Anda di halaman 1dari 15

KEPERAWATAN GERONTIK

“KONSEP LEGAL DAN ETIK KEPERAWATAN GERONTIK”

OLEH
KELOMPOK 5

1. NI MADE SRI DAMAYANTI 183222936


2. NI MADE WIDIADNYANI 183222937
3. NI MADE YUNI ANTARI 183222938
4. NI PUTU AYU SWASTININGSIH 183222939
5. NI PUTU EKA PRADNYA KARTINI 183222940
6. NI PUTU ITA MARTARIANI 183222941
7. NI PUTU NICK TRI DANYATI 183222942
8. NI PUTU RISKI DAMAYANTI 183222943

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI
2019

i
KATA PENGANTAR

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….…..1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………..1

1.3 Tujuan ……………………………………………………….………………..2

1.4 Manfaat………………………………………………………….…………….2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Standar Gerontologi …………………………………………………………..3

2.2 Pengertian Etik Keperawatan Lansia……………………………….………....5

2.3 Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan Pada Lansia ……………………………..6

2.4 Inform Concent………………………………………………………………..7

2.5 Peraturan Yang Berkaitan Dengan Kesejahteraan Lansia…………………….9

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan……………………………………………………………………..11

3.2 Saran…………………………………………………………………………11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan yang berkeahlian khusus merawat lansia diberi nama untuk
pertama kalinya sebagai keperawatan geriatric (Ebersole et al, 2005). Namun,
pada tahun 1976, nama tersebut diganti dengan gerontological. Gerontologi
berasal dari kata geros yang berarti lanjut usia dan logos berarti ilmu. Gerontologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang lanjut usia dengan masalah-masalah yang
terjadi pada lansia yang meliputi aspek biologis, sosiologis, psikologis, dan
ekonomi. Gerontologi merupakan pendekatan ilmiah (scientific approach)
terhadap berbagai aspek dalam proses penuaan (Tamher&Noorkasiani, 2009).
Menurut Miller (2004), gerontologi merupakan cabang ilmu yg mempelajari
proses manuan dan masalah yg mungkin terjadi pada lansia. Geriatrik adalah salah
satu cabang dari gerontologi dan medis yang mempelajari khusus aspek kesehatan
dari usia lanjut, baik yang ditinjau dari segi promotof, preventif, kuratif, maupun
rehabilitatif yang mencakup kesehatan badan, jiwa, dan sosial, serta penyakit
cacat (Tamher&Noorkasiani, 2009).
Sedangkan keperawatan gerontik adalah istilah yang diciptakan oleh Laurie
Gunter dan Carmen Estes pada tahun 1979 untuk menggambarkan bidang ini.
Namun istilah keperawatan gerontik sudah jarang ditemukan di literature
(Ebersole et al, 2005). Gerontic nursing berorientasi pada lansia, meliputi seni,
merawat, dan menghibur. Istilah ini belum diterima secara luas, tetapi beberapa
orang memandang hal ini lebih spesifik. Menurut Nugroho (2006), gerontik
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan lanjut usia dengan segala
permasalahannya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit. Menurut para ahli,
istilah yang paling menggambarkan keperawatan pada lansai
adalah gerontological nursing karena lebih menekankan kepeada kesehatan
ketimbang penyakit. Menurut Kozier (1987), keperawatan gerontik adalah praktek
perawatan yang berkaitan dengan penyakit pada proses menua. Menurut
Lueckerotte (2000) keperawatan gerontik adalah ilmu yang mempelajari tentang

1
perawatan pada lansia yang berfokus pada pengkajian kesehatan dan status
fungsional, perencanaan, implementasi serta evaluasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja standar gerontologi?
2. Apa yang dimaksud dengan etik keperawatan lansia?
3. Apa saja prinsip etik?
4. Apa yang dimaksud informed consent?
5. Apa saja peraturan yang berkaitan dengan kesejahteraan lansia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja standar gerontologi.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan etik keperawatan lansia.
3. Untuk mengetahui apa saja prinsip etik.
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan informed consent.
5. Untuk mengetahui apa saja peraturan yang berkaitan dengan kesejahteraan
lansia.

1.4 Manfaat
1. Manfaat teoritis dari penyusunan makalah ini agar mahasiswa memperoleh
pengetahuan tambahan dan dapat mengembangkan wawasan mengenai
aspek legal dan etik keperawatan lansia.
2. Manfaat praktis dari penyusunan makalah ini agar para pembaca
mengetahui bagaimana cara untuk menyusun sebuah makalah mengenai
aspek legal dan etik keperawatan lansia dan dapat menerapkannya dalam
melakukan tindakan keperawatan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Standar Gerontologi
Praktek keperawatan profesional diarahkan dengan mempergunakan
standar praktek yang merefleksikan tingkat dan harapan dan pelayanan, serta
dapat digunakan untuk evaluasi praktek keperawatan yang telah diberikan.
Standar keperawatan gerontologi menurut American Nursing Association
(ANA) adalah sebagai berikut :
1. Standar I : Organisasi Pelayanan Keperawatan Gerontologi.
Yaitu semua pelayanan keperawat gerontologi harus direncanakan, diorganisasi
dan dilakukan oleh seorang eksekutif perawat (has baccalaureate or master’s
preparation and experience in gerontological nursing and administrasion of
long- term care services or acute-care services for older patients)
2. Standar II : Teori.
Perawat disini harus berpartisipasi dalarn rnengernbangkan dan melakukan
percobaan percobaan yang didasari oleh teori untuk mengambil keputusan
klinik. Perawat juga mengunakan konsep teontik yang digunakan sebagai
petunjuk untuk melaksanakan praktek keperawatan gerontologi yang lebih
efektif.
3. Standar III : Pengumpulan Data
Status kesehatan pada klien dikaji secara terus menerus dengan komprehensive,
akurat dan sistematis. Informasi yang didapatkan selama pengkajian kesehatan
harus dapat dipecahkan dengan mengunakan pendekatan dan interdisipliner
team kesehatan termasuk didalamnya lansia dan keluarga.
4. Standar IV: Diagnosa Keperawatan.
Perawat dengan mengunakan data yang telah diperoleh untuk menentukan
diagnose keperawatan yang tepat sesuai dengan prioritasnya.
5. Standar V: Perencanaan dan Kontinuitas dan Pelayanan
Perawat mengembangkan perencanaan yang berhubungan dengan klien dan
orang lain yang berkaitan. Untuk mencapai tujuan dan prioritas dan
perencanaan perawatan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh klien, perawat
dapat mengunakan terapeutik, preventif, restoratif dan rehabilitasif.

3
Perencanaan peraatan ini bermanfaat untuk membantu klien dalam mencapai
dan mempertahankan tingkat kesehatan, kejahtera, kualitas hidup yang yang
tinggi (optimal ) dan serta mati dalam keadaan damai.
6. Standar VI : Intervensi
Perencanaan pelayanan yang telah ada digunakan sebagai petunjuk dalarn
membenkan intervensi untuk mengembalikan fungsi dan mencegah terjadinya
komplikasi dan ‘excess disability’ pada klien.
7. Standar VII: Evaluasi
Perawat harus melakukan evalusai secara terus menerus terhadap respon klien
dan keluarga terhadap intervensi yang telah diberikan. Disamping itu evaluasi
juga digunakan untuk menentukan . tingkat keberhasilannya dan mengevaluasi
kembali data dasarnya, diagnosanya dan perencanaannya.
8. Standar VIII: Kolaborasi Interdisipliner
Kolaborasi perawat dengan disiplin ilmu yang lain (team kesehatan) sangat
penting dilakukan dalam membenkan pelayanan kesehatan terhdap klien (
lansia). Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan yang rutin
untuk menentukan perencanaan yang tepat sesuai dengan perubahan kebutuhan
yang ditemukan pada klien.
9. Standar IX : Research
Perawat harus ikut berpartisipasi dalam rnengernbangkan penelitian untuk
memperkuat pengetahuan dibidang keperawatan gerontoogi, menyebarluaskan
hasil penelitian yang diperolehnya dan digunakan dalam praktek keperawatan.
10. Standar X: Ethics
Perawat rnengunakna kode etik keperawatan (ANA) sebagai petunjuk etika
dalam mengambil keputusan didalam praktek.
11. Standar XI : Professional Development
Perawat harus mempunyai asumsi bahwa perkembangan dan kontribusi
profesionalisme keperawatan merupakan tanggung jawabnya dan sangat
berkaitan erat dengan perkembngan interdisiplin ilmu yang lain. Dalam hal ini
perawat juga harus mampu mengevaluasi perkembangan dalam praktek
kualitas yang diberikan.

4
Standar ini dikembangkan oleh dan untuk perawat gerontologi sendiri
sehingga perawat hams mempunyai peraturan yang jelas untuk mengevaluasi
bila terjadi pelanggaran yang menyimpang dan standar praktek yang
seharusnya diberikan. Standar ini akan memberikan kualitas pelayanan yang
terbaik bagi masyarakat.

2.2 Pengertian Etik Keperawatan Lansia


Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk
dalam hubungan dengan orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku,
karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan
apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik
dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral
bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau
kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku
aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara
hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang
mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah
dideskripsikan sebagai etik perawatan. Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk
merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang
seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Keperawatan gerontik adalah suatu pelayanan profesional yang
berdasarkan ilmu dan kiat/tekhnik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-
sosial-spritual dan kultural yang holistic yang ditujukan kepada klien lanjut
usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa etik keperawatan
adalah istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya
manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang
lain khususnya dalam memberikan suatu pelayanan profesional yang
berdasarkan ilmu dan kiat/tekhnik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-

5
sosial-spritual dan kultural yang holistic yang ditujukan kepada klien lanjut
usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu

2.3 Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan Pada Lansia

Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita
usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :

1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar


pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan
geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn
pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami
oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan
wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective
dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus
memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
2. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan
sebagai non-maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu
didasarkan pada keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk
pnderita dan harus menghindari tindakan yang menambah penderita
(harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non nocere (”yang
penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian ini,
upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa
nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang
cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal
yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan.
3. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya
sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di
bidang geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita
dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika
ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?)
oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi
berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih kapabel

6
(sedanagkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat
melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik
ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang
menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis.
Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
4. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan
perlakuan yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk
memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan
pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
5. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua
janji yang diberikan pada seorang penderita.

2.4 Inform Concent


Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan geriatric
berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai
berikut :

1. penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan


dan pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus
bersifat sukarela.
2. keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau
keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
3. keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental
dianggap kapabel.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian
ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik)
atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak
tindakan medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih
tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan
yang dipilih tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya (harmful).

Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hokum yang
sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita

7
tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label
iagnosis, antara lain terlihat dari :

1. apakan penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar ?


2. dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat ?
3. apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita
mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar) ?
4. apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya ? (misalnya tentang
keuntungan dan kerugian dari tindakan tersebut ? dan mengerti pula
berbagai pilihan yang ada) ?
pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih terdapat
fungsi yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik, sehingga
perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada usia lanjut serinkali sudah terdapat
gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran, sehingga perlu waktu,
upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional penderita.

Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita untuk
mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :

1. realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan


(misalnya pada keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila
gangguan tersebut demikian berat, sedangakan keputusan harus segera
diambil, maka keputusan bisa dialihkan kepada wakil hukum atau
walimkeluarga (istri/suami/anak atau pengacara). Dalam istilah asing
keadaan ini disebut sebagai surrogate decission maker.
2. Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai
aspek medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta
benda dll) maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang
melindungi kepentingan penderita yang disebut badan perlindungan
hokum (guardianship board). (Brocklehurst and Allen 1987, Kane et
al, 1994).
Dalam kenyatannya pengambila keputusan ini sering dilakukan berdasarkan
keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dinbanding keadaan de-

8
jure oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama,
dan sering melelahkan baik secara fisik maupun emosional.

Oleh Karen suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian,


kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita
mengambil keputusan yang salah ( antara lain menolak tramfusi / tindakan bedah
yagn live saving). Dalam hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit,
dimana atas otonomi penderita tetap harus dihargai.

Yang penting adalah bahwa dokter mau mendengar semua keluhan atau alas an
penderita dan kalau mungkin memperbaiki keputusan penderita tersebut denagn
pemberian edukasi. Seringkali perlu diambil tindakan “kompromi” antara apa
yang baik menurut pertimbangan dokter dan apa yang diinginkan oleh penderita.

2.5 Peraturan Yang Berkaitan Dengan Kesejahteraan Lansia


Landasan Hukum Di Indonesia

Berbagai perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut Usia atau


yang tidak langsung terkait dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan
sejak 1965. beberapa di antaranya adalah :

1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi


Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor
32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja.
3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial.
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.

9
7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.
8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman.
9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang PErkembangan
Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera.]
10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan
Perkembangan Kependudukan.
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia (Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti
undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi
Orang jompo.

Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :

1. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah,


masyarakat dan kelembagaan.
2. Upaya pemberdayaan.
3. Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan
tidak potensial.
4. Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
5. Perlindungan sosial.
6. Bantuan sosial.
7. Koordinasi.
8. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
9. Ketentuan peralihan.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Gerontologi merupakan pendekatan ilmiah (scientific approach) terhadap
berbagai aspek dalam proses penuaan (Tamher&Noorkasiani, 2009). Menurut
Miller (2004), gerontologi merupakan cabang ilmu yg mempelajari proses
manuan dan masalah yg mungkin terjadi pada lansia.

Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk
dalam hubungan dengan orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku,
karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan
apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik
dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral
bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau
kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku
aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.

3.2 Saran

11
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.

R, Rully. 2002. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Lansia di RSU dalam


Perspektif HAM. Jakarta: Harian Suara Pembaharuan.

Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut), Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari

Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai