Anda di halaman 1dari 14

Pendidikan Kewarganegaraan

Indeks Persepsi Korupsi


(Coruption Perception Index)

Kalimantan Selatan
(Banjarmasin)

Christine Melinda (023160006)


Rahel Crisanta (023161006)
Mariana Anggreini (023161012)
Senin, rabu, jumat/13.15-14.55/AI 601

UNIVERSITAS TRISAKTI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JAKARTA, 2017
Kata Pengantar
Dengan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Pengasih
lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Indeks Persepsi Korupsi. Kami
juga berterima kasih pada ibu Dra.Astrid Maria Esther ,MM selaku guru
pendidikan kewarganegaraan atas bimbingannya.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Indeks Persepsi Korupsi ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Latar Belakang
Praktik korupsi telah terbukti menimbulkan kerugian di banyak bidang dan
memperlambat proses pemulihan ekonomi di Indonesia, seperti dampak
negatifnya terhadap perbaikan iklim usaha, kebiasaan masyarakat dalam
berbisnis dan juga meningkatkan kemiskinan. Berbagai cara telah diusahakan
oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengurangi praktik
suap di kalangan pengusaha dan aparatur pemerintah. Permasalahannya
seberapa efektif upaya pemberantasan korupsi khususnya di era otonomi daerah
yang telah memberikan keleluasaan terhadap pemerintah daerah, untuk
mengurangi praktik korupsi antara pengusaha dan pemerintah.

Untuk mengukur tingkat korupsi di suatu negara, Transparency


International telah memiliki indikator yang dikenal dengan nama Indeks
Persepsi Korupsi (IPK), yaitu indeks yang mengukur persepsi pelaku usaha
terhadap praktik suap di suatu daerah. Sebagai salah satu cabang dari
Transparency International yang tersebar di 80 negara, TI Indonesia telah
membuat Indeks Persepsi Korupsi untuk level Kabupaten/Kota di Indonesia,
untuk melihat perbandingan tingkat di korupsi di tingkat daerah.

Skoring CPI telah beberapa kali mengalami perubahan metode. Pada


2012, CPI kembali melakukan perubahan terhadap metodenya. Salah satu
kelemahan metode CPI sebelum 2012 adalah, indeks tidak dapat
diperbandingkan antar waktu.Artinya, CPI dengan metode lama bukanlah
instrumen yang tepat untuk mengukur perubahan situasi korupsi suatu negara
(meskipun pada kenyataannya, banyak negara melakukan hal tersebut, termasuk
Indonesia).Metode CPI yang baru memungkinkan perbandingan antar waktu,
dengan melakukan agregasi terhadap skor dari indeks-indeks sumber dan bukan
melakukan agregasi terhadap urutan (rank) dari negara-negara pada indeks
sumber.

Pada metode lama, perubahan skor antartahun sebuah negara bisa


disebabkan perubahan yang terjadi di negara lain, dan bukan karena perubahan
di negara itu sendiri. Hal ini menyebabkan skor suatu negara tidak bisa
diperbandingkan antar tahun.Dengan metode yang baru, skor antar tahun suatu
negara dapat diperbandingkan. Sehingga, perubahan skor tersebut bisa
diinterpretasikan sebagai representasi perbaikan atau kelemahan usaha
pemberantasan korupsi.
Perubahan lain yang dilakukan adalah rentang skala dari CPI. CPI kini
menggunakan rentang indeks baru. Rentang indeks CPI lama 0-10 (0
dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih) diubah menjadi 0-100 (0
dipersepsikan sangat korup, 100 sangat bersih).

