Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

HUMAN CAPITAL

DISUSUN OLEH :
Ahmad Fauzan (170810101162)
Achmad Faridh A. S (170810101167)
Prisella Ayu Dio Oktavia (170810101171)

UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
EKONOMI PEMBANGUNAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmatdan
hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan materi tentang “Human
Capital”.

Makalah ini merupakan hasil kerjasama antar anggota kelompok kami


dalam rangka memenuhi tugas pembuatan makalah untuk mata kuliah Ekonomi
Sumber Daya Manusia.

Dalam pembuatan serta penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Dan ami menyadari dalam pembuatan dan penyusunan makalah ini
masih banyak terdapat kesalahan, kekurangan, dan jauh dari kesempurnaan. Oleh
karen aitu, saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi
kebaikandan kualitas makalah Ekonomi dan Sumber Daya Manusia selanjutnya.
Kami harap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca
makalah ini

Jember, 29 Maret 2019

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 6
2.1 Pengertian Human Capital ....................................................................... 6
2.2 Konsep Human Capital ............................................................................ 7
2.3 Indikator Kualitas Human Capital ......................................................... 19
2.4 Pengukuran Human Capital terhadap Produktivitas .............................. 22
2.4.1 Pengukuran Human Capital ............................................................ 22
2.4.2 Pengertian Produktivitas ................................................................. 24
2.4.3 Pengukuran Produktivitas Kerja ..................................................... 24
2.4.4 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Penurunan Produktivitas ....... 26
2.4.5 Ruang Lingkup Produktivitas ......................................................... 27
2.4.6 Hubungan human capital dan produktivitas .................................... 28
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 29
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 29

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Human capital merupakan salah satu komponen utama dari aset
tidak nyata (intangible asset) yang dimiliki oleh perusahaan. Selama ini
penilaian terhadap kinerja perusahaan lebih banyak menggunakan sumber
daya yang bersifat fisik (tangible asset). Penyebutan human capital untuk
sumber daya manusia (SDM) sepertinya belum banyak dianut oleh kalangan
pelaku bisnis, padahal peran SDM terhadap masa depan perusahaan sangat
menentukan. SDM adalah capital yang dapat terus berkembang seiring
dengan waktu dan dinamika lingkungan bisnis serta kemajuan dalam ilmu
pengetahuan. Keunggulan SDM dibanding faktor produksi lainnya dalam
strategi bersaing suatu perusahaan antara lain meliputi: kemampuan inovasi
dan entrepreneurship, kualitas yang unik, keahlian yang khusus, pelayanan
yang berbeda dan kemampuan produktivitas yang dapat dikembangkan
sesuai kebutuhan.

Perhatian terhadap sumber daya manusia atau human capital sebagai


salah faktor produksi utama bagi kebanyakan perusahaan sering dinomor-
duakan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi yang lain seperti
modal, teknologi, dan uang. Banyak para pemimpin perusahaan kurang
menyadari bahwa keuntungan yang diperoleh perusahaan sebenarnya
berasal dari human capital, hal ini disebabkan aktivitas perusahaan lebih
dilihat dari perspektif bisnis semata.

Para pemimpin perusahaan tidak melihat perusahaannya sebagai


sebuah unit yang berisi pengetahuan dan ketrampilan yang unik, atau
seperangkat keunikan dari aset usahanya yang dapat membedakan produk
atau jasa dari para pesaingnya. Oleh karena itu, mengingat peran SDM yang
begitu besar dalam perusahaan, maka manajemen perusahaan sudah

4
seharusnya lebih proaktif menjadikan SDM sebagai human capital yang
harus diberi perhatian serta pengembangan secara terus menerus sesuai
dengan perubahan dinamis lingkungan bisnis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud dengan Human Capital menurut pendapat para
ahli?
2. Bagaimana konsep Human Capital menurut para ahli?
3. Apa saja indikator untuk mengukur kualitas Human Capital?
4. Bagaimana proses pengukuran Human Capital terhadap produktivitas?

1.3 Tujuan
1. Mengerti arti dari human capital
2. Memahami konsep Human Capital menurut para ahli
3. Mengatahui indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur
kualitas Human Capital
4. Mengetahui proses pengukuran Human Capital dan pengaruhnya
terhadap produktivitas

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Human Capital


Schermerhorn menjelaskan human capital sebagai nilai ekonomi
dari manusia yang relevan dengan kemampuan, pengetahuan, ide-ide,
energi dan komitmennya (Purba, 2008). Organisasi yang dapat mengelola
SDM dengan benar dan efektif secara langsung dapat pula meningkatkan
nilai organisasi secara simultan karena apa yang dihasilkan oleh tiap SDM
akan memberi sumbangan terhadap nilai organisasi dalam jangka panjang.

Human capital merupakan pengetahuan, keterampilan, dan


kemampuan seseorang yang dapat digunakan untuk menghasilkan layanan
profesional. Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan
untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang
dimilikioleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut

Human Capital mengacu pada atribut yaitu adanya kompetensi,


pengetahuan dan kepribadian yang diwujudkan dalam kemampuan untuk
melakukan kerja sehingga menghasilkan nilai ekonomi. Ini adalah atribut
yang diperoleh oleh pekerja melalui pendidikan dan pengalaman.

Pengertian Human Capital merujuk pada seluruh sumber daya yang


dikontribusikan secara utuh untuk keberlangsungan organisasi. Sumber
dayatersebut antara lain sumber daya fisik, knowledge, sosial dan juga
reputasi atau image organisasi. Pada era industri, sumber daya manusia
dihargaikarena kekuatan dan ketahanan fisik manusia untuk mencapai target
suatuorganisasi atau perusahaan.

Human Capital dalam suatu organisasi terdiri dari individu-


individuyang bekerja di dalamnya. Human Capital jugalah yang menjadi
dasar kegiatan bisnis organisasi untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itu
keberhasilan dari suatu organisasi amat tergantung dari kemampuan

6
organisasi dalam merencanakan, mengorganisasikan, menjalankan dan
mengukur kegiatan sumber daya manusia.

