Soekarno
Tentang Negara Agama
6 Juni 2012 pukul 21:11
Sosok ulama seperti Ahmad Hassan atau lebih akrab dengan sebutan A.Hassan
mungkin lebih dikenal dalam dunia fiqih. Mungkin juga tidak banyak yang tahu
bahwa sosok ulama yang terkenal radikal ini pernah terlibat langsung dalam
percaturan pemikiran politik. Metodologi Dakwah yang ditempuh A.Hassan selain
memunculkan karya tulis, baik melalui majalah yang dipimpinnya atau sejumlah
buku yang sengaja disusunnya untuk topic tertentu. Juga tidak jarang ia pun
melakukan dialog terbuka dengan melayani perdebatan dari setiap tokoh yang
menghujat pemikirannya. Misalnya, mengadakan debat terbuka dengan sejumlah
tokoh Ahmadiyah, NU, Komunis, Nasionalis yang bahkan tidak tanggung-tanggung
lawan debatnya yaitu Mantan Presiden Ir. Soekarno, orang nomor satu di Indonesia
kala itu.
Kaum Nasionalis seculer adalah mereka yang sangat mengagungkan demokrasi
dan HAM, tapi mengapa mereka menjadi anti demokrasi dan HAM untuk Kaum
Muslimin?
Dalam sejarah nasional tidak akan ditemukan satu episode tentang perjalanan hidup
Soekarno yang pernah dekat dengan A.Hassan. Kalau tidak dengan perlakuannya
yang jujur, mungkin kita tidak tahu bahwa Soekarno telah menganggap A.Hassan
sebagai gurunya, yang telah memberikan pelajaran berharga pada Soekarno,
walaupun pada akhirnya Soekarno tidak dapat membumikan pelajar dari gurunya
itu.
Dalam Perdebatannya, salah satunya membicarakan tentang upaya Soekarno yang
menghendaki agar Indonesia mengikuti jejak Turki. Tetapi seluruh argumentasinya
mendapat bantahan keras dari A.hassan. Dibawah ini merupakan bantahan artikel-
artikel Soekarno yang patut dibantah dengan Bahasa yang tidak saya rubah agar
kita ikut merasakan pada era itu.
Soekarno (S): ”Apa yang Turki buat dengan apa yang dibuat oleh negeri Barat, yaitu
pisahkan agama dari Negara”
Ahmad Hassan (A): “Pemisahan agama dari staat sebgaaimana di Eropa itu, Tuan
Soekarno anggap modern dan radikal Tuan Soekarno tidak tahu, bahwa orang
Eropa pisahkan agama Kristen dari Staat (UU Negara) itu, tidak lain melainkan
lantaran dalam agama Kristen tidak ada cara mengatur pemerintahan. Dari Zaman
Nabi Isa sampai sekarang belum terdengar ada satu staat menjalankan hukum
agama Kristen, bukan begitu keadaan Islam
(S): “Bahwa kehilangan pengaruh Islam di Turki ialah lantaran di urus oleh
pemerintah (sebelum Mustafa kamal). Umat terikat kaki tangannya kepada politik
pemerintah yang mengurus agama.
Dimana saja pemerintahannya campur tangan dalam urusan agama, disitu ia jadi
penghalang besar tk dapat dienyahkan”
(A): Pengaruh Islam hilang di Turki lantara oleh pemerintah, Ini bisa jadi. Tetapi kita
mesti lihat, apakah pemerintah sudah urus dengan secara Islam betul-betul ataukah
dengan semau-maunya.
Sepanjang Tarikh memang sudah lama sultan-sultan Turki jadikan Islam sebagai
perabot saja, tidak dijalankan Islam urus Islam sebagaimana mestinya.
Ini tidak berarti bahwa agama itu tidak layak dijadikan agama staat, ini tidak berarti
bahwa Islam tidak sanggup mengurus dunia.
Kalau satu kerajaan sudah dijadikan Islam sebagaimana hingga ia jadi halangan
bagi kemajuan dan hilang pengaruhnya, maka siapakah yang bersalah dalam
urusan ini? Kerajaan ataukah agama?
Kalau disatu tempat, kebangsaan orang jadikan perabot buat memecah, maka
maukah Tuan Soekarno buang dan singkirkan kebangsaan seperti tersebut?”
(S): “Bahwa jadi Wet negeri di Turki diambil Code Switzerland sama sekali buat
mengganti Wet Familie (Islam)”
(A): Orang Islam tahu bagaimana hukumnya satu negeri Islam yang tidak dijalankan
hukum Allah dan RasulNya didalam perkara dunia dan ibadah. Keadaan yang begini
terang fisq-nya, zhulmnya, atau kufurnya, menurut firman Allah”
(S): Quran sama sekali di Turkikan sabagai Bybel di belandakan atau diinggriskan
(A): Saya setuju quran dipindahkan kepada sekalian bahasa dalam dunia, tetapi
dengan menghilangkan teksnya yang dengan huruf Arab. Lantaran faham yang kita
dapat dari satu bahasa “A” belum tentu kita dapati dari bahasa lain yang disalin dari
bahasa “A” itu
Wet belanda ditulis dengan bahasa Belanda. Kalau Wet itu sudah disalin kedalam
bahasa melayu, maka di beberapa tempat, faham yang kita dapati dari buku wet
dalam bahasa Melayu itu tidak sama dengan yang kita ambil dari buku wet bahasa
Belanda. Begitulah sebaliknya. Dan lain-lain; perkara begini mudah, tidak patut
lenyap dari Soekarno
(S): Bahwa Turki bukan fanatic agama. Turki belum lama masuk Islam. Dulunya
mereka beragama lain. Lantaran itu, tidak heran kalau mereka buang urusan-urusan
lama, walaupun mengenai agama atau berlawanan dengan agama.
(A): “saya tidak tahu dari jempol mana Tuan Soekarno isap perkataan Turki tidak
fanatic agama” itu bisa jadi. Siapa yang membaca tarikh kerajaan Turki diwaktu
damai dan dalam masa perang, niscaya dapat tahu kedustaan omongan tuan
Soekarno itu. Dengan kefanatikan agamalah dulunya bangsa Turki terkenal dan
dapat kemenangan yang besar dan luas. Tentara-tentaranya diberanikan dengan
suntikn agama, Sebelum islam, Turki tidak terkenal sebagai satu bangsa yang
terkemuka, sesudah melepaskan agama, menyembah serigala putih, lantas
memeluk islam, termasyhurlah mereka.
Bahsa Turki umunya fanatic kepada islam. Hanya kefanatikannya itu ada tingkatnya.
Tetapi Turki sebagaimana lain-lain bangsa juga, ada didalamnya intelek-intelek
sontoloyo.
Kebetulan intelek-itelek sontoloyo dan kebaratan ini berkuasa, lantas menindas
kaum-kaum agama, hingga tidak dapat bergerak.
Kalau sekiranya Tuhan takdirkan Anwar Pasja dapat kemenangan, tentulah Turki di
waktu ini jadi pusat persatuan Islam sedunia, dan tidak ada orang yang mengatakan
Turki tidak fanatic agama. Orang Barat tidak memusuhi Turki dan hendak hapuskan
di dari Eropa, melainkan lantaran fanatic agamanya
Apa boleh buat, dalam perjuangan antara kau Islamji dan Turkji (kebangsaan)
menang!
(S): manakala zaman modern memisahkan urusan dunia daripada urusan spiritual
maka ia adalah menyelamatkan dunia dari kebencanaan dan ia memberi kepada
agama itu satu singgasana yang maha kuat di dalam kalbunya kaum yang percaya”
(A): Tuan Soekarno rupanya belum atau tidak tahu, bahwa bencana dunia yang
begini banyak datangnya lantaran neger-negeri tidak diurus menurut agama yang
sebenarnya, Kalau dunia diurus secara agama, niscaya selamatlah dunia dari
semua bencana.
Dengan memisahkan agama dari negeri higga tidak ada ketua yang berhak
menghukum orang-orang yang melanggar perintah agamanya itu, bukan berarti
memberi singgasana yang kuat dihati pemeluknya, tetapi bermakna menyediakan
liang kubur yang dalam buat agama itu
(S): bahwa hal pemisahan itu, rakyat Turki terima dengan gembira dan besar hati”
(A): “Ini Satu Dusta Besar yang muncul dari Tuan Soekarno. Tuan Soekarno sudah
baca 41 buah buku tentang Turki, tetapi rupanya di situ tidak ia bertemu bagaimana
tidak senangnya rakyat Turki yang terbanyak kepada hal pemisahan itu!!
