Anda di halaman 1dari 43

Debat Ahmad Hassan dan Ir.

Soekarno
Tentang Negara Agama
6 Juni 2012 pukul 21:11
Sosok ulama seperti Ahmad Hassan atau lebih akrab dengan sebutan A.Hassan
mungkin lebih dikenal dalam dunia fiqih. Mungkin juga tidak banyak yang tahu
bahwa sosok ulama yang terkenal radikal ini pernah terlibat langsung dalam
percaturan pemikiran politik. Metodologi Dakwah yang ditempuh A.Hassan selain
memunculkan karya tulis, baik melalui majalah yang dipimpinnya atau sejumlah
buku yang sengaja disusunnya untuk topic tertentu. Juga tidak jarang ia pun
melakukan dialog terbuka dengan melayani perdebatan dari setiap tokoh yang
menghujat pemikirannya. Misalnya, mengadakan debat terbuka dengan sejumlah
tokoh Ahmadiyah, NU, Komunis, Nasionalis yang bahkan tidak tanggung-tanggung
lawan debatnya yaitu Mantan Presiden Ir. Soekarno, orang nomor satu di Indonesia
kala itu.
Kaum Nasionalis seculer adalah mereka yang sangat mengagungkan demokrasi
dan HAM, tapi mengapa mereka menjadi anti demokrasi dan HAM untuk Kaum
Muslimin?
Dalam sejarah nasional tidak akan ditemukan satu episode tentang perjalanan hidup
Soekarno yang pernah dekat dengan A.Hassan. Kalau tidak dengan perlakuannya
yang jujur, mungkin kita tidak tahu bahwa Soekarno telah menganggap A.Hassan
sebagai gurunya, yang telah memberikan pelajaran berharga pada Soekarno,
walaupun pada akhirnya Soekarno tidak dapat membumikan pelajar dari gurunya
itu.
Dalam Perdebatannya, salah satunya membicarakan tentang upaya Soekarno yang
menghendaki agar Indonesia mengikuti jejak Turki. Tetapi seluruh argumentasinya
mendapat bantahan keras dari A.hassan. Dibawah ini merupakan bantahan artikel-
artikel Soekarno yang patut dibantah dengan Bahasa yang tidak saya rubah agar
kita ikut merasakan pada era itu.

Soekarno (S): ”Apa yang Turki buat dengan apa yang dibuat oleh negeri Barat, yaitu
pisahkan agama dari Negara”
Ahmad Hassan (A): “Pemisahan agama dari staat sebgaaimana di Eropa itu, Tuan
Soekarno anggap modern dan radikal Tuan Soekarno tidak tahu, bahwa orang
Eropa pisahkan agama Kristen dari Staat (UU Negara) itu, tidak lain melainkan
lantaran dalam agama Kristen tidak ada cara mengatur pemerintahan. Dari Zaman
Nabi Isa sampai sekarang belum terdengar ada satu staat menjalankan hukum
agama Kristen, bukan begitu keadaan Islam

(S): “Bahwa kehilangan pengaruh Islam di Turki ialah lantaran di urus oleh
pemerintah (sebelum Mustafa kamal). Umat terikat kaki tangannya kepada politik
pemerintah yang mengurus agama.
Dimana saja pemerintahannya campur tangan dalam urusan agama, disitu ia jadi
penghalang besar tk dapat dienyahkan”

(A): Pengaruh Islam hilang di Turki lantara oleh pemerintah, Ini bisa jadi. Tetapi kita
mesti lihat, apakah pemerintah sudah urus dengan secara Islam betul-betul ataukah
dengan semau-maunya.
Sepanjang Tarikh memang sudah lama sultan-sultan Turki jadikan Islam sebagai
perabot saja, tidak dijalankan Islam urus Islam sebagaimana mestinya.
Ini tidak berarti bahwa agama itu tidak layak dijadikan agama staat, ini tidak berarti
bahwa Islam tidak sanggup mengurus dunia.
Kalau satu kerajaan sudah dijadikan Islam sebagaimana hingga ia jadi halangan
bagi kemajuan dan hilang pengaruhnya, maka siapakah yang bersalah dalam
urusan ini? Kerajaan ataukah agama?
Kalau disatu tempat, kebangsaan orang jadikan perabot buat memecah, maka
maukah Tuan Soekarno buang dan singkirkan kebangsaan seperti tersebut?”

(S): “Buat kesuburan di Turki, maka Islam dimerdekakan dari pemeliharaan


pemerintah. Buat kesuburan Islam Khilafah dihapuskan. Buat kesuburan Islam
komisariat Islam ditutup. Diganti dengan WET Switzerland”
(A): Lihat bagaimana logikanya “otak-otak lumpur”. Satu peraturan yang dijaga
dengan senapan dan meriam belum tentu subur. Bagaimana satu agama, satu
peraturan bisa subur kalau tidak ada pelindungnya?
Wajib diadakan khalifah buat memelihara Islam, mempertahankan Islam, buat
menyuburkan Islam, tetapi dinegeri orang tidak jumud alias “orang-orang berotak
lumpur” khalifah itu dibuang, supaya Islam “subur’ dan kantor komisariat syariat juga
ditutup untuk kesuburan Islam.
Bagaimana saya berkata “untuk suburnya kebangsaan janganlah ada pemerintah
campur tangan didalam hal kebangsaan, karena tidak sedikit orang-orang tipu
dengan nama kebangsaan?
Adakah pernah kejadian, menurut sepanjang tarikh bahwa satu peraturan, satu
pergerakan, lebih subur kalau tidak dibela, tidak diurus, hanya dilepas saja, hanya
terapung-apung, tenggelam-timbul? Saya harap Tuan Soekarno tidak berkecil hati
membaca tulisan ini. Saya terpaksa mebela apa yang saya rasa patut dibela, dan
patut pula saya membahas tulisan tuan dengan sepantas itu

(S): “Bahwa jadi Wet negeri di Turki diambil Code Switzerland sama sekali buat
mengganti Wet Familie (Islam)”

(A): Orang Islam tahu bagaimana hukumnya satu negeri Islam yang tidak dijalankan
hukum Allah dan RasulNya didalam perkara dunia dan ibadah. Keadaan yang begini
terang fisq-nya, zhulmnya, atau kufurnya, menurut firman Allah”

(S): Quran sama sekali di Turkikan sabagai Bybel di belandakan atau diinggriskan

(A): Saya setuju quran dipindahkan kepada sekalian bahasa dalam dunia, tetapi
dengan menghilangkan teksnya yang dengan huruf Arab. Lantaran faham yang kita
dapat dari satu bahasa “A” belum tentu kita dapati dari bahasa lain yang disalin dari
bahasa “A” itu
Wet belanda ditulis dengan bahasa Belanda. Kalau Wet itu sudah disalin kedalam
bahasa melayu, maka di beberapa tempat, faham yang kita dapati dari buku wet
dalam bahasa Melayu itu tidak sama dengan yang kita ambil dari buku wet bahasa
Belanda. Begitulah sebaliknya. Dan lain-lain; perkara begini mudah, tidak patut
lenyap dari Soekarno

(S): Bahwa Turki bukan fanatic agama. Turki belum lama masuk Islam. Dulunya
mereka beragama lain. Lantaran itu, tidak heran kalau mereka buang urusan-urusan
lama, walaupun mengenai agama atau berlawanan dengan agama.

(A): “saya tidak tahu dari jempol mana Tuan Soekarno isap perkataan Turki tidak
fanatic agama” itu bisa jadi. Siapa yang membaca tarikh kerajaan Turki diwaktu
damai dan dalam masa perang, niscaya dapat tahu kedustaan omongan tuan
Soekarno itu. Dengan kefanatikan agamalah dulunya bangsa Turki terkenal dan
dapat kemenangan yang besar dan luas. Tentara-tentaranya diberanikan dengan
suntikn agama, Sebelum islam, Turki tidak terkenal sebagai satu bangsa yang
terkemuka, sesudah melepaskan agama, menyembah serigala putih, lantas
memeluk islam, termasyhurlah mereka.
Bahsa Turki umunya fanatic kepada islam. Hanya kefanatikannya itu ada tingkatnya.
Tetapi Turki sebagaimana lain-lain bangsa juga, ada didalamnya intelek-intelek
sontoloyo.
Kebetulan intelek-itelek sontoloyo dan kebaratan ini berkuasa, lantas menindas
kaum-kaum agama, hingga tidak dapat bergerak.
Kalau sekiranya Tuhan takdirkan Anwar Pasja dapat kemenangan, tentulah Turki di
waktu ini jadi pusat persatuan Islam sedunia, dan tidak ada orang yang mengatakan
Turki tidak fanatic agama. Orang Barat tidak memusuhi Turki dan hendak hapuskan
di dari Eropa, melainkan lantaran fanatic agamanya
Apa boleh buat, dalam perjuangan antara kau Islamji dan Turkji (kebangsaan)
menang!

(S): manakala zaman modern memisahkan urusan dunia daripada urusan spiritual
maka ia adalah menyelamatkan dunia dari kebencanaan dan ia memberi kepada
agama itu satu singgasana yang maha kuat di dalam kalbunya kaum yang percaya”
(A): Tuan Soekarno rupanya belum atau tidak tahu, bahwa bencana dunia yang
begini banyak datangnya lantaran neger-negeri tidak diurus menurut agama yang
sebenarnya, Kalau dunia diurus secara agama, niscaya selamatlah dunia dari
semua bencana.
Dengan memisahkan agama dari negeri higga tidak ada ketua yang berhak
menghukum orang-orang yang melanggar perintah agamanya itu, bukan berarti
memberi singgasana yang kuat dihati pemeluknya, tetapi bermakna menyediakan
liang kubur yang dalam buat agama itu

(S): bahwa hal pemisahan itu, rakyat Turki terima dengan gembira dan besar hati”

(A): “Ini Satu Dusta Besar yang muncul dari Tuan Soekarno. Tuan Soekarno sudah
baca 41 buah buku tentang Turki, tetapi rupanya di situ tidak ia bertemu bagaimana
tidak senangnya rakyat Turki yang terbanyak kepada hal pemisahan itu!!
Tuan Soekarno mesti baca juga lain-lain buku yang menyalin teriakan rakyat Turki
dari perbuatan-perbuatan mulhidin-mulhidin itu.
Di akhir bantahannya ini A.Hassan mengajukan sebuah buku yang mungkin belum
ditelaah Soekarno Yakni “Grey Golf: An Intimate Study of a Dictator by H.C
Armstrong” Terhadap buku tersebut A.Hassan memberikan catatan ringkas sebagai
berikut
“Didalam buku diterangkan tarikh Mustafa kamal dari kecil sampai jadi dictator turki.
Di situ diceritakan kepandaian dan keberaniannya dalam urusan perang dengan
sepenuh-penuhnya. Diterangkan pula Keras kepalanya dan maksudnya membuang
raja dan agama, yang sudah ada padanya selagi ia muda.
Di sebut hal kesukaanya kepada minuma keras dan berjudi, hingga masa ia jadi
dictator. Diriwayatkan kegemarannya pada perempuan-perempuan bibir merah,
untuk memuaskan nafsunya semata-mata
Dikisahkan bagaimana ia ambil perempuan, buang perempuan dengan jalan tidak
halal, hingga seorang perempuan yang bernama Fikriah mati bunuh diri lantaran
malu dan makan hati.
Ditarikhkan bagaimana ia mengusir dan membunuh teman-temannya yang sama-
sama dapatkan kemenangan, tidak lain lantaran mengadakan oposisi dan tidak mau
menjadikan ia dictator
Apa yang saya sebut hanya sedikit dari orang banyak. Orang yang begitu sifatnya
hendak dijadikan tauladan oleh Tuan Soekarno, yang dibuntuti oleh Tuan
Abdurrahman Baswedan, Hingga membikin artikel panjang lebar memuji-muji Turki”
(A.Hassan, Islam dan kebangsaan:131-132)

http://segarkaniman.wordpress.com/2011/07/03/debat-a-hassan-vs-soekarno/

SOEKARNO dan ISLAM


30 Juli 2011 pukul 3:33
Bung Karno lahir & dibesarkan di sebuah keluarga yg tak membaca Qur’an sbg
bagian kehidupan sehari-hari. Ayahnya seorang priyayi Jawa, pengikut theosofi,
ibunya seorang perempuan Hindu Bali.
Spt dikatakannya di tahun 1962, di hadapan Muktamar ke-32 Muhammadiyah di
Jakarta:"Ibu adl meskipun beragama Islam asal daripada agama lain, orang Bali.
Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adl beragama, jikalau boleh dinamakan
agama, theosofi. Jadi ke-2 orangtua saya ini yg saya cintai dg segenap jiwa saya,
sebenarnya tdk dpt memberikan pengajaran kepada saya tentang agama Islam."
Apa yg diajarkan orangtuanya? Ada sebuah detail dalam Sukarno, an
Autobiography as told to Cindy Adams, yg sekilas menunjukkan dasar etis yg
diajarkan sang ayah, seorang guru, kepadanya. Pada suatu hari si kecil Karno
memanjat pohon jambu di pekarangan rumah. Tak sengaja ia membuat sarang
burung di dahan itu jatuh. Ayahnya memarahinya: anak itu hrs menghargai hidup
makhluk apapun.
Father was livid. “I taught you to love animals”, he thundered.
I shook with fright. “Yes, Father, you did.”
“You will please be as good as to explain the meaning of the phrase: ‘Tat Twam Asi,
Tat Twam Asi.’”
It means ‘He is I and I am he, you are I and I am you’”.
“And were you not taught this has a special significance?”
“Yes, Father. It means God is in all of us,” I said obediently.
Tidak kita ketahui, tahukah si ayah bahwa ucapan itu, “Tat Twam Asi”, berasal
dariUpanishad Chandogya. Sbg seorang yg mempraktekkan ajaran theosofi,
Raden Sukemi Sosrodiharjo tentu tak asing akan kitab-kitab suci Hindu.
Pada masa itu, pengaruh theosofi ckp berarti di Jawa. Perhimpunan Theosofi, yg
didirikan di New York di tahun 1875 oleh Helena Blavatsky, Henry Steel Olcott &
William Quan Judge, kemudian berpusat di Madras, India, & kepemimpinannya
diteruskan oleh Annie Besant. Perhimpunan ini mengajarkan semangat pluralis:
ingin membentuk 1 inti “persaudaraan universal” yg tak memandang ras, keyakinan
& gender. Telaah perbandingan agama digalakkan, juga mengenai daya dlm diri
manusia yg selama ini, oleh ilmu modern, tak dpt dijelaskan.
Di Indonesia, di bawah kolonialisme yg dibangun atas pembedaan etnis,
latarbelakang sosial & asal-usul (sebuah rezim yg oleh Ann Laurie Stoller disebut
“taxonomic state”), tampaknya theosofi menemukan tempat di mana bnyk orang
membutuhkannya. Waktu itu di Batavia, ada Taman Blavatsky, di Bandung Taman
Olcott & di Semarang Lapangan Annie Besant. Bnyk kalangan priyayi spt Raden
Soekemi Sosrodihardjo yg jadi anggota Perhimpunan. Di antara anggota Volksraad,
parlemen bikinan Hindia Belanda waktu itu, tercatat 5 orang orang Theosofi,
terutama warga yg berdarah Belanda. Di kalangan intelektuil, Moh. Yamin, Sanoesi
Pane & Dr. Amir termasuk pengikut Theosofi yg aktif.
Dlm sajak-sajak Sanusi Pane, kita temukan kekaguman yg jelas kpd warisan
India (Hindu & Budha) dlm khasanah kebudayaan Indonesia; Sanusi sendiri prnh
melawat keIndia di tahun 1929-30.
Ada sesekali Bung Karno memakai acuan ajaran dari India dlm tulisannya, misalnya
ketika ia menyebut “Bhagavad Ghita” & “Cri Krishna” dlm memberi penghormatan
kpd Tjipto Mangunkusumo ketika dibuang. Tapi pandangan theosofi tak nampak
jejaknya dlm pemikiran Bung Karno, setidaknya dlm pemikiran politiknya. Mungkin
krn di Hindia Belanda, Perhimpunan Theosofi yg ingin meniadakan diskriminasi itu
pada akhirnya menolak utk mengambil posisi radikal. Bahkan seorang
pemimpinnya, D. Van Hinloopen Labberton, pada tanggal 6 September 1913
menulis dlm Theosofisch Maandblad voor Nederlandsch-Indië sepucuk surat
terbuka yang mengritik Tjipto Mangunkoesoemo & Soewardi Soerjoningrat ketika
ke-2 orang itu, bersama pendiri Indische Partij yg satunya, Douwes Dekker, dibuang
oleh pemerintah kolonial.
Ke-2 orang itu pemberani, kata Hinloopen Labberton, tapi tak paham benar apa
arti“kemerdekaan”. Kemerdekaan baginya harus tetap ada ikatan, & “untuk negeri
ini, hny otoritas Pemerintah yg punya hak mengayunkan godam hukuman.” Dan dg
huruf kapital ia menegaskan: “JAWA DAN NEDERLAND HARUS SATU”.
Dengan pandangan politik seperti itu, para pendukung Theosofi – yg oleh kaum kiri
pernah diejek dg kata “tai sapi” — tak mungkin menarik hati seorang anak muda yg
sejak remaja terpikat pemikiran Karl Marx.
Pada umur 15, Sukarno meninggalkan Blitar & bersekolah di sekolah menengah
HBS di Surabaya. Di situlah gurunya, C. Hartogh, seorang sosial-demokrat,
menjelaskan kpdnya teori-teori Marxisme, & ia terpesona. Tapi tak hny itu. Kita tahu
ia indekos di rumah Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh besar pergerakan nasional yg
kemudian jadi mertuanya itu. Pada masa itu, Tjokroaminoto sudah 3 tahun lamanya
memimpin Sarekat Islam (SI). Organisasi ini berubah dari sebuah organisasi dg
tujuan terbatas – perbaikan kaum pedagang yg beragama Islam – menjadi sebuah
organisasi yg kian lama kian bersifat politik & akhirnya menjadi partai, yg jadi tempat
bertemu bermacam ragam orang.
Dlm Sarekat Islam terdapat misalnya Semaoen, yg setahun stl jadi anggota SI, juga
jadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi sosial
demokrat Hindia Belanda yg jadi cikal bakal Partai Komunis. Semaoen, spt halnya
Alimin, adl orang-orang kiri yg lbh tua & sering Bung Karno temui. Alimin, kata Bung
Karno, “adl orang yg mengajarinya Marxisme”.
Dari yg dikenang kembali oleh Bung Karno dari masa hidupnya bersama
Tjokroaminoto & klrgnya, saya tak mendapatkan kesan di sana ia telah mendalami
ajaran Islam. Tjokroaminoto sendiri, keturunan priyayi dari Madiun & lulusan
OSVIA (sekolah utk para calon pamong praja) ini tampaknya tak bertolak dari
pendalaman ilmu agama. Sebagaimana ketika ia dilahirkan, SI, dlm hal ini
Tjokroamnioto, lbh “menggunakan simbol Islam, sbg gerakan kebangsaan”, & baru
kemudian timbul gagasan pada Tjokro utk mempelajari Islam lbh lanjut. Selain
kursus tentang teori politik & sosiologi, di dalam SI diadakan juga kursus tentang
agama, misalnya oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Tapi yg diteruskan Bung Karno dari Tjokro (di samping kemampuan berpidato) adl
sikap eklektiknya. Bagi Tjokroaminto, persatuan antara kalangan yg berbeda adl
jalan & sekaligus tujuan. Dlm Kongres Ketiga SI di Bandung (tahun 1916),
Tjokroaminoto menegaskan: “Kita bermksd bahwa SI menuju arah persatuan yg
utuh dari semua golongan bangsa Indonesia yg hrs dibawa setinggi-tingginya ke
tingkat natie.”
Dg sikap spt itu, spt disebut di atas, Tjokro bersedia menerima unsur-unsur komunis
dlm partainya. Bahkan baginya, Marx & Engels tak membawa paham yg tercela. Ia
sendiri memberikan kursus tentang sosialisme, & spt dikenang oleh Hamka, Tjokro
“tdk mencela Marx & Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya”. Teori
Historis Materialisme, kata Tjokro menurut Hamka, “telah menambah jelasnya bgmn
kesatuan sosialisme yg dibawa Nabi Muhammad.” Di tahun 1924, Tjokroaminoto
menerbitkan bukunya, Islam & Sosialisme.
Dua tahun stl Islam & Sosialisme terbit, Bung Karno menulis risalahnya yg
terkenal,“Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” – yg kelak jadi dasar gagasan
NASAKOM yg dipegangnya sampai ia wafat. Motif eklektikisme yg sama spt Tjokro
kelihatan di sini.
Ada yg menganggap bhw dorongan dlm diri Bung Karno utk persatuan spt yg
tampak dlm risalah itu bermula dari “sinkretisme Jawa tradisional” yg ada dlm
dirinya, spt dikatakan Bernard Dahm dlm Sukarno and struggle for Indonesian
Independence. Kesimpulan “orientalistis” spt ini tak melihat sejarah.
Dlm masyarakat kolonial, ketdk-puasan meliputi hampir semua lapisan sosial.
Kelompok dg aliran yg berbeda-beda, atau bertentangan, mengacu ke sesuatu yg
secara universal dirasakan tak adil. Masing-masing kelompok dg demikian tak
membentuk perbedaan yg murni. Identitas masing-masing (komunis, Islam, Jawa,
nasionalis, Sumatra) tak ditentukan oleh adanya sifat-sifat dasar dlm diri masing-
masing, & tak didukung & dikukuhkan oleh perbenturan kepentingan sosial-ekonomi
yg bertahan. Perpaduan pelbagai aliran pikiran yg dikemukakan Bung Karno terjadi
karena masih cairnya hubungan antara “isme-isme” itu dg kondisi sosial para
penganutnya – hingga misalnya tokoh seperti H. Misbach menjadi seorang Marxis-
Leninis yg aktif. Antikolonialisme atau cita-cita kemerdekaan mengatasi semua
aliran, & masing-masing aliran, dlm 1 untaian chain of equivalence (dlm pengertian
Laclau), mencoba merebut dukungan seluas-luasnya bagi dirinya; sebab itu, mereka
membuka diri ke pihak yg berbeda-beda. Itulah yg agaknya tercermin dlm
eklektisisme Bung Karno.
Dahm tak melihat hal itu. Kesimpulannya bahwa Sukarno “manusia Jawa” bertolak
dari salah paham: seakan-akan pengertian “Jawa” dpt meniadakan perbedaan
antara seorang yg dibesarkan di Jawa Timur dg pendidikan Belanda (dan terlibat
dlm pergerakan nasionalis) & seorang Mangkunegara IV dari sebuah kraton di
Surakarta. Bung Karno memang menyukai wayang kulit, & tak jarang menggunakan
ekspresi dari ungkapan Dalang (“cakrawati”, “rawe-rawe rantas, malang-malang
putung”). Tapi ia menampik kontinuitas tradisi, bahkan dg yg sering disebut “Jawa”.
Dlm teks bertuliskan tangan dlm Di Bawah Bendera Revolusi, ia menganjurkan
orang semasanya utk meninggalkan apa yg disebutnya “oude-cultuur-
maniak” yg “pikiran & angan-angannya hny merindui candi-candi, negarakertagama,
empu Tantular & Panuluh, dll barang kuno”. Zaman dulu zaman indah, kata Bung
Karno, “tetapi ia sudah mati!”
Dg kata lain, Bung Karno memang bkn pemikir Islam dlm arti spt Moh. Natsir, bkn
pula pemikir “Jawa”, melainkan lebih dari semuanya, ia seorang penerus semangat
modernitas – yg dlm hal ini dibentuk oleh Marxisme. “Saya adl murid dari
Historische School van Marx,” kata Bung Karno dlm wawancara dg koresponden
“Antara” yg kemudian dimuat dlm Pandji Islam di tahun 1939.
Wawancara itu dilakukan setelah diberitakan, Bung Karno meninggalkan sebuah
rapat umum Muhammadiyah sebagai protes. Dlm rapat umum ini ada tabir yg
memisahkan pengunjung perempuan dari lelaki. Bagi Bung Karno, “tabir adalah
simbol dari perbudakan perempuan”. Tetapi ia melihat penggunaan tabir itu
secara “historisch” – & di situlah Bung Karno menunjukkan pandangan dasarnya
tentang Islam. Ia, sebgmn galibnya seorang Marxis, memandang tafsir agama sbg
sesuatu yg contingent thd sejarah sosial di mana tafsir itu dikemukakan.
Pertautan tafsir dg sejarah itu berarti juga pertautan tafsir dg perubahan. Sbb dlm
sejarah, spt kata Bung Karno, ada “garis dinamis” yg makin lama makin meningkat
ke arah terang.
Sejarah bergerak. Zaman bergerak. Tak prnh akan berhenti.
Pandangan tentang sejarah itu mencerminkan hasrat yg dominan di antara
inteligensia Indonesia di tahun 1930-an. Di dlm pemikiran mereka berkait 3 hal: (1)
antikolonial, (2), keyakinan akan modernitas, (3) dinamis atau optimistis. Marxisme
