Anda di halaman 1dari 29

PANDUAN

PRAKTEK KLINIS (PPK) DAN CLINICAL PATHWAY


SMF PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT SATRIA MEDIKA


2019
LEMBAR PENGESAHAN

PANDUAN PRAKTEK KLINIS DAN CLINICAL PATHWAY SMF PENYAKIT DALAM

KONTRIBUTOR:

dr. Neni, Sp.PD

dr. I Putu, Sp.PD

Bekasi, Januari 2019

Rumah Sakit Satria Medika

dr. Satriawan dr. Haryanto Tangke Allo, SpOG

Direktur Ketua Komite Medis


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

(PPK)

DEMAM BERDARAH DENGUE

Suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue. Virus


Dengue memiliki 4 jenis serotype: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.
Infeksi salah satu serotype akan menimbulkan antibody terhadap
serotype yang bersangkutan, namun tidak untuk serotype lainnya,
sehingga seseorang dapat terinfeksi demam Dengue 4 kali selama
1 Pengertian
hidupnya. Indonesia merupakan Negara yang endemis untuk
(Definisi)
Demam Dengue maupun Demam Berdarah Dengue.

Keluhan :

1. Demam tinggi, mendadak, terus-menerus selama 2-7 hari


2. Manifestasi perdarahan, seperti : bintik-bintik merah di kulit,
mimisan, gusi berdarah, muntah berdarah, atau buang air
besar berdarah
3. Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.
4. Gejala gastrointestinal, seperti : mual, muntah, nyeri perut
(biasanya di ulu hati atau di bawah tulang iga)
5. Kadang disertai juga dengan gejala lokal, seperti : nyeri
menelan, batuk, pilek.

2 Anamnesis 6. Pada kondisi syok, merasa lemah, gelisah, atau mengalami


penurunan kesadaran.

Faktor Risiko

1. Sanitasi lingkungan yang kurang baik, misalnya timbunan


sampah, timbunan barang bekas, genangan air yang
seringkali disertai di tempat tinggal pasien sehari-hari.
2. Adanya jentik nyamuk Aedes aeygepti pada genangan air di
tempat tinggal pasien sehari-hari
3. Adanya penderita demam berdarah dengue (DBD) di sekitar
pasien
1. Pemeriksaan tanda vital

Pernapasan
Nadi
Suhu
Tekanan darah
2. Tanda Patognomonis
3 Pemeriksaan Fisik
Suhu > 37,5 derajat celcius
Ptekie, ekimosis, purpura
Perdarahan mukosa
Rumple Leed (+)
Hepatomegali
Splenomegali
Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma,
diperiksa tanda-tanda efusi pleura dan asites.
Hematemesis atau melena

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, Pemeriksaan Fisik,
pemeriksaan darah dan serologi dengue.

Kriteria WHO, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah


ini terpenuhi :
 Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya
bifasik/pola pelana
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut
- Uji bendung positif
- Petekie, ekimosis atau purpura
- Perdarahan mukosa atau perdarahan dari tempat lain
- Hematemesis atau melena
- Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
 Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai
berikut:
4 Kriteria Diagnosis
Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan
standard sesuai dengan umur dan jenis kelamin
Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat
terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumnya
Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura,
asites
Hipoproteinemia, hipoalbuminemia

Klasifikasi
Derajat DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat
sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi)
 Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan ialah uji bendung
 Derajat II : seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di
kulit dan atau perdarahan lain
 Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang)
atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan
lembab
 Derajat IV : Syok berat, nadi tak teraba, tekanan darah tak
terukur.
Demam Berdarah Dengue dibagi 4 kelompok

1. DBD derajat 1
2. DBD derajat 2
5 Diagnosis Kerja
3. DBD derajat 3
4. DBD derajat 4
 Demam Dengue
 Demam karena infeksi virus (influenza, chikungunya, dll)
6 Diagnosis Banding  Demam tifoid