Tuan Soekarno mesti baca juga lain-lain buku yang menyalin teriakan rakyat Turki
dari perbuatan-perbuatan mulhidin-mulhidin itu.
Di akhir bantahannya ini A.Hassan mengajukan sebuah buku yang mungkin belum
ditelaah Soekarno Yakni “Grey Golf: An Intimate Study of a Dictator by H.C
Armstrong” Terhadap buku tersebut A.Hassan memberikan catatan ringkas sebagai
berikut
“Didalam buku diterangkan tarikh Mustafa kamal dari kecil sampai jadi dictator turki.
Di situ diceritakan kepandaian dan keberaniannya dalam urusan perang dengan
sepenuh-penuhnya. Diterangkan pula Keras kepalanya dan maksudnya membuang
raja dan agama, yang sudah ada padanya selagi ia muda.
Di sebut hal kesukaanya kepada minuma keras dan berjudi, hingga masa ia jadi
dictator. Diriwayatkan kegemarannya pada perempuan-perempuan bibir merah,
untuk memuaskan nafsunya semata-mata
Dikisahkan bagaimana ia ambil perempuan, buang perempuan dengan jalan tidak
halal, hingga seorang perempuan yang bernama Fikriah mati bunuh diri lantaran
malu dan makan hati.
Ditarikhkan bagaimana ia mengusir dan membunuh teman-temannya yang sama-
sama dapatkan kemenangan, tidak lain lantaran mengadakan oposisi dan tidak mau
menjadikan ia dictator
Apa yang saya sebut hanya sedikit dari orang banyak. Orang yang begitu sifatnya
hendak dijadikan tauladan oleh Tuan Soekarno, yang dibuntuti oleh Tuan
Abdurrahman Baswedan, Hingga membikin artikel panjang lebar memuji-muji Turki”
(A.Hassan, Islam dan kebangsaan:131-132)
http://segarkaniman.wordpress.com/2011/07/03/debat-a-hassan-vs-soekarno/
Islam yang kita catut dari Kalam Ilahi dan sunnah bukan apinya, bukan nyalanya, bukan!
Tapi abunya, debunya, ach, ya asapnya, abunya yang berupa celak mata dan
surban……..abunya yang bisanya cuma baca Fatihah dan tahlil, bukan apinya yang
menyala-nyala dari ujung zaman satu ke zaman yang lain.
(Ir. Soekarno, 1940)
Dalam diskursus politik Islam Indonesia, Sukarno selalu diposisikan sebagai penentang
gerakan Isam paling wahid yang harus berhadapan dengan pemikir-pemikir Islam taat
seperti M. Natsir. Bahkan, H. Agus Salim pernah menuduhnya telah keluar dari Islam. Tidak
hanya itu, tidak jarang namanya diidentikkan dengan Kemal at-Taturk yang menghapus
lembaga khilafat dan melakukan sekularisasi menyeluruh di Turki. Sangat gampang mencari
pembenaran atas sekularisme Sukarno. Dia-lah penentang gigih visi Islam sebagai asas
negara. Dia pula yang telah membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi.
Parahnya, dia sempat diposisikan sebagai musuh Islam karena hubungan dekatnya dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Begitulah aktivis Islam Politik pada waktu itu merayakan
kebenciannya pada Sukarno dengan mendukung Suharto naik tahta. Tentu, sangat tidak
adil kalau hanya menuduh tanpa menelaah pemikiran dan dasar-dasar keyakinannya.
Risalah pendek ini berambisi membuka (kembali) lembaran pemkirian keIslaman dan
relijiusitas Sukarno.
Nama Sukarno kecil adalah Koesnososro, tapi karena sering sakit, kemudian namanya
diganti Sukarno. “Nama kelahiranku adalah Kusno. Aku memulai hidup ini sebagai anak
yang penyakitan. Aku mendapat malaria desenti, semua penyakit dan setiap penyakit.