sangat cocok utk memenuhi hasrat itu, spt tercermin dlm pemikiran Tan Malaka,
Bung Karno, Sjahrir, bahkan dlm derajat tertentu, Hatta. Tapi Marxisme bkn satu-
satunya. Ada pemikiran S. Takdir Alisjahbana, misalnya, yg dg jelas bisa diikuti dlm
polemik di majalah Poedjangga Baroe yg kemudian dikenal sbg “Polemik
Kebudayaan.” Kalangan inteligensia Islam mau tak mau hrs merespons apa yg
agaknya bisa disebut sbg “imperatif modernitas” itu. Dg cara mereka sendiri, mereka
melakukannya.
Tjokroaminoto & H. Agus Salim sdh tentu merupakan pelopornya, terutama melalui
SI. Kemudian lahir Muhammadiyah di tahun 1912, di Yogya, dipimpin K.H. Ahmad
Dahlan. Spt umum diketahui, organisasi ini membawa pengaruh pemikiran
Muhammad Abduh diMesir & menyebut diri sebagai “gerakan tadjid” yg hendak
menghalau “takhayul, bid’ah & khurafat”.
Tak hny Muhammadiyah. Dlm pelbagai variasinya, munculnya pelbagai organisasi
Islam langsung atau tak langsung bersentuhan dg “zaman bergerak” itu. Di tahun
1913 lahir Al-Irsyad, kemudian di tahun 1923 di Bandung Pesatuan Islam (Persis)
didirikan oleh H.Zamzam, dg tokoh yg lebih terkenal, A. Hassan, dg siapa Bung
Karno berkorespondensi selama ia dibuang di Ende, Flores. Muncul juga
Ahmadiyah, sejak 1925, yg buku-bukunya dikagumi Bung Karno. Di tahun 1926,
Nahdhatul Ulama didirikan K.H. Hasjim Asj’ari.
Dg keyakinan yg besar akan modernitas, tak mengherankan bila Bung Karno lbh
merasa dekat dg gerakan reformis Islam di masa itu. Mula-mula dg SI, tapi
kemudian dg Muhammadiyah. Ia mengenal K.H. Ahmad Dahlan sejak umur 15
tahun, ketika pendiri Muhammadiyah itu berceremah di kalangan SI. ”Sejak umur 15
tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto,” cerita Bung Karno, “saya tlh
terpukau dengan K.H. Ahmad Dahlan…. Saya sdh menjadi anggota resmi
Muhammadiyah dlm tahun 1938”.
Bahkan dlm uraiannya di depan Muktamar Muhammadiyah di tahun 1962, ia
berdoa, agar bisa “dikubur dg membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan”-
nya.
Dg hasrat ke modernitas pula Bung Karno menghargai gerakan Ahmadiyah. Bung
Karno, yg selama ia dibuang di Ende prnh didesas-desuskan mendirikan cabang
Ahmadiyah, membantah. “Saya tdk percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang
nabi”, tulisnya dlm sepucuk surat di tahun 1936, “& blm percaya pula bhw ia seorang
mujaddid”. Tapi ia menyatakan mendptkan “banyak faedah” dari buku-buku yg
dikeluarkan Ahmadiyah, misalnya Mohammad the Prophet karya Mohammad Ali
dan Het Evangelie van den daadkarya Chawadja Kamaloedin. Majalah Ahmadiyah,
Islamic Review, kata Bung Karno, “bnyk memuat artikel yg bagus.”…mengenai
Ahmadiyah, walaupun beberapa fatsal di dlm mereka punya visi saya tolak dg yakin,
toch pada umumnya ada mereka punya ‘features’ yg saya setujui: mereka punya
rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka
punya modernisme, mereka punya hati-hati kpd hadits, mereka punya striven
Qur’an sahaja dulu, mereka punya systematise, aannemelijk, making van den Islam.
Pada wkt itu Bung Karno tentu sadar akan sikap negatif kalangan Islam, terutama
Muhammadiyah, thd Ahmadiyah, yg terungkap sejak tahun 1929. Tapi ia tak
menutup pintu bagi ide-ide yg ia anggap baik dari kalangan ini – “baik” dlm
perspektif seorang penganjur modernitas. “Ahmadiyah adl salah 1 faktor penting di
dlm pembaharuan pengertian Islam di India”, kata Bung Karno dlm tulisannya, “Me-
‘Muda’-kan Pengertian Islam”.
Dlm hal ini Bung Karno tdk sendirian. Spt dia, sebelumnya, Tjokroaminoto, juga
mendapatkan Qur’an dari terjemahan & tafsir oleh seorang ulama Ahmadiyah,
Muhammad ‘Ali, The Holy Qur’an. Organisasi pemuda Islam yg berpengaruh, Jong
Islamiten Bond, yg didirikan oleh para pemuda terpelajar di tahun 1924, juga prnh
mengundang seorang mubaligh Ahmadiyah Lahore, Wali Ahmad Baig, sbg salah
seorang pengajar di organisasi itu – sebagaimana halnya tokoh Islam “reformis” lain,
misalnya A. Fachruddin dari Muhammadiyah.
Meskipun demikian, ada hal yg tak akan mendekatkan Bung Karno ke kalangan
Ahmadiyah: selain kultus mereka thd Mirza Gulam Ahmad, adl apa yg dikatakan
Bung Karno sbg“kecintaan” para pelopor Ahmadiyah “kpd imperialisme Inggris”.
Sebab semangat antikolonial, bertaut dg keyakinan akan modernitas & pandangan
sejarah yg Marxistis – itulah yg mewarnai cara Bung Karno memandang Islam.
Apakah “Islam” bagi Bung Karno? Jawab yg mendekati tepat agaknya: pada
awalnya, Islam adl sebuah enersi politik pembebasan.
Di tahun 1917, ketika Bung Karno berusia 16, Sarekat Islam yg dipimpin
Tjokroamnioto berkembang jadi sebuah partai dg anggota mencapai 800.000 &
tersebar lbh dari 80 cabang – & dg sikap yg lbh keras terhadap pemerintahan
kolonial ketimbang ketika didirikan. Memang kemudian terjadi perpecahan dlm
organisasi yg tlh berkembang jadi partai politik itu, namun sisa-sisa pertautan
pendapat tentang kolonialisme masih tampak jelas di antara faksi-faksi yg
memisahkan diri. Tak mengherankan bila Bung Karno, meskipun melihat
perpecahan itu sbg hal yg menyedihkan, tetap memandang “Islam” lebih sebagai 1
elemen dlm perjuangan antikolonial. Tapi tdk sbg sumber gagasan.
Ketika ia berbicara tentang “Islamisme” dlm risalahnya “Nasionalisme, Islamisme, &
Marxisme”, yg diuraikannya terutama bkn pandangan yg ditakik dari Qur’an &
Hadith. Ia lebih bnyk menunjukkan semangat & pemikiran Jamaluddin al-Afghani,
yg, mnrt dia,“pertama-tama membangunkan rasa-perlawanan di hati sanubari
rakyat-rakyat Muslim terhadap bahaya imperialisme Barat”.
Yg menarik, krn agak kontradiktif, Bung Karno melihat dlm pandangan Jamaluddin
al-Afghani — yg ia gambarkan sbg “harimau Pan-Islamisme yg gagah berani” —
bersumber“benih nasionalisme”. Al-Afghani, kata Bung Karno, “di mana-mana telah
mengkhotbahkan nasionalisme & patriotisme”.
Di sini tampak bahwa Bung Karno tak hendak menunjukkan adanya ketegangan
antara“Pan-Islamisme” sbg cita-cita yg menafikan pentingnya nation-state dg
“nasionalisme”. Dlm hal ini ia punya pandangan yg sama dg Tan Malaka, yg 4 tahun
sebelumnya, dlm Kongres ke-IV Komunisme Internasional (Komintern) di Kremlin,
mengemukakan hal ini. Bagi Tan Malaka, “Pan-Islamisme” bkn lg sebgmn makna
asalnya. Kata itu menandai “perjuangan pembebasan nasional” & sekaligus
solidaritas rakyat yg terjajah imperialis mana-mana.
Tak kurang penting, dlm pandangan Al-Afghani Bung Karno menemukan anjuran
modernisasi yg berani. Pendekar Pan-Islamisme itu, kata Bung Karno,
menanamkan keyakinan bhw utk melawan imperialisme Barat, “kaum Islam ‘hrs
mengambil tekniknya kemajuan Barat, & mempelajari rahasia-rahasianya
kekuasaan Barat’.”
Dg demikian Islam, sbg energi pembebasan, hrs menengok ke Barat. Jika dilihat
bhw dlm percakapan ide-ide di Indonesia, setiap kata “Barat” ditanggapi dg
waspada (juga kemudian oleh Bung Karno sendiri, terutama di masa “Demokrasi
Terpimpin”, 1959-1966), anjuran demikian cukup kontroversial. Tapi dlm sebuah
artikel panjang utk Pandji Islam di tahun 1940, Bung Karno memajang kutipan dari
kata-kata Zia Keuk Alp, seorang penulis Turki (1976-1924): “Kita dtng dari Timur.
Kita berjalan menuju ke Barat.”
Dlm tulisan itu, sebuah pembelaan yg berapi-api thd Revolusi Kemal di Turki yg
memisahkan agama dari Negara, tampaknya Bung Karno scr implisit memujikan
“Barat” sbg daya dinamis yg merupakan antitesis dari kemandegan yg merundung
dunia Islam, sebgmn tampak di Turki di bawah Sultan-Sultan Usmani terakhir. Dg
kata lain, “Barat” itu adl sebuah peradaban yg rasional, ke mana bangsa Indonesia
mesti datang, bkn “Barat” sbg kekuatan yg kapitalistis & imperialistis yg hrs
ditentang.
Di sini Bung Karno, meskipun kadang-kadang menunjukkan pandangan yg paralel
dg anjuran “kmbl ke Qur’an & Hadits”, & dg kedekatan hati kpd Muhammadiyah, lbh
menekankan perlunya “rasionalisme” ketimbang “pemurnian”. Uraiannya tentang
gerakan Wahabi di Arab Saudi — diwarnai dg gaya bahasa yg memikat –
mengandung pujian & sekaligus kritik, tetapi dg sikap sbg seorang pengamat
sejarah yg berjarak.
Jasa Wahabisme yg terbesar, mnrt Bung Karno, adl “kemurnian”-nya, “keaslian”-
nya. Artinya Wahabisme menggerakkan umat utk “kmbl ke asal, kmbl kpd Allah &
Nabi, kmbl kpd Islam sbg di zamannya Muhammad!”
Kmbl kpd kemurnian, tatkala Islam blm dihinggapi kekotorannya seribu-satu
takhayul & seribu-satu bid’ah. Lemparkanlah jauh-jauh takhayul & bid’ah itu,
nyahkanlah segala barang sesuatu yg membawa kpd kemusyrikan! Murni & asli sbg
hawa padang-pasir, begitulah Islam musti menjadi. Dan bkn murni & asli sahaja!
Udara padang-pasir juga angker, juga kering, juga tak kenal ampun, juga
membakar, juga tak kenal puisi. Tidakkah Wahabisme begitu juga. Ia pun angker,
tak mau mengetahui kompromi & rekonsiliasi. Ia pun tak kenal ampun – leher
manusia ia tebang kalau leher itu memikul kepala yg otaknya penuh dg fikiran bid’ah
& kemusyrikan & kemaksiatan.
“Allah berdiam di dalam pedang…”, begitulah Ibnu Saud berkata…
Allah di dlm pedang! Keangkeran & kekerasan bukit-bukit-batu padang-pasirlah yg
terbayang-bayang, kalau orang mendengar perkataan Wahabisme. Padang-pasir yg
juga kering…tak kenal tiupannya hawa-hawa-sejuk yg datang dari lapisan-lapisan
udara negeri lain: tiap-tiap kemodernan, Wahabi curigai, tiap-tiap ajakan zaman
kepada kemajuan ia terima dg keangkuhan.
Pada akhirnya, Ibnu Saud sendiri yg hrs berhadapan dg ulama-ulamanya. Tiang
antene & lampu listrik dilarang masuk ke Mekkah & Madinah, krn hal-hal itu tak ada
di zaman Nabi. Tapi zaman terus mendesakkan perubahan. Akhirnya benda-benda
modern itu dihalalkan juga. “Wahabisme tahun 1940 bknlah lagi Wahabisme tahun
1920”, tulis Bung Karno.
Dari uraian Bung Karno itu kita menemukan pandangannya: meskipun pemurnian
bermula sbg sebuah kekuatan progresif – menghalau takhayul & bid’ah – pada
perkembangannya kemudian jadi sebuah kekuatan konservatif, bahkan reaksioner.
Kmbl kepada “Allah & Nabi”dpt juga berarti mengingkari “garis dinamis” sejarah.
Walhasil, pemurnian bkn sebuah pilihan utk membebaskan umat Islam dari
keadaan “sebagai badan yg pingsan, mati tdk mati, hidup tdk hidup”.
Sebab itu pilihan yg dianjurkan Bung Karno adl “rasionalisme”. “Rasionalisme”, tulis
Bung Karno, “kini diminta kmbl lg duduk di atas singgasana Islam”.
Kata “kembali lagi” di dlm kalimat itu tdk mengacu ke Qur’an & Hadits, melainkan ke
sebuah zaman ketika “pahlawan-pahlawan akal” hidup bebas. Itulah “zamannya
kaum mu’tazillah”, zaman al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Baja, Ibnu Tufail, Ibnu
Rushd atau zaman kekhalifatan di Baghdad abad ke-9 sampai dg di Spanyol abad
ke-12. Bung Karno tentunya tahu, di masa itulah orang-orang Islam membuka diri
kpd filsafat Yunani, matematika Hindi, & sumber-sumber keilmuan lain – & pada
gilirannya melahirkan filsafat, teori aljabar, logaritma, ilmu-ilmu kimia & kedokteran,
ilmu bumi & tentu saja astronomi, yg kemudian dipungut & berkembang di Eropa.
Tapi, kata Bung Karno, arus pasang pemikiran & keilmuan itu habis. Dari bacaan yg
didpt Bung Karno, penyebabnya adl menguatnya “haluan sifatiyah” yg dipelopori
