Anda di halaman 1dari 25

SINUSITIS JAMUR

A. PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter

sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan

tersering diseluruh dunia. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa

sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering

disebut rinosinusitis.1

Salah satu penyebab sinusitis adalah infeksi jamur. Insiden sinusitis jamur

pada saat ini telah meningkat pada populasi imunosupressan. Sinusitis jamur

merupakan penyakit yang ditandai oleh peradangan pada mukosa sinus yang

disebabkan oleh infeksi jamur Aspergillus (Fumigatus, Niger, Flavus),

Mucormycosis, Candida (Albicans), Scedosporium, Pencillium. Penyakit ini

sebagian besar ditemukan pada pasien dengan defisiensi imun, petani,

pembersih sampah, dan pasien dengan penggunaan semprotan hidung yang

berkepanjangan.2,3

Sinusitis jamur adalah proses penyakit yang relatif sering terjadi dan sering

salah didiagnosis. Penyakit ini merupakan suatu kondisi yang memerlukan

penaganan dengan tepat, karena beberapa bentuk sinusitis jamur dikaitkan

dengan angka kematian yang tinggi. 4

Infeksi yang lebih serius biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes yang

ditandai oleh sifat invasifnya, berupa kerusakan jaringan, dan onset yang cepat.

Oleh karena itu deteksi dan perawatan dini sangat penting untuk infeksi ini.5
B. DEFINISI

Fungal rhinosinusitis atau sinusitis jamur merupakan suatu infeksi jamur

pada sinus paranasal, angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya

pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obatan imunosupresan dan

radioterapi. Sinusitis jamur patut dicurigai pada pasien dengan sinusitis

unilateral, yang sukar disembuhkan dengan terapi antibiotik.1

C. EPIDEMIOLOGI

Insiden sinusitis jamur mempunyai angka yang bervariasi di seluruh dunia.

Penelitian Grigoriu et al., di Eropa mendapatkan 81 kasus infeksi yang

disebabkan jamur pada 600 kasus rinosinusitis kronis maksila. Penelitian

lainnya oleh Chakrabarti et al., di Asia 50 kasus (42%) rinosinusitis disebabkan

infeksi jamur. Penelitian See Goh et al. di Malaysia memaparkan 16 kasus

infeksi jamur pada 30 penderita sinusitis kronis maksila. Selain itu sebanyak 6-

8% kasus rinosinusitis kronik yang dilakukan pembedahan terdapat jamur pada

specimen biopsinya. Pada beberapa penelitian dikemukakan bahwa terdapat

10% kejadian sinusitis jamur yang menyertai polip pada cavum nasi.2,6,7

D. ETIOLOGI

Sinusitis jamur noninvasif terbagi dalam dua bentuk yaitu allergic fungal

sinusitis dan sinus mycetoma/fungal ball. Kebanyakan penyebabnya adalah

Curvularia lunata, Aspergillus fumigatus, Bipolaris dan Drechslera. A.

Fumigatus dan jamur dematiaceous kebanyakan menyebabkan sinus

mycetoma.5
Pada sinusitis jamur invasive yang mempunyai angka mortalitas yang tinggi

penyebab terbanyak berupa Jamur saprofit selain Mucorales, termasuk

Rhizopus, Rhizomucor, Absidia, Mucor, Cunninghammela, Mortierella,

Saksenaea, dan Apophysomyces sp. A. Fumigatus satu-satunya jamur yang

dihubungkan dengan sinusitis jamur invasif kronik. Sementara Aspergillus

flavus khusus dihubungkan dengan sinusitis jamur invasif granulomatosa.5

E. ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL1

1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada setiap individu.

Ada empat pasang sinus paranasal mulai dari yang terbesar yaitu sinus

maksilla, sinus frontal, sinus ethmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

sehingga terbentuk rongga didalam tulang. Semua sinus mempunyai

muara ke rongga dalam hidung.


Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal1

a) Sinus Maksilla

Merupakan sinus terbesar, dengan volume 6-8 ml pada saat lahir dan

sampai 15 ml setelah dewasa, sinus maksila berbentuk pyramid.

Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksilla yang disebut

fossa krania, dinding posteriornya adalah infratemporal-maksilla,

dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding

superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus

alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilla berada disebelah

posterior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris

melalui infundibulum etmoid.


b) Sinus Frontal

Terbentuk mulai bulan ke empat fetus, yang berasal dari resesus frontal

atau dari sel sel infundibulum etmoid. Sinus frontal dengan ukuran 2,8

cm tingginya, lebar 2,4 cm dan dalam 2 cm. Sinus frontal dipisahkan

oleh tulang yang relative tipis dari orbita dan fosa serebri, sehingga

infeksi dari sinus frontalis mudah menjalar ke tempat ini. Ostiumnya

berada diresessus frontal yang berhubungan dengan infundibulum

etmoid.

c) Sinus Etmoid

Sinus yang paling bervariasi, dan merupakan focus infeksi dari sinus

sinus yang lain. Bentuknya berongga yang terdiri dari sel sel yang

menyerupai sarang tawon, terdapat dalam massa bagian lateral os

etmoid diantara konka media dan dinding media orbita. Sinus

etmoidalis terbagi menjadi sinus etmoid anterior dan posterior, yang

bermuara di meatusmedius, dan posterior yang bermuara di meatus

superior. Atap sinus disebut fovea etmoidalis, berbatasan dengan

lamina kribrosa, dinding lateral adalah lamina papirasea, yang

membatasi etmoid dengan rongga orbita. Baian belakang berbatasan

dengan sinus sfenoid

d) Sinus Sfenoid

Sfenoid dibagi dua oleh sekat septum intersfenoid, ukurannya adalah

tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya 5

sampai 7,5 ml. Sebelah superior terdapat fossa serebri media dan
kelenjar hipofise, sebelah inferiornya atap nasofaring, lateral dengan

sinus cavernosa dan arteri karotis iterna, posterior dengan fsa serebri

posterior didaerah pons.

2. Fisiologi Sinus Paranasal

Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus

paranasal. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus

paranasal antara lain:

a) Sebagai Pengatur Kondisi Udara

Sinus berfundi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan

mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam

ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali

bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran total

dalam sinus.

b) Sebagai Penahan Suhu

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan panas, melindungi orbita

dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

c) Membantu Keseimbangan Kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang

muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya

akan memberikan pertambahan berat 1% dari berat kepala.

d) Membantu Resonansi Suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suaradan

mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi


sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai

resonator yang efektif. lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi

suara dan besarnya sinus.

e) Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan

mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

f) Membantu Produksi Mukus

Mucus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena

mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

F. KLASIFIKASI SINUSITIS JAMUR,2,5,8

Para ahli membagi sinusitis jamur menjadi 2 bagian besar yaitu yang bersifat

non invasive dan bersifat invasive. Sinusitis non invasive atau yang disebut

dengan misetoma merupakan kumpulan jamur di dalam rongga sinus tanpa

invasi ke dalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang. Sinusitis non invasive

ini kemudian dibagi lagi menjadi Mycetoma Fungal Sinusitis/Fungal Ball,

Allergic Fungal Sinusitis. Sementara sinusitis jamur yang bersifat invasive

adalah infeksi jamur pada rongga sinus yang dapat menginvasi sampai ke

jarngan, vascular, bahkan dapatmenginvasi sampai ketulang, sinusitis jamur

yang bersifat invasive terbagi menjadi Acute Invasive Fungal Sinusitis,

Chronic Invasive Fungal Sinusitis..


1. Sinusitis Jamur Non Invasif

a) Mycetoma Fungal Sinusitis/Fungal Ball

Di mana terdapat gumpalan-gumpalan spora yang disebut fungal ball,

di dalam kavitas sinus, frekuensi terbanyak pada sinus maksilaris.

Organisme yang terlibat paling sering adalah famili Aspergillus. Pasien

dengan kondisi ini biasanya mempunyai riwayat infeksi sinus yang

rekuren, gejalanya biasanya hampir mirip dengan sinusitis bakteri.

Gambar 2. Fungal Ball pada Sinus Maksilaris2

b) Allergic Fungal Sinusitis

Merupakan suatu reaksi alergi yang terjadi akibat respon pada

lingkungan di sekitar jamur yang tersebar ke udara. Jamur yang terlibat

paling banyak family Dematiceous, termasuk Bipolaris, Curvularia,

dan Alternaria. Infeksi jamur pada rongga sinus dapat mencetuskan

respon allergi, yang berujung pada produksi mucus dan pembentukan

polip nasi sebaga respon terhadap alergi tersebut. biasanya sinusitis

jamur yang bersifat alergi ini dapat mengenai lebih dari satu sinus pada

satu sisi, namun kedua sinus di sisi kiri dan kanan dapat terkena

sekaligus bila infeksinya berat. Seperti pada fungal ball, gejalanya bisa
sama dengan sinusitis bakteri. Polip nasal dan sekret yang kental

biasanya didapatkan pada pemeriksaan nasal.

Gambar 3. Allergic Fungal Sinusitis4

2. Sinusitis Jamur Invasif

a) Acute Invasive Fungal Sinusitis

Sinusitis jamur invasif akut proses perkembangannya cepat dan tumbuh

ke dalam jaringan sinus dan tulang. Sinusitis jamur tipe ini ditemukan

pada pasien dengan immunocompromised. Contohnya setelah

mendapatkan kemoterapi atau pasien dengan diabetes yang tidak

terkontrol. Pada sinusitis jamur tipe invasive akut dapat ditemukan ada

invasi jamur ke jaringan dan vascular. Imunitas yang rendah dan invasi

pembuluh darah menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan

merusak dinding sinus, jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum

nasi, mukosa berwarna biru kehitaman da nada konka atau septum yang

nekrotik. Sering berakhir dengan kematian.


Gambar 4. Acute Invasive Fungal Sinusitis4
b) Chronic Invasive Fungal Sinusitis

Sinusitis invasif akut dan kronik adalah tipe paling serius dari sinusitis

jamur, dan untunglah hanya sedikit yang ada. Sinusitis jamur invasif

kronik perkembangannya lebih lambat dan tumbuh ke dalam jaringan

sinus dan tulang. Bersifat kronik progresif namun gambaran kliniknya

tidak sehebat sinusitis jamur invasive akut, hal ini disebabkan oleh

perjalanan penyakit yang lebih lambat. Secara mikroskopik, ditandai

dengan infiltrat inflammatory granulomatosa. Jamur yang paling sering

adalah famili Rhizopus, Mucor, dan Aspergillus.

G. DIAGNOSIS

1. Anamnesis dan Gejala Klinis

Sinusitis jamur dapat terjadi pada pasien dengan sinusitis kronik, yang

memiliki faktor predisposisi seperti neutropenia, AIDS, penggunaan

jangka panjang kortikosteroid atau antibiotik spektrum luas, diabetes yang

tidak terkontrol, atau imun yang rendah. Perlu diwaspadai adanya sinusitis

jamur pada kasus berikut: sinusitis unilateral, yang sukar disembuhkan


dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran kerusakan tulang dinding sinus

atau bila ada membran berwarna putih keabu-abuan pada irigasi antrum.5,8

a) Mycetoma Fungal Sinusitis/Fungal Ball

Tipe ini tidak membuat kerusakan mukosa dan tulang. Sering hanya

unilateral dan kebanyakan mengenai sinus maksilaris. Gambaran

klinisnya menyerupai sinusitis kronis yaitu secret yang purulen,

obstruksi hidung, sakit kepala satu sisi, nyeri wajah, adanya post nasal

drip, dan nafas yang berbau, kadang-kadang dapat terlihat massa jamur

bercampur sekret di dalam kavum nasi. Pada operasi mungkin

ditemukan massa yang berwarna coklat kehitaman kotor bercampur

sekret purulen di dalam rongga sinus.5

b) Allergic Fungal sinusitis

Sering mengenai penderita atopi dewasa muda dengan polip hidung

atau asma bronkial. Secara klinis gejalanya mirip dengan sinusitis

kronis berulang atau persisten, lebih sering bilateral dengan keluhan

hidung tersumbat dan sering ditemukan adanya polip.5

Bent dan Kuhn membuat kriteria diagnosis untuk sinusitis alergi jamur

yaitu:9

NO KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR

1 Hipersensitivitas tipe I dikonfirmasi melalui Asthma

riwayat atopic, skin test, atau uji serologi

2 Polip Nasal Predominan pada satu

sisi
3 Gambaran CT Scan menunjukkan material Erosi tulang melalui

yang hiperdens dalam rongga sinus pemeriksaan radiologi

4 Mucus Eosinophilic tanpa invasi jamur ke Kultur Jamur

jaringan sinus

5 Positif terdapat jamur pada prosedur Charcot Leyden Crystal

pembedahan atau melalui endoskopi

6 Imuno Kompeten Serum Eosinophilia

Gambar 5. Kriteria Bent dan Kuhn untuk Allergic Fungal Sinusitis9

c) Invasive Fungal Sinusitis

Bersifat kronis progresif, dapat mengadakan invasi ke rongga orbita dan

intrakranial. Gambaran kliniknya menyerupai penyakit granuloma

hidung. Penderita biasanya mengeluh hidung tersumbat disertai gejala-

gejala sinusitis kronis yang lain. Mungkin terdapat granuloma dalam

hidung dan sinus serta nekrosis jaringan, yang sering menyebabkan

ulkus pada septum.5

2. Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan Laboratorium

Terdapat peningkatan konsentrasi total jamur spesifik IgE pada pasien

dengan allergic fungal sinusitis. Sedangkan pada sinus mycetoma

jarang terjadi. Biasanya >1000 U/ml (normal <50 U/ml). Pasien dengan

allergic fungal sinusitis pada umumnya menunjukkan reaksi positif skin

tes terhadap antigen jamur maupun non jamur.9


b) Pemeriksaan Radiologik1,8,10,12

1) Fungal Ball

Pada foto polos didapatkan penebalan pada mucoperiosteal dan

opasitas komplit pada sinus. Pada pemeriksaan CT-Scan biasa di

dapatkan opasitas pada rongga sinus yang berbatas jelas, dapat

terlihat adanya massa jaringan lunak pada lumen sinus biasanya

terbatas pada satu sinus dan biasanya pada sinus maksilaris, yang

radioopak atau metalik dengan gambaran busa sabun. Gambaran

radioopak ini disebabkan oleh penumpukan kalsium fosfat pada

bola-bola jamur. Pada CT scan nonkontras tampak gambaran

hiperdens dan hipointens pada MRI.

Gambar 6. CT-Scan Fungal Ball13

2) Allergic Fungal Sinusitis

Pada sinusitis alergi jamur biasanya terjadi pada multipel sinus,

biasanya unilateral. Pada CT scan ditemukan gambaran mucin

alergi yang hiperdens dalam lumen sinus paranasalis. Kadang-

kadang ditemukan gambaran dinding sinus yang mengalami erosi.

Sedangkan pada MRI biasanya ditemukan gambaran hiperintens.


Gambar 7. CT-Scan Allergic Fungal Sinusitis13

3) Acute Invasive Fungal Sinusitis

Pada CT scan sinusitis jamur invasif akut ditemukan gambaran

mukosa yang tebal atau opaksifikasi sempurna dari sinus

paranasalis yang terlibat. Tampak destruksi tulang sinus yang

agresif tanpa perluasan.

Gambar 8. CT-Scan Acute Invasive Fungal Sinusitis


4) Chronic Invasive Fungal Sinusitis

Pada CT scan sinusitis jamur infasif kronik ditemukan hiperdens

pada satu atau lebih sinus paranasalis. Tampak gambaran massa

yang dicurigai seperti keganasan. Tampak erosi pada sinus-sinus

yang terlibat dan adanya perluasan ke sekitarnya, seperti ke orbita,

fossa kranial anterior dan jaringan lunak maxillofacial.

Gambar 9. CT-Scan Chronic Invasive Fungal Sinusitis14

c) Pemeriksaan Histopatologik8, 15

Diagnosis yang paling sederhana dan cepat adalah pemeriksaan jamur

dengan menggunakan larutan KOH. Ada pewarnaan khusus seperti

PAS (Periodic Acid Schiff) atau MSS (Methenamine Silver Stain ) yang

lebih baik untuk pemeriksaan sinusitis jamur terutama untuk kasus

sinusitis alergi jamur.


1) Fungal Ball

Gambaran yang bisa di dapatkan adalah massa jamur dengan reaksi

inflamasi minimal di sekitarnya atau eksudat nekrotik fibrinat yang

berbentuk jamur, tidak ada invasi jaringan atau reaksi

granulomatosa. Hifa dapat dilihat pada pewarnaan HE

(Hematoksilin-Eosin)

Gambar 10. Gambaran Histopatologik Fungal Ball15

2) Allergic Fungal Sinusitis

Tanda khas sinusitis alergi jamur adalah polip nasi dan musin

alergi. Pada pemeriksaan histopatologi musin mengandung

eosinofil, kristal Charcot-Leyden dan hifa jamur, dan tidak ada

invasi jaringan.
Gambar 11. Gambaran Histologik Allergic Fungal Sinusitis15

3) Acute Invasive Fungal Sinusitis

Invasi jamur ke submukosa dengan invasi ke pembuluh darah dan

nekrosis yang sering ditemukan pada pasien dengan gejala durasi

kurang dari satu bulan. Dapat pula ditemukan inflamasi granuloma

tanpa perkejuan dengan sel datia berinti banyak.

Gambar 12. Gambaran Histopatologik Acute Invasive Fungal Sinusitis15


4) Chronic Invasive Fungal Sinusitis

Invasi jamur ke submukosa sering disertai dengan peradangan

kronis dan fibrosis pada pasien dengan gejala lama (durasi> 3

bulan)

Gambar 13. Gambaran Histopatologik Chronic Invasive Fungal

Sinusitis15

H. PENATALAKSANAAN11, 12

Terapi utama pada seluruh jenis sinusitis jamur adalah operasi. Pemberian

medikal terapi tergantung pada tipe infeksi dan ada tidaknya invasi.

1. Allergic Fungal Sinusitis

a) Terapi Operatif

Terapi utamanya adalah operasi. Tujuan dari operasi adalah

melakukan debridement konservatif terhadap mucin alergi dan polip

(jika ada) serta mengembalikan aerasi sinus. Dipercayai bahwa


melalui tindakan operasi dapat mengurangi antigen jamur sehingga

tidak terbentuk kompleks imun yang dapat menyebabkan reaksi

alergi. Operasi biasa dilakukan dengan bantuan endoskopi agar

lapangan pandang saat tindakan operasi dapat terlihat dengan jelas.

b) Terapi Operatif

Steroid sistemik dapat diberikan saat akan dioperasi dan diagnosis

telah jelas. Beberapa peneliti menganjurkan prednisone dosis rendah

(0,5mg/kg) dengan dosis tapering selama periode 3 bulan. Steroid

nasal topical sangat membantu setelah operasi. Selain itu juga

direkomendasikan untuk mencuci hidung dengan air garam. Anti

jamur sistemik tidak dianjurkan bila tidak ada invasi.

2. Mycetoma Fungal Sinusitis

Terapi yang direkomendasikan adalah operasi. Apabila fungus ball sudah

dikeluarkan maka tidak diperlukan terapi medikal, kecuali pada kondisi

tertentu. Operasi dilakukan dengan cara menggunakan irigasi bertekanan

rendah, namun pada kasus dengan ukuran fungal ball yang besar dan sulit

dikeluarkan melalui irigasi, dilakukan insisi pada daerah sekitar fungal

ball dengan menggunakan endoskopi. Pemberian anti fungal juga tidak

diperlukan.