2.2 Konsep Human Capital


Konsep human capital muncul karena adanya pergeseran peranan
sumber daya manusia. Human capital muncul dari pemikiran bahwa
manusia merupakan intangible asset yang memiliki banyak kelebihan yaitu:

1. Kemampuan manusia apabila digunakan dan disebarkan tidak


akan berkurang melainkan bertambah baik bagi individu yang
bersangkutan maupun bagi organisasi.
2. Manusia mampu mengubah data menjadi informasi yang
bermakna
3. Manusia mampu berbagi intelegensia dengan pihak lain

Menurut Becker, hal-hal yang mendasari lahirnya konsep human


capital adalah:

1. Manusia berinvestasi yang hasilnya dapat memberikan


keuntungan dalam jangka waktu yang panjang
2. Pekerja memiliki satu set keahlian yang dapat
diberikan/disewakan kepada majikan
3. Menawarkan adanya akusisi.

Konsep human capital menjadi masalah yang menarik terutama


sejak terjadinya pergeseran dari ekonomi yang berbasis industri kearah
ekonomi yang mangarah pada kehandalan sistem komunikasi, informasi
dan pengetahuan.

Menurut Derek Stokey (2003) perlunya human capital pada masa


sekarang berdasarkan pada:

1. Kuatnya tekanan persaingan keuntungan finansial dan


nonfinansial

7
2. Pemimpin bisnis dan politik mulai mengakui bahwa memiliki
orang yang memiliki skill dan motivasi tinggi dapat
memberikan perbedaan peningkatan kinerja yang signifikan.
3. Terjadi perubahan yang cepat yang ditandai adanya proses dan
teknologi yang baru tidak akan bertahan lama apabila pesaing
mampu mengadopsi teknologi yang sama. Namun untuk
mengimplementasikan perubahan, tenaga kerja yang dimiliki
industri harus memiliki skill dan kemampuan yang lebih baik.
4. Untuk tumbuh dan beradaptasi, kepemimpinan organisasi
harus mengenali nilai dan kontribusi manusia.

Modal manusia adalah komponen yang sangat penting di dalam


organisasi. Manusia dengan segala kemampuannya bila dikerahkan
keseluruhannya akan menghasilkan kinerja yang luar biasa. Ada enam
komponen dari modal manusia, yakni: (1) Modal intelektual; (2) Modal
emosional; (3) Modal sosial; (4) Modal ketabahan, (5) Modal moral; dan (6)
Modal kesehatan (Ancok,2002). Keenam komponen modal manusia ini
akan muncul dalam sebuah kinerja yang optimum apabila disertai oleh
modal kepemimpinan dan modal struktur organisasi yang memberikan
wahana kerja yang mendukung.

a. Modal Intelektual (intellectual capital)

Modal intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk


menemukaan peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak
pakar yang mengatakan bahwa modal intelektual sangat besar peranannya
di dalam menambah nilai suatu kegiatan. Organisasi yang unggul dan
meraih banyak keuntungan adalah organisasi yang terus menerus
mengembangkan sumberdaya manusianya (Ross dkk., 1997). Manusia
memiliki sifat proaktif dan inovatif untuk mengelola perubahan lingkungan
kehidupan (ekonomi, sosial, politik, teknologi, hukum dan lain-lain) yang
sangat tinggi kecepatannya. Mereka yang tidak beradaptasi pada perubahan
yang super cepat ini akan dilanda kesulitan.

8
Don Tappscott (1998) pada bukunya yang berjudul “Digital
Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence”
mengemukakan 12 tema ekonomi baru akibat dari meluasnya pengaruh
internet. Salah satu tema ekonomi baru itu adalah tema ekonomi berbasis
pengetahuan (knowledge based economy). Implementasinya adalah hanya
pegawai yang memiliki pengetahuan yang luas dan terus menambah
pengetahuan yang dapat beradaptasi dengan kondisi perubahan lingkungan
strategik yang luar biasa cepatnya.

Pada awal tahun 1920 para psikolog banyak membicarakan konsep


IQ (Intelligence Quotient) sebagai satu-satunya indikator kecerdasan,
dengan asumsi bahwa mereka yang memiliki IQ yang tinggi akan memiliki
kemampuan untuk memecahkan permasalahan kehidupan. Orang yang
memiliki IQ yang tinggi diduga akan cepat menguasai pengetahuan karena
kecepatan daya pikir yang dimilikinya. Namun selain memiliki angka
kecerdasan yang tinggi, seseorang baru akan memiliki pengetahuan yang
luas apabila dia memiliki kebiasaan untuk merenung tentang kejadian alam
semesta ini dan mencari makna dari setiap fenomena yang terjadi tersebut.
Kebiasaan merenung dan merefleksikan sebuah fenomena inilah yang
membuat orang menjadi cerdas.Oleh karena modal intelektual terletak pada
kemauan untuk berfikir dan kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang
baru, maka modal intelektual tidak selalu ditentukan oleh tingkat
pendidikan formal yang tinggi.

b. Modal Emosional (emotional capital)

Goleman (1997) menggunakan istilah emotional intelligence untuk


menggambarkan kemampuan manusia untuk mengenal dan mengelola
emosi diri sendiri, serta memahami emosi orang lain agar dia dapat
mengambil tindakan yang sesuai dalam berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Bradberry & Greaves (2005) dalam Ancok (2005), terdapat empat
dimensi dari kecerdasan emosional yakni:

9
1. Self Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi diri
sendiri secara tepat dan akurat dalam berbagai situasi secara
konsisten. Bagaimana reaksi emosi di saat menghadapi suatu
peristiwa yang memancing emosi, sehingga seseorang dapat
memahami respon emosi dirinya sendiri dari segi positif maupun
segi negatif.
2. Self Management adalah kemampuan mengelola emosi secara baik,
setelah memahami emosi yang sedang dirasakannya, apakah emosi
positif atau negatif. Kemampuan mengelola emosi secara positif
dalam berhadapan dengan emosi diri sendiri akan membuat
seseorang dapat merasakan kebahagiaan yang maksimal.
3. Social Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi orang
lain dari tindakannya yang tampak. Ini adalah kemampuan
berempati, memahami dan merasakan perasaan orang lain secara
akurat. Dengan adanya pemahaman ini individu sudah memiliki
kesiapan untuk meenanggapi situasi emosi orang lain secara positif.
4. Relationship Management adalah kemampuan orang untuk
berinteraksi secara positif pada orang lain, betapapun negatifnya
emosi yang dimunculkan oleh orang lain. Kemampuan mengelola
hubungan dengan orang lain secara positif ini adalah hasil dari ketiga
dimensi lain dari kecerdasan emosi (self awareness, self
management and sosial awareness).