Abu’l Hasan al-Ash’ari. Sejak berkembangnya Ash’arisme, & itu berarti di abad ke-
9, “akal menjadi terkutuklah di ingatan umat”. Paham inilah “pokok-pangkalnya
taqlidisme di dlm Islam” &“kependetaan” di dlm Islam. Sejak itu, “Islam bkn lg 1
agama yg boleh difikirkan secara merdeka, tetapi menjadi monopolinya kaum faqih
& tarikat”.
Kita dpt mempersoalkan konklusi Bung Karno di sini: ia tak menyertainya dg
penjelasan bgmn sebuah “haluan” pemikiran dpt demikian berkuasa, hingga “akal,
fikiran, rede, reason, dienyahkan”. Bung Karno – seorang Marxis yg menafsirkan
sejarah — sehrsnya tak percaya bahwa Ash’arisme dg begitu saja tlh menghentikan
“rasionalisme” berkembang di dunia Islam, hingga akal “hampir 1000 tahun
dikungkung.” Seorang Marxis tak sehrsnya percaya, 1 paham, 1 “haluan”, dpt
menciptakan sebuah kondisi yg bertahan lama. Apalagi dlm catatan sejarah,
keadaan “terkungkung” itu tak benar berlangsung “hampir 1000 tahun”, & juga tak
prnh secara mutlak. Dunia Islam terus melanjutkan vitalitasnya di abad ke-12 di
Spanyol, di abad ke-15 Turki Usmani meluaskan kekuasannya ke Balkan & merebut
Konstantinopel. Bahkan mengepung Wina utk ke-2 kalinya di abad ke-17. Di India,
raja-raja Moghul menghasilkan sastra, teater & arsitektur yg dikagumi sampai skr,
misalnya Tadj Mahal. Di Iran, filosof Mulla Sadra membangun Mazhab Ishfahan.
Baru stl Negara-negara Eropa menguasai samudra – termsk menemukan Amerika
— & perdagangan antar benua mereka kuasai, bagian dunia di luar mereka, tak hny
Dunia Islam, mundur & terpuruk.
Tapi agaknya kita hrs memaklumi 1 hal yg pokok: tulisan-tulisan Bung Karno
tentang Islam lbh mrpkan suara advokasi seorang jurubicara modernisasi ketimbang
hasil sebuah telaah. Bung Karno sepenuhnya terkait dg sebuah agenda:
menumbangkan kolonialisme bersama kaum Muslimin. Tapi utk itu kaum ini hrs
merupakan energi yg sesuai dg tantangan zaman.
“Islam is progress. Islam itu kemajuan”, tulis Bung Karno dlm salah 1 “Surat-Surat
Islam dari Endeh”, korespondensinya dg T.A. Hasan, tokoh “Persatuan Islam” di
Bandung.
Dg itu, kita tahu, Bung Karno lbh berbicara preskriptif, berbicara tentang Islam-yg-
sehrsnya. Pada saat yg sama, dg semangat yg bergelora, ia cenderung utk
mengemukakan bahwa“Islam-yang-sehrsnya” itu adl hakikat Islam itu sendiri.
Dlm rumusannya tentang hakikat Islam itu Bung Karno dg demikian menyisihkan
apa yg berulang kali disebutnya sendiri tentang keadaan Islam selama berabad-
abad, Islam yg hny“abu”, berupa “Islam-mulut & Islam-ibadat”, yg tak hidup tak juga
mati, Islam yg dirundung takhayul & “taqlidisme”, dihambat “hadramautisme yg
jumud-maha-jumud.”
Ia tak melihat Islam-sebgmn-adanya-skr itu sbg “Islam”. Bung Karno dg segenap
daya verbalnya meyakinkan adanya “Roh Islam yg sejati”, atau “api Islam”.
Tampaklah di sini ia, seorang Marxis, mengabaikan historisitas dari “Roh” & “api” itu:
Bung Karno tak prnh menjelaskan dari mana ke-2 hal itu terjadi, & tidakkah ke-2nya
hny tafsir tentang “esensi” Islam – sebuah tafsir yg tergantung pada suatu masa,
suatu tempat.
Mungkin krn Bung Karno sendiri tak prnh jelas, apa sebnrnya yg dimksdkannya
dg “Roh” &“api” Islam itu. Sering yg mengemuka ketika ia menyebut “Roh” itu adl
semacam tenaga yg dimatikan dari diri manusia oleh hukum yg sdh usang; dlm hal
umat Islam, oleh fiqh: “Ya, kalau dipikirkan dlm-dlm, maka kitab fiqh itulah yg
seakan-akan ikut menjadi algojo ‘Roh’ dan “Semangat’ Islam. ..dunia Islam skr ini
setengah mati, tiada Roh, tiada nyawa, tiada Api, krn umat Islam sama sekali
tenggelam di dlm ‘kitab fiqh’ itu, tdk terbang spt burung garuda di atas udara-
udaranya Agama yg Hidup.”
Tapi apa gerangan tenaga pembebasan itu? Tak jarang ada kesan, “Roh” atau “api”
itu identik, atau terpaut dg, “rasio”, atau “rasionalisme”. Agar tak “mendurhakai
Zaman”, kata Bung Karno, “marilah kita mengangkat Rasionalisme itu menjadi kita
punya bintang-petunjuk dlm mengartikan Islam”.
Tiap-tiap kalimat di dalam Qur’an, tiap-tiap ucapan di dalam Hadith… hrslah kita
interpretasikan (di dalam) cahayanya ruh Islam sejati ini.
Namun juga berkali-kali gambarannya tentang “Roh”, “api”, atau “cahayanya ruh
Islam yg sejati” itu lbh mirip sebuah elan kreatif yg merdeka á la Bergson, atau
dorongan hidup untuk memperbaharui atau “me-muda-kan” diri. Bung Karno sering
mengutip kata-kata Herclaitus,panta rei – semua mengalir terus menerus, arus tak
prnh mengulang dirinya 2 kali di titik yg sama. Dari kutipan spt ini kita akan
menduga, bahwa bagi Bung Karno, dg elan kreatif itu, Islam menjadi sama dg
kemajuan, Islam is progress. Dan “Progress berarti pembikinan baru, creation baru
– bkn mengurangi barang yg dulu, bkn mengcopy barang lama.”
Tapi daya kreatif yg menghasilkan “pembikinan baru” itu bknlah lahir dari
subyektifitas manusia. Manusia hny terbawa oleh apa yg disebutnya sbg, dlm
bahasa Inggris, “dynamical laws of progress”.
Bung Karno, sebgmn umumnya para penganjur modernisasi awal abad ke-20,
berada dlm semangat yg dtng dari 3 “ledakan” pemikiran Eropa abad ke-19: visi
Hegel tentang progresi dari roh (Geist), desain besar Marx tentang progresi
material, & teori Darwin tentang progresi yg tersirat dlm evolusi biologis — terutama
2 yg disebut pertama. Maka sebnrnya ada inkonsistensi yg patut ditelaah ketika
Bung Karno jadi penganjur “rasionalisme”. Tampaknya ia
melihat “rasio” atau “rasionalisme” sama dg elan kreatif: dg itulah manusia, dlm
sejarah, melepaskan hidup dari kemandegan.
Tapi rasionalisme sebnrnya tak ada hubungannya dg ide tentang progresi,
perubahan, & elan kreatif. Rasionalisme bertolak dari tesis bhw akal, bkn
pengalaman, yg jadi penentu kebenaran. Pengetahuan yg bisa dipercaya sebagai
bnr adl pengetahuan apriori, bkn yg empiris. Jika kita ikuti argumen Bung Karno
tentang kemajuan, sejarah & perlunya perubahan tafsir bahkan hukum, tampak
bahwa ia sebnrnya lbh cenderung menyambut pandangan yg mengintegrasikan
empirisme dg rasionalisme – dg kata lain: pragmatisme.
Tapi dunia pemikiran Indonesia di tahun-tahun seblm Perang Dunia ke-II, yg hampir
sepenuhnya menggemakan pemikiran Eropa, tak melihat bhw ke-3 “ledakan” yg
saya sebut di atas pada gilirannya bertaut dg Pragmatisme. Tapi pada dasarnya,
itulah yg mendasari pikiran Bung Karno. Bagi Pragmatisme, progresi, yg juga
perubahan, menyebabkan informasi lama tentang hal ihwal berbenturan dg
informasi baru. Pengetahuan, teori & hukum pada akhirnya tak bisa dianggap sbg
sesuatu yg stabil. Kebenaran tak statis, & tak bisa mutlak, & tak bisa tunggal: 1 hal
yg dianggap benar memerlukan kerja terus-menerus utk bisa dibuat benar. Sebuah
ide, sebab itu, merupakan “satu rencana kerja”, a plan of action.
Dg pandangan atau sikap pragmatis itulah Bung Karno memujikan apa yg
dianggapnya elastisitas hukum Islam, seraya mengutip Ameer Ali dlm The Spirit of
Islam. Hukum yg ia gambarkan “seperti karet” ini membuat Islam “bisa cocok dg
semua kemajuan”, katanya. Argumen Bung Karno di bawah ini sepenuhnya
artikulasi pragmatisme par excellence:
Islam tdk akan dpt hidup lebih dari 1400 tahun, kalau hukum-hukumnya tdk ‘seperti
karet’. Islam tdk akan bisa meninggalkan suasananya abad pertama, tatkala
manusia tak kenal kendaraan lain selain onta & kuda, tak kenal lain senjata
melainkan pedang & panah, tak kenal lain alam melainkan alamnya padang-pasir,
— kalau hukum-hukumnya tdk spt ‘karet’. Zaman beredar, kebutuhan manusia
berobah, — panta rei! – maka pengertian manusia tentang hukum-hukum itu adl
berobah pula.
Sdh tentu, apa yg dikemukakan Bung Karno itu – apalagi dg menggambarkan
hukum Islam“seperti karet” — tak membuat tenteram penjaga ortodoksi. Bung Karno
menyadari itu: “Bhw orang akan menjd ‘onar’ krn tulisan-tulisan saya”, tulisnya dlm
Pandji Islam di tahun 1940,“akan ‘membuat dendeng’ kpd saya krn tdk
setuju…sudah saya ketahui lbh dahulu”. Ia bersyukur ia punya “canang” yg
menunjukkan “kebekuan” para ulama, bahkan “kejahatan” agama tnp akal
& “kepincangan” agama yg semata-mata fiqih. Ia senang bhw “canang”-nya “sudah
menggoyangkan bnyk sekali” jiwa-jiwa yg berpikir di Indonesia waktu itu.
Di antara jiwa yg berpikir yg tergugah, & bereaksi, adl Mohammad Natsir, pemikir
Islam yg prnh dipuji Bung Karno dlm “Surat-Surat Islam dari Endeh”. Dlm sebuah
artikel yg berjudul“Sikap Islam thd Kemerdekaan Berpikir” yg juga dimuat dlm Pandji
Islam, menunjukkan bgmn seorang Islam reformis menjawab “canang” Bung Karno.
Natsir tak menyangkal manfaat berpikir bebas dari tradisi. Iman bisa diperkukuh dg
berpikir merdeka. Tapi, sementara akal merdeka membuka jendela agar udara
segar masuk, ada bahaya bila udara itu jadi topan yg megacau & menggoyahkan
tiang-tiang agama. “Akal-merdeka-zonder-disiplin menjadikan khaos yg centang-
perenang”, tulis Natsir. Kemerdekaan yg tnp otoritas (gezag) adl anarki.
Meskipun dikemukakan oleh seorang pemikir yg sering dikategorikan sbg
“modernis” (bahkan “liberal”, mnrt buku Charles Kurzman, Liberal Islam), argumen
Natsir adl argumen klasik pandangan yg konservatif: hrs ada “otoritas”, posisi yg
punya wibawa (gezag), krn kemerdekaan bisa mengundang kekacauan.
Tak dijelaskan, bagaimana “otoritas” itu lahir atau terbentuk di dlm sejarah: siapa
atau apa saja yg membentuknya; tdkkah dg demikian “otoritas” itu dipengaruhi
ruang & waktu, dg segala percaturan kekuasaan dlm politik & wacana. Dan lbh jauh
lagi, tdkkah “otoritas” itu akan mengambil alih tanggungjawab orang perorang yg
menafsir & menjalankan pertintah agama? Tidakkah di sini akan terjadi apa yg
dikrtitik oleh Bung Karno sbg “ke-pendeta-an” dlm Islam?
Saya tak menemukan jwban Bung Karno thd Natsir. Tapi ada 1 hal yg mungkin tak
akan dpt dijawabnya: kritik Natsir kpd “rasionalisme”. Mnrt Natsir, orang yg percaya
ia dpt memecahkan misteri dga akalnya sebnrnya tdk lg menggunakan akal
merdekanya. Ia sdh terikat dg “taqlidisme modern” yg bernama “rasionalisme”.
Dlm hal itu Natsir bnr: “rasionalisme” tak dg sendirinya membebaskan & akal pada
akhirnya terbatas utk bisa memecahkan misteri. Tapi kesalahan Natsir adl keslhan
Bung Karno juga: yg jadi dasar kritik thd Islam yg kehilangan “api”-nya bknlah
rasionalisme, melainkan pragmatisme. Pragmatisme Bung Karno tentu saja tak
menafikan iman – sebgmn halnya William James, dlm Varieties of Religious
Experience tak menganggap agama sbg keslhan. Pragmatisme itu menilai agama
bkn bnr atau tdk (dlm pengertian kebnran sbg kesesuaian yg penuh antara yg saya
yakini dg yg ada di luar saya, adequatio rei et intellectus)melainkan menilai agama
dari manfaatnya bagi manusia.
Itulah sebnrnya dasar pandangan Bung Karno tentang Islam. Baginya, Islam akan
terus ada bkn krn ia ditakdirkan abadi, dg ajaran yg kekal, melainkan krn ia terus-
menerus bisa menjadi berharga. Dlm masa perjuangan anti-kolonialisme, harga itu
terletak dlm perannya utk menggerakkan manusia, terutama orang bnyk, utk
menumbangkan apa yg tak adil. Dlm abad modern, harga itu terletak dlm
kemampuannya jadi bagian zaman yg bergerak.
Oleh: Subairi

