Anda di halaman 1dari 16

CASE REPORT

BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT (MODUL 3)

XEROSTOMIA PADA PASIEN PENDERITA DIABETES


MELLITUS TIPE II BERUSIA 52 TAHUN

Oleh

Febriani Leni Purnamasari (18100707360804046)

Fita Chairunnisa (18100707360804044)

Pembimbing : drg. Fitria Mailiza, Sp. PM

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ”Xerostomia pada

Pasien Penderita Diabetes Mellitus Tipe II Berusia 52 Tahun” untuk memenuhi

salah satu syarat dalam menyelesaikan kepanitraan klinik modul 3 Lesi Jaringan Lunak

Mulut (Manifestasi Oral pada Pasien Penyakit Sistemik) dapat diselesaikan.

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua proses

yang telah dilalui tidak lepas dari bimbingan drg. Fitria Mailiza, Sp. PM selaku dosen

pembimbing, bantuan, dan dorongan yang telah diberikan berbagai pihaklainnya.

Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu.

Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya

kepada kita semua dan semoga laporan kasus ini dapatbermanfaat serta dapat

memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang memerlukan.

Padang, Januari 2019

Penulis
MANIFESTASI ORAL PENYAKIT SISTEMIK

Nama Operator : Fita Chairunnisa dan Febriani Leni Purnamasari


Hari/ Tanggal : 20 Januari 2019
Nama : Tn. D
No. RM : 79.28.18
Umur : 52 tahun
Jeniskelamin : Laki-laki
Alamat : Tangerang
Pekerja : Swasta
Status : Menikah
Agama : Islam

Tindakan yang
Hari/tanggal Kasus Operator
dilakukan

Senin/ 20 Xerostomia pada  Pencatatan data Fita Chairunnisa


Januari 2019 penderita DM type II  Anamnesa (18-44)
 Pemeriksaan
klinis Febriani Leni
 Penegakan Purnamasari
diagnosis (18-46)
 KIE
(Komunikasi,
Informasi dan
Edukasi)

Padang, Januari 2019

Pembimbing

( drg. Fitria Mailiza, Sp. PM)


MODUL 3 MANIFESTASI ORAL PADA PENAKIT SISTEMIK

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

PADANG

HALAMAN PENGESAHAN

Telah didiskusikan Laporan Kasus Xerostomia pada penderita DM Tipe II guna

melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Mulut

Padang, Januari 2019

Disetujui Oleh

Dosen Pembimbing

( drg. Fitria Mailiza, Sp. PM )


PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang bersifat kronik, ditandai
dengan meningkatnya kadar glukosa darah sebagai akibat dari adanya gangguan
penggunaan insulin, sekresi insulin, atau keduanya.Insulin adalah hormon yang
disekresi dari pankreas dan dibutuhkan dalam proses metabolisme glukosa. Saat insulin
tidak bekerja sebagaimana fungsinya maka terjadi penumpukan glukosa di sirkulasi
darah atau hiperglikemia.
Berdasarkan standard of medical care in diabetes, klasifikasi diabetes
dijabarkan secara lengkap berdasarkan penyebabnya (ADA, 2013). Diabetes tipe 1
adalah tubuh sangat sedikit atau tidak mampu memproduksi insulin akibat kerusakan
sel beta pankreas ataupun adanya proses autoimun. Umumnya DM tipe 1 menyerang di
usia anak-anak dan remaja. Diabetes tipe 2 adalah hasil dari gangguan sekresi insulin
progresif yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin. DM tipe spesifik lain terjadi
sebagai hasil kerusakan genetik spesifik sekresi insulin dan pergerakan insulin ataupun
pada kondisi-kondisi lain. Diabetes gestasional adalah diabetes yang terjadi selama
kehamilan (ADA, 2013; Alberti, 2010). Di antara tipe diabetes yang memiliki jumlah
terbesar adalah DM tipe 2 dengan prosentase 90% - 95% dari keseluruhan penderita
diabetes (IDF, 2012). Prevalensi DM tipe 2 paling besar ditemukan pada populasi
urban di negara-negara berkembang, dimana diperkirakan jumlahnya akan meningkat
sebesar 100% pada tahun 2030 (Wild et al, 2004).
Perubahan demografik yang paling berperan dalam meningkatkan prevalensi
DM adalah peningkatan proporsi penduduk berusia 65 tahun atau lebih (Sue Kirkman
et al, 2012; Wild et al, 2004). Estimasi IDF di tahun 2012 menunjukkan bahwa China
merupakan negara dengan prevalensi diabetes tertinggi di dunia dengan jumlah
penderita mencapai 92,3 juta jiwa, diikuti dengan India sebanyak 63 juta jiwa, dan
Amerika Serikat 24,1 juta jiwa. Indonesia sendiri berada pada peringkat ke 7 dengan
jumlah penderita mencapai 7,6 juta jiwa. Berdasarkan kecendrungan statistik selama 10
tahun terakhir, IDF memprediksikan bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan berada
pada peringkat ke enam dengan jumlah penderita mencapai 12 juta jiwa (IDF, 2012).
Prevalensi nasional diabetes melitus yang berada di perkotaan lebih tinggi
dibandingkan yang berada di pedesaan (Kemenkes RI, 2007). Berdasarkan hasil
pengukuran gula darah pada penduduk berusia di atas 15 tahun yang bertempat tinggal
di perkotaan adalah 5,7%. Sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi DM di atas
prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Lampung, Bangka
Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku Utara (Kemenkes RI,
2007). Dari hasil penelitian Riskesdas pada tahun 2007, diperoleh pravalensi total DM
tipe 2 di Provinsi Jawa Barat padadaerah perkotaan mencapai 4,2% dengan persentase
toleransi glukosa terganggu (TGT) mencapai 7,8%. Sementara itu untuk survei di
daerah pedesaan menunjukkan bahwa prevalensi DM mencapai 1,1% (Kemenkes RI,
2007).
Kota Depok memiliki angka diabetes yang cukup tinggi. Berdasarkan data
Kementerian Kesehatan RI dan bekerjasama dengan WHO dalam Rahjeng &
Kusumawardhani (2007) menunjukkan bahwa prevalensi penderita diabetes di Kota
Depok pada rentang usia 25-64 tahun adalah sebesar 8% dengan prevalensi tertinggi
pada rentang usia 55-64 tahun yakni sebesar 21,5%. Sedangkan prevalensi untuk kadar
glukosa darah puasa di atas normal adalah sebesar 6,1% pada rentang usia 25-64 tahun.
Prevalensi tertinggi diperoleh pada rentang usia 55- 64 tahun yakni sebesar 15,2%.
Sedangkan untuk prevalensi gula darah sewaktu di atas normal mencapai 3,2% pada
rentang usia 25-64 tahun, dengan prevalensi tertinggi pada rentang usia 55-64 tahun
yakni sebesar 7%.
DM yang tidak terdiagnosa, tidak terkontrol, ataupun penderita DM yang tidak
terkontrol dengan baik akan mengalami manifestasi di berbagai organ termasuk rongga
mulut. Rongga mulut penderita DM akan terasa tidak nyaman karena sekresi saliva
kurang dari normal dan penderita merasakan mulutnya menjadi kering (xerostomia).
Sekresi saliva normal tanpa stimulasi ialah ≥0,3 ml/menit, sedang sekresi saliva normal
dengan stimulasi adalah 1-2 ml/menit. Jumlah sekresi saliva pada orang yang
mengalami xerostomia tanpa stimulasi dan dengan stimulasi akan kurang dari 50% dari
angka normalnya sehingga menyebabkan xerostomia.
Xerostomia jika dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan
berbagai komplikasi pada rongga mulut, seperti gingivitis diabetika, periodontitis,
kandidiasis, angular cheilitis, karies gigi dan sindrom mulut kering, sehingga penderita
DM yang mengalami xerostomia akan mengalami ganggguan baik secara fisik maupun
psikis. Hal tersebut membuat perawatan xerostomia akibat komplikasi DM sangat
penting. Angka kejadian penderita DM yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dapat
pula menyebabkan peningkatan xerostomia, sehingga penting sekali dilakukan
penelitian untuk pencegahan dan pengelolaan yang tepat.
Diagnosis khas DM pada umumnya adalah bahwa terdapat keluhan khas DM
yaitu : Poli uria (banyak kencing), Polidipsia (banyak minum), Polifagia (banyak
makan), dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya, dan keluhan lainnya
seperti : kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria, pruritis vulva pada
wanita. Kedua tipe ini ditandai dengan hiperglikemi, hiperlipidemi, dan komplikasi
lainnya. Diabetes Mellitus mempunyai komplikasi yang utama, yaitu: mikroangiopati,
nefropati, neuropati, penyakit makro vaskuler dan penyembuhan luka yang lambat.
LAPORAN KASUS