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Kota Banjarmasin

Tahun 2004
Transparency International telah membuat BPI (Bribe Payers Index, Indeks
Pembayar Suap) bersama-sama CPI (Corruption Perception Index, Indeks
Persepsi Korupsi). Indeks ini memberikan gambaran luas mengenai situasi
korupsi dan penyuapan di suatu negara berdasarkan persepsi dari dunia usaha.
Tujuan dari TI Indonesia mengadakan survei adalah untuk membuat indeks
untuk mengukur keefektifan dari program anti korupsi yang telah dicanangkan
bersama KADIN dan organisasi lainnya. Penemuan berikut ini adalah hasil
Survei IPK di 21 wilayah/kota di Indonesia, yang dilaksanakan diantara 1305
pebisnis di wilayah/kota tersebut. Sampel terdiri dari bisnis lokal dan
multinasional di sektor formal (semua memiliki ijin usaha). Responden direkrut
dengan metode kuota tetapi jenis dan ukuran usaha dikontrol berdasar data BPS.
Sampel terdiri dari 1117 perusahaan lokal dan 188 MNC, yang tersebar di
semua wilayah. Perusahaan lokal terdiri dari 864 usaha kecil (dengan 1-19
pegawai), 171 usaha menengah (20-99 pegawai) dan 82 usaha besar (100+
pegawai). Wawancara dilakukan secara tatap muka dengan memakai kuesioner
terstruktur yang dibuat oleh TIRI dan MRI, ditambah dengan probing secara
mendalam untuk mendapatkan respons secara kualitatif. Pekerjaan lapangan
dilakukan dari tanggal 23 September – 12 November 2005 untuk perusahaan
lokal dan sampai 14 Desember untuk MNC.

Pada tahun 2004 jumlah total pembisnis (responden) indeks persepsi korupsi di
banjarmasin sebanyak 53 orang, yang terdiri dari 2 orang presiden direktur, 6
orang direktur, 17 orang menejer utama dan 28 manajer.

Indeks persepsi korupsi banjarmasin pada tahun 2004 adalah 5.39, berada pada
peringkat ke 2 dari 21 kota yang di survei. IPK dihitung berdasarkan skor rata-
rata dari persepsi pembayar suap terhadap penilaian untuk kontrak pemerintah,
dan rata-rata kinerja pelayanan. Pada tahun 2004 total semua pihak yang
menyuap di banjarmasin sebanyak 43 dengan skor rata-rata dari persepsi
pembayar suap terhadap penilaian untuk kontrak pemerintah sebesar 5.80 dan
rata-rata kinerja pelayanan sebesar 4.98.

Indeks persepsi korupsi di Banjarmasin tahun 2004 adalah 5,39.Dimana rentang


indeks CPI 0-10 (0 dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih)

Tahun 2006
Pada tahun 2006, Transparency International Indonesia melakukan survei
Indeks Persepsi Korupsi di 32 Kabupaten/Kota dengan total responden 1760,
dimana sebagian responden adalah responden survei 2004, dan dengan
penambahan wilayah yang berasal dari wilayah timur Indonesia. Responden
adalah pelaku usaha yang berasal dari sektor industri formal dari 32 kabupaten/
kota, yang ditandai dengan kepemilikan SIUP dan NPWP. Kuota untuk jumlah
dan jenis usaha ditentukan berdasarkan Sensus Ekonomi 1996 yang
dilaksanakan oleh BPS untuk mengetahui proporsi dari populasi dan pemetaan
kegiatan usaha di Indonesia. Untuk responden perusahaan PMA, beberapa
Kamar Dagang dari Negara Asing memberi rekomendasi kepada anggotanya
agar berpartisipasi dalam survei ini. Sebagian responden yang diwawancara
adalah mereka yang pernah diwawancara di tahun 2004, baik dari perusahaan
yang sama, maupun mereka yang sudah pindah ke perusahaan yang lain.
Pengumpulan data di lapangan dilakukan dari bulan September sampai
Desember 2006, di luar masa libur lebaran dan Natal/Tahun Baru.

Pada tahun 2006 ada sebanyak 33 pengusaha yang menjadi responden IPK.
Indeks presepsi korupsi banjarmasin pada tahun 2006 adalah 4.93 yang berada
pada peringkat ke 14 dari 32 kota yang di survei, hasil ini diperoleh dari
perhitungan beberapa komponen pembentuk IPK antara lain suap untuk
mendapatkan tender dengan institusi publik sebesar 4.24, suap untuk
mendapatkan pembayaran atas tender dengan institusi publik sebesar 4.39, dan
komitmen kepala daerah dalam memberantas korupsi sebesar 6.16.
Indeks persepsi korupsi di Banjarmasin tahun 2006 adalah 4,93.Dimana
rentang indeks CPI 0-10 (0 dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih).IPK
ini menunjukkan penurunan indeks sebesar 0,46 dibanding tahun 2004, yang
berarti terjadi peningkatan korupsi

Tahun 2008
Pada tahun 2008, TI Indonesia meluncurkan survei lain sebagai bagian
dari "Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008: Analisis dan Korupsi Survei
Persepsi mendalam di kota-kota utama di Indonesia. Jumlah responden untuk
survei ini adalah 3841 orang, terdiri dari orang-orang bisnis (2.371 orang),
pejabat publik (1.074 orang), dan tokoh-tokoh masyarakat sipil (396 orang).

Jumlah responden di banjarmasin tahun 2008 adalah 90 yang terdiri dari


pembisnis 54 0rang, masyarakat sipil 9 orang dan pejabat publik 27 orang.
Indeks presepsi korupsi kota banjarmasin pada tahun 2008 adalah sebesar 5.11
yang berada pada peringkat ke 8 dari 50 kota yang di survei, variabel-variebel
perhitungan IPK ini antara lain, adalah upaya pemerintah daerah untuk
memerangi korupsi sebesar 4.12 dan persepsi tentang upaya penegakan hukum
lokal untuk tuntut kasus korupsi sebesar 3.82.
Indeks persepsi korupsi di Banjarmasin tahun 2008 adalah 5,11.Dimana rentang
indeks CPI 0-10 (0 dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih). IPK ini
menunjukkan kenaikan indeks sebesar 0,18 ,hal ini berarti korupsi berkurang
dibanding tahun 2004.

Tahun 2010
Dalam survei indeks persepsi korupsi 2010, TII (transparancy indonesia
index) telah mengambil responden dari pelaku usaha sebanyak 9237 orang yang
tersebar di 50 kota di indonesia, terdiri dari kalangan pelaku usaha, KPK,
pemerintah, NGO, media akademisi dan lembaga donor. Hasil pengukuran ini
disjikan dalam parameter kuantitatif yang berwujud angka untuk memudahkan
pembaca membandingkan antara skala korupsi satu daerah dengan daerah
lainnya. Proses penelitian ini dilakukan dari bulan april – oktober 2010.

Pada tahun 2010 responden di kota banjarmasin sebanyak 104 orang.


Indeks persepsi korupsi kota banjarmasin provinsi kalimantan selatan adalah
sebesar 5.20 yang berada pada peringkat ke 16 dari 50 kota yang disurvei.
Angka IPK ini dihitung berdasarkan beberapa faktor, antara lain angka presepsi
usaha pemerintah daerah dalam membrantas korupsi sebesar 4.54 dan angka
persepsi pelaku bisnis tentang usaha pemerintah daerah dalam membrantas
korupsi sebesar 4.83.
Indeks persepsi korupsi di Banjarmasin tahun 2010 adalah 5,20 yang berada
pada peringkat ke 16 dari 50 kota yang disurvei.Dimana rentang indeks CPI 0-
10 (0 dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih). IPK ini menunjukkan
kenaikan indeks sebesar 0,9 ,hal ini berarti korupsi berkurang dibanding tahun
2004.