1. Darah perifer lengkap, yang menunjukkan :


a. Trombositopenia ( < 100.000/ul )
b. Kebocoran plasma yang ditandai dengan :
Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan
standard sesuai dengan umur dan jenis
kelamin
Penurunan hematokrit > 20% setelah
mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya
Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura,
asites

7
Hipoproteinemia,
Pemeriksaan
hipoalbuminemia
c. Leukopenia (< 4000/uL)
2. Serologi Dengue, yaitu IgG dan IgM anti-Dengue yang titernya
Penunjang
dapat terdeteksi setelah hari ke 5 demam
3. NS1 (terutama hari pertama sampai hari ketiga dan umumnya
menghilang pada hari kelima demam)

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


Pemeriksaan Kadar Trombosit dan Hematokrit secara serial
Penatalaksanaan
 Terapi simptomatik dengan analgetik antipiretik (Parasetamol 3
x 500-1000 mg).
 Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
 Alur penanganan pasien dengan demam dengue/demam
berdarah dengue, yaitu : pemeriksaan penunjang lanjutan
 Pemeriksaan kadar trombosit dan hematokrit secara serial
Gambar 1. Alur penanganan pasien dengan demam berdarah
dengue
8 Tata Laksana

Konseling & Edukasi


 Prinsip konseling pada demam berdarah dengue adalah
memberikan pengertian kepada pasien dan keluarganya
tentang perjalanan penyakit dan tata laksananya, sehingga
pasien dapat mengerti bahwa tidak ada obat/medikamentosa
untuk penanganan DBD, terapi hanya bersifat suportif dan
mencegah perburukan penyakit. Penyakit akan sembuh sesuai
dengan perjalanan alamiah penyakit.
9
 Modifikasi gaya hidup
Melakukan
Edukasi kegiatan 3M menguras, mengubur,
menutup.
Meningkatkan daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi makanan bergizi dan melakukan
olahraga secara rutin.

Prognosis jika tanpa komplikasi


Vitam : Dubia ad bonam
10 Prognosis
Fungsionam : Dubia ad bonam
Sanationam : Dubia ad bonam

11 Tingkat Evidens*

12 Tingkat
Rekomendasi*

13 Penelaah Kritis*

14 Indikator (outcome)

15 Kepustakaan 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman


Tata Laksana Demam Berdarah Dengue. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
2. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan
pada Demam Berdarah Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol
22; p.3-7.
3. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever : diagnosis, treatment,
prevention and control 2nd Edition. Geneva. 1997

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


(PPK)

DEMAM TIFOID

1 Pengertian Demam Tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang


(Definisi) disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi

1. Prolonged fever (38,80 - 40,50C). Demam turun naik terutama


sore dan malam hari dengan pola intermiten dan kenaikan
suhu step-ladder. Demam tinggi dapat terjadi terus menerus
(demam kontinu) hingga minggu kedua.
2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area
frontal.
3. Gejala gastrointestinel : anoreksia, nyeri abdomen, mual,
muntah, diare, konstipasi dan BAB berdarah.
2 Anamnesis
4. Gejala penyerta lain, seperti mialgia dan artralgia, batuk,
anoreksia, insomnia
5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan
kesadaran atau kejang
1. Keadaaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit
berat
2. Kesadaran : dapat composmentis atau penurunan kesadaran
(mulai dari yang ringan, seperti apatis, somnolen hingga
yang berat misalnya delirium atau koma)
3. Suhu badan meningkat (Demam, suhu > 37.50C)
3 Pemeriksaan Fisik 4. Bradikardi relative (peningkatan suhu 10C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8x/menit)
5. Lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah
serta tremor)
6. Pemeriksaan abdomen (nyeri terutama regio epigastrik),
hepatomegali, splenomegali
7. Meteorismus
8. Gangguan mental : somnolen, stupor, koma, delirium atau
psikosis
1. Suhu badan meningkat
2. Gejala gastrointestinal : anoreksia, nyeri abdomen, mual,
muntah, diare, konstipasi
3. Bradikardi relative
4. Lidah yang berselaput
5. Uji Widal
4 Kriteria Diagnosis

Kriteria rawat inap :

1. Pasien dengan muntah persisten


2. Diare hebat hingga muncul tanda dehidrasi
3. Distensi abdomen
5 Diagnosis Kerja Demam Tifoid

1. Demam Dengue
2. Malaria
6 Diagnosis Banding
3. Enteritis bacterial
Laboratorium

1. Darah perifer lengkap sering : leukopenia, anemia dan


trombositopenia
2. Uji Widal : bila kenaikan 4x titer antibodi O dan H pada
specimen yang diambil pada jarak 2 minggu
3. Kultur darah, feses dan urin
7 Pemeriksaan
4. Uji TUBEX
Penunjang
5. Typhidot
6. Dipstick
7. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
Trilogi penatalaksanaan Demam Tifoid, yaitu :

1. Terapi suportif
 Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan
mobilisasi
 Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak,
cukup kalori dan protein, rendah serat
 Menjaga kecukupan asupan cairan, yang
dapat diberikan secara oral maupun
parenteral
 Konsumsi obat-obatan secara rutin dan
tuntas
 Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan
darah, nadi, suhu, kesadaran)
2. Terapi penunjang (simptomatik)
3. Pemberian antimikroba

Pemberian antimikroba pilihan utama :


8 Tata Laksana
1. Kloramfenikol 4x500 mg (50-70 mg/KgBB) 14-21 hari atau
sampai dengan 7 hari bebas demam
Alternatif lain :

1. Tiamfenikol 4x500 mg
2. Kotrimoksazol 2x960 mg selama 2 minggu
3. Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/KgBB selama 2 mgg
4. Sefalosporin generasi III : seftriakson 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc selama 1/2 jam per-infus sekali sehari,
selama 3-5 hari
5. Sefotaksim 2-3x1 gram, Sefoperazon 2x1 gram
6. Fluorokuinolon
 Norfloksasin 2x400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin 2x500 mg/hari (15 mg/KgBB)
selama 5-7 hari
 Ofloksasin 2x400 mg/hari (15 mg/KgBB)
selama 5-7 hari
 Perfloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
 Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari

Edukasi pasien tentang cara :

1. Pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam


tifoid yang harus diketahui pasien dan keluarganya
2. Diet, jumlah cairan yang dibutuhkan, pentahapan mobilisasi,
dan konsumsi obat sebaiknya diperhatikan atau dilihat
langsung oleh dokter, dan keluarga pasien telah memahami
serta mampu melaksanakan
3. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu kepada pasien dan
keluarga supaya bisa segera dibawa ke rumah sakit terdekat
untuk perawatan

Pendekatan Community Oriented :

9 Edukasi
Melakukan edukasi pada masyarakat tentang aspek pencegahan
dan pengendalian demam tifoid, melalui :

1. Perbaikan sanitasi lingkungan


2. Peningkatan higiene makanan dan minuman
3. Peningkatan higiene perorangan
4. Pencegahan dengan imunisasi
Jika tidak diobati, angka kematian pada demam tifoid 10-20%,
sedangkan pada kasus yang diobati angka mortalitas tifoid
sekitar 2%. Kebanyakan kasus kematian berhubungan dengan
malnutrisi, balita, dan lansia. Pasien usia lanjut atau pasien debil
prognosisnya lebih buruk. Bila terjadi komplikasi, maka prognosis
semakin buruk. Relaps terjadi komplikasi, maka prognosis
10 Prognosis semakin buruk. Relaps terjadi pada 25% kasus

11 Tingkat Evidens*

12 Tingkat
Rekomendasi*

13 Penelaah Kritis*

Perbaikan secara klinis, nafsu makan membaik, bebas demam


12-24 jam, stabil, pasien mengerti untuk melanjutkan pemberian
14 Indikator (outcome)
antibiotik oral.

1. Peters CJ. Infections Caused by Arthopod and Rodent Borne


viruses, In: Longo Fauci Kasper, Harrison’s Principles of
Internal Medicine 17th edition. United States of America.
McGrow Hill. 2008
2. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam: 2797-2805
3. Parry Christopher M, Hien Trans tinh. Thyphoid fever. N Engl
J Med 2002; 347: 1770-1782
4. Herath. Early Diagnosis of Typhoid Fever by the detection on
Salivary IgA. J Clin Pathol 2003: 56: 694-698
5. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary D, editors.
Panduan Praktik Klinis Penatalaksanaan di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Indonesia. Interna Publishing. 2015. P892-
898.

15 Kepustakaan 6. Background document: The diagnosis, and prevention of


typhoid fever. Communicable Disease Surveillance and
Response vaccines and Biologicals. World Health
Organization. 2003

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

(PPK)

DIABETES MELITUS TIPE II


Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American Diabetes Association
(ADA) adalah kumpulan gejala yang ditandai oleh hiperglikemia akibat
1 Pengertian
defek pada kerja insulin (resistensi insulin) dan sekresi insulin atau
(Definisi)
kedua-duanya.

Keluhan klasik :

1. Polifagia
2. Poliuria
3. Polidipsi
4. Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya

Keluhan tidak khas :


2 Anamnesis
1. Lemah
2. Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas)
3. Gatal
4. Mata kabur
5. Disfungsi ereksi pada pria
6. Pruritus vulvae pada wanita
7. Luka yang sulit sembuh
 Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
 Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah
dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya
hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index (ABI), untuk
mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi
 Tanda Neuropati
 Pemeriksaan mata (visus, lensa mata, retina)
 Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
 Pemeriksaan jantung
 Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
 Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
3 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat
penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis
 Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.
Kriteria Diagnosis DM

1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagia) + glukosa


plasma sewaktu > 200 mg/dL (111 mmol/L). Glukosa
plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau

2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa > 126


mg/dL. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori
tambahan sedikitnya 8 jam
Atau

3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral

4 Kriteria Diagnosis (TTGO) > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
anhidrus 75 gram yang dilarutkan dalam air.

* Pemeriksaan HbA1C (> 6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan


menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana
laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.

5 Diagnosis Kerja Diabetes Mellitus

6 Diagnosis Banding Diabetes insipidus

1. Gula Darah Puasa


2. Gula darah 2 jam post prandial
7 Pemeriksaan
3. HbA1C
Penunjang
4. Urinalisis
Tujuan penatalaksanaan :

 Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan tanda DM,


mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target
pengendalian glukosa darah.
 Jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati, dan neuropati

1. Kerangka utama penatalaksanaan Diabetes Mellitus adalah


modifikasi gaya hidup (perencanaan makanan dan latihan
jasmani) dan pengobatan (algoritma pengelolaan DM tipe 2)
2. Obat Hiperglikemik Oral (OHO)
Cara pemberian OHO, terdiri dari :

 OHO dimulai dengan dosis kecil dan


ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai
dosis optimal
 Golongan Sulfonilurea : 15 - 30 menit
sebelum makan
8 Tata Laksana
 Golongan Biguanid → Metformin :
sebelum/pada saat/sesudah makan
 Golongan Penghambat glukosidase
(Acarbose) bersama makanan suapan
pertama
 Insulin sensitizing agent

Gambar 1. Algoritme Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2

Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan toleransi


glukosa
Keluhan Klinik Diabetes

Gambar 2. Algoritma pengelolaan Diabetes Mellitus tipe 2 tanpa


komplikasi
1. Melakukan latihan jasmani teratur , 3-4 kali tiap minggu selama ±
0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continuos, Rhytmical,
Progressive, Endurance training). Misalnya jogging, jalan kaki,
lari, renang, bersepeda, dan mendayung
2. Mengatur pola makan harian yaitu dengan menu 3 porsi besar
untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3
porsi (makanan ringan, 10-15%) diantaranya, dengan konsultasi
pada ahli atau pakar gizi terlebih dahulu sebelum melakukan diet
DM.
3. Menurunkan berat badan hingga mencapai berat badan ideal
4. Mematuhi aturan selama minum Obat Hiperglikemik Oral atau
9 Edukasi
penggunaan preparat insulin untuk mencegah komplikasi dan
memperbaiki kualitas hidup pasien.
5. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi dapat dikontrol
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam : dubia ad malam
10 Prognosis
 Quo ad sanationam : dubia ad malam
11 Tingkat Evidens*

12 Tingkat
Rekomendasi*

13 Penelaah Kritis*

 Pasien diabetes memiliki tantangan seumur hidup untuk


mencapai dan menjaga kadar glukosa darah sedekat mungkin ke
angka normal. Dengan pengendalian glikemia yang cocok, resiko
terjadinya komplikasi mikrovaskuler dan neuropati menurun
secara bermakna. Sebagai tambahan jika hipertensi dan
14 Indikator (outcome)
hiperlipidemia ditangani secara agresif, resiko terjadinya
komplikasi makrovaskuler juga menurun secara drastis.
 Sekitar 60% pasien DM tipe yang mendapat insulin dapat
bertahan seperti orang normal, sisanya dapat mengalami
kebutaan, gagal ginjal kronik, dan kemungkinan meninggal
menjadi lebih cepat.
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M.Setiati,S.Eds.
Buku ajar Ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.
15 Kepustakaan (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006)
3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia.
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus pada Layanan Primer, ed.2,
2012. (Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Indonesia FKUI,
2012)
4. Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Jakarta: Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DISPEPSIA

(1) Pengertian (Definisi) Kumpulan gejala - gejala klinis yang terdiri dari adanya
sindroma yaitu : nyeri ulu hati, kembung, cepat kenyang
mual dengan tanpa muntah, sendawa, borborigmi, anoreksi
rasa asam /pahit dimulut

(2) Anamnesis Nyeri ulu hati, kembung, cepat kenyang, mual dengan/tanpa
muntah, sendawa, anoreksi, rasa asam atau pahit di mulut.

(3) Pemeriksaan Fisik 1. Nyeri tekan episgastrum atau bagian perut lainnya
2. Dapat disertai demam
3. Meteorismus
4. Bising usus normal atau menurun
(4) Kriteria Diagnosis Adanya sindroma dispepsia yaitu nyeri ulu hati, kembung,
cepat kenyang

 Mual dengan / tanpa muntah


 Sendawa
 Anoreksi
 Rasa asam / pahit dimulut
(5) Diagnosis Kerja Dispepsia

(6) Diagnosis Banding Esofagitis

(7) Pemeriksaan Penunjang 2. SGOT / SGPT, Alkali Fosfatase ,Gamma, bilirium, USG
3. Foto Oesofagus,lambung,duodenum ( bila ada
strikture) panendoskopi
4. EKG bila ada kecurigaan
(8) Terapi 1. Pada fase akut diberi makanan yang lunak dan
Tidak merangsang pemberian antasida,prokinetik
Antagonis H2 reseptor bila klinis ada hiperasiditis
penilaian dalam 4 minggu bila tidak ada perbaikan
dilakukan USG.endoskopi dilakukan sesuai dengan
perkembangan klinis penderita.
2. Indikasi rawat inap,KU lemah muntah berlebihan +
dehidrasi nyeri perut dalam + demam perdarahan
3. Edukasi (Hospital/Health Kontrol pengobatan secara teratur.
Promotion)
4. Prognosis Quo ad Vitam : bonam.

Quo ad Functionam : dubia ad bonam.

Quo ad sanationam : dubia ad bonam.

5. Indikator Medis Intake makanan baik

6. Kepustakaan 1. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo
DL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal
medicine. 19th ed. NY: McGrawHill; 2015
2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi
B, Syam AF: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-
6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
3. Standar Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah
Majalengka

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

(PPK)
DIARE AKUT

Diare akut adalah perubahan frekuensi buang air besar menjadi


lebih sering dari normal atau perubahan konsistensi feses menjadi
lebih encer atau kedua-duanya dalam waktu < 14 hari. Umumnya
disertai dengan segala gangguan saluran cerna yang lain seperti
mual, muntah, dan nyeri perut, kadang-kadang disertai demam,
darah pada feses serta tenesmus (gejala disentri). Diare juga dapat
1 Pengertian didefinisikan dari berat tinja > 200 gram per hari pada populasi
(Definisi) barat, atau kandungan air pada tinja > 200 cc per hari.

1. Onset, durasi, frekuensi, progresivitas diare, kualitas diare


2. Ada tidaknya muntah
3. Lokasi dan karakteristik nyeri perut
2 Anamnesis 4. Riwayat penyakit dahulu, penyakit dasar/komorbid
5. Petunjuk epidemiologi (daerah endemik, kejadian luar biasa)
1. Keadaan umum; kesadaran, status gizi dan tanda vital
2. Status hidrasi
3. Kualitas nyeri perut (untuk menyingkirkan penyakit lain yang
3 Pemeriksaan Fisik bermanifestasi diare akut)
4. Colok dubur dianjurkan pada semua kasus diare dengan feses
berdarah, terutama pada usia > 50 tahun
5. Identifikasi penyakit komorbid

Pemeriksaan derajat dehidrasi


4 Kriteria Diagnosis

Metode Pierce :

Dehidrasi ringan : 5% x Berat Badan (kg)

Dehidrasi sedang : 8% x Berat Badan (kg)

Dehidrasi berat : 10% x Berat Badan (kg)

Skor penilaian klinis dehidrasi

Klinis Skor

Rasa haus/muntah 1

Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg 1

Tekanan darah sistolik < 60 mmHg 2

Frekuensi nadi > 120x/menit 1

Kesadaran apati 1

Kesadaran somnolen, stupor atau koma 2


Frekuensi nafas > 30x/menit 1

Facies cholerica 2

Vox cholerica 2

Turgor kulit menurun 1

Washer women’s hand 1

Ekstremitas dingin 1

Sianosis 2

Umur 50-60 tahun -1

Umur > 60 tahun -2

5 Diagnosis Kerja Diare Akut

1. Apendisitis
2. Adneksitis
3. Diverkulitis
4. Peritonitis sekunder karena perforasi usus
5. Infeksi sistemik
6 Diagnosis Banding
6. Inflammatory bowel disease
7. Enterokolitis iskemik
8. Oklusi arteri/vena mesenterika
 Darah
 Darah perifer lengkap
 Ureum, kreatinin
 Serum elektrolit : Na+, K+, Cl-
 Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-
tanda gangguan kesimbangan asam basa
7 Pemeriksaan (pernapasan Kusmaull)
 Feses
Penunjang
 Feses lengkap (mikroskopis : peningkatan
jumlah lekosit di feses pada inflamatory
diarrhea; parasit : amoeba bentuk tropozit,
hypha pada jamur)
 Biakan dan resistensi feses (colok dubur)
 Kultur sebaiknya dilakukan terutama pada kasus dengan
dehidrasi, demam, diare berdarah, atau setelah 3 hari
pengobatan tidak ada perbaikan klinik.
 Pemeriksaan sigmoidoskopi/kolonoskopi dilakukan pada kasus
diare berdarah bila pemeriksaan penunjang yang sebelumnya
tidak memperlihatkan penyebab yang jelas.
Terapi suportif :