Pasien laki-laki berusia 52 tahun memiliki keluhan utama mulutnya terasa kering.
Pasien diketahui menderita diabetes mellitus tipe II. Pasien sedang mengkonsumsi obat
glimepiride, metformin, dan gemfibrozil.

Gambar 1. Kondisi Rongga Mulut Pasien

ETIOLOGI

Kondisi sistemik.

TERAPI

 KOMUNIKASI INFORMASI EDUKASI (KIE)

- Mengunyah permen xylitol

- Memakan buah-buahan yang asam


PEMBAHASAN

XEROSTOMIA

Xerostomia berasal dari bahasa Yunani: xeros = kering; stoma = mulut). Mulut
kering digambarkan sebagai penurunan kecepatan sekresi stimulasi saliva (Kidd,
1992). Xerostomia (mulut kering) adalah komplain subjektif dari mulut kering yang
bisa disebabkan oleh penurunan produksi saliva (Mohammad, 2005).

Mulut kering atau xerostomia adalah keluhan yang paling sering dirasakan oleh
penderita DM yang tidak terkontrol, tidak tediagnosa, tidak terkontrol dengan baik
dengan adanya penurunan saliva. DM yang tidak terdiagnosa, tidak terkontrol, ataupun
penderita DM yang tidak terkontrol dengan baik akan mengalami manifestasi di
berbagai organ termasuk rongga mulut. Rongga mulut penderita DM akan terasa tidak
nyaman karena sekresi saliva kurang dari normal dan penderita merasakan mulutnya
menjadi kering (xerostomia). Sekresi saliva normal tanpa stimulasi ialah ≥0,3
ml/menit, sedang sekresi saliva normal dengan stimulasi adalah 1-2 ml/menit. Jumlah
sekresi saliva pada orang yang mengalami xerostomia tanpa stimulasi dan dengan
stimulasi akan kurang dari 50% dari angka normalnya sehingga menyebabkan
xerostomia.
Xerostomia jika dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan
berbagai komplikasi pada rongga mulut, seperti gingivitis diabetika, periodontitis,
kandidiasis, angular cheilitis, karies gigi dan sindrom mulut kering, sehingga penderita
DM yang mengalami xerostomia akan mengalami ganggguan baik secara fisik maupun
psikis. Hal tersebut membuat perawatan xerostomia akibat komplikasi DM sangat
penting.

The Oral Health Science Institute University of Pittsburgh telah melakukan studi
epidemiologi pada 406 penderita DMT1 dan 268 DMT2 untuk melihat adanya
hubungan antara kesehatan mulut dan diabetes, hasil penelitian tersebut melaporkan
pada penderita DM hampir separuhnya merasakan xerostomia. Penelitian yang sama
juga ditemukan di Amerika Serikat dari seluruh populasi penelitian, 40% mengalami
xerostomia.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat dikatakan semakin tinggi kadar gula
darah penderita DMT2, semakin tinggi pula kemungkinannya untuk merasakan
xerostomia. Hal yang sama dikatakan Nasution, bahwa pada penderita DM dengan
kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) dapat menimbulkan kelainan pada rongga
mulut salah satunya ialah xerostomia.

