Status Epileptikus
Status Epileptikus
Tinjauan Pustaka
1.1 Pendahuluan
Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-
akhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi
pada 152.000 kasus di USA yang terjadi tiap tahunnya menghasilkan kematian. 1 Begitu pula
dalam praktek sehari-hari, Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara
cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian.
Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya
normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki spektrum luas
dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi. 2 Berdasarkan
observasi pada pasien yang menjalani monitoring video-electroencephalography (EEG)
selama episode kejang, komponen tonik-klonik terakhir satu sampai dua menit dan jarang
berlangsung lebih dari lima menit.2 Batas ambang untuk membuat diagnosis ini oleh
karenanya harus turun dari lima sampai sepuluh menit.
Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi: status petitmal,
status psikomotor, dan lain-lain. Biasanya bila status epileptikus tidak bisa diatasi dalam satu
jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen. Oleh karena itu, gejala ini
harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-rata 15 % penderita
meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita
yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau
berlanjut menjadi penderita epilepsi
Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, Status Epileptikus tidak hanya penting
untuk menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar merupakan bagian
utama pada penatalaksanaan Status Epileptikus
1
1.2 Definisi Status Epileptikus
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung
lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami
kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian
kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya.3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala
yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada
pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat
antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen,
tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus
kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan
puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara
miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian
yang paling tinggi.
Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal (tabel 1). Secara klinis dan
berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi
mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output,
peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum,
peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan
syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan
2
tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal.
Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut
mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan
peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika
peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti
oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan
syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal
pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat
efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Komplikasi terjadinya status epileptikus dapat dilihat dari tabel 2
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium
dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
Alkohol
Anoksia
Antikonvulsan-withdrawal
Penyakit cerebrovaskular
Epilepsi kronik
Infeksi SSP
Toksisitas obat-obatan
Metabolik
Trauma
3
tumor
Otak
Oedema serebri
Disfungsi kognitif
Gagal Ginjal
Myoglobinuria, rhabdomiolisis
Gagal Nafas
Apnoe
Pneumonia
Hipoksia, hiperkapni
Gagal nafas
Pelepasan Katekolamin
Hipertensi
Oedema paru
Aritmia
Hipersekresi, hiperpireksia
Jantung
4
Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
Dehidrasi
Asidosis
Hiper/hipoglikemia
Hiperkalemia, hiponatremia
Kegagalan multiorgan
Idiopatik
Faktor risiko dan klasifikasi status epileptikus adalah satu pertiga kasus terjadi pada
epilepsi berulang, satu pertiga pada kasus epilepsi yang tidak teratur meminum obat
antikonvulsan, pada usia kebanyakan tipe sekunder karena adanya demensia, penyakit
serebrovaskular, dan disfungsi jantung.
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan
yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus
dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan, area tertentu dari korteks (Partial onset)
atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset), kategori utama lainnya bergantung pada
pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
5
Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status
epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens).
Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada
periode neonatus, infant, dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan
bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira
44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum
atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-
klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa
pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
6
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan
otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis
selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan
tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat
serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan
metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
7
Status Epileptikus Mioklonik.
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas
atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai
suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai
“slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama.
Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.
Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada
semua tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
8
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat
marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor
dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized
spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang
cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme,
gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG
terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi
bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens
dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks
dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 – 10 menit. Hal yang pertama kita lakukan
adalah:
anamnesis
9
riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat kejang
(fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat kejang
sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat persalinan, tumbuh
kembang, dan penyakit yang sedang diderita.
Pemeriksaan fisik
pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat
peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu
parestesia, hipestesia, anestesia.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal
dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan kultur
darah dan
imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak
EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin
jika pasien mengalami gangguan mental
Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau
perdarahan subarachnoid.
1. Reaksi konversi
2. syncope
1.10 Penatalaksanaan
Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA)
oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat. Berdasarkan
penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status
10
epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana
Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang
sebanyak 65 persen.
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang
cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau
hipokalsemia persisten.
11
secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan
anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG,
dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang
dengan dosis awal.
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu
intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa
AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg
IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika
kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan
kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika
kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg
per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan.
