Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

“Diagnosis dan Terapi Achalasia”

Pembimbing :
dr. Abd. Djalaluddin, SpB

Disusun oleh :
Faridz Albam Wiseso
G1A212078

SMF ILMU BEDAH UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2013
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Akalasia merupakan penyakit yang relatif jarang dijumpai.


Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, namun puncak insidensi penyakit
akalasia ini terjadi pada umur 60-70 tahun. Tetapi sebagian besar kasus akalasia
terjadi pada umur pertengahan dengan perbandingan jenis kelamin yang hampir
sama. Sejak tahun 1995- 2008 telah di indentifikasi sebanyak 463 kasus
menyerang pada laki-laki sebanyak 59,6%. Pada tahun 2007, insiden akalasia
adalah 1.63/ 100.00 dan prevalensi itu bertambah menjadi 10.82/100 (Sadowski,
2010).
Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-mula
diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan
dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam
lambung. Pada tahun 1908 Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter
balon. Pada tahun 1913 Heller melakukan pembedahan dengan cara
kardiomiotomi di luar mukosa yang terus dianut sampai sekarang. Namun,
Penyebab dari achalasia ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori atas
penyebab akalasia pun mulai bermunculan seperti suatu proses yang melibatkan
infeksi, kelainan atau yang diwariskan (genetik), sistim imun yang menyebabkan
tubuh sendiri untuk merusak esophagus (penyakit autoimun), dan proses penuaan
(proses degeneratif). (Bakry, 2009)
Walaupun penyakit ini jarang terjadi, komplikasi yang ditimbulkan dari
penyakit ini mengancam nyawa seperti pneumonia aspirasi, obstruksi saluran
pernapasan,, perforasi esofagus, kanker esofagus, sampai sudden death. Sehingga
penting untuk mengetahui penegakan diagnosis Akalasia. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan
manometrik. Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik
esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi yang diberikan pada akalasia
antara lain adalah medikasi oral sampai pada pembedahan (esofagomiotomi).
Evaluasi keberhasilan terapi idealnya dengan menggunakan manometer yang
merupakan goal standar penyakit akalasia. (Nogreanu, 2010, Woodfield, 2000)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia,
Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis, dan
Dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah
achalasia berasal dari bahasa Yunani, a berarti tidak, chalasis berarti
mengendur, sehingga arti seutuhnya adalah “tidak bisa mengendur” dan
merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot
antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan
membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Kegagalan relaksasi batas
esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian
proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa
perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman
guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh
substernal dan umumnya terjadi regurgitasi. (Sjamsuhidajat, 2005, Bakry,
2006)

B. Anatomi Fisiologi normal Esofagus


Esofagus adalah suatu saluran otot vertikal yang menghubungkan
hipofaring dengan lambung. Ukuran panjangnya 23-25 cm dan lebarnya
sekitar 2 cm (pada keadaan yang paling lebar) pada orang dewasa. Esofagus
dimulai dari batas bawah kartilago krikoidea kira-kira setinggi vertebra
servikal VI. Dari batas tadi, esofagus terbagi menjadi tiga bagian yaitu, pars
cervical, pars thoracal dan pars abdominal. Esofagus kemudian akan berakhir
di orifisium kardia gaster setinggi vertebra thoracal XI (Moore, 2005).
Esofagus memiliki penyempitan pada tiga tempat:
a. Penyempitan cervical, pada permulaan bagiannya pada
pharyngoesophageal junction, kira-kira 15 cm dari gigi seri, disebabkan
oleh otot cricopharyngeus, dikenal secara klinis sebagai sphincter
esophageal superior.

3
b. Penyempitan thoracal atau penyempitan bronkoaortik. Penyempitan pada
daerah ini terletak pada daerah yang bersilangan dengan arcus aorta,
22,5cm dari gigi seri, dan pada daerah yang bersilangan dengan bronkus
primer sinistra, 27,5 cm dari gigi seri.
c. Penyempitan diafragmatika, pada bagian yang melewati hiatus esofagus
pada diafragma, 40 cm dari gigi seri.
Perhatian pada tiga penyempitan ini diperlukan dalam menilai pasien
yang memiliki keluhan kesulitan menelan (Moore, 2005).
Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu :
a. Mukosa yang merupakan epitel skuamosa,
b. Submukosa yang terbuat dari jaringan fibrosa elastis dan merupakan
lapisan yang terkuat dari dinding esofagus,
c. Lapisan otot yang terdiri dari otot sirkuler di bagian dalam dan otot
longitudinal bagian luar. Otot longitudinal bagian luar pada 1/3 bagian atas
dari esofagus merupakan otot skelet, 1/3 bagian bawahnya merupakan otot
polos, dan 1/3 bagian tengah terdiri dari otot skelet dan otot polos.
Pada bagian leher, esofagus menerima darah dari a. karotis interna dan
trunkus tyroservikal. Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a.
esofagus dan cabang dari a. bronkial. Setelah masuk ke dalam hiatus
esofagus, esofagus menerima darah dari a. phrenicus inferior, dan bagian
yang berdekatan dengan gaster di suplai oleh a. gastrica sinistra. Darah dari
kapiler-kapiler esofagus akan berkumpul pada v. esofagus, v. thyroid inferior,
v. azygos, dan v. gastrica.
Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus
vagus) dari pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik
Auerbach yang terletak di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang
esofagus. Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas
adalah upper esophageal sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot
yang membentuk bagian atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan
tenggorokan. Sfingter ini selalu menutup untuk mencegah makanan dari
bagian utama esofagus masuk ke dalam tenggorokan. Bagian utama dari
esofagus disebut sebagai badan dari esofagus, suatu saluran otot yang

4
panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional yang ketiga dari esofagus
yaitu lower esophageal sphincter (sfingter esophagus bawah), suatu cincin
otot yang terletak di pertemuan antara esofagus dan lambung. Seperti halnya
sfingter atas, sfingter bawah selalu menutup untuk mencegah makanan dan
asam lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam badan esofagus.
Sfingter bagian atas akan berelaksasi pada proses menelan agar makanan dan
saliva dapat masuk ke dalam bagian atas dari badan esofagus. Kemudian, otot
dari esofagus bagian atas yang terletak di bawah sfingter berkontraksi,
menekan makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus. Kontraksi yang
disebut gerakan peristaltik ini akan membawa makanan dan saliva untuk
turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini sampai pada
sfingter bawah, maka akan membuka dan makanan masuk ke dalam lambung.
(Moore, 2005).

C. Anatomi esofagus pada achalasia (patologis)


Dasar penyebab achalasia adalah kegagalan koordinasi relaksasi
esofagus bagian distal disertai peristalsis esofagus yang tidak efektif
berdilatasi. Kelainan diketahui terletak pada persarafan simpatis berupa
hilangnya sel ganglion di dalam plexus Auerbach yang juga disebut plexus
Mienterikus. Segmen esofagus di atas sphingter esofagogaster yang
panjangnya berkisar antara 2 – 8 cm menyempit dan tidak mampu
berelaksasi. Esofagus bagian proksimal dari penyempitan tersebut mengalami
dilatasi dan perpanjangan sehingga akhirnya menjadi megaesofagus.
(Sjamsuhidajat, 2005).

D. Patofisiologi
Secara umum, esofagus dibagi menjadi tiga bagian fungsional yaitu
sfingter esofagus bagian atas yang biasanya selalu tertutup untuk mencegah
refluks makanan dari korpus esofagus ke tenggorokan. Bagian kedua yang
terbesar adalah korpus esofagus yang berupa tabung muskularis dengan
panjang 20 cm, sedangkan bagian yang terakhir adalah esofagus bagian

5
bawah (SEB) yang mencegah makanan dan asam lambung dari gaster ke
korpus esofagus. (Bakry. 2009)
Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur oleh
neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin dan substansi P, serta
neurotransmitter penghambat seperti nitrit oxyde dan ,vasoactive intestinal
peptide (VIP). (Bakry. 2009)
Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :
1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan
sfingter esofagus bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya
SEB untuk relaksasi sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya
hubungan antara kenaikan SEB dengan sensitifitas terhadap hormon
gastrin. Panjang SEB manusia adalah 3-5 cm sedangkan tekanan SEB
basal normal rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat
sekitar dua kali lipat atau kurang lebih 50 mmHg.
Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-
40% yang dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan
mengakibatkan bolus makanan tidak dapat masuk ke dalam lambung.
Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan dan minuman di esofagus.
Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya tekanan
residual. Bila tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi
tekanan residual, makanan dapat masuk ke dalam lambung. (Bakry. 2009)
2. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan
dilatasi ⅔ bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak
terkoordinasinya peristaltik sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus
makanan melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian ke arah
motilitas, secara obyektif dapat ditentukan motilitas esofagus secara
manometrik pada keadaan normal dan akalasia. (Bakry, 2009)
Mekanisme lain terjadinya akalasia dapat juga karena penurunan
neuron NCNA intramural serta pengurangan reaktivitas neuron ini terhadap
asetilkolin yang dilepaskan di praganglion. Akibat dari kelainan ini pasien
dengan akalasia memiliki tekanan istirahat yang sangat meningkat pada
sfingter esofagus bagian bawah, relaksassi reseptif meuncul terlambat, dan

6
yang paling penting, terlalu lemah sehingga lama fase refleks tekanan dalam
sfingter jauh lebih tinggi daripada di lambung. Selain itu, penjalaran
gelombang peristaltik terhenti. Jadi gejala akalasia berupa disfagia (kesulitan
menelan), regurgitasi makanan (bukan muntah), nyeri retrosternal dan
penurunan berat badan. Komplikasi akalasia yang berbahaya adalah esofagitis
dan pneumonia, disebabkan olehaspirasi isi esofagus (mengandung bakteri).
(Siberbagl, 2006)

Bagan 1. Patofisiologi akalasia.

E. Etiologi
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Hanya pada
penyakit Chagas, penyebabnya telah diketahui. Secara histologik, ditemukan
kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus
pars torakal. Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti
herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab
dari akalasia.
1. Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik.

7
Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita
akalasia.
2. Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis,
clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio
dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik
esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti
yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropflc sebagai etiologi.
Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-
satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel
sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua,banyak
perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor
neurotropik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan
hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia.
3. Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber.
Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi
oleh limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua,
prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan
dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia
ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus.
4. Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan
dengan proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis,
seperti penyakit Parkinson dan depresi.

8
F. Tanda dan Gejala Klinis
Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala
klinis, gambaran radiologis, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik.
1. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat
terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi.
Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya
cairan lebihmudah ditelan daripada makan makanan padat.
2. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering
regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga
dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru.
3. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium
permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah
epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pectoris.
4. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi
makannya.
5. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada
substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan. Pemeriksaan
Radiologik Pada foto polos toraks tidak menampakkan adanya gelembung-
gelembung udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga menunjukkan
gambaran air fluid level pada sebelah posterior mediastinum. Pemeriksaan
esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi
pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang
abnormal serta gambaran penyempitan di bagian distal esofagus atau
esophagogastric junction yang menyerupai bird-beak like appearance.
(Woodfield. 2000)

G. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis akalasia selain dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang paripurna perlu dilakukan juga pemeriksaan
penunjang yang meliputi radiologis (esofagogram), endoskopi saluran cerna
atas (SCBA), dan manometri. (Woodfield. 2000)

9
a. Radiologi
Foto polos pada radiologi akan menunjukkan gambaran kontur
ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti mediastinum melebar dan
adanya gambaran batas cairan dan udara. Keadaan ini akan didapatkan
pada stadium lanjut. Pemeriksaan fluoroskopi terlihat tidak adanya
kontraksi esophagus. Radiologis dengan bubur barium pada akalasia berat
akan terlihat adanya dilatasi esophagus akibat penumpukan barium di
bagian proksimal dan terlihat penyempitan di bagian distal membentuk
paruh burung. Selain itu didapatkan pula pemanjangan waktu transit
makanan ke dalam gaster akibat gangguan pengosongan esophagus.
(Woodfield. 2000)

Gambar 1. Akalasia primer (kiri), tampak lumen distal esophagus


mengalami penyempitan dan akalasia sekunder (kanan), tampak lumen
distal dan proksimal esophagus mengalami penyempitan.

b. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas


Pemeriksaan endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas adalah untuk
melihat mukosa bagian dalam esophagus dan melihat adanya penyempitan
lumen esophagus. Pada kebanyakan pasien akan didapatkan mukosa
normal kadang-kadang didapat hyperemia ringan difus pada bagian distal
esophagus. Juga dapat ditemukan gambaran bercak putih pada mukosa,
erosi dan ulkus akibat retensi makanan. Bila ditiupkan udara akan
menampakkan kontraksi esophagus distal. Endoskop akan terasa sulit
mencapai gaster, apabila endoskop tidak bisa mencapai gaster maka perlu
dipertimbangkan adanya keganasan atau striktur jinak. Evaluasi daerah

10
cardia gaster juga perlu untuk menyingkirkan akalasia sekunder akibat
kanker. (Woodfield. 2000)
Pemeriksaan endoskopi perlu didahului dengan kumbah esophagus
dengan memakai kanul besar, tujuannya adalah untuk membersihkan
makanan padat atau cair yang terdapat dalam esophagus meskipun pasien
sudah dipuasakan dalam waktu yang cukup lama. (Woodfield. 2000)
c. Manometri
Pemeriksaan manometrik esophagus penting untuk konfirmasi
diagnostic. Karakteristik yang dapat ditemukan dalam manometrik
esophagus antara lain:
1. Tonus sphingter esophagus bagian bawah (SEB) meningkat > 26
mmHg atau > 30 mmHg, normalnya tekanan SEB <10 mmHg dengan
relaksasi normal.
2. Relaksasi sphingter tidak sempurna waktu menelan.
3. Aperistaltik esophagus, normalnya adalah 50-110 mmHg pada bagian
distal.
4. Tekanan korpus esophagus pada keadaan istirahat lebih tinggi
daripada tekanan gaster, normalnya lebih rendah. (Woodfield. 2000)

H. Terapi
1. Terapi farmakologi
Terapi secara farmakologis bertujuan untuk menurunkan tekanan
sphingter bawah esofagus (LES) dengan menggunakan pelemas otot,
seperti Ca Channel Blocker (nifedipin 10-30mg sublingual 30-45 menit
sebelum makan) atau Nitrat (isosorbide dinitrate 5 mg sublingual 10-15
menit sebelum makan). (Eckardt.2009).
Kelebihan:
a. Digunakan untuk terapi simptomatik pada pasien akalasia tahap awal.
b. Sebagai terapi sementara bagi pasien yang masih menunggu pilihan
terapi yang lebih baik, atau yang memiliki risiko tinggi untuk
dilakukan terapi yang lebih invasif. (Eckardt.2009)
Kekurangan:

11
a. Durasi kerja singkat
b. Meningkatkan disphagia (sulit mengunyah dan menelan) dari pada
menurunkan tekanan sphingter esofagus
c. Menimbulkan ESO seperti edema perifer, sakit kepala, hipotensi, yang
seringkali muncul setelah pemberian Ca Channel blocker dan nitrat.
(Eckardt.2009)

2. Terapi injeksi Botulinum Toxin


Botulinum toxin adalah neurotoxin yang poten untuk memblok
pengeluaran asetilkolin dari motor neuron. Botulinum toxin diinjeksikan
pada area sphingter esofagus bawah, dan menghasilkan perbaikan
simptomatis pada pasien akalasia dengan menurunkan retensi esofageal
selama periode kurang lebih 6 bulan. Efek terbaik botulinum toxin
didapatkan pada pasien tua dan pasien dengan tekanan sphingter esofagus
bawah tidak melebihi 50% dari batas normal. (Eckardt.2009)
Kelebihan:
a. Teknik ini cepat memberikan hasil, tidak memerlukan pembedahan
dan tidak memerlukan rawat inap.
b. Merupakan tatalaksana pilihan bagi pasien-pasien tua yang beresiko
tinggi terhadap pembedahan
c. Dengan injeksi ini pasien yang mengalami kehilangan berat badan
berlebihan masih bisa makan dan memperbaiki status gisinya sebelum
terapi permanen dengan pembedahan. Ini bisa mengurangi komplikasi
pasca pembedahan. (Eckardt.2009)
Kekurangan:
a. Penggunaan botulinum toxin terbatas karena efeknya yang jangka
pendek. Kemungkinan untuk kambuh adalah 50% dalam 1 tahun dan
gejala akan muncul kembali umumnya dalam 2 tahun. (Eckardt.2009)
b. Botulinum toxin dapat menyebabkan reaksi peradangan yang sering
pada gastroesophageal junction dan akhirnya terjadi fibrosis yang
dapat mempengaruhi tindakan operasi atau dilatasi. Beberapa studi
menunjukkan meningkatnya angka kejadian perforasi esophagus,

12
yaitu sebanyak 7% pasien yang mendapatkan terapi awal botox.
Sementara pasien yang belum pernah mendapatkan terapi endoskopik
apapun sebanyak 2% mengalami perforasi esophagus. Walaupun
injeksi botox secara endoskopik mudah dilakukan, namun terapi ini
sebaiknya diberikan pada pasien yang menolak, atau yang memiliki
kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan. (Elakkary, 2008)

3. Dilatasi balon Pneumatic


Dilatasi balon Pneumatic dilakukan dengan menggunakan balon
polyethylene, telah digunakan untuk penatalaksanaan akalasia selama lebih
dari 50 tahun dan hingga kini masih diakui sebagai terapi non-bedah
paling efektif untuk akalasia. Pasien disuruh menelan suatu pipa dengan
balon pada ujungnya. Balon ditempatkan di tengah-tengah spinkter bawah
esophagus, lalu balon dikembangkan sehingga meregangkan sphingter.
Berbagai jenis dan merk balon telah digunakan dalam klinis, namun hanya
sedikit data komparasi yang menunjukkan perbedaannya dalam
keefektifan dan keamananya. Komplikasi yang ditakutkan dari metode ini
adalah terjadi perforasi yang terjadi pada 1,6% pasien dari 1065 pasien
yang ditangani oleh tenaga yang berpengalaman. Hasil studi menemukan
bahwa kesuksesan terapi secara permanen terjadi pada 40%-60% pasien
setelah difollow-up selama 15 tahun, walaupun pada mayoritas pasien
harus mengulangi terapi dilatasi beberapa kali. (Eckardt.2009)
Kelebihan :
a. Keberhasilan tatalaksana ini antara 60-90%.
b. Teknik ini lebih cepat dan murah jika dibandingkan dengan
pembedahan dan juga hanya perlu rawat inap yang lebih pendek.
(Eckardt.2009)
Kekurangan :
Dapat terjadi ruptur esophagus.

13
Gambar 2. Balon Pneumatic Dilation.

4. Pembedahan thoracotomy-esophagomyotomy
Tindakan ini adalah dengan cara tradisional dengan melakukan
thoracotomy untuk menjangkau esofagus, dan pleura mediastinal dibuka
untuk mengekspos esofagus bagian bawah. Esophagogastric junction
diangkat ke arah thorax dan myotomy longitudinal dilakukan kurang lebih
sepanjang 6-7cm pada esofagus bagian distal terus hingga beberapa
milimeter kearah lambung. Ada berbagai opini terhadap keefektifan
tindakan esophagomyotomi sebagai terapi pilihan untuk akalasia. Hasil
yang baik didapatkan pada 84% pasien. Pada pasien yang lain terjadi
gejala-gejala pasca operasi seperti reflux esofagitis. Mengapa insidensi
reflux esofagitis cukup tinggi pada beberapa laporan tidak jelas
penyebabnya. Teknik yang benar sangat penting karena ketika dilakukan
insisi lebih dari 2 cm pada lambung, terjadi insidensi reflux 100%.
(Ellis.1980).
Namun meskipun dengan follow up yang lebih lama, beberapa
pasien mengalami kekambuhan disfagia. Jadi, esofagomyotomy tidak
menjamin kesembuhan permanen. Efek samping paling penting adalah
akibat dari pengurangan tekanan yang lebih besar menyebabkan terjadinya
refluks asam (gastroesophageal reflux disease atau GERD). Untuk
mencegah ini, esofagomyotomy bisa dikombinasikan dengan pembedahan
anti refluks (fundoplikasi). Jika prosedur pembedahan ini dilakukan,
beberapa dokter merekomendasikan terapi seumur hidup dengan obat oral

14
untuk refluks asam. Dokter yang lain merekomendasikan 24 jam tes asam
esofagus dengan pengobatan seumur hidup hanya jika refluks asam
ditemukan. (Ellis.1980)
Kelebihan:
Esofagomyotomy mempunyai keberhasilan lebih tinggi jika dibanding
teknik balon pneumatic dilation, hal ini dikarenakan tekanan pada
spinkter bawah berkurang lebih banyak pada pembedahan. Sebanyak
80-90% pasien mempunyai hasil yang baik. (Ellis.1980)
Kekurangan:
a. Operasi ini merupakan tindakan invasif yang dapat beresiko
menimbulkan infeksi pada luka operasi.
b. Dapat terjadi efek samping akibat dari pengurangan tekanan sphingter
yang berlebihan menyebabkan terjadinya gastroesophageal reflux
disease atau GERD.
c. Insisi dada yang panjang akan membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk sembuh. (Ellis.1980)

Gambar 3. Tindakan thoracotomy esofagomyotomy

15
5. Pembedahan laparoscopy myotomy
Pembedahan untuk terapi achalasia pertamakali dilakukan oleh
Heller, seorang ahli bedah berkebangsaan Jerman pada tahun 1913. Pada
sejumlah dekade setelahnya, diskusi-diskusi tentang myotomy ini berpusat
pada bagaimana akses yang dilakukan, apakah thoracotomi, atau
laparotomi. Diskusi panjang ini akhirnya tidak berlanjut setelah ditemukan
teknik laparoskopi. Operasi laparoskopi esophagomyotomy pertamakali
dilakukan oleh Shimi et al. Tahun 1991 (Ramacciato, 2003).
Pembedahan metode ini memiliki sedikit komplikasi dibandingkan
dengan operasi terbuka tradisonal. Suatu laparascopic Heller myotomy
dan fundoplikasi total atau parsial adalah suatu prosedur pilihan untuk
akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot
(myotomi) dari sfingter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal
lambung (2 cm), yang diikuti oleh fundoplikasi total atau parsial untuk
mencegah refluks (Ramacciato, 2003).

Gambar 4. Tujuan Hellers Myotomy adalah untuk mendapatkan


pemisahan otot dengan ketebalan penuh tanpa memotong mukosa.
Myotomy harus dilakukan dengan panjang yang cukup untuk memastikan
terjadinya obliterasi sfingter esophageal inferior.

16
Gambar 5. Peletakan trokar untuk operasi laparoskopi Heller myotomy
dan fundoplikasi

Fundoplikasi total atau dikenal juga dengan fundoplikasi Nissen


dilakukan dengan melipat fundus gaster sehingga melingkari seluruh
esofagus (360 derajat). Sementara fundoplikasi parsial dilakukan tidak
melingkari seluruh esofagus, melainkan sebagian. Ada 2 macam
fundoplikasi parsial yang sering dilakukan, yaitu 180 derajat anterior
(fundoplikasi Dor), dan 270 derajat posterior (fundoplikasi Toupet). Pada
kedua fundoplikasi parsial ini, yang paling sering dikerjakan adalah
fundoplikasi Toupet. Studi yang dilakukan Fibbe pada 200 pasien
membandingkan fundoplikasi Nissen (360 derajat) dan fundoplikasi
Toupet (270 derajat), menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada
kejadian rekurensi refluks setelah operasi. Begitu juga dengan studi yang
dilakukan oleh Laws, yang menemukan bahwa tidak terdapat keuntungan
lebih, pada perlakuan fundoplikasi Nissen atau Toupet (Roberts, 2006).

17
1 2

3
Gambar 6. Fundoplikasi Nissen atau total (1), Fundoplikasi Toupet atau
parsial posterior (2), Fundoplikasi Dor atau parsial anterior (3)

Setelah operasi laparoskopi ini, pasien dirawat di rumah sakit


selama 24-48 jam, dan kembali beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2
minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala
sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara
10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan
rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka
terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia
esofagus (Roberts, 2006).
Dengan adanya Laparoscopic esophageal myotomy diharapkan
penyembuhan akalaksia dapat teratasi secara tuntas dan dengan waktu
yang ebih cepat dan lebih nyaman dalam pemulihan, juga rasa sakit yang
lebih sedikit dibandingkan operasi terbuka tradisional dan jaringan parut
minimal.

18
Penatalaksanaan akalasia dengan laparoscopy mempunyai
beberapa kekurangan dan kelebihan. Kekurangannya antara lain teknik ini
membutuhkan biaya besar untuk pengadaan alat dan sumber daya. Selain
itu, dokter yang menangani kasus ini harus dilatih dalam menggunakan
alat (tangan robot). Hal ini menyebabkan dokter tersebut kehilangan
sensasi taktil pada saat melakukan pembedahan. (Watson. 2008)
Ada juga kelebihan dari laparoscopy ini, yaitu gambaran tiga
dimensi dapat mencegah terjadinya perforasi esofagus. Selain itu, gerakan
dari robot ini lebih akurat dan bisa diatur sehingga dapat meminimalisir
adanya suatu kesalahan dalam pembedahan. (Watson. 2008)

G. Komplikasi
1. Pneumonia aspirasi : infeksi paru-paru yang disebabkan oleh terhirupnya
bahan-bahan ke dalam saluran pernafasan
2. Obstruksi saluran pernafasan : kegagalan sistem pernapasan dalam
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh akibat sumbatan saluran napas
bagian atas (dari hidung sampai percabangan trakea). Obstruksi saluran
napas atas ini sering menyebabkan gagal napas.
3. Perforasi esofagus : setiap organ pencernaan berongga bisa menjadi
berlubang atau bocor, yang menyenbabkan terlepasnya isi gastrointestinal
dan menyebabkan kejutan dan kematian jika operasi tidak dilakukan
segera
4. Kanker esofagus : Merupakan pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari
sel-sel epitel yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitar esofagus dan
menimbulkan metastase pada saluran esofagus. (Streitz JM. 1995)

F. Prognosis
Kebanyakan pasien dengan akalasia dapat diobati secara efektif.
Akalasia tidak mengurangi harapan hidup kecuali jika terjadi komplikasi
menjadi karsinoma esophagus. (M. Neubrand, dkk. 2002)

19
KESIMPULAN

Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia,


Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi
esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti
“gagal untuk mengendur” dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower
esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung)
untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Kegagalan
relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi
bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik.
Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik. Pada
pemeriksaan radiologik, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus
dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di
bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang menyerupai seperti
bird-beak like appearance.
Pengobatan akalasia kebanyakan hanya menghilangkan gejala secara
sementara dan berjangka pendek. Dengan adanya Laparoscopic esophageal
myotomy diharapkan penyembuhan akalaksia dapat teratasi secara tuntas dan
dengan waktu yang ebih cepat dan lebih nyaman dalam pemulihan, juga rasa sakit
yang lebih sedikit dibandingkan operasi terbuka tradisional dan jaringan parut
minimal. (Bakry. 2009)

20
REFERENSI

Bakry, Fuad. 2009. Achalasia. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
InternaPublishing. Hal : 491-492.

Eckardt, Alexander J. Current clinical approach to achalasia. World Journal of


Gastroenterology. 2009 August 28; 15(32): 3969-3975 available at
http://www.wjgnet.com/1007-9327/15/3969.pdf

Elakkary, Ehab. et al. 2008. Recent Advances in the Surgical Treatment of


Achalasia and Gastroesophageal Reflux Disease. J Clin Gastroenterol
2008;42:603–609. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18364581

Ellis, F Henry, Gibb, Peter. Esophagomyotomy for achalasia of the esophagus.


Annals of surgery. 1980 August; 192(2): 157–161. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1344845/pdf/annsurg0022
2-0031.pdf

M. Neubrand, C. Sheurlen, M. Schepke, and T. Sauerbrunch.2002. Long-term


Result and Prognostic Factors in the Treatment of Achalasia with
Botulinum Toxin. Germany: Department of Internal Medicine, University
of Born. Diakses dari (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12170400)

Moore, Keith L.; Dalley, Arthur F.2006. Clinically Oriented Anatomy. 5th
Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins

Ramacciato, Giovanni. et al. 2003. Minimally Invasive Surgical Treatment of


Esophageal Achalasia. JSLS. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3113201/pdf/jsls-7-3-
219.pdf

Roberts, Kurt. et al. 2006. Controversies In The Treatment Of Gastroesophageal


Reflux And Achalasia. World Journal of Gastroenterology. Available
from http://www.wjgnet.com/1007-9327/12/3155.pdf

21
Sadowski, D. C. Achalasia: incidence, prevalence and survival. A population-
based study. 2010. Available at:
http://www3.interscience.wiley.com/journal/123434335/abstract

Sibernagl, Stefan. 2006. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC

Streitz JM Jr, Ellis FH Jr, Gibb SP, et al ; Achalasia and squamous cell carcinoma
of the esophagus: analysis of 241 patients.

Watson, Thomas J. 2008. Surgical Therapy for Achalasia diakses dari:


http://www.google.co.id/url?
sa=t&source=web&cd=5&ved=0CDMQFjAE&url=http%3A%2F
%2Fmed-docs.creighton.edu%2FCME%2Fdocuments
%2FEsophageal_Files%2FFriday_Presentations%2FWatson-
Surgical_Treatment_for_Achalasia.pdf&rct=j&q=disadvantages+of+lapar
oscopy+in+achalasia&ei=gdEiTMeoFoLfccHQiZIF&usg=AFQjCNHm2X
2pyYT8RNn2IPusXeH3hwcjJg pada 23 Juni 2010.

Woodfield, Courtney A. et al. 2000. Diagnosis of Primary Versus Secondary


Achalasia. American Roentgen Ray Society Journal, vol 175: 727-731.

22

Anda mungkin juga menyukai