak sempurna mengimani nama ini sampai mengimani dengan menetapkan 2 hal:
a. Menetapkan Al Adzim sebagai nama Allah yang menunjukkan pada Dzat Allah
a. Menetapkan Ar Rahman sebagai nama Allah yang menunjukkan pada dzat Allah
c. Menetapkan adanya pengaruh dari nama itu, yaitu merahmati siapa yang Allah kehendaki.
– Sifat Allah seluruhnya tinggi, sempurna, mengandung pujian, dan tidak ada kekurangan
berfirman,
“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi” (Qs. An Nahl: 60)
Karena Allah adalah Rabb yang maha sempurna maka sifatnya harus sempurna.
– Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan kesempurnaan sama sekali maka
mustahil sifat itu dimiliki Allah, seperti Al Maut (mati), Al Jahl (bodoh), Al Ajs (lemah), As
Samam (tuli), Al ‘Ama (buta), dll.Oleh karena itu Allah membantah orang yang mensifati
diri-Nya dengan kekurangan dan mensucikan diri-Nya dari kekurangan tersebut. Allah tidak
mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan mengurangi keberadaan-Nya sebagai
menunjukkan kekurangan maka sifat ini tidak dinisbatkan dan tidak dinafikan (ditolak) dari
Allah secara mutlak akan tetapi perlu dirinci. Kita menetapkan sifat tersebut dalam keadaan
yang menunjukkan kesempurnaan dan kita menolak sifat tersebut dalam keadaan yang
menunjukkan kekurangan.
Contohnya sifat Al Makr, Al Kaid, Al Khida’ (makna ketiganya adalah tipu daya)
Sifat ini merupakan sifat yang sempurna jika dalam rangka menghadapi semisalnya
(membalas orang yang berbuat tipu daya) Karena hal ini menunjukkan bahwa yang
mempunyai sifat ini (Allah) tidak lemah menghadapi tipu daya musuh-musuh-Nya.
Dan sifat ini menupakan sifat yang kurang dalam keadaan selain diatas. Maka kita
menetapkan sifat tersebut untuk Allah dalam keadaan yang pertama, bukan yang kedua.
benarnya. Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.” (Qs. At Thariq: 15-
16)
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan
Jika dikatakan Apakah Allah disifati dengan Al Makr? Maka jangan menjawab “ya” dan
jangan pula menjawab “tidak”, akan tetapi kaakanlah “Allah berbuat makar terhadap orang
Tsubutiyah yaitu sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya seperti Al Hayah, Al Alim, Al
Qudrah. Sifat ini wajib kita tetapkan pada Allah sesuai dengan keagungan-Nya karena Allah
sendiri menetapkan sifat tersebut untuk diri-Nya dan Allah lebih mengetahui tentang sifat
diri-Nya.
Salbiyah yaitu sifat yang Allah nafikan (tiadakan) untuk diri-Nya seperti dzalim. Sifat ini wajib
kita nafikan pada Allah karena Allah telah menafikan sifat tersebut pada diri-Nya. Dan kita
wajib untuk menetapkan pada Allah sifat yang merupakan lawannya yaitu sifat yang
kebalikannya.
“Dan Rabmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Qs. Al Kahfi: 49)
Kita wajib menafikan sifat dzalim dari Allah disertai dengan keyakinan menetapkan sifat adil
bagi Allah yang mana sifat adil tersebut dalam bentuk yang sempurna.
– Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu sifatdzatiyah dan sifat fi’liyah
Sifat dzatiyah yaitu sifat yang terus-menerus ada (selalu melekat) pada diri Allah seperti
Sifat fi’liyah yaitu sifat yang terikat dengan kehendak Allah. Jika Allah menghendaki maka Dia
melakukannya dan jika Allah tidak menghendaki maka Dia tidak melakukannya. Contohnya
Dan ada beberapa sifat yang termasuk sifat dzatiyahsekaligus fi’liyah jika dilihat dari dua sisi.
Contohnya sifat kalam(berbicara). Dilihat dari sisi asalnya sifat tersebut merupakan
sifat dzatiyah karena Allah senantiasa berbicara. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, kalam
merupakan sifat fi’liyahkarena Allah berbicara tergantung pada kehendak-Nya. Dia berbicara
Dibawah ini adalah point-poit pentingnya kita mempelajari ilmu Tauhid Asma Wa
sifat :
Bagi seorang muslim, sungguh sangat jelas pentingnya iman kepada Allah. Karena, rukun
tersebut merupakan rukun iman pertama, bahkan terbesar. Rukun-rukun selainnya mengikut
kepadanya dan cabang dari padanya. Itulah tujuan diciptakan makhluk, diturunkan kitab-kitab,
diutus dan rasul-rasul, serta agama ini dibangun di atasnya. Jadi, iman kepada Allah merupakan
asas segala kebajikan dan sumber hidayah serta sebab segala kebahagiaan.