Orang yang memiliki modal emosional yang tinggi memiliki sikap


positif di dalam menjalani kehidupan. Dia memiliki pikiran positif (positive
thinking) dalam menilai sebuah fenomena kehidupan betapapun buruknya
fenomena tersebut di mata orang lain. Ketika menghadapi perbedaan
pendapat, orang yang memiliki modal emosional yang baik akan
menyikapinya dengan positif, sehingga diperoleh manfaat yang besar bagi
pengembangan diri, atau pengembangan sebuah konsep. Modal intelektual
akan berkembang atau terhambat perkembangannya sangat ditentukan oleh
modal emosional. Orang yang hatinya terbuka dan bersikap positif dan

10
terbuka serta menghindari pernilaian negatif atas sebuah pemikiran orang
lain akan memperoleh manfaat dari perbedaan pendapat. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa inteligensi emosional ini lebih menentukan kesuksesan
hidup seseorang dibanding dengan IQ. Beberapa tahun terakhir ini makin
banyak pembicaraan tentang pentingnya peranan inteligensi emosional
(emotional intelligence) dalam menunjang kesuksesan hidup manusia.

c. Modal Sosial (social capital)

AIstilah modal sosial pertama kali muncul di tahun 1916 di saat ada
diskusi tentang upaya membangun pusat pembelajaran masyarakat (Cohen
& Prusak,2001). Pembahasan tentang konsep modal sosial semakin hangat
setelah munculnya tulisan Robert Putnam (1993) dalam Ancok (1998) yang
menggambarkan kualitas kehidupan masyarakat Amerika yang makin
menurun dalam hal kelekatan antar sesama warga.

Munculnya tulisan-tulisan lain tentang modal sosial adalah suatu


respon terhadap semakin merenggangnya hubungan antar manusia, dan
semakin melemahnya ketidakpedulian terhadap sesama manusia. Fukuyama
(1995) dalam Ancok (1998) sangat khawatir tentang masa depan komunitas
manusia yang diutarakannya seperti berikut: “We no longer have realistic
hopes that we can create a “great society” through large government
program”. Kehadiran masyarakat yang menekankan kehidupan hanya pada
pertumbuhan ekonomi seperti yang diutarakan oleh Wachtel (1989) dalam
Ancok (1997) telah menghantarkan manusia pada kehancuran. Dalam
pandangan Fukuyama (1995) transisi dari masyarakat industri menuju
masyarakat informasi semakin memperenggang ikatan sosial dan
melahirkan banyaknya patologi sosial seperti meningkatnya angka
kejahatan, anak-anak lahir di luar nikah dan menurunnya kepercayaan pada
sesama komponen masyarakat. Dalam upaya membangun sebuah bangsa
yang kompetitif peranan modal sosial semakin penting. Banyak kontribusi
modal sosial untuk kesuksesan suatu masyarakat. Dalam era informasi yang
ditandai semakin berkurangnya kontak tatap muka (face to face

11
relationship), modal sosial sebagai bagian dari modal maya (virtual capital)
akan semakin menonjol peranannya (Ancok, 1998).

Pandangan para ahli dalam mendefinisikan konsep modal sosial


dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama
menekankan pada jaringan hubungan sosial (social network), sedangkan
kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat
(embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi
sosial.

Pendapat kelompok pertama ini didukung oleh para beberapa ahli.


Brehm & Rahn (1997) dalam Ancok (2002) berpendapat bahwa modal
sosial adalah jaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang
memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi mereka.
Definisi lain dikemukakan oleh Pennar (1997) dalam Ancok (2002) “the
web of social relationships that influences individual behavior and thereby
affects economic growth” (jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi
perilaku individual dan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi).
Woolcock (1998) dalam Ancok (2002) mendefinisikan modal sosial sebagai
“the information, trust, and norms of reciprocity inhering in one’s social
networks”. Cohen dan Prusak (2001:3) berpendapat bahwa ”Social
capital consists of the stock of active connections among people: the trust,
mutual understanding and shared values and behaviours that bind the
members of human networks and communities and make cooperative action
possible”. (Modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di
antara manusia: rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan
perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas
yang memungkinkan adanya kerjasama).

Pandangan kelompok pertama menekankan pada aspek jaringan


hubungan sosial yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya,
saling memahami, dan kesamaan nilai, dan saling mendukung. Menurut
pandangan kelompok ini modal sosial akan semakin kuat apabila sebuah

12
komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, baik
secara internal komunitas/organisasi, atau hubungan kerjasama yang
bersifat antar komunitas/organisasi. Jaringan kerja sama yang sinergistik
yang merupakan modal sosial akan memberikan banyak manfaat bagi
kehidupan bersama. Pendapat ahli dari kelompok kedua diwakili antara lain
oleh Fukuyama (1995) dalam Ancok (1998) yang mendefinisikan modal
sosial sebagai berikut: “social capital: the ability of people to work together
for common purposes in groups and organizations”.

Dengan bahasa yang lain Fukuyama menjelaskan bahwa “Social


capital can be defined simply as the existence of a certain set of informal
values or norms shared among members of a group that permit cooperation
among them. (Modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma
informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok
masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka).
Sejalan dengan pendapat Fukuyama, Bowles & Gintis (2000) dalam Ancok
(2002) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut: ”Social capital
generally refers to trust, concern for one’s associates, a willingness to live
by the norms of one’s community and topunish those who do not”.

Organisasi adalah kumpulan sejumlah manusia yang bekerja sama


untuk mencapai tujuan organisasi. Selain itu sebuah organisasi harus bekerja
sama dengan organisasi lain untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar.
Kerjasama dengan organisasi lain ini diwujudkan dalam sebuah aliansi
strategik (strategic alliances), atau dalam sebuah penggabungan (merger)
organisasi. Modal sosial adalah dasar bagi terbentuknya sinergi di dalam
melaksanakan tugas organisasi. Dengan bersinergi dapatlah diperoleh hasil
kerja yang lebih besar, jika dibandingkan dengan bekerja sendiri-sendiri.

