Anda di halaman 1dari 40

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN


PERUMUSAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Hakikat Kreativitas

Kreativitas merupakan suatu bidang kajian yang cukup kompleks,

karena dapat menimbulkan berbagai perbedaan pandangan. Perbedaan itu

terletak pada definisi kreativitas, kriteria perilaku kreatif, proses kreatif,

hubungan kreativitas dan intelegensi, karakteristik orang kreatif, korelat-

korelat kreativitas, dan upaya untuk mengembangkan kreativitas. Dalam

beberapa tahun terakhir, ada topik baru yang mengundang banyak

tanggapan, yaitu hubungan kreativitas dengan belahan otak.

Kreativitas didefinisikan secara berbeda-beda. Sedemikian

beragam definisi itu, sehingga pengertian kreativitas tergantung pada

bagaimana orang mendefinisikannya – “creativity is a matter of

definition”. Tidak ada satu definisi pun yang dianggap dapat mewakili

pemahaman yang beragam tentang kreativitas. Hal ini disebabkan oleh dua

alasan. Pertama, sebagai suatu “konstruk hipotesis”, kreativitas merupakan

ranah psikologis kompleks dan multidimensional, mengundang berbagai

tafsiran yang beragam. Kedua, definisi-definisi kreativitas memberikan

tekanan berbeda-beda, tergantung dasar teori yang menjadi acuan pembuat

definisi.1

1
Dedi Supriadi, Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan Iptek (CV. Alfabeta: Bandung, 1994), h.6.

10
11

Kreativitas dapat dipandang sebagai proses dan sebagai produk.

Kreativitas sebagai proses adalah kemampuan mengidentifikasi banyak

kemungkinan solusi pada persoalan tertentu. 2 Suatu proses yang bersifat

imajinatif, tidak konvensional, estetis, fleksibel, integrasi informasi dan

proses sejenis (Sprinthall dan Sprinthall, 1990:124), atau setiap tindakan,

gagasan atau produk yang merubah domain yang ada atau domain yang

baru.3

Kreativitas sebagai produk berkaitan dengan penemuan sesuatu,

memproduksi sesuatu yang baru, daripada akumulasi ketrampilan atau

berlatih pengetahuan dan mempelajari buku. Kreativitas berkaitan dengan

apa yang dikembangkan.4 Berdasarkan analisis faktor, Guilford dalam

Supriadi menemukan bahwa ada lima sifat yang menjadi ciri kemampuan

berpikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility),

keaslian (originality), penguraian (elaboration), dan perumusan kembali

(redefinition). Kelancaran adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak

gagasan. Keluwesan adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-

macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah. Orisinalitas adalah

kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak

klise. Elaborasi adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara

terinci. Redefinisi adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan

berdasarkan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah diketahui

oleh banyak orang.5

Kreativitas menurut Mac Kinnon adalah kombinasi dari berbagai

unsur yang unik, sebuah kombinasi dimana seorang pemimpin memahami

2
Veithzal Rivai, Efektivitas Praktik Bahasa Inggris, http://www.depdiknas.go.id. h.5. tahun 2004
3
Veithzal Rivai, ibid, h.6. tahun 2004
4
Loc., Cit
5
Ibid. h.7.
12

pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam berbagai situasi,

pemecahan masalah hingga tuntas yang ditopang dengan pengetahuan. 6

Masih ada puluhan definisi mengenai kreativitas. Namun pada intinya ada

persamaan antara definisi-definisi tersebut, yaitu kreativitas merupakan

kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa

gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah

ada sebelumnya.

Ada hubungan yang erat antara definisi dan teori kreativitas.

Bagaimanakah kreativitas didefinisikan, tergantung kepada bagaimanakah

kreativitas diteorikan. Seperti halnya definisi kreativitas, teori kreativitas

sangat beragam. Namun tidak ada satu pun teori yang mampu menjelaskan

secara komprehensif fenomena kreativitas yang kompleks dan

multidimensional. Karena itu, ada usaha untuk mengelompokkan teori-

teori kreativitas.

Gowan dalam Supriadi mengelompokkan teori-teori kreativitas

kedalam tiga kategori, yaitu: (1) kognitif, rasional, dan semantik; (2)

faktor-faktor kepribadian dan lingkungan; (3) kesehatan mental dan

penyesuaian diri; (4) psikoanalitik dan neo-psikianalitik; dan (5)

psikokelik yang menekankan aspek eksistensial dan non-rasional manusia.

Sementara itu, Mackler & Sontz dalam Supriadi menggolongkan teori

krativitas kedalam enam kelompok yaitu: (1) psikoanalitik; (2)

asosianistik; (3) gestalt; (4) eksistensial; (5) interpersonal; dan (6) ciri atau

sifat (traits).7

6
Stepen I. Yelon and Grace E. Weinstein, A Teacher’s World: Psychology In The Classroom (Michigan: McGraw-
Hill, 1977), h.232.
7
ibid. h.8
13

Teori psikoanalitik menganggap bahwa proses ketidaksadaran

melandasi kreativitas. Kreativitas merupakan manifestasi dari

psikopathologi. Teori asosiasi memandang kreativitas sebagai hasil dari

proses asosiasi dan kombinasi dari elemen-elemen yang telah ada,

sehingga menghasilkan sesuatu yang baru. Teori Gestalt memandang

kreativitas sebagai manifestasi dari proses tilikan individu terhadap

lingkungannya secara holistik. Teori eksistensial mengemukakan bahwa

kreativitas merupakan proses untuk melahirkan sesuatu yang baru melalui

perjumpaan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

Sebagai penganut teori eksistensial, May (1980), misalnya berpendapat

bahwa setiap perilaku kreatif selalu didahului oleh “perjumpaan” yang

intens dan penuh kesadaran antara manusia dengan dunia sekitarnya.

Teori interpersonal menafsirkan kreativitas dalam konteks

lingkungan sosial. Dengan menempatkan pencipta (creator) sebagai

innovator dan orang di sekeliling sebagai pihak yang mengaku hasil

kreativitas, teori ini menekankan pentingnya nilai dan makna dari suatu

karya kreatif. Nilai mengimplikasikan adanya pengakuan sosial. Teori sifat

atau ciri memberikan tempat khusus kepada suatu usaha untuk

mengidentifikasikan ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik utama

kreativitas. Guilford, termasuk dalam kelompok ini.

Definisi kreativitas juga dibedakan ke dalam definisi konsensual

dan definisi konseptual. Definisi konsensual menekankan segi produk

kreatif yang dinilai sederajat kreativitasnya oleh pengamat yang ahli.

Amabile mengemukakan bahwa suatu produk atau respon seseorang


14

dikatakan kreatif apabila menurut penilaian orang yang ahli atau pengamat

yang mempunyai kewenangan dalam bidng itu bahwa kreatif. Dengan

demikian, kreativitas merupakan kualitas suatu produk atau produk yang

dinilai kreatif oleh pengamat yang ahli.8

Definisi-definisi tersebut didasari asumsi-asumsi sebagai berikut:

(a) produk kreatif atau respon-respon yang dapat diamati merupakan

manifestasi dari puncak kreativitas; (b) kreativitas adalah sesuatu yang

dapat dikenali oleh pengamat luar dan mereka dapat sepakat bahwa

sesuatu itu adalah produk kreatif; (c) kreativitas berbeda derajatnya, dan

para pengamat dapat sampai pada kesepakatan bahwa suatu produk lebih

kreatif daripada yang lainnya. Definisi konsensual sering digunakan dalam

studi kreativitas dalam lapangan keilmuan dan kesenian, baik menyangkut

produk, orang, proses, maupun lingkungan tempat orang-orang kreatif

megembangkan kreativitasnya.

Definisi konseptual bertolak dari konsep tertentu tentang

kreativitas yang dijabarkan ke dalam kriteria tentang apa yang disebut

kreatif. Meskipun tetap menekankan segi produk, definisi ini tidak

mengandalkan semata-mata pada konsensus pengamat dalam menilai

kreativitas, melainkan didasarkan pada kriteria tertentu. Secara konseptual,

Amabile melukiskan bahwa suatu produk dinilai kreatif apabila; (a)

produk tersebut bersifat baru, unik, berguna, benar, atau bernilai dilihat

dari segi kebutuhan tertentu; (b) lebih bersifat heuristik, yaitu

menampilkan metode yang masih belum pernah atau jarang dilakukan oleh

orang lain sebelumnya.9

8
Loc. Cit
9
Ibid, h.9
15

Dalam praktek penilaian terhadap kreativitas (yakni produk dan

orangnya), kriteria kreativitas yang dicakup dalam definisi konseptual

pada akhirnya sangat tergantung pada pertimbangan penilai yang biasanya

lebih dari satu orang: sejauh manakah mereka sepakat bahwa sesuatu atau

seseorang itu kreatif? Oleh sebab itu, pada kedua definisi tersebut,

pertimbangan subjektif sangat besar.

