Anda di halaman 1dari 71

Kaedah Penting Asma'ul Husna (1)

wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/kaedah-penting-asmaul-husna-1.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan tentang kaedah Asma'ul Husna dan beberapa hal yang terkait
dengannya, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat,
Allahumma aamin.
Pentingnya mempelajari asma' dan sifat Allah
Dalam mentauhidkan Allah (baca: mengesakan Allah) ada tiga hal yang kita tauhidkan;
rububiyyah, uluhiyyah dan asma' dan sifat Allah.
Tauhid Rububiyyah maksudnya kita tauhidkan Allah, bahwa hanya Dia Rabbul 'alamin,
yakni yang menciptakan, yang memberikan rezeki, yang mengatur dan menguasai alam
semesta.
Tauhid Uluhiyyah maksudnya kita tauhidkan Allah, bahwa hanya Dia yang berhak
disembah dan ditujukan berbagai ibadah; tidak selain-Nya.
Tauhid asmaa' dan shifat maksudnya kita mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah
yang disebutkan Allah dalam Al Qur'an atau disebutkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam As Sunnah tanpa ta'wil (merubah arti), tasybih (menyerupakan dengan
makhluk), takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya), ta'thil (meniadakan) dan tanpa
tamtsil (menyamakan dengan makhluk).
Dengan demikian, kedudukan mempelajari asma' dan sifat Allah sangat tinggi karena
termasuk mentauhhidkan Allah 'Azza wa Jalla, dan seseorang tidak mungkin beribadah
kepada Allah Ta'ala secara sempurna sampai ia memiliki ilmu terhadap asma' dan sifat
Allah, agar dia dapat beribadah kepada Allah Ta'ala di atas ilmu. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
"Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan." (Terj. QS. Al A'raaf: 180)
Ayat " Maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu " mengandung
dua doa:
1. Du'aaul mas-alah (doa permintaan), yakni sebelum meminta, kita dahulukan
menyebut asmaa'ul husna yang sesuai. Contohnya mengucapkan "Yaa Ghafuur (Maha
Pengampun), ampunilah aku," "Yaa Rahiim (Maha Penyayang), sayangilah aku," dan "Yaa
Razzaaq (Maha Pemberi rezeki), berilah aku rezeki".
2. Du'aaul ibadah (doa sebagai perwujudan ibadah), yakni kita beribadah kepada Allah
Ta'ala mengikuti konsekwensi dari nama-nama Allah tersebut. Misalnya kita bertobat
kepada Allah, karena Dia At Tawwab (Maha Penerima taubat), kita berdzikr dengan lisan
1/5
kita karena Dia As Samii' (maha Mendengar), kita beribadah kepada-Nya dengan anggota
badan kita, karena Dia Al Bashiir (Maha Melihat) dan kita takut kepada Allah ketika
hendak bermaksiat di tempat yang sepi karena Dia Al Lathiif dan Al KHabiir (Mahahalus
lagi Maha Mengetahui).
Ka'idah dalam memahami Asma' wa Shifat Allah
َ
‫ﺴﻨ َﻰ‬
ْ ‫ﺣ‬ َ ‫ﻪ ﻛ ُﻠ‬
ُ ‫ﻬﺎ‬ ِ ‫ﻤ ﺎ ء ُ ا ﻟﻠ‬ ْ ‫ أ‬-1
َ ‫ﺳ‬
"Nama-nama Allah semuanya husna (sangat indah)."
Dalilnya kaedah ini ada di surat Al A'raaf: 180 yang telah disebutkan sebelumnya.
Mengapa semua nama Allah husna? Hal itu, karena nama-nama Allah mengandung sifat
yang sempurna dan tidak memiliki kekurangan dari berbagai sisi baik dar sisi ihtimal
(adanya kemungkinan dari lafaz)[i] maupun sisi taqdir (perkiraan)[ii].
Contoh:
1. Al Hayyu (Allah Maha Hidup). Nama ini adalah salah satu nama Allah Ta'ala. Hidup di
sini mengandung hidup secara sempurna yang sebelumnya tidak diawali ketiadaan dan
tidak diakhiri oleh ketiadaan; hidup yang menghendaki kesempurnaan sifat, seperti
mengetahui, mampu, mendengar, melihat, dsb.
2. Al 'Aliim (Allah Maha mengetahui). Nama ini mengandung pengetahuan secara
sempurna tanpa didahului oleh ketidaktahuan dan tidak disudahi dengan lupa (Lih. Surat
Thahha: 52). Mengandung pengetahuan yang luas, yang meliputi segala sesuatu baik
secara garis besar maupun secara rinci, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya
maupun berkaitan dengan perbuatan makhluk-Nya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:
Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu
rahasiakan dan yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha mengetahui segala isi hati." (Terj. QS.
At Taghaabun: 4)
3. Ar Rahmaan (Allah Maha Pemurah), dimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
sampai bersabda:
‫ﻦ ﻫَﺬ ِهِ ﺑ ِﻮَﻟ َـﺪ ِﻫَﺎ‬ َ ‫ﻟﻠ‬
ْ ‫ﻣ‬
ِ ِ‫ﻢ ﺑ ِﻌِﺒ َﺎد ِه‬
ُ ‫ﺣ‬
َ ‫ﻪ أْر‬
ُ
"Sungguh Allah lebih sayang kedpada hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu ini
sayang kepada anaknya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Yakni ketika ibu tersebut mendapati puteranya dalam tawanan, ia pun langsung
mengambilnya, memeluk dan menyusukannya.
Di dalam kata Ar rahman juga mengandung kasing sayang yang luas. Allah Ta'ala
berfirman:
"Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.".(Terj. QS. Al A'raaf: 156)
Keindahan nama-nama Allah Ta'ala ada pada masing-masing nama itu dan ketika
digabungkan, dan apabila digabung dengan nama-nama-Nya yang lain, maka menjadi
kesempurnaan di atas kesempurnaan. Contoh: Al 'Azizul Hakiim (Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana). Kedua nama ini sering digabung dalam Al Qur'an. Masing-masingnya
menunjukkan kesempurnaan secara khusus dari nama itu, seperti izzah (keperkasaan)
dari nama-Nya Al 'Aziz, dan hukum (menetapkan) serta hikmah (bijaksana) dari nama-
Nya Al Hakiim. Jika digabungkan keduanya, maka menunjukkan kesempurnaan lagi yang
lain, yaitu bahwa keperkasaan Allah Ta'ala dihubungkan dengan kebijaksanaan, sehingga
keperkasaan-Nya tidaklah menghendaki berbuat zalim dan berbuat buruk, berbeda

2/5
dengan makhluk, dimana ketika mereka perkasa membuat mereka bersikap sombong
lalu menzalimi orang lain dan bertindak jahat. Demikian juga hukum dan hikmah Allah
Ta'ala, keduanya dihubungkan dengan keperkasaan yang sempurna. Adapun makhluk;
hukum dan hikmahnya terkena oleh kelemahan.
َ ‫ﻋﻼ َم‬ َ َ
‫ف‬ٌ ‫ﺻﺎ‬
َ ‫و‬
ْ ‫وأ‬َ ٌ ْ ‫ﻌﺎﻟ َﻰ أ‬ ِ ‫ﻤ ﺎ ء ُ ا ﻟﻠ‬
َ َ‫ﻪ ﺗ‬ َ ‫ﺳ‬
ْ -2
"Nama-nama Allah Ta'ala mengandung nama dan sifat."
Ka'idah ini untuk menjelaskan bahwa nama-nama Allah Ta'ala mengandung nama dan
menunjukkan sifatnya, berbeda dengan manusia yang memiliki nama, namun sifatnya
tidak sesuai namanya. Ada orang yang bernama shalih, tetapi kenyataannya pelaku
maksiat, ada yang bernama sa'id (bahagia) namun kenyataannya ia termasuk orang yang
sengsara dan ada yang bernama adil (orang yang adil), namun kenyataannya ia adalah
orang yang zalim.
Oleh karena itu, nama Allah Ar Rahiim misalnya, menunjukkan bahwa Dia memiliki sifat
rahmah (sayang). Nama Al 'Aliim (Maha Mengetahui), menunjukkan bahwa Dia memiliki
pengetahuan yang sempurna, nama-Nya As samii' (Maha Mendengar), menunjukkan
bahwa Dia memiliki pendengaran, nama-Nya Al Bashiir (Maha Melihat), menunjukkan
bahwa Dia memiliki penglihatan, dsb.
Nama-nama Allah tersebut menunjukkan kepada dzat (Diri)-Nya, dan merupakan sifat
melihat kepada makna (kandungan) dari nama itu.
Nama-nama Allah tersebut jika kepada Dzat-Nya adalah sama, karena menunjukkan
kepada satu saja, yaitu kepada Allah Azza wa Jalla. Namun jika melihat kepada makna,
maka berbeda, karena masing-masing nama tersebut menunjukkan makna tertentu.
Oleh karena itu nama-nama Al Hayyu, Al 'Aliim, Al Qadiir (Maha Kuasa), As Samii', Al
Bashiir, Ar Rahmaan, Ar Rahiim, Al 'Aziiz dan Al Hakiim semuanya nama untuk Dzat yang
satu, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Akan tetapi, makna (kandungan) Al Hayyu
berbeda dengan Al 'Aliim, dan makna Al 'Aliim berbeda dengan makna Al Qadiir dst.
Kita katakan bahwa nama-nama Allah merupakan nama dan menunjukkan sifat karena
memang seperti itulah yang ditunjukkan oleh Al Qur'an. Allah Ta'ala berfirman:
ÇÑÈ ÞO​Ïm§​9 $# â​qàÿtóø9$# uqèdur
"Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Terj. QS. Al Ahqaaf: 8)
( ÏpyJôm§​9 $# rè​ â​qàÿtóø9$# y7​/ u​ur
"Dan Tuhanmulah yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat. " (Al Kahfi: 58)
Pada ayat di atas jelas sekali bahwa Allah memang memiliki rahmat, jadi tidak sekedar
nama, bahkan nama dan menunjukkan pula sifat-Nya. Dari sinilah kita mengetahui
sesatnya orang yang meniadakan makna dari nama-nama Allah Ta'ala dari kalangan
Ahlut Ta'thil, di mana mereka mengatakan bahwa Allah mendengar namun tidak
memiliki pendengaran, melihat namun tidak memiliki penglihatan, perkasa namun tidak
memiliki keperkasaan dst. Mereka beralasan bahwa adanya sifat dari nama-nama itu
menghendaki banyaknya dzat. Alasan ini sangat lemah sekali, bahkan bukan merupakan
alasan. Banyak dalil yang membatalkan alasan ini baik dari sam'i (Al Qur'an dan As
Sunnah) maupun Akal. Dari Al Qur'an Misalnya:
"Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar keras.--Sesungguhnya Dia-lah yang menciptakan
(makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali).--Dia-lah yang Maha Pengampun
lagi Maha Pengasih,-- Yang mempunyai 'Arsy, lagi Maha mulia,--Mahakuasa berbuat apa

3/5
yang dikehendaki-Nya." (Terj. QS. Al Buruuj: 12-16)
Dalam ayat-ayat tersebut disebutkan sifat-sifat yang banyak kepada satu Dzat yang
disifati, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala, dan banyaknya sifat tidaklah menunjukkan
banyaknya dzat.
Sedangkan dalil dari akal adalah karena sifat bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang
disifati, dimana adanya sifat tidak mengharuskan banyaknya dzat. Ia hanyalah sifat bagi
yang memilikinya dan tegak dengan sifat itu. Bahkan semua yang terwujud memiliki
banyak sifat, minimal padanya terdapat sifat ada (wujud), ada yang mesti ada (waajibul
wujud), mungkin ada (mumkinul wujud) seperti makhluk, ada yang berupa sesuatu yang
tegak sendiri atau sifat bagi yang lain.
Dari ka'idah di atas, kita mengetahui bahwa Ad Dahr (masa) bukanlah termasuk nama
Allah Ta'ala, karena Ad Dahr merupakan isim (kata benda) jamid (baku) yang tidak
mengandung makna yang dikandung oleh Asmaa'ul Husna, di samping ia merupakan
nama untuk waktu dan zaman. Adapun sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
ُ َ َ
‫ﻞ وَاﻟﻨﻬَﺎَر‬ ْ ‫ﺴﺐ اﻟﺪﻫَْﺮ وَأﻧ َﺎ اﻟﺪﻫُْﺮ ﺑ ِﻴ َﺪ ِي اْﻷ‬
ُ ‫ﻣُﺮ أﻗَﻠ‬
َ ْ ‫ﺐ اﻟﻠﻴ‬ ُ َ‫م ﻳ‬ ُ ْ ‫ ﻳ ُﺆ ْذ ِﻳ ْﻨ ِﻲ اﺑ‬: ‫ﺟﻞ‬
َ َ ‫ﻦ آد‬ ُ ‫َ اﻟﻠ‬
َ َ‫ﻪ ﻋ َﺰ و‬
Allah Azza wa jalla berfirman, "Anak Adam menyakiti-Ku dengan memaki masa, padahal
Aku adalah masa; di Tangan-Ku segala urusan, Aku membolak-balikkan malam dan
siang." (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya)[iii]
Hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa Ad Dahr termasuk nama-nama Allah Ta'ala,
karena orang-orang yang memaki masa, yang mereka maksudkan adalah waktu dimana
berlangsung di sana semua peristiwa, bukan "Allah" yang mereka maksudkan. Oleh
karena itu, maksud "Aku adalah masa" adalah seperti yang diterangkan oleh firman-Nya
setelahnya: "Di tangan-Ku-lah segala urusan, Aku membolak-balikkan malam dan siang."
Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang menciptakan masa dan segala yang ada di
dalamnya. Di hadits tersebut Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan bahwa Dia
yang membolak-balikkan malam dan siang, yakni masa tersebut. Tidak mungkin yang
membolak-balikkan (subjek) adalah masa yang dibolak-balikkan (objek). Dengan
demikian, jelaslah bahwa maksud "masa" di sini bukanlah Allah.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin.

[i] Contohnya adalah kata "makr" dan "kaid" (membuat makar dan tipu daya), dalam
kedua kata ini ada kemungkinan kekurangan dan ada kemungkinan kesempurnaan,
karena adanya kemungkinan kekurangan, sehingga tidak ada dalam nama Allah "Al
Maakir" (yang membuat makar).
[ii] Taqdir di sini, bukan taqdir dalam arti qadar. Maksud taqdir di sini adalah lafaz
tersebut memang menunjukkan kesempurnaan, namun masih bisa mengandung
kekurangan berdasarkan taqdir (perkiraan). Contohnya Al Mutakallim (yang berbicara),
karena yang berbicara itu bisa berkata-kata baik dan bisa berkata-kata buruk, sehingga
tidak ada dalam nama Allah Ta'ala "Al Mutakallim", karena nama Allah Ta'ala tidak
mengandung kemungkinan kekurangan meskipun dengan taqdir (perkiraan). Oleh
4/5
karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Ashfahaaniyyah hal. 5 menjelaskan:
"Adapun menamai Allah Subhaanahu wa Ta'aala dengan nama Al Muriid dan Al
Mutakallim, maka kedua nama itu tidak ada dalam Al Qur'an maupun dalam Asmaa'ul
Husna yang sudah dikenal, kedua maknanya memang hak (benar). Akan tetapi karena
Asmaa'ul Husna yang sudah dikenal adalah nama yang dipakai berdoa kepada Allah
Ta'ala, ia merupakan nama yang disebutkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Nama-
nama tersebut menghendaki adanya pujian terhadapnya dan sanjungan. Sedangkan
ilmu (mengetahui), qudrah (mampu) dan rahmah (sayang) dsb. Merupakan sifat yang di
dalamnya mengandung sifat terpuji, dan nama-nama yang menunjukkannya juga nama-
nama terpuji. Adapun kalam (berbicara) dan iradah (berkehendak) karena ia terbagi ada
yang terpuji, serperti jujur dan adil, dan ada yang tercela seperti zalim dan dusta. Karena
Allah Ta'ala tidaklah disifati kecuali dengan yang terpuji tidak yang tercela, maka telah
ada nama tertentu yang terpuji yang sudah ada di dalamnya sifat berbicara dan
berkehendak, seperti nama-Nya Al Hakim (Maha Terpuji), Ar Rahiim (Maha Penyayang),
Ash Shaadiq (Mahabenar), Al Mu'min (Maha Membenarkan), As Syahiid (Maha
Menyaksikan), Ar Ra'uuf (Maha Penyayang), Al Haliim (Mahasantun), Al Fattah (Maha
Pemberi keputusan) dsb. Oleh karena itu, tidak ada dalam riwayat, bahwa termasuk ke
dalam nama-Nya yang indah adalah Al Mutakallim dan Al Muriid."
[iii] Mencela masa ada tiga keadaan:
- Maksud dalam dirinya adalah sebagai kabar (informasi) semata, bukan mencela. Maka
dalam hal ini dibolehkan. Misalnya seorang berkata, "Kita merasa lelah karena panas
udara di hari ini." Niatnya hanya sebagai informasi saja.
- Mencela masa, karena menganggap bahwa musibah yang menimpanya dilakukan
oleh masa. Menurutnya, bahwa masa yang membolak-balikkan perkara; kepada yang
baik atau yang buruk. Hal ini merupakan syirk akbar, karena keyakinannya bahwa di
samping Allah Ta'ala ada yang mengatur urusan terhadap peristiwa yang terjadi, yaitu
masa.
- Mencela masa, dengan keyakinan bahwa yang melakukannya adalah Allah, akan tetapi
ia mencela masa karena di masa itulah tempat terjadi berbagai peristiwa yang tidak
mengenakkan tersebut. Hal ini hukumnya haram, karena menafikan kesabaran dan
bukan kekufuran, karena ia tidak langsung mencela Allah, kalau langsung mencela Allah
tentu ia kafir. (Diringkas dari fatwa Syaikh Ibnu 'Utsaimin)

5/5
Kaedah Penting Asma'ul Husna (2)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/kaedah-penting-asmaul-husna-2.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang Asma'ul Husna, semoga Allah menjadikannya
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
ُ َ
:‫ر‬ٍ ‫ﻮ‬ْ ‫ﻣ‬ُ ‫ﺔأ‬ َ َ ‫ﺖ ﺛ َﻼ َﺛ‬ ْ َ ‫ﻀ ﻤﻨ‬ َ َ ‫ ﺗ‬,‫ﻌ ﺪ‬ َ َ ‫ﻣﺘ‬ ُ ‫ﻒ‬ ٍ ‫ﺻ‬ ْ ‫و‬ َ ‫ﻋﻠ َﻰ‬ َ ‫ﺖ‬ ْ ‫ن دَﻟ‬ ْ ِ ‫ﻌﺎﻟ َﻰ إ‬ َ َ‫ﻪ ﺗ‬ ِ ‫ﻤ ﺎ ء ُ ا ﻟﻠ‬
َ ‫ﺳ‬ْ ‫ أ‬-3
َ
.‫ﺟ ﻞ‬ َ ‫و‬ َ ‫ﻋﺰ‬ َ ‫ﻪ‬ ِ ‫ﺳ ﻢ ِ ِ ﻟﻠ‬ ْ ِ ‫ﻚ اْﻹ‬ َ ِ ‫ت ذَﻟ‬ ُ ‫ﻮ‬ ْ ُ ‫ ﺛ ُﺒ‬- : ‫ﻫﺎ‬ َ َ ‫ﺣﺪ‬ َ ‫أ‬
.‫ﺟ ﻞ‬ َ ‫و‬ َ ‫ﻋﺰ‬ َ ‫ﻪ‬ ِ ‫ﻬ ﺎ ِ ﻟﻠ‬ َ َ ‫ﻀ ﻤﻨ‬ َ َ ‫ﺔ اﻟﺘ ِﻲ ﺗ‬ ِ ‫ﻔ‬ َ ‫ت اﻟ ﺼ‬ ُ ‫ﻮ‬ ْ ُ ‫ ﺛ ُﺒ‬: ‫اﻟﺜﺎﻧ ِﻲ‬
.‫ﻫ ﺎ‬ َ ‫ﻀﺎ‬ َ َ ‫ﻘﺘ‬ ْ ‫ﻣ‬ ُ ‫و‬ َ ‫ﻬﺎ‬ َ ‫ﻤ‬ ْ
ِ ‫ﺣﻜ‬ ُ ‫ت‬ ُ ‫ﻮ‬ ْ ُ ‫ ﺛ ُﺒ‬: ‫ﺚ‬ َ ِ ‫ا ﻟﺜ ﺎ ﻟ‬
"Nama-nama Allah Ta'ala jika menunjukkan sifat yang muta'addiy (ada objek yang
terkena), maka ada tiga yang dicakupnya:
Pertama, tetapnya nama tersebut bagi Allah Azza wa Jalla.
Kedua, tetapnya sifat yang dikandung dari nama itu bagi Allah Azza wa Jalla
Ketiga, tetapnya hukum dan konsekwensinya.
Berdasarkan kaedah ini, maka ahli ilmu berdalih dengan ayat:
©!$# ​cr& (#þqßJn=÷æ$$sù ( öNÍkö​n=tã (#râ​Ï​ø)s? br& È@ö6s% `ÏB (#qç/$s? ​úïÏ%©!$# ​wÎ)
ÇÌÍÈ ÒO​Ïm§​ Ö​qàÿxî
"Kecuali orang-orang yang bertobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Terj. QS. Al Maa'idah: 34)
untuk menunjukkan gugurnya had terhadap quththaa'uth thariiq (para pengacau
keamanan dan pembajak) ketika mereka bertobat. Hal itu, karena nama-Nya Al Ghafuur
dan Ar Rahiim konsekwensinya menghendaki bahwa Allah Ta'ala telah mengampuni dosa
mereka dan menyayangi mereka dengan menggugurkan had terhadap mereka. Ini
hanyalah contoh untuk cakupan yang ketiga.
Contoh lainnya adalah nama-Nya As Samii' (Allah Maha Mendengar). Nama ini
berdasarkan kaedah di atas mencakup:
1. Menetapkan nama tersebut untuk Allah Azza wa Jalla.
2. Menetapkan sifat mendengar bagi Allah Azza wa Jalla.
3. Menetapkan hukum dan konsekwensinya, yaitu bahwa Dia mendengar semua
suara, baik yang rahasia maupun yang terang-terangan dsb.
**********
َ َ
:‫ﻦ‬ِ ْ ‫ﻣَﺮﻳ‬ ْ ‫ﺖأ‬ ْ َ ‫ﻀ ﻤﻨ‬ َ َ ‫ﻌﺪ ﺗ‬ َ َ ‫ﻣﺘ‬
ُ ‫ﺮ‬ ِ ْ ‫ﻏﻴ‬ َ ‫ﻒ‬ ٍ ‫ﺻ‬ ْ ‫و‬ َ ‫ﻋﻠ َﻰ‬ َ ‫ﺖ‬ ْ ‫ن دَﻟ‬ ْ ِ ‫ﻌﺎﻟ َﻰ إ‬ َ َ‫ﻪ ﺗ‬ ِ ‫ﻤ ﺎ ء ُ ا ﻟﻠ‬
َ ‫ﺳ‬ْ ‫أ‬-4
َ
‫ﺟﻞ‬ َ ‫و‬ َ ‫ﻋﺰ‬ َ ‫ﻪ‬ ِ ‫ﺳ ﻢ ِ ِ ﻟﻠ‬ ْ ِ ‫ﻚ اْﻹ‬ َ ِ ‫ت ذَﻟ‬ ُ ‫ﻮ‬ ْ ُ ‫ ﺛ ُﺒ‬: ‫ﻤﺎ‬ َ ‫ﻫ‬ُ َ ‫ﺣﺪ‬ َ ‫أ‬
‫ﺟﻞ‬ َ ‫و‬ َ ‫ﻋﺰ‬ َ ‫ﻪ‬ ِ ‫ﻬ ﺎ ِ ﻟﻠ‬ َ ْ ‫ﻀﻤﻨ َﺘ‬ َ َ ‫ﺔ اﻟﺘ ِﻲ ﺗ‬ ِ ‫ﻔ‬ َ ‫ت اﻟ ﺼ‬ ُ ‫ﻮ‬ ْ ُ ‫ ﺛ ُﺒ‬: ‫اﻟﺜﺎﻧ ِﻲ‬
"Nama-nama Allah Ta'ala jika menunjukkan sifat yang tidak muta'addiy (tidak ada
1/3
objek), maka mengandung dua hal:
Pertama, menetapkan nama tersebut bagi Allah Azza wa Jalla.
Kedua, menetapkan sifat yang dikandung dari nama itu untuk Allah Azzza wa Jalla.
Contoh kaedah ini adalah nama-Nya Al Hayyyu (Allah Maha Hidup), nama ini
mengandung dua hal; ,menetapkan nama tersebut bagi Allah Azza wa jalla dan
menetapkan sifat hidup bagi Allah Ta'ala.
ْ ْ َ ‫ﻀﻤﻦ‬ َ َ ‫ﻤﻄَﺎﺑ‬ َ ُ َ ‫دﻻ َﻟ‬-5
ِ ‫وﺑ ِﺎﻹ ِﻟﺘ َِﺰام‬ ِ َ ‫وﺑ ِﺎﻟﺘ‬
َ ‫ﺔ‬ِ ‫ﻘ‬ ُ ْ ‫ن ﺑ ِﺎﻟ‬
ُ ‫ﻮ‬ ْ ُ ‫ﻪ ﺗ َﻜ‬
ِ ِ ‫ﻔﺎﺗ‬َ ‫ﺻ‬ِ ‫و‬ ِ ِ ‫ﻋﻠ َﻰ ذَاﺗ‬
َ ‫ﻪ‬ َ ‫ﻌﺎﻟ َﻰ‬ َ َ‫ﻪ ﺗ‬
ِ ‫ء ا ﻟﻠ‬
ِ ‫ﻤﺎ‬
َ ‫ﺳ‬
ْ ‫ﺔأ‬ ِ
"Dilalah (kandungan) nama-nama Allah Ta'ala terhadap dzat dan sifat-Nya ada yang
berupa muthaabaqah, tadhammun dan iltizaam."
Contoh: nama-Nya Al Khaaliq (Allah Maha Pencipta), menunjukkan kepada dzat Allah,
demikian juga menunjukkan sifat mencipta, ini disebut muthaabaqah (artinya:
menunjukkan secara bersamaan), yakni nama tersebut menunjukkan kedua-duanya
secara bersamaan.
Nama-Nya Al Khaaliq juga menunjukkan kepada masing-masingnya; dzat dan sifat
mencipta, yakni nama Al Khaaliq ini sudah mengandung dzat dan mengandung sifat,
inilah yang disebut tadhammun (artinya: terkandung dan sudah termasuk di dalamnya).
Demikian juga bahwa nama-Nya Al Khaaliq menunjukkan adanya sifat ilmu (mengetahui)
dan sifat qudrah (memiliki kemampuan), inilah yang disebjut iltizam (artinya:
menghendaki demikian). Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
â​öDF{$# ãA¨​t\tGt​ £`ßgn=÷WÏB ÇÚö​F{$# z`ÏBur ;Nºuq»oÿx​ yìö6y​ t,n=y{ ​Ï%©!$# ª!$#
ô​s% ©!$# ¨br&ur Ö​​Ï​s% &äóÓx« Èe@ä. 4​n?tã ©!$# ¨br& (#þqçHs>÷ètFÏ9 £`åks]÷​t/
ÇÊËÈ $RHø>Ïã >äóÓx« Èe@ä3Î/ xÞ%tnr&
"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah Berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan
sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." (Ath Thalaaq: 12)
Dilalah iltizam (kandungan yang menghendaki memasukkan bagian lain ke dalamnya),
jika dipelajari sangat bermanfaat bagi penuntut ilmu, yakni apabila ia mencoba
memahami suatu makna dan diberi taufiq oleh Allah Ta'ala berupa pemahaman adanya
iltizam (yang lain ikut terikat), maka dengan memahami iltizam dia dapat mengeluarkan
banyak faedah dari satu dalil.
Faedah:
Ketahuilah, bahwa laazim (sesuatu yang ikut dan menjadi bagian) dari firman Allah Ta'ala
dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila betul lazim adalah memang
hak (benar). Hal itu, karena firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah hak, menempel dengan yang hak memang betul suatu hak (kebenaran).
Yang demikian karena Allah Ta'ala mengetahui hal yang lazim dari firman-Nya dan sabda
Rasul-Nya sehingga memang itulah maksudnya.
**********
ْ َ
‫ﻬﺎ‬
َ ْ ‫ﻓﻴ‬ِ ‫ﻞ‬ِ ‫ﻘ‬ ْ ‫ﻌ‬َ ‫ل ﻟ ِﻠ‬َ ‫ﺠﺎ‬ َ ‫ﻣ‬ َ
َ ‫ﺔﻻ‬ ٌ ‫ﻔﻴ‬ِ ْ ‫ﻗﻴ‬ِ ‫ﻮ‬ْ َ ‫ﻌﺎﻟ َﻰ ﺗ‬ َ َ‫ﻪ ﺗ‬
ِ ‫ﻤ ﺎ ء ُ ا ﻟﻠ‬ ْ ‫أ‬-6
َ ‫ﺳ‬
Nama-nama Allah Ta'ala adalah Tauqifiyyah (diam menunggu dalil), tidak ada ruang
bagi akal di sana.
Oleh karena itu, kita wajib membatasi diri dalam masalah nama-nama dan sifat menurut
apa yang disebutkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah saja. Tidak boleh menambah
maupun mengurangi. Karena akal tidak mungkin dapat menjangkau nama-nama-Nya.