Modal intelektual baru akan berkembang bila masing-masing orang


berbagi wawasan. Untuk dapat berbagi wawasan orang harus membangun
jaringan hubungan sosial dengan orang lainnya. Kemampuan membangun
jaringan sosial inilah yang disebut dengan modal sosial. Semakin luas

13
pergaulan seseorang dan semakin luas jaringan hubungan sosial (social
networking) semakin tinggi nilai seseorang. Modal sosial dimanifestasikan
pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam perbedaan dan menghargai
perbedaan (diversity). Pengakuan dan penghargaan atas perbedaan adalah
suatu syarat tumbuhnya kreativitas dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan
orang yang berbeda, menghargai dan memanfaatkan secara bersama
perbedaan tersebut akan memberikan kebaikan buat semua.

d. Modal Ketabahan (adversity capital)

Konsep modal ketabahan berasal dari pandangan Paul G. Stoltz


(1997) dalam Ancok (2002) yang ditulis dalam buku Adversity Quotient:
Turning Obstacles into Opportunities. Ketabahan adalah modal untuk
sukses dalam kehidupan, apakah itu kehidupan pribadi ataukah kehidupan
organisasi. Ketika menghadapi kesulitan atau problem yang belum
terpecahkan, hanya mereka yang tabah yang akan berhasil
menyelesaikannya.

Berdasarkan perumpamaan pada para pendaki gunung, Stoltz


membedakan tiga tipe manusia: quitter, camper dan climber. Tipe pendaki
gunung yang mudah menyerah dinamainya dengan quitter, yakni orang yang
bila berhadapan dengan masalah memilih untuk melarikan diri dari masalah
dan tidak mau menghadapi tantangan guna menaklukkan masalah. Orang
seperti ini akan sangat tidak efektif dalam menghadapi tugas kehidupan
yang berisi tantangan. Demikian pula dia tidak efektif sebagai pekerja
sebuah organisasi bila dia tidak kuat.

Tipe camper adalah tipe yang berusaha tapi tidak sepenuh hati. Bila
dia menghadapi sesuatu tantangan dia berusaha untuk mengatasinya, tapi
dia tidak berusaha mengatasi persoalan dengan segala kemampuan yang
dimilikinya. Dia bukan tipe orang yang akan mengerahkan segala potensi
yang dimilikinya untuk menjawab tantangan yang dihadapinya. Bila
tantangan persoalan cukup berat dan dia sudah berusaha mengatasinya tapi

14
tidak berhasil, maka dia akan melupakan keinginannya dan beralih ke
tempat lain yang tidak memiliki tantangan seberat itu.

Tipe ketiga adalah climber yang memiliki stamina yang luar biasa di
dalam menyelesaikan masalah. Dia tipe orang yang pantang menyerah
sesulit apapun situasi yang dihadapinya. Dia adalah pekerja yang produktif
bagi organisasi tempat dia bekerja. Orang tipe ini memiliki visi dan cita-cita
yang jelas dalam kehidupannya. Kehidupan dijalaninya dengan sebuah tata
nilai yang mulia, bahwa berjalan harus sampai ke tujuan. Orang tipe ini ingin
selalu menyelesaikan pekerjaan dengan tuntas (sense of closure) dengan
berpegang teguh pada sebuah prinsip etika. Dia bukan tipe manusia yang
ingin berhasil tanpa usaha. Bagi dia hal yang utama bukanlah tercapainya
puncak gunung, tetapi adalah keberhasilan menjalani proses pendakian yang
sulit dan menegangkan hingga mencapai puncak.

e. Modal Moral (morality capital)

Banyak penelitian menunjukkan bahwa kinerja organisasi sangat


tergantung pada sejauh mana organisasi tersebut berpegang pada prinsip
etika bisnis di dalam kegiatan bisnis yang dilakukannya. Untuk berperilaku
sesuai dengan kaidah etik, organisasi memiliki berbagai perangkat
pendukung etik, yang salah satunya adalah manusia yang memiliki moral
yang mengharamkan perilaku yang melanggar etik.

Kehancuran dan kemunduran berbagai perusahaan besar di USA


seperti Enron (perusahaan listrik terbesar), dan Arthur Anderson
(perusahaan konsultan keuangan yang beroperasi di seluruh dunia)
disebabkan oleh perilaku bisnis yang melanggar etika bisnis. Kasus krisis
keuangan di Indonesia tahun 1997-1978 yang membuat perbankan
Indonesia bangkrut karena kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)
disebabkan oleh perilaku para pemain bisnis yang tidak berpegang pada
etika bisnis. Demikian pula dengan kasus Bank Century yang
menghebohkan juga disebabkan oleh perilaku para pemain bisnis yang tidak

15
jujur (atau tidak beritikad baik?) menyampaikan informasi, yang
mengakibatkan keputusan bailout dianggap bermasalah. Banyak hasil
penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang berpegang pada prinsip
etika memiliki citra yang baik. Citra ini tidak hanya membuat orang suka
membeli produk dan jasa organisasi tersebut, tetapi juga membuat harga
saham di pasar bursa meningkat secara signifikan. Selain itu organisasi yang
berperilaku etika juga akan menarik banyak calon pekerja yang berkualitas
untuk melamar menjadi pekerja di perusahaan tersebut. Sebaliknya kalau
sebuah organisasi melakukan perilaku yang melanggar etika bisnis maka
kerugianlah yang akan dialaminya. Sepatu merk Nike kehilangan banyak
pembeli setelah ada publikasi yang luas mengenai anak-anak di bawah umur
yang bekerja di perusahaan Nike yang berlokasi di negara-negara
berkembang (Hawkins et.al ,1998).

Modal moral telah banyak dibicarakan oleh para ahli. Salah satu
buku yang membicarakan aspek modal ini adalah Moral Intelligence:
Enhancing Business Performance and Leadership Success yang ditulis oleh
Doug Lennick & Fred Kiel (2005). Keduanya dalam Ancok (2002) telah
menyusun alat pengukur Moral Competency Inventory (Inventori untuk
mengukur kompetensi moral). Terdapat empat komponen modal moral yang
membuat seseorang memiliki kecerdasan moral yang tinggi yaitu:

1. Integritas (integrity), yakni kemauan untuk mengintegrasikan nilai-


nilai universal di dalam perilaku. Individu memilih berperilaku yang
tidak bertentangan dengan kaidah perilaku etikal yang universal.
Orang berperilaku atas keyakinan bahwa perilaku dalam bekerja
yang etikal adalah sesuatu yang harus dilakukan dan akan membuat
dirinya bersalah jika hal itu dilakukan.
2. Bertanggung jawab (responsibility) atas perbuatan yang
dilakukannya. Hanya orang- orang yang mau bertanggung jawab
atas tindakannya dan memahami konsekuensi dari tindakannya yang
bisa berbuat sejalan dengan prinsip etik yang universal.

16
3. Penyayang (compassionate) adalah tipe orang yang tidak akan
merugikan orang lain, karena dia menyadari memberi kasih sayang
pada orang lain adalah juga sama dengan memberi kasih sayang pada
diri sendiri. Orang yang melanggar etika adalah orang yang tidak
memiliki kasih sayang pada orang lain yang dirugikan akibat
perbuatannya yang melanggar hak orang lain.
4. Pemaaf (forgiveness) adalah sifat yang diberikan pada sesama
manusia. Orang yang memiliki kecerdasan moral yang tinggi
bukanlah tipe orang pendendam yang membalas perilaku yang tidak
menyenangkan dengan cara yang tidak menyenangkan pula.

Sebagaimana modal intelektual yang berbasis pada kecerdasan


intelektual, modal moral dasarnya adalah kecerdasan moral yang berbasis
pada empat kompetensi moral di atas. Modal moral menjadi semakin
penting peranannya karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan
IQ tinggi dan manusia yang pandai mengelola emosinya dalam berhubungan
dengan orang lain tidaklah mengantarkan manusia pada kebermaknaan
hidup. Kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi yang kuat yang
mendorong orang untuk melakukan sesuatu kegiatan yang berguna. Hidup
yang berguna adalah hidup yang memberi makna pada diri sendiri dan orang
lain. Selain itu modal moral ini juga memberikan perasaan hidup yang
komplet (wholeness). Inilah yang disebut oleh Abraham Maslow dengan
“Peak Experience”, perasaan yang muncul karena kedekatan dengan sang
Pencipta. Konsep yang demikian ini banyak yang menyebutnya dengan
istilah modal spiritual (Sinetar, 2000) dalam Ancok (2002). Stephen Covey
(1990) memasukkan bagian dari hal yang bersifat spiritual ini dalam bagian
kegiatan manusia yang harus ditingkatkan agar manusia menjadi manusia
yang efektif.

Bagi orang yang beragama, modal intelektual, modal emosional,


modal sosial, modal ketabahan, dan modal moral yang diutarakan di atas
adalah bagian dari ekspresi modal spiritual. Semakin tinggi keimanan

17
seseorang semakin tinggi pula kelima modal di atas. Namun demikian
banyak orang yang menyarankan agar modal spiritual dipisahkan dari
kelima modal di atas, dengan tujuan untuk semakin menekankan betapa
pentingnya upaya pengembangan spiritualitas dan keberagamaan manusia.
Di mata orang yang berpandangan demikian, agama akan menjadi
pembimbing kehidupan agar tidak menjadi egoistik yang orientasinya hanya
memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu upaya untuk
mengembangkan keagamaan adalah bagian mutlak dan utama bagi
tumbuhnya masyarakat yang makmur dan sejahtera serta aman dan damai.

f. Modal Kesehatan

Badan atau raga adalah wadah untuk mendukung manifestasi semua


modal di atas. Badan yang tidak sehat akan membuat semua modal di atas
tidak muncul dengan maksimal. Oleh karena itu kesehatan adalah bagian
dari modal manusia agar dia bisa bekerja dan berfikir secara produktif.
Stephen Covey (1990) dalam bukunya yang berjudul Seven Habits of
Highly Effective People, mengatakan bahwa kesehatan adalah bagian dari
kehidupan yang harus selalu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya sebagai
pendukung manusia yang efektif. Bila badan sedang sakit semua sistem
tubuh kita menjadi terganggu fungsinya, akibatnya kita jadi malas berfikir
dan berbuat (modal intelektual), dan seringkali emosi (modal emosional)
kita mudah terganggu kestabilannya, dan seringkali kita mudah menyerah
menghadapi tantangan hidup (modal ketabahan). Selain itu semangat untuk
berinteraksi dengan orang lain (modal sosial) dengan orang lainpun menjadi
berkurang. Jadi ada benarnya kata pepatah “dalam badan yang sehat terdapat
jiwa/pikiran yang sehat”. Walaupun banyak kritikan terhadap pernyataan
itu, karena ternyata banyak orang gila yang badannya sangat sehat tapi
pikirannya sakit, tapi seluruh komponen modal manusia saling berinteraksi
satu dengan lain seperti es teh jeruk nipis yang manis, sulit dipisahkan mana
yang teh, mana yang jeruk nipis, mana yang gula, dan mana yang air es.

18
2.3 Indikator Kualitas Human Capital
Human Capital memegang peranan yang penting dalam
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sebagai faktor produksi selain
sumber daya alam. Kualitas manusia yang semakin baik akan berpengaruh
terhadap semakin tingginya efisiensi dan produktivitas suatu negara.
Sehingga, dapat memacu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Indikator yang dapat digunakan sebagai acuan kualitas manusia ialah
pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Apabila semua indikator tersebut
terpenuhi, maka pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dapat tercapai.

A. Pendidikan

Berdasarkan catatan sejarah, paradigma pembangunan ekonomi


berdimensi manusia telah mampu berkembang meskipun sebuah negara
tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah. Faktor produksi total
dapat ditingkatkan dengan adanya penekanan pada investasi manusia.
Faktor produksi fisik seperti tanah dan modal bisa saja mengalami
deminishing return tetapi ilmu pengetahuan tidak. Robert M. Solow
menekankan pada peranan ilmun pengetahuan sebagai investasi modal
sumber daya manusia dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut
menurut Solow (Tilaar,200), ada tiga faktor penyebab mengapa pendidikan
perlu dalam usaha membangun perekonomian, yaitu:

1. Pendidikan yang lebih tinggi memperluas pengetahuan masyarakat


dan mempertinggi rasionalitas pemikiran mereka. Hal ini
memungkinkan masyarakat dapat berpikir secara rasional dalam
bertindak maupun mengambil keputusan untuk mengambil langkah
kedepan.
2. Pendidikan memungkinkan masyarakat mempelajari pengetahuan
teknis yang diperlukan untuk memimpin dan menjalankan
perusahaan modern serta kegiatan modern lainnya.
3. Pengetahuan yang lebih baik sebagai hasil yang diperoleh melalui
pendidikan mampu menjadi perangsang untuk menciptakan

19
pembaharuan dalam bidang teknik, ekonomi, dan dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat lainnya.

Harapan terhadap hasil investasi modal dalam diri manusia


dicatat sebagai level yang lebih tinggi dalam pendapatan, kemampuan
bekerja selama hidup dan apresiasi yang lebih tinggi dalam aktivitas non
pasar dan keterkaitannya. Umumnya dalam membicarakan hasil investasi
modal manusia tersebut dibagi dalam tiga kategori (Sumarsono, S., 2003)
sebagai berikut :

1. Diluar suku bunga atau biaya langsung, meliputi biaya pendidikan,


buku-buku, perpindahan (migrasi) dan transportasi waktu mencari
pekerjaan.
2. Oportunity cost pengadaan sumber-sumber yang merupakan faktor
harga lain, karena selama periode investasi biasanya tidak mungkin
melakukan pekerjaan.
3. Adanya korban perasaan yang dihitung satuan harga tertentu, sebab
pendidikan merupakan suatu hal yang sulit dan membosankan serta
memerlukan penyesuaian. Demikian pula migrasi berarti
mengucapkan selamat tinggal pada sanak keluarga dan teman.

Di sini akan dianalisa investasi pendidikan (termasuk diklat) dan


implikasinya terhadap tenaga kerja. Sebab hampir semua investasi
berhubungan erat dengan penyediaan tenaga kerja yang nantinya diharapkan
dapat memenuhi lowongan pasar tenaga kerja yang sesuai dengan
keterampil-annya.

Asumsi dasar dari teori Human Capital adalah bahwa seseorang


mampu meningkatkan penghasilan melalui peningkatan pendidikan. Setiap
tambahan satu tahun sekolah, disatu pihak dapat meningkatkan kemampuan
kerja yang digunakan sebagai investasi dimasa mendatang. Namun, disisi
lain menunda penghasilan selama satu tahun sekolah tersebut. Disamping
adanya penundaan penghasilan, seseorang yang melanjutkan sekolah akan

20
membayar biaya-biaya tertentu secara langsung. Jumlah penghasilan yang
diasumsikan diterima selama seumur hidupnya dihitung dalam nilai
sekarang atau Net Present Value.

Pendidikan sangat erat kaitannya dalam peningkatan kualitas sumber


daya manusia. Untuk itu pendidikan (termasuk diklat) memegang peranan
penting bagi peningkatan kualitas sumber daya yang dimiliki. Peningkatan
kualitas sumberdaya manusia memiliki makna strategis bagi perbaikan
kualitas suatu negara secara keseluruhan. Negara berkembang seperti
Indonesia untuk memacu pertumbuhan ekonomi memerlukan sumber daya
manusia yang berkuaitas. Investasi dalam sumber daya manusia yang
dilakukan negara-negara maju sangat menentukan dalam mendorong laju
pertumbuhan ekonomi sektor riil. Dimana dampak investasi sumber daya
manusia di negara maju mampu melebihi dampak investasi fisik dalam
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi.

B. Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu modal manusia (human capital)


yang sangat diperlukan dalam menunjang pembangunan ekonomi. Hal ini
dikarenakan kesehatan merupakan prasyarat bagi peningkatan
produktivitas. Tjiptoherijanto (1993) mengatakan bahwa kesehatan dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui beberapa cara, seperti
perbaikan kesehatan seseorang akan menyebabkan pertambahan dalam
partisipasi tenaga kerja, perbaikan kesehatan dapat pula membawa
perbaikan dalam tingkat pendidikan yang kemudian menyumbang terhadap
pertumbuhan ekonomi, ataupun perbaikan kesehatan menyebabkan
bertambahnya penduduk yang akan membawa tingkat partisipasi angkatan
kerja. Sebagai contoh, tingkat upah harian di Cote d’Ivoire untuk orang –
orang yang mengidap penyakit sehari dalam sebulan diperkirakan 19% lebih
rendah dari pada tingkat upah harian orang yang lebih sehat. Hal ini
menunjukkan bahwa bagian terbesar dari dampak kesehatan terhadap
kemampuan menghasilkan pendapatan terletak pada perbedaan

21
produktivitas. Sebuah studi di Bangladesh menyatakan bahwa produktivitas
yang lebih tinggi dari pekerja yang sehat membuat mereka mampu
mendapatkan pekerjaan yang memberi bayaran lebih tinggi. kesehatan
adalah dasar bagi produktivitas kerja dan kapasitas untuk belajar di sekolah.
Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan mental akan lebih enerjik dan kuat,
lebih produktif, dan mendapatkan penghasilan yang tinggi. Keadaan ini
terutama terjadi di negara-negara sedang berkembang, dimana proporsi
terbesar dari angkatan kerja masih bekerja secara manual.

Menurut informasi yang didapat dari The Scottish Parliament


(2001). menyatakan bahwa akses ke fasilitas kesehatan mempengaruhi
status kesehatan individu. Hal ini sejalan dengan penelitian Ormond et al
(1997) yang mengatakan bahwa individu yang memiliki kemudahan dalam
mengakses fasilitas kesehatan memiliki status kesehatan yang lebih baik.
Hal ini menurut Smucker et al, 2001 dalam penelitian Linda Fitriwati (2004)
dikarenakan untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat bukan saja
masalah pembiayaan kesehatan yang harus diperhatikan, tetapi juga masalah
akses ke pelayanan kesehatan dari sisi jarak dan waktu tempuhnya. Sulitnya
akses (transportasi) ke pelayanan kesehatan secara langsung berdampak
pada semakin menurunnya status kesehatan masyarakat. atau dengan kata
lain menurut Tjiptoherijanto (1993) bahwa bukan hanya jumlah fasilitas
pelayanan kesehatannya saja yang menjadi perhatian utama, namun
penggunan (utilization) atas fasilitas tersebut juga perlu mendapat perhatian
secara lebih seksama. Manakala akses menuju ke pelayanan kesehatan telah
terwujud (untuk preventif maupun kuratif), maka peningkatan status
kesehatan tergantung pada kualitas dan keefektifan pelayanan kesehatan.