Di antara berbagai definisi tentang kreativitas, definisi yang

dikemukakan oleh Stein mewakili definisi konseptual maupun definisi

konsensual tentang kreativitas. Stein sangat menekankan segi produk

kreatif yang telah nyata, seperti ditunjukkan dalam karya kreatif. Stein

menulis, “The creative work is a novel work that is accepted as tenable or

useful or satisfying by a group in some point in time.” Dimensi konseptual

dari kreativitas menurut definisi ini tercermin pada kriteria kreativitas,

yaitu novel, tenable, useful, dan, satistying. Di pihak lain, dimensi

konsensual dinyatakan melalui kata-kata “that is accepted by a group in

some point in time”. Pengertian setiap istilah di atas diuraikan berikut ini:

kata novel (baru) berarti bahwa suatu produk yang dinilai kreatif bersifat

orisinil. Meskipun tidak berarti sama sekali baru, produk tersebut

mencerminkan hasil kombinasi baru atau reintegrasi yang sudah ada,

sehingga melahirkan sesuatu yang baru. Bobot kreativitas suatu produk

akan tampak pada sejauh manakah ia berbeda dari apa yang telah ada

sebelumnya. Dalam bidang apapun, kreativitas manusia tidak terjadi

secara ex-nihilio (datang dari kevakuman), melainkan didahului oleh

penemuan-penemuan terdahulu. Hal ini terutama nyata dalam lapangan


16

ilmu dan teknologi. Dalam penemuan sekalipun, sesuatu tidak ditemukan

secara ex-nihilo, karena hokum-hukum alam sebagai kreasi Sang Maha

Pencipta telah lebih dahulu ada. Tuhan menciptakan, manusia

menemukan. Kalimat “that the creative work is tenable or useful or

satisfying” mengandung arti bahwa suatu produk kreatif harus berlaku,

berguna, dan memuaskan sejauh dinilai oleh orang lain. Ketiga istilah ini

menekankan bahwa hasil dari proses kreatif haruslah dikomunikasikan

kepada orang lain, sehingga produk tersebut kreatif oleh pembuatnya,

selama belum diuji dan divalidasi secara konsensual, yang berarti harus

dikomunikasikan. Oleh sebab itu, pengakuan orang lain, khususnya para

ahli, sangatlah penting.10

Dengan menggunakan definisi konseptual dan konsensual tentang

kreativitas, studi terhadap ilmuwan senior (Supriadi, 1989) misalnya dapat

menggunakan kriteria: (a) sumbangan mereka terhadap ilmu pengetahuan;

(b) keanggotaan dalam organisasi profesi; (c) penghargaan yang pernah

diterima; dan (d) jabatan keahlian yang pernah atau sedang dipegang.

Dalam bidang keilmuan, pengakuan terhadap kreativitas suatu karya

keilmuan diberikan oleh komunitas ilmuwan pada bidang yang sesuai

dengan disiplinnya, seperti dinyatakan oleh Stein melalui kalimat “the

creative work is accepted by a group”, atau dengan kata lain “the creative

product is congruent with the needs or experience of a group”. Pengakuan

dari orang lain yang ahli memungkinkan individu kreatif untuk melakukan

validasi terhadap karya-karyanya.11

10
Loc. Cit
11
Ibid, h. 10.
17

Segi keempat adalah “the creative work is accepted at some point

in time”. Kalimat ini menekankan dimensi waktu dari pengakuan orang

terhadap suatu kreatif. Suatu karya mungkin diakui sebagai karya kreatif

luar biasa pada suatu masa, tetapi tidak demikian halnya pada masa

selanjutnya. Dalam seni lukis, misalnya karya Vincent van Gough

dianggap bukan karya lukis yang luar biasa pada saat dia masih hidup,

tetapi satu abad kemudian, karya-karyanya terjual dengan harga puluhan

juta dollar karena dinilai oleh komunitas seniman, kritikus, dan kolektor

seni sebagai karya kreatif istimewa. Begitu juga dalam lapangan keilmuan,

teori yang menyatakan bahwa atom adalah benda terkecil yang tidak dapat

dibagi lagi dianggap sebagai teori yang paling kreatif pada masanya.

Tetapi setelah datang teori Madam Curie yang menyatakan bahwa atom

terdiri atas proton, neutron, dan elektron, teori terdahulu mengalami

penurunan nilai kreativitasnya. Jadi, nilai kreativitas suatu produk

tergantung atas faktor waktu.

Dalam karya monumentalnya, A study of History (1947), Arnold

Toynbee berbicara tentang mimesis kreativitas, yaitu orang-orang atau

karya-karya kreatif terdahulu mengalami penurunan nilai karena

ditemukan hal-hal baru yang lebih mampu menjelaskan dan memecahkan

masalah. Mimesis kreativitas oleh Toynbee diartikan sebagai “those who

have been successful innovators of the past, tend to disqualify themselves

for successful innovation in the future”. Mimesis dapat terjadi pada orang,

institusi, atau teknik pemecahan masalah.12

12
Loc. Cit
18

Kreativitas suatu produk bukan hanya tergantung kepada factor

waktu, melainkan juga tempat. Suatu karya mungkin dianggap kreatif pada

satu tempat, tetapi tidak demikian halnya pada tempat yang lain. Suatu

penemuan dibidang ilmu dan teknologi mungkin tergolong langka pada

suatu negara, tetapi di negara yang lain hal tersebut telah banyak

ditemukan. Pernyataan ini menekankan bahwa kreativitas tergantung pula

atas konteks sosial budaya. Oleh sebab itu Amabile mengemukakan bahwa

penilaian terhadap kreativitas pada akhirnya terikat kepada konteks sosial,

budaya, dan waktu.

Menempatkan kreativitas dalam konteks komunitas orang-orang

yang mengapresiasi karya, tempat, dan waktu tidak berarti kualitas

intrinsic karya kreatif tersebut diabaikan. Justru pengakuan itu diberikan

oleh orang lain karena karya itu memiliki kualitas intrinsik tertentu, di

samping memiliki signifikan sosial. Dalam lapangan keilmuan, kreativitas

suatu karya bukan hanya ditentukan oleh kepentingan ilmu, melainkan

juga diabdikan untuk kepentingan umat manusia. Atas dasar inilah, maka

komunitas ilmuwan secara moral diikat oleh etika keilmuan dalam

melakukan ikhtiar keilmuannya.

Dari uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan suatu gagasan

maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada

sebelumnya, dimana kemampuan tersebut memiliki kriteria proses, person,

dan produk kreatif. Berdasarkan pemahaman tersebut, indikator kreativitas

mencakup: (1) memiliki daya imajinasi yang kuat; (2) memiliki banyak
19

inisiatif; (3) memiliki energi besar dan orientasi jangka panjang; (4)

memiliki sikap tegas; (5) memiliki minat luas; (6) mempunyai sifat ingin

tahu; (7) berani mengambil resiko; (8) berani berpendapat; dan (9)

memiliki rasa percaya diri.

2. Hakikat Motivasi Berprestasi

Membicarakan motivasi berarti membicarakan faktor kemampuan

untuk membuat individu melakukan suatu pekerjaan secara optimal

dengan memperhatikan konsep efektif dan efesien. Para ahli memberikan

pendapat tentang pengertian motivasi ini, keanekaragaman pengertian

muncul sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing terhadap

motivasi tersebut.

Memotivasi pegawai atau guru perlu mendapat perhatian utama

dari setiap pimpinan. Alasannya adalah bahwa setiap pimpinan berupaya

mencapai hasil melalui orang lain (anggota organisasi), sehingga apabila

tidak dapat memotivasi mereka untuk menyelesaikan suatu tugas dengan

baik berarti seorang pemimpin telah gagal menjalankan tugasnya. Yang

menjadi persoalan adalah bahwa memotivasi bawahan merupakan hal

yang tidak mudah dilakukan karena manusia yang harus memotivasi

memiliki kompleksitas pribadi dengan perilaku yang tidak sama, antara

lain adanya perbedaan kepribadian, kebutuhan, dan sasaran.