Yang demikian itu, karena manusia sebagai makhluk yang diciptakan dan dipelihara, segala
ilmu dan amalnya kembali (tergantung) kepada pencipta dan pemeliharanya. DariNya-lah
petunjuk, untukNya beramal, dan kepadaNya akan dikembalikan. Manusia tidak bisa bebas
Seorang hamba tidak akan mendapat kebaikan dan tidak pula kebahagiaan, kecuali dengan
mengenal Rabb-nya dan beribadah kepadaNya. Bila ia melakukan yang demikian itu, maka
itulah puncak yang dikehendakiNya, yaitu untukNya ia diciptakan. Adapun selain itu, mungkin
suatu yang utama dan bermanfaat, atau keutamaan yang tidak ada manfaatnya, atau suatu
tambahan yang membahayakan. Oleh karena itulah, dakwah para rasul kepada ummatnya adalah
(menyeru) untuk beriman kepada Allah dan beribadah kepadaNya. Setiap rasul memulai
dakwahnya dari hal itu, sebagaimana (dapat) diketahui dari sejarah dakwah para rasul yang
merealisasikan tauhid yang dibangun di atas keimanan kepada Allah. Dan untuk mewujudkan
keduanya, (maka) Allah mengutus utusanNya. Itulah yang didakwahkan para rasul, dari yang
A. Pertama : Yaitu tauhid ‘ilmi khabari al i’tiqadi. Meliputi penetapan sifat-sifat kesempurnaan
Allah dan menyucikanNya dari segala penyerupaan dan penyamaan, serta mensucikan dari sifat-
sifat tercela.
B. Kedua : Yaitu beribadah kepadaNya saja, tidak menyekutukanNya dan memurnikan kecintaan
kepadaNya, serta mengikhlaskan kepadaNya perasaan khauf, raja’, tawakal kepadaNya dan ridha
terhadapNya sebagai Rabb, ilah dan wali. Tidak menjadikan untukNya tandingan dalam perkara
apapun.
Allah telah mengumpulkan kedua jenis tauhid ini dalam surat Al Ikhlas dan Al Kafirun.
Surat Al Kafirun mencakup ilmi khabari iradi dan surat Al Ikhlash juga mencakup tauhid ilmi
khabari.
Di dalam surat Al Ikhlash terdapat keterangan yang wajib dimiliki Allah, yaitu berupa sifat-
sifat sempurna. Juga menegaskan apa-apa yang wajib disucikan dariNya, yaitu berupa sifat-sifat
tercela dan penyerupaan. Adapun surat Al Kafirun, menerangkan wajibnya beribadah hanya
kepadaNya, tidak menyekutukanNya dan berlepas diri dari segala peribadatan kepada selainNya.
Salah satu dari dua tauhid diatas tidak akan terjadi, kecuali bila disertai tauhid yang satunya
lagi. Oleh karena itu, Nabi sering membaca dua surat ini dalam shalat sunnah Fajar, Maghrib dan
Witir. Karena kedua kedua surat itu merupakan pembuka amal dan penutup amal. Sehingga
permulaan siang harinya (dimulai) dengan tauhid dan ditutup dengan tauhid.