2.4 Pengukuran Human Capital terhadap Produktivitas

2.4.1 Pengukuran Human Capital


Pengukuran human capital bukan dimaksudkan untuk menentukan
nilai instrisik SDM, melainkan dampak perilaku SDM atas proses-proses
organisasional. Pengukuran ini penting dilakukan untuk mengetahui

22
efektivitas strategi yang dijalankan perusahaan terhadap seberapa besar
kontribusi karyawan terhadap peningkatan kinerja. Di samping itu,
pengukuran SDM merupakan suatu manajemen kinerja yang sangat penting
dan alat untuk melakukan perbaikan. Menurut Fitz-Enz (2000:267), bila
tidak melakukan pengukuran SDM, maka, perusahaan tersebut tidak akan
dapat:

1. Mengkomunikasikan harapan kinerja yang spesifik,


2. Mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi dalam organisasi,
3. Mengidentifikasi gap kinerja yang harus dianalisis dan dieliminasi,
4. Memberikan umpan balik dengan membandingkan kinerja terhadap
standar,
5. Mengetahui kinerja yang harus diberi reward,
6. Mendukung keputusan berkaitan dengan alokasi sumber daya,
proyeksi, dan jadwal.

Dalam lingkungan bisnis yang semakin maju, maka, perusahaan


semakin banyak tergantung pada intangible asset. Adanya pergeseran ini
tercermin dalam studi Brooking Instutution di Amerika Serikat yang
meneliti 500 perusahaan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (Wealtherly,
2003:71). Pada 1982, tangible asset merepresentasikan 62% nilai pasar
perusahaan, turun menjadi 38% pada 1992. Studi terakhir yang dilakukan
pada 2002 menunjukkan angka penurunan yang semakin besar menjadi
15%, sementara 85% merupakan intangible asset yang menentukan nilai
pasar perusahaan. Wealtherly (2003:92) mengatakan terdapat dua kekuatan
utama mengapa pengukuran human capital menjadi pusat perhatian utama
di komunitas bisnis. Pertama, kompetisi dalam lingkungan bisnis adalah
akibat dari globalisasi perdagangan dan perkembangan beberapa sektor
kunci seperti telekomunikasi, transportasi, dan jasa-jasa keuangan. Kedua,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat terutama setelah
kemunculan internet. Kedua perkembangan ini secara dramatis telah

23
merubah struktur bisnis dan mendorong intangibles asset memegang peran
yang kian penting bagi perusahaan.

2.4.2 Pengertian Produktivitas


Produktivitas merupakan suatu istilah yang sering digunakan dalam
perencanaan pengembangan industri pada khususnya dan perencanaan
pengembangan ekonomi nasional pada umumnya. Sedangkan pengertian
produktivitas dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi individu dan
dimensi keorganisasian. Dimensi individu melihat produktivitas dalam
kaitannya dengan karakteristik-karakteristik kepribadian individu yang
muncul dalam bentuk sikap mental dan mengandung makna keinginan dan
upaya individu yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya. Sedangkan dimensi keorganisasian melihat produktivitas
dalam kerangka hubungan teknis antara masukan (input) dan keluaran
(output). Oleh karena itu dalam pandangan ini , terjadinya tingkat
produktivitas tidak hanya dilihat dari aspek kuantitas tetapi juga aspek
kualitas baik dari produknya maupun dari tenaga kerja yang memproduksi.

Selain itu, produktivitas dapat juga didefinisikan sebagai suatu


konsep universal yang menciptakan lebih banyak barang dan jasa bagi
kehidupan manusia dengan menggunakan sumber daya yang terbatas.
Menurut Manuaba (1992) peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan
menekan sekecil-kecilnya segala macam biaya termasuk dalam
memanfaatkan sumber daya manusia (do the right thing) dan meningkatkan
keluaran sebesar-besarnya (do the thing right). Dengan kata lain bahwa
produktivitas merupakan pencerminan dari tingkat efisiensi dan efektivitas
kerja secara total (Tarwaka, Bakri, dan Sudiajeng, 2004)

2.4.3 Pengukuran Produktivitas Kerja


Pengukuran produktivitas kerja pada dasarnya digunakan untuk
mengetahui sejauh mana tingkat efisiensi dan efektivitas tenaga kerja dalam
menghasilkan suatu hasil kerja dalam sebuah perusahaan. Semakin

24
produktif tenaga kerja maka hasil pekerjaannya akan terlihat baik.
Sedangkan tingkat produktivitas dapat diukur dengan :

a. Penggunaan waktu

Penggunaan waktu kerja yang digunakan tenaga kerja untuk


menghasilkan output dan sebagai alat ukur produktivitas kerja meliputi :

a) Kecepatan waktu kerja


b) Penghematan waktu kerja
c) Kedisiplinan waktu kerja
d) Tingkat absensi

b. Output yang dihasilkan

Banyaknya output yang dihasilkan oleh tenaga kerja juga digunakan


sebagai alat ukur produktivitas kerja di mana semakin banyak output yang
dihasilkan pekerja maka produktivitas kerja dan tenaga kerja akan semakin
baik. Banyaknya output yang dihasilkan pun harus diikuti dengan kualitas
barang yang diproduksi.

Pengukuran produktivitas kerja inilah yang digunakan sebagai


sarana untuk menganalisa dan mengukur efisiensi produksi. Selain itu juga
digunakan untuk menentukan target pada produksi berikutnya serta untuk
menentukan upah tenaga kerja yang memproduksi barang tersebut.