Bapak menerangkan, namanya tidak cocok dan harus diganti supaya tidak sakit lagi. Aku
belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan penggantian nama padaku. Dia
bilang “Kus engkau akan kami beri nama Karno”. Karno adalah pahlawan terbesar dalam
cerita Mahabarata”. Begitulah Sukarno menceritakan kisah hidupnya. (Cindy Adam, Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Gunung Agung, 1966)
Sukarno melewati masa kecilnya di Tulungagung (Kediri) bersama kakeknya yang kesohor,
Raden Hardjodikromo. Di Tulungagung Sukarno selalu menikmati malam dengan menonton
pertunjukan wayang. Dia menghayati cerita-cerita wayang yang diambil dari tokoh-tokoh
sejarah dan legenda Jawa. Salah satu cerita kesukaannya adalah perang Bharata
Yudha yang mengisahkan perjuangan kaum Pandawa melawan kaum Kurawa dalam
memperebutkan kerajaan Ngastina yang merupakan hak kaum Pandawan tapi sudah
dikuasai oleh kaum Kurawa.
Sekolah formalnya dia tempuh di Sekolah Dasar Bumi Putra Mojokerto, kemudian
melanjutkan ke Sekolah Dasar Belanda (Eoropees Logere School, ELS). Setelah lulus dia
melanjutkan ke sekolah lanjutan, Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Di sana dia
tinggal bersama Tjokroaminoto, pimpinan Sarekat Islam (SI). Setelah itu, Sukarno
melanjutkan ke sekolah tinggi teknik, Tesnische Hogere School (THS) di Bandung.
Surabaya adalah kota persentuhan Sukarno dengan dunia pemikiran. Tjokroaminito sering
mengajak Sukarno menghadiri acara SI dan ikut nimbrung dalam pertemuan-pertemuan
tokoh-tokoh SI di rumah Tjokroaminoto. Salah satu tokoh yang saering diikuti obrolan dan
ceramahya oleh Sukarno adalah kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri dan pimpinan
Muhammadiyah.
Namun justeru persentuhannya dengan Hadits dan Fiqh inilah, Sukarno menemukan
penyebab kemunduran Islam, yakni banyaknya hadits dhaif yang terlanjur diterapkan dan
kerangkeng fiqh terhadap jiwa Islam. Dalam suaratnya yang ketiga kepda A. Hasan,
Sukarno mengatakan bahwa hadits dhaif dan palsu inilah penyebab Islam diliputi kabut
kekolotan, ditambah lagi dengan fiqh yang hampir memadamkan api Islam. Padahal
menurutnya, tidak ada agama yang sangat rasional dan maju seperti Islam. Dan dalam
suratnya yang keempat Sukarno mengatakan bahwa tugas utama pemimpin Islam saat ini
adalah perjuangan melawan kekolotan, perjuangan melawan Islam sontoloyo agar Islam
kembali pada jiwanya sebagai Islam kemajuan. (Sukarno, Surat-Surat Islam dari
Endeh, dimuat kemabil dalam Dibawah Bendera Revolusi, 1964)
Menuju Islam Kemajuan
Dalam tulisannya berjudul Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Sukarno terusik
dengan perkataan Prof. Tor Andrea bahwa Islam saat ini sedang manjalani “ujian apinya
sejarah. Kalau ia menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia kalah, ia
akan merosot ketinggalan selaman-lamanya”. Perkataan ini sangat menggelisahkan
Sukarno, maka pemikiran keIslamannya ia maksudkan agar Islam menang dalam ujian
apinya sejarah itu. Untuk menang, yang harus dilakukan Sukarno adalah mencari hukum-
hukum sejarah, termasuk sebab-sebab kemunduran dan kemajuan umat Islam. Tema ini
sebenarnya merupakan tema sentral dalam pergulatan pembaharuan Islam yang dimulai
oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Mula-mula mereka terusik oleh kemajuan Barat, lalu bertanya kenapa Islam mundur.
Kemudian, Afghani mengeluarkan diktum terkenal: Barat maju karena meninggalkan
agamanya dan Islam mundur juga karena meninggalkan agamanya. Maka untuk maju umat
Islam harus memperkuat tali agamanya dengan kempali pada Islam otentik (quran-hadits).
Dengan pergulatan yang sama, Sukarno mengatakan bahwa penyebab kemunduran Islam
adalah kesenjangan yang lebar antara perkembangan masyarakat yang tunduk pada
hukum-hukum sejarah dengan pemahaman dan doktrin Islam. Masyarakat sudah hidup di
zaman kapal udara sementara pemahaman dan doktrin Islam masih hidup di zaman onta.