Banyak ahli yang mengungkapkan konsep-konsep motivasi,

diantaranya menurut Ranupandojo dan Husnan yang mendefinisikan

motivasi sebagai proses untuk mencoba mempengaruhi seseorang agar

melakukan sesuatu yang kita inginkan.13 Senada dengan pendapat di atas

13
Heidjrahcman dan Suad Husnan, Manajemen Personalia, (Yogyakarta: BPFE-UGM, 2000), h. 197.
20

Hasibuan mendefinisikan motivasi adalah pemberian daya gerak yang

menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mau bekerja sama, bekerja

efektif, dan terintegrasi dengan segala daya dan upayanya untuk mencapai

kepuasan.14

Menurut Edwin B. Flippo dalam Hasibuan, mendefinisikan

motivasi sebagai suatu keahlian, dalam mengarahkan pegawai dan

organisasi agar mau bekerja secara berhasil, sehingga keinginan para

pegawai dan tujuan organisasi sekaligus tercapai.15 Di sisi lain American

Encyclopedia dalam Hasibuan mendefinisikan motivasi adalah

kecenderungan (suatu sifat yang merupakan pokok pertentangan) dalam

diri seseorang yang membangkitkan topangan dan mengarahkan tindak-

tanduknya.16 Motivasi meliputi faktor kebutuhan biologis dan emosional

yang hanya dapat diduga dari pengamatan tingkah laku manusia. Merle J.

Moskowits dalam Hasibuan mendefinikan motivasi sebagai inisiatif dan

pengarahan tingkah laku dan pelajaran, dimana motivasi sebenarnya

merupakan pelajaran tingkah laku.17

Gibson, dkk yang mengutip pendapat Barlson dan Steiner,

mendefinisikan motivasi dengan: “suatu keadaan di dalam diri seseorang

(innerstate) yang mendorong, mengaktifkan atau menggerakkan dan

mengarahkan atau mengatur perilaku ke arah tujuan”.18

Barlson mengatakan bahwa motivasi berada dalam diri setiap individu

yang lebih sering disebut oleh para ahli dengan sebutan motivasi intrinsik,

yang sebenarnya telah menjadi kodrati setiap manusia, hanya saja kadang-

kadang motivasi tersebut belum termanfaatkan secara maksimal, sehingga

14
Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakart: Bumi Aksara, 2000), h. 142.
15
Loc. Cit
16
Loc. Cit
17
Loc. Cit
18
Gibson, dkk, Manajemen Sumber Daya Manusia, Alih Bahasa Ali Musa (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h.51
21

dapat menjadikan individu melaksanakan tugas dalam kondisi yang belum

memiliki semangat atau sifat antusias.

Di sisi lain Nurtain melihat motivasi sering dirumuskan orang

sebagai kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, dorongan-dorongan

dan bisikan (impulse) dalam diri individu. Guru sebagai individu akan

bekerja dengan baik, kalau memiliki motivasi yang tinggi dalam

pelaksanaan tugasnya.

Kadarman, S.J. dan Udaya mengungkapkan istilah motivasi

mencakup dua pengertian: (1) suatu aktivitas yang dilaksanakan oleh para

manajer; (2) suatu dorongan psikis dari dalam diri seseorang yang

menyebabkan ia berperilaku secara tertentu, terutama di dalam lingkungan

pekerjaan.19 Selanjutnya Kadarman dan Udayana mengungkapkan bahwa

motivasi (to motivative) berarti tindakan dari seseorang yang ingin

mempengaruhi orang lain untuk berperilaku (to behave) secara tertentu.

Jika digunakan dalam konteks ini, maka motivasi menjelaskan suatu

aktivitas manajemen, atau sesuatu yang dilakukan manajer untuk

membujuk/mempengaruhi bawahannya bertindak secara organisatoris

dengan cara tertentu untuk menghasilkan hasil-hasil yang efektif. Dengan

demikian dapatlah dikatakan bahwa peran dari seorang pimpinan adalah

memotivasi seseorang. Dalam hal ini ada hubungan antara kepemimpinan

dan motivasi.20

Menurut Hasibuan pada garis besarnya motivasi yang diberikan

bisa dibagi menjadi dua yaitu motivasi positif dan motivasi negatif.

Motivasi positif adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain

19
A. M. Kadarman, SJ. Dan Yusuf Udaya, Pengantar Ilmu Manajemen (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1994, h. 110)
20
Ibid. h. 56
19
A.M. Kadarman, SJ. Dan Yusuf Udaya, Pengantar Ilmu Manajemen (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994, h.110
20
Ibid, h. 56
21
Malayu S.P. Hasibuan, Op. Cit. h. 152
22

agar menjalankan sesuatu yang kita inginkan dengan cara memberikan

kemungkinan untuk mendapatkan “hadiah”. Motivasi negatif adalah

proses untuk mempengaruhi seseorang agar mau melakukan sesuatu yang

kita inginkan, tetapi teknik dasar yang digunakan adalah lewat kekuatan

ketakutan.21

Dapat dimengerti bahwa motivasi merupakan faktor yang perlu dan

harus dibina dalam diri individu, agar mampu dimanfaatkan untuk

menunjang pemenuhan dan pencapaian tujuan. Dipahami juga bahwa

motivasi dan kemampuan untuk menghasilkan memang merupakan syarat

pokok yang istimewa bagi manusia yang langsung berpengaruh terhadap

tingkat dan mutu kinerja.

Menarik pengertian dan pemahaman dari uraian-uraian di atas,

dapatlah disusun suatu garis lurus bahwa motivasi berprestasi memiliki

indikator-indikator antara lain: (1) keinginan untuk melakukan tugas

secara optimal, meliputi keinginan untuk menerima dan memperoleh

tingkat sosial dalam masyarakat, memperoleh pengakuan dari orang lain,

dan diterima keberadaannya; (2) berikhtiar dalam segala aktifitas dengan

antusias, meliputi giat bekerja, ingin puas dengan hasil kerja, mampu

bekerjasama dengan mitra; (3) bekerja merupakan suatu keperluan,

mencakup untuk memenuhi kehidupan, membina keamanan dan

penerimaan dari masyarakat. Menurut Ranupandojo dan Husnan ada

berbagai teori-teori tentang motivasi, diantaranya:

21
Malayu S.P. Hasibuan, Op.Cit.h. 152
23

a. Content Theory

Teori ini menekankan tentang arti pentingnya pemahaman

faktor-faktor yang ada di dalam individu yang menyebabkan mereka

bertingkahlaku tertentu. Dalam pandangan teori ini, setiap individu

mempunyai kebutuhan yang ada di dalam (inner needs) yang

menyebabkan mereka didorong, ditekan, atau dimotivisir untuk

memenuhinya. Kebutuhan tertentu yang mereka rasakan akan

menentukan tindakan yang mereka lakukan, yaitu para individu akan

bertindak memuaskan kebutuhan mereka. Nampaknya teori ini sangat

sederhana yang diperlukan manajer adalah bagaimana menebak

kebutuhan para karyawan, dengan mengamati perilaku mereka,

kemudian memilih cara apa yang bisa digunakan supaya mereka mau

bertindak sesuai dengan keinginan manajer tersebut. Meskipun

demikian, kita akan melihat betapa sulitnya penerapan teori ini dalam

praktek, yang terutama disebabkan hal-hal sebagai berikut: pertama,

kebutuhan sangat bervariasi antar individu. Banyak manajer yang

ambisius, sangat didorong untuk mencapai status dan kekuasaan,

sangat sulit untuk memahami bahwa tidak semua orang yang bekerja

di bawah pimpinannya bisa didorong dengan nilai-nilai yang sama.

Sebagai hasilnya, manajer-manajer tersebut mungkin merasa frustasi

karena tidak bisa memberikan “motivasi” kepada bawahannya.

Perbedaan-perbedaan individual antara bawahan sangat

membuat makin complicated tugas memberikan motivasi yang harus

dilakukan oleh para pemimpin. Kedua, perwujudan kebutuhan dalam


24

tindakan juga sangat bervariasi antara satu orang dengan yang lain.

Seseorang dengan security need yang kuat mungkin memilih “bermain

aman” dan menghindari tanggung jawab yang lebih besar, karena takut

untuk gagal. Sebaliknya, seseorang dengan kebutuhan yang sama

bahkan justru mencari pekerjaan dengan tanggung jawab yang lebih

besar, karena ia takut diberhentikan karena prestasi kerja yang biasa-

biasa saja. Ketiga, para individu tidak selalu konsisten dengan tindakan

mereka karena dorongan suatu kebutuhan. Suatu hari seseorang

mungkin bekerja sangat luar biasa sewaktu kita berikan pekerjaan yang

penuh tantangan. Sebaliknya, suatu ketika orang yang sama mungkin

bekerja dengan sedang-sedang saja dalam menjalankan pekerjaan yang

sama. Akhirnya, reaksi para individu terhadap keberhasilan atau

kegagalan memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka juga bisa

berbeda-beda. Beberapa individu dengan security need yang kuat dan

gagal untuk mencapai tujuan mereka mugkin frustasi dan berhenti

tidak mau mencoba lagi. Sedangkan individu-individu yang lain

mungkin malah meningkatkan usaha mereka agar bisa berhasil lain

kali.

b. Process Theory

Process theory bukannya menekankan pada isi keutuhan dan

sifat dorongan dari kebutuhan tersebut, tetapi pendekatan ini

menekankan pada bagaimana dan dengan tujuan apa setiap individu

dimotivisir. Dalam pandangan ini, kebutuhan hanyalah salah satu

elemen dalam suatu proses tentang bagaimana para individu


25

bertingkah laku. Sebagai misal, seseorang mungkin melihat adanya

kemungkinan besar untuk menerima suatu imbalan (katakan

memperoleh kenaikan gaji) apabila mereka bertindak tertentu

(misalkan dengan bekerja keras). Imbalan menjadi suatu perangsang

(incentive) atau motif untuk perilaku mereka.

Dasar dari teori proses tentang motivasi ini adalah adanya expentacy

(pengharapan) yaitu apa yang dipercaya oleh para individu akan

mereka peroleh dari tingkah laku mereka. Faktor tambahan dari teori

ini adalah valence (kekuatan) dari preferensi individu terhadap hasil

yang diharapkan.

c. Reinforcement Theory

Teori ini tidak menggunakan konsep suatu motif atau proses

motivasi. Sebaliknya teori ini menjelaskan bagaimana konsekuensi

perilaku di masa yang lalu mempengaruhi tindakan di masa yang akan

datang dalam suatu siklus proses belajar. Dalam pandangan teori ini

individu bertingkah laku tertentu karena di masa lalu mereka belajar

bahwa perilaku tertentu akan berhubungan dengan hasil yang

menyenangkan, dan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat yang

tidak menyenangkan.22

Disamping teori-teori yang dikemukakan di atas, Kadarman dan

Udaya mengemukakan beberapa model motivasi:

a. Model Tradisional

Model tradisional tentang motivasi dimulai oleh Frederick

Taylor, berpendapat bahwa aspek yang penting dari tugas manajer

22
Heidjrahcman dan Suad Husnan, Op.Cit, h. 147
26

adalah memastikan bahwa para pekerja menjalankan tugas mereka

berulang-ulang dan membosankan dengan cara yang paling efesien.

Dengan menggunakan sistem insentif manajer dapat memotivasi

bawahannya. Makin banyak yang diproduksi, makin besar penghasilan

mereka. Dalam banyak situasi pendekatan ini efektif. Dengan

meningkatnya efesiensi lebih sedikit pekerja yang dibutuhkan untuk

tugas-tugas tertentu. Sesudah beberapa lama berlangsung, manajer

mengurangi besarnya insentif. Pemecatan menjadi biasa dan para

pekerja lebih mencari keamanan kerja daripada sekedar peningkatan

gaji yang sedikit dan bersifat sementara.

b. Model Hubungan Manusia (Human Relation Model)

Elto Mayo dan peneliti hubungan manusia lainnya menemukan

bahwa kontak-kontak sosial yang dilakukan oleh para karyawan di

waktu kerja juga penting dan bahwa tugas yang membosankan dan

berulang merupakan faktor yang mengurangi motivasi. Mayo percaya

bahwa manajer dapat memotivasi bawahannya dengan mengakui

kebutuhan sosial bawahannya dan membuat mereka berguna dan

penting. Pada model human relation ini, para pekerja diharapkan untuk

tetap menerima kekuasaan manajemen karena para supervisor

memberi perhatian kepada mereka. Namun tujuan dari para manajer

tetap sama, yaitu agar para pekerja menerima situasi kerja seperti yang

ditentukan oleh para manajer.


27

c. Model Sumber Daya Manusia (Human Resources Model)

Perintis model sumber daya manusia adalah Mc. Gregor dan

Maslow. Menurut mereka, karyawan dimotivasi oleh banyak faktor,

bukan hanya uang, atau keinginan akan kepuasan, tetapi juga

kebutuhan akan pencapaian dan pekerjaan yang berarti. Mereka

berpendapat bahwa kebanyakan orang yang sudah termotivasi untuk

bekerja dengan baik dan mereka secara otomatis melihat pekerjaan

sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki. Mereka mengatakan bahwa

karyawan cenderung memperoleh kepuasan dengan prestasi yang

baik.23

Dari sudut pandang sumber daya manusia, manajer tidak boleh

memaksa karyawan untuk mengikuti sasaran manajerial model tradisional,

atau memanipulasi mereka dengan perlakuan yang penuh tenggang rasa

seperti model hubungan manusia, sebaliknya manajer harus membagi

tanggung jawab untuk mencapai sasaran organisasi dan perorangan dengan

masing-masing orang berkontribusi atas dasar minat dan kemampuannya.

Ada beberapa klasifikasi mengenai teori-teori motivasi menurut

Kadarman dan Udaya.24 Perbedaan-perbedaan dibuat atas dasar content

theories yang memfokuskan kepada “apa” (what) dari motivasi dan

process theories yang berfokus kepada “bagaimana” (how) dari motivasi.

Reinforcement theories, pendekatan ketiga, menekankan kepada cara-cara

perilaku itu dipelajarinya (learned). Pendekatan content dihubungkan

dengan nama-nama seperti Maslow dan Mc. Gregor. Perspective content

menekankan kepada pengertian tentang faktor-faktor yang terdapat dalam

23
A.M. Kadarman, SJ. Dan Yusuf Udaya, Op.Cit,h. 111
24
A.M. Kadarman, SJ. Dan Yusuf Udaya, Op.Cit,h. 113
28

para individu yang menyebabkan mereka bertindak dengan cara-cara

tertentu. Ia mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: kebutuhan-

kebutuhan apa yang dicoba dipuaskan oleh orang-orang? Dalam

pandangan ini, individu-individu mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang

mendorong, menekan, atau memotivasikan mereka untuk menguranginya

atau memenuhinya. Artinya, individu akan bertindak atau berkelakuan

dengan cara yang akan membawa mereka kepada kepuasan dan

kebutuhan-kebutuhan mereka. Meskipun pendekatan ini kelihatannya

sangat sederhana, namun dalam prakteknya pengertian motivasi itu jauh

lebih kompleks. Alasan-alasan daripada kompleksitas ini sebagai berikut:

a. Kebutuhan-kebutuhan itu berbeda-beda diantara para individu, dan ia

juga berganti-ganti sepanjang waktu.

b. Cara-cara kebutuhan tersebut diterjemahkan ke dalam tindakan-

tindakan juga berbeda-beda diantara para individu.

c. Orang tidak selalu bertindak atas dasar kebutuhan mereka terus

menerus, dan kebutuhan-kebutuhan yang memotivasi mereka berbeda-

beda dari waktu ke waktu.

d. Reaksi dari para individu untuk memenuhi kebutuhan atau untuk tidak

memenuhinya akan berbeda-beda.

Process theories pada dasarnya adalah proses dari motivasi yang

menyangkut pengertian tentang expectancy (harapan), yaitu apa yang

seseorang perkirakan mungkin akan terjadi sebagai akibat dari

perilakunya. Dari pada menekankan kepada isi kebutuhan-kebutuhan dan

sifat mendorong dari kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka pendekatan


29

process theories menekankan kepada bagaimana dan dengan tujuan-tujuan

apa para individu dimotivasikan. Menurut pandangan ini, kebutuhan-

kebutuhan adalah hanya salah satu elemen dalam proses dimana para

individu memutuskan bagaimana harus berkelakuan. Faktor tambahan

dalam motivasi adalah valensi atau kekuatan dan preferensi seorang

individu terhadap hasil yang diharapkan.

Reinforcement theories yang antara lain dihubungkan dengan

Skinner seringkali disebut juga operant conditioning atau behavior

modification. Teori-teori tersebut tidak menekankan kepada konsep dari

suatu motif atau suatu proses dari motivasi. Sebaliknya, mereka

mempersoalkan bagaimana konsekuensi dari tindakan-tindakan pada masa

yang lalu mempengaruhi tindakan-tindakan pada masa yang akan datang

dalam suatu proses belajar (learning process). Menurut pandangan ini

orang akan bertindak menurut cara-cara tertentu, karena di masa lalu,

mereka belajar bahwa perilaku-perilaku tertentu dihubungkan dengan

hasil-hasil yang menyenangkan dan perilaku-perilaku tertentu lainnya

dihubungkan dengan hasil-hasil yang kurang menyenangkan.

Hasibuan melihat bahwa memotivasi karyawan ini sangat sulit,

diantaranya karena hal-hal berikut:

a. Apakah yang mendorong seseorang bekerja?

b. Mengapa ada orang yang bekerja keras untuk mencapai prestasi kerja

yang tinggi, sedangkan orang lain walaupun dia mampu, cakap dan

terampil, prestasi kerjanya rendah saja?


30

c. Alat motivasi apa saja yang harus diberikan supaya karyawan bersedia

bekerja keras?25

Untuk memotivasi karyawan, maka seorang pemimpin harus

mengetahui motif dan motivasi yang diinginkan bawahannya. Orang mau

bekerja adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan yang

disadari (conscious needs) maupun kebutuhan yang tidak disadari

(unconscious needs), berbentuk materi maupun non materi, kebutuhan

fisik maupun rohani. Dalam hal ini Peterson dan Plowman dalam

Hasibuan mengatakan orang mau bekerja keras karena faktor-faktor

berikut:

a. The Desire to Live (keinginan untuk hidup)

Keinginan untuk hidup merupakan keinginan utama dari setiap

orang, manusia bekerja untuk dapat makan dan makan untuk dapat

melanjutkan hidup.

b. The Desire for Position (keinginan untuk suatu posisi)

Keinginan untuk suatu posisi dengan memiliki sesuatu

merupakan keinginan manusia yang kedua dan ini salah satu sebab

mengapa manusia mau bekerja.

c. The Desire for Power (keinginan akan kekuasaan)

Keinginan akan kekuasaan merupakan keinginan selangkah di

atas keinginan untuk memiliki, yang mendorong orang mau bekerja.

d. The Desire for Recognation (keinginan akan pengakuan)

Keinginan akan pengakuan, penghormatan, dan status sosial

merupakan jenis terakhir dari kebutuhan yang mendorong orang untuk

25
Malayu S.P. Hasibuan, Op Cit, h. 140
31

bekerja. Dengan demikian, setiap pekerja mempunyai motif keinginan

(want) dan kebutuhan (needs) tertentu dan mengharapkan kepuasan

dari hasil kerjanya.26

Keinginan dan kegairahan kerja dapat ditingkatkan berdasarkan

pertimbangan tentang adanya aspek motivasi yang bersifat statis. Aspek

statis yang pertama tampak sebagai kebutuhan pokok manusia yang

menjadi dasar bagi harapan yang akan diperoleh lewat tercapainya tujuan

organisasi. Aspek motivasi statis yang kedua adalah berupa alat

perangsang atau insentif yang diharapkan dapat memenuhi apa yang

menjadi kebutuhan pokok yang diharapkan.

Menurut David Mc. Clelland dalam Hasibuan, terdapat pola

motivasi yang menonjol:

a. Achievement motivation, yaitu suatu keinginan untuk

mengatasi/mengalahkan suatu tantangan untuk kemajuan dan

pertumbuhan.

b. Affiliation motivation, yaitu dorongan untuk melakukan hubungan

dengan orang lain.

c. Competence motivation, yaitu dorongan untuk melakukan pekerjaan

yang bermutu.

d. Power motivation, yaitu dorongan yang dapat mengendalikan suatu

keadaan. Dalam hal ini ada kecenderungan untuk mengambil resiko

dan menghancurkan rintangan yang ada.27

26
Ibid, h. 141
27
Ibid, h. 145
32

Dengan demikian terlihat bahwa sebenarnya motivasi memiliki

tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Menurut Hasibuan tujuan motivasi,

antara lain:

a. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja.

b. Meningkatkan produktivitas kerja.

c. Mempertahankan kestabilan.

d. Meningkatkan kedisiplinan.

e. Mengefektifkan pengadaan.

f. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.

g. Meningkatkan loyalitas, kreativitas, dan partisipasi.

h. Meningkatkan kesejahteraan.

i. Mempertinggi rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-

tugasnya.

j. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.28

Asas-asas motivasi mencakup asas mengikutsertakan, komunikasi,

pengakuan, wewenang yang didelegasikan, dan perhatian timbal balik.

a. Asas mengikutsertakan maksudnya mengajak bawahan untuk ikut

berpartisipasi dn memberikan kesempatan kepada mereka mengajukan

ide-ide, rekomendasi dalam proses pengambilan keputusan. Dengan

cara ini, bawahan merasa ikut bertanggung jawab atas tercapainya

tujuan perusahaan sehingga moral dan gairah kerjanya akan

meningkat.

b. Asas komunikasi maksudnya menginformasikan secara jelas tentang

tujuan yang ingin dicapai, cara mengerjakannya, dan kendala yang

28
Loc. Cit
33

dihadapi. Dengan asas komunikasi, motivasi kerja bawahan akan

meningkat. Sebab semakin banyak seseorang mengetahui suatu soal,

semakin banyak pula minat dan perhatiannya terhadap hal tersebut.

c. Asas pengakuan maksudnya memberikan penghargaan dan pengakuan

yang tepat serta wajar kepada bawahan atas prestasi kerja yang

dicapainya. Bawahan akan bekerja keras dan semakin rajin jika mereka

terus menerus mendapat pengakuan dan kepuasan dari usaha-

usahanya.

d. Asas wewenang yang didelegasikan maksudnya adalah

mendelegasikan sebagian wewenang serta kebebasan karyawan untuk

mengambil keputusan dan berkreativitas dan melaksanakan tugas-

tugas atasan atau manajer. Dalam pendelegasian wewenang ini manajer

harus meyakinkan bawahan bahwa karyawan mampu dan dapat

dipercaya menyelesaikan tugas-tugas itu dengan baik.

e. Asas perhatian timbal balik adalah memotivasi bawahan dengan

mengemukakan keinginan atau harapan perusahaan disamping

berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan dari

perusahaan.

Motivasi merupakan sikap mental seseorang, karena itu untuk

mengkaji masalah-masalah motivasi haruslah mempelajari berbagai model

tentang manusia dan perilakunya sebagaimana dikemukakan berbagai

pakar, khususnya dalam konteks upaya memotivasi anggota suatu

organisasi. Perilaku manusia terlalu rumit untuk dijelaskan dengan suatu

generalisasi yang berlaku bagi semua manusia, akan tetapi menurut


34

Gibson, et all menggambarkan sebuah model perilaku yang dapat

dijadikan titik pangkal dalam memahami perilaku.

Sehubungan dengan hal tersebut maka pertama-tama dikemukakan

berbagai variabel yang sangat relevan dalam mempengaruhi manusia,

sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 1. Dapat dilihat bahwa motivasi

merupakan salah satu variabel psikologis yang mempengaruhi perilaku.29

Gambar 1. Variabel yang mempengaruhi perilaku

VARIABEL FISIOLOGIS PERILAKU VARIABEL PSIKOLOGIS


Kemampuan fisik INDIVIDU Persepsi sikap kepribadian
Kemampuan mental Belajar motivasi

VARIABEL LINGKUNGAN
Keluarga
Kebudayaan
Kelas Sosial

Gambar tersebut secara khusus menyajikan sebuah model perilaku

yang diasumsikan dapat diterapkan dalam banyak segi kepada semua

anggota organisasi, baik manajemen maupun non manajemen. Perilaku

tertentu yang berkembang bersifat khas bagi setiap orang, tetapi proses

yang mendasarinya merupakan dasar bagi semua orang. Model tersebut

mengadakan empat asumsi penting perilaku individu, yaitu:

a. Perilaku timbul karena suatu sebab

b. Perilaku diarahkan pada suatu tujuan

c. Perilaku yang terarah pada tujuan dapat diganggu oleh frustasi, konflik

dan kegelisahan

d. Perilaku timbul karena motivasi

29
Gibson, et all, Op.Cit, h. 51
35

Gambar 2. Model Perilaku yang menimbulkan motivasi

INDIVIDU
Frustasi,
Stimulus Variable Fisiologis Konflik, Tujuan
(Sebab) Variable Lingkungan Kegelisahan
Variable Psikologis

Sebagai titik pangkal dalam memahami perilaku manusia, maka

dalam memahami model yang dijalankan pada gambar 2 di atas perlu

untuk dijelaskan dan dipahami beberapa hal penting sebagai berikut:

a. Proses perilaku adalah serupa bagi semua orang

b. Perilaku yang sebenarnya dapat berbeda karena variabel fisiologis,

lingkungan, psikologis, dan karena faktor-faktor seperti: frustasi,

konflik, dan kegelisahan.

c. Selain itu, banyak variabel lainnya yang mempengaruhi perilaku

seseorang dan telah membentuk perilaku sebelum ia memasuki

organisasi pekerjaan.

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa motivasi sebagai variabel

psikologis akan menentukan perilaku manusia atau dengan kata lain salah

satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah karena

adanya motivasi tertentu. Seperti halnya sikap disiplin ke arah

produktivitas kerja juga dipengaruhi oleh adanya motivasi tertentu dalam

diri setiap anggota organisasi.

Pandangan lain tentang perilaku manusia terdapat dalam dua

perangkat asumsi yang diciptakan Douglas Mc. Gregor dalam Thoha pada

umumnya dikenal dengan “teori X dan Y”. Asumsi “teori X”: (1) pada

30
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi Teori dan Aplikasi (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), h. 98
36

umumnya manusia tidak menyukai pekerjaan, dengan demikian akan

menjauhinya sedapat mungkin; (2) oleh karena sifat manusia yang tidak

menyukai pekerjaan itu, umumnya manusia harus dipaksa, dikendalikan,

diarahkan, dan diancam dengan hukuman agar mereka berusaha

secukupnya untuk mencapai tujuan organisasi; (3) kebanyakan orang lebih

suka diperintah, ingin menghindari tanggung jawab, memiliki sedikit

ambisi, dan menghendaki jaminan yang cukup. Asumsi “teori Y”: (1)

usaha fisik dan mental yang diperlukan dalam pekerjaan sama halnya

bermain dan istirahat; (2) pengendalian dari luar dan ancaman hukuman

bukanlah satu-satunya cara untuk menghasilkan usaha guna mencapai

tujuan organisasi. Seseorang akan mengarahkan dan mengendalikan

dirinya untuk mencapai tujuan yang telah menjadi kewajibannya; (3)

derajat keterlibatan untuk mencapai sasaran sebanding dengan besarnya

imbalan yang diberikan sesuai dengan prestasi; (4) kebanyakan orang suka

belajar tidak saja menerima akan tetapi juga mencari tanggung jawab

dalam kondisi tertentu; (5) kemampuan seseorang untuk berpikir secara

baik dan penuh kreativitas dalam memecahkan masalah-masalah

organisasi tersebar secara luas diantara manusia; (6) di dalam suatu

masyarakat industri yang modern, potensi intelektual yang dimiliki oleh

kebanyakan manusia belum sepenuhnya dipergunakan.30

Perbedaan asumsi kedua teori tersebut di atas pada dasarnya

terletak pada sudut pandangannya. Teori X, nampak pesimistis, statis, dan

kaku. Pengendaliannya berasal dari luar, artinya dibebankan kepada

bawahan oleh atasan. Sedangkan teori Y bersifat optimistis, dinamis, dan


30
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi Teori dan Aplikasi (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), h. 98
37

tidak kaku, dengan memberikan tekanan pada inisiatif sendiri dan

mengintegrasikan kebutuhan pribadi dan apa yang diharapkan oleh

organisasi.

Dari kedua pendapat tersebut di atas nampak bahwa manusia

memiliki ciri dan sifat yang sangat individual, yang berbeda satu sama

dengan yang lainnya, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh beberapa

variabel, salah satu diantaranya adalah motivasi dan yang perlu

diperhatikan dalam memotivisir seseorang adalah perbedaan sifat dan ciri

manusia yang bersangkutan. Dengan demikian secara operasional akan

membantu pimpinan dalam menjalankan kepemimpinannya yaitu

mencapai tujuan dengan menggerakkan orang lain.

Siagian menyatakan bahwa: “ditinjau dari segi perilaku orang di

dalam organisasi, paling sedikit terdapat sembilan jenis kebutuhan yang

sifatnya non material yang oleh para anggota organisasi dipandang sebagai

hal yang turut mempengaruhi perilakunya dan menjadi faktor motivasional

yang perlu dipuaskan dan oleh karenanya perlu selalu mendapat perhatian

setiap pimpinan organisasi, kebutuhan tersebut adalah: (1) kondisi kerja

yang baik; (2) perasaan diikutsertakan; (3) cara pendisiplinan yang

manusiawi; (4) pemberian penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan

baik; (5) kesetiaan pimpinan kepada karyawan; (6) promosi dan

perkembangan bersama organisasi; (7) pengertian yang simpatik terhadap

masalah-masalah pribadi bawahan; (8) keamanan pekerjaan; dan (9) tugas

pekerjaan yang sifatnya menarik.31

31
Sondang P. Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia (Bandung: Pnerbit Bumi Aksara, 1999), h. 223
38

Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa

motivasi adalah keadaan psikis yang ada dalam diri seseorang yang

mendorong mereka berperilaku. Keadaan psikis tersebut mencakup

kemauan berprestasi, semangat dan gairah kerja, kemauan menjalankan

perintah dan kemauan bekerja sama dalam organisasi. Adapun dimensi

dan indikator dapat ditampilkan sebagai berikut:

a. kemauan berprestasi, mempunyai indikator, antara lain: (1) mau

belajar; (2) tanggap atas kesalahan; (3) bersedia menerima kritik dan

saran; (4) berpikir kreatif.

b. semangat dan gairah kerja, mempunyai indikator, antara lain: (1) giat

bekerja; (2) pantang menyerah.

c. kemauan menjalankan perintah, mempunyai indikator, antara lain: (1)

taat pada pimpinan; (2) selalu siap sedia menjalankan perintah.

d. kemauan bekerja sama, mempunyai indikator, antara lain: (1) memiliki

sikap dan rasa kebersamaan; (2) mau bekerja sama.

3. Hakikat Supervisi Kepala Sekolah

Supervisi berasal dari kata super yang berarti khusus, dan vision

yang berarti melihat, mengamati. Dengan demikian supervisi dapat

diartikan pemantauan, pengamatan khusus terhadap suatu aktifitas dengan

maksud mengarahkan, membimbing dan mengevaluasi agar proses

aktifitas tersebut berjalan dengan baik dan berhasil mencapai tujuan sesuai

rencana.
39

Supervisi dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin

bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Ini berkenaan

dengan cara-cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang direncanakan.

Pengertian ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara

perencanaan dan supervisi. Seperti yang terlihat dalam kenyataan, langkah

awal proses supervisi adalah sebenarnya langkah perencanaan, penetapan

tujuan, standar atau sasaran pelaksanaan suatu kegiatan. Fungsi supervisi

manajemen juga berhubungan erat dengan fungsi-fungsi manajerial

lainnya. Supervisi membantu penilaian apakah perencanaan,

pengorganisasian, penyusunan personalia, dan pengarahan telah

dilaksanakan secara efektif.32

Definisi supervisi yang dikemukakan oleh Robert J. Mockler

berikut ini telah memperjelas unsur-unsur esensial proses supervisi:

”Supervisi manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan

standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem

informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar

yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur

penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang

diperlukan untuk menjamin bahwa sumber daya perusahaan dipergunakan

dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan

perusahaan.”33

Pendapat lain yang senada tetapi dengan kandungan yang berbeda,

disampaikan oleh Mulyasa, yang menyatakan bahwa: ”Supervisi

merupakan segala usaha pejabat sekolah dalam memimpin guru-guru dan

32
T. Hani Handoko, Manajemen (Yogyakarta: BP FE-UGM, 1996), h. 359
33
Ibid, h. 369
40

tenaga kependidikan lainnya untuk memperbaiki pengajaran, termasuk

menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru-

guru, menyeleksi dan merevisi tujuan pendidikan, bahkan pengajaran dan

metode-metode mengajar serta evaluasi pengajaran.”34

Pendapat ini memiliki cakupan supervisi yang lebih luas dari pendapat

sebelumnya, karena pada pendapat ini dinyatakan juga bahwa supervisor

mempunyai wewenang untuk membicarakan peningkatan karir seorang

guru. Terutama jika membicarakannya dalam fokus pembicaraan yang

berkenaan dengan pelaksanaan tugas guru dalam proses pembelajaran.