Islam yang kita catut dari Kalam Ilahi dan sunnah bukan apinya, bukan nyalanya, bukan!
Tapi abunya, debunya, ach, ya asapnya, abunya yang berupa celak mata dan
surban……..abunya yang bisanya cuma baca Fatihah dan tahlil, bukan apinya yang
menyala-nyala dari ujung zaman satu ke zaman yang lain.
(Ir. Soekarno, 1940)

Dalam diskursus politik Islam Indonesia, Sukarno selalu diposisikan sebagai penentang
gerakan Isam paling wahid yang harus berhadapan dengan pemikir-pemikir Islam taat
seperti M. Natsir. Bahkan, H. Agus Salim pernah menuduhnya telah keluar dari Islam. Tidak
hanya itu, tidak jarang namanya diidentikkan dengan Kemal at-Taturk yang menghapus
lembaga khilafat dan melakukan sekularisasi menyeluruh di Turki. Sangat gampang mencari
pembenaran atas sekularisme Sukarno. Dia-lah penentang gigih visi Islam sebagai asas
negara. Dia pula yang telah membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi.
Parahnya, dia sempat diposisikan sebagai musuh Islam karena hubungan dekatnya dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Begitulah aktivis Islam Politik pada waktu itu merayakan
kebenciannya pada Sukarno dengan mendukung Suharto naik tahta. Tentu, sangat tidak
adil kalau hanya menuduh tanpa menelaah pemikiran dan dasar-dasar keyakinannya.
Risalah pendek ini berambisi membuka (kembali) lembaran pemkirian keIslaman dan
relijiusitas Sukarno.

Menggunakan pernyataan Robert N. Bellah, sebagai analogi, bahwa ajaran (nabi)


Muhammad sangat modern dan justeru karena terlalu modern sehingga masyarakan Arab
belum siap menerimanya. Maka banyak ajarannya yang kemudian diselewengkan. Dalam
tingkatan yang berbeda, juga bisa dikatakan bahwa pemikiran keIslaman Sukarno terlalu
maju, sehingga masyarakatnya belum siap menerimanya. Maka dia harus rela ditentang
oleh umat yang justeru mau dibela. Sukarno sadar akan kondisi ini, menurutnya hal itu
terjadi karena jiwa umat Islam sudah begitu lama dikerangkeng oleh doktrin kolot. Mereka
sudah menjadi umat Islam sontoloyo yang enggan melangkah. Padahal Islam itu sendiri
sangat progress, Islam adalah kemajuan (Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan
Kemerdekaan, LP3ES, 1987).
Sebelum terlalu jauh memasuki alam fikir Islam Sukarno, risalah ini akan memulai
pengembaraannya dengan mencatat biografi singkat dan proses sosialisasi politik Sukarno
dengan harapan bisa melacak jejak pengaruh dalam proses pematangan pemikirannya.
Setelah itu, risalah ini akan berusaha masuk ke dalam dunia fikir Islam Sukarno yang pada
masanya selalu mengandung daya kejut atau dalam bahasa Nurcholis Madjid Psycological
Striking Force.
Biografi dan Sosialisasi Politik Sukarno
Sukarno lahir pada tanggal 06 Juni 1901, tapat pada saat fajar bersiap menyinari bumi
manusia. Karena itu, ibunya selalu memenggil Sukarno sebagai putra fajar yang pada suatu
saat akan membawa cahaya penerang bagi tanah airnya. Lahir dari hasil perkawinan silang
budaya memeliki pengaruh kuat terhadap Sukarno. Ayahnya, Raden Sukemi, bangsawan
rendahan Jawa sedangkan ibunya, Ayu Nyoman Rai Sarimben, putri Bali kasta Brahmana.
Perkawinan Sukemi dan Ayu Nyoman ini adalah bentuk pemberontakan terhadap tradisi.
Sebab pada waktu, kasta Brahmana tidak boleh kawin dengan orang Jawa. Kawin dengan
orang Jawa berarti menjadi Islam, itu tidak diinginkan oleh kasta Brahmana yang memiliki
strata terhormat di Bali.

Nama Sukarno kecil adalah Koesnososro, tapi karena sering sakit, kemudian namanya
diganti Sukarno. “Nama kelahiranku adalah Kusno. Aku memulai hidup ini sebagai anak
yang penyakitan. Aku mendapat malaria desenti, semua penyakit dan setiap penyakit.
Bapak menerangkan, namanya tidak cocok dan harus diganti supaya tidak sakit lagi. Aku
belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan penggantian nama padaku. Dia
bilang “Kus engkau akan kami beri nama Karno”. Karno adalah pahlawan terbesar dalam
cerita Mahabarata”. Begitulah Sukarno menceritakan kisah hidupnya. (Cindy Adam, Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Gunung Agung, 1966)
Sukarno melewati masa kecilnya di Tulungagung (Kediri) bersama kakeknya yang kesohor,
Raden Hardjodikromo. Di Tulungagung Sukarno selalu menikmati malam dengan menonton
pertunjukan wayang. Dia menghayati cerita-cerita wayang yang diambil dari tokoh-tokoh
sejarah dan legenda Jawa. Salah satu cerita kesukaannya adalah perang Bharata
Yudha yang mengisahkan perjuangan kaum Pandawa melawan kaum Kurawa dalam
memperebutkan kerajaan Ngastina yang merupakan hak kaum Pandawan tapi sudah
dikuasai oleh kaum Kurawa.
Sekolah formalnya dia tempuh di Sekolah Dasar Bumi Putra Mojokerto, kemudian
melanjutkan ke Sekolah Dasar Belanda (Eoropees Logere School, ELS). Setelah lulus dia
melanjutkan ke sekolah lanjutan, Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Di sana dia
tinggal bersama Tjokroaminoto, pimpinan Sarekat Islam (SI). Setelah itu, Sukarno
melanjutkan ke sekolah tinggi teknik, Tesnische Hogere School (THS) di Bandung.

Surabaya adalah kota persentuhan Sukarno dengan dunia pemikiran. Tjokroaminito sering
mengajak Sukarno menghadiri acara SI dan ikut nimbrung dalam pertemuan-pertemuan
tokoh-tokoh SI di rumah Tjokroaminoto. Salah satu tokoh yang saering diikuti obrolan dan
ceramahya oleh Sukarno adalah kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri dan pimpinan
Muhammadiyah.

Namun, pematangan pemikiran Sukarno terjadi ketika berada di penjara Sukamiskin. Di


tempat inilah Sukarno mengkaji al-Quran dalam terjemahan Inggrisnya dan juga banyak
belajar dari buku-buku Lathrop Stoddard tentang sejarah Islam dan Syed Ameer Ali tentang
semangat Islam. Pematangan yang ke dua terjadi di Endeh, tempat pembuangannya di
Flores. Di tempat ini, Sukarno menunjukan minat yang tinggi terhadap Islam, dia selalau
mengirim surat ke A. Hasan, Pimimpin Persatuan Islam (PERSIS) di Bandung, meminta
buku-buku keIslaman dan bertukar pendapat. Di tempat ini juga dia menunjukkan minatnya
mempelajari Hadits dan Fiqh, bahkan dia bebeapa kali mendesak A. Hasan dalam suratnya
agar cepat dikirimi kumpulan Hadits Bukhori Muslim walaupun pada akhirnya A. Hasan tidak
menemukan kitab itu dalam bahasa yang Sukarno mengerti (Sukarno tidak bisa bahasa
Arab).

Namun justeru persentuhannya dengan Hadits dan Fiqh inilah, Sukarno menemukan
penyebab kemunduran Islam, yakni banyaknya hadits dhaif yang terlanjur diterapkan dan
kerangkeng fiqh terhadap jiwa Islam. Dalam suaratnya yang ketiga kepda A. Hasan,
Sukarno mengatakan bahwa hadits dhaif dan palsu inilah penyebab Islam diliputi kabut
kekolotan, ditambah lagi dengan fiqh yang hampir memadamkan api Islam. Padahal
menurutnya, tidak ada agama yang sangat rasional dan maju seperti Islam. Dan dalam
suratnya yang keempat Sukarno mengatakan bahwa tugas utama pemimpin Islam saat ini
adalah perjuangan melawan kekolotan, perjuangan melawan Islam sontoloyo agar Islam
kembali pada jiwanya sebagai Islam kemajuan. (Sukarno, Surat-Surat Islam dari
Endeh, dimuat kemabil dalam Dibawah Bendera Revolusi, 1964)
Menuju Islam Kemajuan
Dalam tulisannya berjudul Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Sukarno terusik
dengan perkataan Prof. Tor Andrea bahwa Islam saat ini sedang manjalani “ujian apinya
sejarah. Kalau ia menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia kalah, ia
akan merosot ketinggalan selaman-lamanya”. Perkataan ini sangat menggelisahkan
Sukarno, maka pemikiran keIslamannya ia maksudkan agar Islam menang dalam ujian
apinya sejarah itu. Untuk menang, yang harus dilakukan Sukarno adalah mencari hukum-
hukum sejarah, termasuk sebab-sebab kemunduran dan kemajuan umat Islam. Tema ini
sebenarnya merupakan tema sentral dalam pergulatan pembaharuan Islam yang dimulai
oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Mula-mula mereka terusik oleh kemajuan Barat, lalu bertanya kenapa Islam mundur.
Kemudian, Afghani mengeluarkan diktum terkenal: Barat maju karena meninggalkan
agamanya dan Islam mundur juga karena meninggalkan agamanya. Maka untuk maju umat
Islam harus memperkuat tali agamanya dengan kempali pada Islam otentik (quran-hadits).
Dengan pergulatan yang sama, Sukarno mengatakan bahwa penyebab kemunduran Islam
adalah kesenjangan yang lebar antara perkembangan masyarakat yang tunduk pada
hukum-hukum sejarah dengan pemahaman dan doktrin Islam. Masyarakat sudah hidup di
zaman kapal udara sementara pemahaman dan doktrin Islam masih hidup di zaman onta.
Kembali ke quran dan hadits saja tidak cukup jika cara berfikir dan pemahamannya masih
pemahaman zaman onta.