Tujuan dari pengukuran produktivitas kerja itu sendiri yaitu untuk


membandingkan pertambahan hasil produksi dari waktu ke waktu,
pertambahan pendapatan dari waktu ke waktu, pertambahan kesempatan
kerja dari waktu ke waktu, membandingkan jumlah hasil sendiri dengan
orang lain, serta komponen prestasi sendiri dengan prestasi orang lain.

Produktivitas kerja juga dapat diukur dengan menggunakan dua cara


yaitu Physical Producivity dan Value Productivity. Physical Productivity
yaitu produktivitas secara kuantitatif seperti ukuran (size), berat, panjang,

25
berat, banyaknya unit, waktu dan banyaknya tenaga kerja. Sedangkan Value
Productivity yaitu ukuran produktivitas dengan menggunakan nilai uang.

2.4.4 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Penurunan Produktivitas


Pada umumnya penurunan produktivitas kerja dalam sebuah
perusahaan dapat disebabkan oleh :

1. Penghamburan pemakaian sumber daya dan ketidakmampuan


manajemen dalam mengukur, mengevaluasi dan mengukur
produktivitas kerja dari tenaga kerja.
2. Pengiriman produk yang sering terlambat karena ketidakmampuan
memenuhi jadwal yang telah ditetapkan.
3. Terjadinya penundaan dan keterlambatan pengambilan keputusan
karena ketidakjelasan wewenang serta tidak efisiensinya proses
produksi dalam suatu perusahaan yang cukup besar.Adanya
pertentangan dan hambatan-hambatan dan tidak adanya kerjasama
dalam memecahkan masalah yang menyebabkan ketidakefektifan
dalam bekerja sama dan partisipasi tenaga kerja.
4. Motivasi rendah, ketidakpuasan dan kebosanan dalam bekerja yang
diakibatkan oleh semakin terspesialisasinya dan terbatasnya proses
kerja, sistem pengakuan dan penghargaan yang diberikan tidak
berhubungan dengan produktivitas dan tanggung jawab karyawan.
5. Adanya pertentangan, hambaan-hambatan dan tidak adanya
kerjasama dalam memecahkan masalah yang mengakibatkan
ketidakefektifan dalam bekerja sama dan partisipasi total karyawan.
6. Ketiadaan sistem pendidikan dan pelatihan bagi karyawan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang teknik-teknik peningkatan
kualitas dan produktivitas perusahaan.
7. Disiplin tentang waktu dikacaukan oleh karena adanya keinginan
untuk mempunyai waktu luang yang lebih banyak.

26
8. Kegagalan perusahaan untuk selalu menyesuaikan diri dengan
tingkat peningkatan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

2.4.5 Ruang Lingkup Produktivitas


Paul Maili mengemukakan pandangan terhadap produktivitas
melalui ruang lingkup sebagai berikut:

1. Ruang Lingkup Nasional

Memandang negara secara keseluruhan. Di sini diperhitungkan


faktor-faktor secara sederhana seperti buruh, capital, manajemen, bahan
mentah dan sumber lainnya sebagai kekuatan yang mempengaruhi barang-
barang ekonomi dan jasa. Lingkungan ini menggambarkan pengaruh
seluruh faktor menjadi satu daripada memisahkannya menjadi kelompok-
kelompok tertentu.

2. Ruang Lingkup Indusri

Dalam hal ini faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh


dikelompokkan ke dalam industri yang sejenis misalnya industri
perdagangan, perhubungan, pertanian, dan lain-lain.

3. Ruang Lingkup Perusahaan dan Organisasi

Pada suatu perusahaan atau organisasi akan terlihat pengaruh


hubungan antara beberapa faktor. Keluaran per jam orang dapat diukur dan
dibandingkan dengan perusahaan lain. Kemampuan, tingkat pengembalian
modal, pemenuhan anggaran dapat memberikan suatu ukuran bagaimana
seluruh daya diolah untuk menghasilkan keluaran tertentu. Dalam suatu
organisasi, produktivitas tidak hanya ditentukan oleh baik tidaknya tenaga
kerja.

4. Ruang Lingkup Perorangan

27
Produktivitas kerja perorangan dipengaruhi oleh lingkungan kerja
serta peralatan yang digunakan, proses dan perlengkapannya. Dalam hal ini
timbul satu faktor yang mempengaruhi yang sulit diukur yaitu motivasi.
Motivasi sangat dipengaruhi oleh kelompok kerja lainnya dan alasan
mngapa seseorang melakukan pekerjaan tersebut.

2.4.6 Hubungan human capital dan produktivitas


Human Capital itu memiliki hubungan yang erat dengan
produktivitas. Hal ini dapat dilihat dari faktor -faktor yang mempengaruhi
Human Capital dan produktivitas. Investasi di bidang sumber daya manusia
atau human capital dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas kerja
dan oleh sebab itu untuk meningkatkan penghasilan. Semakin besar
investasi di bidang sumber daya manusia, maka produktivitas kerja
seseorang akan semakin meningkat.

28
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
James S. Colemen (2008:373), menunjukan bahwa sebagaimana
kapital fisik yang di ciptakan dengan mengubah materi untuk membentuk
alat yang memudahkan produksi, kapital manusia diciptakan dengan
mengubah manusia dengan memberikan mereka keterampilan dan
kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara yang
baru. Perbedaan kapital fisik dengan kapital manusia dapat kita lihat dalam
wujudnya. Kapital fisik itu berwujud sedangkan kapital manusia tidak
berwujud.

Human capital tidak didapat dengan mudah tanpa proses, namun


proses manajemen SDM dapat diarahkan kepada pembangunan SDM yang
memberi nilai tambah baik bagi pelanggan, organisasi, maupun SDM itu
sendiri (human capital). Proses manajemen SDM meliputi perencanaan
SDM serta fungsi-fungsi lainnya sesuai dengan misi dan tujuan organisasi
atau perusahaan.

Perubahan lingkungan yang begitu cepat dan dan dinamis menuntut


pelaku organisasi untuk melakukan penyesuaian strategi pengelolaan
terutama terkait dengan SDM. Investasi terhadap SDM melalui program-
program pelatihan dan pengembangan SDM membutuhkan biaya yang
besar namun pada akhirnya akan memberi nilai tambah yang berlipat ganda
bagi organisasi dan hasilnya seringkali akan dirasakan untuk jangka
panjang.

29

Anda mungkin juga menyukai