Jadi, separuh (sebagian) tauhid yang dituntut dari seorang hamba, dan separuhnya adalah
Sesungguhnya mulianya suatu ilmu, tergantung pada isi ilmu itu sendiri, karena tingkat
kepercayan seseorang pada dalil-dalil serta bukti-bukti tentang adanya. Disamping isi ilmu itu
Tidak diragukan, bahwa sesuatu yang paling agung, paling mulia dan paling besar untuk
diketahui adalah tentang Allah. Dzat yang tidak ada sesuatupun berhak diibadahi kecuali Dia,
Rabb alam semesta, Pemelihara langit, Maha Raja Yang Haq, yang disifati dengan semua sifat
sempurna. Dzat yang Maha Suci dari segala kekurangan dan cela, Maha Suci dari keserupaan
serta kesamaan dalam kesempurnaanNya. Maka tidak diragukan bahwa mengilmui nama-nama
dan sifat-sifat serta perbuatan-perbuatanNya merupakan pengetahuan paling agung dan paling
utama. [2]
Bila dikatakan bahwa ilmu adalah sarana bagi amal, ia dimaksudkan untuk diamalkan, dan
amal adalah tujuan ilmu. Padahal telah diketahui, tujuan lebih utama dari sarana. Dengan
Perlu dijawab, masingmasing ilmu maupun amal dibagi menjadi dua. Diantaranya ada yang
menjadi sarana (wasilah), dan diantaranya ada yang menjadi tujuan (ghayah). Jadi, tidak seluruh
ilmu adalah sarana untuk mendapatkan yang lainnya. Karena sesungguhnya ilmu tentang Allah,
nama-nama dan sifat-sifatNya adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak. Jadi ilmu ini adalah
padanya. Agar kamu mengetahui, bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan
sesungguhnya Allah, ilmuNya benar-benar meliputi segala sesuatu. [Ath Thalaq : 12].
Allah telah mengabarkan, bahwa Dia menciptakan langit dan bumi, dan memberlakukan
segala sesuatu. Jadi, ilmu ini sebagai puncak (tujuan) penciptaan yang dituntut (untuk diketahui).
Allah berfirman:
19].
Jadi, mengilmui ke-Maha-Esaan Allah menjadi keharusan, dan tidak cukup dengan itu saja,
tetapi harus disertai dengan beribadah kepadaNya semata, tidak menyekutukanNya dengan
sesuatu apapun. Keduanya adalah dua perkara yang dituntut. Pertama, untuk mengenal Allah
Jadi, mengilmui ke-Maha Esaan Allah menjadi keharuasan, dan tidak cukup dengan itu saja,
tetapi harus disertai dengan beribadah kepadaNya semata, tidak menyekutukanNya dengan
sesuatu apapun. Keduanya adalah dua perkara yang dituntut. Pertama, untuk mengenal Allah
Jadi seperti halnya beribadah kepadaNya itu dituntut dan dikehendaki, demikian pula
Tauhid asma’, sifat dan af’al, adalah ilmu yang paling agung, paling mulia dan paling mulia
dan paling besar, yang merupakan ashlu (prinsip) agama. Semua ilmu mengikut pada ilmu ini
dan sangat membutuhkannya. Sehingga mengilmui tentangnya termasuk prinsip keilmuan dan
permulaannya. Karena, barangsiapa mengenal Allah, maka akan mengenal yang lainnya. Dan
barangsiapa yang tidak mengenal Rabb-nya, maka terhadap yang lainnya (pun) dia tidak lebih
Amatilah ayat ini, engkau akan mendapatkan makna yang mulia dan agung. Yaitu,
barangsiapa yang melalaikan diri dan pribadinya, sehingga ia tidak mengetahui hakikat dirinya
dan tidak pula (mengetahui) kemaslahatan dirinya. Bahkan melalaikan kemaslahatan dan
kebahagiaan dirinya di dunia dan di akhirat. Karena ia (telah) keluar dari fitrah, yang untuk itu ia
diciptakan. Sehingga, karena ia melalaikan Rabb-nya, maka dilalaikanlah dia dari dirinya,
sifatnya, (dilalaikan dari) apa saja yang dapat menyempurnakan diri dan membersihkan dirinya,
serta apa saja yang dapat membahagiakan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Allah
berfirman,
Kami dan mengikuti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya melewati batas. [Al Kahfi:28]
Jadi, lalai dari mengingat Rabb-nya akan mengakibatkan persoalan diri dan hatinya melampui
batas. Sehingga ia terpalingkan dari menadapatkan kemaslahatan, kesempurnaan, dan apa yang
dapat membersihkan jiwa dan hatinya. Bahkan yang demikian itu (dapat) mencabik-cabik hati
Begitulah, ilmu tentang Allah adalah pangkal semua ilmu. Dan ilmu ini merupakan pangkal
Sedangkan tidak berilmu tentang Allah, akan mengakibatkan kebodohan terhadap dirinya,
membahagiakan dirinya. Maka memahami Allah, berarti kebahagiaan bagi seorang hamba. Dan
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Tauhid_Asmaa’_dan_Sifat
https://muslim.or.id/29794-larangan-terhadap-nama-dan-sifat-allah.html
https://muslimah.or.id/2609-kaidah-kaidah-penting-untuk-memahami-asma-dan-sifat-allah.html