Penelitian yang dilakukan Kartimah menjelaskan penyebab terjadinya xerostomia


pada DM. Menurutnya, xerostomia pada DM terjadi karena gangguan kongenital
neuropati atau karena adanya kerusakan pada nervus kranial VII (nevus fasialis) dan
nervus kranialis IX (nervus glosofaringeal) yaitu nervus yang menginervasi kelenjar
parotis (69%) sumber penghasil saliva.

Penelitian mengenai lama menderita didapatkan prevalensi DM dari 92 penderita


DMT2 di Poliklinik Endokrin RSUP. Prof. dr. R. D. Kandou Manado bervariasi.
Penderita DMT2 yang mengalami xerostomia ialah ≥1 tahun, dengan prevalensi
tertinggi pada 5-7 tahun, ada 1 penderita yang telah terdiagnosis DM selama 20 tahun
dan 1 penderita yang telah terdiagnosis DM selama 30 tahun. Semakin lama pasien
menderita DM dengan kondisi hiperglikemia, maka semakin tinggi kemungkinan untuk
terjadinya komplikasi kronik. Komplikasi kronik ini salah satunya adalah xerostomia.
Penelitian yang dilakukan Tarigan mengemukakan, bahwa manifestasi penderita DM
pada mulut mempunyai bentuk yang bermacammacam tergantung pada kebersihan
mulut, lamanya menderita DM dan beratnya DM tersebut.

Penelitian berdasarkan lama menderita DM menunjukkan bahwa semakin lama


pasien menderita DM, semakin besar pula kemungkinannya merasakan xerostomia.
Hal ini di dukung oleh teori yang menyebutkan lama menderita DM berkaitan dengan
terjadinya xerostomia, karena adanya perubahan atropi pada kelenjar saliva sesuai
dengan pertambahan umur yang akan menurunkan produksi saliva dan mengubah
komposisinya.

Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi proses aging. Terjadi perubahan dan
kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang dan akan
digantikan oleh jaringan ikat dan lemak. Keadaan ini mengakibatkan pengurangan
jumlah aliran saliva. Perubahan atropik yang terjadi di kelenjar submandibula sesuai
dengan pertambahan usia juga akan menurunkan produksi saliva dan mengubah
komposisinya.
Tanda

Edgar & Mullane mengemukakan, gejala subjektif xerostomia meliputi keinginan


minum meningkat, kesulitan dalam berbicara, kesulitan merasakan makanan, kesulitan
mengunyah makanan, kering saat menelan, rasa terbakar pada lidah, sering menenggak
air terutama saat makan dan saat tidur dan kesulitan menggunakan gigi tiruan (lepasan).
Kartimah mengatakan, adanya xerostomia pada penderita DM dapat terlihat dengan
adanya penurunan aliran saliva, penurunan fungsi kecap, kesukaran mengunyah dan
menelan, keluhan rasa sakit pada lidah dan mukosa, serta karies yang dapat menjalar
dan kehilangan gigi serta lebih peka terhadap terjadinya radang.

Xerostomia menyebabkan mengeringnya selaput lendir. Mukosa mulut menjadi


kering, mudah mengalami iritasi dan infeksi. Keadaan ini disebabkan oleh karena tidak
adanya daya lubrikasi dan proteksi dari saliva. Rasa pengecapan dan proses berbicara
juga akan terganggu. Kekeringan pada mulut menyebabkan fungsi pembersih saliva
berkurang, sehingga terjadi radang dari selaput lendir yang disertai keluhan mulut
terasa seperti terbakar. Selain itu, fungsi anti bakteri dari saliva pada penderita
xerostomia akan berkurang sehingga menyebabkan timbulnya proses karies gigi.