3. Acute Invasive Fungal Sinusitis

a) Terapi Operatif

Pada kondisi ini perlu segara dilakukan operasi. Lakukan debridement

radikal pada jaringan yang nekrotik sampai didapatkan jaringan yang


normal. Operasi debridement dilakukan secara luas meliputi rongga

mulut, nasal, sinus, dan jaringan orbita.

b) Terapi Medikamentosa

Dimulai pemberian terapi antijamur sistemik setelah operasi

debridement. Dianjurkan amphotericin B dosis tinggi (1-1,5

mg/kg/hari). Itraconazole oral (400 mg/hari) dapat menggantikan

amphotericin B setelah masa akut lewat.

4. Chronic Invasive Fungal Sinositis

a) Terapi Operatif

Kondisi ini kurang agresif bila dibandingkan dengan tipe akut.

Operasi debridement masih diperlukan. Teknik operasi yang

digunakan adalah teknik invasive minimal atau melalui open

resection. Tujuan operasi ini adalah melaukan debridement secara

luas untuk mengurangi mucin walaupun pada tahap ini invasi ke

tulang mungkin sudah terjadi.

b) Terapi Medikamentosa

Dimulai terapi medikal dengan pemberian antijamur sistemik setelah

didiagnosis invasi. Dianjurkan amphotericin B (2gr/hari); dapat

diganti dengan ketoconazole atau itraconazole bila sudah terkontrol.

Terapi dengan amphotericin B dianjurkan pada pasien dengan

destruksi tulang, penurunan cairan serebrospinal atau gangguan pada

mata yang tidak dapat dieksisi. Sebagai tambahan pada debridemen

post operasi, terapi anti fungal penting pada semua kasus sinusitis
invasi pada pasien dengan penurunan imunitas tubuh. Yang sering

digunakan adalah amphotericin B. Tidak ada batasan yang jelas

mengenai dosis dan lama pemakaian obat ini. Penggunaan yang biasa

dipakai adalah 2 gr perhari selama 6 sampai 2 bulan. Terapi

amphotericin B dengan fluorocitocyn B dilaporkan berhasil untuk

kasus aspergillosis. Tapi amphotericin B memiliki efek samping yang

signifikan antara lain adalah flebitis lokal, demam, menggigil, sakit

kepala, muntah dan nefrotoksik.

I. KOMPLIKASI

Pada alergic fungal sinusitis dapat terjadi erosi pada struktur yang di dekatnya

jika tidak diterapi. Erosi sering dapat terlihat pada pasien yang mengalami

proptosis. Pada mycetoma fungal sinusitis jika tidak diterapi dapat

memperburuk gejala-gejala sinusitis yang berpotensi untuk terjadi komplikasi

ke orbita dan sistem saraf pusat. Pada Acute Invasive Fungal Sinusitis dapat

menginvasi struktur di dekatnya yang menyebabkan kerusakan jaringan dan

nekrosis. Selain itu juga dapat terjadi trombosis sinus kavernosus dan invasi ke

susunan saraf pusat. Pada chronic Invasive Fungal Sinusitis dapat menginvasi

jaringan sekitarnya sehingga terjadi erosi ke orbita atau susunan saraf pusat.

J. PROGNOSIS

1. Mycetoma Fungal Sinusitis

Keadaan ini memiliki prognosis yang sangat baik jika fungus ball dapat

diangkat dan pengisian udara yang adekuat pada sinus dapat dikembalikan.

Tidak dibutuhkan follow-up jangka panjang untuk sebagian besar pasien.11


2. Acute Invasive Fungal Sinusitis

Keadaan memiliki prognosis yang kurang baik. Angka mortalitas

dilaporkan 50%, meskipun dengan operasi yang agresif dan pengobatan.

Kekambuhan sering terjadi.11

3. Chronic Invasive Fungal Sinusitis

Prognosis baik pada pasien yang menerima anti jamur sistemik dalam waktu

yang lama. Pasien yang menerima anti jamur sistemik dalam waktu singkat

sering kambuh, dengan demikian memerlukan terapi lebih lanjut.11

K. KESIMPULAN

1. Sinusitis jamur merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya

infeksi jamur pada sinus paranasal yang biasanya terjadi pada orang-orang

dengan imunosuppresi.

2. Insidensi sinusitis jamur memiliki angka yang bervariasi di seluruh dunia,

namun cenderung meningkat dengan meningkatnya pemakaian antibiotic,

dan kortikosteroid.

3. Sinusitis jamur secara garis besar dibagi atas dua yaitu sinusitis jamur

invasif dan sinusitis jamur non invasif. Dimana pada sinusitis jamur non

invasive tidak ditemukan invasi jamur sampai ke jaringan, sedangkan pada

sinusitis jamur invasif dapat ditemukan invasi jamur ke jaringan bahkan

sampai ke tulang.

4. Diagnosis sinusitis jamur ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan

histopatologi.
5. Terapi yang digunakan pada sinusitis jamur merupakan multi modal terapi

yaitu gabungan antara terapi operatif dan terapi medikamentosa. Namun

pada umumnya terapi utama pada kasus sinusitis jamur adalah terapi

operatif.

6. Prognosis sinusitis jamur tergantung pada adanya invasi jaringan atau

tidak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. buku ajar ilmu kesehatan


Telinga, hidung, tenggorok, kepala leher. Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Edisi keenam. FKUI. Jakarta; 2011:145-
153.
2. Gustarini, AI et all. Sinusitis Sfenoid Jamur. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Indonesia. 2016. Tersedia dari:
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtklca857230d1full.pdf
3. Waghray, J. Clinical Study Of Fungal Sinusitis. Medical Specialties Pvt Ltd,
Hyderabad, Telangana, India . 2018. Available from:
https://www.ijorl.com/index.php/ijorl/article/download/1071/615
4. Bhowmik, B. Fungal Sinusitis Clinical Presentation, Latest Management: A
Review Update. Journal of Science Foundation, January 2014, Vol. 12, No.1.
America. 2014. Available from:
https://www.banglajol.info/index.php/JSF/article/download/23460/16107
5. Fungal sinusitis [database on the internet]. Medscape. 2013. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/863062-overview#a0102
6. Bhavya, B et all. Allergic Fungal Rhinosinusitis: An Overview On
Pathogenesis, Early Diagnosis And Management. International Journal of
Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery Suri N et al. Int J
Otorhinolaryngol Head Neck Surg. India. 2018. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3179194/
7. Tiwari, R et al. Incidence Of Fungal Infection In Sinonasal Polyposis. Indian
Jurnal Of Research. India. 2018. Available from:
https://wwjournals.com/index.php/pijr/article/download/1937/1915
8. Charkar, B et al. Fungal Rhinosinusitis: A Categorization and Definitional
Schema Addressing Current Controversies. Department of
MedicalMicrobiology. India. 2009. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2741302/
9. Sharna, S. Understanding Allergic Fungal Rhino-Sinusitis. Department of
E.N.T, Mayo Institute of Medical Sciences,. India. 2018. Available from:
https://juniperpublishers.com/gjo/pdf/GJO.MS.ID.555865.pdf
10. Mulhem, An et al. The Different Clinical Presentations of Allergic Fungal
Rhinosinusitis. Department of Surgery, King Fahad specialist hospital. Saudi
Arabia. 2018. Available from:
https://medwinpublishers.com/OOAJ/OOAJ16000172.pdf
11. Fungal Sinusitis Treatment & Management [database on the internet].
Medscape.C2013 [cited 2013 des 16]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/863062-treatment
12. David, w et al. Disease of The Sinuses Diagnosis and Management.
Department of Othorinolaryngology: Head and Neck Surgery University of
Pennsylvania. London, Inggris. 2001: 179-195
13. Higuera, GJ et al. Sinonasal Fungal Infection and Complications: A Pictorial
Review. Department of Radiology and Imaging, Texas Tech University Health
Sciences Center. Amerika Serikat. 2016. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4926542/
14. Basha, MM et al. The Many Faces Of Fungal Disease Of The Paranasal
Sinuses: CT and MRI Findings. Turkish Society Of Radiology. Turki. 2013.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23271503
15. Montone, TK. Pathology Of Fungal Rhinosinusitis: A Review. Head And Neck
Journal. New York, Amerika Serikat. 2015. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4746136/

Anda mungkin juga menyukai