Anda di halaman 1dari 71

FARMAKODINAMIK

FARMAKOLOGI
MODUL FUNGSI NORMAL
REPRODUKSI DAN URINARIA
FARMAKODINAMIK
• Farmakodinamik adalah subdisplin
farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi
dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya.
• Tujuan mengetahui mekanisme kerja obat:
 meneliti efek utama obat
 mengetahui interaksi obat dg sel
 mengetahui urutan peristiwa serta
spektrum efek dan respon yg terjadi
Farmakodinamik

studi tentang efek biokimia dan fisiologis dari


mekanisme kerja mereka

dasar untuk penggunaan terapetik yang


rasional
mendesign obat baru
Mekanisme Kerja Obat

Obat reseptor Efek

komponen makromolekul dari


mikroorganisme

 hormones, growth factors,


neurotransmitters
1. Mengubah kecpt. kegiatan faal tubuh
enzymes (ACh esterase,
2. Tidak menimbulkan fungsi baru hanya dihydrofolate reductase)
memodulasi fungsi fisiologi intrinsik transport (Na/K-ATPase)
 structural (tubulin)
nucleic acid
Sifat
fisiologis
reseptor
Reseptor Obat
Agonis
agonis antagonis
negatif

Agonis Agonis Antagonis Antagonis


penuh parsial penuh parsial

hidrogen

ion kovalen

Ikatan obat-
Ikatan Obat- reseptor

Reseptor
Van der
hidrofobik
waals

5
Reseptor Obat
• Protein regulator
– Memediasi kerja sinyal endogen (NT, hormon)
• Enzim
– c/: dihidrofolat reduktase (reseptor metotreksat)
• Protein Transport
– c/: Na+/K+ATPase (reseptor digitalis)
• Protein Struktural
– c/: tubulin (reseptor kolkisin)

6
Reseptor untuk molekul pengatur
fisiologis
• Berdasarkan fungsinya, domain fungsional reseptor
dibagi menjadi 2:
– Ligand binding  tempat pengikatan ligan
– Efektor  menghantarkan sinyal

• Kerja reseptor regulator:


– Target seluler
– Protein efektor
– Transducer  molekul sinyal seluler intermediet
– Second massenger
transduksi sinyal
Reseptor fisiologis(klasifikasi)
Permukaan sel sitoplasma

G-protein-coupled
Enzim: receptors (GPCRs):
Ligand-gated ion Faktor transkripsi
Fosforilasi protein efektor 1. Gs penghantar
dan reseptor sitokin channels
2. Gi penhambat

Tirosin kinase  insulin, Cytosolic


EGF (epidermal growth Nicotinik receptor Amin Biogenik
factor), PDGF (platelet Eikosanoid receptors:
derived growth factor) GABAA receptor *thyroid hormone
Hormon Peptida
Serin/treonin kinase  Glutamate, *steroid
TGF- (transforming growth aspartate, glycine *retinoid
factor beta)
*vitamin D
Guanylyl cyclase  ANP
(atrial natriuretic peptide)
8
Janus-kinase, JAK
9
Enzim
• Membran plasma yg mengikat kinase.
protein target: enzim (kinase lain ), protein regulator, protein struktural.
• Jenis:
– Tirosin kinase  insulin, EGF (epidermal growth factor), PDGF (platelet
derived growth factor), limfokin
– Serin/treonin kinase  TGF- (transforming growth factor beta)
– Guanylyl cyclase  ANP (atrial natriuretic peptide)
– Tirosin Phospatase
• Bagian-bagian reseptor:
– Domain tempat ikatan agonis pada bagian ekstraseluler
– Single membrane-spanning  rantai peptida hidrofob transmembran yang
menghubungkan domain tempat ikatan ligand dengan tempat katalitik
– Domain pada permukaan dalam membran  tempat katalitik yang
berfungsi sebagai enzim
• Ligan berikatan dengan
reseptor (biasanya hormon
polipeptida atau growth
factor) pada domain
ekstraseluler
• Terjadi perubahan konformasi
reseptor  reseptor berikatan
secara non-kovalen
• Reseptor yang teraktivasi
mengkatalisis fosforilasi residu
tirosin
• Memodulasi proses biokimia
selanjutnya
Reseptor Sitokin

• Reseptor ini memberi respon terhadap ligan peptida


 growth hormone, eritropoetin, berbagai jenis
interferon, dan regulator pertumbuhan dan
diferensiasi lainnya.

