Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR RADIUS-ULNA

A. Pengertian Fraktur Radius-Ulna


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang, sering diikuti oleh kerusakan
jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan
persarafan (Evans, 2001). Fraktur dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya megalami
pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi pada sebagian dari
garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Atau bila
jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau terputusnya jaringan tulang
dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang berhubungan dengan dunia
luar.Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat, yaitu :
a) Derajat I
(1) Luka < 1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
(3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
(4) Kontaminasi minimal
b) Derajat II
(1) Laserasi > 1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
(3) Fraktur kominutif sedang
(4) Kontaminasi sedang
c) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas :
(1) IIIA :Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
(2) IIIB :Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan lapisan
periosteum, fraktur kontinuitif
(3) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian distal dapat
diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.
Fraktur antebrachii adalah terputusnya kontinuitas tulang radius ulna, pada anak biasanya
tampak angulasi anterior dan kedua ujung tulang yang patah masih berhubungan satu sama
lain. Gambaran klinis fraktur antebrachii pada orang dewasa biasanya tampak jelas karena
fraktur radius ulna sering berupa fraktur yang disertai dislokasi fragmen tulang.(Mansjoer,
2000).
Fraktur os radius dan fraktus os ulna adalah trauma yang terjadi pada bagian tungkai
depan. Kadang kala sering terjadi fraktur yang terbuka, hal ini sering terjadi karena trauma
terjadi pada lapisan jaringan yang tipis dan lembut. (Alex, 2008)
Fraktur radius ulna biasanya terjadi karena trauma langsung sewaktu jatuh dengan posisi
tangan hiperekstensi. Hal ini dikarenakan adanya mekanisme refleks jatuh di mana lengan
akan menahan badan dengan posisi siku agak menekuk (Busiasmita, Heryati &
Attamimi,2009). Kekhasan dari fraktur radius ulna dapat dipengaruhi oleh otot antar tulang,
yaitu otot supinator, pronator teres, pronator kuadratus yang memuat gerakan pronasi-
supinasi yang berinsersi pada radius dan ulna.

B. Etiologi
1. Trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan otot yang tiba-tiba dan berlebihan,
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan.
Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena; jaringan
lunak juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami
fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan
lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada (Apley, 1995).
2. Kompresi
Retak dapat terjadi pada tulang, sama halnya seperti pada logam dan benda lain,
akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula
atau metatarsal, terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam
jarak jauh (Apley, 1995)
3. Patologik
Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses pelemahan
tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang bermetastase atau
ostepororsis. Fraktur dapat terjadi karena tekanan yang normal apabila tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau apabila tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit
paget) (Apley, 1995).

C. Tanda dan Gejala


1. Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atu kerusakan jaringan
sekitarnya.
2. Bengkak
Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan
ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.
2. Memar
Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.
4. Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
5. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur,nyeri atau spasme otot, paralysis dapat
terjadi karena kerusakan syaraf.
6. Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi
pergerakan.
7. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan.
8. Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot
yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan menyebabkan tulang
kehilangan bentuk normalnya.

Pada anamnesis selalu ditemukannya deformitas pada daerah sekitar radius- ulna pada tangan
klien(helmi,2013).
- Look: pada fase awal trauma, klien akan meringis kesakitan. Terlihat adanya deformitas
pada lengan bawah klien. Apabila didapatkan nyeri dan deformitas pada lengan bawah
maka perlu dikaji adanya perubahan nadi, perfusi yang tidak baik(akral dingin pada lesi),
dan CRT >3 detik dimana hal ini merupakan tanda-tanda peringatan tentang terjadinya
kompartemen sindrom. Sering didapatkan kasus fraktur radius-ulna dengan komplikasi
lebih lanjut.
- Feel: adanya keluhan nyeri misal skala 6, nyeri tekan dan krepitasi, sensasi masih terasa
di area distal
- Move:gerak fleksi ekstensi elbow terbatas, pronasi supinasi terbatas

D. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur antebrachii :
1. Fraktur antebrachii, yaitu fraktur pada kedua tulang radius dan ulna
2. Fraktur ulna (nightstick fractur), yaitu fraktur hanya pada tulang ulna
3. Fraktur Montegia, yaitu fraktur ulna proksimal yang disertai dengan dislokasi sendi
radioulna proksimal
4. Fraktur radius, yaitu fraktur hanya pada tulang radius
5. Fraktur Galeazzi, yaitu fraktur radius distal disertai dengan dislokasi sendi radioulna
distal
E. Pohon Masalah
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma.
2. X-Ray
3. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI Scans: memperlihatkan fraktur; juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan tulang.
4. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
5. CCT kalau banyak kerusakan otot.
6. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma.
7. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
8. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple atau
cedera hati.
9. Pemeriksaan Lanoratorium : Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang karena
menunjukan bahwa kegiatan osteoblast dalam membentuk tulang. Enzyme otot seperti
keratin kinase, laktat dehydrogenase (LDH-5) aspartate amino transferase (AST),
aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tualang.

G. Penatalaksanaan Medis
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh
meresap dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
2. Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur.
Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani
prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan
sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan
alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk
memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh,
akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang
gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan
fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat
ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat
tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
c. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara reduksi
terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external fixation=OREF)
sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah
memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa
penyembuhan fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian
antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah
lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga
ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan
tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota
gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan
hambatan lain dalam melakukan gerakan)
d. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada
tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen
tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa
Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe
fraktur tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and internal fixation)
diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi
yang lebih baik dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada
fraktur intra-artikuler, pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi
cepat, bila diperlukan fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka dengan
fiksasi eksterna (OREF=open reduction and external fixation) dilakukan pada fraktur
terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang membutuhkan perbaikan vaskuler,
fasiotomi, flap jaringan lunak, atau debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan
pada politrauma, fraktur pada anak untuk menghindari fiksasi pin pada daerah
lempeng pertumbuhan, fraktur dengan infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur kominutif
yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang, prosedur pemanjangan ekstremitas, dan
pada keadaan malunion dan nonunion setelah fiksasi internal. Alat-alat yang
digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin, Kirschner wire) yang
kemudian dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada 3 macam fiksasi eksternal
yaitu monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring (Ilizarov dan Taylor Spatial Frame),
dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memberi fiksasi yang rigid
sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft, dan irigasi dapat dilakukan tanpa
mengganggu posisi fraktur. Selain itu, memungkinkan pengamatan langsung mengenai
kondisi luka, status neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan
fraktur. Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur saat
melepas fiksator, dan kurang baik dari segi estetikPenanganan pascaoperatif meliputi
perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi,
pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi. Penderita diberi
antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan kultur pus dan tes
sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi protein untuk menunjang proses
penyembuhan.Rawat luka dilakukan setiap hari disertai nekrotomi untuk membuang
jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini selama follow-
upditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis pada tibia
sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan osteotomi. Untuk pemantauan
selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi
dan imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan
radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan
sesudah operasi untuk melihat perkembangan fraktur. Selain itu dilakukan
pemeriksaan darah lengkap rutin
e. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. -
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
f. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan
sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri,
perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda
gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol
dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan
nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam
aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan
harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli
bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan
stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan
beban berat badan.
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka
jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat
diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak
menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara
pemasangan bidai atau gips.
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
b. Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips
yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi
dilakukan pemasangan gips adalah :
 Immobilisasi dan penyangga fraktur
 Istirahatkan dan stabilisasi
 Koreksi deformitas
 Mengurangi aktifitas
 Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah :
 Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
 Gips patah tidak bisa digunakan
 Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
 Jangan merusak / menekan gips
 Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
 Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
1. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu
diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi
eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
a. Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah
tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan
traksi antara lain :
 Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan
emergency
 Traksi mekanik, ada 2 macam :
- Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot.
Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
- Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced
traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat
metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
 Mengurangi nyeri akibat spasme otot
 Memperbaiki & mencegah deformitas
 Immobilisasi
 Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
 Mengencangkan pada perlekatannya
Prinsip pemasangan traksi :
 Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik
 Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat
agar reduksi dapat dipertahankan
 Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus
 Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
 Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
b. Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada
pecahan-pecahan tulang.
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya
mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan
reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami
cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang
mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah
mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen
tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan
paku.
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :
 Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
 Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada
didekatnya
 Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
 Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
 Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-
kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan
fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan
dijalankan
1) Fiksasi Interna
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk fraktur
lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan terhadap
panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak cukup kuat untuk
mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika hasil pemeriksaan radiologi
memberi kesan bahwa jaringan lunak mengalami interposisi di antara
ujung tulang karena hal ini hampir selalu menyebabkan non-union.
Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan stabilitas
longitudinal serta kesejajaran (alignment) serta membuat penderita dápat
dimobilisasi cukup cepat untuk meninggalkan rumah sakit dalam waktu 2
minggu setelah fraktur. Kerugian meliput anestesi, trauma bedah
tambahan dan risiko infeksi.
Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang tercepat dengan trauma
yang minimal, tetapi paling sesuai untuk fraktur transversal tanpa
pemendekan. Comminuted fracture paling baik dirawat dengan locking
nail yang dapat mempertahankan panjang dan rotasi.
2) Fiksasi Eksterna
Bila fraktur yang dirawat dengan traksi stabil dan massa kalus terlihat
pada pemeriksaan radiologis, yang biasanya pada minggu ke enam, cast
brace dapat dipasang. Fraktur dengan intramedullary nail yang tidak
memberi fiksasi yang rigid juga cocok untuk tindakan ini.
3. Agar terjadi penyatuan tulang kembali
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan
menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat
gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang.
4. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi.
Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.
H. Komplikasi
Komplikasi fraktur radius ulna diklasifikasikan sebagai komplikasi cepat (saat
cedera), awal (dalam beberapa jam atau hari), dan lambat (dalam beberapa minggu atau
bulan).
1. Komplikasi Cepat Fraktur Radius Ulna, meliputi:
a) Perdarahan, kehilangan darah dari tulang yang mengalami fraktur, termasuk juga
kehilangan darah dari kerusakan pada jaringan sekitar tulang yang mengalami
fraktur.
b) Kerusakan arteri saraf brachialis yang terletak di dekat radius ulna
2. Komplikasi Awal Radius Ulna, meliputi:
a) Emboli lemak yang terjadi terutama pada bagian yang mengalami fraktur radius
ulna
b) Masalah imobilisasi lokal (misalnya ulkus dekubitus, trombosis vena profunda,
infeksi dada).
c) Sindrom kompartemen.
3. Komplikasi Lambat, meliputi:
a) Deformitas.
b) Osteoarthritis sekunder (sendi).
c) Nekrosis asepsis dan atau avaskular dapat terjadi terutama setela fraktur pada tulang
seperti radius ulna Terjadi akibat gangguan suplai darah ke tulang tersebut setelah
fraktur (Brooker, 2008).

I. Pengkajian Keperawatan
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur merujuk pada teori
menurut Doenges (2002) dan Muttaqin (2008) ada berbagai macam meliputi:
1. Identitas Klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan, kebangsaan, suku, pendidikan, no
register, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat beraktivitas / mobilisasi pada
daerah fraktur tersebut.
3. Riwayat Penyakit
b. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang kruris, pertolongan
apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke petugas kesehatan. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka
kecelakaan yang lainya.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke petugas kesehatan sebelumnya.
Penyakit tertentu seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhan tulang.
d. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang adalah salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
4. Pola kesehatan fungsional
a. Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena (mungkin segera,
fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri).
b. Sirkulasi
1) Hipertensi ( kadang – kadang terlihat sebagai respon nyeri atau ansietas) atau
hipotensi (kehilangan darah)
2) Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
3) Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera,pengisian kapiler
lambat, pusat pada bagian yang terkena.
4) Pembangkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
1) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
2) Kebas/ kesemutan (parestesia)
3) Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi
berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
4) Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
d. Nyeri / kenyamanan
1) Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan /
kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak ada nyeri akibat kerusakan syaraf .
2) Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
e. Keamanan
1) Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
2) Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tibatiba).
f. Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat karena klien
harus menjalani rawat inap.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan dan kecacatan akibat
fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan
aktifitasnya secara normal dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
h. Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan
indra yang lain dan kognitif tidak mengalami gangguan. Selain itu juga timbul nyeri
akibat fraktur.
i. Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan konsentrasi
dalam ibadah. Hal ini disebabkan oel nyeri dan keterbatasan gerak yang di alami
klien.
5. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk
dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,
nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10) Paru
a. Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
b. Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c. Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
d. Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
11) Jantung
a. Inspeksi :Tidak tampak iktus jantung.
b. Palpasi :Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c. Auskultasi :Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12) Abdomen
a. Inspeksi :Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b. Palpasi :Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
c. Perkusi :Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
d. Auskultasi :Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
1. Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
2. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
3. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
4. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas atas (deformitas)
b. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
i. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time à Normal > 3 detik
ii. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
iii. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi,
benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu
juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan
terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan
ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya.Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.Khusus pada Radius
Ulna maka spesifik pada beberapa fokus gerakan seperti pronasi lengan bawah
,fleksi dan abduksi pergelangan tangan, fleksi jempol ,dll.
6 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Radiologi, Pemeriksaan Laboratorium : Kalsium Serum dan Fosfor Serum
meningkat pada tahap penyembuhan tulang. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan
tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot
seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH). Aspartat Amino Transferase
(AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

J. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang,
program pembatasan gerak.
c. Resiko infeksi.
d. Resiko syok hipovolemik.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri ekstermitas.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.

K. Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Nyeri akut NOC : NIC:
berhubungan dengan Pain level Pain management
agen cidera Pain control a. Lakukan pengkajian
Comfort level nyeri secara
Kriteria Hasil komprehensif termasuk
a. Mampu mengontrol lokasi, karakteristik,
nyeri (tahu penyebab durasi, frekuensi,
nyeri, mampu kualitas dan faktor
menggunakan tehnik presipitasi
nonfarmakologi untuk b. Observasi reaksi
mengurangi nyeri, nonverbal dari
mencari bantuan) ketidaknyamanan
b. Melaporkan bahwa nyeri c. Gunakan tehnik
berkurang dengan komunikasi terapeutik
menggunakan untuk mengetahui
managemen nyeri pengalaman nyeri
c. Mampu mengenali nyeri pasien
(skala, intensitas, d. Kaji kultur yang
frekuensi dan tanda mempengaruhi respon
nyeri) nyeri
d. Menyatakan rasa nyaman e. Evaluasi pengalaman
setelah nyeri berkurang nyeri masa lampau
f. Evaluasi bersama
pasien dan tim
kesehatan lain tentang
ketidakefektifan
kontrol nyeri masa
lampau
g. Bantu pasien dan
keluarga untuk mencari
dan menemukan
dukungan
h. Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
i. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
j. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi,
nonfarmakologi dan
interpersonal)
k. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk
menentukan intervensi
l. Ajarkan tentang teknik
nonfarmakologi
m. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
n. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
o. Tingkatkan istrihat
p. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri
tidak berhasil
q. Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic administration
a. Tentukan lokasi,
karakter, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
b. Cek intruksi dokter
tentang jenis obat, dosi,
dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Pilih analgesic yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesic ketika
pemberian lebih dari
satu
e. Tentukan pilihan
analgesic tergantung
tipe dan beratnya nyeri
f. Tentukan analgesic
pilihan, rute
pemberian, dan dosis
optimal
g. Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
h. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian anlgesik
pertama kali
i. Berikan analgesic tepat
waktu terutama saat
nyeri hebat
j. Evalusi efektivitas
analgesic, tanda dan
gejala
2. Hambatan mobilitas NOC: NIC
fisik berhubungan Joint movement : active Exercise therapy :
dengan kekuatan dan Mobility level ambulation
tahanan sekunder Self care : ADLs a. Monitoring vital sign
akibat fraktur Transfer perfoormance sebelum/sesudah
Kriteria hasil: latihan respon pasien
a. Klien meningkat dalam saat latihan
aktivitas fisik b. Konsultasikan dengan
b. Mengerti tujuan dari terapi fisik tentang
peningkatan mobilitas rencana ambulansi
c. Memverbalisasikan sesuai dengan
perasaan kebutuhan
dalammeningkatkan c. Bantu klien untuk
kekuatan dan menggunakan tongkat
kemampuan berpindah saat berjalan dan cegah
d. Memperagakan terhadap cidera
penggunaan alat bantu d. Ajarkan pasien atau
untuk mobilisasi (walker) tenaga kesehatan lain
tentang teknik
ambulansi
e. Kaji kemampuan
pasien dalam
mobilisasi
f. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
g. Damping dan bantu
pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
pasien
h. Berikan alat bantu jika
pasien memerlukan
i. Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
3. Resiko infeksi NOC NIC
Immune status Infection Control
Knowledge : infection a. Bersihkan lingkungan
control setelah dipakai pasien
Risk control lain
Kriteria hasil b. Pertahankan teknik
a. Klien bebas dari tanda isolasi
dan gejala infeksi c. Batasi pengunjung bila
b. Mendeskripsikan proses perlu
penularann penyakit, d. Instruksikan pada
factor yang pengunjung untuk
mempengaruhi penularan mencuci tangan saat
serta penatalaksanaannya berkunjung
c. Menunjukkan meninggalkan pasien
kemampuan untuk e. Gunakan sabun
mencegah timbulnya antimikroba untuk cuci
infeksi tangan
d. Jumlah leukosit dalam f. Cuci tangan setiap
batas normal sebelum dan sesudah
e. Menunjukkan perilaku tindakan keperawatan
hidup sehat g. Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat
penlindung
h. Pertahankan lingkunan
aseptic selama
pemasangan alat
i. Ganti letak IV perifer
dan line central dan
dressing sesuai dengan
petunjuk umum
j. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kencing
k. Tingkatkan intake
nutrisi
l. Berikan terapi
antibiotic bila perlu

Infection protection
a. Monitor tanda dan
gejala infeksi sistemik
dan local
b. Monitor hitung
granulosit, WBC
c. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
d. Batasi pengunjung
e. Pertahankan teknik
aspesis pada pasien
yang beresiko
f. Pertahankan teknik
isolasi k/p
g. Berikan perawatan
kulit pada area
epidema
h. Inspeksi kulit dan
membrane mukosa
i. Terhadap kemerahan,
panas, dan drainase
j. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
k. Dorong masukkan
nutrisi yang cukup
l. Dorong masukan
cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien
untuk minum antibiotic
sesuai resep
o. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi
p. Ajarkan cara
menghindari infeksi
q. Laporkan kecurigaan
infeksi
r. Laporkan kultur positif
4. Resiko syok NOC NIC
hipovolemik Syok prevention Syok prevention
Syok management a. Monitor status sirkulasi
Kriteria hasil BP, warna kulit, suhu
a. Nadi dalam batas yang kulit, denyut jantung,
diharapkan HR, dan ritme, nadi
b. Irama jantung dalam perifer, dan kapiler
batas yang diharapkan refill
c. Frekunsi napas dalam b. Monitor tanda
batas yang diharapkan inadekuat oksigenasi
d. Irama pernapasan dalam jaringan
batas yang diharapkan c. Monitor suhu dan
e. Natrium serum dbn pernafasan
f. Kalium serum dbn d. Monitor input dan
g. Klorida serum dbn output
h. Kalsium serum dbn e. Pantau nilai labor:
i. Magnesium serum dbn HB, HT, AGD, dan
j. PH darah serum dbn elektrolit
Hidrasi f. Monitor hemodinamik
Indicator invasi yang sesuai
a. Mata cekung tidak g. Monitor tanda dan
ditemukan gejala asites
b. Demam tidak ditemukan h. Monitor tanda awal
c. TD dbn syok
d. Hematokrit dbn i. Tempatkan pasien pada
posisi supine, kaki
elevasi untuk
peningkatan preload
dengan tepat
j. Lihat dan pelihara
kepatenan jalan napas
k. Berikan cairan IV dan
atau oral yang tepat
l. Berikan vasodilator
yang tepat
m. Ajarkan keluarga dan
pasien tentang tanda
dan gejala datangnya
syok
n. Ajarkan keluarga dan
pasien tentang langkah
untuk mengatasi gejala
syok
Syok management
a. Monitor fungsi
neurologis
b. Monitor fungsi renal
(e.g BUN dan Cr
Lavel)
c. Monitor tekanan nadi
d. Monitor status cairan,
input, output
e. Catat gas darah arteri
dan oksigen di jaringan
f. Monitor EKG
g. Memanfaatkan
pemantauan jalur arteri
untuk meningkatkan
akurasi pembacaan
tekanan darah
h. Menggambarkan gas
darah arteri dan
memonitor jaringan
oksigenasi
i. Memantau tren dalam
parameter
hemodinamik
(misalnya CPV, MAP,
tekanan kapiler
pulmonal/arteri)
j. Memantau factor
penentu pengiriman
jaringan oksigen
(misalnya PaO2 kadar
haemoglobin SaO2,
CO) jika ada
k. Memantau tingkat
karbondioksida
sublingual dan/atau
tonometry
5. Ketidakefektifan NOC NIC
perfusi jaringan Circulation status Peripheral sensation
perifer berhubungan Tissue perfusion : cerebral management
dengan nyeri Kriteria hasil a. Monitor adanya daerah
ekstermitas Mendemonstrasikan status tertentu yang hanya
sirkulasi yang ditandai peka terhadap
dengan: panas/dingin/tajam/tum
a. Tekanan systole dan pul
diastole dalam rentang b. Monitor adanya
yang diharapkan paretese
b. Tidak ada ortostatik c. Instruksikan keluarga
hipertensi untuk mengobservasi
c. Tidak ada tanda-tanda kulit jika ada lesi atau
peningkatan tekanan laserasi
intracranial (tidak lebih d. Gunakan sarung tangan
dari 15 mmHg) untuk proteksi
Mendemonstrasikan e. Batasi gerakan pada
kemampuan kognitif yang kepala, leher, dan
ditandai dengan: punggung
a. Berkomuniakasi dengan f. Monitor kemampuan
jelas adn sesuai dengan BAB
kemampuan g. Kolaborasi pemberian
b. Menunjukkan perhatian, analgetik
konsentrasi dan orientasi h. Monitor adanya
c. Memproses informasi tromboplebitis
d. Membuat keputusan i. Diskusikan mengenai
dengan benar penyebab perubahan
Menunjukkan fungsi sensori sensasi
motori cranial yang utuh :
tingkat kesadaran membaik,
tidak ada gerakan-gerakan
involunter

6. Kerusakan integritas NOC NIC


kulit berhubungan Tissue integrity : skin and Pressure management
dengan imobilisasi mucous membranes a. Anjurkan pasien untuk
fisik Hemodyalisis akses menggunakan pakaian
Kriteria hasil yang longgar.
a. Integritas kulit yang baik b. Hindari kerutan pada
bisa dipertahankan tempat tidur
(sensai, elastisitas, c. Jaga kebersihan kulit
temperature, hidrasi, agar tetap bersih dan
pigmentasi) kering.
b. Tidak ada luka/lesi pada d. Mobilisasi pasien
kulit (ubah posisi pasien)
c. Perfusi jaringan baik setiap dua jam sekali
d. Menunjukkan e. Monitor kulit akan
pemahaman dalam proses adanya kemerahan.
perbaikan kulit dan f. Oleskan lotion atau
mencegah terjadinya minyak/baby oil pada
cedera berulang daerah yang tertekan
e. Mampu melindungi kulit g. Monitor aktivitas dan
dan mempertahankan mobilisasi pasien
kelembaban kulit h. Monitor status nutrisi
perawatan alami pasien
i. Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat
Insision site care
a. Membersihkan,
memantau dan
meningkatkan proses
penyembuhan pada
luka yang ditutup
dengan jahitan, klip
atau straples
b. Monitor proses
kesembuhan area insisi
c. Monitor tanda dan
gejala infeksi pada area
insisi
d. Bersihkan area sekitar
jahitan atau straples,
menggunakan lidi
kapas steril
e. Gunakan preparat
antiseptic sesuai
program
f. Ganti balutan pada
interval waktu yang
sesuai atau biarkan
luka tetap terbuka
(tidak dibalut) sesuai
program
Dialysis acces
maintenance
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A.G.,L. Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi Fraktur Sistem Apley. Edisi 7. Jakarta:
Widya Medika.
Baughman, Diane C.2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku untuk Brunner dan
Suddarth.Jakarta : EGC.
Budisasmita, Faisal. 2015. Fraktur Radius Ulna.
Brotzman S, 1996. Clinical Orthopaedic Rehabilitation. Missouri : Mosby
Corwin, Elizabeth J. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Engram, Barbara.1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 3. Jakarta :
EGC.
Gita, Tiffany. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Fraktur Radius Ulna.(Online).
Available :
https://www.academia.edu/12137159/MAKALAH_KEPERAWATAN_MUSKULOSK
ELETAL_ASUHAN_KEPERAWATAN_PADA_KLIEN_DENGAN_FRAKTUR_RA
DIUS-ULNA (1 Februari 2015)
Goodman, M.S. 2011. Intertrochanteric Hip Fracture Treatment and Management. Diakses at
www.medscape.com
Heather, Herdman. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta:
EGC.
Helmi zairin noor. 2013. Buku Ajar Gangguan Musculoskeletal. Jakarta: salemba medika.
Hoppenfeld, S., 1999. Treatment and Rehabilitation of Fractures. New York: Lippincott
Williams & Wilkins
Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA
NIC-NOC. Yogyakarta : MediAction.
Mansjoer, Arif,. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 edisi 3. Media Aesculapius : FKUI.
Moore, K.L., A.M.R. Agur. 2002. Essensial Clinical Anatomy. Jakarta: Hipokrates.
Pratt, E. et al. 2001. Open Reduction and Internal Fixation. In Rehabilitation for The Post
Surgical Orthopedic Patient. Missouri: Mosby Elsevier. Pp 309-13
Smeltzer & Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &Suddarth. Ed.8.
Jakarta: EGC.
Suratun, & SKM, dkk. (2008).Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Seri Asuhan
Keperawatan.Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai