Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ANESTESIOLOGI

LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
06 JUNI 2018
MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KESULITAN INTUBASI

PEMBIMBING:

dr. Zulfikar Tahir, Sp.An

OLEH :

Andi Nurul Amaliah

105420544913

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : A.Nurul Amaliah

NIM : 10542044913

Judul Laporan Kasus : Kesulitan Intubasi

Telah menyelesaikan Laporan Kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian

Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Juni 2018

Pembimbing,

(dr. Zulfikar Tahir, Sp.An)

2
KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr. Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat

diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Besar

Nabi Muhammad SAW.

Laporan kasus berjudul “Kesulitan Intubasi” ini dapat terselesaikan dengan baik

dan tepat pada waktunya, sebagai salah satu syarat untuk dalam menyelesaikan

Kepanitraan Klinik di Bagian Anestesiologi. Secara khusus penulis sampaikan rasa

hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr. Zulfikar Tahir, Sp.An. Selaku

pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam

membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini

hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum sempurna. Akhir

kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada semua

orang.

Makassar, Juni 2018

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Manajemen jalan napas merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki

oleh seorang dokter ahli anestesiologi. Kegagalan mengelola saluran napas adalah

penyebab kematian yang dapat dicegah pada pasien yang menjalani anestesi umum.

Enam puluh empat persen dari henti jantung selama anestesia umum disebabkan oleh

kesulitan intubasi endotrakeal yang menyebabkan oksigenasi dan atau ventilasi tidak

adekuat dan sekitar 55–93% menyebabkan kematian atau kerusakan otak. (1)(2)

Pemasangan pipa endotrakea (ET) merupakan salah satu tindakan pengamanan

jalan nafas terbaik dan paling sesuai sebagai jalur ventilasi mekanik. Selain digunakan

untuk menjaga jalan nafas dan memberikan ventilasi mekanik, tindakan ini juga dapat

menghantarkan agen anestesi inhalasi pada anestesi umum. Walaupun rutin dilakukan,

tindakan ini bukan tanpa risiko dan tidak semua pasien dengan anestesi umum

membutuhkan tindakan ini. Pada umumnya pemasangan pipa endotrakea (ET)

diindikasikan untuk pasien dengan risiko aspirasi dan pada pasien yang sedang

menjalani operasi (3)

Evaluasi intubasi sulit yang dilakukan saat kunjungan preoperatif menjadi

pemeriksaan yang sangat penting. Metode standar untuk menilai potensial intubasi sulit

adalah metode Mallampati. Metode Mallampati dikembangkan menjadi metode

Mallampati Modifikasi pada tahun 1987 dengan menambahkan struktur saluran napas

kelas 4, yaitu palatum mole yang tidak dapat divisualisasikan. (2)

4
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. DT

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 27 tahun

Berat Badan : 50 kg

Agama : Islam

Alamat : Balinappang

No. RM : 45 50 96

Diagnosis : Sinusitis Maxillaris

B. ANAMNESIS

Keluhan utama : Sakit kepala

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien dengan keluhan sakit kepala yang dialami kurang lebih 2 bulan yang lalu.

Di sertai dengan keluhan hidung tersumbat, sering berair dan bersin. Kadang

disertai batuk. Tidak ada riwayat batuk lama. Riwayat alergi (-). Riwayat asma

(-)

Riwayat penyakit dahulu : tidak ada

Riwayat penyekit keluarga : tidak ada

5
C. PEMERIKSAAN FISIK

 GCS : E4V5M6 = 15

 Vital Sign :

- Tekanan darah : 120/80 mmHg

- Nadi : 78 x/menit

- Suhu : 36,8C

- Pernafasan : 18 x/menit

 Status Generalis

o Kulit :Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit

cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba hangat.

o Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi merata

dan tidak mudah dicabut.

o Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik

o Pemeriksaan Leher

- Inspeksi : Tidak terdapat jejas

- Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran

kelenjar tiroid.

o Pemeriksaan Thorax

a. Jantung

 Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae

sinistra

 Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat

 Perkusi :

6
Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra

Batas atas kanan : SIC II LPS dextra

Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra

Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra

 Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.

b. Paru

 Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan

dinamis serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.

 Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri

dan tidak terdapat ketertinggalan gerak.

 Perkusi : Sonor kedua lapang paru

 Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo.

Tidak terdengar suara wheezing

c. Pemeriksaan Abdomen

 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

 Inspeksi : Ikut gerak napas

 Perkusi : Timpani

 Palpasi : Tidak teraba massa

d. Pemeriksaan Ekstremitas :

 Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

 Turgor kulit cukup, akral hangat

e. Mallampati Score : 1

7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

Pemeriksaan Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin 13.0 11,5-16 g/dL

Leukosit 19,1 4.0-10.0 103/mm3

Hematokrit 42.4 37-47%

Eritrosit 4.87 3.80-5.80x106/

Trombosit 367000 150000-500000/L

CT/BT 8’40’’/2’35’’

Kimia Klinik

SGOT - < 31 U/L

SGPT - < 32 U/L

Ureum 28 10-50 mg/dL

Creatinin 0.7 0,60-0,90 mg/dL

8
GDS - ≤ 200 mg/dL

Seroimmunologi

HbsAg Negatif Negatif

E. KESAN ANESTESI

Laki-laki 27 tahun menderita Sinusitis Maxillaris ASA PS II

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yaitu :

a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm

b. Informed Consent Operasi

c. Konsul ke Bagian Anestesi

d. Informed Conset Pembiusan

G. KESIMPULAN

ACC ASA PS II

H. LAPORAN ANESTESI

1. Diagnosis Pra Bedah

Sinusitis Maxillaris

2. Diagnosis Pasca Bedah

Sinusitis Maxillaris

9
3. Penatalaksanaan Preoperasi

Infus RL 800 cc/8 jam

4. Penatalaksanaan Anestesi

a. Jenis Pembedahan : FESS

b. Jenis Anestesi : General Endotracheal Anasthesia

c. Premedikasi : Midazolam 3 mg

Fentanyl 100 mg

f. Induksi : Propofol 80 mg

g. Relaksasi : Atracurium 25 mg

h. Medikasi tambahan :-

i. Maintanance : O2, N2O,sevoflurane

j. Respirasi : Terkontrol

l. Posisi : Supine

DISKUSI

Pasien, An. DT, 27 tahun dengan ke ruang operasi untuk menjalani FESS

dengan diagnosis pre operatif Sinusitis Maxillaris Bilateral. Dari anamnesis

pasien mengeluhkan sakit kepala yang dirasakan sejak kurang lebih 1 bulan

yang lalu dan semakin memberat. Selain itu, pasien juga mengeluhkan hidung

tersumbat, sering berair dan bersin. Kadang disertai batuk. Tidak ada riwayat

batuk lama. Tidak ada riwayat sakit sebelumya. Tidak ada riwayat penyakit

sistemik.

10
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg;

nadi 78x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,8OC. Dari pemeriksaan

laboratorium hematologi didapatkan hasil: Hb 13.0 g/dl ; WBC : 19,1x10, PLT

367x10, HCT 42,4 %, ureum 28 mg/dl; kreatinin 0,7 mg/dl; dan HBsAg (-).

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA II.

Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu 2

cc/kgBB/jam. Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam.

Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi

atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari

obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan

selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung. Sehingga kebutuhan

cairan yang harus dipenuhi selama 8 jam ini adalah 800 cc.

Dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 130/80 mmHg; Nadi

79x/menit, dan SpO2 99%. Dilakukan injeksi midazolam 3 mg, fentanyl 100 mg.

Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa

nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi

dengan menghilangkan rasa khawatir. Selanjutnya diberikan obat induksi yaitu

propofol 80 mg, lalu pasien ini diberikan atracurium bromide 25 mg untuk

merelaksasikan otot-otot pernapasan. Karena dilakukan prosedur operasi FESS

maka dokter anestesi memilih untuk dilakukan intubasi endotrakeal agar tidak

mengganggu operator sepanjang operasi dilakukan dan supaya pasien tetap

dianestesi dan dapat bernafas dengan adekuat.

11
Sebelum pemasangan ETT, dilakukan anamnesis singkat dan penilaian

adanya kesulitan intubasi kepada pasien. Dan dari hasil anamnesis di dapatkan

gigi seri bawah pasien goyang, sehingga kemungkinan gigi dapat terjatuh ke

saluran napas apabila pemasangan laryngoskop tidak dilakukan secara hati-hati.

Untuk itu, di siapkan alat berupa Magill tang untuk mengantisipasi jatuhnya gigi

yang goyang ke saluran napas. Mallampati skor 1.

Setelah ETT terpasang, pangkal ETT pasien dihubungkan dengan konekta

kemudian dihubungkan ke mesin anastesi yang menghantarkan gas (sevoflurane)

dengan ukuran 2vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien.

Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi

dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun

lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi

anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif

stabil dan jarang menyebabkan aritmia.

Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka

dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen. Ventilasi dilakukan dengan bagging

dengan laju napas 18 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi

diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk

membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas

spontan menjelang operasi hampir selesai.

Setelah operasi selesai lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya pasien

dapat melakukan nafas spontan. Gas sevo dihentikan karena pasien sudah nafas

12
spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal secara cepat

untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.

Pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD 130/80mmHg;

Nadi 85x/menit, dan SpO2 99%. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan

(Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik,

pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis. Tekanan darah

selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 130/80 mmHg.

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. INTUBASI ENDOTRAKEAL

1. Definisi

Intubasi endotrakeal adalah prosedur memasukkan pipa (tube)

endotrakea (ET=Endotrakeal Tube) ke dalam trakea melalui mulut

dan nasal. Alat bantu yang digunakan adalah laringoskop.

2. Tujuan

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk


membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan
nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah
pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi.
3. Indikasi

Indikasinya adalah pasien yang sulit mempertahankan saluran

nafas dan kelancaran pernafasan, misalnya pasien dengan penurunan

kesadaran, atau trauma daerah muka dan leher. Intubasi juga

diindikasikan untuk mencegah aspirasi (masuknya cairan lambung

ke saluran nafas), membantu mengisap secret, ventilasi mekanis

jangka lama, mengatasi obstruksi laring, anestesi umum pada operasi

dengan napas terkontrol, operasi pasien posisi miring atau tengkurap,

operasi yang lama/atau sulit untuk mempertahankan saluran nafas,

14
misalnya operasi di bagian leher dan kepala, dan mempermudah

anestesi umum.

4. Persiapan

a. Persiapan alat-alat yang dibutuhkan (STATIC) yaitu : Scope

(laringoskop, stetoskop), Tube (endotracheal tube/ET), Airway

(Guedel/Mayo), Tape (Plester, Hipafix), Introducer (Stilet),

Connector (biasanya sudah terpasang di ET), Suction dan Spuit.

Gambar 1. Laringoskop dengan berbagai Miller blade (dewasa

besar, dewasa kecil, anak, bayi dan neonatus)

Gambar 2. Laringoskop dengan berbagai Macintosh blade

(dewasa besar, dewasa kecil, anak, bayi dan neonatus)

15
Gambar 3. a. Cuffed endotracheal tube, terbuat dari polivinil

klorida, b. Carlens double-lumen endotracheal tube, digunakan

pada pembedahan thoraks seperti lobektomi VATS.

Gambar 4. Macam-macam Guedel

16
Gambar 5. Stilet pipa endotrakeal, digunakan untuk membantu

intubasi orotrakeal

b. Pemberian obat induksi (jika diperlukan) seperti : pentoal, ketalar

atau propofol dengan dosis tertentu seperti penjelasan berikutnya.

c. Pemberian obat pelumpuh otot (jika diperlukan) seperti : suksinil

kolin, atrakurium, atau pavulon.

d. Pemberian obat darurat (jika diperlukan) seperti : adrenaline

(epinefrin), yang digunakan bila terjadi henti jantung, dan sulfas

atropine (SA) yang digunakan pada kasus bradikardia. Pemberian

adrenaline dan SA dilakukan secara intravena sehingga harus

dibuat akses vena terlebih dahulu.

5. Teknik Intubasi

a. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap

b. Jika GCS pasien 11, dengan mudah dilakukan intubasu tanpa

anastetik

c. Berikan ventilasi dengan O2 100 % selama kira-kira 1-2 menit

atau saturasi oksigen mencapai maksimal (100%)

17
d. Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri (jika kidal,

menggunakan tangan kanan), tangan kanan mendorong kepala

hingga sedikit ekstenti dan mulut terbuka.

e. Masukan bilah laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan,

sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, dan menggeser

lidah ke kiri menuju epiglottis atau pangkal lidah.

f. Cari epiglottis terlebih dahulu, setelah terlihat, tempatkan bilah di

depan epiglottis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglottis (pada

bilah lurus)

g. Cari rima glottis (kadang-kadang perlu bantuan asisten untuk

menekan trakea dari luar sehingga rima glottis ditekan).

h. Temukan pita suara yang berwarna putih dan daerah disekitarnya

berwarna merah.

i. Masukkan ET dengan tangan kanan. Untuk memasang ET , harus

diperhatikan dalam mengangkat gagang laringoskop, jangan

mengungkit kea rah gigi atas karena dapat menyebabkan gigi

patah.

j. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anastesi atau alat bantu

napas.

k. Jika pasien masih sadar, dapat diberikan obat induksi seperti

propofol atau ketamine sebelum melakukan tindakan.(4)

18
B. KESULITAN INTUBASI

Menurut Difficult Airway Society (DAS) 2015, suatu intubasi

dikatakan sulit jika seorang dokter anestesi berpengalaman butuh lebih dari

sepuluh menit atau lebih dari tiga kali untuk sebuah intubasi endotrakeal

yang sukses. (5)

Kegagalan mengelola saluran napas adalah penyebab kematian yang

dapat dicegah pada pasien yang menjalani anestesi umum. Enam puluh

empat persen dari henti jantung selama anestesia umum disebabkan oleh

kesulitan intubasi endotrakeal yang menyebabkan oksigenasi dan atau

ventilasi tidak adekuat dan sekitar 55–93% menyebabkan kematian atau

kerusakan otak. Evaluasi intubasi sulit yang dilakukan saat kunjungan

preoperatif menjadi pemeriksaan yang sangat penting. Metode standar untuk

menilai potensial intubasi sulit adalah metode Mallampati.

1. Tes Spesifik

a. Kriteria Anatomi

- Mallampati Test

Untuk mengetahui kemungkinan kesulitan intubasi , dapat

dilakukan pengukuran klasifikasi Mallampati dengan cara

pasien diminta membuka mulut dan posisi duduk.

19
o Kelas I : Palatum molle, fauces, uvula dan pilar terlihat

jelas

o Kelas II : Palatum molle, fauces dan sebagian uvula

terlihat

o Kelas III : Palatum molle, dan dasar uvula saja yang

terlihat

o Kelas IV : Hanya terlihat langit-langit

Kelas I dan II merupakan bentuk yang paling mudah untuk

dilakukan intubasi dibandingkan kelas III dan IV, kelas III dan

IV merupakan kelas yang paling sulit untuk dilakukan

intubasi. Untuk menghindari hasil positif palsu atau negative

palsu, tes ini sebaiknya di ulang sebanyak dua kali.

- Extension at the atlanto-axial joint dilakukan dengan

menyuruh pasien untuk memfleksikan leher mereka dengan

menengadahkan dan menundukkan kepala. Penurunan gerakan

sendi ini berhubungan dengan kesulitan intubasi.

o Grade I : >35°

o Grade II : 22°-34°

o Grade III : 12°-21°

o Grade IV : < 12°

o Normal extensi sudut 35° atau lebih.

20
- Jarak mandibular

o Thyromental distance (Tes Patil) diukur dari thyroid

notch ujung rahang dengan kepala yang diekstensikan.

Jarak normal adalah 6,5 cm atau lebih dan ini juga

tergantung anatomi termasuk posisi laring. Bila

jaraknya kurang dari 6 cm maka intubasi tidak

memungkinkan.

o Sternomental distance diukur dari sternum sampai

ujung mandibula dengan kepala ekstensi dan ini

dipengaruhi oleh ekstensi leher. Jarak sternomental

12,5 cm atau kurang diperkirakan akan sulit untuk

diintubasi.

o Mandibulo-hyoid distance mengukur panjang

mandibula dari dagu sampai hyoid, normalnya 4 cm

atau 3 jari.

Gambar 6. Jarak hyoid-dagu

21
o Inter-incisor distance : jarak antara incisor atas dan

incisor bawah. Normal 4,6 cm ataulebih, jika lebih dari

3,8 merupakan prediksi kesulitan airway.

Pelatihan manajemen nasional kegawatdaruratan jalan

nafas US mencanangkan metode LEMON. Sistem penilaian ini

meliputisebagian besar karakteristik yang disebutkan sebelumnya

dan diadaptasi untuk digunakan pada ruang resusitasi.

o L= Look externally

Lihat pasien keseluruhan luar untuk mengetahui penyebab

kesulitan laringoskopi, intubasi, atau ventilasi. Yang biasanya

dilihat adalah bentuk wajah abnormal (subjektif), gigi seri

yang lebar/menonjol, gigi palsu (sulit dinilai)

o E= Evaluate the 3-3-2 rule

Hubungan faring, laring dan oral berhubungan dengan

intubasi. Jarak antara gigi seri pasiensekurangnya 3 jari (3),

jarak antara tulang hyoid dan dagu sekurangnya 3 jari (3), dan

jarak antara thyroid notch dan dasar mulut sekurangnya 2 jari

(2).

22
Gambar 7. Assessment airway menggunakan metode LEMON.

o M= Mallampati

Klasifikasi Mallampati berkolerasi dengan ukuran lidah

dan ukuran faring. Untuk menentukan klasifikasi ini,

dilakukan tes pada pasien dalam keadaan sadar, dengan posisi

duduk, mulut terbuka dan lidah dijulurkan semaksimal

mungkin. Pasien sebaiknya tidak melakukan fonasi karena

dapat menyebabkan kontraksi dan elevasi dari pallatum molle

yang meyebabkan kesan yang salah. Untuk menghindari false

negative atau false positive, tes ini sebaiknya harus dilakukan

dua kali atau lebih.

23
o O= Obstruction

Beberapa kondisi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas

yang membuat sulitnya laringoskopi dan ventilasi. Selain

keadaan epiglotis, adanya abses peritonsiler dan trauma.

o N= Neck mobility

Ini merupakan hal yang vital dalam keberhasilan intubasi. Hal

ini dapat dinilai mudah dengan menyuruh pasien

menundukkan kepala dan kemudian menengadahkannya.

Pasien dengan imobilisasi leher lebih sulit diintubasi

Cara penilaian LEMON dapat dilihat dalam tabel

berikut, dengan nilai maksimal 10 (1 point ditambahkan bila

nilai Mallampati 3 atau lebih) dan minimal adalah nol.

Gambar 8. Klasifikasi LEMON

24
b. Laryngoskop Direct

Cornack dan Lehane menambahkan criteria kesulitan intubasi

berdasarkan penampakan saat masuk laringoskop ke mulut yang di

bagi menjadi beberapa tingkatan :

Gambar 9. Klasifikasi Cornack dan Lehane, 1984

- Tingkat 1 : Glottis terlihat penuh, plica vocalis terlihat jelas

- Tingkat 2 : Glottis bagian depan tidak tampak, plica vocalis

terlihat sedikit.

- Tingkat 3 : Terlihat epiglottis, tetapi glottis tidak terlihat

- Tingkat 4 : Glottis tidak terlihat

Tingkat 3 dan 4 prediksi kesulitan intubasi.

2. Indikator Kesulitan Intubasi

Tanda klasik yang memudahkan operator untuk memprediksi adanya

penyulit dalam intubasi dapat di ringkas sebagai berikut :

- Pergerakan fleksi-ekstensi kepala dan leher yang buruk

- Gigi yang menonjol

25
- Jarak atlanto-occipital yang kurang

- Lidah yang besar (6)(7)

ALGORITMA INTUBASI MENURUT DAS 2015 5

26
BAB IV

PENUTUP

Faktor resiko kesulitan intubasi :

- Pembukaan mulut kurang dari 4 cm

- Jarak thyromental kurang dari 6 cm

- Mallampati skor lebih dari III atau lebih

- Prognathism

- Berat badan lebih 110 kg

- Riwayat kesulitan intubasi sebelumnya. 7)

Tidak ada metode yang bisa memberikan hasil dengan sensitivitas dan

spesifitas yang tinggi untuk memprediksi kesulitan dalam intubasi. Oleh karena itu, di

gunakan metode kombinasi dengan melakukan beberapa macam tes. Harus diakui

bahwa bagaimanapun, beberapa pasien dengan kesulitan jalan nafas akan tetap tidak

terdeteksi meskipun telah dilakukan evaluasi pre operasi yang teliti. Oleh karena itu,

seorang anastesiolog harus selalu siap untuk mengantisipasi jika terjadi kesulitan jalan

napas yang tidak terduga. (8)

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Harahap, dkk. Perbandingan Angka Keberhasilan Pemasangan Laryngeal Mask

Airway (LMA) Jenis Klasik pada Usaha Pertama antara Teknik Balon

Dikempiskan

dan Dikembangkan Sebagian pada Pasien Dewasa. Artikel penelitian. J Anaest

Perioperatif. 2016;4(2):30–5.

2. Swasono, dkk. Perbandingan antara Uji Mallampati Modifikasi dan Mallampati

Ekstensi Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi Endotrakeal di RSUP Dr. Hasan

Sadikin Bandung. Artikel penelitian. J Anaest Perioperatif. 2017;5(38):163–70.

3. Mayo, RH. Pengaruh Durasi Tindakan Intubasi Terhadap Rate Pressure Product

(RPP) 2014;

4. Pramono Ardi. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta. EGC : Penerbit Buku Kedokteran.

2014. 17-22p

5. Intubation Guidelines-Default Strategy for Intubation. Difficult Airway

Society.2015

6. Birnbaumer DM, Pollack CV. Evaluation of Difficult Airway. Diunduh dari

http://www.medscape.com/viewarticle/430201_2

7. Finucane, et al. Principles of Airway Management. Springer Science. 2011

8. Lee et al. Comparison of the rate of successful endotracheal intubation between

the “sniffing” and “ramped” positions in patients with an expected difficult

intubation

– a prospective randomized study-. Korean J Anaesth 2015;

28

Anda mungkin juga menyukai