Yang dibutuhkan oleh umat Islam adalah lompatan historis dan berani memandang
zamannya sesuai dengan pemahaman dan cara fikir zamannya dengan dilandasi kalam ilahi.
Dalam suratnya yang terahir kepada A. Hasan, Sukarno mengatakan bahwa quran dan
hadits bisa menjadi pembawa kemajuan, suatu api yang menyala, kalau kita baca quran
dan hadits itu berdasar pengetahuan umum dan science.(Sukarno, Surat-surat Islam dari
Endeh, dimuat kembali dalam DBR, 1964)
Sukarno menyaksikan peristiwa aneh karena di zaman kapal udara masih ada orang yang
mau kembali pada zaman onta, dan bahkan ada pula yang tidak mau maju tapi juga tidak
mau mundur. Mereka duduk termangu menyaksikan lalu lalang perubahan dan kemajuan
yang suatu saat akan melindasnya.

Dengan mengutip Heraclitos, Sukarno mengatkan bahwa seumuanya akan berubah,


berubah ke arah kemajuan. Tidak mau berubah berarti menentang hukum sejarah,
menentang berarti siap dipinggirkan oleh sejarah. Itulah tanda-tanda kekalahan Islam
dalam ujian apinya sejarah, karena mereka lamban atau tidak mau menerima perubahan.
Mereka statis dan telah terbiasa dengan Islam sontoloyo. Menurut Sukarno, penyebab
statisme ini adalah pensakralan fiqh dan berbagai ijma’ ulama’ yang kemudian berujung
pada penutupan pintu ijtihad. Fiqh telah menjadi algojo roh-semangat Islam.
(Sukarno, Islam Sontojo dalam DBR, 1964)
Dalam tulisannya berjudul Me “muda” kan Pengertian Islam, Sukarno menguti Prof. Farid
Wajdi yang mengatakan bahwa Islam bisa maju jika dilandaskan pada kemerdekaan roh,
kemerdekaan akal, dan kemerdekaan pengetahuan. Maka, roh yang selama ini dirantai oleh
fiqh haruslah dilepas rantainya, akal yang selama ini dipasung oleh ijma’ ulama’ haruslah
dibuka pasungannya, dan pengetahuan yang selama ini ditutup oleh bab el-Ijtihad haruslah
dibuka tutupnya. Dengan mengutip Sajid Amir Ali, Sukarno mengatakan bahwa Islam itu
sperti karet, karena itu tidak ada yang bisa membatasi kemerdekaan roh, akal,dan
pengetahuan dalam Islam.
Islam menghargai kemerdeaan roh, akal, dan pengetahuan karena Islam agama rasional.
Dengan rasio kita melakukan rethinking of Islam untuk membuang abu Islam dan
menangkap apinya. Dan dengan rasio juga kita menangkap makna atau roh dibalik huruf-
huruf dalam kalam ilahi. Hanya dengan menangkap roh atau apinya, Islam bisa kembali
menjadi Islam Kemajuan seperti yang pernah dialami oleh Islam generasi pertama.
Penulis adalah pegiat diskusi di Indonesian Culture Academy (INCA), Ciputat.

JAKARTA- Tokoh Islam, Ahmad Syafii Maarif atau yang disapa Buya Syafii Maarif
mengajak umat Islam untuk mempelajari kembali perjuangan presiden pertama
Republik Indonesia Soekarno, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam.

"Bung karno tu sangat rindu agar Islam agar tidak dinjak-injak sampai sekarang,
Islam harus memimpin, Islam harus membangun peradaban yang berguna bagi
kemanusian. Kita harus belajar, perlu belajar ke Bung Karno, konsep dia sebelum
presiden itu sangat otentik soal ke-Islaman," kata Syafii Maarif di acara seminar
Nasional memperingati Bulan Bung Karno dengan tema "Soekarno dan Islam" di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (7/6/2012).

Buya Syafii menyayangkan adanya tindakan intoleransi atas nama Islam yang kerap
terjadi akhir-akhir ini. Menurutnya, intoleransi ini terjadi lantaran pemahaman Islam
yang tidak holistik, dan itu bukan cita-cita keislaman kebangsaan Soekarno yang
tertuang di Pancasila.

"Itu karena aktualitas pemahamannya tidak holistik, tidak menyeluruh, jadi melihat
Islam itu dari secara ad hoc, secara berkeping-keping. Islam itu kan rahmatan lil
alamin, rahmat bagi alam semesta, temasuk orang yang tak beragama. Bung karno
melihat itu. Itu hebatnya bung Karno. Bisa dilihat itu dari surat-suratnya beliau waktu
di Pulau Ende," kata Buya.
Menurut catatan Buya, api semangat keislaman Soekarno bisa dilihat dari catatan
Bung Karno pada masa pembuangan ke Sukamiskin, Bandung, maupun di pulau
Endeh. Dalam masa pembuangan itu, Soekarno berdialog tentang Islam via surat-
menyurat dengan Ahmad Hassan, tokoh Persatuan Islam kelahiran Singapura.

Menurutnya, pemikiran Soekarno tentang Islam, kebangsaan dan Pancasila masih


bisa dijadikan ilham antisipatif bagi bangsa ini. "Jasanya jauh lebih besar ketimbang
kesalahan politik yang pernah dilakukannya saat di puncak kekuasaannya.
Pemikirannya masih merupakan ilham inspiratif bagi bangsa ini," jelasnya

Aku Bukan Santri, Tapi Aku Muslim Sejati


Bagian: 1
Bila seorang muslim adalah orang yang selalu memakai sarung, maka Bung Karno
bukan seorang muslim.
Bila seorang muslim adalah mereka yang selalu menggunakan surban, jelas Bung
Karno bukan seorang muslim.
Tapi apabila anda berpendapat bahwa seorang muslim adalah mereka yang
menjalankan perintah Allah Swt serta menjauhi larangannya, maka dapat saya katakan
bahwa Bung Karno seorang muslim yang taat beragama.
Bung Karno bukan sosok seorang Islam santri. Itulah saebabnya ia tidak diakui sebagai
seorang pemimpin Islam. Bung Karno tak kalah banyaknya menulis tentang Islam,
bahkan ia lebih banyak menulis dan berpidato mengenai Islam, yang mengeluarkan
pemikiran-pemikiran keislaman, katimbang Dr. Sukiman yang justru lebih banyak
berbicara mengenai nasionalisme Indonesia. Karena itu dari sudut sejarah perlu
dipertambangkan kembali kedudukan Bung Karno sebagai, paling tidak, seorang
pemikir Muslim, yang turut menyumbang, secara cukup berarti, dalam wacana
keislaman. Bahkan Bung Karno boleh di bidang telah berjasa sangat besar dalam
da’wah Islam.
Tidak banyak yang tahu, bahwa Bung Karno, adalah orang kunci dalam berdirinya
Masjid Salman di kampus ITB. Pada suatu waktu, panitia pendirian masjid Salman pada
tahun 1960-an, telah gagal menempatkan pembangunan masjid tersebut di dalam
kampus. Tapi tiba-tiba Bung Karno menanyakan status rencana pembangunan tersebut
dan menanyakan pula gambarnya dan memanggil panitia pembangunan. Setelah
berdiskusi dan memberi komentar, maka ia menulis dalam rancana itu aku namakan
masjid ini Masjid Salman, dengan inisial Soek.
Itu berarti Bung Karno selaku Presiden RI, telah menyetui pendirian sebuah masjid di
kampus. Padahal, pihak rektorat telah menolaknya yang meminta agar masjid tersebut
dibangun di luar kampus. Dengan demikian, maka Salman adalah masjid kampus di
universitas negeri yang pertama di Indonesia, yang baru kemudian diikuti dengan
berdirinya masjid Arief Rahman Hakim, di kampus UI, Salemba, masjid Salahuddin, di
kampus UGM atau masjid Raden Patah, di kampus Universitas Brawijaya. Selanjutnya
pendirian masjid kampus itu diikuti oleh hampir semua universitas yang memiliki
kampus. Masjid model Salman ini mengikuti visi masjid modern yang tidak saja
merupakan pusat ibadah (tempat sholat saja), tetepi juga pusat kebudayaan dan
kegiatan da’wah di ka langan terpelajar, khususnya mahasiswa.
Pemberian nama Salman tidak pula sembarangan. Ini mencerminkan pengetahuan
Bung Karno mengenai Islam. Dalam sejarah Islam, sahabat Salman dari Parsi,
dianggap sebagai seorang arsitek, yang mengusulkan dan memimpin pembangunan
benteng berupa parit dalam Perang Chandaq (Perang Parit). Interpretrasi historis
terhadap tokoh Salman ini diterima oleh kalangan cendekiawan maupun ulama dan
menjadi interpretrasi populer yang diucapkan dalam ceramah-ceramah dan khutbah-
khutbah jum’at dalam wacana da’wah. Sejak munculnya nama Salman sebagai arsitek
sahabat Nabi, maka profesi arsitek Muslim diakui dan menjadi populer. Pola arsi-tektur
masjid modern, juga berkembang, walaupun juga berkat kreativitas Ir. Noekman, yang
sangat dikenal sebagai arsitek Muslim dari Masjid Salman ITB. Dalam kaitan ini, tidak
bisa dilupakan, bahkan Bung Karno sen diri adalah seorang arsitek.
Tapi jasa Bung Karno sebagai pemikir budaya tidak sampai di situ. Ia menerima pula
ide Haji Agus Salim, yang dijulukinya The Grand Old Man,julukan itu juga diterima dan
menjadi populer dalam wacana gerakan Islam di Indonesia , walaupun Haji Agus Salim
pernah memberikan kritik tajam terhadap gagasan nasionalisme Bung Karno, untuk
membangun Masjid Baitul Rahim, sebuah masjid di halaman istana negara dengan
arsitektur yang indah, yang seringkali dibandingkan dengan gereja. Visi Bung Karno
tentang masjid mencapai puncaknya dengan pendirian masjid Istiqlal, yang merupakan
pengakuan terhadap jasa umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan, karena Istiqlal
artinya adalah kemerdekaan, yang arsteknya adalah seorang Nasrani, Ir. Silaban. Itu
semua mencerminkan pandangan keagamaan Bung Karno yang luas dan terbuka. Sulit
menemukan pandangan seorang pemikir Muslim yang se liberal Bung Karno.
Namun demikian, Bung Karno tetap saja tidak diakui sebagai seorang pemimpin Islam
atau pemimpin umat Islam dan juga tidak diakui sebagai seorang pemikir Islam. Atau
dalam rumusan yang lebih kena, seperti kata Bambang Noorsena, para pengritiknya
dari kalangan politisi Islam, meragukan kemurnian keislaman Bung Karno. Syed Husein
Alatas, seorang sosiolog Malaysia, yang lama mengajar di Universitas Singapore,
pernah menulis buku tentang Islam dan Kita, dan dalam buku itu ia menampilkan
empat tokoh nasional Indonesia dan kaitannya dengan Islam. Di situ ia menyebut Bung
Karno sebagai seorang pemimpin Muslim namun tidak memiliki komitmen perjuangan
Islam dan bahkan secara politis menantang Islam. Tokoh yang disebutnya pemimpin
Islam yang ideal adalah Syafruddin Prawiranegara, seorang terpelajar yang mempunyai
pemikiran tentang Islam dan memiliki komitmen pula terhadap gerakan dan politik
Islam. Ada dua orang tokoh lagi yang ia bahas, yaitu Sutan Syahrir dan Tan Malaka.
Syahrir adalah seorang yang lahir dari keluarga Muslim di Minangkabau, tempat
kelahiran banyak pemimpin Islam, antara lain Haji Agus Salim dan Mohammad Natsir,
tetapi ia ketika telah menjadi pemimpin telah tercerabut (uprooted) dari lingkungan
masyarakatnya dan menjadi tak acuh (indefferent) ter-hadap Islam. Sedang Tan
Malaka adalah seorang yang masih mengaku Muslim, mempunyai pengetahuan dan
pemi-kiran menganai Islam, tetapi pada dasarnya ia adalah seorang komunis yang
ingin memperalat Islam dan kaum Muslim untuk mencapai tujuan perjuangan
komunisme di Indonesia.
Bung Karno, sebagai seorang Muslim adalah kebalikan dari Syahrir. Ia memang berasal
dari keluarga abangan dan baru pada umur 18 tahun berkenalan dengan Islam. Namun
kemudian ia berkembang menjadi seorang Muslim, walaupun belum bisa atau mungkin
juga tidak mau disebut santri. Walupun begitu, orang seperti A. Hassan atau
Mohammad Natsir, tidak meragukann keyakinannya terhadap Islam. Barangkali ia tepat
disebut sebagai seorang muslim marginal.
Ada beberapa faktor yang membentuk persepsi orang terhadap Bung Karno. Pertama ia
dianggap memiliki latar belakang dan masih dipengaruhi agama Hindu dan Buddha,
atau mungkin masih dipengaruhi oleh apa yang disebut oleh antropolog Clifford Geertz,
agama Jawa. Ajaran pewayangan masdih nampak mempengaruhinya, walaupun ia
adalah seorang yang mendapatkan pendidikan modern Barat. Kedua, ia sering
menyatakan dirinya sebagai penganut Marxisme atau paling tidak mempergunakan
(sebagian) teori Marxis dalam analisis-analisis nya Dalam suatu rekaman wawancara
yang diberi judul Tabir adalah lambang Perbudan (Panji Islam, 1939), ia pernah
berkata dengan bangga:
Saya adalah murid dari Historische School van Marx. Pernyataan ini sangat berani,
karena pengakuannya itu dikeluarkan justru ketika ia sedang berebicara mengenai
Islam , khususnya pandangan Islam mengenai perempuan.
Satu hal yang tidak bias kita abaikan adalah Bung Karno mendapatkan gelar doktor
honoris causa di bidang tauhid, oleh sebuah lembaga pendidikan agama yang
prestisius, IAIN Syarif Hidayatullah, bahkan juga mendapat gelar honoris causa di
bidang filsafat oleh Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Gelar itu tidak mungkin diberikan
oleh sebuah universitas Islam seperti Al Azhar, jika lembaga itu meragukan iman Bung
Karno dalam ketauhidan.
Pada waktu muda, Bung Karno pernah menjadi anggota Sarekat islam dan Partai
Sarekat Islam. Memang ia kemudian keluar dari partai itu dan mendirikan sendiri PNI
bersama-sama dengan kawan-kawan nasionalis yang sepaham yang menganut aliran
nasionalis sekuler. Tapi ia tetap mempertahankan citranya sebagai seorang Muslim,
antara lain dengan bergabung dengan Muhammadiyah, sebuah organisasi yang
berfaham tauhid keras (hard tauhid). Ia bahkan aktif sebagai anggota pengurus lokal,
ketika berada dalam pembuangannya di Berkulu. Sebagai anggota dan aktivis
Muhyammadiyah, Bung Karno pernah mengeluarkan semboyan yang kemudian menjadi
sangat populer dan menjadi semboyan semua anggota Muhammadiyah, yaitu Sekali
Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Konon ia pernah berwasiat, jika meninggal
dunia, ia diusung dalam keranda yang di-tutup dengan bendera Muhammadiyah.
Soekarno muda memang banyak berkenalan dan dipengaruhi oleh Islam aliran
Persatuan Islam yang diasuh oleh A. Hassan, dimana seorang pemimpin Islam
terkemuka, Mohammad Natsir dididik. Ia pernah pula mengaku tertarik dan belajar
banyak dari pemikiran Ahmadiyah. Tapi pilihan ter-akhirnya adalah Muhammadiyah
yang beraliran sebersih-bersih tauhid.
Bung Karno mulai belajar Islam secara serius, ketika ia meringkuk di penjara
sukamiskin, Bandung, dari mana ia membaca terbitan-terbitan Persatuan Islam, yang
kini mungkin disebut sebagai aliran fundamentalisme Islam, sebagaimana Al Islam,
Solo, dimana M. Amien Rais pernah lama belajar. Kegiatan belajarnya makin intensif
ketika ia berdiam di Endeh, Flores. Di situ dan pada waktu itulah ia berkorespondensi
dengan A. Hassan, pemimpin lembaga pendidikan Persatuan Islam yang mula-mula
berpusat di Bandung tapi kemudian berpindah ke Bangil, Jawa Timur hingga sekarang
ini yang dikenal sebagai penerbit majalah Al Mu-slimun.
Tapi, sebelum masa Surat-surat dari Endeh itu, Soekarno muda sudah memiliki
persepsi tentang Islam, yang agaknya ia peroleh dari guru dan sekaligus mertuanya,
H.O.S. Tjokroaminoto. Persepsinya mengenai Islam adalah, bahwa Islam adalah sebuah
agama yang sederhana, rasional dan mengandung gagasan kemajuan (idea of pro-
gress) dan egaliter.
Di balik perhatiannya terhadap islam sebagai ajaran, Soekarno muda sebenarnya
menaruh perhatian terhadap masyarakat Islam atau kondisi umat Islam, dalam konteks
kolonialisme dan imperialisme. Di samping ingin memperdalam ajaran-ajaran Islam,
baik dari segi ibadah maupun siyasah (politik) dan mu’amalah (sosial-ekonomi),
Soekarno menaruh perhatian terhadap aspek masyarakat dan paham-paham
keagamaannya. Dalam melihat segi-segi kemasyarakatan, Soekarno yang terlibat dan
memimpin pergerakan nasional dan mempelajari ilmu-ilmu sosial dan sejarah,
termasuk membaca karya-karya Karl Marx, merasa kecewa dan tidak menyetujui
paham-paham Islam tradisional. Soekarno muda, walaupun masih dan ingin belajar
tentang Islam, namun sudah berani menyatakan pendapat-pendapatnya yang kritis.
Soekarno muda yang sangat energetik itu, menyerang doktrin taklid dan sikap
menutup pintu ijtihad. Ia menantang kekolotan, ketakhayulan, bid’ah dan anti-
rasionalisme yang dianut oleh masyarakat Muslim Indonesia. Ia berpendapat, bahwa
Islam telah disalah-tafsirkan, karena umat Islam dan para ulamanya lebih percaya dan
berpedoman kepada hadist-hadist dan pendapat ulama, dari pada berpedoman kepada
al Qur’an. Ia pernah meminta kiriman buku kunpulan hadist Bukhari, karena ia
mencurigai beredarnya hadist-hadist palsu yang bertentangan dengan al Qur’an. Di sini
Soekarno muda sudah memasuki pemikiran kritik hadist, yang hanya baru-baru ini saja
menjadi perhatian studi akademis. Pandangan Soekarno itu memang tidak baru, karena
tema-tema itulah yang telah dibawa oleh gerakan Muhammadiyah yang beraliran
moderbis. Karena itu, maka Soekarno muda sebenar-nya adalah penganut paham
Islam modernis.

KEBIADABAN PRESIDEN SOEKARNO....


SANG PENGKHIANAT NUSANTARA DAN
ISLAM
aneuk Utbay

on 02.51

No Comment

Jauh sebelum NKRI berdiri, Nanggroe Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah
kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah.

Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk
Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah
Belanda.

Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh
Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan
sebutan “Kakak” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik
dalam catatan sejarah:

Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil
bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia
dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945.”

Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati
dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu
berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah
sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati
syahid.”

Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang
seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku
Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang
bersemboyan merdeka atau syahid.

Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden.
Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila
perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan
Syariat Islam di dalam daerahnya.”
Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat
Indonesia beragama Islam.”

Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan
bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata
ketentuan dari Saudara Presiden.”

Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”

Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima
kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan
secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas
kertas ini.”

Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak.
Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,
Soekarno berkata, “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa
gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud
Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi
sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan
kami ajak untuk berperang.”

Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno berjanji, “Wallah, Billah, kepada daerah Aceh
nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat
Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-
benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak
masih ragu-ragu juga?” Daud Beureueh menjawab, “Saya tidak ragu Saudara Presiden.
Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas
kebaikan hati Saudara Presiden.”

Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh,
Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya
tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-
janji presiden itu.

Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh
bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951,
belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan
disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah
berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan
menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik
Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali
malah dibiarkan terbengkalai.

Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah
rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena
peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telah menjilat
ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah.
Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak termaafkan.

Pengkhianatan Soekarno terhadap Muslim Aceh merupakan awal dari rentetan


pengkhianatan—jika tidak mau dikatakan sebagai konspirasi—yang dilakukan negara
terhadap Aceh dan rakyatnya, juga terhadap tokoh-tokoh Islam setelahnya.

Sejarah telah mencatat bagaimana rezim Soekarno juga telah melakukan penindasan
terhadap umat Islam, terutama di tahun 1959-1965, di saat Soekarno bersedia
dijadikan presiden seumur hidup dan demokrasi terpimpin.

Salah satunya adalah pembubaran Partai Masyumi dan penahanan tokoh-tokohnya. M.


Natsir ditahan pada tahun 1961 dan 1966, juga Boerhanoeddin Harahap yang berada
dalam tahanan dari tahun 1961 hingga 1967, Prawoto Mangkusasmito, Mohammad
Roem, M.Yunan Nasution, E.Z. Muttaqin dan KH Isa Anshary, ditahan pula di Madiun
pada tahun 1962. Ghazali Sjahlan, Jusuf Wibisono, Mr. dan Kasman Singodimejo di
tahan di Sukabumi.

Demikian pula yang menimpa Soemarso Soemarsono, A. Mukti, Djanamar Adjam,


KH.M. Syaaf dan lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh Masyumi. Selain ditangkap dan
ditahan tanpa proses pengadilan yang benar, siksaan juga ditimpakan pada mereka.

Salah satu contoh, ini dipaparkan Ridwan Saidi, jika rezim Soekarno menyiksa Ustadz
Ghazali Sjahlan hingga dia hanya diberi “makanan” berupa tetesan air pisang busuk
selama di penjara.

Pada 16 Agustus 1945 petang hari, Soekarno dan Hatta dijemput oleh Ahmad
Soebardjo, seorang kepercayaan Jepang, dan setelah Ahmad Soebardjo memberikan
jaminan kepada para pemuda PETA di Rengasdengklok, bahwa Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan besok, 17 Agustus 1945, barulah para
pemuda itu melepaskan BK dan Bung Hatta kembali ke Jakarta. Di Jakarta mereka
membicarakan sekitar Proklamasi di rumah Laksamana Muda Maeda, jalan Imam Bonjol
No.1 sampai pukul tiga dini hari. Terjadilah dialog menarik antara BK dengan
Soebardjo, seperti diceritakan dalam buku Lahirnya Republik Indonesia:

Masih ingatkah saudara, teks dan bab Pembukaan Undang-undang Dasar kita?

“Soekarno tanya kepada saya”, kata Soebardjo.

“Ya saya ingat”, saya menjawab, “Tetapi tidak lengkap seluruhnya”.

“Tidak mengapa”, Soekarno bilang, “Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang


menyangkut Proklamasi dan bukan seluruh Teksnya.”

Soekarno kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuai dengan apa yang
saya ucapkan sebagai berikut: “Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaan.”

Di samping itu, Soebardjo mengakui pula: "Suatu kenyataan bahwa teks dari
Proklamasi telah dirumuskan dalam apa yang dinamakan Piagam Jakarta, tanggal 22
Juni 1945. Rumusan ini hasil dari pertimbangan pertimbangan mengenai kata
pembukaan atau Bab Pengantar dan undang-undang dasar kita oleh sembilan komite di
mana Soekarno sendiri adalah ketuanya” (Mr.Ahmad Subardjo, Lahirnya Republik
Indonesia, hlm. 108, PT Kinta, Jakarta 1972). Soebardjo kemudian menjadi Menlu RI
yang pertama.

Dalam versi lain, Hatta berkomentar seperti ini,… Kalimat itu hanya menyatakan
kemauan Bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebab itu, mesti ada
komplemennya yang menyatakan bagaimana caranya menyelenggarakan Revolusi
Nasional. Lalu, menurut Hatta, ia diktekan kalimat berikut: “Hal-hal yang mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam
tempo yang sesingkatsingkatnya.” (Mohammad Hatta, sekitar Proklamasi 17 Agustus
1945 hlm. 50, Tinta Mas, Jakarta 1969).