Karena seorang supervisor dapat menyeleksi dan merevisi tujuan

pendidikan, baik dalam bentuk metode yang dipergunakan ataupun bentuk

evaluasi yang diperlukan untuk melakukan pengukuran dan penilaian hasil

yang telah dicapai dalam proses pembelajaran.

Pelaksanaan supervisi dapat berfungsi sebagai pengawas, dalam

arti bahwa melalui supervisi ini dapat dilakukan kontrol tentang

pelaksanaan proses pembelajaran, apakah sudah berlangsung sesuai

program yang telah ditetapkan. Supervisor sebagai pengelola pendidikan

dapat mengontrol pencapaian target kurikulum yang harus diselesaikan

dalam satuan waktu tertentu. Melalui pelaksanaan supervisi seorang

supervisor dapat melakukan penilaian terhadap kemampuan guru dalam

proses pembelajaran. Jenis keterampilan yang akan disupervisi oleh

supervisor diusulkan guru/calon guru dengan terlebih dahulu diadakan

kesepakatan melalui pengkajian bersama antara guru/calon guru dengan

supervisor. Hasil supervisi dapat dijadikan pedoman memberikan

34
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah (Remaja Rosda Karya: Bandung, 2002), h. 155
41

bimbingan untuk pengembangan karir bagi guru yang bersangkutan.

Pelaksanaan supervisi akan mampu menciptakan penghargaan karir guru

sesuai dengan kemampuannya.

Supervisi menurut Glickman yang dikutip oleh Bafhadal adalah

serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya

mengelola proses belajar mengajar demi pencapaian tujuan pengajaran.

Berdasarkan definisi tersebut seharusnya seorang supervisor baik itu

kepala sekolah maupun pengawas sekolah dalam pelaksanaan tugas harus

bertitik tolak kepada usaha membantu kemampuan profesionalisme guru.

Sehingga seorang supervisor harus dapat menemukan dimana letak

kekurangmampuan guru secara bersama-sama dengan guru dicarikan

solusi jalan pemecahannya, bukan untuk bahan mendeskreditkan.

Kekurangan dan kelemahan itu cukup diketahui oleh supervisor dan harus

dirahasiakan sebab jika diketahui khalayak bisa jadi tujuan supervisi tidak

akan tercapai. Kemungkinan besar hanya akan menghasilkan pergunjingan

ataupun fitnah. Karena itu supervisi dilakukan oleh supervisor dengan

tujuan untuk meningkatkan wawasan dan kualitas guru-guru yang menjadi

dominan supervisinya. Pidarta juga menyatakan: ”Supervisi merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh proses administrasi pendidikan,

yang ditujukan terutama untuk mengembangkan efektifitas kinerja

(personalia sekolah) yang berhubungan dengan tugas-tugas utama dalam

usaha-usaha pendidikan.”35

Di sisi lain, pendapat Boardmen dkk, yang dikutip oleh Sahertian

mengenai permaknaan supervisi, menyatakan bahwa: ”Supervisi adalah

35
Ibrahim Bafadhal, Supervisi Pengajaran: Teori dan Aplikasinya dalam Membina Profesi Guru (Bumi Aksara:
Jakarta, 1992), h. 4
42

suatu usaha menstimulasi, mengkoordinasi dan membimbing secara

kontinyu pertumbuhan guru-guru di sekolah baik individual maupun

kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh

fungsi pengajaran.”36 Supervisi adalah sub-fungsi administrasi yang amat

perlu. Tanpa supervisi, hasil sesuatu kegiatan tidak akan dapat diketahui.

Pada umumnya, supervisi dapat diadakan melalui umpan balik (feedback)

secara terus menerus. Umpan balik seperti ini didasarkan pada prinsip

”cybermatic” yang digunakan dalam pendekatan sistematis.37

Pelaksanaan supervisi dalam program pendidikan merupakan salah

satu sub sistem dari sistem pendidikan nasional, sehingga supervisor

mencakup komponen: (1) perencanaan; (2) administrasi; (3) supervisi; (4)

pengembangan kurikulum; (5) demonstrasi mengajar; (6) riset. Dalam hal

ini kepengawasan dilaksanakan berdasarkan perencanaan. Maka

kepengawasan ini merupakan proses kegiatan pemantauan atas

pelaksanaan dari sesuatu yang telah direncanakan agar pelaksanaan itu

sesuai dengan perencanaan dan menghasilkan sesuai dengan yang

diharapkan.

Pelaksanaan suatu program supervisi yang baik harus mengandung

kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tujuan serta kebutuhan guru agar

program tersebut dapat tercapai dengan efektif. Aneka ragam kegiatan

yang dilaksanakan guru dalam rangka mencapai keberhasilan dalam

mencapai tujuan pengajaran yang telah dinyatakan kata-kata operasional.

Diantara kegiatan supervisor yang dapat membawa pengaruh positif

terhadap peningkatan kompetensi guru adalah dalam bentuk kegiatan

36
Piet A. Sahertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan (Rineka Cipta: Jakarta, 2000), h. 17
37
Bennet Silalahi, Manajemen Integratif (Jakarta: LPMI, 1995), h. 113
43

”observasi kelas, percakapan pribadi, intervisitasi, penyeleksian berbagai

sumber materi untuk mengajar, menilai diri sendiri.”

Pelaksanaan supervisi yang sesuai dengan tugas dan fungsi yang

akan dicapai, maka supervisi akan dapat berperan sangat penting dalam

pengembangan sikap dan perilaku guru dalam proses belajar mengajar,

sebab supervisi tidak hanya bermanfaat bagi peningkatan kualitas

mengajar guru itu sendiri tetapi juga akan dapat membangun motivasi dan

dedikasi bagi guru untuk efektivitas dalam pencapaian tujuan pengajaran.

Supervisi bukan merupakan kegiatan yang perlu dihindari oleh guru

karena merasa takut. Tetapi sebaliknya dibutuhkan oleh guru yang ingin

mencapai kemajuan dalam kinerja malah minta untuk sisupervisi, agar

dapat mengetahui kelemahan dirinya serta secara terbuka akan mendapat

bantuan profesional dari supervisor. Tidak perlu dipungkiri, bahwa

seringkali dijumpai di lapangan kesalahan guru dan tidak mau atau bahkan

supervisor tidak mampu memberi bantuan pemecahan kesulitan belajar

mengajar. Karenanya seorang supervisor harus mempunyai: (1)

keterampilan dalam hubungan-hubungan kemanusiaan; (2) keterampilan

dalam proses kelompok; (3) keterampilan dalam kepemimpinan

pendidikan; (4) keterampilan dalam mengatur personil; (5) keterampilan

dalam evaluasi.

Tugas utama seorang supervisor adalah memberi bantuan dalam

peningkatan kemampuan guru dalam bidang pembelajaran baik di sekolah

ataupun persiapan di rumah, banyak aktifitas yang dapat digunakan untuk

itu. Menurut Soetjipto bantuan yang harus diberikan kepada guru untuk
44

meningkatkan kualitas guru dalam aktifitas belajar mengajar adalah

sebagai berikut: (1) pengembangan kurikulum; (2) pengeorganisasian

pengajaran; (3) pemenuhan fasilitas belajar sesuai dengan rancangan

proses belajar mengajar; (4) perancangan dan perolehan bahan pengajaran

sesuai dengan rencana kurikulum; (5) perencanaan dan implementasi

dalam meningkatkan pengalaman belajar dan kinerja guru dalam

melaksanakan pengajaran; (6) pelaksanaan orientasi tentang suatu tugas

atau cara baru dalam proses belajar mengajar; (7) pengkoordinasian antara

kegiatan belajar mengajar dengan kegiatan lainnya yang diberikan sekolah

kepada siswa; (8) pengembangan hubungan dengan masyarakat; (9)

pelaksanaan evaluasi pengajaran.

Supervisi yang tepat membantu hubungan-hubungan manusia yang

baik. Tanggapan manusia atas supervisi merupakan suatu pertimbangan

kunci. Supervisi dapat dan seharusnya digunakan untuk meningkatkan

hubungan yang menguntungkan di kalangan semua. Supervisi haruslah

merupakan suatu kegiatan yang positif dan membantu. Pimpinan yang

efektif menggunakan supervisi untuk membagi-bagi informasi, memuji

pelaksanaan yang baik dan melihat mereka yang memerlukan bantuan

serta menentukan jenis bantuan apa yang diperlukan. Ciri-ciri tertentu

yang diinginkan dari pengawasan haruslah disebutkan. Pertama-tama,

jenis supervisi haruslah sejalan dengan persyaratan-persyaratan

perorangan dari kegiatan itu. Besarnya operasi dan lokasi dalam organisasi

biasanya penting sekali. Kedua, penyimpangan-penyimpangan yang

memerlukan koreksi haruslah dengan segera diidentifikasi bahwa sebelum


45

mereka terjadi, seperti yang dimungkinkan dalam beberapa jenis supervisi

misalnya, supervisi kualitas secara statistik. Juga supervisi-supervisi

haruslah sebanding dengan pembiayaannya.

Manfaat dari supervisi adalah relatif dan tergantung dari

pentingnya suatu kegiatan, sumbangan yang dibuat, serta besarnya

organisasi. Seterusnya, supervisi haruslah dihubungkan pola organisasi

dan dengan demikian membuatnya lebih mudah untuk menugaskan

tanggung jawab untuk supervisi kepada orang-orang yang mengelola

kegiatan masing-masing dan memberikan data supervisi yang dapat

dipakai kepada pimpinan yang bersangkutan. Yang terakhir, supervisi

haruslah menunjukkan jalan bagi tindakan koreksi, termasuk kedalamnya

mencari tahu dimana tindakan itu perlu diambil, siapa yang bertanggung

jawab untuk mengambil tindakan itu dan apa seharusnya tindakan

itu.supervisi membantu untuk mengidentifikasikan persoalan pengelolaan.

Sepanjang pengidentifikasian suatu persoalan merupakan suatu tantangan

terus-menerus bagi pimpinan, maka sumbangan supervisi ini adalah sangat

relevan.

Guru dalam proses pembelajaran berusaha mencapai tujuan

pengajaran yang telah direncana dan ditetapkan. Karena itu tujuan

pengajaran harus mencakup aspek perubahan tingkah laku anak yang harus

dimiliki setelah berhasil mengikuti pembelajaran. Perubahan itu antara lain

mencakup pola pikir, pemahaman aspek tingkah laku dan perasaan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

supervisi adalah suatu usaha kepala sekolah dalam menstimulir secara


46

kontinyu perkembangan guru-guru di sekolah baik secara individual

maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam

mewujudkan seluruh fungsi pengajaran, dengan demikian mereka dapat

menstimulir dan membimbing pertumbuhan tiap murid secara kontinyu,

serta mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam interaksi belajar dan

mengajar. Usaha menstimulir tersebut meliputi: mambantu hubungan guru

dengan lingkungannya; membantu membagi-bagikan informasi dan

membantu menunjukkan jalan bagi tindakan koreksi.

Adapun dimensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Membantu hubungan guru dengan lingkungannya, mempunyai

indikator, antara lain: (1) mengkoordinasikan kegiatan; (2) membantu

mengkomunikasikan guru dengan lingkungannya.

b. Membantu guru memperoleh informasi, mempunyai indikator, antara

lain: (1) memberikan informasi tentang perkembangan lingkungan

internal dan eksternal kepada guru; (2) mendorong guru untuk

mengembangkan informasi.

c. Membantu menunjukkan jalan bagi koreksi, mempunyai indikator,

antara lain: (1) memberikan pertimbangan; (2) memberikan arah; (3)

memberikan petunjuk.
47

B. Kerangka Berpikir

1. Pengaruh antara motivasi berprestasi dengan kreativitas guru

Motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai keadaan psikis yang

ada dalam diri seseorang yang mendorong mereka berperilaku. Keadaan

psikis tersebut mencakup kemauan berprestasi, semangat dan gairah kerja,

kemauan menjalankan perintah, dan kemauan bekerja sama dalam

organisasi. Motivasi memiliki peran penting bagi seorang kepala sekolah

guna melakukan aktivitasnya.

Di sisi lain kreativitas guru berperan penting dalam pelaksanaan

tugas seorang guru. Karena tidak jarang permasalahan yang timbul yang

dihadapinya memerlukan kreativitas yang tinggi dalam memecahkannya.

Kreativitas guru berhubungan dengan kemampuannya dalam proses

pembelajaran di sekolah.

Motivasi berprestasi yang kuat mendorong seorang guru bekerja

dengan semangat dan gairah kerja yang tinggi dan pada akhirnya akan

bekerja dengan kreativitas yang tinggi. Sebaliknya apabila seorang guru

memiliki motivasi berprestasi yang rendah akan menyebabkan mereka

bekerja kurang dengan kreativitas. Berdasarkan pemikiran di atas dapat

diduga bahwa terdapat pengaruh yang positif antara motivasi berprestasi

dengan kreativitas guru.

2. Pengaruh antara supervisi kepala sekolah dengan kreativitas guru

Supervisi adalah suatu usaha kepala sekolah dalam menstimulir

secara kontinyu perkembangan guru-guru di sekolah baik secara individual


48

maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam

mewujudkan seluruh fungsi pengajaran dengan demikian mereka dapat

menstimulir dan membimbing pertumbuhan tiap murid secara kontinyu,

serta mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam berinteraksi belajar dan

mengajar. Supervisi kepala sekolah dilakukan dalam rangka mengarahkan

dan memperbaiki kinerja guru secara keseluruhan.

Supervisi bukanlah suatu penemuan “kesalahan” juga bukan hanya

usaha perbaikan kesalahan. Tetapi mengarahkan guru secara konstruktif.

Permulaan yang terbaik bagi supervisi guru sendiri meninjau segala

masalah yang dialaminya. Tidak ada guru yang tidak mempunyai

kesalahan. Dari kesalahan-kesalahan inilah mereka dapat memperbaiki diri

dan memperoleh kecakapan dan kesanggupan. Dalam konteks kreativitas

guru maka upaya-upaya meningkatkan kreativitas sangat tergantung dari

upaya semua elemen sekolah terutama kepala sekolah untuk memberikan

informasi, menciptakan hubungan dan memberikan solusi yang tepat.

Dalam konteks ini maka dapat diduga bahwa terdapat pengaruh antara

supervisi kepala sekolah dengan kreativitas guru.

3. Pengaruh antara motivasi berprestasi dan supervisi kepala sekolah

dengan kreativitas guru

Dengan memperhatikan pengaruh antara motivasi berprestasi dan

pengaruh antara supervisi kepala sekolah dengan kreativitas guru, di mana

diduga bahwa masing-masing terdapat pengaruh, maka kedua variabel

bebas tersebut berarti sama-sama memberikan kontribusi terhadap


49

peningkatan kreativitas guru. Meskipun demikian kedua variabel ini belum

tentu memberikan hasil yang optimal. Untuk itu diperlukan pengaruh yang

sinergis sehingga motivasi dan supervisi kepala sekolah merupakan faktor

yang saling mendukung dalam menghasilkan kreativitas guru. Hal ini

berarti apabila motivasi dan supervisi kepala sekolah bersinergi secara

optimal, maka kreativitas guru juga optimal.

C. Pengujian Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat pengaruh positif antara motivasi berprestasi kepala sekolah

dengan kreativitas guru SMP Negeri 15 Kota Cirebon.

2. Terdapat pengaruh positif antara supervisi kepala sekolah dengan

kreativitas guru SMP Negeri 15 Kota Cirebon.

3. Terdapat pengaruh positif antara motivasi berprestasi dan supervisi kepala

sekolah dengan kreativitas guru SMP Negeri 15 Kota Cirebon.

Anda mungkin juga menyukai