Kembali ke quran dan hadits saja tidak cukup jika cara berfikir dan pemahamannya masih
pemahaman zaman onta.
Yang dibutuhkan oleh umat Islam adalah lompatan historis dan berani memandang
zamannya sesuai dengan pemahaman dan cara fikir zamannya dengan dilandasi kalam ilahi.
Dalam suratnya yang terahir kepada A. Hasan, Sukarno mengatakan bahwa quran dan
hadits bisa menjadi pembawa kemajuan, suatu api yang menyala, kalau kita baca quran
dan hadits itu berdasar pengetahuan umum dan science.(Sukarno, Surat-surat Islam dari
Endeh, dimuat kembali dalam DBR, 1964)
Sukarno menyaksikan peristiwa aneh karena di zaman kapal udara masih ada orang yang
mau kembali pada zaman onta, dan bahkan ada pula yang tidak mau maju tapi juga tidak
mau mundur. Mereka duduk termangu menyaksikan lalu lalang perubahan dan kemajuan
yang suatu saat akan melindasnya.
JAKARTA- Tokoh Islam, Ahmad Syafii Maarif atau yang disapa Buya Syafii Maarif
mengajak umat Islam untuk mempelajari kembali perjuangan presiden pertama
Republik Indonesia Soekarno, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam.
"Bung karno tu sangat rindu agar Islam agar tidak dinjak-injak sampai sekarang,
Islam harus memimpin, Islam harus membangun peradaban yang berguna bagi
kemanusian. Kita harus belajar, perlu belajar ke Bung Karno, konsep dia sebelum
presiden itu sangat otentik soal ke-Islaman," kata Syafii Maarif di acara seminar
Nasional memperingati Bulan Bung Karno dengan tema "Soekarno dan Islam" di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (7/6/2012).
Buya Syafii menyayangkan adanya tindakan intoleransi atas nama Islam yang kerap
terjadi akhir-akhir ini. Menurutnya, intoleransi ini terjadi lantaran pemahaman Islam
yang tidak holistik, dan itu bukan cita-cita keislaman kebangsaan Soekarno yang
tertuang di Pancasila.
"Itu karena aktualitas pemahamannya tidak holistik, tidak menyeluruh, jadi melihat
Islam itu dari secara ad hoc, secara berkeping-keping. Islam itu kan rahmatan lil
alamin, rahmat bagi alam semesta, temasuk orang yang tak beragama. Bung karno
melihat itu. Itu hebatnya bung Karno. Bisa dilihat itu dari surat-suratnya beliau waktu
di Pulau Ende," kata Buya.
Menurut catatan Buya, api semangat keislaman Soekarno bisa dilihat dari catatan
Bung Karno pada masa pembuangan ke Sukamiskin, Bandung, maupun di pulau
Endeh. Dalam masa pembuangan itu, Soekarno berdialog tentang Islam via surat-
menyurat dengan Ahmad Hassan, tokoh Persatuan Islam kelahiran Singapura.
on 02.51
No Comment
Jauh sebelum NKRI berdiri, Nanggroe Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah
kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah.
Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk
Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah
Belanda.
Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh
Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan
sebutan “Kakak” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik
dalam catatan sejarah:
Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil
bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia
dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati
dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu
berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah
sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati
syahid.”
Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang
seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku
Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang
bersemboyan merdeka atau syahid.
Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden.
Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila
perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan
Syariat Islam di dalam daerahnya.”
Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat
Indonesia beragama Islam.”
Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan
bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata
ketentuan dari Saudara Presiden.”
Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”
Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima
kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan
secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas
kertas ini.”
Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak.
Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,
Soekarno berkata, “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa
gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud
Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi
sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan
kami ajak untuk berperang.”
Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno berjanji, “Wallah, Billah, kepada daerah Aceh
nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat
Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-
benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak
masih ragu-ragu juga?” Daud Beureueh menjawab, “Saya tidak ragu Saudara Presiden.
Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas
kebaikan hati Saudara Presiden.”
Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh,
Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya
tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-
janji presiden itu.
Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh
bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951,
belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan
disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah
berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan
menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik
Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali
malah dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah
rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena
peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telah menjilat
ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah.
Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak termaafkan.
Sejarah telah mencatat bagaimana rezim Soekarno juga telah melakukan penindasan
terhadap umat Islam, terutama di tahun 1959-1965, di saat Soekarno bersedia
dijadikan presiden seumur hidup dan demokrasi terpimpin.
Salah satu contoh, ini dipaparkan Ridwan Saidi, jika rezim Soekarno menyiksa Ustadz
Ghazali Sjahlan hingga dia hanya diberi “makanan” berupa tetesan air pisang busuk
selama di penjara.
Pada 16 Agustus 1945 petang hari, Soekarno dan Hatta dijemput oleh Ahmad
Soebardjo, seorang kepercayaan Jepang, dan setelah Ahmad Soebardjo memberikan
jaminan kepada para pemuda PETA di Rengasdengklok, bahwa Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan besok, 17 Agustus 1945, barulah para
pemuda itu melepaskan BK dan Bung Hatta kembali ke Jakarta. Di Jakarta mereka
membicarakan sekitar Proklamasi di rumah Laksamana Muda Maeda, jalan Imam Bonjol
No.1 sampai pukul tiga dini hari. Terjadilah dialog menarik antara BK dengan
Soebardjo, seperti diceritakan dalam buku Lahirnya Republik Indonesia:
Masih ingatkah saudara, teks dan bab Pembukaan Undang-undang Dasar kita?
Soekarno kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuai dengan apa yang
saya ucapkan sebagai berikut: “Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaan.”
Di samping itu, Soebardjo mengakui pula: "Suatu kenyataan bahwa teks dari
Proklamasi telah dirumuskan dalam apa yang dinamakan Piagam Jakarta, tanggal 22
Juni 1945. Rumusan ini hasil dari pertimbangan pertimbangan mengenai kata
pembukaan atau Bab Pengantar dan undang-undang dasar kita oleh sembilan komite di
mana Soekarno sendiri adalah ketuanya” (Mr.Ahmad Subardjo, Lahirnya Republik
Indonesia, hlm. 108, PT Kinta, Jakarta 1972). Soebardjo kemudian menjadi Menlu RI
yang pertama.
Dalam versi lain, Hatta berkomentar seperti ini,… Kalimat itu hanya menyatakan
kemauan Bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebab itu, mesti ada
komplemennya yang menyatakan bagaimana caranya menyelenggarakan Revolusi
Nasional. Lalu, menurut Hatta, ia diktekan kalimat berikut: “Hal-hal yang mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam
tempo yang sesingkatsingkatnya.” (Mohammad Hatta, sekitar Proklamasi 17 Agustus
1945 hlm. 50, Tinta Mas, Jakarta 1969).
Mestinya Soekarno, Hatta dan Subardjo dimalam itu tidak perlu membicarakan teks
proklamasi, teks yang sebenarnya telah selesai dipersiapkan oleh BPUPKI dua bulan
sebelumnya. Malam itu cukup mereka membicarakan masalah teknis pelaksanaan,
tempat, jam berapa akan diucapkan, siapa yang akan mengucapkan dan siapa-siapa
yang akan diundang. Adapun teks Proklamasi tidak perlu dibicarakan lagi, sebab sudah
ada dan sudah final, tidak perlu diubah-ubah lagi.
Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada
22 juni 1945 itu sesuai dengan lafal atau teks Piagam Jakarta. Jelasnya teks Proklamasi
itu haruslah berbunyi:
PROKLAMASI
Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di
atas dunia harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan.
Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa dan di dorong oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini Rakyat Indonesia menyatakan
kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Republik
Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
pedamaian abadi, dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang
berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia.
Abikusno Cokrosuyoso
H. Agus Salim
Demikian teks Proklamasi Asli yang harus di-kumandangkan bergema dan mengudara
setiap Proklamasi di kumandangkan pada tanggal 17 Agustus. Tetapi hal itu tidak
terjadi karena penyelewengan dan penghianatan sejarah.
Ada perjanjian terselubung di balik Konferensi Meja Bundar (KMB), di balik peristiwa
sejarah yang disebut-sebut menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia
itu, tersembunyi perjanjian pembayaran utang-utang penjajah kolonial Belanda.Fakta
yang sangat mencengangkan dari perjanjian yang digelar di Den Haag Belanda, 23
Agustus 1949, itu diceritakan kembali oleh Pengamat Ekonomi, Revrison Baswir, saat
mengisi sebuah seminar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
"Ternyata, di balik pendirian IGGI pun ada udang di balik batu. Logikanya sederhana.
IGGI dibentuk, Belanda ketuanya, dengan syarat Indonesia harus mau membayar
utang peninggalan Hindia Belanda. Akhirnya, pada 1967-1968,Soeharto, melakukan
reschedulling pembayaran utang tersebut," Hingga pada 1968 disepakati jika utang
Hindia Belanda akan dicicil Indonesia dalam tempo 35 tahun. "Utang tersebut baru
lunas pada 2003. Sekarang, utang Indonesia di luar utang Hindia Belanda bersisa 66,8
miliar dolar AS. Dengan utang sebesar ini, mau lunasnya kapan?" katanya.
Dalam perundingan KMB diputuskan, bahwa Pemerintah RIS harus membayar utang
Pemerintah India Belanda kepada Pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar Gulden. Di
dalam jumlah ini, termasuk biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda untuk
melancarkan agresi militer I tahun 1947 dan II tahun 1948.Pemerintah Indonesia
membayar cicilan hingga mencapai 4 milyar gulden sampai tahun 1956, dan
pembayaran dihentikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap tahun 1956. Jadi Indonesia
membayar biaya untuk agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda kepada
Indonesia.Selain itu, Pemerintah Orde Baru tahun 1969 menyetujui kompensasi bagi
perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi di masa Presiden
Sukarno.Kompensasi sebesar 350 juta US $ dicicil dan baru lunas tahun 2003.Hal ini
berbeda dengan informasi oleh Baswir bahwa Indonesia tidak membayarkan hutang tsb
selama periode 1945-1965. Berdasarkan informasi dari KUKB, justru sampai tahun
1956, Pemerintah Indonesia telah membayarkan hingga jumlah 4 milyar gulden.
Sedangkan pada masa orde baru, pemerintah membayarkan kompensasi atas
nasionalisasi perusahaan Belanda (bukan yg 4.5 milyar gulden), yang totalnya 350juta
US$ dan lunas pada tahun 2003.
Tahun 1940, Bung Karno sudah dikenal luas sebagai tokoh pergerakan,
lokomotif perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagian masyarakat juga
mengenal Bung Karno melalui tulisan-tulisannya yang tajam dan kritis di
berbagai media massa cetak. Bersama teman-teman seperjuangan, Bung
Karno menerbitkan majalahFikiran Ra’jat di Bandung. Selain menulis rutin,
sesekali Bung Karno juga melukis karikatur. Selain itu, Bung Karno juga
menulis berbagai artikel di berbagai media massa cetak.
Pernah satu ketika, di tahun 1940, Bung Karno menulis artikel di majalah
Panji Islam berjudul “Islam Sontoloyo”. Saya mencoba mencari literatur
tentang makna, arti, pengertian harfiah “sontoloyo”. Agak susah
mendefinisikan…. Ia seperti sebutan lain semisal “semprul”, “abal-abal”,
“gombal”, “preketek”… saya kira masing-masing daerah punya idiom sendiri-
sendiri untuk menggambarkan pengertian itu secara lebih pas dan membumi.
Yang menarik, Bung Karno mengutip hampir utuh sebuah berita guru mengaji
yang mencabuli murid-muridnya, yang dimuat di suratkabar Pemandangan.
Dituturkan, ihwal kelakuan si guru ngaji yang menjalankan salah satu ritual
pengajian setiap malam jumat. Para murid diajak berdzikir dari maghrib
hingga subuh. Sebelumnya, mereka harus meneriakkan kalimat “Saya
muridnya Kiyai…. (nama kiyai itu)”. Dengan berseru demikian, katanya, Allah
SWT mengampuni dosa-dosa mereka.
Kalau seorang murid lelaki yang punya istri, pertama, si suami diminta
menjatuhkan talak tiga. Seketika juga peremuan itu dinikahkan dengan lelaki
lain (kawan muridnya juga), menudian menalaknya lagi, berturut-turut tiga
kali dinikahkan dan diceraikan lagi. Keempat kalinya dinikah oleh kiyainya
sendiri.