Proklamasi Kemerdekaan itu diumumkan di rumah BK, Pegangsaan Timur No.56


Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jumat bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.

Teks Proklamasi kemerdekaan RI yang di-kumandangkan setiap 17 Agustus, adalah


teks yang tidak sah dan tidak otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa
yang di putuskan oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945.
Mengapa Proklamasi yang demikian penting dianggap remeh seolah-olah tanpa
persiapan yang matang, dibuat terburu-buru pada malam hari, ditulis dengan tulisan
tangan di atas secarik kertas disertai coret-coretan padahal beberapa jam lagi Prokla-
masi akan diucapkan? Ironisnya, teks proklamasi "bid’ah", yang mengada-ada itu,
dibuat di rumah seorang perwira Jepang, Laksamana Muda Maeda.

Mestinya Soekarno, Hatta dan Subardjo dimalam itu tidak perlu membicarakan teks
proklamasi, teks yang sebenarnya telah selesai dipersiapkan oleh BPUPKI dua bulan
sebelumnya. Malam itu cukup mereka membicarakan masalah teknis pelaksanaan,
tempat, jam berapa akan diucapkan, siapa yang akan mengucapkan dan siapa-siapa
yang akan diundang. Adapun teks Proklamasi tidak perlu dibicarakan lagi, sebab sudah
ada dan sudah final, tidak perlu diubah-ubah lagi.

Teks Proklamasi Yang Asli

Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada
22 juni 1945 itu sesuai dengan lafal atau teks Piagam Jakarta. Jelasnya teks Proklamasi
itu haruslah berbunyi:

PROKLAMASI
Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di
atas dunia harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan.

Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa dan di dorong oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini Rakyat Indonesia menyatakan
kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Republik
Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
pedamaian abadi, dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang
berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia.

Jakarta,22 Juni 1945


Ir. Soekarno

Drs. Muhammad Hatta


A.A. Maramis

Abikusno Cokrosuyoso

Abdul Kahar Muzakir

H. Agus Salim

Mr. Ahmad Subardjo

K.H. Wahid Hasjim

Mr. Muh Yamin

Demikian teks Proklamasi Asli yang harus di-kumandangkan bergema dan mengudara
setiap Proklamasi di kumandangkan pada tanggal 17 Agustus. Tetapi hal itu tidak
terjadi karena penyelewengan dan penghianatan sejarah.

Rakyat Indonesia telah lama dibohongi melalui penggelapan sejarah yang


berkepanjangan. Hampir setiap buku pelajaran sejarah di Indonesia, tidak ada yang
mencantumkan perihal sejarah yang sesuai pada kenyataannya.Termasuk cerita
dongeng kemerdekaan bangsa Indonesia.Bila kita perhatikan kalimat dalam pembukaan
UUD 45 “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia
kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka”,maka
seharusnya kita menyadari bahwa saat ini kita masih sekedar berada di pintu gerbang
dan belum memasuki bangunan kemerdekaan itu sendiri.Belum lagi bila kita teliti
makna ucapan sukarno “kutitipkan bangsa ini kepadamu”,yang memberi kesan bahwa
ada sesuatu pekerjaan yang belum terselesaikan.Terbukti sampai saat ini belanda
belum memberikan pampasan perang kepada Indonesia,tidak seperti yang dilakukan
jepang.Maka bisa diartikan bahwa pemerintah negera ini hanyalah perpanjangan
tangan penjajah belanda yang melanjutkan kembali penjajahannya terhadap Bangas
Indonesia.

Ada perjanjian terselubung di balik Konferensi Meja Bundar (KMB), di balik peristiwa
sejarah yang disebut-sebut menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia
itu, tersembunyi perjanjian pembayaran utang-utang penjajah kolonial Belanda.Fakta
yang sangat mencengangkan dari perjanjian yang digelar di Den Haag Belanda, 23
Agustus 1949, itu diceritakan kembali oleh Pengamat Ekonomi, Revrison Baswir, saat
mengisi sebuah seminar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Menurut Revrison, untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia, pemerintah Belanda


mengajukan beberapa persyaratan. Salah satunya, Indonesia harus mau mewarisi
utang-utang yang dibuat Hindia Belanda, sebesar 4 miliar dolar AS. Indonesia yang
saat itu diwakili Mochamad Hatta, menyetujui syarat tersebut."Sebelumnya, Hatta telah
mendapat lampu hijau dari Soekarno untuk menyetujuinya. Indonesia menyetujui
syarat tersebut untuk mendapat pengakuan kedaulatan. Namun, rencananya, Indonesia
tidak akan membayar utang tersebut dan tetap membiarkannya menjadi tanggungan
pemerintah Hindia Belanda," tutur Revrison.
Pada akhirnya rencana tersebut dijalankan. Pada kurun waktu 1949-1965, Indonesia
tidak membayar utang tersebut. Akibatnya, munculah Agresi Militer Belanda I dan II.
Setelah berkali-kali mengalami kegagalan, akhirnya Belanda pun menyerah untuk
memaksakan kehendaknya agar Indonesia membayar utang tersebut.Namun, lanjut
Revrison, Belanda tidak berhenti sampai di situ. Mereka mulai menyusun rencana lain,
dengan cara lebih halus, antara lain dengan pembentukan Intergovernmental Group on
Indonesia (IGGI). Dari sejarah, diketahui jika kelompok yang diketuai Belanda itu
didirikan untuk membantu pembangunan Indonesia.

"Ternyata, di balik pendirian IGGI pun ada udang di balik batu. Logikanya sederhana.
IGGI dibentuk, Belanda ketuanya, dengan syarat Indonesia harus mau membayar
utang peninggalan Hindia Belanda. Akhirnya, pada 1967-1968,Soeharto, melakukan
reschedulling pembayaran utang tersebut," Hingga pada 1968 disepakati jika utang
Hindia Belanda akan dicicil Indonesia dalam tempo 35 tahun. "Utang tersebut baru
lunas pada 2003. Sekarang, utang Indonesia di luar utang Hindia Belanda bersisa 66,8
miliar dolar AS. Dengan utang sebesar ini, mau lunasnya kapan?" katanya.

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik


Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga
2 November 1949.Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan
kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia
internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan
untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati,
perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar.Hasil dari
Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:

1. Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia


Serikat, kecuali Papua Barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda
menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua Barat negara
terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini.
Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua Barat bukan bagian dari serahterima,
dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.

2. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda


sebagai kepala negara.

3. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat

Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno


menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet
Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi
berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan
Kerajaan Belanda.Karena RIS dipandang sebagai kelanjutan dari India-
Belanda(Nederlands-Indië), maka RIS harus menanggung utang Pemerintah India-
Belanda kepada Pemerintah Belanda sebesar 6 ½ milyar Gulden.

Dalam perundingan KMB diputuskan, bahwa Pemerintah RIS harus membayar utang
Pemerintah India Belanda kepada Pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar Gulden. Di
dalam jumlah ini, termasuk biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda untuk
melancarkan agresi militer I tahun 1947 dan II tahun 1948.Pemerintah Indonesia
membayar cicilan hingga mencapai 4 milyar gulden sampai tahun 1956, dan
pembayaran dihentikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap tahun 1956. Jadi Indonesia
membayar biaya untuk agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda kepada
Indonesia.Selain itu, Pemerintah Orde Baru tahun 1969 menyetujui kompensasi bagi
perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi di masa Presiden
Sukarno.Kompensasi sebesar 350 juta US $ dicicil dan baru lunas tahun 2003.Hal ini
berbeda dengan informasi oleh Baswir bahwa Indonesia tidak membayarkan hutang tsb
selama periode 1945-1965. Berdasarkan informasi dari KUKB, justru sampai tahun
1956, Pemerintah Indonesia telah membayarkan hingga jumlah 4 milyar gulden.
Sedangkan pada masa orde baru, pemerintah membayarkan kompensasi atas
nasionalisasi perusahaan Belanda (bukan yg 4.5 milyar gulden), yang totalnya 350juta
US$ dan lunas pada tahun 2003.

Tahun 1940, Bung Karno sudah dikenal luas sebagai tokoh pergerakan,
lokomotif perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagian masyarakat juga
mengenal Bung Karno melalui tulisan-tulisannya yang tajam dan kritis di
berbagai media massa cetak. Bersama teman-teman seperjuangan, Bung
Karno menerbitkan majalahFikiran Ra’jat di Bandung. Selain menulis rutin,
sesekali Bung Karno juga melukis karikatur. Selain itu, Bung Karno juga
menulis berbagai artikel di berbagai media massa cetak.

Pernah satu ketika, di tahun 1940, Bung Karno menulis artikel di majalah
Panji Islam berjudul “Islam Sontoloyo”. Saya mencoba mencari literatur
tentang makna, arti, pengertian harfiah “sontoloyo”. Agak susah
mendefinisikan…. Ia seperti sebutan lain semisal “semprul”, “abal-abal”,
“gombal”, “preketek”… saya kira masing-masing daerah punya idiom sendiri-
sendiri untuk menggambarkan pengertian itu secara lebih pas dan membumi.

Dalam tulisan tersebut, Bung Karno sejatinya menggugat perilaku masyarakat


Islam, mulai dari ulama hingga jemaah yang semata hanya
mengagungkan fiqh atau fikih. Banyak perbuatan yang keliru bahkan
berkonsekuensi dosa menurut ajaran Islam itu sendiri, tetapi dihalalkan
dengan sarung fikih.

Yang menarik, Bung Karno mengutip hampir utuh sebuah berita guru mengaji
yang mencabuli murid-muridnya, yang dimuat di suratkabar Pemandangan.
Dituturkan, ihwal kelakuan si guru ngaji yang menjalankan salah satu ritual
pengajian setiap malam jumat. Para murid diajak berdzikir dari maghrib
hingga subuh. Sebelumnya, mereka harus meneriakkan kalimat “Saya
muridnya Kiyai…. (nama kiyai itu)”. Dengan berseru demikian, katanya, Allah
SWT mengampuni dosa-dosa mereka.

Setiap murid perempuan, sekalipun anak-anak, wajib menutup muka. Dalam


mengaji, mereka dipisah dari para murid laki-laki. Dimulailah pelajaran dari
bab “perempuan itu boleh disedekahi”. Akan tetapi, karena perempuan tidak
boleh dilihat laki-laki (kecuali suami), maka itulah mereka diwajibkan
menutupi mukanya. Nah, bagaimana sang guru bisa “menyedekahi” murid-
murid yang perempuan?

Di sinilah sang guru menjelaskan, perlunya para murid itu “dimahram


dahulu”. Artinya, perempuan-perempuan itu mesti dinikah olehnya. Maka,
yang jadi kiyainya, ia juga, yang jadi pengantinnya, ia juga. Caranya?

Kalau seorang murid lelaki yang punya istri, pertama, si suami diminta
menjatuhkan talak tiga. Seketika juga peremuan itu dinikahkan dengan lelaki
lain (kawan muridnya juga), menudian menalaknya lagi, berturut-turut tiga
kali dinikahkan dan diceraikan lagi. Keempat kalinya dinikah oleh kiyainya
sendiri.

Sedangkan yang gadis, tidak dinikahkan dulu, melainkan langsung dinikahi


sang kiyai. Bung Karno menyebut kiyai model ini dengan sebutan “Dajal”.
Dengan demikian, tiap-tiap istri yang jadi muridnya, di mata murid yang lain
pun, adalah istri daripada si Dajal itu sendiri. Termasuk kisah di
Pemandangan itu. Di mana seorang gadis yang sudah dinikahi, dimasukkan
ke bilik dan di situlah dirusak kehormatanya. Halal, dianggap sah, karena
sudah diperistri!

Bung Karno lantas menulis, jikalau berita di suratkabar Pemandangan itu


benar, maka benar-benarlah di sini kita melihat Islam Sontologo! Sesuatu
perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh. Tak ubahnya dengan tukang
merentenkan uang yang menghalalkan ribanya.
Di pandangan Bung Karno, praktik Islam Sontoloyo itu ibarat orang yang
main-main kikebu dengan Tuhan. Dalam bahasa lain, orang yang mau main
kucing-kucingan dengan Tuhan. Dalam kalimat lain, seperti orang yang
hendak meng-abu-i mata Tuhan. Bung Karno lantas menguraikan, Islam tidak
menganggap fiqh sebagai satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utama terletak
pada ketundukan jiwa kita kepada Allah.

Anda mungkin juga menyukai