Anda di halaman 1dari 15

ASMA DAN SIFAT

ALLAH
Agra Nabilfavian
Ahmad Miftah Harits
Alfi Zunan Ahmada
Imam Dwi Atmaji
Syaikh Sholeh Fauzan Al Fauzan Hafidzahullahu Ta’ala berkata
“Makna tauhid asma’ wa sifat adalah beriman kepada nama-
nama Allah dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan
dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya menurut apa yang
pantas bagi Allah, tanpa ta’wil (Merubah makna) dan ta’thil
(menghilangkan makna atau sifat Allah), takyif (mempersoalkan
hakikat asma Allah dan sifat-sifatNya), dan tamtsil
(menyerupakan Allah dengan makhlukNya).. Allah Subhanahu
wa ta’ala berfirman:
ِ ‫مي ُع ْال َب‬
‫صي ُر‬ َّ
ِ ‫الس‬ ُ ‫ي ٌء ۖ َو‬
‫ه َو‬ َ ‫ه‬
ْ ‫ش‬ ِ ‫لَ ْيسَ َك‬
ِ ‫م ْث ِل‬
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan
Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS Asy – Syura:
11)”
Manhaj Salafusholih terhadap Asma wa
Sifat
■ Pembicaraan tentang Nama-nama Allâh Azza wa Jalla dan Sifat-sifat-Nya adalah satu bagian dari pembicaraan tentang
Dzat Allâh Azza wa Jalla dan ini termasuk perkara ghaib. Oleh karena itu, manusia tidak mungkin mengetahuinya secara
rinci kecuali dengan wahyu. Karena kemampuan akal manusia tidak akan bisa mengetahui segala hal tentang Allâh
Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya:
ً ‫ع ْل‬ َ ُ‫حيط‬ ْ ‫خ ْل َف ُه‬
ِ ‫م و َََل ُي‬ ْ ‫يه‬ َ ُ َ‫ي َْعل‬
■ ‫ما‬ ِ ‫ه‬
ِ ِ‫ون ب‬ َ ‫م َومَا‬ ِ ‫م مَا بَ ْينَ أ ْي ِد‬
■ “Dia (Allâh) mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka
tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” [Thaha/20: 110]

■ Jadi, pembicaraan tentang Nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Sifat-sifat-Nya adalah adalah tauqifiyyah,
artinya: terbatas hanya pada keterangan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak ditambah, tidak dikurangi. Karena
kalau kita menambahi, berarti kita telah berbicara tanpa ilmu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

■ ً ‫س ُئ‬
‫وَل‬ ْ ‫ان َع ْن ُه َم‬ َٰ ‫ل ُأ‬
َ ِ‫ولَئ‬
َ ‫ك َك‬ ُّ ‫َال ُف َؤا َد ُك‬
ْ ‫ص َر و‬ ْ ‫عو‬
َ َ‫َالب‬ َّ
ْ ‫الس‬
َ ‫م‬ َّ ِ‫م ۚ إ‬
‫ن‬ ٌ ‫ع ْل‬
ِ ‫ه‬ َ َ‫ف مَا لَ ْيسَ ل‬
ِ ِ‫ك ب‬ ُ ‫و َََل تَ ْق‬
■ “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. [Al-Isrâ’/17: 36]
Oleh karena itu, kita wajib beradab dalam
masalah ini dan mencukupkan diri dengan
mengenal Nama dan Sifat Allâh lewat
wahyu-Nya
Kaidah asma Allah

■ Pertama, seluruh asma’ Allah adalah husna (paling baik). Allah berfirman,
ْ ‫ح‬
‫سنَى‬ ْ َ ‫َلِل األ‬
ُ ‫سمَاء ْال‬ ِ ‫و ِه‬
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna.” (QS Al A’raf: 180)
■ Kedua, asma’ Allah adalah ‘alam (nama) dan shifat (sifat). Misal Ar Rahiim (Maha Penyayang) adalah
nama Allah dan sekaligus mengandung sifat Allah yaitu rahmat (penyayang). Allah berfirman,
ِ ‫ه َو ْال َغ ُفو ُر ال َّر‬
ُ ‫حي‬
‫م‬ ُ ‫َو‬
‘Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yunus: 107)
‫ة‬ َ ‫ح‬
ِ ‫م‬ َ ُّ‫َورَب‬
ْ ‫ك ْال َغ ُفو ُر ُذو ال َّر‬
“Dan Tuhanmulah yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat.” (QS Al Kahfi: 58)
Ayat kedua menunjukkan bahwa Ar Rahiim adalah dzat yang mempunyai sifat rahmat. Salah jika ada yang
memahami bahwa asma’ Allah hanya sekedar nama dan tidak mengandung sifat, sebagaimana pemahaman
orang mu’tazilah.
■ Ketiga,asma’ Allah jika bentuknya muta’adi (membutuhkan objek) maka
mengandung (1) nama, (2) sifat dan (3) hukum dan konsekuensinya. Jika selain
muta’adi maka mengandung (1) nama dan (2) sifat.
Contoh asma yang muta’adi adalah: As Sami’ (Maha Mendengar)
Wajib menetapkan As Sami’ sebagai nama yang menunjukkan dzat Allah
Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut yaitu sam’ (mendengar)
Menetapkan hukum dan konsekuensinya yaitu bahwasanya Allah mendengar sesuatu
yang lirih maupun yang keras
■ Keempat, dalalah (petunjuk hukum) asma’ atas dzat dan sifat-Nya bisa dengan tiga:
(1) muthaabaqah (meliputi seluruh maknanya), (2) tadhammun (sebagian makna
terkandung), (3) iltizam (konsekuensi). Misal Al Khaliq (Maha Pencipta),
menunjukkan atas dzat Allah dan atas sifat al khalq (menciptakan) secara
muthaabaqah. Juga menunjukkan atas dzat pencipta sendirinya dan sifat al khalq
sendirinya secara tadhammun. Menunjukkan juga atas sifat ‘ilm (berilmu) dan
qudrah (memiliki kemampuan) secara iltizam (konsekuensi) karena tidak mungkin
bisa menciptakan kalau tidak memiliki ilmu dan kemampuan.
■ Kelima,asma’ Allah adalah tauqifiyah, tidak ditetapkan berdasar akal. Wajib
menetapkannya sebagaimana datang dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak boleh
dikurangi atau ditambah. Akal tidak akan mampu mencapai apa nama-nama yang
layak bagi Allah ta’ala. Maka wajib berhenti sesuai dengan dalil-dalil syar’i.
■ Keenam, asma’ Allah tidak terbatas jumlah tertentu. Hal ini berdasarkan hadits
yang masyhur, Rasulullah berdo’a “Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan
setiap nama-Mu, yang Engkau namai sendiri untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan
dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau
yang Engkau rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu” (HR Ahmad,
Ibnu Hibban dan Hakim. Shahih). Adapun berkaitan dengan hadits, “Sesungguhnya
bagi Allah ada sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barang siapa
menjaganya akan masuk syurga” (HR Bukhari). Hadits ini bukan pembatasan
bahwa nama Allah hanya sembilan puluh sembilan (99), tetapi makna hadits ini
adalah: Diantara nama Allah ada 99 nama yang jika kita menjaganya kita akan
masuk syurga.
■ Ketujuh, ilhad dalam asma’ Allah maksudnya menyimpang dari yang diwajibkan
atasnya. Allah berfirman,
َ ُ‫وا ي َْعمَل‬
‫ون‬ ْ ُ‫ن مَا َكان‬
َ ‫ج َز ْو‬
ْ ‫س ُي‬
َ ‫ه‬ ْ َ‫ون فِي أ‬
ِ ِ‫سمَآئ‬ ِ ‫وا الَّ ِذينَ ُي ْل‬
َ ‫ح ُد‬ ْ ‫َو َذ ُر‬

“Tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-


nama-Nya . Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS Al A’raf: 180)
Kaidah sifat Allah

■ Pertama, seluruh sifat Allah adalah sempurna dan tidak ada kekurangan sedikitpun.
Contoh sifat Allah adalah Al Hayah (hidup), Al ‘Ilm (berilmu), As Sam’ (mendengar) dan
lainnya. Sifat yang tidak ada kesempurnaan sedikitpun maka tidak boleh dinisbatkan
kepada Allah seperti: Al Maut (kematian), Al Jahl (bodoh) dan lainnya. Sifat yang
mengandung sisi kesempurnaan dan sisi kekurangan maka tidak boleh dinisbatkan
secara mutlak atau ditolak secara mutlak. Harus dirinci, ditetapkan sisi kesempurnaan
saja. Contohnya Al Makr (tipu daya), termasuk sifat kesempurnaan jika dihadapkan
kepada yang melakukan hal yang semisal. Karena hal ini menunjukkan kemampuan
untuk membalas yang melakukan makar. Allah berfirman,
َ‫خ ْي ُر ْالمَاكِ ِرين‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫َم ُك ُر ه‬
ُ ‫ّللا و ه‬ َ ‫َم ُك ُر‬
ْ ‫ون َوي‬ ْ ‫َوي‬
“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik
Pembalas tipu daya.” (QS Al Anfaal: 30)
■ Kedua, bab sifat lebih luas dari asma’. Jumlah sifat Allah lebih banyak dari asma’
karena setiap asma’ mengandung sifat dan sifat Allah juga berkaitan dengan af’al
(perbuatan) dan aqwal (perkataan)-Nya yang jumlahnya tidak terbatas.
■ Ketiga, sifat Allah ada dua jenis: tsubutiyah dan salbiyah. Sifat tsubutiyah adalah
sifat yang Allah atau Rasul-Nya tetapkan ada pada diri-Nya seperti al hayah (hidup),
al ‘ilm (ilmu) dan lainnya. Adapun sifat salbiyah adalah sifat yang dinafikan seperti
al maut (mati), adz dzulm (dzolim) dan lainnya.
ُ ‫م‬
‫وت‬ ُ َ‫ي الَّ ِذي ََل ي‬
ِ‫ح ه‬ ْ ‫َوتَو ََّك‬
َ ‫ل َعلَى ْال‬
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati.” (QS Al Furqan:
58)
■ Keempat, sifat tsubutiyah adalah sifat pujian dan kesempurnaan. Semakin banyak
sifat kesempurnaan dan macamnya maka menunjukkan sempurnanya yang disifati
(yaitu Allah). Sifat tsubutiyah yang Allah kabarkan lebih banyak dari sifat salbiyah.
■ Kelima,sifat tsubutiyah ada dua: dzatiyah dan fi’liyah. Sifat dzatiyah adalah sifat
yang selalu dan terus menerus melekat ada pada Allah seperti al ‘ilm (ilmu), al
qudrah (mampu), al uluw (tinggi) dan lainnya. Sifat fi’liyah adalah sifat yang
berkaitan dengan kehendakNya, jika mau maka Dia akan melakukannya, jika tidak
mau maka tidak seperti beristiwa’ diatas Arsy, turun ke langit dunia dan lainnya.
■ Keenam, dalam menetapkan sifat tidak boleh melakukan tamtsil (menyamakan
dengan makhluq) dan takyif (membagaimanakan). Allah berfirman,
‫صي ُر‬ ُ ‫م‬
ِ َ‫يع الب‬ َّ
ِ ‫الس‬ ُ ‫ي ٌء و‬
‫َه َو‬ َ ‫ه‬
ْ ‫ش‬ ِ ‫لَ ْيسَ َك‬
ِ ِ‫م ْثل‬
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar
dan Melihat.” (QS Asy Syuura: 11)
■ Ketujuh, masalah sifat Allah adalah tauqifiyah (sesuai dalil), tidak boleh
berlandaskan akal semata. Dalalah (petunjuk) Al Qur’an dan Sunnah dalam
menetapkan sifat Allah ada tiga:
(1). Dengan jelas menyebut sifat tersebut seperti al izzah (mulia), al quwwah (kuat), al
wajh (memiliki wajah) dan lainnya.
(2). Terkandung dalam asma’ Allah, seperti Al Ghafuur (Maha Pengampun)
mengandung sifat al maghfirah (mengampuni), As Sami’ (Maha Mendengar)
mengandung sifat as sam’ (mendengar) dan lainnya.
(3). Penjelasan perbuatan atau sifat yang menunjukkan atasnya sepert beristiwa’
diatas Arsy, turun ke langit dunia dan lainnya.
Kaidah dalam dalil-dalil asma wa sifat

■ Pertama: Asma dan sifat Allah tidak ditetapkan kecuali dengan dalil Al Qur’an dan As
Sunnah.

■ Kedua: Diwajibkan dalam memahami dalil-dalil al Qur’an dan As Sunnah untuk sesuai
dengan dzohirnya, tidak boleh tahrif (menyelewengkan makna). Terkhusus lagi dalam
masalah sifat Allah yang termasuk masalah ghaib, tidak ada tempat untuk akal di
dalamnya. Allah mencela orang Yahudi yang suka mentahrif (memalingkan) kalamullah.
Allah berfirman,
ََ‫ع َقلُوَهُ َو ُه َْم َي ْع َل ُمون‬
َ ‫للاَ ثُمَ يُ َح ِرفُونَ َهُ ِمن َب ْع َِد َما‬ ْ َ ‫أ َ َفت‬
ِ ‫ط َمعُونََ أَن يُؤْ ِمنُوَاْ َل ُك َْم َو َق َْد َكانََ َف ِريقَ ِم ْن ُه َْم َي ْس َمعُونََ َكالَ ََم‬
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan
dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka memalingkannya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (QS Al Baqarah: 75)
■ Ketiga: Dzohir dari nash tentang sifat adalah ma’lum (diketahui) oleh kita dari sisi
makna dan majhul (tidak diketahui) dari sisi kaifiyah (bagaimana-nya). Hal ini
karena Al Qur’an dan As Sunnah dalam bahasa Arab yang mana maknanya
diketahui. Adapun dari sisi kaifiyah atau hakekat bagaimananya maka tidak
diketahui karena itu diluar akal manusia. Misal Allah memiliki sifat al wajh,
diketahui maknanya (yaitu Allah memiliki wajah) tetapi hakekat bagaimana kita
tidak mengetahui.

■ Keempat: Dzohir dari nash adalah yang paling cepat muncul dalam pikiran dari
makna-makna yang ada. Hal ini tergantung konteks dari kalimat.
sampun

Tur nuwun pun memperhatikan


kita sederek kantos rampung

Jazakumulloh khoiron

Anda mungkin juga menyukai