12
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena
hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam;
kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti.
Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg
per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.
13
14
1.11 Prognosis
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari status
epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan atau akibat
alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan
dilakukan pencegahan terjadi komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka
prognosis tergantung dari meningitis tersebut.
15
BAB 2
STATUS PASIEN
Nama : Sdr. T
Umur : 16 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Singgahan
No registrasi : 252112
2.2 Anamnesa
2.2.1 Keluhan Utama
Kejang
2.2.2 RPS
Kejang sejak jam 10.30 wib. Kejang ± 10 kali. Tiap kejang ± 1 menit sikap
kejang fleksi ekstensi dan setelah kejang px tertidur. Panas (-). Muntah (+) sekitar
7 kali. Muntahan berupa air warna kuning bening, bau amis. Mengompol saat
16
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan parasternal kanan ICS8
batas jantung kiri midklavikula kiri 1CS8
Cardiomegali
Auskultasi : normal
17
Reflek cahaya : + +
Nistagmus : tidak ada tidak ada
N.IV (Trokhlearis)
Posisi bola mata : di tengah di tengah
Pergerakan mata : normal normal
N.V (Trigeminus) Kanan Kiri
Sensibilitas : V1 normal normal
V2 normal normal
V3 normal normal
Motorik : Inspeksi : normal normal
Palpasi : normal normal
Mengunyah : normal normal
Menggigit : normal
Reflek dagu : normal
Reflek kornea : normal normal
N.VI (Abdusen)
Pergerakan mata : normal normal
N.VII (Fasialis)
Motorik : M. Frontalis normal normal
M. Oblik okuli normal normal
M. Oblik oris normal normal
N. VIII (Vestibulokoklearis)
Detik arloji : tidak dievaluasi tidak dievaluasi
Suara berbisik : tidak dievaluasi tidak dievaluasi
Tes weber : tidak dievaluasi tidak dievaluasi
Tes rinne : tidak dievaluasi tidak dievaluasi
N.IX (Glosofaringeus)
Inspeksi : normal normal
Pengecapan 1/3 belakang : tidak dievaluasi
N.X (Vagus) Kanan Kiri
Posisi arkus faring: normal normal
Reflek telan/muntah : tidak dievaluasi
N.XI (asesorius)
Mengangkat bahu: normal normal
Memalingkan kepala : normal normal
N.XII (Hipoglosus)
Deviasi lidah : tidak ada tidak ada
Fasikulasi : tidak ada tidak ada
Tremor : tidak ada tidak ada
Atrofi : tidak ada tidak ada
Ataxia : tidak ada tidak ada
Pemeriksaan motorik
Tonus : N|N
N|N
Kekuatan Otot : 5|5
5|5
Gerak involunter : –
Pemeriksaan sensoris
18
Protopatik
Raba : Normal
Nyeri : Normal
Suhu : Normal
Proprioseptif
Posisi sendi : Normal
Tekan : Normal
Sensasi Kombinasi
Grafestesi : normal
Stereognosi : normal
Sensasi khusus
Pembauan : normal
Penglihatan : normal
Pendengaran : normal
Pengecapan : normal
Sensorik luhur
Praksis : normal
Menulis : normal
Membaca : normal
Berhitung : normal
Reflek
Reflek Fisiologis
BPR : +2|+2
TPR : +2|+2
KPR : +2|+2
APR : +2|+2
Reflek Patologis
H/T : -/-
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Gordon : -/-
Oppenheim : -/-
Gonda : -/-
Schaefer : -/-
Pemeriksaan serebelar
Disdiadokinesis : normal
Finger to nose : normal
Otonomik
Miksi: dbn
Defekasi: dbn
Keringat: tes perspirasi tidak dievaluasi
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Laboratorium
19
• RBC (eri) : 4,24 x 106/uL(4,2-10,8)
2.7 Diagnosis
2.7.1 Diagnosis Klinis
Epilepsi
Vomiting
Chepalgia
2.7.2 Diagnosis Topis
Serebrum (neuron kortek/sub kortek)
2.7.3 Diagnosis Etiologis
Status Epileptikus
2.8 Terapi
Terapi umum 6 B (breath, brain, bowel, bladder, bone and skin)
Diazepam inj 10 mg iv (diberikan 2-5 menit) bila kejang
20
Phenitoin iv infus 15mg/kg dengan rata rata 50mg/menit
Ranitidine inj 50mg/2ml 2x
Ibuprofen 200mg 3x1
Tanggal S O A P
21
BAB belum N.III,IV,VI dbn subkortek) (diberikan 2-5
N.VII dbn menit) bila
N.IX dbn Dx etiologis: kejang
N.XII dbn Status Phenitoin iv
Pupil bulat epileptikus infus 15mg/kg
isokor 3/3, dengan rata
Reflek cahaya +/ rata
+ 50mg/menit
Sensoris: Ranitidine inj
Dbn 50mg/2ml 2x
Kekuatan Otot: Ibuprofen
5|5 200mg 3x1
3|3
Reflek
fisiologis:
BPR +2/+2
TPR +2/+2
KPR +2/+2
APR +2/+2
Reflek patologis:
Babinski: -/-
Chaddok -/-
Oppenheim -/-
Schaefer -/-
Gordon -/-
Gonda -/-
H/T -/-
22
fisiologis:
BPR +2/+2
TPR +2/+2
KPR +2/+2
APR +2/+2
Reflek patologis:
Babinski: -/-
Chaddok -/-
Oppenheim -/-
Schaefer -/-
Gordon -/-
Gonda -/-
H/T -/-
BAB 3
PEMBAHASAN
Pada kasus ini keluhan utama yang dialami pasien adalah kejang 10 kali. Dalam
menegakkan diagnosis kejang berulang, hal pertama yang harus kita lakukan adalah
menetukan penyebab kejang berdasarkan anamnesa dan pemeriksaam fisik yang tepat.
Anamnesis meliputi :
riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat
kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat
23
kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat
persalinan, tumbuh kembang, dan penyakit yang sedang diderita.
Pemeriksaan fisik
pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat
peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu
parestesia, hipestesia, anestesia.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal
dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan kultur
darah dan
imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak
EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin
jika pasien mengalami gangguan mental
Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau
perdarahan subarachnoid.
Pada kasus ini pasien datang ke rumah sakit akibat kejang ± 10 kali sikap kejang
fleksi ekstensi disertai muntah ± 7 kali yang sebelumnya mengalami nyeri kepala selama 3hr.
Kejang yang dialami px merupakan salah satu kriteria dari status epileptikus karena kejang
terjadi lebih dari 2 kali, setelah kejang pasien tidak sadar kemudian terjadi kejang lagi.
Etiologi kejang pada pasien diduga idiopatik. Karena meskipun ditemukan tanda infeksi yaitu
dengan peningkatan WBC dan neutrofil, tetapi tanpa pemberian antibiotik dalam terapi
lain atau gangguan metabolik pada pasien untuk dicurigai sebagai etiologi. Diperlukan
pemeriksaan penunjang lain seperti CT-Scan, MRI, EEG, dan pungsi lumbar untuk
menemukan etiologi yang lain. Pada reflek fisiologi didapatkan kesan normal dan tidak
didapatkan reflek patologis. Kekuatan tonus otot, psikologis dan status interna baik.
Terapi terbaik untuk penanganan status epileptikus adalah dengan pemberian
diazepam secara iv dengan dosis 10 mg dalam waktu 2 sampai 5 menit jika kejang . Selain itu
phenitoin dapat diberikan secara intravena dengan dosis 15mg/kgbb dengan kecepatan
24
50mg/menit. Bisa juga ditambahkan obat-obatan simtomatis seperti ranitidin inj 50 mg/2ml
Daftar pustaka
25
4. Status epileptikus. Available at: http://co-ass.blogspot.com/2008/03/tanda-dan-gejala-
psikiatri.html. accessed on March, 4 2012. 20.00
5. Status epileptikus. Available at: http://adc.bmj.com/content/79/1/78/F1.large.jpg.
accessed on March, 4 2012. 20.00
6. Status Epileptikus. Available at: http://www.scribd.com/doc/31403191/Makalah-
EMS-Status-Epiletikus-Dan-SJS. accessed on March, 4 2012. 20.00
26