1. Rehidrasi cairan dan elektrolit

a. Oral : diberikan pada pasien diare akut tanpa


komplikasi atau dehidrasi ringan. Contohnya :
oralit, pedialyte, renalyte.
b. Intravena : diberikan pada pasien diare akut
dengan komplikasi dehidrasi sedang – berat
dan/atau komplikasi lainnya. Contohnya : ringer
laktat, ringer asetat

2. Evaluasi dan penatalaksanaan dehidrasi (klasifikasi


berdasar CDC AS 2008)

a. Dehidrasi minimal : kekurangan cairan < 3% dari


kebutuhan normal/BB (103% x 30-40
cc/kgBB/hari).
b. Dehidrasi ringan-sedang : kekurangan cairan 3-
9% dari kebutuhan normal/BB (109% x 30-40
cc/kgBB/hari).
c. Dehidrasi berat : kekurangan cairan >9% dari

8 Tata Laksana kebutuhan normal/BB (112% x 30-40


cc/kgBB/hari).
d. Dalam 1 jam pertama, 50% defisit cairan harus
diberikan, setelah itu 3 jam berikutnya diberikan
sisa defisit, selanjutnya diberikan sesuai dengan
kehilangan cairan melalui feses.

Terapi Simtomatik :
1. Antimotilitas : loperamid (awal 4 mg, selanjutnya 2 mg setiap
buang air besar cair, maksimal 16 mg/24 jam).
2. Antispasmodik/spasmolitik : hyosin-n-butilbromid (20 mg 2-3
kali/hari, maksimal 100 mg/24 jam), ekstrak belladona (5 – 10
mg, 3 kali/hari), papaverin (30 – 60 mg, 3 kali/hari).
3. Pengeras feses : atapulgit (2 tablet @ 630 mg setelah diare,
diulang 2 tablet setiap diare selanjutnya, maksimal 12 tablet/24
jam), kaolin-pektin (2 ½ tablet @ 550/20 mg setiap diare,
maksimal 15 tablet/24 jam).

Terapi Etiologik :

1. Infeksi

a. Bakteri : Kotrimoksazol (800/160 mg 2 kali/hari),


kuinolon (siprofloksasin 500 mg 2 kali/hari,
levofloksasin 500 mg sekali sehari), tetrasiklin (500
mg 4 kali/hari selama 3 hari).
b. Virus : tidak diberikan terapi anti virus, hanya terapi
suportif dan simtomatik.
c. Parasit : Metronidazol (250-500 mg 4 kali/hari
selama 7-14 hari), paromomisin 4 gr/24 jam dosis
terbagi).
d. Jamur : Flukonazol 50 mg 2 kali/hari, nistatin (4 kali
1-2cc/1 tablet)

2. Non-infeksi

a. Atasi penyebab dasar.


b. Hindari makanan/minuman yang menimbulkan
intoleransi atau mengandung alergen.
c. Antiinflamasi (5-ASA dan kortikosteroid)

9 Edukasi Pada kondisi yang ringan, diberikan edukasi kepada keluarga untuk
membantu asupan cairan.

Edukasi juga diberikan untuk mencegah terjadinya diare dan


mencegah penularannya.

 Qua ad vitam : Bonam


 Qua ad functionam : Bonam
10 Prognosis
 Qua ad sanationam : Bonam
11 Tingkat Evidens*

12 Tingkat
Rekomendasi*

13 Penelaah Kritis*

14 Indikator (outcome)

1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI). Konsensus


Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa di Indonesia.
Makmun D, Simadibrata M, Abdullah M, et.al., editors. Jakarta:
PGI; 2009.
2. Simadibrata M, Daldiyono. Diare akut. In Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et.al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
15 Kepustakaan Dalam, 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Camilleri M, Murray JA. Diarrhea and constipation. In Longo DL,
Fauci AS, editors. Harrison’s Gastroenterology and Hepatology,
17th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
4. McQuaid KR. Gastrointestinal disorders. In Mcphee SJ,
Papadakis MA, editors. Current Medical Diagnosis and
Treatment, 15th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.

Anda mungkin juga menyukai