Tahun 2015
Survei Persepsi Korupsi 2015 dilakukan di 11 (sebelas) kota di Indonesia.
Sebelas kota tersebut adalah Kota Pekanbaru, Kota Semarang, Kota
Banjarmasin, Kota Pontianak, Kota Makassar, Kota Manado, Kota Medan, Kota
Padang, Kota Bandung, Kota Surabaya, dan Kota Jakarta Utara. Responden
Survei Persepsi Korupsi 2015 adalah pengusaha. Pengusaha yang terpilih
sebagai responden dalam survei ini adalah pengusaha yang memiliki
pengalaman berinteraksi dengan minimal satu jenis pelayanan publik pusat,
vertikal, propinsi, kota, dan/atau Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik
Daerah dalam 12 (dua belas) bulan terakhir. Total sampel pengusaha yang
terlibat dalam survei ini sebanyak 1,067 pengusaha. Perusahaan masuk dalam
kategori kecil jika memiliki jumlah pekerja hingga kurang atau sama dengan 49
pekerja, perusahaan masuk dalam kategori menengah jika memiliki jumlah
pekerja antara 50 hingga 99 pekerja, dan perusahaan masuk dalam kategori
besar jika memiliki jumlah pekerja di atas 100 pekerja. Pengumpulan data
Survei Persepsi Korupsi 2015 dilakukan oleh Transparency International
Indonesia dibantu oleh koordinator wilayah survei serentak di 11 (sebelas) kota
di Indonesia pada 20 Mei – 17 Juni 2015.

Pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling yang


bersumber dari Direktori Perusahaan Industri yang diterbitkan oleh Badan
Pusat Statistik. Pengambilan data dilakukan oleh enumerator melalui metode
wawancara tatap muka dengan pengusaha dengan panduan kuesioner survei.
Kemudian enumerator melakukan proses pemasukan data dalam portal online.

Terdapat bukti secara empirik bahwa persepsi korupsi di daerah memiliki


hubungan erat dengan penurunan daya saing dan penurunan kemudahan di
daerah berusaha. Daerah dengan indeks persepsi korupsi yang tinggi memiliki
daya saing dan kemudahan berusaha yang tinggi pula. Sebaliknya daerah yang
memiliki indeks persepsi korupsi yang rendah memiliki kemudahan berusaha
yang rendah pula. Korupsi dinilai terjadi secara sistemik, sehingga perlu
pemerintah kota perlu menggunakan pendekatan sistemik pula upaya
pemberantasan korupsi. Pemetaan sistem integritas lokal perlu buat untuk
mengetahui pilar mana yang diharapkan dapat berkontribusi besar dalam upaya
pemberantasan korupsi.

Dari hasil survei didapati bahwa responden menilai adanya perbaikan tata
kelola pemerintahan yang baik di lembaga-lembaga pemerintahan, namun
komposisi sektor publik yang dipersepsikan korup masih sama. Responden
masih menilai kepolisian, legislatif, dan peradilan sebagai sektor publik yang
paling terdampak oleh korupsi.

Angka indeks persepsi korupsi Banjarmasin pada tahun 2015 adalah 68


yang berada pada peringkat 1(pertama) dari 11 kota yang di survei. sebanyak
100 koresponden berpartisipasi dalam survei perhitungan IPK ini.
Perubahan dilakukan adalah rentang skala dari CPI 2015. CPI kini
menggunakan rentang indeks baru. Rentang indeks CPI lama 0-10 (0
dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih) diubah menjadi 0-100 (0
dipersepsikan sangat korup, 100 sangat bersih). Indeks persepsi korupsi kota
banjarmasin provinsi kalimantan selatan 2015 adalah sebesar 68, yang
merupakan kota dengan tngkat korupsi terendah.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.ti.or.id/index.php/publication/2015/09/15/survei-persepsi-korupsi-
2015

http://www.ti.or.id/index.php/publication/2013/08/30/indeks-persepsi-korupsi-
kota-2004-sd-2010

http://ti.or.id/ipk_indonesia/ipk_indonesia_2010_2.pdf

http://ti.or.id/ipk_indonesia/ipk_indonesia_2010.pdf

http://ti.or.id/ipk_indonesia/ipk_indonesia_2008.pdf

http://ti.or.id/ipk_indonesia/ipk_indonesia_2006.pdf

http://ti.or.id/ipk_indonesia/ipk_indonesia_2004.pdf

Anda mungkin juga menyukai