Dosen pengampu:
Oleh :
Sebelum masa kemerdekaan dunia arsitektur di Indonesia didominasi oleh karya arsitek
Belanda. Masa kolonial tersebut telah mengisi gambaran baru pada peta arsitektur Indonesia.
Kesan tradisional dan vernakuler serta ragam etnik di negeri ini diusik oleh kehadiran
pendatang yang membawa arsitektur arsitektur di Indonesia.
Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Occidental (Barat) dalam
berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata kota dan bangunan. Para pengelola kota dan
arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau tradisional dalam perencanaan dan
pengembangan kota, permukiman dan bangunan-bangunan, Wardani (2009).
Arsitektur kolonial lebih banyak mengadopsi gaya neo-klasik, yakni gaya yang
berorientasi pada gaya arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Ciri menonjol terletak pada
bentuk dasar bangunan dengan trap-trap tangga naik (cripedoma). Kolom-kolom dorik, ionik
dan corinthian dengan berbagai bentuk ornamen pada kapitalnya. Bentuk pedimen, yakni
bentuk segi tiga berisi relife mitos Yunani atau Romawi di atas deretan kolom. Bentuk-bentuk
tympanum (konstruksi dinding berbentuk segi tiga atau setengah lingkaran) diletakkan di atas
pintu dan jendela berfungsi sebagai hiasan.
Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di Netherland tahun
1624-1820. Ciri-cirinya yakni (1) facade simetris, (2) material dari batu bata atau kayu tanpa
pelapis, (3) entrance mempunyai dua daun pintu, (4) pintu masuk terletak di samping
bangunan, (5) denah simetris, (6) jendela besar berbingkai kayu, (7) terdapat dormer (bukaan
pada atap) (Wardani, 2009).
Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari negeri induknya Eropa kedaerah
jajahannya, Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda yang dikembangkan di
Indonesia, selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda sekitar awal abad 17 sampai
tahun 1942 (Soekiman, 2011).
Kartono (2004) mengatakan bahwa sistem budaya, sistem sosial, dan sistem teknologi
dapat mempengaruhi wujud arsitektur. Perubahan wujud arsitektur dipengaruhi oleh banyak
aspek, akan tetapi perubahan salah satu aspek saja dalam kehidupan masyarakat dapat
mempengaruhi wujud arsitektur.Arsitektur kolonial Belanda merupakan bangunan
peninggalan pemerintah Belada dan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang merupakan aset
besar dalam perjalanan sejarah bangsa.
Situs Cagar Budaya Gereja Katedral Jakarta memiliki nama resmi De Kerk van Onze
Lieve Vrouwe ten Hemelopneming atau Gereja Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Gereja ini sudah berdiri tegak sejak tahun 1770. Gereja ini menempati lahan dengan luas 12021
m² dan luas bangunan 1679 m². Gedung gereja ini dibangun dengan gaya arsitektur neo-gotik
dari Eropa yang merupakan gaya yang lazim digunakan untuk membangun gedung gereja
beberapa abad yang lalu. Gedung gereja yang ramping dan monumental dilengkapi daun pintu
yang menjulang tinggi dan banyak jendela. Jendela-jendela tersebut dihiasi dengan lukisan
yang menjelaskan tentang peristiwa jalan salib yang pernah dialami oleh Yesus Kristus. Tepat
di bawah lukisan tersebut, di bagian kanan dan kiri gereja terdapat empat bilik yang digunakan
sebagai tempat untuk pengakuan dosa. Sementara di bagian depan terdapat altar suci pemberian
dari Komisaris Jenderal Du Bus ge Gisignies.
Ruangan-ruangan ini memiliki pintu kaca-timah yang bergaya Art & Craft seperti juga
terlihat pada dinding-dindingnya. Kaca-kaca timah yang ada pada jendela kaca bulat atau rose
maupun pada jendela-jendela lainnya lebih bermotif keagamaan. Kaca-kaca ini memberi efek
indah pada interior gereja. Denah geraja berbentuk salib dengan menghadap ke barat. Satu-
satunya gereja bergaya gotik di Jakarta ini bisa dilihat dari ciri khas kerangka struktur plafon
gotik yang terkenal dengan sebutan vaulted rib yang membentuk ruang-ruang prismatik. Di
sini dapat kita lihat prinsip arsitektur gotik dalam menyalurkan gaya beban dari atas ke bawah
dengan struktur yang jelas. Sekaligus memberi irama yang dinamis pada ruangan-ruangan di
gereja. Selain itu, pada railing tangga, engsel, dan kunci gereja ini bergaya Art & Craft yang
berkualitas tinggi.
Gereja Katedral merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang patut dijaga
dan dilestarikan. Di dalamnya terdapat perpustakaan dan museum yang menjelaskan sejarah
penyebaran ajaran Katolik di tanah Jakarta. Selain itu, lokasi Gereja Katedral yang
berseberangan dengan Masjid Istiqlal menandakan sejak dahulu manusia Indonesia telah
hidup dalam rasa toleransi dan kebersamaan yang sangat tinggi.
Seiring berjalannya waktu, gedung ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan
fungsi. Pemerintah Belanda sempat menggunakannya sebagai kantor untuk urusan
pertambangan pada 1925. Setelah merdeka, Indonesia menggunakannya sebagai tempat
menyimpan beragam arsip sebelum kemudian ditinggalkan di tahun 1979.
Sejak tak lagi menjadi gedung arsip, lokasi ini sempat terbengkalai. Banyak bagian
yang rusak karena tidak ada yang menghuni. Situasi ini sempat berlanjut hingga awal tahun
1990an. Sempat ada wacana untuk meratakan gedung dan mendirikan pusat perbelanjaan,
namun rencana itu dicegah oleh sebuah yayasan Belanda bernama Stichting Cadeau Indonesia.
Yayasan tersebut secara sukarela berusaha mengumpulkan dana untuk pemugaran gedung dan
kemudian menyerahkannya lagi untuk dikelola warga Tanah Air. Proses pemugaran selesai
pada tahun 1998 dan gedung ini akhirnya difungsikan sebagai museum dan ruang pamer. Kini
gedung tersebut dikelola oleh yayasan tanpa bantuan dari pemerintah.
Karena bangunannya memiliki gaya arsitektur Eropa yang cukup kental, Gedung Arsip
Nasional menjadi lokasi populer untuk menggelar pesta pernikahan dan event-event penting
lainnya. Tak sedikit pula pasangan yang menggelar sesi foto pre-wedding mereka di lokasi
bersejarah ini.
Gereja Blenduk (GPIB Immanuel) didirikan pada tahun 1742 M oleh bangsa Portugis
dengan pendeta pertamanya adalah Johannes Wilhelmus Swemmelaar (1753-1760 M). Gereja
ini pada awalnya berbentuk rumah panggung jawa dengan atap yang sesuai dengan arsitektur
Jawa. dan pada tahun 1894-1895 setelah kedatangan Belanda, dilakukan perombakan besar-
besaran dengan perubahan bentuk yang drastis dengan penambahan dua buah menara, Bentuk
atapnya yang tampil berupa kubah setengah bola membuat masyarakat luas lebih mengenal
bangunan ini dengan sebutan Gereja Blenduk, karena “blenduk” berasal dari kata dalam bahasa
jawa “mblenduk” yang artinya adalah suatu bentuk yang menggelembung besar.
Arsitektur Gereja Blenduk merupakan Pseudo Baroque, sebuah gaya arsitektur yang
berkembang di Eropa sekitar abad XVII-XIX M. Denahnya berbentuk segi delapan beraturan
dan atap berbentuk kubah. Atap kubah Gereja Blenduk serupa dengan atap bangunan St. Paul’s
(1675-1710) yang merupakan karya Sir Christopher Wren. Kerangka kubah menggunakan
konstruksi besi dengan 32 buah jari-jari serta dilengkapi gelang baja sebagai titik pusat jari-jari
besi tersebut. Dindingnya dari bata yang diplester dan finishingnya berupa cat.
4. ISTANA KEPRESIDENAN RI, BOGOR
Istana Bogor terletak di pusat kota Bogor, di atas tanah berkultur datar, seluas sekitar 28.86
hektar. Istana Bogor dizaman kolonial menjadi salah satu tempat favorit Gubernur Jendral
Hindia Belanda untuk beristirahat dari penat dan panasnya kota Batavia.
Gagasan pembangunan Istana Bogor diawali dari perjalanan Gubernur Jenderal van Imhoff
untuk mencari lokasi untuk peristirahatan pada 10 Agustus 1744. Van Imhoff lalu menemukan
sebuah tempat yang baik dan berudara sejuk di Kampong Baroe. Terkesan dengan lokasi
tersebut pada tahun 1745, Gubernur Jenderal van Imhoff memerintahkan pembangunan sebuah
pesanggrahan yang diberi nama Buiten zorg (artinya “bebas masalah/kesulitan”).
Gunernur Jendral Imhoff membuat sendiri sketsa Buiten zorg dengan meniru arsitektur
Blenheim Palace, kediaman Duke of Malborough, dekat kota Oxford di Inggris. Namun hingga
jabatannnya sebagai Gubernur Jenderal berakhir, bangunan tersebut belum kunjung selesai.
Penyelesaian bangunan Istana Bogor baru selesai pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal
Charles Ferdinand Pahud de Montager (1856-1861) dengan banyak perubahan dari desain awal
penggagasnya.
Pada akhir tahun 1949, Kerajaan Belanda resmi mengakui kedaulatan Indonesia secara de
jure melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Akhirnya Paleis Buitenzorg secara
resmi diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan berubah nama menjadi Istana
Kepresidenan RI Bogor. Istana Kepresidenan Bogor mulai dipakai oleh pemerintah Indonesia
sejak Januari 1950. Setelah kemerdekaan fungsi istana Bogor berubah menjadi kantor urusan
kepresidenan serta menjadi kediaman resmi Presiden Republik Indonesia. Pada 1952 bagian
depan Gedung Induk mendapat tambahan bangunan berupa sepuluh pilar penopang bergaya
Ionia yang menyatu dengan serambi muka yang tertopang enam pilar dengan gaya arsitektur
yang sama. Sementara anak tangga yang semula berbentuk setengah lingkaran diubah
bentuknya menjadi lurus. Jembatan kayu lengkung yang menghubungkan Gedung Utama dan
gedung sayap kiri dan sayap kanan diubah menjadi koridor.
Museum Fatahillah
disebut juga Museum Sejarah
Jakarta atau Museum Batavia
dulunya adalah Gedung Balai
Kota yang dibangun pada tahun
1707-1710 atas perintah
Gubernur Jendral Johan Van
Horn. Bangunan ini menyerupai
Istana Dam di Amsterdam, terdiri
atas bangunan utama dengan dua
sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan untuk kantor, ruang
pengadilan dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai untuk penjara. Setelah mengalami
beberapa kali perubahan fungsi gedung ini ditetapkan sebagai Museum Sejarah Jakarta pada
30 Maret 1974.
Arsitektur museum ini bergaya desain abad ke-17 yaitu Neo-Klasik dengan warna lantai
cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua, selain itu bagian
atap memiliki penunjuk arah mata angin yang mempertegas sisi solid dari bangunan ini.
Lawang Sewu merupakan salah satu ikon arsitektur bersejarah yang terletak di jalan
Pemuda, kota Semarang. Pembangunan Lawang Sewu oleh Hindia Belanda berlangsung
sepanjang 1904-1907 untuk Het hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg
Maatschappij (Kantor Pusat Administrasi Kereta Api - NIS). NIS menunjuk Prof. Jacob F.
Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Quendag dari Amsterdam sebagai arsiteknya.
Kompleks bangunan ini dikenal masyarakat dengan sebutan “Lawang Sewu” atau pintu
seribu karena jumlah pintu dan jendelanya yang cukup banyak, sehingga disebut “sewu”
(seribu, bahasa Jawa untuk menyebut sesuatu yang banyak sekali). Sedangkan jumlah
persisnya 928 pintu dan jendela. Banyaknya jumlah pintu dan jendela tak lepas dari iklim
Indonesia yang tropis, agar sirkulasi udara lancar. Gedung ini juga memiliki koneksi antar
ruang dengan pertimbangan keamanan.
Arsitektur Lawang Sewu disesuaikan dengan kondisi cuaca di Indonesia yang selalu
disinari matahari. Agar lantai selalu dingin, dibuatlah lorong bawah tanah yang digenangi air
dan dilengkapi dengan lorong-lorong yang berfungsi sebagai ventilasi pada setiap ruangan di
atasnya. Desain atap dan langit-langit dibuat dengan perencanaan yang baik supaya dapat
menyirkulasi udara panas keluar melalui ventilasi.
Bangunan ini dibangun dengan konsep arsitektur khas Eropa, yaitu Art Deco. Dari sisi
konstruksi, gedung ini dibangun tanpa menggunakan semen, melainkan adonan bligor, atau
ada juga yang menyebutnya pese, yakni istilah lokal untuk menyebut campuran pasir, kapur,
dan batu bata merah. Kelebihan bligor dibanding semen adalah bangunan jadi tak mudah retak,
tak heran jika tak ditemukan retakan di Lawang Sewu. Bligor juga lebih awet dan menyerap
air, sehingga ruang dalamnya sejuk.Konstruksinya juga tanpa besi. Atapnya dibuat berbentuk
melengkung setengah lingkaran tiap setengah meter untuk mengurangi tekanan. Struktur atap
dari bata yang disusun miring layaknya struktur jembatan.
Pada masa pendudukan Jepang, bangunan ini dijadikan markas militer Jepang,
Kempetai dan Kidobutai. onesia (DKARI), Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer
(Kodam IV/Diponegoro), dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa
Tengah sampai 1994. Dari 1994 hingga sekarang, bangunan yang juga masuk dalam daftar
bangunan cagar budaya ini sempat kosong. Namun kini Lawang Sewu dikelola PT KAI dan
menjadi atraksi wisata sejarah paling dituju di Kota Semarang, dan juga digunakan sebagai
museum kereta api. Di dalamnya terdapat banyak sejarah, memorabilia, dan ilustrasi tentang
industri perkeretaapian Indonesia sejak zaman Belanda.