• Mekanisme kerja mirip dengan reseptor tirosin


kinase  aktivitas fosforilasi dilakukan melalui
protein kinase lain (berasal dari Janus-kinase (JAK)
family)
• Jalur signal reseptor sitokin
– Ligan berikatan dengan reseptor sitokin
– Reseptor berdimerisasi
– JAKs yang terikat teraktivasi
– Memfosforilasi molekul STATs (signal transducers and activators of
transcription)
– Dua molekul STAT berdimerisasi
– STAT dimer bergerak ke nukleus (meregulasi transkripsi gen spesifik)
Ligand-gated ion channel
• Sebagian besar obat bekerja pada reseptor ini 
menyerupai atau menghambat aksi ligan endogen
yang meregulasi aliran ion melalui kanal membran
plasma
• Yang termasuk reseptor jenis ini adalah:
– Reseptor kolinergik nikotinik  asetilkolin
– Reseptor GABA (-aminobutyric acid A (GABAA))
benzodiazepin
– Reseptor untuk glutamat, aspartat, dan glisin
• Ligan berikatan dengan
reseptor
• Terjadi peningkatan
konduktansi ion tertentu dan
terjadi perubahan potensi
elektrik melalui membran
• Kanal ion membuka, sehingga
Na dapat masuk ke dalam sel
menyebabkan postsinaptik
eksitatorik lokal (depolarisasi)
G-protein-coupled receptors
• Protein G (GTP binding protein)  transduser signal yang
menyalurkan informasi dari reseptor ke protein efektor
• Protein G merupakan kompleks heterotrimetrik yang memiliki
3 subunit  , , 
• G-protein-coupled receptors (GPCRs)  kelompok reseptor
yang berinteraksi dengan protein G
• Yang termasuk GPCRs  reseptor untuk biogenic amines,
eicosanoid, hormon peptida, opioid, asam amino seperti
GABA, dan ligan protein dan peptida lainnya
• Protein efektor  enzim seperti adenilil siklase, fosfolipase A2
dan C, fosfodiesterase, dan kanal ion pada membran plasma
yang selektif untuk Ca2+, K+ dan Na+
Struktur GPCRs
• Terminal N (amino)  ekstraseluler
• Terminal C (karboksil)  intraseluler
• Kedua terminal dihubungkan dengan rantai polipeptida yang
melewati membran sebanyak tujuh kali  reseptor
“serpentin” atau “seven-transmembrane”
• Segmen transmembran hidrofobik  diberi nomor I-VII
• Ujung ekor reseptor mengandung banyak serin dan treonin
yang gugus OH-nya dapat terfosforilasi (kemungkinan
berkaitan dengan terhentinya interaksi protein G dengan
reseptor)
Jalur Signal GPCRs
• Ligan ekstraseluler berikatan dengan reseptor di
permukaan sel
• Reseptor mengaktifkan protein G (dengan mengikat
GTP dan melepaskan GDP) yang terdapat pada
membran plasma sisi sitoplasma
• Protein G berdisosiasi menjadi subunit  dan 
• Protein G subunit  akan mengaktifkan efektor
• Efektor akan mengatur produksi second messenger
intraseluler seperti cAMP, inositol trifosfat dan
diasilgliserol
Reseptor dan Efektor Protein G
Protein G Reseptor untuk: Efektor/jalur signal
Gs Amin -adrenergik, glukagon,  Adenilil siklase   cAMP
histamin, serotonin, dan beberapa
hormon lain

Gi1, Gi2, Amin 2-adrenergik, asetilkolin Beberapa, termasuk:  Adenilil


(muskarinik), opioid, serotonin, dan siklase   cAMP dan membuka
Gi3 lain-lain kanal K+ jantung   frekuensi
denyut jantung

Golf Epitelium olfaktori  Adenilil siklase   cAMP

GO Neurotransmiter otak Belum jelas

Gq Asetilkolin (muskarinik), bombesin,  Fosfolipase C   IP3,


serotonin, dan lain-lain diasilgliserol, dan Ca sitoplasma

Gt1, Gt2 Rodopsin dan opsin warna pada  cGMP fosfodiesterase  


sel kerucut dan batang retina transduksi cGMP
Second Messenger
• Second messenger  berfungsi untuk menghantarkan sinyal
biologis dalam sitoplasma
• Kriteria second messenger:
– Diproduksi dengan sangat cepat
– Bekerja pada kadar yang sangat rendah
– Setelah sinyal eksternal tidak ada, mengalami penyingkiran
secara spesifik
– Mengalami daur ulang
• Second messenger: cAMP, Ion Ca2+ , 1,4,5 inositol trifosfat
(IP3), Diasilgliserol (DAG), NO, cGMP
Siklik-AMP (cAMP)
• Dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase
• Adenilat siklase distimulasi melalui protein Gs dan
diinhibisi oleh protein Gi, selain itu juga dapat
distimulasi oleh ion kalsium, toksin kolera dan ion
fluorida
• cAMP akan mengaktifkan cAMP-dependent protein
kinase (protein kinase A)  fosforilasi protein 
respon seluler
• cAMP didegradasi dengan cara hidrolisis, yang
dikatalisis oleh fosfodiesterase  menjadi 5-AMP
• Fosfodiesterase diaktifkan oleh Ca2+, kalmodulin atau
cAMP sendiri
Siklik-GMP
• Cyclic Guanosine Monophosphate (cGMP)  hanya terdapat
pada beberapa sel (mis: mukosa usus dan otot polos vaskular)
• Transmisi sinyal:
– Ligan berikatan dengan reseptor di permukaan sel
– Menstimulasi Guanilil siklase untuk memproduksi cGMP
– cGMP menstimulasi cGMP-dependent protein kinase
– Terjadi defosforilasi rantai ringan miosin  relaksasi otot
polos
– Kerja cGMP di sel diterminasi dengan degradasi enzimatik
oleh nukleotida siklik dan defosforilasi substrat kinase
Inositol Trifosfat dan Diasilgliserol
• Merupakan second messenger pada transmisi sinyal pada 1-
adrenoseptor,reseptor vasopressin, asetilkolin, histamin,
platelet derived growth factor, dll
• Transmisi sinyal:
– Agonis terikat pada reseptor di permukaan sel
– Melalui perantaraan protein G, terjadi peningkatan aktivitas
fosfolipase C (PLC)
– PLC menghidrolisis fosfatidil inositol 4,5-bifosfat (PIP2)  terbentuk
DAG dan IP3
– IP3 menyebabkan penglepasan ion Ca2+dari depot intraseluler 
respon seluler
– DAG dan IP3  merangsang aktivitas protein kinase C  fosforilasi
protein  respon seluler
Ion Kalsium Sitoplasma
• Berperan dalam aktivasi beberapa enzim, kontraktil sel
otot, dan mencetuskan penglepasan histamin
• Kadar Ca2+ sitoplasma diatur oleh kanal Ca2+, ATP-ase di
membran plasma, depot Ca2+ intrasel
• Kanal Ca2+ di membran sel diatur oleh depolarisasi,
interaksi dengan protein Gs, fosforilasi oleh protein
kinase A, atau oleh K+ dan Ca2+
Nitric Oxide (NO)
• Berperan dalam pengaturan dalam sistem
kardiovaskuler, imunologi dan saraf
• Juga berperan dalam proses patologis syok
septik,hipertensi, stroke, penyakit
neurodegeneratif
• Pada sistem vaskuler  menstimulasi guanilil
siklase, untuk memproduksi cGMP
(vasodilator)
• Sintesis cGMP dapat ditingkatkan melalui 2 mekanisme:
– ANP (atrial natriuretic peptide)  berikatan dengan
domain ekstraseluler  menstimulasi reseptor
transmembran  mengaktifkan guanilil siklase
– Nitric oxide (NO)
• Terdapat pada sel endotel vaskular
• Berespon terhadap vasodilator alami (asetilkolin dan
histamin)
• setelah memasuki sel target  NO berikatan dan
mengaktifkan guanilil siklase sitoplasma
Regulasi Reseptor
• Respon obat atau hormon yang dimediase protein G akan
menurun seiring dengan berjalannya waktu
• Setelah mencapai tingkat yang tinggi, respon akan berkurang
dalam beberapa detik atau menit, meskipun masih
didapatkan adanya agonis  desensitisasi
• Desensitisasi bersifat reversibel  pajanan kedua, setelah
terminasi pajanan pertama, akan memberi respon yang sama
dengan pajanan pertama
Faktor Transkripsi
• Beberapa ligan bersifat larut lemak sehingga mampu melewati
membran plasma dan bekerja pada reseptor intraseluler 
steroid (kortikosteroid, mineralkortikoid, sex steroid, vitamin
D, vitamin A), dan hormon tiroid
• Jalur signal faktor transkripsi (glukokortikoid)
– Pada keadaan tidak ada hormon, reseptor untuk
glukokortikoid berikatan dengan hsp90
– Ikatan hormon glukokortikoid dengan reseptor akan
melepas hsp90
– Keadaan ini menyebabkan domain DNA-binding dan
transcription-activating mengalami perubahan konformasi,
sehingga reseptor yang teraktivasi dapat menginisiasi
transkripsi pada gen target
– Domain DNA-binding akan berikatan dengan sekuens DNA
spesifik (response elements)
Kerja obat yang tidak dimediasi
oleh reseptor