2/3
Dalil kaedah di atas adalah firman Allah Ta'ala:
​@ä. y​#xsàÿø9$#ur u​|Çt7ø9$#ur yìôJ¡¡9$# ¨bÎ) 4 íOù=Ïæ ¾ÏmÎ/ y7s9 }§ø​s9 $tB ß#ø)s? ​wur
ÇÌÏÈ Zwqä«ó¡tB çm÷Ytã tb%x. y7Í´¯»s9'ré&
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya." (Terj. QS. Al Israa': 36)
َ ‫ﻌﺎﻟ َﻰ‬ َ
‫ﻦ‬ٍ ‫ﻌﻴ‬ َ ‫ﻣ‬ ُ ‫ﻌﺪٍَد‬ َ ِ ‫ﻮَرةٌ ﺑ‬ ْ ‫ﺼ‬ُ ‫ﺤ‬ ْ ‫ﻣ‬ َ ‫ﻏﻴ ُْﺮ‬ َ َ‫ﻪ ﺗ‬ِ ‫ﻤ ﺎ ء ُ ا ﻟﻠ‬ َ ‫ﺳ‬ ْ ‫ أ‬-7
"Nama-nama Allah Ta'ala tidak dibatasi dalam jumlah tertentu."
Dalil kaedah ini adalah doa ketika sedih yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam:
ٍ ‫ﺳﻢ‬ ْ ‫ﻚ ﺑ ِﻜ ُﻞ ا‬ َ ُ ‫ﺳﺄ َﻟ‬ َ َ ُ ‫ل ﻓ ﻲ ﻗ َﻀ ﺎ ؤ‬
ْ ‫كأ‬ َ ِ ٌ ْ ‫ﻚ ﻋ َﺪ‬ َ ‫ﻤ‬ ُ ْ ‫ﺣﻜ‬ ُ ‫ض ﻓ ِﻲ‬ ٍ ‫ﻣﺎ‬ َ ‫ك‬ َ ِ ‫ﺻﻴ َﺘ ِﻲ ﺑ ِﻴ َﺪ‬ ِ ‫ﻚ ﻧ َﺎ‬ َ ِ ‫ﻣﺘ‬ َ ‫ك وا ﺑ‬
َ ‫ﻦأ‬ ُ ْ َ َ ِ ‫ﻦ ﻋ َﺒ ْﺪ‬ُ ْ ‫ك وَاﺑ‬َ ُ ‫اﻟﻠﻬُﻢ إ ِﻧﻲ ﻋ َﺒ ْﺪ‬
ْ َ َ َ َ َ
َ َ ‫ﻋﻨ ْﺪ‬
‫ك‬ ِ ‫ﺐ‬ ِ ْ ‫ﻋﻠ ْﻢ ِ اﻟ ْﻐَﻴ‬ِ ‫ت ﺑ ِﻪِ ﻓِﻲ‬ َ ‫ﺳﺘ َﺄﺛ َْﺮ‬ ْ ‫ﻚ أو ِ ا‬ َ ِ ‫ﻪ ﻓِﻲ ﻛ ِﺘ َﺎﺑ‬ ُ َ ‫ﻚ أوْ أﻧ َْﺰﻟ ْﺘ‬ َ ‫ﺧﻠ ِْﻘ‬َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻣ‬ ِ ‫ﺣﺪ ًا‬ َ ‫ﻪأ‬ ُ َ ‫ﻤﺘ‬ َ ‫ﺴ‬
ْ ‫ﻚ أوْ ﻋ َﻠ‬ َ ‫ﺖ ﺑ ِﻪِ ﻧ َْﻔ‬
َ ْ ‫ﺳ ﻤﻴ‬
َ ‫ﻚ‬ َ َ ‫ﻫُﻮَ ﻟ‬
َ
‫ب ﻫَﻤﻲ‬ َ ‫ﺣْﺰﻧ ِﻲ وَذ َﻫَﺎ‬ ُ ‫ﺟَﻼَء‬ ِ َ‫ﺻﺪ ْرِي و‬ َ ‫ن َرﺑ ِﻴﻊَ ﻗَﻠ ْﺒ ِﻲ وَﻧ ُﻮَر‬ َ ‫ﻞ اﻟ ُْﻘْﺮآ‬ َ َ ‫ﺠﻌ‬
ْ َ‫ن ﺗ‬ ْ ‫أ‬
“Ya Allah, sesungguhnya aku hamba-Mu, anak hamba-Mu yang laki-laki, anak hamba-Mu
yang perempuan, ubun-ubunku berada di Tangan-Mu, berlaku kepadaku hukum-Mu, adil
sekali keputusan-Mu. Aku meminta kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu yang Engkau
namai Diri-Mu dengan nama-nama itu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara
makhluk-Mu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau hanya Engkau sendiri
saja yang mengetahuinya dalam ilmu gaib yang ada pada sisi-Mu. Jadikanlah Al Qur’an
penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penghilang sedihku dan keresahanku.” (HR. Ahmad,
Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahiihah no. 199)
Adapun hadits:
َ ‫ﺣ ﺪا ﻣ‬
.«‫ﺔ‬ َ ‫ﺠﻨ‬َ ْ ‫ﻞ اﻟ‬َ ‫ﺧ‬ َ َ ‫ﺼﺎﻫَﺎ د‬ َ ‫ﺣ‬ ْ ‫ﻦأ‬ ْ َ ً ِ ‫ﺔ إ ِﻻ وَا‬ ً َ ‫ﻣﺎﺋ‬ ِ ‫ﻤﺎ‬ ً ‫ﺳ‬ْ ‫ﻦا‬ َ ‫ﺴﻌِﻴ‬ ْ ِ ‫ﺔ وَﺗ‬ ً َ ‫ﺴﻌ‬ ْ ِ ‫» إ ِن ﻟ ِﻠﻪِ ﺗ‬
"Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama; seratus dikurang satu.
Barangsiapa yang mengihsha'nya[1], maka ia akan masuk surga." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Tidaklah menunjukkan bahwa nama-nama Allah hanya terbatas sampai 99. Karena jika
sampai 99, tentu kata-katanya:
ً ‫ﺳ ﻤﺎ‬ َ
ْ ‫نا‬ َ ْ‫ﺴﻌُﻮ‬ ْ ِ ‫ﺔ وَﺗ‬ ٌ َ ‫ﺴﻌ‬ ْ ِ ‫ﻤﺎَء اﻟﻠﻪِ ﺗ‬ َ ‫ﺳ‬ ْ ‫إ ِن أ‬
"Sesungguhnya nama-nama Allah Ta'ala ada 99 nama,..dst."
Atau yang sama seperti itu. Oleh karena itu, lafaz hadits di atas itu sama seperti pada
kata-kata, "Saya memiliki seratus dirham yang saya siapkan untuk sedekah." Hal ini tidaklah
menutup kemungkinan, bahwa ia memiliki beberapa dirham lagi yang disiapkan untuk
selain sedekah.
Demikian juga tidak shahih riwayat yang di sana disebutkan nama-nama Allah Ta'ala,
bahkan nama-nama tersebut merupakan idraaj (selipan) dari perawi.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin.

[1] Yakni mengetahui lafaz dan makna serta beribadah kepada Allah sesuai
konsekwensinya. Ada pula yang mengartikan dengan menghapalnya.
3/3
Kaedah Penting Asmaa'ul Husna (3)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/kaedah-penting-asmaaul-husna-3.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang Asma'ul Husna, semoga Allah menjadikannya
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
Oleh karena hadits yang menyebutkan satu-persatu nama-nama Allah tidak sahih,
bahkan selipan dari perawi, maka para ulama berselisih dalam menyebutkannya. Di
antara ulama yang menyebutkan nama-nama tersebut adalah Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin. Beliau menyimpulkan nama-nama Allah Ta'ala yang ada dalam kitab
Allah, yaitu:
1. Allah
2. Al Ahad (Allah Maha Esa)
3. Al A'laa (Allah Mahatinggi)
4. Al Akram (Allah Mahamulia)
5. Al Ilaah (Allah; Tuhan yang berhak disembah)
6. Al Awwal (yang pertama; yang tidak ada sebelum-Nya segala sesuatu)
7. Al Aakhir (yang terakhir; yang tidak ada setelah-Nya segala sesuatu)
8. Azh Zhaahir (yang tampak; yang tidak ada di atas-Nya segala sesuatu)
9. Al Baathin (yang tidak ada sesuatu di bawah-Nya)
10. Al Baari' (Allah Maha Pencipta)
11. Al Barr (Allah Mahaihsan)
12. Al Bashiir (Allah Maha Melihat)
13. At Tawwab (Allah Maha Penerima tobat)
14. Al Jabbar (Allah Subhaanahu wa Ta'aala mewujudkan kehendak-Nya terhadap
semua makhluk-Nya tanpa ada yang dapat menghalangi)
15. Al Haafizh (Allah Maha Pemelihara)
16. Al Hasiib (Allah Maha Menghisab)
17. Al Hafiizh (Allah Maha Pemelihara)
18. Al Hafii (Allah Mahabaik)
19. Al Haqq (Allah Mahabenar)
20. Al Mubiin (Allah Maha Menerangkan)
21. Al Hakiim (Allah Mahabijaksana)
22. Al Haliim (Allah Maha Penyantun)
23. Al Hamiid (Allah Maha Terpuji)
24. Al Hayy (Allah Maha Hidup)
25. Al Qayyum (Allah Maha Mengurus makhluk-Nya sendiri)
1/6
26. Al Khabiir (Allah Maha Mengetahui)
27. Al Khaaliq (Allah Maha Pencipta)
28. Al Khallaq (Allah Maha Pencipta)
29. Ar Ra'uuf (Allah Mahasayang)
30. Ar Rahmaan (Allah Maha Pemurah)
31. Ar Rahiim (Allah Maha Penyayang)
32. Ar Razzaq (Allah Maha Pemberi rezeki)
33. Ar Raqiib (Allah Maha Pengawas)
34. As Salaam (Allah Maha Pemberi keselamatan)
35. As Samii' (Allah Maha Mendengar)
36. Asy Syaakir (Allah Maha Menyukuri)
37. Asy Syakuur (Allah Maha Mensyukuri)
38. Asy Syahiid (Allah Maha Menyaksikan)
39. Ash Shamad (Allah, Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu)
40. Al 'Aalim (Allah Maha Mengetahui)
41. Al 'Aziiz (Allah Maha Perkasa)
42. Al 'Azhiim (Allah Maha Agung)
43. Al 'Afuww (Allah Maha Memaafkan)
44. Al 'Aliim (Allah Maha Mengetahui)
45. Al 'Aliiy (Allah Mahatinggi)
46. Al Ghaffar (Allah Maha Pengampun)
47. Al Ghafuur (Allah Maha Pengampun)
48. Al Ghaniyy (Allah Mahakaya)
49. Al Fattah (Allah Maha hakim, Dia yang memutuskan masalah di antara hamba-
hamba-Nya)
50. Al Qaadir (Allah Mahakuasa)
51. Al Qaahir (Allah Mahaberkuasa)
52. Al Quddus (Allah Maha bersih dan Suci dari segala aib dan kekurangan)
53. Al Qadiir (Allah Mahakuasa)
54. Al Qariib (Allah Mahadekat)
55. Al Qawiyy (Allah Mahakuat)
56. Al Qahhar (Allah Maha Berkuasa)
57. Al Kabiir (Allah Mahabesar)
58. Al Kariim (Allah Mahamulia)
59. Al Lathiif (Allah Mahalembut dan Mahahalus)
60. Al Mu'min (Allah Maha Pemberi keamanan)
61. Al Muta'aaliy (Allah Maha Tinggi)
62. Al Mutakabbir (Allah Maha bersih dari keburukan, kekurangan dan cacat karena
kebesaran dan keagungan-Nya, Dia memiliki segala keagungan)
63. Al Matiin (Allah Maha Kokoh)
64. Al Mujiib (Allah Maha Mengabulkan)
65. Al Majiid (Allah Maha Mulia)
66. Al Muhiith (Allah Maha Meliputi)
67. Al Mushawwir (Allah Maha Membentuk)

2/6
68. Al Muqtadir (Allah Mahakuasa)
69. Al Muqiit (Allah Maha Pencipta makanan)
70. Al Malik (Allah Maha Raja)
71. Al Maliik (Allah Maha Menguasai)
72. Al Maulaa (Allah Maha Pelindung)
73. Al Muhaimin (Allah Maha Pengawas dan Pemelihara)
74. An Nashiir (Allah Maha Pembela)
75. Al Waahid (Allah Mahaesa)
76. Al Waarits (Allah Maha Mewariskan)
77. Al Waasi' (Allah Mahaluas)
78. Al Waduud (Allah Mahacinta)
79. Al Wakiil (Allah yang diserahkan kepada-Nya segala urusan)
80. Al Waliiy (Allah Maha Pelindung)
81. Al Wahhab (Allah Maha Pemberi)

Sedangkan dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:


82. Al Jamiil (Allah Mahaindah)

Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:


.«‫ل‬َ ‫ﻤﺎ‬ َ ْ ‫ﺤ ﺐ اﻟ‬
َ ‫ﺠ‬ ٌ ‫ﻤﻴ‬
ِ ُ‫ﻞ ﻳ‬ ِ ‫ﺟ‬ َ ‫» إ ِن اﻟﻠ‬
َ ‫ﻪ‬
"Sesungguhnya Allah Mahaindah, Dia menyukai keindahan." (HR. Muslim dan Tirmidzi)
83. Al Jawwad (Allah Maha Pemberi)

Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:


َ
‫ﺴﺎﻓَﻬَﺎ‬ َ ُ ‫ق وَ ﻳ َﻜ َْﺮه‬
َ ‫ﺳْﻔ‬ ْ ‫ﻲ اْﻷ‬
ِ َ ‫ﺧﻼ‬ َ ِ ‫ﻣﻌَﺎﻟ‬
َ ‫ﺤﺐ‬ ُ ْ ‫ﺤ ﺐ اﻟ‬
ِ ُ ‫ﺠﻮْد َ وَ ﻳ‬ َ ‫ﻪ ﺗ َﻌَﺎﻟ َﻰ‬
ِ ُ ‫ﺟ ﻮا د ٌ ﻳ‬ َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah Ta'aala Maha Pemberi, Dia suka memberi, Dia menyukai akhlak
yang mulia dan membenci akhlak yang rendah." (HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman dari
Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Nu'aim dari Ibnu Abbas, dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani no. 1744 dalam Shahihul Jaami')
84. Al Hakam (Allah Penyelesai masalah)

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:


....‫ﻢ‬ َ ْ ‫ﻪ ﻫُﻮَ اﻟ‬
ُ َ ‫ﺤﻜ‬ َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah adalah Al Hakam…dst." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i, dishahihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' (2615))
85. Al Hayiy (Allah Maha Malu)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


ٌ ْ ‫ﺣﻴ ِﻲ ﻛ َﺮِﻳ‬
‫ﻢ‬ َ ‫ﻪ‬
َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Mulia." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu
Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah (3117))
86. Ar Rabb (Allah Pengurus alam semesta)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


َ ‫ﻓَﺄ َﻣﺎ اﻟﺮﻛ ُﻮع ُ ﻓَﻌﻈﻤﻮا ﻓﻴﻪ اﻟﺮب ﻋ َﺰ وﺟﻞ وأ َﻣﺎ اﻟﺴﺠﻮد ﻓَﺎﺟﺘﻬﺪوا ﻓﻰ اﻟﺪﻋ َﺎِء ﻓََﻘﻤ‬
ْ ُ ‫ب ﻟ َﻜ‬
.«‫ﻢ‬ َ ‫ﺠﺎ‬
َ َ ‫ﺴﺘ‬
ْ ُ‫ن ﻳ‬
ْ ‫ﻦأ‬ٌ ِ ِ ُ َِ ْ ُ ُ َ َ َ ِ ِ ُ َ
"Adapun ketika ruku', maka agungkanlah Tuhanmu Azza wa Jalla di sana, sedangkan
3/6
ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat layak kamu
akan dikabulkan." (HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i)
87. Ar Rafiiq (Allah Mahalembut)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


ِ‫ﻣﺮِ ﻛ ُﻠﻪ‬ َ
ْ ‫ﺤ ﺐ ا ﻟ ﺮ ﻓ ْﻖ َ ﻓ ِﻰ ا ﻷ‬
ِ ُ ‫ﻪ َرﻓِﻴﻖٌ ﻳ‬
َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah Mahalembut, menyukai kelembutan dalam segala sesuatu." (HR.
Bukhari dan Muslim)
88. As Suubuh (Allah Mahasuci dari segala keburukan)

Dalilnya ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ruku' dan sujud:
َ ْ ‫س َرب اﻟ‬
. « ‫ﻤﻼ َﺋ ِﻜ َﺔِ وَاﻟﺮوِح‬ ٌ ‫ح ﻗُﺪو‬ ُ »
ٌ ‫ﺳﺒ ﻮ‬
"Maha Suci Allah dan Maha Bersih, Tuhan para malaikat dan malaikat Jibril." (HR. Muslim,
Abu Dawud dan Nasa'i)
89. As Sayyid (semua ketinggian berpulang kepada Allah)

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:


‫ك وَﺗ َﻌَﺎﻟ َﻰ‬ ُ ‫ا َﻟﺴﻴﺪ ُ اﻟﻠ‬
َ ‫ﻪ ﺗ َﺒ َﺎَر‬
"As Sayyid adalah Allah Tabaaraka wa Ta'aala." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa'i
dalam Amalul yaumi wal lailah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami'
no. 3700)
90. Asy Syaafiy (Allah Maha Penyembuh)

Dalilnya adalah doa yang diucapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
orang yang sakit:
. « ً ‫ﺳَﻘﻤﺎ‬ َ َ
َ ‫ﺷَﻔﺎًء ﻻ َ ﻳ ُﻐﺎد ُِر‬ َ ُ ‫ﺷَﻔﺎؤ‬
ِ ،‫ك‬ ِ َ ‫ﺖ ا ﻟ ﺸ ﺎ ﻓ ِﻰ ﻻ‬
ِ ‫ﺷَﻔﺎَء إ ِﻻ‬ َ ْ ‫ﻒ وَأﻧ‬ ْ ‫ا‬،‫س‬
ِ ‫ﺷ‬ َ ‫ﺐ اﻟ ْﺒ َﺎ‬
ِ ‫س َرب اﻟﻨﺎ‬ ِ ِ ‫» أذ ْﻫ‬
"Hilangkanlah sakit wahai Tuhan manusia. Sembuhkanlah, Engkau-lah Penyembuh; tidak
ada kesembuhan selain kesembuhan-Mu, kesembuhan dari-Mu merupakan
kesembuhan yang tidak meninggalkan sakit." (HR. Bukhari dan Muslim)
91. Ath Thayyib (Allah Mahabaik)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


‫ﻞ إ ِﻻ ﻃ َﻴﺒ ًﺎ‬ ٌ ‫ﻪ ﻃ َﻴ‬
ُ َ ‫ﺐ ﻻ َ ﻳ َْﻘﺒ‬ َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik." (HR. Muslim dan
Tirmidzi)
92. Al Qaabidh (Allah Maha Menyempitkan).
93. Al Baasith (Allah Maha Melapangkan)

Dalil kedua nama di atas adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
ُ ‫ﺳ‬
‫ﻂ‬ ِ ‫ﺾ اﻟ ْﺒ َﺎ‬
ُ ِ ‫ﺴﻌُﺮ اﻟ َْﻘﺎﺑ‬ ُ ْ ‫ﻪ ﻫُﻮَ اﻟ‬
َ ‫ﻤ‬ َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah adalah yang menetapkan harga, yang menyempitkan rezeki dan
melapangkan." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Al Haafizh berkata dalam At
Talkhiish, "Isnadnya sesuai syarat Muslim, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan
Tirmidzi," dishahihkan pula hadits ini oleh Syaikh Al Albani dalam Al Misykaat (2894))
94. Al Muqaddim (Allah Maha Mengawalkan)
95. Al Mu'akhkhir (Allah Maha Mengakhirkan)
4/6
Dalilnya adalah doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang di sana terdapat kata-
kata:
َ َ
ُ ْ ‫ﺖ اﻟ‬
‫ﻤﺆ َﺧُﺮ‬ َ ْ ‫م وَأﻧ‬ ُ ْ ‫ﺖ اﻟ‬
ُ ‫ﻤَﻘﺪ‬ َ ْ ‫أﻧ‬
"…Engkau yang mendahulukan dan mengakhirkan." (HR. Muslim, Tirmidzi dan Nasa'i dari
hadits Ali radhiyallahu 'anhu, Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Musa, Bukhari
meriwayatkan juga dari hadits Ibnu Abbas)
96. Al Muhsin (Allah Maha Berbuat baik)

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:


َ
‫ﺴﻨ ُﻮا‬ ْ ‫ﻦ ﻓَﺄ‬
ِ ‫ﺣ‬ ٌ ‫ﺴ‬
ِ ‫ﺤ‬ ُ ‫ﻪ ﺗ َﻌَﺎﻟ َﻰ‬
ْ ‫ﻣ‬ َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah muhsin, maka berbuat ihsanlah." (HR. Ibnu 'Addiy dari Samurah,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami' no. 1823)
97. Al Mu'thiy (Allah Maha Pemberi)

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:


َ
‫ﻢ‬ ِ ‫ﻲ وَأﻧ َﺎ اﻟ َْﻘﺎ‬
ُ ‫ﺳ‬ ُ ْ ‫ﻪ اﻟ‬
َ ِ ‫ﻤﻌْﻄ‬ ُ ‫و َ اﻟﻠ‬
"Allah-lah yang memberi, adapun saya hanya membagi-bagikan." (HR. Bukhari dan
Muslim)
98. Al Mannan (Allah Maha Pemberi)

Di dalam doa Ismul A'zham –di mana apabila seseorang berdo'a dengannya akan
dikabulkan- disebutkan:
‫ن‬ َ ْ ‫ﺖ اﻟ‬
ُ ‫ﻤﻨﺎ‬
َ
َ َ ‫ﻤﺪ ُ ﻻ َ إ ِﻟ‬
َ ْ ‫ﻪ إ ِﻻ أﻧ‬ َ َ ‫ﻚ ﺑ ِﺄ َن ﻟ‬
َ ْ ‫ﻚ اﻟ‬
ْ ‫ﺤ‬ َ ُ ‫ﺳﺄ َﻟ‬ َ
ْ ‫ا َﻟﻠﻬُﻢ إ ِﻧﻲ أ‬
"Ya Allah, sesungguhnya Aku meminta kepada-Mu, di mana untuk-Mulah segala puji,
tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau… dst." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasa'i dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah
(3112))
99. Al Witr (Allah Mahaesa)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


‫ﺤﺐ اﻟ ْﻮَﺗ َْﺮ‬
ِ ُ ‫وَﻫْﻮَ وَﺗ ٌْﺮ ﻳ‬
"Allah adalah witr (Esa), Dia menyukai yang ganjil." (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Ibnu 'Utsaimin setelah menyebutkan nama-nama di atas berkata, "Inilah yang
kami pilih setelah menggalinya; 81 ada dalam kitab Allah dan 18 ada dalam sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun kami masih ragu-ragu dalam
memasukkan nama Al Hafiy, karena nama tersebut disebutkan dengan ditaqyid
(dibatasi), yaitu pada firman Allah Ta'ala menyebutkan tentang (perkataan) Nabi Ibrahim:
ÇÍÐÈ $|​Ïÿym ​Î1 ​c%x. ¼çm¯RÎ) (
(Berkata Ibrahim), "Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku." (Terj. QS. Maryam: 47)
Demikian juga nama Al Muhsin, karena kami belum melihat para perawinya dalam
(Mu'jam) Thabrani, namun Syaikhul Islam menyebutkannya termasuk nama-nama-Nya
(Asmaa'ul Husna). Kemudian saya menemukannya dalam Mushannaf Abdurrazzaq (Juz
4/492/ no. 8603) dari Syaddad bin Aus dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam[1]."
Ia juga berkata, "Dan di antara nama-nama Allah Ta'ala ada yang diidhafatkan
(dihubungkan), misalnya Maalikul mulki Dzil Jalaali wal Ikraam." (Al Qawaa'idul Mutsla hal.

5/6
25 cet. Maktabah Al 'Ilm)
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin.

[1] Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami' (1824).

6/6
Kaedah Penting Asma'ul Husna (4)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/kaedah-penting-asmaul-husna-4.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 4)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang Asma'ul Husna, semoga Allah menjadikannya
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
َ َ
:‫ع‬ٌ ‫ﻮا‬ َ ْ ‫ﻮ أﻧ‬َ ‫ﻫ‬ُ ‫و‬ َ :‫ﻬ ﺎ‬ َ ْ ‫ﻓﻴ‬ِ ‫ﺐ‬ ُ ‫ﺠ‬ ِ َ ‫ﻋ ﻤﺎ ﻳ‬َ ‫ﻬﺎ‬ َ ِ‫ﻞ ﺑ‬ ُ ْ ‫ﻤﻴ‬َ ْ ‫ﻮ اﻟ‬ َ ‫ﻫ‬ ُ ‫ﻌﺎﻟ َﻰ‬ َ َ‫ﻪ ﺗ‬ ِ ‫ء ا ﻟﻠ‬ ِ ‫ﻤﺎ‬ َ ‫ﺳ‬ ْ ‫ﻓﻲ أ‬ َ ْ ‫ اْﻹ ِﻟ‬-8
ِ ُ ‫ﺤﺎد‬
َ َ َ ُ ‫ا َْﻷو‬
ِ ‫ﺣﻜ َﺎم‬ ْ ‫واْﻷ‬ َ ‫ت‬ ِ ‫ﻔﺎ‬ َ ‫ﻦ اﻟ ﺼ‬ َ ‫ﻣ‬ ِ ‫ﻪ‬ ِ ْ ‫ﻋﻠ َﻴ‬ َ ‫ﺖ‬ ْ ‫ﻣﻤﺎ دَﻟ‬ ِ ‫و‬ْ ‫ﻬﺎ أ‬َ ْ ‫ﻣﻨ‬ِ ً ‫ﺷﻴ ْﺌﺎ‬ َ ‫ن ﻳ ُﻨ ْﻜ َِﺮ‬ ْ ‫أ‬:‫ل‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﻗﻴ ْـ‬ ِ ‫ﻮ‬ْ ُ ‫ﺨﻠ‬ ْ ‫ﻤ‬ َ ‫ت اْﻟ‬ َ ‫ﻔﺎ‬ َ ‫ﺻ‬ ِ ‫ﻪ‬ ُ ‫ﺸﺎِﺑ‬ َ ‫ت ُﺗ‬ ِ ‫ﻔـﺎ‬ َ ‫ﺻ‬ ِ ‫ﻋَﻠﻰ‬ َ ‫ﺔ‬ٌ ‫داﻟـ‬ َ ‫ﻬﺎ‬َ ‫ﻌَﻠ‬ َ ‫ﺠ‬ ْ ‫ن َﻳ‬ ْ ‫ َأ‬: ‫و اﻟﺜﺎِﻧﻲ‬ َ
َ َ َ
‫ﻪ‬ُ ‫ﺴ‬ َ ‫ﻔ‬ ْ َ‫ﻪ ﻧ‬ ِ ِ ‫ﺴﻢ ﺑ‬ َ ُ‫ﻢ ﻳ‬ ْ ‫ﻤﺎ ﻟ‬ َ ِ ‫ﻌﺎﻟ ﻰ ﺑ‬ َ َ‫ﻪ ﺗ‬ُ ‫ﺴ ﻤ ﻰ ا ﻟﻠ‬ َ ُ‫ن ﻳ‬ْ ‫أ‬:‫ﺚ‬ ُ ِ ‫ا ﻟﺜ ﺎ ﻟ‬
َْ َ َ َ
ِ ‫ﺻﻨ َﺎم‬ ْ ‫ﻤـﺎءٌ ﻟ ِﻸ‬ َ ‫ﺳ‬ ْ ‫ﻪأ‬ ِ ‫ﻤﺎﺋ ِـ‬ َ ‫ﺳ‬ ْ ‫ﻦأ‬ ْ ‫ﻣ‬ ِ ‫ﺸﺘ َـﻖ‬ ْ ُ‫ن ﻳ‬ ْ ‫أ‬:‫ﻊ‬ ُ ِ ‫اﻟ ﺮاﺑ‬
"Ilhad dalam nama-nama Allah Ta'ala maksudnya adalah menyimpang dari yang
seharusnya dilakukan, ia terbagi menjadi beberapa macam:
Pertama, mengingkari salah satu nama-nama Allah atau sifat[1] dan hukum[2] yang
ditunjukkan olehnya.
Kedua, menjadikan nama-nama itu menunjukkan sifat yang serupa dengan makhluk.
Ketiga, menamai Allah Ta'ala dengan nama yang tidak diberikan Allah Ta'ala kepada
Diri-Nya.
Keempat, memunculkan dari nama-nama Allah Ta'ala beberapa nama untuk
berhala[3]."
Contoh penyimpangan pertama adalah seperti yang dilakukan oleh ahlut ta'thil dari
kalangan Jahmiyyah dan lainnya.
Mengingkari nama-nama Allah Ta'ala, sifat atau hukum yang ditunjukkan dikatakan
sebagai ilhad (penyimpangan), karena kita diwajibkan beriman kepadanya dan beriman
kepada hukum atau sifat yang layak bagi Allah Ta'ala yang ditunjukkan dari nama-nama
tersebut. Oleh karena itu, mengingkarinya merupakan penyimpangan.
Contoh penyimpangan kedua adalah seperti yang dilakukan oleh kaum musyabbihah
(yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). Hal itu, karena tasybih (serupa)
merupakan kandungan batil yang tidak mungkin ditunjukkan oleh nash-nash, bahkan
nash-nash yang datang malah membatalkannya. Dengan demikian menyerupakan sifat
Allah Ta'ala dengan sifat makhluk-Nya merupakan penyimpangan.
Contoh penyimpangan ketiga adalah menamai Allah Ta'ala dengan nama yang Allah tidak
menamai Diri-Nya dengan nama itu. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani
yang menamai Allah Ta'ala dengan nama "Bapak" atau yang dilakukan oleh ahli filsafat
yang menamai Allah Ta'ala dengan nama "Illat faa'ilah" (sebab yang memiliki pengaruh).
Hal itu, karena nama-nama Allah Ta'ala tauqifiyyah (menunggu dalil). Oleh karena itu,
menamai Allah Ta'ala dengan nama yang dibuat mereka (orang-orang Nasrani dan Ahli
1/5
Filsafat) merupakan sebuah kebatilan.
Contoh penyimpangan yang keempat adalah memunculkan dari nama-nama Allah
tersebut beberapa nama untuk berhala seperti yang dilakukan oleh orang-orang
musyrik, dimana mereka memberi nama berhala mereka Uzza dari kata Al Aziiz dan
Laata dari kata Al Ilaah.
Semua contoh di atas merupakan bentuk ilhad (penyimpangan) dan hukumnya haram.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, "Hanya milik Allah Asmaa-ul husna, maka
berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang
yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya[4]. nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Terj. QS. Al A'raaf: 180)
Faedah:
Bolehkah menamai makhluk dengan salah satu nama Allah Ta'ala?
Jawab: Perlu diketahui bahwa nama-nama Allah Ta'ala ada yang khusus bagi Allah Ta'ala
saja, di mana tidak boleh menamai makhluk dengannya. Contohnya: Allah, Ar Rahmaan,
Al Khaaliq (yang mencipta), Al Baari' (Yang mencipta sesuatu tanpa cacat) dan Al Qayyum
(yang mengurus makhluk-Nya sendiri). Nama-nama ini tidak menerima adanya syarikah
(keikutsertaan yang lain).
Lalu bagaimana dengan nama-nama Allah selain di atas? Dalam hal ini ada perincian
sbb.:
1. Jika seseorang menamai orang lain dengan nama-nama tersebut [5] ada niat dalam
hatinya karena sama sifat orang itu dengan sifat dari nama Allah tersebut, maka tidak
boleh, baik diawali dengan kata "Al" (menunjukkan ma'rifat) maupun tidak.
2. Jika tidak ada niat dalam hatinya sifat dari nama tersebut, maka boleh meskipun
diawali dengan "Al".
**********
‫ه‬
ِ ‫ﻮ‬
ْ ‫ﺟ‬
ُ ‫ﻮ‬ ْ
ُ ‫ﻦ اﻟ‬
َ ‫ﻣ‬
ِ ‫ﻪ‬
ٍ ‫ﺟ‬
ْ ‫ﻮ‬
َ ِ ‫ﻬﺎ ﺑ‬
َ ْ ‫ﻓﻴ‬
ِ ‫ﺺ‬ ْ َ‫ل ﻻ َ ﻧ‬
َ ‫ﻘ‬ ٍ ‫ﻤﺎ‬َ َ‫ت ﻛ‬ َ ‫ﺻ‬
ُ ‫ﻔﺎ‬ َ ‫ﻪ ﻛ ُﻠ‬
ِ ‫ﻬﺎ‬ ِ ‫ت ا ﻟﻠ‬
ُ ‫ﻔﺎ‬ ِ 9
َ ‫ﺻ‬
"Sifat Allah semuanya adalah sifat sempurna yang tidak ada kekurangan dari berbagai
sisi."
Sifat-sifat Allah itu misalnya sifat hayat (hidup), ilmu (mengetahui), qudrah (mampu),
sam' (mendengar), bashar (melihat), rahmah (sayang), 'izzah (perkasa), hikmah
(bijaksana), 'uluw (tinggi), 'azhamah (agung) dsb.
Kaedah ini didasari oleh dalil sam'i (wahyu), 'aqli (akal) maupun fitrah.
Dalil sam'inya adalah firman Allah Ta'ala:
"Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk;
dan Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi; dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana." (Terj. QS. An Nahl: 60)
Dalil 'aqlinya adalah karena semua yang ada hakikatnya pasti memiliki sifat, baik sifat
tersebut sempurna maupun memiliki kekurangan. Namun tidak mungkin bagi Allah
Ta'ala memiliki sifat kekurangan. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala
menyatakan batilnya penyembahan kepada berhala atau lainnya selain Allah Ta'ala,
karena mereka semua memiliki kekurangan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun,
sedangkan berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.--(Berhala-berhala itu) benda mati tidak
hidup, dan berhala-berhala tidak mengetahui kapankah penyembah-penyembahnya akan

