Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik atau sengketa adalah istilah-istilah yang sering ditemukan dalam


kehidupan sehari-hari. Konflik atau sengketa bisa saja terjadi dikarenakan hal yang
sepele, misalnya konflik antar tetangga yang mempermasalahkan batas tanah,
sengketa pelanggaran peerjanjian atau kontrak. Akan tetapi setiap orang sudah pasti
tidak menginginkan suatu konflik atau sengketa terjadi di alam kehidupannya.

Konflik adalah sebuah situasi di mana dua pihak atau lebih dihadapkan pada
perbedaan kepentingan, konflik bisa berkembang atau berubah menjadi sengketa
apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tiak atau
keprihatinannya, baik secara lagsung kepada pihak yang dianggap sebagai
penyebab kerugian atau kepada pihak lain.

Penyelesaian sengketa sendiri adalah suatu kegiatan untuk menyatukan


persepsi para pihak yang bersengketa ataupun mendamaikan keduanya agar tidak
terjadi hal yang tidak diinginkan. Kita ketahui bahwa dalam kehidupan pasti terjadi
konflik. Maka hal ini yang menjadi landasan adanya alternatif penyelesaian
sengketa yang saat ini berkembang di masyarakat. Seiring berkembangnya
alternatif penyelesaian sengketa ini, banyak tidak mengetahui bagaimana sejarah
dari alternatif penyelesaian sengketa sendiri, baik itu sejarah penyelesaian sengketa
dalam Islam yakni pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin ataupun
sejarahnya di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada
Masa Rasulullah dan Khulaur Rasyidin?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Indonesia?
3. Apa saja macam-macam dari Alternatif Penyelesaian Sengketa?
C. Tujuan

1
1. Untuk mendeskripsikan sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian
Sengketa pada Masa Rasulullah dan Khulaur Rasyidin
2. Untuk sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
3. Untuk memahami macam-macam dari Alternatif Penyelesaian Sengketa

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENYELESAIAN SENGKETA PADA MASA RASULULLAH

Tahkim atau mediasi yakni berlindungnya dua pihak yang bersengketa


kepada orang yang mereka sepakati dan setujui serta rela menerima keputusanya
untuk menyelesaikan persengketaan mereka, berlindungnya orang yang
bersengketa pada orang yang mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk memutuskan
atau menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara mereka. Sedangkan
pengertian Tahkim dalam terminologi fiqih ialah adanya dua orang atau lebih yang
meminta kepada orang lain agar diputuskan perselisihan yang terjadi diantara
mereka dengan hukum Syar’i yang sekarang kita sebut dengan istilah mediasi.1

Lembaga tahkim telah dikenal sejak jauh sebelum masa Islam. Orang-orang
Nasrani apabila mengalami perselisihan di antara mereka mengajukan perselisihan
tersebut kepada Paus untuk diselesaikan secara damai.

Lembaga tahkim juga dilakukan oleh orang-orang arab sebelum datangnya


agama Islam. Pertikaian yang terjadi di antara mereka biasanya diselesaikan
menggunakan lembaga tahkim. Pada umumnya apabila terjadi perselisihan antar
anggota suku, maka kepala suku yang bersangkutan yang mereka pilih dan mereka
angkat sebagai hakamnya. Namun, jika perselisihan terjadi antar suku maka kepala
suku lain yang tidak terlibat dalam perselisihan yang mereka minta untuk menjadi
hakam.

Nabi Muhammad dalam perjalanan sejarahnya cukup banyak


menyelesaikan konflik yang terjadi dikalangan sahabat dan masyarakat ketika itu.
Prinsip resolusi konflik yang dimiliki oleh Al-Qur’an diwujudkan oleh nabi
Muhammad dalam berbagai bentukberupa fasilitasi, negosiasi, adjudikasi,
rekonsliasi,mediasi, arbitrase dan penyelesaian sengketamelalui lembaga peradilan

1
Tim Redaksi, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 1750.

3
(ligitasi). Prinsip resolusi konflik dan penyelesaian sengketa ditemukan dalam
sejumlah ayatAl-Qur’an dan hadis Nabi.2

Dalam surat Al-anbiya’ ayat 70 Allah menegaskan yang artinya:

“Tidak kami utus engkau wahai Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat bagi
sekalian alam.”

Ayat ini mengungkapkan bahwa kehadiran nabi Muhammad melalui risalah Islam
bertujuan menciptaan damai, menyelesaikan konflik/ sengketadan menjadikan
manusia sebagai makhluk yang senantiasa membangun dan menciptakan damai
(peace maker). Oleh karena tu dalam menyebarkan ajaran Islam yang damai, Al-
Qur’an menggunakan pendekatan hikmah (bijaksana), mau’izah hasanah
(persuasive), dan argumentasi yang santun (An-nahl: 125). Ketiga penndekatan ini
sesuai dengan esensi ajaran agama yang enekankan penyerahan diri secara tulus
dan tanpa paksaan. Muslim adalah orang yang tulus dan selalu menciptakan damai
dalam kehidupannya.

Proses penyelesaian sengketa atau konflik yang pernah dilakukan oleh


Rasulullah baik setelah maupun sebelum Nabi Muhammad menjadi rasul dapat
ditemukan dalam peristiwa peletakan kembali Hajar aswad dan perjanjian
Hudaibiah.

1. Peristiwa peletakan kembali Hajar Aswad

Penyelesaian sengketa dalam peletakan kembali Hajar aswad melahirkan


win-win solution antar suku dan tidak ada suku yang merasa menang atau kalah.
Nilai lain yang dapat dipetik dalam peristiwa peletakan kebali hajar aswad adalah
nilai persamaan dan penghormatan kemanusiaan seluruh kelompok. Selain itu nilai
positif lain ialah bentuk komitmen proaktif dan kreatif dalam berpikir dari para
pihak yang difasilitasi oleh Nabi Muhammad. Para pihak bertikai harus
menunjukkan keinginan untuk menyelesaikan sengketa dengan bersedia
mendengar pandangan-pandangan kelompok lain.

2
Muhammad Hudhori, Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. (Jakarta: Dar al Kutub al
Islamiyah, 2007), h. 23.

4
2. Perjanjian Hudaibiah

Dalam perjanjian Hudaibiah ada beberapa poin penting yang berhasil


dilakukan oleh rasul diantaranya adalah:

a. Rasul berhasil mengajak kaum Quraisy kemeja perundingan dan


menghasilkan kesepakatan. Ini merupakan kemenangan yang luar biasa
bagi kaum muslimin mengingat bahwa orang Mekkah yang selama ini
menghina dan menyakiti kaum muslimin mulai duduk dengan Nabi dalam
satu meja perundingan.
b. Adapun nilai yang dapat dipetik dari perjanjian Hudaibiah berdasarkan
prinsip mediasi antara lain sikap negosiasi, sikap kompromi take and give,
memosisikan sama para pihak dan menghargai kesepakatan.

Pada masa Rasulullah juga juga sudah penyelesaian perselisihan atau sengketa
seperti itu. Ada beberapa peristiwa di masa Rasulullah dan para sahabat yang
diselesaikan melalui lembaga tahkim. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain yaitu:

1. Peristiwa tahkim pada waktu pelaksanaan renovasi Ka’bah. Ketika itu


terjadi perselisihan antara masyarakat Arab untuk meletakkan kembali
Hajar Aswad ke tempat semula. Mereka semua merasa dirinya berhak dan
merupakan kehormatan bagi mereka untuk mengangkat Hajar Aswad
tersebut. Pada mulanya mereka sepakat bahwa siapa yang paling cepat
bangun pada keesokan harinya, maka dialah yang berhak mengangkat Hajar
Aswad dan meletakkan kembali ke tempat semula. Ternyata mereka
serentak bangun pagi itu, sehingga tdak ada seorang pun diantara mereka
yang lebih berhak atas yang lainnya. Lalu mereka meminta kepada Nabi
Muhammad SAW, yang pada waktu itu belum diangkat menjadi rasul,
untuk memutuskan persoalan mereka. Dengan bijaksana Nabi Muhammad
SAW membentangkan selendanganya dan meletakkan Hajar Aswad di
atasnya, lalu meminta wakil dari masing- masing suku untuk mengankat
pinggir selendang tersebut. Kebijakan Nabi Muhammad SAW tersebut

5
disambut dan diterima baik oleh masing-masing pihak yang ikut berselisih
pendapat pada waktu itu.
2. Perselisihan yang terjadi di antara Alqamah dan Amr bin Tufail yang
memperebutkan posisi jabatan sebagai kepala suku lain untuk diangkat
sebagai hakam. Peristiwa ini terjadi pada tahun 620.3

B. PENYELESAIAN SENGKETA PADA MASA KHULAFA AR-


RASYIDIN
1. Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq

Khalifah Abu Bakar adalah khalifah yang sangat berjasa diawal masa
khulafaur rasyidin, meski banyak sekali cobaan dan hambatan yang datang. Masa
Abu Bakar di mulai dengan munculnya permasalahan tentang siapa pemimpin yang
akan memimpin umat Islam pasca wafatnya Rasulullah SAW. Pada masaini pun
penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara mengambil jalan tengah diantara
keduanya ataupun bermusyawarah, untuk mencpai suatu kesepakatan diantara
pihak-pihak yang bersengketa didalam sebuah permasalahan yang terjadi.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq, keadaan umat Islam tidak
jauh berbeda semasa Rasulullah saw sehingga tidak tampak adanyaperkembangan-
perkembangan di dalam hukum Islam, khususnya di dalam masalah peradilan.
Keadaan peradilan di masa pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq relatif sama
dengan peradilan yang terdapat pada masa Nabi dan tidak ada suatu perubahan
dalam lapangan peradilan. Hal ini disebabkan karena kesibukannya memerangi
sebahagian kaum muslimin yang murtad sepeninggal Rasulullah saw dan kaum
pembangkang yang tidak menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan
pemerintahan lainnya, di samping belum meluasnya kekuasaan Islam pada masa
itu.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa pada masa khalifah Abu Bakar,
urusan peradilan diserahkan kepada Umar bin Khattab selama + 2 tahun lamanya.
Namun selama itu hanya terdapat dua orang yang berselisih dan mengadukan

3
Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: pustaka Al husna, 1983), h. 226

6
permasalahannya kepada Umar karena beliau dikenal dengan ketegasan yang
dimilikinya. Para ahli sejarah tasyri’ menerangkan bahwa Abu Bakar apabila
menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan, beliau memperhatikan isi
alQur’an. Jika beliau menemukan hukum Allah di dalam al-Qur’an, beliau pun
memutuskan perkara dengan hukum Allah itu. Tetapi jika tak ada hukum Allah
terhadap masalah yang dihadapi, maka beliau memperhatikan sunnah Rasul atau
keputusan-keputusan yang pernah diambil Rasul. Jika beliau tidak menemukan
sunnah Rasul, maka beliau bertanya kepada para ahli ilmu. Beliau mengatakan
bahwa: “Saya menghadapi suatu perkara, maka apakah tuan-tuan ada mengetahui
hukum Rasul terhadap perkara itu?”. Kerap kali berkumpul dihadapan beliau
beberapa orang sahabat. Maka masing-masing mereka menerangkan apa yang
mereka ketahui. Apabila Abu Bakar memperoleh keterangan dari orang-orang yang
beliau hadapi, beliau pun memuji Allah.4 Jika tak ada yang mengetahui hukum
Nabi, maka beliau mengumpulkan para pemimpin untuk berembuk putusan apa
yang akan diberikan. Jika mereka semua sependapat untuk menetapkan sesuatu
hukum, maka beliau pun berpegang pada putusan itu. Inilah dasar ijma’.

2. Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab

Di masa pemerintahan Umar ibn al-Khattab, daerah Islam telah luas, tugas-
tugas yang dihadapi oleh pemerintah dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi,
telah berbagai corak ragamnya dan pergaulan orang-orang Arab dengan orang-
orang lain pun sudah sangat erat, dan terjadilah pertemuan kebudayaan. Karena itu,
khalifah Umar tidak dapat menyelesaikan sendiri perkara-perkara yang diajukan
kepadanya. Maka Umar mengangkat beberapa orang hakim untuk menyelesaikan
perkara, dan mereka pun digelari hakim (qadhi). Khalifah Umar mengangkat Abu
Darda untuk menjadi hakim di Madinah, syuraih di Bashrah, Abu Musa al-Asy’ary
di Kufah, Utsman ibn Qais ibn Abil ‘Ash di Mesir, sedang untuk daerah Syam diberi
pula hakim sendiri.5

Di masa pemerintahan Umar, urusan peradilan merupakan bagian dari


kekuasaan Umar. Maka diantara wewenang penguasa adalah menentukan qadhi

4
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Jakarta: PT. Alma’arif, 1984), h. 16.
5
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 16-17.

7
terhadap sebagian urusan peradilan yang harus ditanganinya, membatasi wewenang
tersebut. Karena itu Umar sebagai penguasa, beliau mengangkat pejabat-pejabat
qadhi dengan membatasi wewenang mereka, khusus tentang penyelesaian sengketa
harta benda (urusan perdata), tetapi perkara-perkara jinayah (pidana) yang
menyangkut huku m qishash/had-had, maka ditangani khalifah dan
penguasapenguasa daerah.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa pada masa


pemerintahan Umar bin Khattab telah diadakan pemisahan tugas antara kekuasaan
pemerintahan dan kekuasaan peradilan. Namun peradilan pada masa itu masih
dibatasi wewenangnya pada masalah perdata saja. Adapun pengangkatan qadhi
pada masa Umar, yaitu qadhi daerah mulanya ditunjuk oleh khalifah sendiri.
Khalifah yang mengutus dari pusat pemerintahan ke suatu daerah. Tetapi apabila
khalifah tidak menetapkan dan mengutus seseorang yang telah ditetapkan untuk
suatu daerah, maka khalifah mengintruksikan kepada gubernurnya mengangkat
qadhi menurut pilihannya sendiri.Sudah barang tentu pengangkatan yang dilakukan
oleh para gubernur itu atas nama khalifah. Oleh karena itu, khalifah dapat
menyetujui pengangkatan itu atau membatalkannya serta memecatnya karena
khalifah adalah pemegang kekuasaan tertinggi (kepala negara) dalam negara atas
nama umat.6

Para hakim pada masa Umar dalam peradilan, mereka memutuskan perkara
dengan merujuk kepada al-Qur’an. Jika mereka tidak mendapati hukum dalam al-
Qur’an, mereka mencarinya dalam sunnah. Tapi, jika mereka tidak mendapatkan
sesuatu didalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin, apakah di antara
mereka terdapat orang yang mengerti sesuatu dalam sunnah mengenai perkara yang
dihadapi. Jika didapatkan, mereka berpedoman dengan apa yang dikatakan orang
yang mengetahuinya tersebut setelah dilakukan upaya penguatan. Jika tidak
didapatkan, mereka berijtihad secara kolektif jika topik permasalahan terdapat
hubungan dengan prinsip-prinsip dasar bagi jamaah dan berijtihad secara individu
dalam masalah-masalah sektoral yang khusus dengan individu.13

6
Lomba Sultan & Abd Halim Talli, Peradilan Islam Dalam Lintasan Sejarah (Makassar:
Alauddin University Press, 2001), h. 38

8
Pada masa ini, pembinaan penyelenggaraan peradilan mendapat perhatian
besar. Salah satu bentuk pembinaan tersebut adalah adanya sebuah surat yang
memuat beberapa petunjuk Umar kepada salah seorang qadhinya yaitu Abu Musa
alAsy’ary dalam menyelenggarakan tugas peradilan. Petunjuk tersebut dikenal
dengan Risalatul qadha Umar bin Khattab yang hingga sekarang ini masih
dipandang sebagai prinsip-prinsip penyelenggaraan kekuasaan peradilan. Hal yang
menarik dari pembahasan mengenai peradilan pada masa Umar ini adalah masalah
Umar bin Khattab dengan ijtihadnya yang telah menjadi sorotan utama dalam dunia
hukum Islam. Ketertarikan terhadap bentuk ijtihadnya adalah dengan munculnya
bentuk-bentuk ijtihad dan produk hukumnya yang terbilang baru dan kontradiktif,
seakan tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Ijtihad Umar bin
Khattab dapat dilihat pada beberapa kasus seperti pengguguran hukum had bagi
pencuri, thalak tiga dengan satu lafadz, hukum ta’zir, tindak pidana perzinahan, dan
sebagainya.

3. Pada Masa Khalifah Utsman Bin Affan

Pada waktu Umar meninggal dunia, maka terpilihlah Utsman bin Affan
untuk menjadi khalifah yang ketiga dari khufa al-Rasyidin. Pada masa
pemerintahannya, di dalam menghadapi suatu perkara, maka beliau mengikuti jejak
yang ditempuh oleh khalifah sebelumnya. Pada masa Utsman inilah, maka
peradilan dilaksanakan dalam suatu gedung tertentu. Khalifah Utsman mengikuti
langkah yang ditempuh oleh khalifah Umar dalam hal-hal pemilihan qadhi, dan
begitu pula beliau selalu menyandarkan keputusannya pada al-Qur’an dan sunnah.
Bila tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan sunnah, maka beliau mengadakan
musyawarah dengan sahabat-sahabatnya dalam menetapkan suatu hukum.

Khalifah Utsman begitu menganjurkan kepada petugas-


petugas/qadhiqadhinya yang berada di daerah apabila dalam menjalankan tugasnya
agar mereka selalu berlaku adil demi terciptanya kebenaran. Begitu pentingnya
masalah keadilan sehingga beliau mengirimkan surat kepada petugas yang isinya
sebagai berikut:

“Maka sesungguhnya Allah menciptakan makhluk yang benar. Maka Allah tidak
akan menerima juga kecuali dengan benar. Ambillah kebenaran dan perhatikanlah

9
amanah, tegakkanlah amanah itu dan janganlah kalian merupakan orang yang
pertama kali meniadakannya, maka kalian akan merupakan kongsi orangorang yang
sesudah kamu, penuhilah! Penuhilah! Jangan kalian berbuat aniaya kepada anak
yatim dan begitu juga yang berbuat aniaya kepada orang yang engkau mengikat
janji dengannya.”

Dapat dipahami dari penjelasan diatas bahwa surat khalifah Utsman tersebut
adalah memerintahkan kepada petugas-petugas dan para qadhanya agar
menjalankan keadilan dalam melaksanakan tugasnya terhadap masyarakat dan
melarang untuk berbuat curang dalam menjalankan tugas mereka.

4. Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib

Demikian pula pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, beliau
mengikuti langkah yang telah dijalankan oleh para khalifah sebelumnya dan beliau
selalu memberikan pesan terhadap qadhi-qadhi yang bertugas agar menjalankan
tugasnya berdasarkan dengan keadilan dan kasih sayang terhadap masyarakat. Ali
menetapkan hukum di antara manusia selama di Madinah. Ketika keluar di Basrah,
dia mengangkat Abdullah bin Abbas sebagai gantinya di Madinah, dan mengangkat
Abul Aswad ad-Du’ali dalam masalah pemerintahan di Basrah dan sekaligus dalam
peradilan. Selain itu, ad-Du’ali juga diperintahkan menyusun kitab tentang dasar-
dasar ilmu nahwu.7

Ali juga sangat memperhatikan para gubernur dan para hakim dengan
bimbingan dan pengarahan. Sehingga, sangat wajar jika kitab-kitab peradilan, fikih,
dan sejarah sering membicarakan ijtihad imam yang sekaligus hakim ini dan hukum
hukumnya yang menunjukkan kecerdasan dan kejeniusannya, kecermatan dan
kebenaran pemikirannya, pengukuhan kebenaran dan penegakan keadilan.

C. MACAM-MACAM ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Dalam pembahasan ini, Alternative Dispute Resolution memiliki dua


definisi yang sangat menentukan kategorinya. Pengertian pertama mengutarakan
bahwa ADR sebagai alternative to litigation dimana dalam lingkup ini arbitrase

7
DR. Samih Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar Grup, 2004), h. 305.

10
juga turut ada didalamnya. Hal ini didasarkan pada pengertian litigasi. Otomatis,
seluruh alternative diluar pengadilan dianggap ADR, termasuk arbitrase. ADR
dengan pengertian ini seolah-olah merupakan jawaban atas kegagalan pengadilan
memberikan akses keadilan bagi masyarakat sehingga pemasyarakatan istilah ini
mengandung rasa tidak aman dan kecemburuan bagi insan pengadilan.8 Macam
ADR yang berada pada lingkup ini adalah:

a. Litigasi
Litigasi adalah proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk
menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan
kepada seorang pengambil keputusan atas dua pilihan yang bertentangan.
Biasanya hal ini terjadi di pengadilan, karena sifatnya public.
b. Arbitrase
Bahasa ringkas yang dapat membuka gambaran tentang arbitrase adalah
upaya menghindari pengadilan. Kendatipun demikian, konsep yang
digunakan serupa dengn pengadilan. Perbedaannya adalah jika litigasi di
pengadilan hakimnya sudah ditetapkan, dalam arbitrase hakim dapat dipilih
sesuai yang para pihak inginkan.9 Sifat arbitrase yang membedakan dengan
litigasi adalah arbitrase lebih cepat dan murah, dan sifatnya informal.

Pemahaman kedua tentang ADR adalah alternative to adjudication. Titik


tekan pada pengertian ini adalah pada mekanisme penyelesaian sengketa yang
bersifat consensus. Selain itu, yang menjadi karakteristik dari pemahaman ini
adalah suatu konflik tidak selesai ditangan orang ketiga akan tetapi oleh
kesepakatan kedua belah pihak sendiri.10 Adapun macam-macam alternative
sengketa dalam lingkup pemahaman ini antara lain:

a. Negosiasi
Fisher dan Ury sebagaimana dikutip oleh Suyud Margono mengutarakan
bahwa negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk
mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihk memiliki kepentingan

8
Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2004), h. 23.
9
Suyud Margono, h. 25-26.
10
Suyud Margono, h. 34.

11
yang sama maupun berbeda.11 Titik penting dari negosiasi ini adalah bahwa
dalam pelaksanaan negosiasi tidak membutuhkan pihak ketiga.
b. Mediasi
Mediasi adalah proses negosiasi emecahan masalah dimana pihak luar yang
tidak memihak bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk
membantu memperoleh kesepakatan yang memuaskan.12 Bedanya dengan
arbitrase adalah fungsi pihak ketiga. Jika arbitrator memiliki hak untuk
menyelesaikan sengketa, maka mediator hanya membantu menyelesaikan
persoalannya. Hal ini mengandung artian pihak yang bersengketa mencapai
pengertian dan merumuskan penyelesaian sengketa tanpa arahan kongkrit
dari pihak ketiga.
c. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan bentuk ADR yang sifatnya mirip dengan mediasi.
Ciri konsiliasi adalah apabila hak yang bersengketa tidak mampu
merummuskan kesepakatan, maka pihak ketiga hanya memberikan usulan
solusi atas sengketa. Tentunya, usulan ini sifatnya boleh disepakati atau
tidak.

11
Suyud Margono, h. 28.
12
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2001), h.
33.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan sejarahnya banyak menyelesaikan


konflik yang terjadi dikalangan sahabat dan masyarakat ketika itu. Prinsip resolusi
konflik yang dimiliki oleh al-Qur’an diwujudkan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam berbagai bentuk berupa fasilitasi, negoisiasi, adjudikasi, rekonsliasi, mediasi,
arbitrase dan penyelesaian sengketa melalui lembaga perailan (ligitasi). Prinsip
resolusi konflik dan penyelesaian sengketa ditemukan dalam sejumlah ayat al-
Qur’an dan hadits Nabi. Sedangkan pada masa khulafaur rasyidin juga telah ada
alternatif penyelesaian sengketa. Pada masa khalifah abu bakar dalam penyelesaian
sengketa tidak berbeda jauh dengan masa Rasulullah, mulai adanya perbedaan pada
masa Umar bin Khattab. Pada masa Umar bin Khattab telah diadakan pemisahan
tugas antara kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan peradilan. Sedangkan khalifah
Ustman mengikuti jejak yang ditempuh oleh khalifah sebelumnya. Pada masa
Utsman inilah, maka peradilan dilaksanakan dalam suatu gedung tertentu. Di masa
Khilafah Ali bin Abi Thalib, beliau mengikuti langkah yang telah dijalankan oleh
para khalifah sebelumnya. Di Indonesia sendiri bukan merupakan suatu fenomenan
yang asing, karena konsensus dan kompromi yang menjadi inti dari penyelesaian
sengketa alternatif. Adapun macan-macam dari alternatif penyelesaian sengketa itu
sendiri ada enam macam yakni; konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Tim Redaksi. 2003. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van
Hoeve
Hudhori, Muhammad. 2007. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Jakarta: Dar al Kutub al
Islamiyah
Salabi. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: pustaka Al husna
Hasbi Ash-Shiddieqy, Muhammad. 1984. Peradilan dan Hukum Acara Islam.
Jakarta: PT. Alma’arif
Sultan, Lomba dan Abd Halim Talli. 2001. Peradilan Islam Dalam Lintasan
Sejarah. Makassar: Alauddin University Press
Aliyah, Samih. 2004. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam.
Cetakan Pertama. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Grup
Margono, Suyud. 2004. ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2001. Hukum Arbitrase. Jakarta:
RajaGrafindo Persada

14

Anda mungkin juga menyukai