• Beberapa obat bekerja tidak dengan cara berikatan


dengan reseptor.
• Beberapa obat berinteraksi secara spesifik dengan
molekul kecil atau ion yang secara normal maupun tidak
normal ditemukan dalam tubuh. Contoh:
– Netralisasi asam lambung oleh antasida.
– Penggunaan mesna (penangkap radikal bebas yang dieliminasi
secara cepat oleh ginjal) untuk mengikat metabolit reaktif yang
terkait dengan agen kemoterapi kanker sehingga meminimalkan
efek yang tidak diinginkan pada saluran kemih.
• Agen-agen lain bekerja dengan efek koligatifnya.
Mekanisme tersebut ditandai oleh kurang
dibutuhkannya struktur kimia yang sangat spesifik.
Contoh:
– Manitol diberikan dalam jumlah yang cukup, untuk meningkatkan
osmolaritas berbagai cairan tubuh sehingga menimbulkan perubahan
distribusi dari cairan tubuh digunakan untuk meningkatkan diuresis,
katartik, meningkatkan volume pada kompartemen intravaskular, atau
menurunkan edema serebral.

• Obat-obat tertentu merupakan analog struktur zat


kimia biologis yang dapat berinkorporasi pada
komponen seluler sehingga mengganggu fungsi
mereka. Contoh:
– Analog purin dan pirimidin yang dapat berinkorporasi pada asam
nukkleat berguna secara klinis pada kemoterapi kanker dan
antiviral.
INTERAKSI OBAT–RESEPTOR &
EFEKNYA

38
Glossary
• Agonis : Obat - Reseptor  respon biologi
• Agonis parsial : Obat-Reseptor  respon biologi, tapi pd dosis
besar  tidak menghasilkan respon maksimal
• Antagonis: Obat-Reseptor  tidak menginisiasi respon biologis
• Potensi: Conc. Obat yg dibthkan u/ mghasilkan ½ respon biologi
maksimal
• Afinitas: kemampuan obat utk berikatan dg reseptornya
• Aktivitas intrinsik/efektivitas/manfaat : kemampuan intrinsik
kompleks obat-reseptor utk menimbulkan efek
• Efek maksimal /efektivitas: respon obat maksimal yg dihasilkan
jika diberikan pd conc. Tinggi
• Spesifisitas: Efek obat akibat interaksi pd suatu reseptor spesifik
• Selektivitas: Efek tunggal obat pd dosis rendah dan efek lain baru
timbul pada pada dosis yg lebih tinggi
39
Kerja Obat :
1. mempengaruhi fisiologi normal atau proses
biokimia dalam tubuh
2. respon thdp perubahan proses dlm tubuh
akibat penyakit
Contoh:
- Salbutamol (bronkodilator)  efek relaksasi bronkus yg kecil
pd orang sehat, tapi memberikan efek yg signifikan pd px
asma
- AM Sulfonamide  bekerja dgn menghambat PABA scr
kompetitif. Kuman memerlukan PABA untuk membentuk
asam folat. Pd manusia, folat tdk disintesis shg sulfonamide
tdk mempengaruhi persediaan folat pd manusia

40
Interaksi Obat-Reseptor
(kompleks reseptor obat & respon obat)

• Reversibel
• Ikatan antara obat dengan reseptor  ikatan lemah
– ikatan ion
– Hidrogen
– Hidrofobik
– van der Waals

41
• Interaksi obat-reseptor dlm menghasilkan efek,
terkadang melibatkan second messenger,
seperti: cyclic-AMP.
ex: noradrenaline + bronchial β-adrenoreceptor 
aktivasi enzim adenylcyclase  mengkatalis sintesis
cyclic-AMP  relaksasi otot polos bronkus (~
perubahan conc. Ca dlm otot polos)

42
Interaksi Obat-Reseptor
(kompleks reseptor obat & respon obat)

• Teori pendudukan reseptor (receptor occupancy)


– intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi
reseptor yang diduduki atau diikatnya
– intensitas efek mencapai maksimal jika seluruh
reseptor diduduki oleh obat
• Respon proporsional dengan jumlah kompleks obat-
reseptor yang terbentuk

43
Hubungan Dosis dan Respon
• interaksi obat-reseptor ini analog dengan interaksi substrat-enzim
 persamaan Michaelis-Menten:

44
Hubungan kadar/dosis-intensitas efek
• Hubungan antara kadar/dosis
obat [D] dengan besarnya efek
[E]  konsentrasi VS respon 
kurva dosis-efek (graded dose-
effect curve/DEC) yang
berbentuk hiperbola.

• Jika dosis dalam log  hubungan


antara log D dengan besarnya
efek E  log dose-effect curve
(log DEC) yang berbentuk
sigmoid.

45
Hubungan kadar/dosis-intensitas efek

• Jika efek yang diamati merupakan gabungan beberapa efek,


maka log DEC-nya dapat bermacam-macam bentuknya.
• Tetapi untuk masing-masing efek tersebut, log DEC umumnya
berbentuk sigmoid.
• Log DEC lebih sering digunakan karena mencakup kisaran
dosis yang luas dan mempunyai bagian yang linear, yakni pada
besar efek 16-84% (=50% + 1 SD), sehingga lebih mudah untuk
membandingkan beberapa DEC.

46
Hubungan kadar/dosis-intensitas efek
• 1/KD = afinitas obat
terhadap reseptor :
kemampuan obat untuk
berikatan dengan
reseptornya.
• Makin besar KD makin
kecil afinitas obat
terhadap reseptornya.
• Emax = aktivitas intrinsik
/ efektivitas obat =
kemampuan intrinsik
kompleks obat-reseptor
untuk menimbulkan efek
farmakologik.

47
VARIABEL
HUBUNGAN DOSIS-INTENSITAS EFEK OBAT
• Log DEC memiliki 4 variabel
karakteristik yaitu:
– Potensi
– Kecuraman (slope)
– Efek maksimal
– Variasi individual

48
VARIABEL
HUBUNGAN DOSIS-INTENSITAS EFEK OBAT (2)
• Potensi
– kisaran dosis obat yang menimbulkan efek, ditentukan
oleh:
• Kadar obat yang mencapai reseptor (tergantung farmakokinetik
obat)
• Afinitas obat terhadap reseptor
– potensi terlalu rendah, akan merugikan karena dosis yang
diperlukan terlalu besar.
– potensi terlalu tinggi, akan membahayakan bila obat
mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit.
– Variabel ini relatif tidak penting karena dalam klinik
digunakan dosis sesuai potensinya (ekuipoten).

49
VARIABEL
HUBUNGAN DOSIS-INTENSITAS EFEK OBAT (3)
• Efek maksimal atau efektivitas
– respon maksimal yang dapat ditimbulkan oleh obat jika
diberikan pada dosis tinggi.
– ditentukan oleh aktivitas intrinsik obat dan ditunjukkan
oleh plateau pada kurva DEC.
– merupakan variabel yang penting, misalnya morfin dan
aspirin berbeda dalam efek maksimal/efektivitasnya
sebagai analgesik (morfin dapat menghilangkan rasa nyeri
yang hebat, sedangkan aspirin tidak).
– Efektivitas obat tidak selalu berhubungan dengan
potensinya.

50
VARIABEL
HUBUNGAN DOSIS-INTENSITAS EFEK OBAT (4)
• Slope atau kemiringan log DEC
– Merupakan variabel yang penting, menunjukkan batas-batas
keamanan obat.
– Slope obat yang curam, misalnya pada fenobarbital,
menunjukkan bahwa dosis yang menimbulkan koma hanya
sedikit lebih tinggi daripada dosis yang menimbulkan
sedasi/tidur.
• Variasi biologik
– Adalah variasi antar individu dalam besarnya respon terhadap
dosis obat yang sama pada populasi yang sama.
– Garis horizontal menunjukkan bahwa untuk menimbulkan efek
obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu
kisaran dosis.
– Garis vertikal menunjukkan bahwa pemberian obat dengan
dosis tertentu pada populasi akan menimbulkan satu kisaran
intensitas efek.
51
HUBUNGAN DOSIS OBAT-PERSEN RESPONSIF
• Menentukan dosis yg direspon sebagian besar
populasi
• Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50%
individu = dosis terapi median / dosis efektif median
(=ED50).
• Dosis yang menimbulkan kematian pada 50%
individu = dosis letal median (=LD50).
• Sedangkan TD50 = dosis toksik 50%.
• Indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio:

Indeks terapi = TD50 atau LD50


ED50 ED50

52
• Afinitas Obat A afinitasnya > Obat B, karena [obat A]
untuk respon ½ max < Obat B
• Obat C aktivitas
intrinsiknya ½ dari
obat B, karena
[obat C] yang
diperlukan untuk
menghasilkan 50%
respon maksimum
obat C (25%
pada skala respon)
> obat B
• Obat A & B = agonis, obat C = agonis parsial
• Seberapa pun tingginya konsentrasi obat C tidak akan
menghasilkan respon yang maksimal 53
Agonis
• Obat yg berikatan dg reseptor mampu secara
internsik(respon biologis) menimbulkan efek
farmakologik menyerupai respon ligan endogen
• Mis: phenyleprin  adrenoreseptor α1 efek spt
ligan endogen norepineferin

54
Antagonis
• Obat yg berikatan dg reseptor yg sama tidak
mampu secara internsik menimbulkan efek
farmakologik
• Antagonis menghalangi agonis atau ligan endogen
berikatan dg reseptornya  menurunkan kerja obat
agonis
• Kompentitif  reseptor yg diduduki sama, misal:
Antihipertensi prazozin >< noepinefrin pd reseptor
adrenoreseptor α1
• Non Kompetitif  reseptor yg diduduki tdk sama

55
Agonis Parsial
• agonis yg lemah kemampuan secara internsik dan
efektifisanya rendah sehingga efek farmakologiknya
lemah

56
Peran Ganda Agonis Parsial
• Agonis parsial bahkan bila ditambahkan konsentrasi
tinggi, tidak menghasilkan respon penuh yang
jaringan mampu
• Adanya full agonis, hasil akhir 2 senyawa tsb
bergantung pada konsentrasi full agonis
• Pada konsentrasi agonis yang rendah, penambahan
agonis parsial  efek aditif
• Pada konsentrasi agonis yang lebih tinggi  efek
akhir penambahan agonis parsial: penurunan
respons

57
Kurva log konsentrasi – respon
agonis parsial dengan agonis murni
• A = hanya agonis parsial
• Konsentrasi relatif agonis
murni B < C < D
• Kurva B & C : [agonis murni]
< respon max oleh agonis
parsial  efek agonisnya
aditif
• Kurva D : respon akibat
agonis murni melebihi
agonis parsial & responnya
diantagonis oleh respon
maksimum agonis parsial

58
Peran Ganda Agonis Parsial
• Fenomena tsb  konsenkuensi penting dalam
penggunaan bbrp obat agonis parsial
• Contoh
– nalorfin, digunakan untuk membalikkan efek overdosis
narkotik, = agonis narkotik parsial
• Bila diberikan pada orang tanpa narkotik, nalorfin sendiri
menyebabkan depresi pernapasan & mempotensiasi depresi
napas akibat obat non-narkotik obat c/ barbiturat
– Nalokson, antagonis narkotik tanpa sifat agonis parsial,
tidak menyebabkan hal tsb

59
Peran Ganda Agonis Parsial
• Antagonis β-adrenoceptor Pindolol
– Antihipertensi efektif pada dosis oral 10-30 mg per hari
– Punya sifat agonis parsial  jika efek terapi yang
diinginkan tidak tercapai dengan dosis yang biasa,
peningkatan dosis lebih lanjut kurang berpengaruh, karena
dosis yang lebih tinggi malah menghasilkan respon agonis
yang signifikan
 ubah antagonis β-adrenoceptor yang tidak bersifat
agonis parsial atau menambahkan obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda

60
Spesifisitas dan Selektivitas

• Spesifik  kerja obat terbatas pd 1 reseptor


• Selektif  menghasilkan hanya 1 efek pd dosis
rendah dan efek lain baru muncul pd dosis
lebih tinggi
• Makin >> efek suatu obat  makin >> yg
menjadi efek samping  seletivitas mrpkn
sifat obat yg sgt penting

61
• Selektivitas obat  hub. Dosis terapi dan
dosis obat yg menimbulkanefek toksik 
indeks terapi obat
• Indeks terapi berlaku u/ 1 efek tx
• Ex: Aspirin  index terapi sbg analgesik >>
indeks terapi sbg antireumatik  krn Do
antireumatik >> Do analgesik

62
• Selektifitas obat juga suatu fungsi rute
pemberian obat
• Contoh: selektifitas relatif salbutamol terhadap
reseptor β2 bronkus dapat ditingkatkan dengan
pemberian obat sebagai spray langsung ke Paru
daripada melalui oral atau intravena

63
Spesifisitas Obat dan Selektivitas
• Kebanyakan obat menyebabkan lebih dari 1
respon
• Bbrp efek multipel menguntungkan
– Efek antipiretik & analgetik aspirin untuk terapi
simptomatik influenza
Namun lebih sering membatasi efek
– Klorpromazin, selain berefek kompleks di SSP, juga
bekerja pada reseptor kolinergik, adrenergik,
histaminergik perifer
• Klorpromazin & gol. Fenotiazin merupakan obat
nonspesifik karena kerjanya pada reseptor yang
bervariasi
64
Spesifisitas Obat dan Selektivitas
• Obat dapat bekerja pada reseptor yang spesifik tetapi
masih menghasilkan respon farmakologis yang beragam
• Atropin, antagonis reseptor muskarinik asetilkolin,
– kegunaannya untuk supresi sekresi asam lambung untuk terapi
ulkus peptik dibatasi oleh efek sampingnya
– Dosis atropin yang efektif untuk supresi sekresi asam lambung,
biasanya menyebabkan mulut kering & penglihatan kabur
karena kerja obat pada reseptor muskarinik di kelenjar liur dan
mata
– Jadi, atropin, meskipun spesifik karena kerjanya pada reseptor
tertentu, secara farmakologis tidak selektif karena distribusi
reseptornya luas di berbagai organ efektor yang berbeda

65
Spesifisitas Obat dan Selektivitas
• Bbrp obat bisa spesifik & tidak selektif, contoh
obat yang bekerja pada β-adrenoceptor.
– Isoprenalin pada β-adrenoceptor menyebabkan
peningkatan kecepatan & kekuatan kontraksi jantung,
dilatasi pembuluh darah otot skelet, relaksasi otot
bronkial, juga punya efek minimal pada α-
adrenoceptor yaitu konstriksi pembuluh darah &
meningkatkan TD
 isoprenalin spesifik tetapi tidak selektif agonis
adrenoceptor  berefek pada β1-adrenoceptor di
jantung & β2-adrenoceptor di pembuluh darah
perifer & bronkus
66
Spesifisitas Obat dan Selektivitas
• Bbrp obat bisa spesifik & tidak selektif, contoh obat yang
bekerja pada β-adrenoceptor.
– Propranolol, antagonis non-selektif, bekerja pada β1 reseptor
jantung untuk menurunkan denyut jantung, & pada β2
reseptor bronkus untuk konstriksi jalan napas
– Atenolol & metoprolol punya bbrp derajat selektifitas pada β1
reseptor jantung  obat spesifik & juga relatif selektif pada
kerjanya di jantung
– Salbutamol, terbutalin, fenoterol selektifitasnya relatif
terhadap reseptor β2 bronkus, menyebabkan relaksasi
bronkus pada dosis yang menyebabkan stimulasi jantung
sedikit

67
Potensi VS Spesifisitas & Selektifitas

• Potensi sering digunakan dalam menentukan efikasi


klinis
• Bila potensi disamakan dengan aktivitas intrinsik
(mis. Dengan besarnya respon maksimum akibat
obat) maka potensi relevan secara klinis
• Mis. Furosemid dianggap diuretik yang lebih poten
daripada thiazid terutama pada pasien dengan
insufisiensi ginjal
– Furosemid lebih mampu memicu diuresis daripada thiazid

68
Potensi VS Spesifisitas & Selektifitas

• Di sisi lain, potensi dapat dianggap sebagai dosis obat


atau [obat] dalam darah yang diperlukan untuk
menghasilkan efek
• HCT 10x lebih poten dari klorothiazid, dosis harian
HCT 50 mg sedangkan klorothiazid 500 mg
– Intensitas diuresis akibat kedua obat tersebut sama bila
masng2 diberikan dalam dosis yang adekuat  potensi
tidak relevan secara klinis

69
Potensi VS Spesifisitas & Selektifitas

• Keterbatasan memberikan dosis obat yang semakin


tinggi adalah adanya efek samping
• Obat yang selektif & spesifik kerjanya lebih berguna
daripada yang lebih poten karena dosisnya
– Mis. Efek samping atropin (mulut kering, penglihatan
kabur) yang timbul saat atropin digunakan untuk ulkus
peptikum
– Cimetidin yang selektif memblok reseptor Histamin lebih
efektif untuk ulkus peptik karena insiden ESO <<

70
Terima Kasih

71

Anda mungkin juga menyukai