Diagnosis

Diagnosis dari xerostomia dilakukan berdasarkan anamnesa terarah dan dapat juga
dilakukan dengan mengukur laju aliran saliva total yaitu dengan saliva collection. Laju
aliran saliva memberi informasi yang penting untuk tindakan diagnostik dan tujuan
penelitian tertentu. Fungsi kelenjar saliva dapat dibedakan dengan teknik pengukuran
tertentu. Laju aliran saliva dapat dihitung melalui kelenjar saliva mayor individual atau
melalui campuran cairan dalam rongga mulut yang disebut saliva murni (Fox, 2003).

Metode utama untuk mengukur saliva murni yaitu metode draining, spitting,
suction, dan swab. Metode draining bersifat pasif dan membutuhkan pasien untuk
memungkinkan saliva mengalir dari mulut ke dalam tabung dalam suatu masa waktu.
Metode suction menggunakan sebuah aspirator atau penghisap saliva untuk
mengeluarkan saliva dari mulut ke dalam tabung pada periode waktu yang telah
ditentukan. Metode swab menggunakan gauze sponge yang diletakkan didalam mulut
pasien dalam waktu tertentu. Metode spitting (metode yang digunakan Nederfords
sesuai dengan metode standar Navazesh) dilakukan dengan membiarkan saliva untuk
tergenang di dalam mulut dan meludahkan ke dalam suatu tabung setiap 60 detik
selama 2-5 menit (Fox, 2003).

Untuk mengukur saliva murni maka tidak diperkenankan makan dan minum dalam
kurun waktu 90 menit sebelum dilakukan pengukuran laju aliran saliva. Laju aliran
saliva yang diukur adalah laju aliran saliva tanpa stimulasi (USFR/unstimulated
salivary flow rate) dan laju aliran saliva terstimulasi (SSFR/stimulated salivary flow
rate). Laju aliran saliva tanpa stimulasi (USFR/unstimulated salivary flow rate) <0,1
ml/min danlaju aliran saliva terstimulasi (SSFR/stimulated salivary flow rate)
<1,0ml/min adalah merupakan indikasi xerostomia(Fox, 2003).

Riwayat kesehatan keseluruhan yang mencakup penggunaan obat diikuti dengan


pemeriksaan klinis yang diperlukan untuk menetapkan diagnosis. Selanjutnya tes
seperti evaluasi serologi (antibodi antinuklear, biopsi kecil kelenjar ludah, deteksi
infiltrasi limfositik untuk menghilangkan penyakit sistemik, seperti sindrom Sjögren
atau induksiobat sialadenitis), pencitraan kelenjar ludah seperti sialografi
danskintigrafi, dan evaluasi sialometrik juga dapat diperlukan untukmengkonfirmasi
diagnosis dan untuk menentukan kondisi sistemik yangmendasari(Navazeshdkk.,
2011).

Diagnosis mulut kering secara subjektif juga dapat didasarkan padapertanyaan


berikut; ‘seberapa sering anda merasakan mulut kering?’dengan pilihan jawaban
‘selalu, ‘sering’, ‘kadang-kadang’, dan ‘tidakpernah’. Pilihan jawbaan ‘selalu’ dan
‘sering’ dapat memberikanidentifikasi terjadinya xerostomia (Thomsondkk., 2006).

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal xerostomia dimulai dengan meredakan gejala xerostomia


(Navazeshdkk., 2011). Hal ini dapat dilakukan dengancara:

1) Sering meneguk air.

2) Bilasan mulut dan obat kumur, gel, semprotan dan saliva buatan.

3) Memperbanyak mengunyah permen, tetapi harus bebas gula dan non-asam. Produk
yang mengandung xylitol sebagai agen pemanis dapatdisarankan.
4) Untuk bibir kering,mengoleskan krim atau salep Hydrating untuk
membantumeringankan gejala.

5) Penggunaan produk lidah buaya atau vitamin E.

6) Diet makanan yang kaya kelembaban dan bukan makanan panas atau pedas.
KESIMPULAN

Kondisi xerostomia yang dialamai oleh pasien merupakan manifestasi dari penyakit
sistemik, yaitu Diabetes Mellitus Tipe II yang dialami oleh Pasien sejak 3 tahun
belakangan ini. Kondisi ini bertambah parah apabila kadar gula darah pasien meningkat
dan pasien tidak rutin dalam mengkonsumsi obat. Penanganan dalam kasus ini adalah
KIE dimana pasien di instruksikan untuk rutin mengkonsumsi obat sesuai anjuran
dokter serta mengkonsumsi makanan yang dapat merangsang produksi saliva pasien.
Hal ini bertujuan agar keluhan mulut kering pada pasien dapat berkurang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Langlais RP, Miller CS, Nield-Gehrig JS, Atlas Berwarna Lesi Mulut

yang Sering Ditemukan, 2013, 4thed. Indonesia:EGC.p.106.

2. Mohammad AR. Xerostomia in the geriatric patient: A new challenge for

the oral health professional. A review. Dental Forum/1/2005/XXXII,

67-72.

3. SR Porter, C. Scully, AM. Hegarty. An update of the etiology and

management of xerostomia. Oral Surgery Oral Medicine Oral Pathology.

2004: 97 (1, 28-46) 46.

4. Hasibuan S. Keluhan mulut kering ditinjau dari faktor penyebab

manifestasi dan penanggulannya.

http://library.usu.ac.id/download/fkg/fkg-sayuti.pdf (15 Februari 2012).

5. Scully C, Bagan JV. Adverse drug reaction in the orofacial region. Crit

Rev Oral Biol Med; 2004. 15(4): 221-222.

6. Tarigan S. Pasien Prostodonsia Lanjut Usia: Beberapa Pertimbangan

dalam Perawatan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap

Universitas Sumatera Utara. 2005.

7. Pajukoski H, Meurman JH, Halonen P, Sulkava R. Prevalence of

subjective dry mouth and burning mouth in hospitalized elderly patients

and outpatients in relation to saliva, medication, and systemic diseases.

Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod; 2001. 92: 641-9.

8. Bartels CL. Xerostomia information for dentists : Helping patients with

dry mouth. 2010.

9. Navazesh M, Kumar SKS. Xerostomia: Prevalence, Diagnosis, and

Management. Compendium of Continuing Education in Dentistry. 2011.


10. Orellana MF, Lagravère MO, Boychuk DG, et al. Prevalence of

xerostomia in population-based samples: a systematic review. J Public

Health Dent. 2006: 66(2): 152-158.

11. Johansson AK, Johansson A, Unell L, et al. A 15-yr longitudinal study of

xerostomia in a Swedish population of 50-yr-old subjects. Eur J Oral Sci.

2009; 117 (1) :13-19.

12. Lubis, Irwati. 2009. Manifestasi Diabetes Mellitus Dalam Rongga Mulut.

Potekkes Jakarta.

https://www.poltekkesjakarta1.ac.id/file/dokumen/74artikel_bu_irwati.p

df.

13. Ship JA, Pillemer SR, Baum BJ. Xerostomia and the geriatric patient. J

Am Geriatr Soc. 2002: 50(3): 535-543.

14. Fox PC, Grisius MM. Salivary gland diseases. Burket’s Oral Medicine

Diagnosis and treatment. 10th ed. Hamilton : BC Decker Inc. 2003:

235-38.

15. Thomson WM, Lawrence HP , Broadbent JM, Poulton R. The impact of

xerostomia on oral-health-related quality of life among younger adults.

Health and Quality of Life Outcomes.2006; 4:86,

http://www.hqlo.com/content/4/1/86.

16. Walokow, Wulan Grace. 2010. Gambaran Xerostomia pada Penderita

Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Endokrin RSUP. Prof dr. R. D.

Kandou Manado. Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran

Universitas Sam Ratulangi.

Anda mungkin juga menyukai