2/5
dibangkitkan." (Terj. QS. An Nahl: 20-21)
Kita juga melihat dan menyaksikan bahwa pada makhluk ciptaan Allah ada yang memiliki
sifat sempurna, yang demikian merupakan pemberian dari Allah Ta'ala. Jika sifat seperti
itu pada makhluk, maka yang memberikan sifat sempurna itu, yaitu Allah Ta'ala tentu
lebih sempurna lagi.
Sedangkan dalil fitrah adalah karena manusia diciptakan di atas fitrah mencintai Allah,
mengagungkan-Nya dan menyembah kepada-Nya. Oleh karena itu, mereka merasakan
bahwa yang disembah, dicintai dan diagungkan adalah Allah yang memiliki sifat
sempurna yang layak bagi-Nya.
Demikian juga mustahil ada sifat kekurangan ada bagi Allah Ta'ala seperti mati, bodoh,
lupa, lemah, buta, tuli dsb. Allah Ta'ala berfirman tentang Diri-Nya:
4 ×PöqtR ​wur ×puZÅ​ ¼çnä​è{ù's? ​w 4 ãPq​​s)ø9$# ​ÓyÕø9$# uqèd ​wÎ) tm»s9Î) Iw ª!$#
​wÎ) ÿ¼çny​YÏã ßìxÿô±o​ ​Ï%©!$# #s​ `tB 3 ÇÚö​F{$# ​Îû $tBur ÏNºuq»yJ¡¡9$# ​Îû $tB ¼çm©9
&äóÓy´Î/ tbqäÜ​Åsã​ ​wur ( öNßgxÿù=yz $tBur óOÎg​Ï​÷ ​r& ​ú÷üt/ $tB ãNn=÷èt​ 4 ¾ÏmÏRø​Î*Î/
​wur ( uÚö​F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# çm​​Å​ö​ä. yìÅ​ur 4 uä!$x© $yJÎ/ ​wÎ) ÿ¾ÏmÏJù=Ïã ô`ÏiB
ÇËÎÎÈ ÞO​Ïàyèø9$# ​Í?yèø9$# uqèdur 4 $uKßgÝàøÿÏm ¼çnß​qä«t​
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus
menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa
yang di langit dan di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-
Nya? Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka
tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah
meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah
Mahatinggi lagi Mahabesar." (Terj. QS. Al Baqarah: 255)
Bahkan Allah Ta'ala akan menimpakan hukuman kepada orang-orang yang menyifati
Allah Ta'ala dengan sifat kekurangan, firman-Nya:
$oÿÏ3 (#qãYÏèä9ur öNÍk​É​÷ ​r& ôM¯=äî 4 î's!qè=øótB «!$# ß​t​ ß​qåku​ø9$# ÏMs9$s%ur
4 âä!$t±o​ y#ø​x. ß,ÏÿYã​ Èb$tGsÛqÝ¡ö6tB çn#y​t​ ö@t/ ¢ (#qä9$s%
Orang-orang Yahudi berkata, "Tangan Allah terbelenggu," sebenarnya tangan merekalah
yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu.
(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia
kehendaki."(Terj. QS. Al Maa'idah: 64)
Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga menyucikan Diri-Nya dari segala sifat kekurangan,
firman-Nya:
ÇÊÑÉÈ ​cqàÿÅÁt​ $¬Hxå Ío¨​Ïèø9$# Éb>u​ y7În/u​ z`»ysö6ß​
"Mahasuci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan." (Ash
Shaaffaat: 180)
¥m»s9Î) ​@ä. |=yds%©! #]​Î) 4 >m»s9Î) ô`ÏB ¼çmyètB ​c%​2 $tBur 7$s!ur `ÏB ª!$# x​s​ªB$# $tB
ÇÒÊÈ ​cqàÿÅÁt​ $£Jtã «!$# z`»ysö6ß​ 4 <Ù÷èt/ 4​n?tã öNßgàÒ÷èt/ ​xyès9ur t,n=y{ $yJÎ/
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-
Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, tentu masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk
yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang
lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu," (Terj. QS. Al Mu'minuun: 91)
Faedah:
Jika sebuah sifat dalam satu keadaan merupakan sebuah sifat sempurna dan pada

3/5
keadaan lain merupakan sifat kekurangan, maka tidak boleh menetapkan untuk Allah
Ta'ala secara mutlak dan tidak pula dinafikan secara mutlak. Bahkan dalam hal ini perlu
ada perincian, bisa ditetapkan untuk Allah Ta'ala dalam keadaan yang menjadikan sifat
itu sebagai sifat sempurna dan bisa dinafikan dalam keadaan yang menjadikan sifat
tersebut jika dimiliki sebagai sifat kekurangan. Contoh dalam masalah ini adalah sifat
makar, kaid (tipu daya), khudaa' (menipu) dsb. Sifat-sifat tersebut menjadi sifat
sempurna dalam keadaan "jika menghadapi orang-orang yang melakukan perbuatan
seperti itu", karena yang demikian menunjukkan bahwa yang memilikinya juga memiliki
kemampuan untuk membalas musuhnya dengan melakukan tindakan yang sama atau
lebih, dan sifat tersebut tentu akan menjadi sifat kekurangan dalam keadaan selain ini.
Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak menyebutkan sifat-sifat tersebut
secara mutlak, bahkan disebutkan untuk menghadapi orang-orang yang seperti itu,
firman-Nya:
ÇÌÉÈ tûïÌ​Å6»yJø9$# ç​ö​y z ª!$#ur ( ª!$# ã​ä3ôJt​ur tbrã​ä3ôJt​ur 4
"Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik
pembalas tipu daya." (Terj. QS. Al Anfaal: 30)
öNßgããÏ​»yz uqèdur ©!$# tbqããÏ​»s​ä​ tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# ¨bÎ)
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan
mereka." (Terj. QS. An NIsaa': 142)
Namun Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak menyebutkan bahwa Diri-Nya akan
mengkhianati orang-orang yang berkhianat kepada-Nya, firman-Nya:
ª!$#ur 3 öNåk÷]ÏB z`s3øBr'sù ã@ö6s% `ÏB ©!$# (#qçR$yz ô​s)sù y7tGtR$u​Åz (#rß​​Ì​ã​ bÎ)ur
ÇÐÊÈ íO​Å3ym íO​Î=tæ
"Akan tetapi jika mereka (tawanan-tawanan itu) bermaksud hendak berkhianat kepadamu,
maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada Allah sebelum ini, lalu Allah
menjadikan(mu) berkuasa terhadap mereka. Dan Allah Maha mengetahui lagi
Mahabijaksana." (Terj. QS. Al Anfaal: 71)
Pada ayat tersebut Allah Ta'ala berfirman "Lalu Allah menjadikan(mu) berkuasa terhadap
mereka." Dan tidak berfirman "Lalu Allah mengkhianati mereka." Hal itu karena khianat
merupakan tipuan ketika sedang dipercaya, ia merupakan sifat tercela secara mutlak.
Dari sini kita mengetahui mungkarnya perkataan sebagian orang awam "Allah akan
mengkhianati orang-orang yang berkhianat kepada-Nya."
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin.

[1] Yakni menetapkan nama-nama bagi Allah Ta'ala, namun mengingkari sifat dari nama-
nama itu seperti yang dilakukan oleh kaum Mu'tazilah, di mana mereka berkata, "Allah
adalah 'aliim bilaa 'ilm," (mengetahui tanpa adanya pengetahuan). Mahasuci Allah Ta'ala
dari yang demikian.
[2] Yang dimaksud "hukum" di sini adalah atsar (bekas) atau konsekwensi dari nama
yang muta'addiy (memiliki objek) sebagaimana diterangkan dalam kaedah ketiga.
4/5
Contoh dalam hukum (atsar dan konsekwensinya) adalah seperti yang dilakukan oleh
kaum Mu'tazilah yang menetapkan nama bagi Allah Ta'ala, namun mengingkari sifat,
mereka menetapkan atsar dari nama itu seperti "Allah Mengetahui" namun mereka tidak
menetapkan sifat ilmu (mengetahui) bagi Allah Ta'ala.
[3] Seperti yang dilakukan oleh kaum musyrik.
[4] Maksudnya: janganlah dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan nama-
nama yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan keagungan Allah, atau dengan memakai
asmaa-ul husna, tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan
Asmaa-ul husna untuk nama-nama selain Allah.
[5] Yakni nama-nama selain yang menerima syarikah (keikut sertaan).

5/5
Kaedah Penting Asma'ul Husna (5)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/kaedah-penting-asmaul-husna-5.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 5)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang Asma'ul Husna, semoga Allah menjadikannya
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
َْ َ
‫ء‬
ِ ‫ﻤﺎ‬
َ ‫ﺳ‬ْ ‫ب اﻷ‬ ِ ‫ﻦ ﺑ َﺎ‬ْ ‫ﻣ‬ِ ‫ﻊ‬ ُ ‫ﺳ‬
َ ‫و‬
ْ ‫تأ‬ ِ ‫ﻔﺎ‬َ ‫ب اﻟ ﺼ‬ ُ ‫ ﺑ َﺎ‬-10
"Masalah sifat lebih luas daripada masalah nama."
Hal itu, karena setiap nama sudah mengandung sifat. Sifat lebih luas, karena di antara
sifat itu ada yang terkait dengan perbuatan Allah Ta'ala, sedangkan perbuatan Allah
Ta'ala tidak ada batasnya sebagaimana firman-Nya juga tidak ada batasnya. Allah Ta'ala
berfirman:
¾ÍnÏ​÷ èt/ .`ÏB ¼çn​​ßJt​ ã​óst7ø9$#ur ÒO»n=ø%r& >ot​y fx© `ÏB ÇÚö​F{$# ​Îû $yJ¯Rr& öqs9ur
ÇËÐÈ ÒO​Å3ym î​​Ì​tã ©!$# ¨bÎ) 3 «!$# àM»yJÎ=x. ôNy​ÏÿtR $¨B 9​çtø2r& èpyèö7y​
"Dan sekiranya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan
kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan)
kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (Terj. QS. Luqman:
27)
Di antara contohnya adalah bahwa di antara sifat Allah Ta'ala adalah Al Majii' (datang), Al
Ityaan (datang), Al Akhdzu (menyiksa), Al Imsaak (menahan), Al Batsy (menghukum), Al
Iradah (menghendaki)[1], An Nuzul (turun) [2] dan lainnya.
Dengan demikian, kita menyifati Allah Ta'ala dengan sifat-sifat tersebut berdasarkan
dalil-dalil yang ada, namun kita tidak menamai Allah dengan sifat-sifat tersebut. Oleh
karena itu, kita tidak menamai-Nya dengan nama Al Jaa'iy (yang datang), Al Muriid (yang
berkehendak) dsb.
**********
‫ﺔ‬ ْ
ٍ ‫ﺳﻠﺒ ِﻴ‬َ ‫و‬َ ‫ﺔ‬ ْ ُ ‫ ﺛ ُﺒ‬: ‫ﻦ‬
ٍ ‫ﻮﺗ ِﻴ‬ ِ ‫ﻢ إ ِﻟ َﻰ‬ َ ْ ‫ﻪ ﺗ َﻨ‬ ِ -11
َ ‫ﺻ‬
ِ ْ ‫ﻤﻴ‬
َ ‫ﺴ‬ْ ‫ﻗ‬ ُ ‫ﺴ‬ِ ‫ﻘ‬ ِ ‫ت ا ﻟﻠ‬ ُ ‫ﻔﺎ‬
"Sifat Allah terbagi dua; tsubutiyyah dan salbiyyah."
Tsubutiyyah adalah sifat yang ditetapkan Allah Ta'ala untuk Diri-Nya dalam kitab-Nya
atau melalui lisan Rasul-Nya dalam As Sunnah. Semua sifat tersebut merupakan sifat
sempurna tidak ada kekurangan dari berbagai sisi, misalnya sifat hayat (hidup), ilmu
(mengetahui), qudrah (mampu), istiwaa' 'alal 'arsy (bersemayam di atas 'arsy), nuzul ilas
samaa'id dunyaa (turun ke langit dunia), wajah, dua tangan dsb. Sifat-sifat tersebut wajib
ditetapkan bagi Allah Ta'ala sesuai yang layak bagi-Nya berdasarkan dalil sam'i (wahyu)
maupun 'aqli (akal).
Dalil sam'i yang menunjukkan demikian adalah firman Allah Ta'ala:
​Ï%©!$# É=»tFÅ3ø9$#ur ¾Ï&Î!qß​u​ur «!$$Î/ (#qãYÏB#uä (#þqãYtB#uä tûïÏ%©!$# $pk​​r'¯»t​
1/4
«!$$Î/ ö​àÿõ3t​ `tBur 4 ã@ö6s% `ÏB tAt​Rr& ü​Ï%©!$# É=»tFÅ6ø9$#ur ¾Ï&Î!qß​u​ 4​n?tã tA¨​tR
Kx»n=|Ê ¨@|Ê ô​s)sù Ì​ÅzFy$# ÏQöqu​ø9$#ur ¾Ï&Î#ß​â​ur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur
ÇÊÌÏÈ #´​​Ïèt/
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari Akhir, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya."
(Terj. QS. An Nisaa': 136)
Beriman kepada Allah Ta'ala mengandung beriman kepada sifat-sifat-Nya, beriman
kepada kitab-Nya mengandung beriman juga kepada semua yang disebutkan di
dalamnya mengenai sifat Allah, dan beriman kepada Rasul-Nya mengandung beriman
juga kepada semua yang disampaikannya tentang Allah Ta'ala.
Adapun dalil 'aqlinya adalah karena Allah Ta'ala yang memberitahukan demikian tentang
Diri-Nya, sedangkan Dia lebih mengetahui tentang Diri-Nya daripada yang lain. Di
samping itu, firman Allah Ta'ala merupakan perkataan yang paling benar dan paling baik,
sehingga kita wajib menetapkannya sebagaimana yang dikabarkan-Nya tanpa diragukan
lagi. Meragukan berita hanyalah pada berita yang datang dari orang yang bisa saja
berkata dusta atau orang yang jahil atau orang yang tidak pandai bicara.
Salbiyyah adalah semua sifat yang dinafikan/ditiadakan oleh Allah Subhaanahu wa
Ta'aala terhadap Diri-Nya atau ditiadakan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa
sallam. Sifat-sifat salbiyyah tersebut merupakan sifat kekurangan, seperti mati, tidur, jahl
(tidak tahu), lupa, lemah dan lelah. Semua sifat tersebut wajib dinafikan dari Allah Ta'ala
sambil menetapkan sifat kebalikannya bagi Allah Ta'ala secara sempurna. Hal itu, karena
apa saja yang dinafikan Allah Ta'ala dari Diri-Nya, maka maksudnya adalah menerangkan
ketiadaannya karena adanya kesempurnaan pada kebalikannya, tidak hanya menafikan
semata, karena menafikan semata bukanlah kesempurnaan kecuali jika mengandung hal
yang menunjukkan kesempurnaan. Mengapa demikian? Karena meniadakan artinya
"tidak ada", sedangkan ketiadaan berarti kosong sama sekali, bagaimana bisa dikatakan
sempurna jika seperti itu. Perhatikanlah firman Allah Ta'ala berikut:
¾ÏmÎ/ 4​xÿ​2 ur 4 ¾ÍnÏ​ôJpt¿2 ôxÎm7y​ur ßNqßJt​ ​w ​Ï%©!$# Çc​y Ûø9$# ​n?tã ö@​2 uqs?ur
ÇÎÑÈ #·​​Î7yz ¾ÍnÏ​$ t6Ïã É>qçRä​Î/
"Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan bertasbihlah
dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya."
(Terj. QS. Al Furqaan: 58)
Pada ayat tersebut Allah Subhaanahu wa Ta'aala menafikan kematian dari Diri-Nya, dan
menetapkan bahwa Allah Ta'ala Maha Hidup.
Contoh lainnya adalah firman Allah Ta'ala berikut:
ÇÍÒÈ #Y​tnr& y7​/ u​ ÞOÎ=ôàt​ wur
"Dan Tuhanmu tidak Menganiaya seorang pun juga." (Terj. QS. Al Kahfi: 49)
Pada ayat tersebut, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menafikan kezaliman dari Diri-Nya, di
mana hal ini menunjukkan bahwa Dia Maha Adil. Allah Ta'ala juga berfirman:
¼çm¯RÎ) 4 ÇÚö​F{$# ​Îû ​wur ÏNºuq»yJ¡¡9$# ​Îû &äóÓx« `ÏB ¼çnt​Éf÷èã​Ï9 ª!$# ​c%x. $tBur 4
ÇÍÍÈ #\​​Ï​s% $VJ​Î=tã ​c%x.
"Dan tidak ada sesuat upun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.

2/4
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa." (Terj. QS. Fathir: 44)
Pada ayat tersebut Allah Subhaanahu wa Ta'aala menafikan kelemahan pada Diri-Nya, di
mana hal ini mengandung kesempurnaan pada ilmu pengetahuan-Nya dan
kemahakuasaan-Nya. Oleh karena itu, pada akhir ayat itu disebutkan," Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa."
**********
‫ل‬ َ َ‫ﻦ ﻛ‬
ِ ‫ﻤﺎ‬ ْ ‫ﻣ‬ َ َ ‫ﻬﺎ ﻇ‬
ِ ‫ﻬَﺮ‬ َ ُ ‫ﺖ ِدﻻ َﻻ َﺗ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫وﺗ َﻨ َﻮ‬
َ ‫ت‬ ْ ‫ﻤﺎ ﻛ َﺜ َُﺮ‬َ ‫ﻓﻜ ُﻠ‬َ ‫ل‬ َ َ ‫وﻛ‬
ٍ ‫ﻤﺎ‬ َ ‫ح‬ ٍ ْ ‫ﻣﺪ‬َ ‫ت‬ َ ‫ﺻ‬
ُ ‫ﻔﺎ‬ ِ ‫ﺔ‬
ُ ‫ﻮﺗ ِﻴ‬
ْ ُ ‫ت ا ﻟﺜﺒ‬ َ ‫ ا َﻟﺼ‬-12
ُ ‫ﻔﺎ‬
‫ﻮ أ َﻛ ْﺜ َُﺮ‬
َ ‫ﻫ‬ُ ‫ﻣﺎ‬ َ ‫ﻬﺎ‬ َ ‫ف ِﺑ‬
ِ ‫ﻮ‬ْ ‫ﺻ‬ُ ‫ﻮ‬ َ ْ ‫اﻟ‬
ْ ‫ﻤ‬
Sifat tsubutiyyah merupakan sifat terpuji dan sempurna, setiap kali banyak dan
bermacam-macam dilalah (kandungan yang ditunjukkan), maka semakin tampak
kesempurnaan yang disifati."
Hal itu, karena jika disebutkan secara rinci sifat tsubutiyyah dapat lebih sempurna dalam
pujian, seperti kata-kata seseorang "Zaid adalah seorang dermawan, mulia dan
pemberani."
Oleh karena itu, sifat tsubutiyyah yang yang diberitakan Allah Ta'ala tentang Diri-Nya
lebih banyak daripada sifat salbiyyah. Sedangkan sifat salbiyyah biasanya tidak
disebutkan keuali dalam beberapa keadaan berikut:
1. Untuk menerangkan menyeluruhnya kesempurnaan Allah Ta'ala, sebagaimana
dalam firman Allah Ta'ala:

u ( Öäï​x« ¾ÏmÎ=÷WÏJx. }§ø​s9


"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia." (Terj. QS. Asy Syuuraa: 11)
ÇÍÈ 7​y mr& #·qàÿà2 ¼ã&©! `ä3t​ öNs9ur
"Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (Terj. QS. Al Ikhlas: 4)
2. Menafikan dakwaan dari para pendusta yang berbicara tentang Allah Ta'ala dengan
kedustaan. Allah Ta'ala berfirman:

#µ$s!ur x​Ï​Gt​ br& Ç`»uH÷q§​= Ï9 ÓÈöt7.^t​ $tBur ÇÒÊÈ #V$s!ur Ç`»uH÷q§​= Ï9 (#öqtãy​ br&
ÇÒËÈ
"Karena mereka mendakwakan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak.---Dan tidak
layak bagi Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak." (Terj. QS. Maryam:
91-92)
3. Menghilangkan kesan adanya kekurangan pada kesempurnaan-Nya. Allah Ta'ala
berfirman:

$tBur 5Q$​​r& Ïp​GÅ​ ​Îû $yJßguZ÷​t/ $tBur uÚö​F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# $oYø)n=yz ô​s)s9ur
ÇÌÑÈ 5>qäó​9 `ÏB $uZ¡¡tB
"Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya
dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan." (Terj. QS. Qaaf: 38)
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin.

3/4
[1] Lihat sifat Al Majii' di surat Al Fajr: 22, Al Ityaan di surat Al Baqarah: 210, Al Akhdz di
surat Ali Imran: 11, Al Imsaak di surat Al Hajj: 65, Al Batsy di surat Al Buruuj: 12 dan Al
Iraadah di surat Al Baqarah: 185.
[2] Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َ
‫ﺐ‬َ ‫ﺠﻴ‬ ْ ‫ﻦ ﻳ َﺪ ْﻋ ُﻮﻧ ِﻰ ﻓَﺄ‬
ِ َ ‫ﺳﺘ‬ ْ ‫ﻣ‬َ :‫ل‬ ُ ‫ﺧُﺮ ﻳ َُﻘﻮ‬ ِ ‫ﻞ اﻵ‬ ِ ْ ‫ﺚ اﻟﻠﻴ‬ ُ ُ ‫ﻦ ﻳ َﺒ َْﻘﻰ ﺛ ُﻠ‬َ ‫ﺣﻴ‬ َ ‫ك وَﺗ َﻌَﺎﻟ َﻰ ﻛ ُﻞ ﻟ َﻴ ْﻠ َﺔٍ إ ِﻟ َﻰ اﻟﺴ‬
ِ ‫ﻤﺎِء اﻟﺪﻧ ْﻴ َﺎ‬ َ ‫ل َرﺑﻨ َﺎ ﺗ َﺒ َﺎَر‬
ُ ِ‫ﻳ َﻨ ْﺰ‬
َ ُ َ
‫ﻪ؟‬ ُ َ ‫ﺴﺘ َﻐِْﻔُﺮﻧ ِﻰ ﻓَﺄﻏ ِْﻔَﺮ ﻟ‬ْ َ‫ﻦ ﻳ‬
ْ ‫ﻣ‬َ ‫ﻪ؟‬ ُ َ ‫ﺴﺄﻟ ُﻨ ِﻰ ﻓَﺄﻋ ْﻄ ِﻴ‬ْ َ‫ﻦ ﻳ‬ ْ ‫ﻣ‬
َ ‫ﻪ؟‬ ُ َ‫ﻟ‬
"Tuhan kita Tabaaraka wa Ta'aala turun setiap malam ke langit dunia ketika masih tersisa
sepertiga malam terakhir, Dia berfirman, "Barang siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya
Aku akan memenuhinya, barang siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku akan
memenuhinya dan barang siapa yang meminta ampun kepada-Ku niscaya Aku akan
ampuni." (HR. Bukhari dan lain-lain)

4/4
Kaedah Penting Asma'ul Husna (6)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/kaedah-penting-asmaul-husna-6.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 6)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang Asma'ul Husna, semoga Allah menjadikannya
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
‫ﺔ‬
ٍ ‫ﻌﻠ ِﻴ‬ ْ ‫ﻓ‬
ِ ‫و‬ ٍ ‫ ذَاﺗ ِﻴ‬: ‫ﻦ‬
َ ‫ﺔ‬ ِ ْ ‫ﻤﻴ‬
َ ‫ﺴ‬ ْ ‫ﻗ‬ِ ‫ﻢ إ ِﻟ َﻰ‬ُ ‫ﺴ‬ِ ‫ﻘ‬ َ ْ ‫ﺔ ﺗ َﻨ‬
ُ ‫ﻮﺗ ِﻴ‬
ْ ُ ‫ت ا ﻟﺜﺒ‬ َ ‫ ا َﻟﺼ‬-13
ُ ‫ﻔﺎ‬
"Sifat tsubutiyyah terbagi menjadi dua; Dzaatiyyah dan Fi'liyyah."
Sifat Dzaatiyyah adalah sifat yang senantiasa dimiliki seperti 'ilm (mengetahui), qudrah
(mampu), bashar (melihat), 'izzah (perkasa), hikmah (bijaksana), 'uluw (tinggi) dan
'azhamah (agung). Termasuk ke dalam sifat Dzaatiyyah adalah sifat khabariyyah (berita)
seperti muka, kedua tangan dsb.
Sifat Fi'liyyah adalah sifat yang terkait dengan kehendak-Nya; jika Dia menghendaki Dia
melakukannya dan jika Dia menghendaki, maka tidak dilakukan-Nya. Contohnya adalah
istiwaa' 'alal 'arsy (bersemayam di atas 'Arsy) dan turun ke langit dunia.
Terkadang sifat itu ada yang Dzaatiyyah-Fi'liyyah dilihat dari dua sisi. Contohnya Al
Kalaam (berbicara), sifat ini dilihat dari sisi asalnya merupakan sifat dzaatiyyah, karena
Allah Ta'ala senantiasa mutakallim (berbicara), sedangkan jika dilihat dari sisi satuan dari
kalam merupakan sifat fi'liyyah, karena berbicaranya Allah Ta'ala tergantung kehendak-
Nya, Dia berbicara kapan saja dan dengan apa yang dikehendaki-Nya. Hal ini
sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala:
ÇÑËÈ ãbqä3u​sù `ä. ¼çms9 tAqà)t​ br& $º«ø​x© y​#u​r& !#s​Î) ÿ¼çnã​øBr& !$yJ¯RÎ)
"Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
kepadanya, "Jadilah!" Maka terjadilah ia." (Terj. QS. Yaasin: 82)
Setiap sifat yang tergantung dengan kehendak-Nya, maka sifat itu mengikuti hikmah-
Nya. Hikmah itu terkadang kita ketahui dan terkadang tidak, akan tetapi kita mengetahui
dengan ilmu yang yakin bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidaklah menghendaki
sesuatu kecuali sesuai hikmah-Nya, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah Ta'ala:
ÇÌÉÈ $VJ​Å3ym $¸J​Î=tã tb%x. ©!$# ¨bÎ) 4 ª!$# uä!$t±o​ br& HwÎ) tbrâä!$t±n@ $tBur
"Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali jika dikehendaki Allah. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." (Terj. QS. Al Insaan: 30)
**********
‫ﻦ‬
ِ ْ ‫ﻤﻴ‬
َ ْ ‫ﻋﻈِﻴ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ُ ‫ﺤﺬ‬
ِ ْ ‫وَرﻳ‬ ْ ‫ﻣ‬َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻋ‬َ ‫ﺨﻠ ﻲ‬ َ ‫ت ا ﻟﺘ‬ ِ ‫ﻔﺎ‬ َ ‫ت اﻟ ﺼ‬ ِ ‫ﻓﻲ إ ِﺛ ْﺒ َﺎ‬ ُ ‫ ﻳ َﻠ َْﺰ‬-14
ِ ‫م‬
َ
ِ ْ ‫ اﻟﺘﻜ ْﻴ ِﻴ‬: ‫واﻟﺜﺎﻧ ِﻲ‬
‫ﻒ‬ َ ‫ﻞ‬ ِ ْ ‫ﻤﺜ ِﻴ‬ْ ‫ ا ﻟﺘ‬: ‫ﻤ ﺎ‬ َ ‫ﻫ‬ ِ ‫ﺪ‬
ِ ‫ﺣ‬ َ ‫أ‬
"Dalam menetapkan sifat wajib menjauhi dua hal besar yang dilarang: Pertama,
tamtsil. Kedua, takyif."
Tamtsil maksudnya keyakinan dari orang yang menetapkan sifat bahwa sifat yang
1/5
ditetapkan Allah Ta'ala itu sama dengan sifat makhluk. Keyakinan ini jelas batil
berdasarkan dalil sam'i (wahyu) dan 'aqli. Dalil sam'inya adalah firman Allah Ta'ala, "Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia." (Terj. QS. Asy Syuuraa: 11)
Sedangkan dalil 'aqlinya adalah:
Pertama, kita mengetahui bahwa antara pencipta dengan yang dicipta pasti berbeda
dzatnya. Hal ini menghendaki adanya perbedaan dalam sifat, karena sifat dari setiap
yang disifati sesuai dengan yang layak baginya. Cobalah perhatikan sifat makhluk yang
berbeda-beda dzatnya, antara unta dengan semut jelas berbeda kekuatannya. Jika
antara makhluk yang satu dengan lainnya berbeda-beda, lalu bagaimana antara
makhluk dengan khaaliq, tentu lebih berbeda lagi.
Kedua, bagaimana mungkin Tuhan yang mencipta lagi Mahasempurna dari semua sisi
sama sifatnya dengan makhluk yang dicipta yang memiliki kekurangan lagi butuh ada
yang menyempurnakannya? Oleh karena itu keyakinan seperti ini, jelas mengurangi hak
khaaliq, karena sama saja menyamakan yang sempurna dengan yang tidak sempurna.
Ketiga, kita sering memperhatikan makhluk yang satu dengan lainnya, di sana ada yang
sama nama namun berbeda hakikat dan kaifiyat(bagaimana)nya. Contohnya adalah
manusia memiliki tangan, namun tidak sama dengan tangan gajah, manusia memang
punya kekuatan, namun kuatnya berbeda dengan kekuatan unta meskipun namanya
berbeda. Yang satu disebut tangan, yang satu lagi disebut tangan, yang satu punya
kekuatan, yang satu lagi juga punya kekuatan, ternyata keduanya berbeda dalam kaifiyat
dan sifatnya. Dari sini diketahui, bahwa samanya nama tidak mesti sama pula
hakikatnya.
Tasybih sama seperti tamtsil, namun ada yang membedakan keduanya, yaitu tamtsil
adalah menyamakan dalam semua sifat, sedangkan tasybih adalah menyamakan pada
sebagian besar sifat.
Takyif adalah keyakinan dari orang yang menetapkan sifat Allah bahwa kaifiyat
(bagaimana hakikat) sifat Allah itu adalah begini dan begitu, namun tanpa menyebutkan
sesuatu yang diserupakan. Keyakinan ini juga batil berdasarkan dalil sam'i dan 'aqli. Dalil
sam'inya adalah firman Allah Ta'ala, "Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan
apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-
Nya."(Terj. QS. Thaahaa: 110)
Termasuk hal yang sudah maklum adalah bahwa kita tidak mengetahui kaifiyat
(bagaimana) sifat Tuhan kita, karena Allah Ta'ala hanya memberitakan dan tidak
memberitakan bagaimana hakikatnya.
Sedangkan dalil dari akal adalah karena sesuatu itu tidak diketahui kaifiyat sifatnya
kecuali setelah mengetahui kaifiyat dzatnya atau mengetahui yang sebanding
dengannya atau dengan berita benar yang berasal darinya, dan ternyata semua cara itu
tidak ada untuk mengetahui kaifiyat sifat Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, Imam Malik
pernah ditanya tentang bagaimana cara Allah bersemayam di atas 'Arsy dalam firman-
Nya:
ÇÎÈ 3​uqtGó​$ # ĸö​y èø9$# ​n?tã ß`»oH÷q§​9 $#
(Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy." (Terj. QS. Thaahaa: 5)
maka Imam Malik menundukkan kepalanya sampai keluar keringat, lalu ia berkata:
‫ﺔ‬
ٌ َ ‫ﻪ ﺑ ِﺪ ْﻋ‬ ُ ‫ﺐ وَاﻟﺴﺆ َا‬
ُ ْ ‫ل ﻋ َﻨ‬ ٌ ‫ﺟ‬
ِ ‫ن ﺑ ِﻪِ وَا‬ َ ْ ‫ل وَاْﻹ ِﻳ‬
ُ ‫ﻤﺎ‬ ٍ ْ‫ﻣﻌُْﻘﻮ‬ ُ ْ ‫ل وَاﻟ ْﻜ َﻴ‬
َ ‫ﻒ ﻏ َﻴ ُْﺮ‬ ٍ ْ‫ﺠﻬُﻮ‬
ْ ‫ﻣ‬ ْ ِ ‫اْﻹ‬
َ ‫ﺳﺘ ِﻮَاُء ﻏ َﻴ ُْﺮ‬
2/5
"Bersemayam sudah diketahui (artinya), bagaimana kaifiyatnya tidaklah dimengerti,
mengimaninya wajib dan menanyakannya bid'ah." (Disebutkan oleh Al Laalikaa'iy dalam
Ushulul I'tiqad, Abu Nu'aim dalam Al Hilyah, Baihaqi dalam Al Asmaa' wash Shifaat, Adz
Dzahabiy dalam As Siyar dan Al 'Uluww, Ad Daarimiy dalam Ar Radd 'alal Jahmiyyah, Abu
Isma'il Ash Shaabuniy dalam 'Aqidatus salaf, Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid, Ibnu
Qudamah dalam Lum'atul I'tiqad, As Suyuuthiy dalam Ad Durrul Mantsur, Al Baghawiy
dalam Syarhus Sunnah, dishahihkan oleh Al Albani dan dijayyidkan isnadnya oleh Al
Haafizh sebagaimana dalam Al Fat-h)
Oleh karena itu, berhati-hatilah dari sikap takyif atau berusaha ke arahnya, karena jika
kita melakukannya, kita akan jatuh ke dalam kebinasaan yang sulit melepaskan diri
darinya. Jika setan melemparkan sesuatu ke dalam hati kita tentang hal itu, maka
ketahuilah itu adalah godaannya, di saat seperti ini kita harus berlindung kepada Allah
Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman:
ßì​ÏJ¡¡9$# uqèd ¼çm¯RÎ) ( «!$$Î/ õ​ÏètGó​$ $sù Øø÷​tR Ç`»sÜø​¤ ±9$# z`ÏB y7¨Zxîu​\ t​ $¨BÎ)ur
ÇÌÏÈ ÞO​Î=yèø9$#
"Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Terj.
QS. Fush-shilat: 36)
‫ﻬﺎ‬ َ ْ ‫ﻓﻴ‬ِ ‫ﻞ‬ ِ ‫ﻘ‬ْ ‫ﻌ‬َ ْ ‫ل ﻟ ِﻠ‬ َ ‫ﺠﺎ‬َ ‫ﻣ‬َ َ‫ﺔ ﻻ‬ ٌ ‫ﻔﻴ‬
ِ ْ ‫ﻗﻴ‬ ْ َ ‫ﻌﺎﻟ َﻰ ﺗ‬
ِ ‫ﻮ‬ َ َ‫ﻪ ﺗ‬ ِ ‫ت ا ﻟﻠ‬ ُ ‫ﻔﺎ‬َ ‫ﺻ‬ِ -15
"Sifat Allah Ta'ala adalah tauqifiyyah (diam menunggu dalil), tidak ada tempat bagi
akal untuk membayangkan dan membicarakannya."
Oleh karena itu, kita tidak menetapkan sifat bagi Allah Ta'ala kecuali yang ditunjukkan
oleh Al Qur'an dan As Sunnah. Imam Ahmad berkata:
َ ‫ﻒ ﺑﻪ ﻧْﻔﺴ‬
‫ﺚ‬ َ ْ ‫ن وَاﻟ‬
َ ْ ‫ﺤﺪ ِﻳ‬ َ ‫ﺠﺎوَُز اﻟ ُْﻘْﺮآ‬
َ َ ‫ﻪ ﻻ َ ﻳ َﺘ‬ ُ ُ ‫ﺳﻮْﻟ‬ُ ‫ﻪ ﺑ ِﻪِ َر‬ ُ ‫ﺻَﻔ‬َ َ ‫ﻪ أو ْ و‬
ُ َ َ ِ ِ َ ‫ﺻ‬ َ َ ‫ﻤﺎ و‬َ ِ ‫ﻪ إ ِﻻ ﺑ‬
ُ ‫ﻒ اﻟﻠ‬
ُ ‫ﺻ‬ َ ْ‫ﻻ َ ﻳ ُﻮ‬
"Allah tidak boleh disifati kecuali dengan sifat yang ditetapkan-Nya untuk Diri-Nya atau
ditetapkan rasul-Nya; tidak boleh melewati Al Qur'an dan Al Hadits." (Lihat Al Fatwa Al
Hamawiyyah hal. 271)
Cara menetapkan sifat dari Al Qur'an dan As Sunnah ada tiga cara:
Pertama, penegasan sifat tersebut, seperti: 'izzah (perkasa), quwwah (kuat), rahmah
(sayang), batsy (memberikan hukuman), wajh (muka), yadain (dua tangan) dsb.
Kedua, dari kandungan nama-Nya. Misalnya: Al Ghafuur yang menunjukkan sifatnya
maghfirah (mengampuni), As Samii' yang menunjukkan sifatnya sam' (mendengar) dsb.
Ketiga, penegasan berbuat atau sifat yang menunjukkan demikian. Misalnya
bersemayam di atas 'Arsy, turun ke langit dunia, datang pada hari kiamat untuk
memberikan keputusan di antara hamba-hamba-Nya, intiqam (memberikan pembalasan
kepada para pelaku dosa). Dalil bersemayam di atas 'Arsy dan turun ke langit dunia
sudah disebutkan, sedangkan dalil datang pada hari kiamat dan memberikan
pembalasan kepada para pelaku dosa adalah:
ÇËËÈ $yÿ|¹ $yÿ|¹ à7n=yJø9$#ur y7​/ u​ uä!%y`ur
"Dan datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris." (Terj. QS. Al Fajr: 22)
ÇËËÈ tbqßJÉ)tFZãB ​úüÏBÌ​ôfßJø9$# z`ÏB $¯RÎ)
"Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa." (Terj. QS. As
Sajdah: 22)
**********

3/5
َ َ
‫ﺻﻠ ﻰ‬َ ‫ﻪ‬ِ ِ ‫ﻮﻟ‬
ْ ‫ﺳ‬
ُ ‫ﺔ َر‬
ُ ‫ﺳﻨ‬ َ ‫ﻌﺎﻟ َﻰ‬
ُ ‫و‬ َ َ‫ﻪ ﺗ‬
ِ ‫ب ا ﻟﻠ‬ ُ ‫ﻲ ﻛ ِﺘ َﺎ‬ َ ‫ﻫ‬ ِ ‫ﻪ‬ُ ُ ‫ﻔﺎﺗ‬َ ‫ﺻ‬
ِ ‫و‬ َ ‫ﻌﺎﻟ َﻰ‬َ َ‫ﻪ ﺗ‬ِ ‫ﻤ ﺎ ء ُ ا ﻟﻠ‬َ ‫ﺳ‬ْ ‫ﻬﺎ أ‬ َ ِ‫ﺖ ﺑ‬ ُ ‫ اْﻷِدﻟ‬-16
ُ َ ‫ﺔ اﻟﺘ ِﻲ ﺗ ُﺜ ْﺒ‬
َ
‫ﻤﺎ‬
َ ‫ﻫ‬ ِ ‫ﺮ‬ِ ْ ‫ﻐﻴ‬
َ ِ‫ﻪ ﺑ‬ِ ‫ﻤ ﺎ ء ُ ا ﻟﻠ‬
َ ‫ﺳ‬ْ ‫ﺖأ‬ ُ ‫ﻓﻼ َ ﺗ ُﺜ َﺒ‬
َ :‫ﻢ‬َ ‫ﺳﻠ‬ َ ‫و‬ َ ‫ﻪ‬ِ ْ ‫ﻋﻠ َﻴ‬َ ‫ﻪ‬ُ ‫ا ﻟﻠ‬
"Dalil-dalil yang digunakan untuk menetapkan nama-nama Allah dan sifat-Nya adalah
Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam; tidak boleh
menetapkan tanpa dalil dari keduanya[i]."
Dalil kaedah ini adalah firman Allah Ta'ala:
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)." (Terj. QS. An Nisaa': 59)
Sedangkan dalil 'akalnya adalah karena memperdalam pembicaraan tentang hal yang
wajib bagi Allah, hal yang mustahil atau pun hal yang jaa'iz (boleh) termasuk masalah
ghaib yang tidak mungkin dicapai oleh akal, maka kita wajib merujuk kepada wahyu (Al
Qur'an dan As Sunnah).
Oleh karena itu, apa yang disebutkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah wajib kita
tetapkan, dan apa saja yang dinafikan di dalam keduanya, maka wajib kita nafikan
dengan menetapkan kesempurnaan pada kebalikannya. Apa saja yang tidak ditetapkan
dan tidak dinafikan, maka wajib diam pada lafaznya; tidak ditetapkan dan tidak dinafikan,
karena tidak ada dalil yang menetapkan dan meniadakan.
Adapun tentang maknanya, maka perlu ada perincian; Jika maksudnya hak (benar) yang
layak bagi Allah Ta'ala, maka diterima, namun jika maknanya tidak layak bagi Allah Ta'ala,
maka wajib ditolak.
Di antara sifat yang ditetapkan sebagaimana yang disebutkan dalam dalil adalah semua
sifat yang ditunjukkan oleh nama di antara nama-nama Allah Ta'ala, di mana
kandungannya ada yang muthaabaqah, tadhammun atau iltizam[ii]. Di antaranya juga
adalah semua sifat yang ditunjukkan oleh salah satu perbuatan-Nya seperti istiwaa' 'alal
'arsy (bersemayam di atas 'Arsy), turun ke langit dunia, datang untuk memberikan
keputusan di antara hamba-hamba-Nya pada hari kiamat dan lainnya di antara
perbuatan-Nya yang tidak terhitung macamnya terlebih satuannya,
ÇËÐÈ âä!$t±t​ $tB ª!$# ã@yèøÿt​ur
"Dan Allah memperbuat apa yang Dia kehendaki." (Terj. QS. Ibrahim: 27)
Di antara sifat tersebut adalah wajah, dua mata, dua tangan dsb. Demikian juga kalam
(berbicara), masyii'ah (berkehendak) dan iraadah (berkeinginan) dengan dua
pembagiannya; yang kauniy dan syar'iy. Yang kauniy berarti masyii'ah (kehendak-Nya
terhadap alam semesta), sedangkan yang syar'iy adalah yang dicintai-Nya (seperti
perintah-perintah yang ada dalam syari'at-Nya).
Ada juga sifat ridha, mahabbah (cinta), ghadhab (murka), karaahah (benci) dsb.
Kemudian di antara sifat yang dinafikan bagi Allah Ta'ala dan ditetapkan kebalikannya
karena ada kesempurnaan di sana adalah mati, tidur, mengantuk, 'ajz (lemah), lelah,
zhalim, lalai, memiliki kesamaan dsb.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin.

4/5
[i] Misalnya memakai qiyas dan istihsan (anggapan baik) dari akal.
[ii] Telah disebutkan penjelasannya di kaedah yang lalu.

5/5
Kaedah Penting Asma'ul Husna (7)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/kaedah-penting-asmaul-husna-7.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 7)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang Asma'ul Husna, semoga Allah menjadikannya
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
‫ص‬ُ ‫ﻮ‬ْ ‫ﺼ‬
ُ ُ ‫ﻤﺎ ﻧ‬
َ ‫ﺳﻴ‬ ِ َ‫ﻒ ﻻ‬ ٍ ْ ‫ﺮﻳ‬ ِ ‫ﺤ‬ْ َ‫ن ﺗ‬ َ ‫و‬ْ ُ ‫ﻫﺎ د‬ َ ‫ﺮ‬ ِ ‫ﻫ‬ ِ ‫ﻋﻠ َﻰ ﻇَﺎ‬ َ ‫ﻫﺎ‬ َ ‫ؤ‬ ُ ‫ﺟَﺮا‬ ْ ِ‫ﺔ إ‬ ِ ‫وا ﻟ ﺴﻨ‬ َ ‫ن‬ ِ ‫ﻘْﺮآ‬ُ ْ ‫ص اﻟ‬ِ ‫ﻮ‬ ْ ‫ﺼ‬
ُ ُ ‫ﻓﻲ ﻧ‬ ِ ‫ﺐ‬ ُ ‫ﺟ‬ َ ْ ‫ اﻟ‬-17
ِ ‫ﻮا‬
ْ
‫ﻬﺎ‬َ ْ ‫ﻓﻴ‬ِ ‫ي‬ ِ ‫ل ﻟ ِﻠﺮأ‬ َ ‫ﺠﺎ‬ َ ‫ﻣ‬ َ َ‫ﺚ ﻻ‬ ُ ْ ‫ﺣﻴ‬ َ ‫ت‬ ِ ‫ﻔﺎ‬ َ ‫ﺼ‬ ِ ‫اﻟ‬
"Yang wajib pada nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah adalah memberlakukannya
sesuai zhahirnya[i] tanpa mentahrif (menta'wil), terlebih pada nash-nash yang
membicarakan sifat, di mana tidak ada tempat bagi ra'yu (pendapat) di sana."
Dalil kaeidah di atas adalah firman Allah Ta'ala:
ÇËÈ ​cqè=É)÷ès? öNä3¯=yè©9 $w​Î/t​tã $ºRºuäö​è% çm»oYø9t​Rr& !$¯RÎ)
"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya." (Terj. QS. Yusuf: 2)
Ayat ini menunjukkan, bahwa kita wajib memahaminya sesuai dengan zhahirnya dalam
bahasa Arab, kecuali ada dalil syar'i yang menghalangi untuk dibawa kepada zhahirnya.
Demikian juga Allah Subhaanahu wa Ta'aala mencela orang-orang Yahudi karena tahrif
(pentakwilan) yang mereka lakukan, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
tbqãèyJó¡o​ öNßg÷YÏiB ×,​Ì​sù tb%x. ô​s%ur öNä3s9 (#qãZÏB÷sã​ br& tbqãèyJôÜtGsùr& *
ÇÐÎÈ ​cqßJn=ôèt​ öNèdur çnqè=s)tã $tB Ï​÷ èt/ .`ÏB ¼çmtRqèùÌh​ptä​ ¢OèO «!$# zN»n=​2
"Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan
dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui?" (Terj. QS. Al Baqarah: 75)
Sedangkan dalil 'aqli(akal)nya adalah karena yang berfirman tentu lebih mengetahui
maksudya daripada yang lain, dan Allah Ta'ala berfirman kepada kita dengan bahasa
Arab yang jelas, maka kita wajib menerimanya sesuai zhahirnya. Karena jika tidak
demikian, akan timbul pandangan yang berbeda dan umat akan berpecah.
**********
: ‫ﺧَﺮ‬ َ ‫رآ‬ ْ ‫ﺔ ﻟ َﻨ َﺎ ﺑ ِﺎ‬
ٍ ‫ﻋﺘ ِﺒ َﺎ‬ ٌ َ ‫ﻮﻟ‬ْ ‫ﻬ‬ُ ‫ﺠ‬ْ ‫ﻣ‬ َ ‫و‬َ ‫ر‬ ٍ ‫ﻋﺘ ِﺒ َﺎ‬ْ ‫ﺔ ﻟ َﻨ َﺎ ﺑ ِﺎ‬ٌ ‫ﻣ‬َ ‫ﻮ‬ْ ُ ‫ﻌﻠ‬ْ ‫ﻣ‬ َ ‫ت‬ ِ ‫ﻔﺎ‬ َ ‫ص اﻟ ﺼ‬ ِ ‫ﻮ‬ ْ ‫ﺼ‬ ُ ُ ‫ﻫُﺮ ﻧ‬ ِ ‫ﻮا‬ َ َ‫ ﻇ‬-18
ٌ َ ‫ﻮﻟ‬
‫ﺔ‬ ْ ‫ﻬ‬
ُ ‫ﺠ‬ْ ‫ﻣ‬ َ ‫ﻬﺎ‬ َ ْ ‫ﻋﻠ َﻴ‬
َ ‫ﻲ‬ َ ‫ﻫ‬ ِ ‫ﺔ اﻟﺘ ِﻲ‬ ِ ‫ﻔﻴ‬ ِ ْ ‫ر اﻟ ْﻜ َﻴ‬ِ ‫ﻋﺘ ِﺒ َﺎ‬ْ ‫وﺑ ِﺎ‬ َ ‫ﺔ‬ ٌ ‫ﻣ‬ ْ ُ ‫ﻌﻠ‬
َ ‫ﻮ‬ ْ ‫ﻣ‬ َ ‫ﻲ‬ َ ‫ﻫ‬ ِ ‫ﻌﻨ َﻰ‬ ْ ‫ﻤ‬َ ْ ‫ر اﻟ‬ِ ‫ﻋﺘ ِﺒ َﺎ‬ َ
ْ ‫ﻓﺒ ِﺎ‬
"Zhahir dari nash-nash sifat dari satu sisi diketahui, namun dari sisi lain tidak
diketahui; dari sisi makna diketahui, namun dari sisi kaifiyat (bagaimana hakikatnya)
tidak diketahui."
Dalil kaeidah ini adalah firman Allah Ta'ala:
(#qä9'ré& t​©.x​tFu​Ï9ur ¾ÏmÏG»t​#uä (#ÿrã​​/ £​u​Ïj9 Ô8t​»t6ãB y7ø​s9Î) çm»oYø9t​Rr& ë=»tGÏ.
ÇËÒÈ É=»t6ø9F{$#
1/5
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah agar mereka
mentadabburi (memikirkan) ayat-ayat-Nya dan agar mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran." (Terj. QS. Shaad: 29)
ÇÌÈ ​cqè=É)÷ès? öNà6¯=yè©9 $|​Î/t​tã $ºRºuäö​è% çm»oYù=yèy_ $¯RÎ)
"Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab agar kamu memahami(nya)."
(Terj. QS. Az Zukhruf: 3)
Mentadabburi hanyalah bisa dalam hal-hal yang bisa dicapai manusia, sehingga mereka
dapat mengambil pelajaran daripadanya. Demikian juga dijadikan-Nya Al Qur'an
berbahasa Arab agar dipahami oleh orang-orang yang bisa berbahasa Arab. Hal ini
menunjukkan bahwa maknanya adalah ma'lum (diketahui).
Sedangkan dalil 'aqlinya adalah karena mustahil Allah Subhaanahu wa Ta'aala
menurunkan kitab atau mengutus Rasul-Nya lalu berbicara dengan bahasa yang tidak
dipahami atau makna yang masih majhul (tidak diketahui), hal ini jelas bertentangan
dengan hikmah Allah Ta'ala. Di samping itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan
tentang kitab-Nya:
A​​Î7yz AO​Å3ym ÷bà$©! `ÏB ôMn=Å_Áèù §NèO ¼çmçG»t​#uä ôMyJÅ3ômé& ë=»tGÏ. 4 ​!9#
ÇÊÈ
"Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci[ii], yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu,"
(Terj. QS. Huud: 1)
Adapun dalil bahwa kaifiyatnya adalah majhul sudah diterangkan sebelumnya, di antara
dalilnya adalah:
ÇÊÊÉÈ $VJù=Ïã ¾ÏmÎ/ ​cqäÜ​Ïtä​ ​wur öNßgxÿù=yz $tBur öNÍk​É​÷ ​r& tû÷üt/ $tB ÞOn=÷èt​
"Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka,
sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." (Terj. QS. Thaahaa: 110)
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui kelirunya madzhab Mufawwidhah, yakni orang-
orang yang menyerahkan kepada Allah Ta'ala pengetahuan tentang makna dari nash-
nash yang menyebutkan sifat.
**********
‫ﻣﺎ‬ َ ‫و‬
َ ‫ق‬ِ ‫ﺐ اﻟﺴﻴ َﺎ‬
ِ ‫ﺴ‬
َ ‫ﺤ‬
َ ِ ‫ﺨﺘﻠ ﻒ ﺑ‬
ْ َ‫ﻮ ﻳ‬
َ ‫ﻫ‬
ُ ‫و‬
َ ‫ﻌﺎﻧ ِﻲ‬
َ ‫ﻤ‬ ْ
َ ‫ﻦ اﻟ‬ َ ‫ﻣ‬ِ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻬﺎ إ ِﻟ َﻰ اﻟﺬ‬ ِ ‫ ﻇَﺎ‬-19
ِ ‫ﻫ‬ َ ْ ‫ﻣﻨ‬
ِ ‫ﻣﺎ ﻳ َﺘ َﺒ َﺎدَُر‬
َ ‫ص‬
ِ ‫ﻮ‬
ْ ‫ﺼ‬
ُ ‫ﻫُﺮ اﻟﻨ‬
ُ َ ‫ﻪ اﻟ ْﻜ َﻼ‬
‫م‬ ِ ْ ‫ف إ ِﻟ َﻴ‬ُ ‫ﻀﺎ‬َ
"Zhahir nash-nash ada yang maknanya langsung dipahami oleh akal, namun ia
berbeda-beda tergantung susunan kalimat dan kalimat yang dihubungkan kepadanya."
Adanya kaedah ini karena sebuah kata terkadang dalam suatu susunan memiliki makna
tertentu dan pada susunan lain memiliki makna yang lain. Demikian juga disusunnya
beberapa kata menimbulkan makna tertentu dan makna lain dari sisi yang lain.
Contoh kata-kata "Al Qaryah" (kampung), terkadang maknanya adalah sebuah kaum dan
terkadang tempat tinggal, negeri atau kampung. Contoh yang bermakna kaum adalah
firman Allah Ta'ala:
÷rr& ÏpyJ»u​É)ø9$# ÏQöqt​ ​@ö6s% $ydqà6Î=ôgãB ß`øtwU ​wÎ) >pt​ö​s% `ÏiB bÎ)ur
ÇÎÑÈ #Y​qäÜó¡tB É=»tGÅ3ø9$# ​Îû y7Ï9ºs​ tb%x. 4 #Y​​Ï​x© $\/#x​tã $ydqç/Éj​y èãB
"Tidak ada suatu negeripun (yang durhaka kaumnya), melainkan Kami membinasakannya
sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. yang
demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh)." (Al Israa': 58)

2/5
Sedangkan contoh yang bermakna tempat tinggal adalah:
(#þqä3Î=ôgãB $¯RÎ) (#þqä9$s% 3​t​ô±ç6ø9$$Î/ zO​Ïdºt​ö/Î) !$uZè=ß​â​ ôNuä!%y` $£Js9ur
ÇÌÊÈ ​úüÏJÎ=»sß (#qçR$​2 $ygn=÷dr& ¨bÎ) ( Ïpt​ö​s)ø9$# ÍnÉ​»yd È@÷dr&
"Dan ketika utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira,
mereka mengatakan, "Sesungguhnya Kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom)
ini; sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zalim." (Terj. QS. Al 'Ankabut: 31)
Contoh lainnya adalah perkataan kita "Saya membuat barang ini dengan tangan saya."
Tangan tersebut berbeda dengan tangan yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala:
÷Pr& |N÷​y 9õ3tGó​r& ( £​y ​u​Î/ àMø)n=yz $yJÏ9 y​àfó¡n@ br& y7yèuZtB $tB ߧ​Î=ö/Î*¯»t​ tA$s%
ÇÐÎÈ tû,Î!$yèø9$# z`ÏB |MZä.
Allah berfirman, "Wahai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-
ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu
(merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?"." (Terj. QS. Shaad: 75)
Karena tangan pada contoh sebelumnya dihubungkan kepada makhluk sehingga sesuai
dengannya, sedangkan pada ayat di atas tangan tersebut dihubungkan kepada khaaliq
(Pencipta) sehingga yang layak dengan-Nya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang
sehat fitrah dan akalnya berkeyakinan bahwa tangan Khaaliq sama dengan tangan
makhluk.
Contoh lain ka'idah di atas adalah ucapan "Tidak ada di dekatmu selain Zaid" dengan
ucapan "Tidak ada Zaid kecuali di dekatmu". Kalimat pertama dengan kalimat kedua
berbeda meskipun menggunakan kata-kata yang sama. Hal ini karena susunan yang
berbeda dapat mempengaruhi makna.
Dari penjelasan di atas kita memahami bahwa zhahir nash-nash sifat ada bisa yang
langsung dipahami akal maknanya. Nah, dalam hal ini orang-orang terbagi menjadi
beberapa golongan:
Pertama, orang yang menjadikan lafaz yang zhahir yang langsung dipahami itu makna
yang sesungguhnya yang layak bagi Allah Ta'ala, sehingga mereka membiarkan
kandungannya seperti itu. Mereka ini adalah kaum salaf; di mana mereka berkumpul di
atas prinsip yang ditempuh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Mereka inilah yang layak memperoleh gelar Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan mereka
semua telah sepakat terhadap hal ini sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar,
ia berkata, "Ahlus Sunah sepakat untuk mengakui sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam
Al Qur'an dan As Sunnah, mengimaninya dan membawa kepada hakikat tidak majaz,
hanyasaja mereka tidak mentakyif (menanyakan bagaimana) sedikit pun daripadanya
serta tidak membatasi sifat-Nya dengan sifat terbatas."
Al Qaadhiy Abu Ya'laa dalam kitabnya Ibthaalut ta'wil berkata, "Tidak boleh menolak
hadits-hadits itu serta tidak boleh menyibukkan diri untuk mentakwilnya. Bahkan yang
wajib adalah membawa kepada zhahirnya dan bahwa yang demikian adalah sifat-sifat
Allah dan tidak sama dengan sifat semua makhluk serta dengan tidak meyakini tasybih
(keserupaan) dalam hal tersebut, akan tetapi mengikuti seperti yang diriwayatkan dari
Imam Ahmad dan ulama lainnya."
Inilah pendapat yang benar dan jalan yang lurus lagi bijaksana karena hal itu merupakan
praktek sempurna dari yang ditunjukkan oleh Al Qur'an dan As Sunnah. Di samping itu,
pendapat tersebut merupakan pendapat kaum salaf (para sahabat dan tabi'in), dan tidak

3/5
mungkin mereka bersama-sama berbicara yang batil secara tegas serta tidak
menyebutkan yang hak (benar) yang wajib diyakini.
Kedua, orang yang menjadikan lafaz yang zhahir yang langsung dipahami itu yang terdiri
dari nash-nash yang menyebutkan sifat Allah Ta'ala sebagai makna yang batil; tidak layak
bagi Allah Ta'ala, yaitu dengan menyerupakan sifat tersebut dengan sifat makhluk.
Pendapat kaum musyabbihah (yang menyerupakan sifat Allah dengan makhluk) sangat
batil dan haram berdasarkan beberapa sisi:
a. Sikap tersebut merupakan tindakan jahat kepada nash dan menghilangkan maksud
sesungguhnya dari nash itu, bagaimana mungkin nash-nash yang menyebutkan sifat-
sifat Allah Ta'ala berarti menunjukkan keserupaan dengan makhluk, padahal Allah Ta'ala
berfirman di ayat lain:
u ( Öäï​x« ¾ÏmÎ=÷WÏJx. }§ø​s9
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia." (Terj. QS. Asy Syuuraa: 11)
b. Akal menghendaki perbedaan antara Khaaliq dengan makhluk baik dalam dzaat
maupun sifat.
c. Pemahaman yang dipahami kaum musyabbihat ini dalam memahami nash-nash
sifat menyelisihi pemahaman kaum salaf sehingga pemahaman tersebut batil.
Jika orang yang menyerupakan tersebut berkata, "Saya tidak memahami tentang
turunnya Allah dan Tangan-Nya kecuali seperti hal makhluk, dan Allah Ta'ala tidaklah
berbicara kepada kita kecuali dengan sesuatu yang kita pahami," maka dijawab:
1. Bahwa Allah yang berbicara kepada kita, Dia-lah yang berfirman tentang Diri-Nya,
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia." (Terj. Asy Syuuraa: 11) , Dia juga yang
melarang hamba-hamba-Nya membuatkan misal untuk-Nya atau mengadakan
tandingan bagi-Nya. Firman-Nya:
ÇÐÍÈ tbqçHs>÷ès? ​w óOçFRr&ur ÞOn=÷èt​ ©!$# ¨bÎ) 4 tA$sVøBF{$# ¬! (#qç/Î​ôØs? ​xsù
"Maka janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Terj. QS. An Nahl: 74)
ÇËËÈ ​cqßJn=÷ès? öNçFRr&ur #Y​#y​Rr& ¬! (#qè=yèøgrB ​xsù
"Karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui." (Terj. QS. Al Baqarah: 22)
Firman Allah Ta'ala tersebut adalah hak (benar), yang satu dengan yang lainnya saling
membenarkan.
2. Bukankah kita percaya bahwa dzaat Allah Ta'ala tidaklah sama dengan dzaat
makhluk, maka sifat-Nya tidak sama dengan sifat makhluk.
3. Tidakkah anda memperhatikan pada makhluk, ada yang sama nama, namun
berbeda dalam hal hakikat dan kaifiyyat (bagaimana keadaannya), jika pada makhluk
saja ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain, tentu antara khaaliq dengan
makhluk lebih berbeda lagi.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin.

4/5
[i] Zhahir secara bahasa artinya jelas dan terang. Sedangkan secara istilah, zhahir artinya
lafaz yang menunjukkan suatu makna yang rajih, meskipun masih ada kemungkinan
makna yang lain. Mengamalkan yang zhahir adalah wajib kecuali ada dalil yang
memalingkannya dari zhahirnya, inilah jalan yang ditempuh kaum salaf.
[ii] Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai akidah, hukum,
kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.

5/5
Kaedah Penting Asma'ul Husna (8)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/kaedah-penting-asmaul-husna-8.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 8)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang tiga golongan dalam memahami nash-nash
sifat, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
**********
Ketiga, orang yang menjadikan makna yang langsung dipahami akal itu, yakni pada
nash-nash sifat sebagai makna yang batil yang tidak layak bagi Allah Ta'ala, yaitu dengan
menyerupakannya, akibatnya mereka mengingkari apa saja yang ditunjukkan oleh nash
tersebut berupa makna yang layak bagi Allah Ta'ala. Mereka ini adalah kaaum
mu'aththilah (orang-orang yang meniadakan sifat bagi Allah Ta'ala), baik peniadaan
mereka umum dalam semua nama dan sifat maupun khusus pada keduanya atau salah
satunya. Mereka mengalihkan nash-nash tersebut dari zhahirnya kepada makna-makna
yang mereka tentukan berdasarkan akal mereka. Di samping itu, masing-masing mereka
berbeda dalam mentakwilnya, perbuatan seperti ini pada hakikatnya merupakan tahrif
(penyimpangan). Sikap ini adalah batil berdasarkan beberapa sisi:
a. Sikap tersebut merupakan tindak kejahatan terhadap nash, karena menjadikannya
mengandung makna yang batil yang tidak layak bagi Allah Ta'ala.
b. Sikap tersebut sama saja mengalihkan firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam dari zhahirnya, padahal Allah Ta'ala berbicara kepada
manusia dengan bahasa Arab yang jelas agar mereka mengerti dan memahami
maksudnya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga berbicara kepada manusia
dengan bahasa yang fasih. Oleh karena itu, firman Allah Ta'ala dan sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wajib dibawa kepada zhahirnya, namun
dengan tetap menjauhkan diri dari takyif (menyebutkan bagaimana hakikat) dan
tamtsil (menyamakan).
c. Mengalihkan firman Allah Ta'ala dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
dari zhahirnya kepada makna yang menyelisihinya merupakan berkata-kata
tentang Allah tanpa ilmu. Hal ini hukumnya haram. Allah Ta'ala berfirman:

zNøOM}$#ur z`sÜt/ $tBur $pk÷]ÏB t​y gsß $tB |·Ïmºuqxÿø9$# }​În/u​ tP§​y m $yJ¯RÎ) ö@è%
¾ÏmÎ/ öAÍi​t\ã​ óOs9 $tB «!$$Î/ (#qä.Î​ô³è@ br&ur Èd,yÛø9$# Î​ö​tóÎ/ zÓøöt7ø9$#ur
ÇÌÌÈ tbqçHs>÷ès? ​w $tB «!$# ​n?tã (#qä9qà)s? br&ur $YZ»sÜù=ß​
Katakanlah, "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak
maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
1/4
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa
yang tidak kamu ketahui." (Terj. QS. Al A'raaf: 33)
d. Mengalihkan nash-nash sifat dari zhahirnya menyelisihi Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para sahabatnya serta kaum salaf dan para imamnya, sehingga
menjadi batil, karena kebenaran tanpa diragukan lagi ada pada pihak mereka.
e. Kita katakan kepada kaum mu'aththilah, "

Apakah anda lebih mengetahui tentang Allah Ta'ala ataukah Diri-Nya?"


"Bukankah apa yang diberitakan Allah Ta'ala merupakan kebenaran?"
"Bukankah anda mengetahui bahwa tidak ada perkataan yang lebih fasih dan lebih jelas
daripada firman Allah Ta'ala?
"Apakah anda menyangka bahwa Allah Ta'ala hendak menyembunyikan yang hak terhadap
makhluk-Nya dalam nash-nash tersebut agar mereka bisa menggalinya sendiri berdasarkan
akal mereka?"
Pertanyaan ini terkait dengan Al Qur'an.
Sedangkan pertanyaan yang terkait dengan As Sunnah adalah,
"Apakah anda mengetahui ada orang yang lebih 'alim (mengetahui) tentang Allah daripada
Rasul-Nya?
"Bukankah apa yang diberitakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan
kebenaran?"
"Siapakah manusia yang lebih fasih lisannya dan leih jelas daripada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam?"
"Siapakah manusia yang paling tulus kepada hamba-hamba Allah daripada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam?"

Dengan demikian, anda tidak dibenarkan bersikap lancing dan ikut campur dalam
penetapan Allah Ta'ala tentang sifat-sifat-Nya bagi Diri-Nya atau penetapan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bagi Diri-Nya secara hakikat dan zhahir yang layak bagi Allah
Ta'ala. Demikian juga anda tidak dibenarkan bersikap lancing dan berani menafikan
hakikatnya dan memalingkan kepada makna yang menyalahi zhahirnya tanpa ilmu.

Di antara kaum mu'aththilah, ada yang meratakan kaedahnya kepada semua sifat atau
bahkan sampai mengena kepada nama-nama Allah Ta'ala, ada juga yang bertentangan
sehingga mereka menetapkan sebagian sifat dan menolak sebagian yang lain seperti
kaum 'Asyaa'irah dan Maaturidiyyah. Mereka menetapkan apa saja yang mereka ingin
tetapkan dengan alasan bahwa akal menunjukkan demikian, mereka juga menafikan
semua yang mereka ingin nafikan dengan alasan bahwa akal menafikannya atau tidak
menunjukkan demikian. Contohnya adalah mereka menetapkan sifat iradah (kehendak)
bagi Allah Ta'ala, namun menafikan sifat rahmah (sayang).
Mereka menetapkan sifat iradah tersebut berdasarkan dalil sam'i (naqli) dan 'aqli (akal).
Dalil naqlinya seperti firman Allah Ta'ala:
ÇËÎÌÈ ß​​Ì​ã​ $tB ã@yèøÿt​ ©!$# £`Å3»s9ur
"Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (Terj. QS. Al Baqarah: 253)
Sedangkan dalil 'aqlinya adalah karena perbedaan makhluk dan pengkhususan sebagian
makhluk dengan sesuatu yang khusus baginya baik dzat maupun sifat menunjukkan
2/4
adanya sifat iradah. Mereka menafikan sifat rahmah dengan alasan karena "sayang" itu
menunjukkan kelunakan dan kelembutan kepada yang disayang serta menunjukkan
ketundukan, dan menurut mereka hal ini mustahil bagi Allah Ta'ala. Akhirnya mereka
mentakwil dalil-dalil sam'i yang menetapkan sifat rahmah bagi Allah Ta'ala kepada
maksud "berbuat" atau "berkeinginan melakukan." Mereka tafsirkan Ar Rahiim dengan
arti yang memberi nikmat atau yang hendak memberikan nikmat. Maka terhadap
mereka yang menolak sifat rahmah ini kita jawab:
1. Sesunggunya sifat rahmah ada berdasarkan dalil sam'i, bahkan dalil yang
menunjukkan sifat rahmah lebih banyak daripada dalil yang menunjukkan sifat
iradah. Bukankah sering disebut nama-Nya Ar Rahiim dalam Al Qur'an?
2. Sifat rahmah ini tidaklah mustahil berdasarkan akal. Hal itu, karena nikmat yang
datang silih berganti kepada hamba-hamba-Nya dari setiap arah, dan tertolaknya
musibah dari mereka di setiap waktu menunjukkan adanya sifat rahmah bagi Allah
Ta'ala. Bahkan sifat rahmah ini sangat jelas dan gamblang dalilnya karena tampak
baik bagi orang tertentu maupun kepada orang yang lain secara umum, berbeda
dengan sifat iradah yang tampak bagi orang-orang tertentu.
3. Penafian sifat rahmah dengan alasan bahwa sifat tersebut menghendaki lembut,
lunak dsb. Jika mereka mau jujur dan konsisten tentu mereka akan menafikan sifat
iradah juga.
4. Adapun alasan bahwa karena pada sifat rahmah terdapat ketundukan. Maka
dijawab, bahwa bukankah kita melihat raja-raja yang kuat ada sifat rahmah
(sayang), namun tidak menunjukkan ketundukan dari mereka.
5. Kalau seandainya sifat rahmah itu memang menunjukkan demikian, maka itu
adalah rahmah bagi makhluk, adapun bagi khaaliq (Allah Ta'ala), maka rahmah
yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya serta tidak menghendaki
adanya kekurangan dari satu sisi pun.
6. Dalil 'aqli lainnya yang menunjukkan adanya sifat rahmah adalah karena kita
menyaksikan adanya rahmah pada makhluk yang menunjukkan adanya rahmah
bagi Allah Ta'ala. Di samping itu, karena rahmah merupakan kesempurnaan, dan
Allah lebih berhak dengan kesempurnaan. Kita juga menyaksikan rahmah yang
khusus bagi Allah Ta'ala seperti diturunkan-Nya hujan, dihilangkan-Nya kemarau
panjang dsb. yang menunjukkan adanya rahmah bagi Allah Ta'ala.

Oleh karena itu, dalam beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-Nya jalan yang benar
adalah jalan yang ditempuh kaum salaf, yaitu mereka menetapkan nama-nama dan sifat
bagi Allah Ta'ala, mengikuti apa yang ditetapkan Allah Ta'ala dalam kitab-Nya dan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetapkan dalam As Sunnah, tanpa tahrif
(mentakwil), ta'thil (meniadakan), tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa
takyif (menyebutkan bagaimana atau menanyakan bagaimana hakikatnya).
Faedah:
Sesungguhnya orang yang menta'thil juga melakukan tamtsil dan orang yang mentamtsil
juga melakukan ta'thil.
Mengapa orang yang melakukan ta'thil juga melakukan tamtsil? Jawab: Ia melakukan
ta'thil karena keyakinannya bahwa menetapkan sifat menghendaki sikap menyerupakan
Allah dengan makhluk, awalnya ia menyamakan sifat Allah Ta'ala dengan makhluk-Nya,
3/4
selanjutnya ia meniadakannya.
Sedangkan orang yang melakukan tamstil sama saja melakukan ta'thil adalah karena:
a. Ia menolak nash yang menetapkan sifat itu, karena ia menjadikan nash itu
menunjukkan penyerupaan, padahal tidak ada yang menunjukkan demikian, bahkan
hanya menunjukkan sifat yang sesuai bagi Allah Ta'ala.
b. Ia sama saja menolak semua nash yang menunjukkan tidak samanya Allah dengan
makhluk-Nya.
c. Ia sama saja meniadakan kesempurnaan bagi Allah Ta'ala, karena sama saja telah
menyamakan Allah Ta'ala dengan makhluk yang memiliki kekurangan.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin.

4/4
Kaedah Penting Asma'ul Husna (9)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/kaedah-penting-asmaul-husna-9.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 9)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang kaedah penting Asma'ul Husna, namun
mengenai beberapa syubhat sekaligus bantahannya, semoga Allah menjadikannya ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
Beberapa syubhat dan jawabannya
Sebagian Ahli ta'wil membawakan beberapa syubhat kepada Ahlus sunnah tentang
nash-nash shifat, mereka menyatakan bahwa Ahlus sunnah juga melakukan ta'wil nash
dari zhahirnya. Mereka berkata, "Bagaimana kalian mengingkari ta'wil yang kami
lakukan, padahal kalian sendiri juga melakukan ta'wil!?"
Kita jawab sangkaan itu dengan dua jawaban – sambil memohon pertolongan kepada Allah
Ta'ala- dengan jawaban yang mujmal (garis besar) dan jawaban yang mufashshal (rinci).
Jawaban yang mujmal adalah sbb.:
1. Kita tidak menerima pernyataan bahwa kaum salaf memalingkan juga dari
zhahirnya, karena zhahir dari kalimat ada yang maknanya langsung dipahami, dan
maknanya berbeda-beda tergantung susunannya dan kalimat yang dihubungkan
kepadanya. Hal itu, karena kata itu maknanya dapat berbeda-beda tergantung
penyusunannya, sedangkan kalimat tersusun dari beberapa kata, di mana maknanya
akan jelas dan dapat ditentukan setelah digabungkan antara kata yang satu dengan kata
yang lainnya.
2. Kalau pun di antara mereka ada yang memalingkan dari zhahihrnya, namun mereka
memiliki alasan dari Al Qur'an dan As Sunnah, baik muttashil (bersambung/ada dalam
kalimat itu, seperti adanya istitsna (pengecualian), syarat dan sifat) maupun munfashil
(terpisah, seperti karena indera, akal maupun syara').
Ini adalah jawaban secara mujmal, adapun secara mufashshalnya adalah jawaban
terhadap penta'wilan Ahlus sunnah terhadap nash yang mereka sebutkan. Misalnya apa
yang disebutkan oleh Al Ghazaaliy dari sebagian ulama madzhab Hanbali, bahwa Imam
Ahmad tidak melakukan penta'wilan kecuali dalam tiga perkara saja; tentang hajar aswad
adalah tangan kanan Allah di muka bumi, hati manusia di antara dua jari dari jari-jari Allah
dan tentang perkataan, "saya mendapatkan nafas (pertolongan) Ar Rahman dari arah
Yaman.
Syaikhul Islam menukil hal ini dalam Majmu' Fatawa juz 5 hal. 398, lalu ia berkata, "Cerita
ini adalah dusta terhadap Imam Ahmad."
Jawab: Karena ada tiga perkara, maka kami sebutkan jawaban terhadap masing-
masingnya.
1/4
Pertama, apa yang disebutkan bahwa hajar aswad adalah tangan kanan Allah di muka
bumi adalah hadits yang tidak sahih sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al
'Ilalul Mutanaahiyah, Ibnu 'Arabiy menyebutnya sebagai hadits batil yang tidak perlu
ditengok, sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadits itu
diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa isnad yang sahih. Dengan
demikian tidak perlu membicarakan secara mendalam. Namun Ibnu Taimiyah berkata;
"Dan yang masyhur tentang atsar ini adalah bahwa ia berasal dari Ibnu Abbas, di mana
ia berkata:
"Hajar aswad adalah tangan kanan Allah, barangsiapa yang menyalaminya dan
menciumnya, maka seakan-akan ia menyalami Allah dan mencium tangan kanan-Nya[i]."
Barang siapa yang memikirkan lafaz yang dinukil tersebut niscaya akan jelas baginya
bahwa tidak ada kemusykilan di sana, karena ia berkata, "Tangan kanan Allah di muka
bumi" tidak disebutkan secara mutlak "Tangan kanan Allah." Hukum terhadap lafaz
muqayyad (yang tidak disebut secara mutlak) berbeda dengan hukum terhadap lafaz
yang mutlak." Selanjutnya (dikatakan), "Barang siapa yang menyalaminya dan
menciumnya, maka seakan-akan ia menyalami Allah dan mencium tangan kanan-Nya."
Hal ini menunjukkan dengan tegas bahwa orang yang sedang bersalaman tidaklah
bersalaman sama sekali dengan tangan kanan Allah, akan tetapi seperti orang yang
bersalaman dengan Allah. Awal dan akhir hadits itu menerangkan bahwa hajar bukanlah
termasuk sifat Allah Ta'ala sebagaimana hal itu diketahui oleh orang yang berakal."
(Majmu' Fatawa Juz 6 hal. 398)
Kedua, tentang hati manusia di antara dua jari dari jari-jari Allah Ta'ala.
Memang hadits yang menyebutkannya adalah shahih, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
َ ‫» إن ﻗُﻠ ُﻮب ﺑﻨ ِﻰ آدم ﻛ ُﻠﻬﺎ ﺑﻴﻦ إﺻﺒﻌﻴﻦ ﻣ‬
. « ‫ﺸﺎُء‬ َ َ‫ﺚ ﻳ‬ ُ ْ ‫ﺣﻴ‬
َ ‫ﻪ‬ُ ُ ‫ﺼ ﺮﻓ‬
َ ُ ‫ﺣﺪ ٍ ﻳ‬
ِ ‫ﺐ وَا‬ٍ ْ ‫ﻦ ﻛ ََﻘﻠ‬
ِ ‫ﻤ‬َ ‫ﺣ‬
ْ ‫ﺻﺎﺑ ِِﻊ اﻟﺮ‬َ ‫ﻦأ‬ ْ ِ ِ ْ ََ ْ ِ َ َْ َ َ َ َ َ ِ
"Sesungguhnya hati anak Adam semuanya di antara dua jari dari jari-jari Ar Rahman
seperti satu hati, Dia membolak-balikkan sesuai yang dikehendaki-Nya." (HR. Muslim)
Kaum salaf berpegang dengan zhahir hadits tersebut, mereka berkata, "Sesungguhnya
Allah Ta'ala memiliki jari-jari secara hakikat, kita menetapkannya sebagaimana telah
ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun yang demikian tidaklah
mesti menyatu sehingga memberikan kesan bahwa hadits itu menunjukkan ikut
menyatu, oleh karenanya harus dialihkan dari zhahirnya. Perhatikanlah awan yang
ditundukkan antara langit dan bumi, ia tidak menyentuh langit dan tidak menyentuh
bumi. Demikian juga dikatakan, "Badar itu tempat di antara Makkah dan Madinah" dengan
jauhnya jarak masing-masing kota itu sehingga hati anak Adam semuanya di antara jari
dari jari Ar Rahman secara hakikat, namun tidak menunjukkan menempel dan menyatu."
Ketiga, tentang perkataan, "Saya mendapatkan nafas (pertolongan) Ar Rahman dari arah
Yaman."
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
َ ٌ ‫ﺔ ﻳﻤﺎﻧ ِﻴ‬ َ َ
‫ﻦ‬ َ َ ‫ﻞ اﻟ ْﻴ‬
ِ ‫ﻤ‬ ِ َ ‫ﻦ ﻗِﺒ‬
ْ ‫ﻣ‬ ِ ‫ﻢ‬ْ ُ ‫ﺲ َرﺑﻜ‬َ ‫ﺟﺪ ُ ﻧ ََﻔ‬
ِ ‫ﺔ وَأ‬ َ َ ُ ‫ﻤ‬ ِ ْ ‫ن وَاﻟ‬
َ ْ ‫ﺤﻜ‬ ٌ ‫ﻤﺎ‬َ َ‫ن ﻳ‬ َ ْ ‫أﻻ َ أن اْﻹ ِﻳ‬
َ ‫ﻤﺎ‬
"Ingatlah iman itu ada di kanan, hikmah merupakan bagian kanan dan saya mendapat nafas
Tuhanmu dari arah Yaman.[ii]"
Dalam Majma'uz Zawaa'id disebutkan, "Para perawinya adalah para perawi hadits shahih

2/4
selain Syabib, namun ia tsiqah."
Hadits ini kita bawa sesuai zhahirnya. Nafas merupakan isim masdar dari naffasa –
yunaffisu- tanfiisan wa nafasan sebagaimana farraj-yufarriju- tafriijan wa farajan. Dalam
Maqaayisul lughah disebutkan, "Nafas bagi segala sesuatu adalah yang
menghilangkannya dari derita." Oleh karena itu, makna hadits ini adalah bahwa
pertolongan Allah Ta'ala kepada kaum mukminin berasal dari penduduk Yaman. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Mereka adalah orang-orang yang membunuh orang-orang
yang murtad dan menaklukkan berbagai kota, melalui mereka Allah menolong kepada
kaum mukmin dari penderitaan." (Majmu' Fatawa Juz 6 hal. 398).
Contoh lainnya adalah seperti yang kami sebutkan di bawah ini:
Keempat, tentang firman Allah Ta'ala:
>äóÓx« Èe@ä3Î/ uqèdur 4 ;Nºuq»yJy​ yìö7y​ £`ßg1§q|¡sù Ïä!$yJ¡¡9$# ​n<Î) #​uqtGó​$ # §NèO
ÇËÒÈ ×LìÎ=tæ
"Dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu." (Terj. QS. Al Baqarah: 29)
Memang Ahlussunnah memiliki dua tafsiran terhadap ayat tersebut. Tafsiran pertama
adalah bahwa artinya di atas langit, dan inilah yang dikuatkan Ibnu Jarir. Tafsiran kedua
adalah bahwa istiwa' di sini maksudnya adalah menuju secara sempurna, inilah yang
dipegang oleh Ibnu Katsir pada tafsir surat Al Baqarah dan Al Baghawi pada tafsir surat
Fushshilat . Ibnu Katsir berkata, "Yakni menuju ke langit". Istiwaa' di sini mengandung
makna "menuju kepada" karena ada kata "ilaa." Al Baghawiy berkata, "Yakni menuju
untuk menciptakan langit."
Perkataan di atas bukanlah mengalihkan kalimat dari zhahihrnya, hal itu karena fi'il (kata
kerja) istawaa digandengkan dengan ilaa, sehingga maknanya berpindah kepada makna
yang sesuai dengan huruf yang digandengkan tersebut. Perhatikanlah firman Allah
Ta'ala:
ÇÏÈ #Z​​Éføÿs? $pktXrã​Édfxÿã​ «!$# ß​$ t7Ïã $pkÍ5 Ü>u​ô³o​ $YZø​tã
"(Yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka
dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya." (Terj. QS. Al Insaan: 6)
Di mana maknanya adalah para hamba Allah telah hilang dahaganya karena air itu,
karena fi'il "yasyrabu" ditambahkan huruf "baa" sehingga maknanya berpindah kepada
makna yang sesuai, yaitu "yarwaa" (hilang dahaga).
Kelima, firman Allah Ta'ala di surat Al Hadid:
4 öNçGYä. $tB tûøïr& óOä3yètB uqèdur (
"Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan." (Terj. QS. Al Hadid: 4)
Jawabnya adalah bahwa ayat tersebut kita bawa kepada hakikat dan zhahirnya, akan
tetapi yang menjadi permasalahan adalah apa hakikat dan zhahirnya? Apakah zhahir
dan hakikatnya adalah bahwa Allah Ta'ala bersama makhluk-Nya yang menunjukkan
bahwa Dia ikut menyatu dengan makhluk-Nya atau menempati tempat-tempat mereka,
atau apakah zhahir dan hakikatnya bahwa Allah Ta'ala bersama makhluk-Nya
menghendaki meliputi mereka pengetahuan-Nya, Kekuasaan-Nya, Pendengaran-Nya,
Penglihatan-Nya, Pengaturan-Nya dan Kekuasaan-Nya dan makna yang terkandung dari
rububiyyah lainnya, sedangkan Dia tetap berada Tinggi di atas 'arsyi-Nya; di atas semua

3/4
makhluk-Nya?
Jelas tanpa ragu lagi, bahwa pendapat kedua itulah yang benar dan pendapat pertama
tidak ditunjukkan oleh susunan ayat tersebut dan tidak ditunjukkan demikian dari
berbagai segi. Hal itu, karena kebersamaan di sini dihubungkan kepada Allah Ta'ala,
sedangkan Dia Maha Agung dan Maha Besar sehingga tidak mungkin diliputi oleh satu
pun makhluk-Nya. Di samping itu, kebersamaan dalam bahasa Arab; bahasa yang
dengannya Al Qur'an diturunkan tidaklah menghendaki bersatu atau bersama
tempatnya, bahkan hanyalah menunjukkan kebersamaan mutlak yang kemudian
ditafsirkan menurut yang sesuai.
Contoh keenam, firman Allah Ta'ala:
ÇÍÐÈ tbqãèÅ​qßJs9 $¯RÎ)ur 7​&​÷ ​r'Î/ $yg»oYø​t^t/ uä!$uK¡¡9$#ur
"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar
berkuasa." (Adz Dzaariyaat: 56)
Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah dan Ats Tsauriy menafsirkan kata "Aiid" di ayat tersebut
dengan kekuatan. Sebagian orang mengira bahwa Ibnu Abbas dan yang sama seperti
beliau telah melakukan ta'wil, karena mengartikan dengan "kekuatan." Terhadap
persangkaan ini kita jawab, bahwa "yad" dengan "Aiid" itu dalam bahasa Arab berbeda.
Yad artinya tangan, sedangkan aiid artinya quwwah (kekuatan), seperti pada ayat:
ÇÊÍÈ tûïÌ​Îg»sß (#qßst7ô¹r'sù öNÏdÍirß​tã 4​n?tã (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# $tRô​​r'sù (
"Maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh
mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (Ash Shaff: 14)
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin.

[i] Namun atsar ini juga sangat dha'if, disebutkan oleh Ibnu Qutaibah dalam Ghariibul
hadits (3/107/1) dari Ibrahim bin Yazid dari 'Athaa' dari Ibnu Abbas secara mauquf,
sepertinya lebih tampak mauquf, meskipun dalam sanadnya terdapat orang yang sangat
dha'if, karena Ibrahim ini, yakni Al Khauziy adalah seorang yang matruk (ditinggalkan)
sebagaimana dikatakan Ahmad dan Nasa'i. (Lihat Adh Dha'iifah (1/ hal. 391) cet. Al
Ma'aarif-Riyadh [Dari tahqiq Haaniy Al Haaj].
[ii] Isnadnya tidak mengapa, diriwayatkan oleh Ahmad (2/541), Thabrani dalam Musnad
Syaamiyin (2/183). Al Haafizh dalam Takhrij Al Kasysyaaf (4/541) berkata, "Disebutkan oleh
Thabrani dalam Al Awsath dan Musnad orang-orang Syam dari jalan Jarir bin Utsman dari
Syabib bin Rauh dari Abu Hurairah…isnadnya tidak mengapa. Hadits ini juga memiliki
syahid dari hadits Salamah bin Nufail As Sukuuniy dalam Musnad Al Bazzar, Thabrani
dalam Al Kabir dan Baihaqi dalam Al Asmaa'. Dalam isnadnya terdapat Sulaiman Al
Afthas, Al Bazzar berkata, "Sesungguhnya ia tidak masyhur." [Dari Takhqiq Haaniy Al
Haaj].

4/4
Kaedah Penting Asma'ul Husna (10)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/kaedah-penting-asmaul-husna-10.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 10)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang kaedah penting Asma'ul Husna, namun
mengenai beberapa syubhat sekaligus bantahannya, semoga Allah menjadikannya ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
Batilnya anggapan bahwa kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya menunjukkan
bahwa Dia menempati dan menyatu dengan makhluk-Nya
Anggapan tersebut adalah sangat batil sekali berdasarkan beberapa alasan berikut:
1. Anggapan itu menyelisihi ijma' kaum salaf, tidak ada satu pun di antara mereka yang
menafsirkan seperti itu.
2. Yang demikian sama saja menafikan ketinggian Allah Ta'ala yang jelas berdasarkan
Al Qur'an, As Sunnah, akal, fitrah dan ijma' kaum salaf.
3. Yang demikian mengakibatkan hal-hal yang batil yang tidak layak bagi Allah Ta'ala.
Oleh karena itu, pendapat kedua sebagaimana telah diterangkan sebelumnya itulah
yang benar, yakni Allah Ta'ala bersama makhluk-Nya yang menghendaki pengetahuan-
Nya meliputi mereka, demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan dan
kepengurusan-Nya yang memang dikehendaki oleh rububiyyah-Nya dengan ketinggian
Dzat-Nya di atas 'arsy-Nya; di atas semua makhluk-Nya. Perhatikanlah firman Allah Ta'ala
berikut kepada Nabi Musa 'alaihis salam:
ÇÍÏÈ 2​u​r&ur ßìyJó​r& !$yJà6yètB ÓÍ_¯RÎ) ( !$sù$s​rB ​w tA$s%
Allah berfirman, "Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya aku beserta kamu berdua,
aku mendengar dan melihat". (Terj. QS. Thaha: 46)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Kesimpulannya, bahwa dalam Al Qur'an dan As
Sunnah dapat diperoleh petunjuk dan cahaya yang sempurna bagi orang yang
mentadabburi kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, dimana maksudnya mencari yang hak
dan berpaling dari mengubah perkataan dari tempat-tempatnya serta sikap
menyimpang dalam masalah nama Allah dan sifat-Nya. Janganlah ada seorang yang
menyangka bahwa salah satunya bertentangan dengan yang lain dengan menyatakan
bahwa apa yang disebutkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah bahwa Allah Ta'ala berada
di atas 'Arsy menyalahi zhahir firman Allah Ta'ala "Wa huwa ma'akum" (Dan Dia bersama
kamu) serta sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
َ ‫إذ َا ﻗَﺎ‬
ِ‫ﺟﻬِﻪ‬
ْ َ‫ﻞ و‬ َ ‫ﻢ إ ِﻟ َﻰ اﻟﺼﻼ َةِ ﻓَﺈ ِن اﻟﻠ‬
َ َ ‫ﻪ ﻗِﺒ‬ ْ ُ ‫ﺣﺪ ُﻛ‬
َ ‫مأ‬َ ِ
"Apabila salah seorang di antara kamu bangkit untuk shalat, sesungguhnya Allah di
depannya."
Dan semisalnya, sangkaan ini adalah keliru. Hal itu, karena Allah bersama kita secara
1/5
hakikat, Dia juga berada di atas 'Arsy secara hakikat sebagaimana Allah menggabung
keduanya dalam firman-Nya:
​n?tã 3​uqtGó​$ # §NèO 5Q$​​r& Ïp​GÅ​ ​Îû uÚö​F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# t,n=y{ ​Ï%©!$# uqèd
z`ÏB ãAÍ​\ t​ $tBur $pk÷]ÏB ßlã​ø​s​ $tBur ÇÚö​F{$# ​Îû ßkÎ=t​ $tB ÞOn=÷èt​ 4 ĸó​y êø9$#
$yJÎ/ ª!$#ur 4 öNçGYä. $tB tûøïr& óOä3yètB uqèdur ( $pk​Ïù ßlã​÷ èt​ $tBur Ïä!$uK¡¡9$#
ÇÍÈ ×​​ÅÁt/ tbqè=uK÷ès?
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di
atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar
daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia
bersama kamu di mama saja kamu berada[i]. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan." (Al Hadiid: 4)
Allah mengabarkan bahwa Dia berada di atas 'Arsy, mengetahui segala sesuatu, dan Dia
bersama kita di mana saja kita berada sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam hadits tentang kambing gunung,
َ
ِ‫ﻢ ﻋ َﻠ َﻴ ْﻪ‬
ْ ُ ‫ﻣﺎ أﻧ ْﺘ‬ ُ َ ‫ش وَﻫُﻮَ ﻳ َﻌْﻠ‬
َ ‫ﻢ‬ ْ
ِ ‫ﻪ ﻓَﻮْقَ اﻟﻌَْﺮ‬
ُ ‫وَاﻟﻠ‬
"Dan Allah berada di atas 'Arsy, Dia mengetahui keadaan kamu."[ii]
Tafsir ma'iyyah (kebersamaan) Allah sesuai zhahirnya yang layak bagi Allah Ta'ala
tidaklah bertentangan dengan apa yang disebutkan bahwa Allah Ta'ala Maha
Tinggi Dzat-Nya di atas 'arsy-Nya
Tafsir ma'iyyah (kebersamaan) Allah sesuai zhahirnya yang layak bagi Allah Ta'ala
tidaklah bertentangan dengan apa yang disebutkan bahwa Allah Ta'ala Mahatinggi Dzat-
Nya di atas 'arsy-Nya berdasarkan beberapa alasan berikut:
1. Allah Ta'ala menggabung kedua hal tersebut, "Kebersamaan dan ketinggian-Nya"
dalam kitab-Nya yang bersih dari pertentangan antara ayat yang satu dengan ayat
lainnya, ada apa yang digabungkan Allah Ta'ala dalam kitab-Nya tidaklah
bertentangan.

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:


Ïm​Ïù (#rß​y `uqs9 «!$# Î​ö​xî Ï​Z Ïã ô`ÏB tb%x. öqs9ur 4 tb#uäö​à)ø9$# tbrã​​/ y​tFt​ ​xsùr&
ÇÑËÈ #Z​​ÏW​2 $Zÿ»n=ÏF÷z$#
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (Terj. QS. An
Nisaa': 82)
Oleh karena itu, ketinggian Allah Ta'ala tidaklah bertentangan dengan kebersamaan-Nya
dengan makhluk-Nya, sebagaimana kebersamaan-Nya tidak bertentangan dengan
ketinggian-Nya, bahkan kedua-duanya adalah hak.

2/5
2. Pada hakikatnya makna ma'iyyah tidak bertentangan dengan ketinggian Allah,
karena berkumpul bersama kedua-duanya adalah hal yang mungkin bagi makhluk,
seperti pada kata-kata seseorang, "Ketika kita berjalan, bulan selalu menyertai
kita," dan hal itu tidaklah dipandang bertentangan serta tidaklah dipahami bahwa
bulan tersebut turun ke bumi. Jika hal ini saja masih mungkin bagi makhluk, apalagi
bagi Al Khaliq yang meliputi segala sesuatu dengan ketinggian-Nya. Hal itu, karena
hakikat ma'iyyah itu tidaklah menghendaki berkumpul di satu tempat. Syaikh Ibnu
'Utsaimin berkata, "Jika yang mengetahui dirimu, melihat dan memperhatikanmu,
mendengar kata-katamu, melihat perbuatanmu dan mengatur semua urusanmu,
maka sebenarnya Dia bersamamu, meskipun Dia berada di atas 'Arsy secara
hakikat, karena ma'iyyah tidaklah menghendaki bersama di satu tempat."
3. Anggap saja misalnya, tidak mungkin bagi makhluk berkumpul dua hal; ma'iyyah
(kebersamaan) dan ketinggian. Namun hal itu, tidaklah mustahil bagi Khaaliq yang
menggabungkan kedua hal itu pada Diri-Nya. Hal itu, karena tidak ada sesuatu pun
makhluk yang serupa dengan Allah Ta'ala. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
'Aqidah Wasithiyyah (hal. 143) berkata, "Apa yang disebutkan dalam Al Qur'an dan
As Sunnah tentang kedekatan-Nya dan kebersamaan-Nya tidaklah menafikan apa
yang disebutkan tentang ketinggian dan keberadaan-Nya di atas. Hal itu, karena
Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya
dalam semua sifat-Nya; Dia Mahatinggi dengan kedekatan-Nya dan Mahadekat
dengan ketinggian-Nya."

Setelah anda memahami hal ini, maka sesungguhnya manusia dalam masalah ini terbagi
menjadi beberapa golongan:
1. Golongan yang mengatakan bahwa kebersamaan Allah Ta'ala dengan makhluk-Nya
menghendaki bahwa Dia mengetahui dan meliputi dalam ma'iyyah (kebersamaan)
yang sifatnya umum. Dia memberikan pertolongan dan bantuan dalam ma'iyyah
yang sifatnya khusus tentunya dengan tetap ketinggian dzat (Diri) dan
bersemayam-Nya di atas 'Arsy. Inilah pendapat yang dipegang kaum salaf dan
inilah pendapat yang benar.
2. Golongan yang mengatakan, bahwa kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya
menghendaki bahwa Dia bersama mereka di bumi dan menolak ketinggian-Nya
dan keberadaan-Nya di atas 'Arsy. Pendapat ini dipegang oleh kaum Hululiyyah
dari kalangan Jahmiyyah yang terdahulu dan lainnya. Pendapat ini adalah batil dan
munkar, kaum salaf telah sepakat terhadap kebatilannya serta kemungkarannya.

Catatan:
Tafsir kaum salaf tentang kebersamaan Allah Ta'ala dengan makhluk-Nya yakni dengan
ilmu-Nya tidaklah menunjukkan terbatas sampai di situ, bahkan kebersamaan ini
menghendaki juga meliputi mereka baik pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, kekuasaan-
Nya dan kepengurusan-Nya dan lain sebagainya yang termasuk bagian makna
rububiyyah-Nya.
Khulashah (kesimpulan)
1. Ma'iyyah (kebersamaan) Allah Ta'ala dengan makhluk-Nya adalah benar
berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah dan ijma' kaum salaf.
3/5
2. Kebersamaan tersebut merupakan hak (benar) hakikatnya sesuai yang layak bagi
Allah Ta'ala, namun berbeda dengan kebersamaan makhluk dengan makhluk.
3. Kebersamaan tersebut menghendaki Dia mengetahui, mengusai, mendengar,
melihat dan mengatur makhluk-Nya dan makna lainnya yang terkandung dalam
rububiyyah-Nya. Inilah yang disebut dengan "Ma'iyyah 'Ammah" (umum). Kebersamaan
itu menghendaki juga memberikan pertolongan, bantuan, penguatan dan taufiq dari-Nya
jika ma'iyyah tersebut khashshah (khusus) seperti kepada wali-wali-Nya.
4. Kebersamaan Allah Ta'ala dengan makhluk-Nya tidaklah menghendaki bahwa Allah
bersatu dengan makhluk-Nya atau menempati tempat mereka, dan hal itu tidak
ditunjukkkan oleh satu dalil pun dari berbagai sisi.
Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara kebersamaan Allah Ta'ala dengan
makhluk-Nya secara hakikat dan dengan Zat-Nya yang berada di atas 'Arsy-nya secara
hakikat.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin (tahqiq Hani Al Haaj, cet. Maktabah Al 'Ilm, Cairo, th.1425 H).

[i] Zhahir ayat ini adalah bahwa konsekwensi dari kebersamaan Allah Ta'ala adalah
dengan mengetahui hamba-hamba-Nya dan melihat amalan mereka dengan ketinggian-
Nya di atas mereka dan bersemayamnya Dia di atas 'Arsy, tidak menunjukkan bahwa Dia
ikut menyatu dengan makhluk-Nya, dan tidak juga menunjukkan bahwa Dia bersama
mereka di bumi. Karena jika tidak seperti itu, tentu akhir ayat bertentangan dengan
awalnya yang menunjukkan ketinggian-Nya dan bersemayam-Nya di atas 'Arsy.
[ii] Hadits ini dha'if, diriwayatkan oleh Ahmad (206, 207), Abu Dawud dalam As Sunnah
bab tentang Jahmiyyah (4723), Tirmidzi (5/3320), Ibnu Majah dalam Mukaddimah bab
tentang yang diingkari oleh Jahmiyyah (193) dan lainnya melalui jalan Samaak bin Harb
dari Abdullah bin Umairah dari Al Ahnaf bin Qais dari Al 'Abbas secara marfu'. Sanad
hadits ini dha'if dan terputus, di samping matannya mungkar sebagaimana dalam
penjelasan berikut:
1. Samaak bin Harb menyendiri, Nasa'i dalam At Tahdziib berkata: "Terkadang ia
diajari, jika ia sendiri dengan asalnya, maka tidak menjadi hujjah, karena ia diajari baru
kemudian bisa." (4/396)
2. Majhulnya Abdullah bin Umairah. Muslim dalam Al Wihdaan (hal. 144 cet. Al Baaz)
berkata, "Samaak menyendiri dalam riwayatnya dari Abdullah bin Umairah. Sehingga
Ibnu Umairah adalah majhul orangnya menurut Muslim, karena majhul orangnya
tidaklah bisa hilang kecuali dengan riwayat dua orang yang tsiqah. Oleh karena itu, Adz
Dzahabiy berkata dalam Al Miizaan, "Di dalamnya terdapat kemajhulan." Lihat Adh
Dha'iifah (2/hadits no. 881/hal. 282) cet. Al Ma'aarif-Riyadh.
3. Tentang mungkarnya. Syaikh Abdullah bin Ash Shidiq berkata dalam tahqiqnya
terhadap kitab At Tamhiid (7/140), "Ia adalah hadits yang dha'if sanadnya karena terputus
dan karena mudhtharibnya Samaak di sana, maknanya juga mungkar karena menyalahi
Al Qur'an dan As Sunnah yang mutawatir yang menyifati para malaikat dengan sayap-
4/5
sayap, namun hadits ini menyifatinya dengan tanduk dan kuku. Al Qur'an juga mencela
orang-orang musyrik karena mereka menjadikan para malaikat yang sebenarnya adalah
sebagai hamba Ar Rahman menjadi kaum wanita, sedangkan hadits tersebut menjadikan
malaikat para pemikul 'arsy sebagai kambing gunung, padahal kambing gunung itu biasa
disebut sebagai celaan sebagaimana hadits "Maukah kalian aku beritahukan tentang
kambing gunung yang dipinjam?" yaitu Al Muhallil", seorang penyair Arab juga berkata,
"Seburuk-buruk pemberian adalah kambing gunung sebagai pinjaman."
Syaikh Al Albani juga mengisyaratkan tentang kedha'ifannya, Adh Dha'iifah (2/hal. 282), ia
juga mendha'ifkannya dalam Zhilaalul Jannah (577) dan Syarh Ath Thahaawiyyah (hal.
277). [Dari Tahqiq Haaniy Al Haaj].

5/5
Kaedah Penting Asma'ul Husna (11)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/kaedah-penting-asmaul-husna-11.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 11)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang kaedah penting Asma'ul Husna, dan sekarang
masuk ke dalam tanya-jawab. Semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
Pertanyaan: Apa maksud firman Allah Ta'ala berikut:
ÇÊÏÈ Ï​​Í​uqø9$# È@ö7ym ô`ÏB Ïmø​s9Î) Ü>t​ø%r& ß`øtwUur
"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya," (Terj. QS. Qaaf: 16)
dan ayat,
ÇÑÎÈ tbrç​ÅÇö6è? ​w `Å3»s9ur öNä3ZÏB Ïmø​s9Î) Ü>t​ø%r& ß`øtwUur
"Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat," (Terj. QS. Al
Waaqi'ah: 85)?
Jawab: Yang dimaksud pada ayat tersebut adalah malaikat berdasarkan lanjutan
ayatnya. Lanjutan surat Qaaf ayat 17 dan 18 yaitu:
$¨B ÇÊÐÈ Ó​​Ïès% ÉA$uKÏe±9$# Ç`tãur ÈûüÏJu​ø9$# Ç`tã Èb$u​Ée)n=tGßJø9$# ​¤ +n=tGt​ ø​Î)
ÇÊÑÈ Ó​​ÏGtã ë=​Ï%u​ Ïm÷​y ​s9 ​wÎ) @Aöqs% `ÏB àáÏÿù=t​
(yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah
kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.----Tidak ada suatu ucapan pun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Terj. QS.
Qaaf: 17-18)
Sedangkan lanjutan ayat 85 surat Al Waaqi'ah adalah, "wa laakil laa tubshiruun" (tetapi
kamu tidak melihat), di mana hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah para
malaikat, karena mereka berada dekat dengan seorang yang akan meninggal, akan
tetapi tidak terlihat. Mungkin seorang bertanya, "Tetapi, mengapa Allah menghubungkan
kedekatan itu kepada-Nya?" Jawabnya adalah, bahwa Allah Ta'ala menghubungkan
kedekatan malaikat kepada-Nya, karena mendekatnya mereka atas perintah-Nya,
mereka adalah para utusan-Nya dan tentara-Nya. Contoh yang sama dengan hal ini
adalah firman Allah Ta'ala:
ÇÊÑÈ ¼çmtR#uäö​è% ôìÎ7¨?$$sù çm»tRù&t​s% #s​Î*sù
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu." (Al Qiyamah: 18)
Yang dimaksud di sini adalah bacaan malaikat Jibril kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, namun di ayat ini Allah ta'ala menghubungkan bacaan terebut kepada-Nya
karena malaikat Jibril membacakan Al Qur'an kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam atas perintah-Nya.
**********
1/4
Pertanyaan: Apa maksud firman Allah Ta'ala tentang kapal Nabi Nuh 'alaihis salam,
ÇÊÍÈ t​Ïÿä. tb%x. `yJÏj9 [ä!#t​y _ $uZÏ^ã​ôãr'Î/ ​Ì​øgrB
"Yang berlayar dengan pengawasan Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari
(Nuh)." (Terj. QS. Al Qamar: 14)
dan ayat,
ÇÌÒÈ ûÓÍ_ø​tã 4​n?tã yìoYóÁçGÏ9ur
"Dan agar kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku," (Terj. QS. Thaahaa: 39)
Jawab: Makna pada kedua ayat di atas adalah sesuai zhahir dan hakikatnya, akan tetapi
apa zhahir dan hakikatnya pada ayat tersebut? Apakah zhahirnya bahwa kapal tersebut
berlayar di penglihatan-penglihatan Allah dan bahwa Nabi Musa 'alaihis salam diasuh di
depan mata-Nya atau zhahirnya bahwa kapal tersebut berlayar, sedangkan mata Allah
memperhatikan dan mengawasi, demikian juga Nabi Musa 'alaihis salam diasuh di
bawah penglihatan Allah; Dia melihat dan mengawasinya?
Tidak diragukan lagi bahwa pendapat pertama batil berdasarkan dua sisi:
Pertama, pendapat tersebut tidak sesuai dengan pembicaraan dalam bahasa Arab,
padahal Al Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab, dan lagi tidak ada seorang yang
memahami perkataan seseorang, "fulan berjalan di mataku" bahwa maksudnya adalah
bahwa si fulan berjalan di dalam mataku, atau perkataan seseorang, "fulan lulus di
hadapan mataku" bahwa maksudnya adalah ia lulus naik berada di atas matanya. Kalau
ada orang yang berpendapat bahwa inilah zhahir lafaz itu tentu orang-orang dungu akan
tertawa apalagi orang-orang yang berakal.
Kedua, hal ini sangat tidak mungkin, yakni tidak mungkin bagi orang yang mengenal Allah
dan mengagungkan-Nya dengan pengagungan yang semestinya memahami seperti di
atas berkaitan dengan Allah Ta'ala, karena Allah bersemayam di atas 'Arsy-Nya, berpisah
dengan makhluk-Nya, tidak menempati ke dalam salah satu makhluk-Nya dan tidak bisa
ditempati oleh makhluk-Nya; Mahasuci Allah Ta'ala dari yang demikian.
Jika telah jelas bagimu batilnya pendapat kedua dari sisi lafaz dan makna, maka jelaslah
bahwa pendapat kedua itulah zhahirnya, yakni bahwa kapal itu berlayar, sedangkan
mata Allah memperhatikan dan mengawasi, demikian juga Nabi Musa 'alaihis salam
diasuh, sedangkan mata Allah memperhatikan dan mengawasi. Inilah maksud perkataan
sebagian kaum salaf bahwa maksudnya adalah "di bawah penglihatan-Nya", karena jika
Allah Ta'ala mengawasi dengan mata-Nya, tentu lazimnya adalah bahwa Dia melihatnya,
dan lazim dari makna yang shahih adalah bagian daripadanya sebagaimana telah
diterangkan sebelumnya tentang dilalah lafaz.
**********
Pertanyaan: Apa maksud firman Allah Ta'ala dalam hadits qudsi berikut:
َ ِ ُ ‫ﺣﺘ ﻰ أ‬
‫ﺼُﺮ‬ِ ْ ‫ﺼَﺮه ُ اﻟﺬ ِي ﻳ ُﺒ‬َ َ ‫ وَﺑ‬،ِ‫ﻤﻊُ ﺑ ِﻪ‬
َ ‫ﺴ‬ْ َ ‫ﻪ اﻟﺬ ِي ﻳ‬ ُ َ ‫ﻤﻌ‬ ْ ‫ﺳ‬ َ ‫ﺖ‬ُ ْ ‫ ﻛ ُﻨ‬:‫ﻪ‬ ْ ‫ ﻓَﺈ ِذ َا أ‬،‫ﻪ‬
ُ ُ ‫ﺣﺒ َﺒ ْﺘ‬ ُ ‫ﺣﺒ‬ َ ‫ﻞ‬ِ ِ‫ب إ ِﻟ َﻲ ﺑ ِﺎﻟﻨﻮَاﻓ‬ ُ ‫ﻣﺎ ﻳ ََﺰا‬
ُ ‫ل ﻋ َﺒ ْﺪ ِي ﻳ َﺘ ََﻘﺮ‬ َ َ‫و‬
ُ َ َ ُ َ َ َ َ
،‫ﻪ‬ُ ‫ﻋﻴﺬ َﻧ‬ ِ ‫ﺳﺘ َﻌَﺎذ َﻧ ِﻲ ﻷ‬
ْ ‫ﻦا‬ ِ ِ ‫ وَﻟﺌ‬،‫ﻪ‬ُ ‫ﺳﺄﻟﻨ ِﻲ ﻷﻋ ْﻄ ِﻴ َﻨ‬ َ ‫ن‬ْ ِ ‫ وَإ‬،‫ﺸﻲ ﺑ ِﻬَﺎ‬ ِ ‫ﻤ‬ْ َ ‫ﻪ اﻟﺘ ِﻲ ﻳ‬ ُ ‫ﺟﻠ‬ ْ ِ‫ وَر‬،‫ﺶ ﺑ ِﻬَﺎ‬
ُ ِ ‫ وَﻳ َﺪ َه ُ اﻟﺘ ِﻲ ﻳ َﺒ ْﻄ‬،ِ‫ﺑ ِﻪ‬
"Hamba-Ku senantiasa mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan sunat sehingga
Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya
yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat
dan tangannya yang dia digunakan untuk bertindak serta kakinya yang dia gunukan
untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku. Niscaya Aku akan berikan dan jika Dia
meminta perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku akan melindungi." (HR. Bukhari)

2/4
Jawab: Ahlus Sunnah berpegang dengan zhahir hadits tersebut dan mereka
memberlakukannya sesuai hakikatnya, namun apa zhahir hadits tersebut? Apakah
zhahirnya adalah bahwa Allah Ta'ala menjadi pendengaran wali-Nya, penglihatan wali-
Nya, tangan dan kaki wali-Nya? Atau apakah zhahirnya bahwa Allah Ta'ala mengarahkan
wali-Nya baik pada pendengarannya, penglihatannya, tangan dan kakinya sehingga
tindakan dan amalnya dilakukan karena Allah dan di jalan Allah?
Perkataan kedua inilah yang benar, yakni Allah Ta'ala mengarahkan wali-Nya baik pada
pendengarannya, penglihatannya, tangan dan kakinya sehingga tindakan dan amalnya
dilakukan karena Allah dan di jalan Allah. Adapun perkataan yang pertama adalah bukan
zhahir hadits tersebut berdasarkan beberapa keterangan berikut:
1. Susunan hadits tersebut menunjukkan ada dua pihak yang berbeda, yang satu
dengan yang lain berbeda. Di hadits tersebut ada hamba dan ada yang disembah, ada
yang mendekatkan diri dan ada yang didekati, ada yang mencintai dan ada yang dicintai,
ada yang meminta dan ada yang diminta dst. Hal ini menunjukkan bahwa yang satu
tidak bisa menjadi sifat bagi yang lain atau menjadi bagiannya.
2. Pendengaran, penglihatan, tangan dan kaki si wali semuanya merupakan sifat atau
bagian pada diri makhluk yang terwujud setelah sebelumnya tidak ada. Tidak mungkin
bagi orang yang berakal memahami bahwa Al Khaaliq yang tidak ada sebelum-Nya
sesuatu menjadi pendengaran, penglihatan, tangan dan kaki makhluk. Dengan demikian,
ia bukanlah zhahir hadits tersebut.
Oleh karena itu, yang benar adalah bahwa Allah Ta'ala mengarahkan wali-Nya; baik
mengarahkan pendengarannya, penglihatannya dan amalnya sehingga tindakan yang
dilakukannya ikhlas karena Allah, sambil senantiasa berharap kepada-Nya dan di jalan
Allah Ta'ala (mengikuti syari'at-Nya), ia pun dapat melaksanakan tiga hal secara
sempurna; ikhlas, isti'anah (memohon pertolongan kepada-Nya) dan mutaba'ah
(mengikuti sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam), inilah taufiq yang sebenarnya,
dan inilah tafsir salaf; sebagai tafsir yang sesuai dengan zhahir lafaz, sejalan dengan
hakikat dan bukan sebagai ta'wil atau pengalihan dari zhahirnya.
**********
Pertanyaan: Apa maksud firman Allah Ta'ala dalam hadits Qudsi berikut:
‫ﻪ‬ َ َ ‫ وﻣ‬،‫ وﻣﻦ ﺗَﻘﺮب ﻣﻨﻲ ذراﻋ ًﺎ ﺗَﻘﺮﺑﺖ ﻣﻨﻪ ﺑﺎﻋ ًﺎ‬،‫ﻣﻦ ﺗَﻘﺮب ﻣﻨﻲ ﺷﺒﺮا ﺗَﻘﺮﺑﺖ ﻣﻨﻪ ذراﻋ ًﺎ‬
ُ ُ ‫ﺸﻲ أﺗ َﻴ ْﺘ‬ ِ ‫ﻤ‬
ْ َ ‫ﻦ أﺗ َﺎﻧ ِﻲ ﻳ‬
ْ َ َ َ ُ ْ ِ ُ ْ َ َِ ِ َ َ ْ َ َ َِ ُ ْ ِ ُ ْ َ ًْ ِ ِ َ َ ْ َ
‫ﺔ‬ً َ ‫ﻫَْﺮوَﻟ‬
"Barang siapa yang mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan
mendekatinya sehasta, dan barang siapa yang mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku
akan mendekatinya sedepa dan barang siapa saja yang datang kepada-Ku dengan
berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR. Bukhari dan Muslim)?
Jawab: Hadits ini sama dengan hadits-hadits lainya yang menerangkan
tegak(berjalan)nya perbuatan-perbuatan ikhtiyariy (yang dipilih) Allah Subhaanahu wa
Ta'aala, dan bahwa Dia melakukan apa yang diinginkan-Nya, sebagaimana disebutkan
tentang hal ini dalam Al Qur'an maupun As Sunnah, misalnya ayat:
ÇËËÈ $yÿ|¹ $yÿ|¹ à7n=yJø9$#ur y7​/ u​ uä!%y`ur
"Dan datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris." (Terj. QS. Al Fajr: 22)
( Èb$tãy​ #s​Î) Æí#¤$!$# nouqôãy​ Ü=​Å_é& ( ë=​Ì​s% ​ÎoTÎ*sù ÓÍh_tã ​Ï​$ t6Ïã y7s9r'y​ #s​Î)ur
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),

3/4
bahwasanya aku adalah dekat." Sku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila
ia memohon kepada-Ku,..dst.". (Terj. QS. Al Baqarah: 186)
ÇÎÈ 3​uqtGó​$ # ĸö​y èø9$# ​n?tã ß`»oH÷q§​9 $#
"(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy." (Terj. Thaha: 5)
Demikian juga dalam hadits, seperti di bawah ini:
ِ ‫ﺧﺮ‬ ِ ‫ﻞ اْﻵ‬ ُ ُ ‫ﻦ ﻳ َﺒ َْﻘﻰ ﺛ ُﻠ‬
ِ ْ ‫ﺚ اﻟﻠﻴ‬ َ ْ ‫ﺣﻴ‬ َ ‫ل َرﺑﻨ َﺎ إ ِﻟ َﻰ اﻟﺴ‬
ِ ‫ﻤﺎِء اﻟﺪﻧ ْﻴ َﺎ‬ ُ ِ‫ﻳ َﻨ ْﺰ‬
"Rabb kita turun ke langit dunia ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir."
ِ‫ﻤﻴﻨ ِﻪ‬
ِ َ ‫ﻦ ﺑ ِﻴ‬
ُ ‫ﻤ‬ ْ ‫ﺧﺬ َﻫَﺎ اﻟﺮ‬
َ ‫ﺣ‬ َ َ ‫ إ ِﻻ أ‬،‫ﺐ‬ َ ‫ﻪ إ ِﻻ اﻟﻄﻴ‬ ُ َ ‫ وََﻻ ﻳ َْﻘﺒ‬،‫ﺐ‬
ُ ‫ﻞ اﻟﻠ‬ ٍ ‫ﻦ ﻃ َﻴ‬ ِ ٍ‫ﺼﺪ َﻗَﺔ‬
ْ ‫ﻣ‬ َ ِ ‫ﺣﺪ ٌ ﺑ‬
َ
َ َ ‫َﺎ ﺗ‬
َ ‫ﺼﺪ ق َ أ‬
"Tidaklah seseorang bersedekah dari yang baik, dan memang Allah hanya menerima
yang baik, kecuali Ar Rahman akan mengambilnya dengan Tangan kanan-Nya." (HR.
Muslim)
dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan tegaknya (berjalannya) perbuatan-
perbiatan ikhtiyari bagi Allah Ta'ala.
Kaum salaf Ahlus Sunnah wal Jama'ah memberlakukan nash-nash ini sesuai zhahirnya
dan hakikat maknanya yang layak bagi Allah Ta'ala tanpa mentakyif (menanyakan
bagaimana) maupun mentamtsil (menyerupakan dengan sifat makhluk). Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun kedekatan Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan mendekat-
Nya kepada sebagian hamba-Nya, maka ditetapkan juga oleh orang-orang yang menetapkan
tegak(berjalan)nya perbuatan-perbuatan ikhtiyari bagi Allah sendiri, (termasuk juga)
kedatangan-Nya pada hari kiamat, turun-Nya (ke langit dunia) dan bersemayam-Nya di atas
'Arsy. Ini adalah madzhab para imam salaf dan imam-imam Islam yang masyhur serta
(madzhabnya) Ahlul hadits, penukilan dari mereka adalah mutawatir." (Majmu' Fatawa Juz 5,
hal. 366 bagian syarh hadits nuzul)
Apa yang menghalangi untuk mengatakan bahwa Dia mendekat kepada hamba-Nya
sesuai yang dikehendaki-Nya dengan ketinggian-Nya? Apa yang menghalangi untuk
mengatakan bahwa Dia akan datang pada hari kiamat sesuai yang dikehendaki-Nya
tanpa perlu mengkaifiyatkan bagaimananya dan menyerupakan dengan makhluk-Nya?
Bukankah ini merupakan tanda kesempurnaan-Nya, Dia berbuat apa yang diinginkan-
Nya sesuai yang layak bagi-Nya!
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin (tahqiq Hani Al Haaj, cet. Maktabah Al 'Ilm, Cairo, th.1425 H).

4/4
Kaedah Penting Asma'ul Husna (13)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/02/kaedah-penting-asmaul-husna-13.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 13)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang kaedah penting Asma'ul Husna, dan masih
menyebutkan tanya-jawab. Semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
Mungkin seorang bertanya, "Ya, kita sudah mengetahui batilnya madzhab para pelaku
takwil dalam masalah sifat Allah 'Azza wa Jalla. Tetapi, mereka yang melakukan takwil di
antaranya adalah orang-orang yang bermadzhab Asyaa'irah, madzhab yang dipakai oleh
umumnya kaum muslimin dalam berakidah. Maka, bagaimana madzhab mereka
dikatakan batil?
Jawab: Terhadap pertanyaan ini, kita akan menjawab dengan beberapa jawaban:
1. Banyaknya jumlah bukanlah menjadi pegangan, bahkan yang demikian tidak
menunjukkan ma'shum (terjaga dari kesalahan). Yang ma'shum adalah ijma' mereka,
bukan pada jumlah.
2. Ijma' kaum muslimin pada zaman dahulu ternyata berbeda dengan apa yang
dipegang oleh kaum muslimin pada umumnya di zaman sekarang. Para sahabat, tabi'in
dan para imam sepakat unttuk menetapkan apa yang Allah Azza wa Jalla tetapkan untuk
Diri-Nya atau ditetapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk-Nya berupa asma'
wa shifat, serta menjalankan nash sesuai zhahirnya yang layak bagi Allah Ta'ala tanpa
mentahrif, menta'thil, mentakyif dan mentamtsil. Di samping itu, Ijma mereka adalah
hujjah.
3. Orang-orang Asya'irah menyandarkan madzhab mereka kepada Abul Hasan Al
Asy'ariy, padahal beliau telah rujuk dari akidahnya terdahulu, beralih kepada akidah
Ahluss Sunnah wal Jama'ah; akidah yang diyakini oleh generasi pertama Islam.
Imam Abul Hasan Al Asy'ariy mengalami tiga marhalah (tahapan) dalam berakidah:
Pertama, marhalah I'tizal, yakni ia menganut paham Mu'tazilah selama empat puluh
tahun, ia mendukung dan membela paham itu, hingga kemudian ia rujuk dan
menyatakan dengan tegas sesatnya Mu'tazilah bahkan membantahnya dengan keras.
Kedua, marhalah pertengahan antara Mu'tazilah dan Ahlussunnah. Ketika itu, ia
mengikuti jejak Abu Muhammad Abdullah bin Sa'id bin Kullab. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, "Al Asy'ariy dan orang-orang yang semisalnya merupakan barzakh
(pemisah) antara salaf dan jahmiyyah, orang-orang mengambil dari mereka perkataan yang
sahih dan ushul 'aqli (masalah akidah yang didasari akal), mereka mengira hal itu benar
padahal salah."
Di marhalah kedua inilah kaum mutaakhirin menisbatkan madzhab mereka kepada
1/4
beliau.
Ketiga, marhalah Ahlus sunnah, di mana ia mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal
sebagaimana yang dinyatakannya dalam kitabnya Al Ibanah. Dan itulah kitabnya yang
terakhir ditulis.
4. Kebenaran tidak dapat ditimbang dengan orang, bahkan sebaliknya oranglah yang
ditimbang dengan yang hak.
5. Jika kita bandingkan antara orang-orang yang mengikuti jalan Asyaa'irah dengan
orang-orang yang mengikuti jejak salaf (generasi pertama Islam), kita akan mendapatkan
bahwa orang-orang yang mengikuti jejak salaf ternyata di atas mereka kedudukannya,
lebih lurus jalannya dan memperoleh petunjuk. Mereka itu adalah imam yang empat, di
atas mereka lagi ada tabi'in, dan di atas mereka lagi ada sahabat. Mereka ini tidak
megikuti jalannya kaum Asya'irah. Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata:
"Kita tidak mengingkari bahwa sebagian ulama yang menisbatkan diri kepada Abul Hasan
Al 'Asy'ariy memiliki kedudukan tinggi dalam Islam, membela Islam serta memperhatikan
sekali kitab Allah sdan sunnah rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam baik riwayah maupun
dirayah. Mereka berusaha memberikan manfaat kepada kaum muslimin dan membimbing
mereka, akan tetapi yang demikian tidak berarti mereka ma'shum dari kesalahan dalam
masalah yang mereka keliru di sana, demikian juga tidak mesti diterima semua yang mereka
katakan, dan tidak boleh dihalangi keinginan menjelaskan kekeliruan mereka dan
membantahnya karena hal itu termasuk menerangkan yang hak dan memberi petunjuk
kepada makhluk. Kita juga tidak mengingkari bahwa sebagian dari mereka memiliki niat baik
dalam pendapat yang dipegangnya, karena kebenaran masih samar terhadapnya. Akan
tetapi, tidak cukup untuk diterima mengandalkan niat yang baik orang yang mengatakannya,
bahkan harus sesuai syari'at Allah Azza wa Jalla. Jika ternyata menyalahi, maka orang yang
mengatakannya wajib dibantah siapa pun dia, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, "Barangsiapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan
itu tertolak.
Jika orang yang mengucapkannya adalah orang yang dikenal memiliki sikap nasiihah
(tulus) dan jujur dalam mencari yang hak, maka dimaafkan kekeliruannya. Namun jika tidak,
maka disikapi dengan yang layak karena niat yang buruk dan kesalahannya."(Lih. Al
Qawaa'idul Mutsla hal. 82).
Ibnul Jauziy dalam kitabnya Talbis Iblis (hal. 191) berkata: "…dan kami akan sebutkan
sebagian berita yang sampai kepada kami tentang kesalahan sebagian orang. Allah
mengetahui bahwa kami tidak bermaksud dalam menerangkan kesalahan orang yang
salah selain untuk tujuan membersihkan syari'at serta karena rasa ghirah
(kecemburuan) terhadap hal-hal yang dimasukkan (ke dalam agama), kami juga tidak
berkewajiban apa-apa terhadap orang yang berkata-kata maupun yang berbuat (salah),
selain karena amanah ilmu. Para ulama sendiri antara masing-masing mereka
menerangkan kesalahan kawannya dengan maksud menerangkan yang hak, tidak untuk
membuka aib orang yang salah, dan tidak perlu diperhatikan perkataan orang yang jahil
ketika mengatakan, "Mengapa ia membantah si fulan…dsb." Hal itu, karena ketundukkan
hanyalah kepada apa yang ada dalam syari'at, bukan kepada orangnya. Mungkin saja
(orang yang dibantah) termasuk wali Allah dan termasuk penghuni surga, namun ia
memiliki beberapa kesalahan. Kedudukan tersebut tidaklah menghalangi untuk

2/4
menerangkan kesalahannya. Ketahuilah, orang yang berpandangan untuk tetap
menghormati syaikhnya, namun tidak melihat dengan dalil apa yang muncul
daripadanya seperti orang yang melihat apa yang dilakukan oleh Isa dengan tangannya
shallallahu 'alaihi wa sallam berupa perkara-perkara yang luar biasa, ia juga tidak melihat
kepada (keadaan) orang itu hingga akhirnya ia menggap Isa 'alaihis salam sebagai
tuhan."
Hukum Para Ahlut Ta'wil (Pelaku Takwil)
Jika seorang berkata, "maka, apakah kalian mengkafirkan para pelaku takwil atau
menganggap mereka fasik?"
Kita menjawab, "Menghukumi kafir atau fasik bukanlah kembalinya kepada kita, bahkan
kembalinya kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Menghukumi kafir atau fasik termasuk
hukum syar'i yang rujukannya adalah Al Qur'an dan As Sunnah. Oleh karena itu, kita
harus benar-benar kokoh dalam menghukumi seperti itu. Kita tidak boleh menghukumi
kafir atau fasik kecuali jika ada dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah tentang kekafiran atau
kefasikannya. Hukum asalnya seorang muslim itu zhahirnya adil (tidak fasik);
keislamannya masih tetap ada pada dirinya, demikian juga keadilannya, sampai benar-
benar lepas keislaman dan keadilannya berdasarkan dalil syar'i. Kita juga tidak boleh
mudah mengkafirkan atau menganggap fasik seseorang karena ada dua bahaya yang
diakibatkan:
1. Berdusta atas nama Allah dalam menetapkan hukum dan menghukumi seseorang
dengan sifat tersebut.
2. Terjatuh dalam ancaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya di
bawah ini, jika ternyata saudaranya tidak seperti itu:
َ َ َ‫ﻞ أ‬
ِ‫ﺖ ﻋ َﻠ َﻴ ْﻪ‬ْ َ ‫ﺟﻌ‬
َ ‫ل وَإ ِﻻ َر‬ َ َ‫ن ﻛ‬
َ ‫ﻤﺎ ﻗَﺎ‬ َ ‫ن ﻛ َﺎ‬
ْ ِ ‫ " إ‬: ‫ﻤ ﺎ " و ﻓ ﻲ ر وا ﻳ ﺔ‬ َ ‫ﺧﺎه ُ ﻓََﻘﺪ ْ ﺑ َﺎَء ﺑ ِﻬَﺎ أ‬
َ ُ‫ﺣﺪ ُﻫ‬ ُ ‫" إ ِذ َا ﻛ َﻔَﺮ اﻟﺮ‬
ُ ‫ﺟ‬
"Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka vonis itu bisa kembali kepada salah
satunya." Dalam sebuah riwayat disebutkan: "Jika memang seperti yang dikatakannya
(maka tidak berbalik ke arahnya), sebaliknya jika tidak seperti yang dikatakannya, maka akan
kembali kepadanya."
ِ‫ﺣﺎَر ﻋ َﻠ َﻴ ْﻪ‬َ ‫ﻚ إ ِﻻ‬ َ ْ ‫ل ﻋ َﺪ ُو اﻟﻠﻪِ وَﻟ َﻴ‬
َ ِ ‫ﺲ ﻛ َﺬ َﻟ‬ َ ‫ﺟﻼ ً ﺑ ِﺎﻟ ْﻜ ُْﻔﺮِ أ َوْ ﻗَﺎ‬ُ ‫ﻦ د َﻋ َﺎ َر‬
ْ ‫ﻣ‬َ َ‫و‬
"Dan barang siapa yang memanggil seseorang, "Wahai orang kafir" atau "(Wahai) musuh
Allah," padahal kenyataannya tidak demikian, maka akan berbalik kepadanya." (HR.
Muslim)
Dengan demikian, sebelum menghukumi seorang muslim dengan kafir atau fasik ada
dua hal yang perlu diperhatikan:
1. Dalil dari Al Qur'an atau As Sunnah yang menunjukkan bahwa ucapan atau
perbuatan ini dapat mengkafirkannya atau menjadikannya sebagai seorang yang
fasik.
2. Untuk memvonis orang tertentu (ta'yin) harus terpenuhi syarat-syarat untuk
dikafirkan atau dianggap fasik serta hilangnya mawaani' (penghalang-
penghalangnya).

Di antara syarat yang paling penting adalah ia sudah mengerti bahwa perbuatannya itu
menjadikannya kafir atau fasik, dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:
$¨B Oßgs9 ​úÎiüt7ã​ 4Ó®Lym öNßg1y​y d ø​Î) y​÷ èt/ $JBöqs% ¨@ÅÒã​Ï9 ª!$# ​c%​2 $tBur
ÇÊÊÎÈ íO​Î=tæ >äóÓx« Èe@ä3Î/ ©!$# ¨bÎ) 4 ​cqà)​Gt​
3/4
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, setelah Allah memberi petunjuk
kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (At Taubah: 115)
È@​Î6y​ u​ö​xî ôìÎ6​Ft​ur 3​y ​ßgø9$# ã&s! tû¨üt6s? $tB Ï​÷ èt/ .`ÏB tAqß​§​9 $# È,Ï%$t±ç​ `tBur
#·​​ÅÁtB ôNuä!$y​ur ( zN¨Yygy_ ¾Ï&Î#óÁçRur 4​¯ <uqs? $tB ¾Ï&Îk!uqçR tûüÏZÏB÷sßJø9$#
ÇÊÊÎÈ
"Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali." (Terj. QS. An Nisaa': 115)
Oleh karena itu, Ahli ilmu berkata, "Tidak boleh dikafirkan orang yang mengingkari
kewajiban-kewajiban agama apabila ia baru masuk Islam sampai dijelaskan dulu
kepadanya."
Adapun di antara penghalangnya adalah seseorang terjatuh ke dalam perbuatan yang
mengkafirkan atau membuatnya fasik tanpa ada keinginan atau maksud dari dirinya.
Contohnya:
a. Seseorang dipaksa, sedangkan hatinya tidak tenteram dengannya. Dalilnya ada di
surat An Nahl: 106.
b. Ighlaq (tidak sadar), sehingga dirinya tidak menyadari apa yang diucapkannya karena
keadaann dirinya sangat sedih, sangat senang, sangat takut dsb. Dalilnya adalah hadits
dalam Shahih Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam:
‫ﻪ وَﻋ َﻠ َﻴ ْﻬَﺎ‬ َ َ ‫ ﻣ‬،‫ﺣﻴﻦ ﻳﺘﻮب إﻟ َﻴﻪ‬ َ َ‫ﻪ أ‬
ُ ْ ‫ﻣﻨ‬
ِ ‫ﺖ‬ ْ َ ‫ ﻓَﺎﻧ َْﻔﻠ َﺘ‬،ٍ‫ض ﻓََﻼة‬ َ ِ ‫ن ﻋ َﻠ َﻰ َرا‬
ِ ‫ﺣﻠﺘ ِﻪِ ﺑ ِﺄْر‬ َ ‫ﻢ ﻛ َﺎ‬
ْ ُ ‫ﺣﺪ ِﻛ‬ َ ‫ﻦأ‬ ْ ِ ِ ْ ِ ُ ُ َ َ ِ ِ‫ﺣﺎ ﺑ ِﺘ َﻮْﺑ َﺔِ ﻋ َﺒ ْﺪ ِه‬ ً ‫ﺷﺪ ﻓََﺮ‬ ُ ‫ﻟ َﻠ‬
َ ِ ‫ ﻓَﺒ َﻴ ْﻨ َﺎ ﻫُﻮَ ﻛ َﺬ َﻟ‬،ِ‫ﺣﻠ َﺘ ِﻪ‬ َ َ َ
َ‫ﻚ إ ِذ َا ﻫُﻮ‬ ِ ‫ﻦ َرا‬ ْ ‫ﻣ‬ َ ِ ‫ ﻗَﺪ ْ أﻳ‬،‫ﺠﻊَ ﻓِﻲ ﻇ ِﻠﻬَﺎ‬
ِ ‫ﺲ‬ َ َ ‫ﺿﻄ‬ْ ‫ ﻓَﺎ‬،ً ‫ﺠَﺮة‬ َ ‫ ﻓَﺄﺗ َﻰ‬،‫ﻣﻨ ْﻬَﺎ‬
َ ‫ﺷ‬ ِ ‫ﺲ‬ َ ِ ‫ ﻓَﺄﻳ‬،‫ﻪ‬ ُ ُ ‫ﺷَﺮاﺑ‬ َ َ‫ﻪ و‬ ُ ‫ﻣ‬ُ ‫ﺎ‬
ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ
‫ﺷﺪةِ اﻟَﻔَﺮِح‬ ِ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻣ‬ ِ ‫ﺧ ﻄﺄ‬ ْ ‫ أ‬،‫ﺖ ﻋ َﺒ ْﺪ ِي وَأﻧ َﺎ َرﺑﻚ‬ َ ْ ‫ اﻟﻠﻬُﻢ أﻧ‬:‫ﺷﺪةِ اﻟَﻔَﺮِح‬ ِ ‫ﻦ‬ْ ‫ﻣ‬ ِ ‫ل‬َ ‫ ﺛ ُﻢ ﻗَﺎ‬،‫ﻣﻬَﺎ‬
ِ ‫ﺨ ﻄﺎ‬ َ ‫ ﻓَﺄ‬،ُ ‫ﻋﻨ ْﺪ َه‬
ِ ِ ‫ﺧﺬ َ ﺑ‬ ِ ‫ﺔ‬ َ ِ ‫ ﻗَﺎﺋ‬،‫ﺑ ِﻬَﺎ‬
ً ‫ﻤ‬
"Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan tobat hamba-Nya daripada salah seorang
di antara kamu yang menaiki unta di padang pasir yang luas. Tiba-tiba untanya pergi,
padahal di atasnya ada makanan dan minumannya, sehingga ia pun berputus asa, ia
datang ke sebuah pohon dan berbaring di bawah naungannya. Ketika dalam keadaan
seperti itu, tiba-tiba unta itu berdiri di dekatnya. Ia pun langsung memegang tali
kendalinya dan berkata karena saking senangnya, "Ya Allah, Engkau hamba-Ku dan aku
Tuhan-Mu," ia salah mengucapkan karena saking gembiranya."
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin (tahqiq Hani Al Haaj, cet. Maktabah Al 'Ilm, Cairo, th.1425 H).

4/4
Kaedah Penting Asma'ul Husna (14)
wawasankeislaman.blogspot.com/2012/02/kaedah-penting-asmaul-husna-14.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 14)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang kaedah penting Asma'ul Husna, dan masuk
membicarakan tentang takfir. Semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' Fatawa Juz 12, hal. 180, "Adapun
dalam masalah mengkafirkan, yang benar adalah bahwa barang siapa yang berijtihad
dari kalangan umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, ia bermaksud mencari
yang hak, ternyata keliru, maka tidak dikafirkan. Bahkan dimaafkan kesalahannya.
Sesangkan orang yang telah jelas baginya apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu 'alaihi
wa sallam, namun malah menyelisihinya setelah jelas petunjuk itu dan tidak mengikuti
jalannya orang-orang mukmin, maka dia kafir. Adapun orang yang mengikuti hawa
nafsunya, kurang peduli dalam mencari yang hak dan berbicara tanpa ilmu, maka dia
pelaku maksiat dan berdosa, dan bisa menjadi fasik. Namun mungkin saja ia memiliki
kebaikan yang dapat mengalahkan keburukannya."
Syaikhul Islam juga berkata, "Saya juga menerangkan bahwa apa yang dinukil dari kaum
salaf dan para ulamanya berupa menyebut kafir secara mutlak kepada orang yang
mengatakan ini dan itu, memang benar. Akan tetapi, wajib dibedakan antara menyebut
ssecara mutlak dan menyebut secara ta'yin (orang tertentu)…dst."
Beliau juga berkata, "Takfir (mengkafirkan) termasuk ancaman. Perkataan (yang
mengkafirkan) itu meskipun sebuah sikap mendustakan apa yang disabdakan Rasul
shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi bisa saja orang tersebut karena masih baru
masuk Islam atau tinggal di pelosok kampung yang jauh. Orang seperti ini tidaklah
dikafirkan karena mengingkari sesuatu yang diingkarinya sampai tegak hujjah
kepadanya. Terkadang seseorang belum mendengar nash-nash yang ada tersebut atau
memang sudah mendengar tetapi belum tsabit (tetap dan pasti) menurutnya atau
bertentangan dengan yang lain sehingga ia harus mentakwilnya meskipun salah. Saya
selalu menyebutkan hadits yang ada dalam shahihain tentang orang yang berkata,
"Apabila aku meninggal, maka bakarlah jasadku sampai menjadi abu, lalu taburkanlah ke
lautan. Demi Allah, jika Allah berkuasa terhadapku, tentu Dia akan mengazabku dengan
azab yang belum pernah dirasakan oleh seorang pun di alam semesta." Maka orang-
orang melakukannya." Kemudian Allah berfirman kepadanya (setelah dihimpun kembali
jasadnya), "Apa yang membuatmu melakukan hal itu?" ia menjawab, "Karena takut
kepada-Mu," maka Allah mengampuninya. Orang ini masih ragu-ragu tentang
kemahakuasaan Allah dan kuasanya Dia untuk menghimpun kembali jasadnya setelah
1/3
bertebaran. Hal ini jelas kufur berdasarkan kesepakatan kaum muslim, akan tetapi orang
itu tidak tahu hal itu. Ia seorang mukmin yang takut jika Allah menyiksanya, sehingga dia
diampuni. Orang-orang yang melakukan takwil dari kalangan mujtahid yang berusaha
mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentu lebih layak memperoleh
ampunan daripada orang seperti ini."
Dari sini kita ketahui, bahwa antara perkataan dengan orangnya atau antara perbuatan
dengan pelakunya ada perbedaan. Tidak setiap ucapan atau perbuatan yang merupakan
kefasikan atau kekufuran lalu orang yang mengucapkannya atau melakukannya
dihukumi demikian (kafir atau fasik). Hal ini, bisa disebabkan karena hilangnya salah satu
syarat takfir atau tafsiq (pengecapan sebagai fasik) atau adanya penghalang syar'i yang
menghalanginya untuk dikafirkan.
Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, "Dan barang siapa yang telah jelas kebenaran baginya,
lalu ia tetap menyelisihinya karena mengikuti keyakinan yang selama ini diyakini atau
karena mengikuti seseorang yang selama ini dimuliakan atau karena dunia yang
dikedepankan, maka ia akan memperoleh akibat sikap menyelisihi berupa kekafiran atau
kefasikan. Oleh karena itu, seorang mukmin hendaknya mendasari Akidah dan amalnya
di atas kitab Allah dan sunnah rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia menjadikan
keduanya sebagai imam baginya, dipakai untuk meneranginya dan berjalan di atas
jalannya. Karena yang demikian merupakan jalan yang lurus. Jalan yang diperintahkan
Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
s-§​xÿtGsù ​@ç6​¡9$# (#qãèÎ7​Fs? ​wur ( çnqãèÎ7¨?$$sù $VJ​É)tGó¡ãB ​ÏÛºu​ÅÀ #x​»yd ¨br&ur
ÇÊÎÌÈ tbqà)​Gs? öNà6¯=yès9 ¾ÏmÎ/ Nä38¢¹ur öNä3Ï9ºs​ 4 ¾Ï&Î#​Î7y​ `tã öNä3Î/
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan
kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa." (Terj. QS.
Al An'aam: 153)
Demikian juga hendaknya seseorang berhati-hati agar tidak menempuh jalan yang dilalui
sebagian orang, di mana mereka mendasari Akidah atau amalnya di atas madzhab
tertentu. Ketika melihat nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah menyelisihi madzhabnya,
maka ia berusaha mengalihkan nash-nash tersebut kepada madzhabnya dengan takwil-
takwil yang menyimpang. Ia jadikan Al Qur'an dan As Sunnah mengikuti; bukan diikuti.
Sedangkan selain keduanya, dijadikan sebagai imam; bukan yang mengikuti[i]. Hal ini
merupakan jalan Ahlul ahwaa' (pelaku bid'ah), bukan jalan Atbaa'ul huda (pengikut
petunjuk). Jalan ini telah dicela Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
`tBur ÞÚö​F{$#ur ÝVºuq»yJ¡¡9$# ÏNy​|¡xÿs9 öNèduä!#uq÷dr& ​,ysø9$# yìt7©?$# Èqs9ur
ÇÐÊÈ ​cqàÊÌ​÷ è​B NÏdÌ​ø.Ï​ `tã óOßgsù öNÏdÌ​ò2É​Î/ Nßg»oY÷​s?r& ö@t/ 4 ÆÎg​Ïù
"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,
dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka
kebanggaan mereka (Al Quran) tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu." (Terj. QS. Al
Mukminun: 71)
Beliau juga berkata, "Barang siapa yang meminta kepada Allah dengan jujur, merasa
butuh kepada-Nya dan mengetahui Tuhannya Mahakaya, maka sangat pantas
dikabulkan permintaannya oleh Allah Ta'ala."
Sebagai penutup, saya akhiri tulisan yang merupakan ringkasan dari kitab Al Qawaa'dul

2/3
Mutsla karya Syaikh Ibnu Utsaimin dengan perkataan Imam Abu Hanifah:
َ
‫ﻲ‬ ِ ْ ‫ﻋﻠ‬
ْ ‫ﻤ‬ ِ َ ‫ ﻓَﺎْزد َاد‬،ِ‫ﻤﺪ ُ ِﻟﻠﻪ‬ َ ْ ‫ ا ﻟ‬:‫ﺖ‬
ْ ‫ﺤ‬ ُ ْ ‫ﻤﺔٍ ﻗُﻠ‬ ِ َ‫ﺖ ﻋ َﻠ َﻰ ﻓِْﻘﻪٍ و‬
َ ْ ‫ﺣﻜ‬ ُ ‫ﺖ وَوُﻓْﻘ‬ َ ‫ ﻓَﻜ ُﻠ‬،ِ‫ﻤﺪ ِ وَاﻟﺸﻜ ْﺮ‬
ْ ِ‫ﻤﺎ ﻓَﻬ‬
ُ ‫ﻤ‬ َ ْ ‫ﻢ ﺑ ِﺎﻟ‬
ْ ‫ﺤ‬ َ ْ ‫ﺖ اﻟ ْﻌِﻠ‬
ُ ْ ‫ﻤﺎ أد َْرﻛ‬
َ ‫إ ِﻧ‬
“Sesungguhnya saya mendapatkan ilmu dengan memuji Allah dan bersyukur kepada-
Nya. Setiap kali aku paham dan diberitahukan fiqh dan hikmah, aku berkata “Al
Hamdulillah”, maka bertambahlah ilmuku.”
Demikianlah sepatutnya sikap kita, banyak menyibukkan diri dengan bersyukur baik
dengan lisan, hati, anggota badan maupun keadaan. Merasa yakin bahwa pemahaman,
ilmu dan taufiq yang didapatkannya adalah berasal dari Allah Ta’ala. Demikian juga
meminta hidayah-Nya dengan berdoa dan bertadharru’ (merendahkan diri) kepada-Nya,
karena Allah Ta’ala akan menunjuki orang yang meminta hidayah kepada-Nya. Adapun
orang-orang yang tersesat, mereka merasa ujub dengan pendapat dan kecerdasan
akalnya, mereka mencari kebenaran bersandar kepada makhluk yang lemah yaitu akal,
padahal akal tidak dapat menggapai semuanya.
Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya. Wal hamdulillahi rabbil 'aalamin.
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin (tahqiq Hani Al Haaj, cet. Maktabah Al 'Ilm, Cairo, th.1425 H).

[i] Oleh karena itu, ahli ilmu berkata:


‫ﻀﻞ‬ ْ َ ‫ﺳﺘ َﺪ ِل ﺛ ُﻢ اﻋ ْﺘ َِﻘﺪ ْ وَﻻ َ ﺗ َﻌْﺘ َِﻘﺪ ْ ﺛ ُﻢ ﺗ‬
ِ َ ‫ﺴﺘ َﺪ ِل ﻓَﺘ‬ ْ ِ‫ا‬
"Carilah dalil, lalu yakinilah. Janganlah kamu meyakini, kemudian mencari dalil sehingga
kamu tersesat."

3/3
Mengenal Asma’ul Husna (1)
wawasankeislaman.blogspot.com/2018/08/mengenal-asmaul-husna-1.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Mengenal Asma’ul Husna (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin,
shalawat dan salam semoga tercurah
kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma
ba'du:
Berikut pembahasan ringkas tentang
Asma’ul Husna atau nama-nama Allah Yang
Indah, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (Definisi) Asma’ul Husna
Asma’ul Husna artinya nama-nama Allah yang indah. Disebut ‘husna’ karena seluruh
nama Allah sangat indah, dimana nama-nama-Nya indah terdengar di telinga, indah di
hati, dan indah maknanya. Di samping itu, nama-nama-Nya juga menunjukkan keesaan-
Nya, kasih sayang-Nya dan karunia-Nya, demikian juga mengandung sifat
kesempurnaan-Nya yang tidak memiliki kekurangan sama sekali dari berbagai sisi[i].
Dalil Asma’ul Husna
Asma’ul Husna disebutkan dalilnya baik dalam Al Qur’an maupun dalam As Sunnah.
Dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
َ َ
َ ‫ﻤﻠ ُﻮ‬
‫ن‬ َ ْ‫ﻣﺎ ﻛ َﺎﻧ ُﻮا ﻳ َﻌ‬َ ‫ن‬َ ْ‫ﺠَﺰو‬ ْ ُ ‫ﺳﻴ‬
َ ِ‫ﻤﺎﺋ ِﻪ‬
َ ‫ﺳ‬
ْ ‫ن ﻓ ِﻲ أ‬ َ ‫ﺤﺪ ُو‬ِ ْ ‫ﻦ ﻳ ُﻠ‬
َ ‫ﺴﻨ َﻰ ﻓَﺎد ْﻋ ُﻮه ُ ﺑ ِﻬَﺎ وَذ َُروا اﻟﺬ ِﻳ‬ ُ ْ ‫ﻤﺎُء اﻟ‬
ْ ‫ﺤ‬ ْ ‫وَﻟ ِﻠﻪِ اْﻷ‬
َ ‫ﺳ‬
“Hanya milik Allah Asmaa’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
Asmaa’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (Qs. Al A’raaf: 180)
Sedangkan dalam As Sunnah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ﺣ ﺪا ﻣ‬
.«‫ﺔ‬ َ ‫ﺠﻨ‬ َ ْ ‫ﻞ اﻟ‬
َ ‫ﺧ‬ َ َ ‫ﺼﺎﻫَﺎ د‬َ ‫ﺣ‬ْ ‫ﻦأ‬ ً َ ‫ﻣﺎﺋ‬
ْ َ ً ِ ‫ﺔ إ ِﻻ وَا‬ ِ ‫ﻤﺎ‬ً ‫ﺳ‬ْ ‫ﻦا‬ َ ‫ﺴﻌِﻴ‬
ْ ِ ‫ﺔ وَﺗ‬ ْ ِ ‫» إ ِن ﻟ ِﻠﻪِ ﺗ‬
ً َ ‫ﺴﻌ‬
"Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama; seratus dikurang satu.
Barang siapa yang mengihsha'nya, maka ia akan masuk surga." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan nama-nama Allah Ta'ala yang berjumlah 99, namun hal itu
merupakan idraj (selipan) perawi, bukan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syarah Hadits Asma’ul Husna
Maksud hadits di atas adalah bahwa di antara nama -nama Allah ada sembilan puluh
sembilan nama, bagi yang mengihsha'nya (nanti akan diterangkan tentang makna
ihshaa' –insya Allah-), maka ia akan masuk surga.
Hadits di atas bukanlah maksudnya membatasi nama Allah hanya sembilan puluh
sembilan. Karena ada hadits lain yang menerangkan bahwa nama Allah itu tidak dibatasi
1/4
dalam jumlah tersebut, yaitu dalam doa ketika sedih yang diajarkan Nabi shallallahu
alaihi wa sallam berikut,
ٍ ‫ﺳﻢ‬ْ ‫ﻚ ﺑ ِﻜ ُﻞ ا‬ َ ُ ‫ﺳﺄ َﻟ‬ َ َ ُ ‫ل ﻓ ﻲ ﻗ َﻀ ﺎ ؤ‬
ْ ‫كأ‬ َ ِ ٌ ْ ‫ﻚ ﻋ َﺪ‬ َ ‫ﻤ‬ُ ْ ‫ﺣﻜ‬ُ ‫ض ﻓ ِﻲ‬ ٍ ‫ﻣﺎ‬ َ ِ ‫ﺻﻴ َﺘ ِﻲ ﺑ ِﻴ َﺪ‬
َ ‫ك‬ ِ ‫ﻚ ﻧ َﺎ‬ َ ِ ‫ﻣﺘ‬ َ ‫ك وا ﺑ‬
َ ‫ﻦأ‬ ُ ْ َ َ ِ ‫ﻦ ﻋ َﺒ ْﺪ‬
ُ ْ ‫ك وَاﺑ‬َ ُ ‫اﻟﻠﻬُﻢ إ ِﻧﻲ ﻋ َﺒ ْﺪ‬
ْ َ َ ‫ﻚ أ َو أ َﻧﺰﻟ ْﺘﻪ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑ‬ َ ‫ﻚ أ َو ﻋ َﻠﻤﺘ‬
َ َ ‫ﻋﻨ ْﺪ‬
‫ك‬ ِ ‫ﺐ‬ِ ْ ‫ﻋﻠ ْﻢ ِ اﻟ ْﻐَﻴ‬ِ ‫ت ﺑ ِﻪِ ﻓِﻲ‬ َ ‫ﺳﺘ َﺄﺛ َْﺮ‬ْ ‫ﻚ أو ِ ا‬ ِ َِ ِ ُ َ َ ْ ْ َ ‫ﺧﻠ ِْﻘ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻣ‬ ِ ‫ﺣﺪ ًا‬ َ ‫ﻪأ‬ ُ َ ْ ْ َ ‫ﺴ‬ َ ‫ﺖ ﺑ ِﻪِ ﻧ َْﻔ‬
َ ْ ‫ﺳ ﻤﻴ‬
َ ‫ﻚ‬ َ َ ‫ُﻮَ ﻟ‬
َ
‫ب ﻫَﻤﻲ‬ َ ‫ﺣْﺰﻧ ِﻲ وَذ َﻫَﺎ‬ ُ ‫ﺟَﻼَء‬ ِ َ‫ﺻﺪ ْرِي و‬ َ ‫ن َرﺑ ِﻴﻊَ ﻗَﻠ ْﺒ ِﻲ وَﻧ ُﻮَر‬
َ ‫ﻞ اﻟ ُْﻘْﺮآ‬ َ َ ‫ﺠﻌ‬
ْ َ‫ن ﺗ‬ْ ‫أ‬
“Ya Allah, sesungguhnya aku hamba-Mu, anak hamba-Mu yang laki-laki, anak hamba-Mu
yang perempuan, ubun-ubunku berada di Tangan-Mu, berlaku kepadaku hukum-Mu, adil
sekali keputusan-Mu. Aku meminta kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu yang Engkau
namai Diri-Mu dengan nama-nama itu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara
makhluk-Mu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau hanya Engkau sendiri
saja yang mengetahuinya dalam ilmu gaib yang ada pada sisi-Mu, jadikanlah Al Qur’an
penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penghilang sedihku dan keresahanku.” (HR. Ahmad,
Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahiihah no. 199)
Contoh yang sama dalam hal ini adalah jika seorang berkata, "Saya memiliki seratus
dirham yang saya siapkan untuk sedekah," maka tidaklah menutup kemungkinan,
bahwa ia memiliki beberapa dirham lagi yang disiapkan untuk selain sedekah.
Makna Ihsha’
Menurut Imam Bukhari dan lainnya, bahwa ihsha’ maksudnya menghafalnya, dan itulah
yang tampak, karena salah satu riwayat menafsirkan demikian dengan lafaz “Man
hafizhaha” (barang siapa yang menghapalnya). Maksud menghafal di sini menurut Imam
Ash Shan’aniy adalah menghafal semua nama yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As
Sunnah yang sahih, meskipun kenyataannya lebih dari 99 nama. Dengan demikian,
hadits tersebut mendorong untuk menggalinya dari Al Quran dan As Sunnah serta
menghafalnya.
Menurut yang lain, bahwa maksud ihsha’ adalah sanggup memenuhi hak nama-nama
tersebut dan mengamalkan konsekwensinya, ia menghayati maknanya dan menekan
dirinya untuk mengamalkan konsekwensinya, sehingga ketika ia mengucapkan, “Ar
Razzaq” (Maha Pemberi rezeki), maka ia pun yakin dengan rezeki dari-Nya, demikian juga
ia lakukan demikian pada nama-nama-Nya yang lain.
Ada pula yang mengatakan, bahwa maksud ihsha’ adalah mengetahui makna-maknanya.
Ada pula yang berpendapat, bahwa maksud ihsha’ adalah mengamalkannya, sehingga
ketika ia mengucapkan “Al Hakim” (Mahabijaksana), ia pun pasrah dengan semua urusan
yang terjadi padanya, karena hal itu sejalan dengan hikmah atau kebijaksanaan-Nya.
Demikian pula ketika ia mengucapkan “Al Quddus,” maka ia menghayati bahwa Allah
bersih dari semua kekurangan dan aib.
Menurut Ibnu Baththal, cara mengamalkan nama-nama itu adalah jika bisa diikuti,
seperti nama-Nya Ar Rahiim (Maha Penyayang) dan Al Karim (Mahamulia), maka ia
berusaha melatih dirinya untuk memiliki sifat itu. Adapun yang khusus bagi Diri-Nya,
seperti Al Jabbar (Mahaperkasa) dan Al ‘Azhiim (Maha Agung), maka ia mengakuinya,
tunduk kepadanya dan tidak menyifati dirinya dengannya.
Menurut Ibnul Qayyim, ihsha itu ada tiga tingkatan: (1) Menjumlahkannya, (2) memahami
makna dan kandungannya, (3) berdoa dengannya, baik doa berupa ibadah maupun doa
permohonan (Lihat Bada’iul Fawaid 1/164).
Kaedah Seputar Asma’ul Husna

2/4
1. Nama-nama Allah terdiri dari nama dan sifat.
2. Nama-nama Allah Azza wa Jalla jika menunjukkan sifat yang mengena kepada yang
lain, maka mengandung tiga hal: (a) Tetapnya nama tersebut bagi Allah Azza wa Jalla,
(b) Tetapnya sifat yang dikandungnya untuk Allah Azza wa Jalla, (c), Tetapnya hukum
dan konsekwensinya. Contoh: Nama-Nya As Samii' (Maha Mendengar), maka ditetapkan
darinya nama As Sami', sifat sama' (mendengar), dan hukumnya, yaitu bahwa Dia
mendengar semua yang terdengar.
Tetapi jika menunjukkan sifat yang tidak mengena kepada yang lain, maka nama
tersebut mengandung dua hal: (a) Tetapnya nama tersebut bagi Allah Azza wa Jalla, (b)
Tetapnya sifat yang dikandungnya bagi Allah Azza wa Jalla. Contoh: Al Hayy (Yang
Mahahidup), maka dari sana ditetapkan nama Al Hayy bagi Allah, serta ditetapkan sifat
hayat (hidup) bagi-Nya.
3. Kandungan nama-nama Allah Azza wa Jalla yang menunjukkan nama dan sifat-Nya
berlaku muthabaqah, yakni kandungan lafaznya mengena kepada semua maknanya.
Maksudnya, menunjukkan dzat dan sifat. Contohnya, nama Ar Rahman, maka secara
muthabaqahnya adalah menunjukkan dzat Allah dan menunjukkan sifat rahmat (kasih-
sayang).
Adapun secara tadhammun (sudah masuk di dalamnya), yakni kandungan lafaz
menunjukkan salah satu makna, dalam arti, kandungan tersebut menunjukkan dzat
secara tersendiri dan sifat secara tersendiri dengan meyakini bahwa nama tersebut tidak
lepas dari sifat. Hal ini termasuk bagian yang tidak dapat dilepaskan; yang menunjukkan
kedua-duanya secara bersamaan. Contoh Nama-Nya Al Khaaliq menunjukkan kepada
masing-masingnya; dzat dan sifat mencipta, yakni nama Al Khaaliq ini sudah
mengandung dzat dan mengandung sifat.
Sedangkan secara iltizam (menghendaki memasukkan bagian lain ke dalamnya), yakni
kandungan lafaz mengena kepada perkara di luar itu. Contoh nama-Nya Al Khaaliq
menunjukkan adanya sifat ilmu (mengetahui) dan sifat qudrah (memiliki kemampuan),
inilah yang disebut iltizam.
4. Nama-nama Allah Ta'ala adalah tauqifiyyah (diam menunggu dalil), tidak berlaku
pendapat akal di sana, yakni tidak bisa ditetapkan salah satu dari nama-nama Allah
Azza wa Jalla kecuali dengan dalil dari Kitabullah dan sunnah Nabi kita yang sahih
shallallahu 'alaihi wa sallam.
5. Tidak boleh melakukan ilhad dalam nama-nama Allah Ta'ala. Hal ini ada beberapa
macamnya:
a. Mengingkari salah satunya, atau mengingkari sifat dan hukum yang ditunjukkan
olehnya sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Mu'aththilah dari kalangan Mu'tazilah,
Jahmiyyah, Asy'ariyyah, dan lain-lain.
b. Menjadikan nama tersebut menunjukkan sifat yang serupa dengan sifat makhluk
sebagaimana yang dilakukan kaum Mumatstsilah.
c. Menamai Allah Azza wa Jalla dengan nama yang tidak diberikan Allah untuk Diri-Nya.
d. Memuncukan dari nama-nama Allah Azza wa Jalla nama yang diperuntukkan bagi
berhala sebagaimana yang dilakukan kaum musyrik ketika memunculkan nama al 'uzza
dari nama Al 'Aziz dan Laata dari nama Al Ilaah.
Bersambung…

3/4
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Untaian Mutiara Hadits (Penulis), Maktabah Syamilah versi 3.45, Ta’liq Mukhtashar
ala Lum’atil I’tiqad, (Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin), Al Qawa’idul Mutsla (Syaikh M. bin
Shalih Al Utsaimin), http://www.alukah.net/sharia/0/82205/ , dll.

[i] Dari sini kita ketahui, bahwa Ad Dahr, tidaklah termasuk nama-nama-Nya, karena di
dalamnya tidak mengandung makna yang sangat indah. Adapun hadits yang
menyebutkan, "Laa tasubbud dahr, fa 'innallaha huwad dahr" (janganlah kalian memaki
masa, karena Allah adalah masa), maksudnya adalah bahwa Allah yang menguasai masa
dan mengaturnya, hal ini berdasarkan riwayat selanjutnya, bahwa Allah Ta'ala berfirman,
ُ َ
َ ْ ‫ﺐ اﻟﻠﻴ‬
‫ﻞ وَاﻟﻨﻬَﺎَر‬ ْ ‫ِﻴ َﺪ ِي اْﻷ‬
ُ ‫ﻣُﺮ أﻗَﻠ‬
"Di tangan-Kulah semua urusan, Aku membolak-balikkan malam dan siang." (HR.
Muslim)

4/4
Mengenal Asma’ul Husna (2)
wawasankeislaman.blogspot.com/2018/08/mengenal-asmaul-husna-2.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬

Mengenal Asma’ul Husna (2)


Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan ringkas tentang Asma’ul Husna atau nama-nama Allah Yang
Indah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Asma’ul Husna
Di antara ulama ada pula yang menyebutkan nama-nama Allah Subhaanahu wa Ta’ala
yang ia gali dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti
yang dilakukan Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin dalam bukunya “Syarh Al
Qawaa’idil Mutsla”, ia menyimpulkan nama-nama Allah Ta'ala yang ada dalam kitab Allah,
yaitu: (1) Allah, (2) Al Ahad (Allah Mahaesa), lihat Qs. Al Ikhlas: 1, (3) Al A'laa (Allah
Mahatinggi, lihat Qs. Al A’la: 1), (4) Al Akram (Allah Mahamulia, lihat Qs. Al ‘Alaq: 3), (5) Al
Ilaah (Allah yang berhak disembah, lihat Qs. Al Baqarah: 162), (6) Al Awwal (Allah yang
pertama; yang tidak ada sebelum-Nya segala sesuatu, lihat Qs. Al Hadid: 3), (7) Al Aakhir
(Allah yang terakhir; yang tidak ada setelah-Nya segala sesuatu, lihat Qs. Al Hadid: 3), (8)
Azh Zhaahir (Allah yang tampak; yang tidak ada di atas-Nya segala sesuatu, lihat Qs. Al
Hadid: 3), (9) Al Baathin (Allah, yang tidak ada sesuatu di bawah-Nya, lihat Qs. Al Hadid:
3), (10) Al Baari' (Allah Maha Pencipta, lihat Qs. Al Hasyr: 24), (11) Al Barr (Allah Maha
berbuat ihsan, lihat Qs. Ath Thur: 28), (12) Al Bashiir (Allah Mahamelihat, lihat Qs. Al
Israa’: 1), (13) At Tawwab (Allah Maha Penerima tobat, lihat Qs. Al Baqarah: 6), (14) Al
Jabbar (Allah Subhaanahu wa Ta'aala mewujudkan kehendak-Nya terhadap semua
makhluk-Nya tanpa ada yang dapat menghalangi, lihat Qs. Al Hasyr: 23), (15) Al Haafizh
(Allah Maha Pemelihara, lihat Qs. Yusuf: 64), (16) Al Hasiib (Allah Maha Menghisab, lihat
Qs. An Nisaa: 6), (17) Al Hafiizh (Allah Maha Pemelihara, lihat Qs. Saba’: 21), (18) Al Hafii
(Allah Mahabaik, lihat Qs. Maryam: 47), (19) Al Haqq (Allah Maha Benar, lihat Qs. Al Hajj:
62), (20) Al Mubiin (Allah Maha Menerangkan, lihat Qs. An Nur: 25), (21) Al Hakiim (Allah
Mahabijaksana, lihat Qs. Al Hasyr: 1), (22) Al Haliim (Allah Maha Penyantun, lihat Qs. Al
Baqarah: 225), (23) Al Hamiid (Allah Maha Terpuji, lihat Qs. Asy Syura: 28), (24) Al Hayy
(Allah Maha Hidup, lihat Qs. Ghafir: 65), (25) Al Qayyum (Allah Maha Mengurus makhluk-

1/4
Nya sendiri, lihat Qs. Al Baqarah: 255), (26) Al Khabiir (Allah Maha Mengetahui, lihat Qs.
At Tahrim: 3), (27) Al Khaaliq (Allah Maha Pencipta, lihat Qs. Al Hasyr: 24), (28) Al Khallaq
(Allah Maha Pencipta, lihat Qs. Al Hijr: 86), (29) Ar Ra'uuf (Allah Maha Sayang, lihat Qs. An
Nahl: 7), (30) Ar Rahmaan (Allah Maha Pemurah, lihat Qs. Al Fatihah: 3), (31) Ar Rahiim
(Allah Maha Penyayang, lihat Qs. Al Fatihah: 3), (32) Ar Razzaq (Allah Maha Pemberi
rezeki, lihat Qs. Adz DzariyatL 58), (33) Ar Raqiib (Allah Maha Pengawas, lihat Qs. Al
Ahzab: 52), (34) As Salaam (Allah Maha Pemberi keselamatan, lihat Qs. Al Hasyr: 23), (35)
As Samii' (Allah Maha Mendengar, lihat Qs. Al Mujadilah: 1), (36) Asy Syaakir (Allah Maha
Menyukuri, lihat Qs. An Nisa: 147), (37) Asy Syakuur (Allah Maha Mensyukuri, lihat Qs.
Fathir: 34), (38) Asy Syahiid (Allah Maha Menyaksikan, lihat Qs. Fushshilat: 53), (39) Ash
Shamad (Allah, Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, lihat Qs. Al Ikhlas: 2),
(40) Al 'Aalim (Allah Maha Mengetahui, lihat Qs. Al An’aam: 73), (41) Al 'Aziiz (Allah Maha
Perkasa, lihat Qs. Al Hasyr: 24), (42) Al 'Azhiim (Allah Maha Agung, lihat Qs. Al Baqarah:
255), (43) Al 'Afuww (Allah Maha Memaafkan, lihat Qs. Al Mujadilah: 2), (44) Al 'Aliim
(Allah Maha Mengetahui, lihat Qs. At Tahrim: 2), (45) Al 'Aliiy (Allah Maha Tinggi, lihat Qs.
Asy Syura: 51), (46) Al Ghaffar (Allah Maha Pengampun, lihat Qs. Nuh: 10), (47) Al
Ghafuur (Allah Maha Pengampun, lihat Qs. Az Zumar: 53), (48) Al Ghaniyy (Allah Maha
Kaya, lihat Qs. Muhammad: 38), (49) Al Fattah (Allah Maha Hakim, Dia yang memutuskan
masalah di antara hamba-hamba-Nya, lihat Qs. Saba’: 26), (50) Al Qaadir (Allah
Mahakuasa, lihat Qs. Al An’aam: 65), (51) Al Qaahir (Allah Mahaberkuasa, lihat Qs. Al
An’aam: 18), (52) Al Quddus (Allah Mahabersih dan suci dari segala aib dan kekurangan,
lihat Qs. Al Jumu’ah: 1), (53) Al Qadiir (Allah Mahakuasa, lihat Qs. Al Maidah: 120), (54) Al
Qariib (Allah Mahadekat, lihat Qs. Al Baqarah: 186), (55) Al Qawiyy (Allah Mahakuat, lihat
Qs. Huud: 66), (56) Al Qahhar (Allah Maha Berkuasa, lihat Qs. Yusuf: 39), (57) Al Kabiir
(Allah Mahabesar, lihat Qs. Ar Ra’d: 9), (58) Al Kariim (Allah Mahamulia, lihat Qs. Al
Infithar: 6), (59) Al Lathiif (Allah Maha Lembut dan halus, lihat Qs. Al An’aam: 103), (60) Al
Mu'min (Allah Maha Pemberi keamanan, lihat Qs. Al Hasyr: 23), (61) Al Muta'aaliy (Allah
Mahatinggi, lihat Qs. Ar Ra’d: 9), (62) Al Mutakabbir (Allah Maha bersih dari keburukan,
kekurangan dan cacat karena kebesaran dan keagungan-Nya, Dia memiliki segala
keagungan, lihat Qs. Al Hasyr: 23), (63) Al Matiin (Allah Mahakokoh, lihat Qs. Adz
Dzariyat: 58), (64) Al Mujiib (Allah Maha Mengabulkan, lihat Qs. Huud: 61), (65) Al Majiid
(Allah Mahamulia, lihat Qs. Huud: 73), (66) Al Muhiith (Allah Maha Meliputi, lihat Qs.
Fushshilat: 54), (67) Al Mushawwir (Allah Maha Membentuk, lihat Qs. Al Hasyr: 24), (68)
Al Muqtadir (Allah Mahakuasa, lihat Qs. Al Kahf: 45), (69) Al Muqiit (Allah Maha Pencipta
makanan, lihat Qs. An Nisaa: 85), (70) Al Malik (Allah Maharaja, lihat Qs. Al Hasyr: 23),
(71) Al Maliik (Allah Maha Menguasai, lihat Qs. Al Qamar: 55), (72) Al Maulaa (Allah Maha
Pelindung, lihat Qs. Al Anfal: 40), (73) Al Muhaimin (Allah Maha Pengawas dan
Pemelihara, lihat Qs. Al Hasyr: 23), (74) An Nashiir (Allah Maha Pembela, lihat Qs. An
Nisa: 45), (75) Al Waahid (Allah Mahaesa, lihat Qs. Ar Ra’d: 16), (76) Al Waarits (Allah
Maha Mewariskan, lihat Qs. Al Hijr: 23), (77) Al Waasi' (Allah Mahaluas, lihat Qs. Al
Baqarah: 115), (78) Al Waduud (Allah Mahacinta, lihat Qs. Al Buruj: 14), (79) Al Wakiil
(Allah yang diserahkan kepada-Nya segala urusan, lihat Qs. Ali Imran: 173), (80) Al Waliiy
(Allah Maha Pelindung, lihat Qs. Asy Syura: 9), (81) Al Wahhab (Allah Maha Pemberi, lihat
Qs. Ali Imran: 8)

2/4
Sedangkan dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:
(82) Al Jamiil (Allah Maha Indah),
(83) Al Jawwad (Allah Maha Pemberi)
Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
َ
‫ﺴﺎﻓَﻬَﺎ‬ َ ‫ﺳْﻔ‬ َ ُ ‫ق وَ ﻳ َﻜ َْﺮه‬ ِ َ ‫ﺧﻼ‬ ْ ‫ﻲ اْﻷ‬ َ ِ ‫ﻣﻌَﺎﻟ‬
َ ‫ﺤﺐ‬ ُ ْ ‫ﺤ ﺐ اﻟ‬
ِ ُ ‫ﺠﻮْد َ وَ ﻳ‬ َ ‫ﻪ ﺗ َﻌَﺎﻟ َﻰ‬
ِ ُ ‫ﺟ ﻮا د ٌ ﻳ‬ َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah Ta'aala Maha Pemberi, Dia suka memberi, Dia menyukai akhlak
yang mulia dan membenci akhlak yang rendah." (HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman dari
Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Nu'aim dari Ibnu Abbas, dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahihul Jaami' no. 1744)
(84) Al Hakam (Allah Penyelesai masalah)
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
.... ‫ﻢ‬ُ َ ‫ﺤﻜ‬ َ ْ ‫ﻪ ﻫُﻮَ اﻟ‬ َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah adalah Al Hakam…dst." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i, dishahihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' (2615))
(85) Al Hayiy (Allah Maha malu)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ٌ ْ ‫ﻲ ﻛ َﺮِﻳ‬
‫ﻢ‬ ٌ ِ ‫ﺣﻴ‬ َ ‫ﻪ‬َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah Pemalu lagi Maha Mulia." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu
Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah (3117))
(86) Ar Rabb (Allah Pengurus alam semesta)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ﻓَﺄ َﻣﺎ اﻟﺮﻛ ُﻮع ُ ﻓَﻌﻈﻤﻮا ﻓﻴﻪ اﻟﺮب ﻋ َﺰ وﺟﻞ وأ َﻣﺎ اﻟﺴﺠﻮد ﻓَﺎﺟﺘﻬﺪوا ﻓﻰ اﻟﺪﻋ َﺎِء ﻓََﻘﻤ‬
.«‫ﻢ‬ ْ ُ ‫ب ﻟ َﻜ‬ َ ‫ﺠﺎ‬َ َ ‫ﺴﺘ‬ ْ ُ‫ن ﻳ‬ْ ‫ﻦأ‬ ٌ ِ ِ ُ َِ ْ ُ ُ َ َ َ ِ ِ ُ َ
"Adapun ketika ruku', maka agungkanlah Tuhanmu Azza wa Jalla di sana. Sedangkan
ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat layak kamu
akan dikabulkan." (HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i)
(87) Ar Rafiiq (Allah Maha Lembut)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ِ‫ﻣﺮِ ﻛ ُﻠﻪ‬ َ
ْ ‫ﺤ ﺐ ا ﻟ ﺮ ﻓ ْﻖ َ ﻓ ِﻰ ا ﻷ‬ ِ ُ ‫ﻪ َرﻓِﻴﻖٌ ﻳ‬ َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah Mahalembut, menyukai kelembutan dalam segala sesuatu." (HR.
Bukhari dan Muslim)
(88) As Subbuuh (Allah Mahasuci dari segala keburukan)
Dalilnya ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ruku' dan sujud,
. « ‫ﻤﻼ َﺋ ِﻜ َﺔِ وَاﻟﺮوِح‬ َ ْ ‫س َرب اﻟ‬ ٌ ‫ح ﻗُﺪو‬ ٌ ‫ﺳﺒ ﻮ‬ ُ »
"Mahasuci Allah dan Mahabersih, Tuhan para malaikat dan malaikat Jibril." (HR. Muslim,
Abu Dawud dan Nasa'i)
(89) As Sayyid (semua ketinggian berpulang kepada Allah)
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
‫ك وَﺗ َﻌَﺎﻟ َﻰ‬ َ ‫ﻪ ﺗ َﺒ َﺎَر‬ُ ‫ا َﻟﺴﻴﺪ ُ اﻟﻠ‬
"As Sayyid adalah Allah Tabaaraka wa Ta'aala." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa'i
dalam Amalul yaumi wal lailah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami'
3700)
(90) Asy Syaafiy (Allah Maha Penyembuh)
Dalilnya adalah doa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada orang yang sakit,
َ َ
‫ﻤﺎ‬ً ‫ﺳَﻘ‬ َ ‫ﺷَﻔﺎًء َﻻ ﻳ ُﻐَﺎد ُِر‬ ِ ،‫ك‬ َ ُ ‫ﺷَﻔﺎؤ‬ ِ ‫ﺷَﻔﺎَء إ ِﻻ‬ ِ ‫ َﻻ‬،‫ﺖ اﻟﺸﺎﻓِﻲ‬ َ ْ ‫ﻒ أﻧ‬ ِ ‫ﺷ‬ ْ ‫ وَا‬،‫س‬ ِ ‫ َرب اﻟﻨﺎ‬،‫س‬َ ‫ﺐ اﻟ ْﺒ َﺎ‬
ِ ِ ‫أذ ْﻫ‬
3/4
"Hilangkanlah derita wahai Tuhan manusia. Sembuhkanlah, Engkaulah Yang
menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan selain kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan dari-
Mu tidak meninggalkan penyakit." (HR. Muslim)
(91) Ath Thayyib (Allah Maha Baik)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
‫ﻞ إ ِﻻ ﻃ َﻴﺒ ًﺎ‬ ٌ ‫ﻪ ﻃ َﻴ‬
ُ َ ‫ﺐ ﻻ َ ﻳ َْﻘﺒ‬ َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik." (HR. Muslim dan
Tirmidzi)
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Untaian Mutiara Hadits (Penulis), Maktabah Syamilah versi 3.45, Ta’liq Mukhtashar
ala Lum’atil I’tiqad, (Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin), Al Qawa’idul Mutsla (Syaikh M. bin
Shalih Al Utsaimin), http://www.alukah.net/sharia/0/82205/ , dll.

4/4
Mengenal Asma’ul Husna (3)
wawasankeislaman.blogspot.com/2018/08/mengenal-asmaul-husna-3.html

‫ﺑ ﺴ ﻢ اﻟﻠ ﻪ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ اﻟ ﺮ ﺣﻴ ﻢ‬
Mengenal Asma’ul Husna (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin,
shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya,
dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan ringkas
tentang Asma’ul Husna atau nama-nama Allah
Yang Indah, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Asma’ul Husna
(92) Al Qaabidh (Allah Maha Menyempitkan), (93) Al Baasith (Allah Maha Melapangkan)
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
َ َ َ ‫ﻂ اﻟﺮازقُ اﻟ ْﻤﺴﻌﺮ وإﻧﻲ َﻷرﺟﻮ أ‬
ٍ ‫ﻤﺔ‬ َ َ ‫ﻤﻈ ْﻠ‬ َ ِ ‫ﺣﺪ ٌ ﺑ‬ َ ‫ﻪ وََﻻ ﻳ َﻄ ْﻠ ُﺒ ُﻨ ِﻲ أ‬ َ ‫ن أﻟ َْﻘﻰ اﻟﻠ‬
ْ ُ ْ َِ ُ َ ُ ِ ُ ‫ﺳ‬
ِ ‫ﺾ اﻟ ْﺒ َﺎ‬
ُ ِ ‫ﺨﺎﻟ ِﻖُ اﻟ َْﻘﺎﺑ‬
َ ْ ‫ﻪ ﻫُﻮَ اﻟ‬
َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
‫ل‬ٍ ‫ﻣﺎ‬ َ
َ ‫ﻤﺘ ُﻬَﺎ إ ِﻳﺎه ُ ﻓِﻲ د َم ٍ وَﻻ‬ َ
ْ ‫ﻇﻠ‬ َ
"Sesungguhnya Allah Ta'ala, Dia-lah Yang Maha Pencipta, yang menyempitkan dan
melapangkan rezeki dan Pemberi rezeki serta yang menetapkan harga. Sesungguhnya
saya tidak ingin menghadap Allah dalam keadaan ada seorang yang menuntut kezaliman
karena tindakanku terhadapnya baik dalam masalah darah maupun harta." (HR. Ahmad,
Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Baihaqi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam
Shahihul Jaami' no. 1846)
(94) Al Muqaddim (Allah Maha Mengawalkan)
(95) Al Mu'akhkhir (Allah Maha Mengakhirkan)
Dalilnya adalah doa istiftah yang dibaca Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam shalat
malam.
(96) Al Muhsin (Allah Maha Berbuat baik)
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
َ
‫ﺴﻨ ُﻮْا‬ِ ‫ﺣ‬ ْ ‫ﻦ ﻓَﺄ‬ ٌ ‫ﺴ‬ ِ ‫ﺤ‬ ُ ‫ﻪ ﺗ َﻌَﺎﻟ َﻰ‬
ْ ‫ﻣ‬ َ ‫إ ِن اﻟﻠ‬
"Sesungguhnya Allah muhsin, maka berbuat ihsanlah." (HR. Ibnu 'Addiy dari Samurah,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami' no. 1823)
(97) Al Mu'thiy (Allah Maha Pemberi)
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
َ
‫ﻢ‬
ُ ‫ﺳ‬ ِ ‫ﻤﻌْﻄ ِﻲ وَأﻧ َﺎ اﻟ َْﻘﺎ‬ ُ ْ ‫ﻪ اﻟ‬
ُ ‫و َ اﻟﻠ‬
"Allah-lah yang memberi, adapun saya hanya membagi-bagikan." (HR. Bukhari dan
Muslim)
(98) Al Mannan (Allah Maha Pemberi)
Dalilnya adalah doa ismullah al A’zham.
1/2
(99) Al Witr (Allah Maha Esa)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
. « ‫ﺤﺐ اﻟ ْﻮَﺗ َْﺮ‬ ِ ُ ‫وَﻫْﻮَ وَﺗ ٌْﺮ ﻳ‬
"Allah adalah witr (Esa), Dia menyukai yang ganjil[i]." (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Ibnu 'Utsaimin setelah menyebutkan nama-nama di atas berkata , "Inilah yang
kami pilih setelah menggalinya; 81 ada dalam kitab Allah dan 18 ada dalam sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun kami masih ragu-ragu dalam
memasukkan nama Al Hafiy[ii], karena nama tersebut disebutkan dengan ditaqyid
(dibatasi), yaitu pada firman Allah Ta'ala menyebutkan tentang (perkataan) Nabi Ibrahim,
‫ﺣِﻔﻴﺎ‬
َ ‫ن ﺑ ِﻲ‬ َ ‫ﻪ ﻛ َﺎ‬ُ ‫إ ِﻧ‬
(Ibrahim berkata), "Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku." (Maryam: 47)
Demikian juga nama Al Muhsin, karena kami belum melihat para perawinya dalam
(Mu'jam) Thabrani, namun Syaikhul Islam menyebutkannya termasuk nama-nama-Nya
(Asmaa'ul Husna). Kemudian saya menemukannya dalam Mushannaf Abdurrazzaq (Juz
4/492/ no. 8603) dari Syaddad bin Aus dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam[iii]."
Ia juga berkata , "Dan di antara nama-nama Allah Ta'ala ada yang diidhafatkan
(dihubungkan), seperti Maalikul mulki Dzul Jalaali wal Ikraam." (Al Qawaa'idul Mutsla hal.
25 cet. Maktabah Al 'Ilm)
Bagi yang ingin menyelami lebih dalam Asma’ul Husna, silahkan buka buku yang kami
tulis dengan judul “Untaian Mutiara Hadits” atau bisa didownload di sini:
https://drive.google.com/open?id=0Bx0SaxmNLRN2YTRFWnZuUHI4aUE
Kesimpulan umum
Secara umum dengan mengenal nama-nama-Nya dan mengamalkan pesan yang
terkandung di dalamnya dapat menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, mendorong kita
untuk beramal saleh dan menjauhi maksiat, mendapatkan kecintaan dari Allah dan
memasukkan kita ke surga.
Kita meminta kepada Allah dengan semua nama-Nya yang Indah dan sifat-Nya yang
tinggi agar Dia memasukkan kita semua ke dalam surga-Nya dan dijauhkan dari neraka,
Allahumma aamin.
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Untaian Mutiara Hadits (Penulis), Maktabah Syamilah versi 3.45, Ta’liq Mukhtashar
ala Lum’atil I’tiqad, (Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin), Al Qawa’idul Mutsla (Syaikh M. bin
Shalih Al Utsaimin), http://www.alukah.net/sharia/0/82205/ , dll.

[i] Allah Subhaanahu wa Ta'ala suka kepada yang ganjil. Oleh karena itu, Dia menetapkan
banyak ibadah dan makhluk dalam jumlah ganjil, seperti menetapkan shalat lima waktu,
thawaf sebanyak tujuh kali, langit berjumlah tujuh, dan menganjurkan tiga kali dalam
berbagai amal, seperti wudhu dan mandi.
[ii] Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa termasuk nama Allah pula adalah Al
Kafil (Yang Maha Menjamin) berdasarkan Qs. An Nahl: 91, wallahu a’lam.
[iii] Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami' (1824).

2/2

Anda mungkin juga menyukai