Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MATA KULIAH

FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI REPRODUKSI VETERINER


“INTRACYTOPLASMIC SPERM INJECTION (ICSI)”

Oleh:
Anak Agung Gede Fandhiananta Widyanjaya
1609511117

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019

i
RINGKASAN

Ilmu pengetahuan dan teknologi reproduksi yang berorientasi dalam


peningkatan kuantitas dan kualitas ternak/satwa untuk kesejahteraan manusia telah
berkembang. Salah satu contoh teknologi dalam manipulasi embrio adalah fertilisasi in
vitro (IVF). Teknologi IVF yang telah banyak diterapkan pada hewan percobaan dan
manusia adalah fertilisasi mikro dengan cara ICSI (Intracytoplasmic Sperm Injection).
Intracytoplasmic sperm injection (ICSI) adalah metode untuk fertilisasi in vitro di
mana satu sperma disuntikkan ke dalam sitoplasma oosit dewasa untuk mencapai
fertilisasi. spermatozoa secara mekanik dimasukkan secara langsung ke dalam
sitoplasma sel telur dengan bantuan micromanipulator. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan perkembangan embrio yang diproduksi dengan ICSI yaitu:
faktor sperma dan kejadian awal di ICSI, faktor oosit, dan faktor teknis ICSI. Prosedur
pelaksaan ICSI dimulai dari penyiapan oosit, kemudian penyiapan sperma,
pelaksanaan ICSI, dan kultur embrio.

ii
SUMMARY
Reproductive science and technology oriented in increasing the quantity and
quality of livestock for human welfare has developed. One example of technology in
embryo manipulation is in vitro fertilization (IVF). IVF technology that has been
widely applied in experimental animals and humans is micro fertilization by ICSI
(Intracytoplasmic Sperm Injection). Intracytoplasmic sperm injection (ICSI) is a
method for in vitro fertilization in which one sperm is injected into the adult oocyte
cytoplasm to achieve fertilization. Mechanically spermatozoa are inserted directly into
the egg cell cytoplasm with the help of micromanipulator. The factors that influence
the ability of embryo development produced with ICSI are: sperm factors and initial
events in ICSI, oocyte factors, and technical factors of ICSI. The ICSI implementation
procedure starts from oocyte preparation, then sperm preparation, ICSI
implementation, and embryo culture.

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Dalam penyusunan makalah ini, penulis
mendapat berbagai bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam
pengerjaan makalah ini.

Penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat dan memberikan


kontribusi yang positif bagi masyarakat, khsusunya di bidang reproduksi. Tak ada
gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini yang penuh dengan keterbatasan
dan kekurangan. Dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang konstruktif
sangat diharapkan dari pembaca guna peningkatan dan perbaikan pada pembuatan
makalah di masa mendatang.

Denpasar, Mei 2019

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
RINGKASAN ............................................................................................................ii
SUMMARY ...............................................................................................................iii
KATA PENGANTAR ...............................................................................................iv
DAFTAR ISI ..............................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................2
1.3 Tujuan ..............................................................................................................2
1.4 Manfaat ............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................3
2.1 Teknologi Reproduksi .....................................................................................3
2.2 Manipulasi Embrio ..........................................................................................3
2.3 In Vitro Fertilization (IVF) .............................................................................5
2.4 Fertilisasi dan Perkembangan Embrio .............................................................6
BAB III PEMBAHASAN ..........................................................................................8
3.1 Pengertian Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) ......................................8
3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Perkembangan Embrio
yang Diproduksi Dengan ICSI .......................................................................8
3.2.1 Faktor sperma dan kejadian awal di ICSI .............................................8
3.2.2 Faktor oosit ............................................................................................9
3.2.3 Faktor teknis ICSI dan pengembangan embrio lebih lanjut ..................9
3.3 Prosedur Pelaksaan ICSI .................................................................................10
3.3.1 Penyiapan Oosit.....................................................................................10
3.3.2 Penyiapan Sperma .................................................................................11
3.3.3 Pelaksanaan ICSI...................................................................................12
3.3.4 Kultur Embrio .......................................................................................13
BAB IV PENUTUP ...................................................................................................15
4.1 Simpulan..........................................................................................................15
4.2 Saran ................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................16

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tahapan Perkembangan Embrio ...........................................................7


Gambar 3.1 Morfologi oosit kuda dewasa sebelum dan sesudah denuding kumulus
....................................................................................................................................11
Gambar 3.2 Injeksi sperma .......................................................................................12
Gambar 3.3 Blastosis kuda diproduksi oleh ICSI dan kultur in vitro.......................13

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sapi merupakan ternak utama penghasil daging di Indonesia. Sapi sebagai
penghasil daging utama tentunya menghendaki kualitas dan kuantitas genetik yang
maksimal (Afriani et al., 2018). Jumlah penduduk Indonesia yang meningkat dan
peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya protein hewani menyebabkan
konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi juga meningkat (Jiuhardi, 2016).
Permintaan daging sapi yang meningkat tidak diimbangi peningkatan produksi daging
sapi dalam negeri, maupun daging sapi nasional. Saat ini, mutu genetik dari sapi lokal
Indonesia masih perlu ditingkatkan. Peningkatan mutu genetik dapat dilakukan dengan
pemanfaatan teknologi reproduksi yaitu manipulasi embrio (Afriani et al., 2018).
Manipulasi embrio sebagai cara rekayasa proses pembentukan embrio, dapat
dilakukan pada tahap awal, akhir, pada induk betina, induk jantan, maupun pada embrio
yang sudah terbentuk. Hasil akhir yang diharapkan yaitu embrio yang dihasilkan sesuai
dengan keinginan dari manusia, sesuai dengan tujuan pemeliharaan (efektif dan
efisien). Bioteknologi embrio telah berkembang dalam produksi embrio in vitro
sebagai salah satu teknologi reproduksi berbantuan (assisted reproductive technology,
ART). Penggunaan teknologi reproduksi berbantuan pada hewan ternak, satwa langka,
dan manusia telah berlangsung dalam waktu yang lama, seperti penggunaan teknik
Inseminasi buatan (IB), fertilisasi in vitro, dan teknologi fertilisasi mikro dikenal
dengan intracytoplasmic sperm injection (ICSI) (Gunawan et al., 2014).
Salah satu contoh teknologi dalam manipulasi embrio adalah fertilisasi in vitro.
Pembentukan embrio dilakukan diluar tubuh induk (laboraturium). Teknologi
fertilisasi in vitro (IVF) merupakan teknologi produksi embrio pada lingkungan buatan
diluar tubuh dalam suatu sistem biakan sel (Hunter, 1995: Syaiful et al., 2011 dalam
Afriani et al., 2018). Teknologi reproduksi berbantuan (IVF) yang telah banyak
diterapkan pada hewan percobaan dan manusia adalah fertilisasi mikro dengan cara
ICSI (Intracytoplasmic Sperm Injection). Walaupun teknik ICSI dianggap sederhana,

1
tetapi dalam aplikasinya melibatkan berbagai macam persoalan termasuk masalah
peralatan dan kemampuan teknik operator sehingga akan memengaruhi tingkat
keberhasilan ICSI (Afriani et al., 2018).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu:
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Intracytoplasmic Sperm Injection?
1.2.2 Apa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mempengaruhi
kemampuan perkembangan embrio yang diproduksi dengan
Intracytoplasmic Sperm Injection?
1.2.3 Bagaimana prosedur melakukan Intracytoplasmic Sperm Injection?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Intracytoplasmic Sperm Injection.
1.3.2 Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
mempengaruhi kemampuan perkembangan embrio yang diproduksi
dengan Intracytoplasmic Sperm Injection.
1.3.3 Untuk mengetahui prosedur melakukan Intracytoplasmic Sperm Injection.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat penulisan makalah ini yaitu:
1.4.1 Untuk menambah wawasan dan informasi mengenai Intracytoplasmic Sperm
Injection.
1.4.2 Untuk memenuhi syarat pembuatan tugas mata kuliah Fisiologi dan Teknologi
Reproduksi Veteriner

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teknologi Reproduksi

Ilmu pengetahuan dan teknologi reproduksi yang berorientasi dalam


peningkatan kuantitas dan kualitas ternak/satwa untuk kesejahteraan manusia telah
berkembang dari teknologi reproduksi generasi pertama yaitu pengembangan dan
aplikasi inseminasi buatan (IB), ke generasi kedua yang mengembangkan metode
superovulasi (MOET) dan embrio transfer (ET), ke generasi berikutnya yang ketiga,
yang berkecimpung dalam pengembangan teknologi in vitro fertilisasi (IVF) dan
produksi klon ternak (Toelihere, 2006). Bahkan saat ini di negara yang maju sudah
mencapai generasi keempat dan dalam taraf penelitian, yang bergerak dalam
pengembangan rekayasa struktur deoxyribonucleic acid (DNA) untuk penciptaan
hewan transgenik dan klon yang kandungan genetiknya telah dirancang bangun sesuai
dengan tujuan tertentu (genetically modified organism, GMO) (Supriatna, 2018).

Secara umum beberapa generasi teknologi reproduksi sudah dipakai secara luas
a) sebagai teknologi reproduksi berbantuan untuk mengatasi baik infertilitas terutama
di kedokteran umum atau kedokteran hewan, b) untuk peningkatan kualitas ternak dan
produktivitas ternak, c) pelestarian plasma nutfah baik insitu atau exsitu. Teknologi
reproduksi pada umumnya dapat dipakai secara tunggal atau dalam penerapan
kombinasi untuk peningkatan produksi, menghasilkan makanan dan produk medis.
Penggunaan (bio)-teknologi reproduksi yang memberikan dampak signifikan pada
perubahan genetik dan insentif ekonomi untuk produksi dalam peternakan/kedokteran
hewan akan mendapatkan perhatian dari segi etika (animal welfare) dan aplikasi
lapangan (Supriatna, 2018).

2.2 Manipulasi Embrio

Manipulasi embrio sapi adalah proses rekayasa yang dilakukan oleh manusia
terhadap embrio sapi baik itu dilakukan sebelum maupun sesudah embrio itu terbentuk,
dengan harapan dapat meningkatkan performan produksi sapi (Afriani et al., 2018).

3
Faktor-faktor yang menjadi pendorong peningkatan pengaplikasian penerapan
teknologi manipulasi diantaranya adalah:

a. Permintaan akan produk peternakan (terutama daging) cenderung


mengalami peningkatan.
b. Peningkatan standar mutu produk yang dikehendaki konsumen.
c. Performa produksi sapi yang masih bisa dan perlu ditingkatkan.
d. Peternak menginginkan kondisi ekonomi yang lebih baik.

Manipulasi embrio sebagai cara rekayasa proses pembentukan embrio, dapat


dilakukan pada tahap awal, akhir, pada induk betina, induk jantan, maupun pada embrio
yang sudah terbentuk. Hasil akhir yang diharapkan yaitu embrio yang dihasilkan sesuai
dengan keinginan dari manusia, sesuai dengan tujuan pemeliharaan (efektif dan efisien)
(Afriani et al., 2018).

Manfaat dari manipulasi embrio dapat di uraikan dalam beberapa bagian, yaitu
(Afriani et al., 2018):

1. Meningkatkan jumlah keturunan dari betina yang mempunyai kualitas


unggul (di superovulasi), penyimpanan embrio jangka panjang,
transportasi embrio, memperpendek waktu generasi, pemilihan jenis
kelamin embrio (sexing of embryo), kelahiran kembar (twin), memproduksi
kembar serupa (identical twin), kloning, dan untuk penelitian dan riset.

2. Meningkatkan mutu genetik ternak.

3. Mempercepat peningkatan populasi.

4. Mencegah penyakit hewan menular yang ditularkan melalui saluran


kelamin.

5. Mempercepat pengenalan material genetik baru melalui ekspor embrio.

6. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam meningkatkan produksi.

4
7. Memanfaatkan sumber oosit unggul dari induk unggul yang telah di
potong.

8. Peningkatan breeding untuk pemilihan bibit unggul.

9. Meningkatkan mutu produk daging atau susu (kualitas dan kuantitas).

10. Meningkatkan pendapatan ekonomi peternak.

2.2 In Vitro Fertilization (IVF)

Teknologi fertilisasi in vitro (IVF) merupakan teknologi produksi embrio pada


lingkungan buatan diluar tubuh dalam suatu sistem biakan sel (Hunter, 1995; Syaiful
et al., 2011 dalam Afriani et al., 2018). Ketelitian dalam melakukan setiap kegiatan
manipulasi embrio haruslah maksimal untuk menghindari human error agar embrio
yang dihasilkan tidak berbeda dengan embrio in vivo. Produksi embrio secara in vitro
mencakup 3 aspek utama yaitu pematangan sel telur (IVM), pembuahan sel telur (IVF)
dan pembiakan embrio (IVC) secara in vitro (Afriani et al., 2018)

Dalam pemanfaatan oosit dari ovaria ternak yang telah dipotong, misalnya di
rumah potong hewan dapat dilakukan koleksi oosit dari ovaria (ova pick up). Oosit
yang terkoleksi dapat dibuahi in vitro. Jika oosit berasal dari bibit unggul, setelah
diperoleh embrio hasil in vitro fertilisasi dapat dilakukan transfer embrio pada resipien
yang cocok untuk mendapatkan ternak berkualitas. Oosit yang berasal dari ternak biasa,
sapi hasil transfer embrio dapat digunakan sebagai bakalan untuk penggemukan dan
masuk kerantai makanan konsumen (Supriatna, 2018).

Oosit dapat dipupuk in vitro menjadi oosit matang secara inti dan sitoplasma
(matured oocyte). Sedangkan untuk penyesuaian umur embrio, dapat dilakukan
pemupukan. Selain itu sistem pemupukan in vitro dari oosit atau embrio dapat
digunakan untuk tujuan penelitian medis diantaranya teratologi dan farmakologi misal
penelitian mengenai daya kerja dan efek obat terhadap perkembangan daya tumbuh
embrio serta efek teratologisnya (Supriatna, 2018).

5
Embrio yang dihasilkan dari teknologi fertilisasi in vitro dapat di transfer ke
ternak resipien untuk membantu percepatan peningkatan populasi ternak. Dengan
teknik fertilisasi in vitro, pemanfaatan oosit dari hewan yang dipotong merupakan cara
produksi embrio yang ekonomis karena dengan cara ini oosit hewan yang dipotong
dapat dimanfaatkan untuk dijadikan bakal bibit, hal ini tentu akan terasa sekali nilai
tambahnya. Dalam pemanfaatan oosit hewan yang mati belum semua potensi yang ada
dapat dimanfaatkan karena terbatasnya daya hidup oosit, sementara teknologi
penyimpanan ovarium yang dapat mempertahankan viabilitas oosit dalam waktu yang
cukup lama atau selama transportasi belum tersedia (Afriani et al., 2018).

2.4 Fertilisasi dan Tahapan Perkembangan Embrio

Embrio terbentuk karena bertemunya oosit dan spermatozoa. Proses fertilisasi


terdiri dari beberapa tahapan dimulai dari perjalanan spermatozoa yang akan
membuahi oosit, penetrasi spermatozoa menembus zona pelusida oosit, fusi antara
spermatozoa dan membran plasma oosit serta terjadinya syngami. Spermatozoa
terlebih dahulu harus melalui tahapan reaksi akrosom sebelum memasuki proses
fertilisasi. Reaksi akrosom terjadi karena adanya interaksi antara oosit yang dikelilingi
sel kumulus yang mengalami ekspansi dengan integrin yang spesifik pada membran
spermatozoa. Proses tersebut diawali dengan terjadinya kenaikan Ca2+ yang masuk
melalui membran plasma spermatozoa sehingga memicu terjadinya reaksi akrosom.
Oosit yang siap dibuahi adalah oosit yang telah mengalami proses maturasi yaitu pada
fase metafase II (MII) yang ditandai dengan terbentuknya badan polar I.

Perkembangan embrio terjadi mulai dari proses fertilisasi antara oosit dengan
spermatozoa. Oosit yang diperoleh dari hasil ovulasi secara alami atau melalui maturasi
secara in vitro adalah dalam kondisi matang (siap untuk dibuahi) yaitu pada kondisi
metafase II (M- II). Perkembangan selanjutnya terjadi karena adanya aktivasi oleh
spermatozoa atau proses aktivasi secara buatan. Aktivasi oosit oleh spermatozoa terjadi
pada proses fertilisasi pada saat spermatozoa melakukan inisiasi terhadap fluktuasi
Ca2+ di dalam oosit sampai terbentuk pronukleus. Fluktuasi Ca2+ selama fertilisasi

6
terjadi beberapa jam sampai terbentuknya pronukleus kemudian berhenti dan terjadi
lagi pada awal pembelahan mitosis embrio (Jones, 2007; Gunawan et al., 2014).

Gambar 2.1 Tahapan Perkembangan Embrio (Afriani et al., 2018)

7
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)

Bioteknologi embrio telah berkembang dalam produksi embrio in vitro sebagai


salah satu teknologi reproduksi berbantuan (assisted reproductive technology, ART).
Penggunaan teknologi reproduksi berbantuan pada hewan ternak, satwa langka, dan
manusia telah berlangsung dalam waktu yang lama, seperti penggunaan teknik
Inseminasi buatan (IB), fertilisasi in vitro, dan teknologi fertilisasi mikro dikenal
dengan intracytoplasmic sperm injection (ICSI) (Gunawan et al., 2014).
Intracytoplasmic sperm injection (ICSI) adalah metode untuk fertilisasi in vitro di
mana satu sperma disuntikkan ke dalam sitoplasma oosit dewasa untuk mencapai
fertilisasi (Rader et al., 2016). Pada metode tersebut, spermatozoa secara mekanik
dimasukkan secara langsung ke dalam sitoplasma sel telur dengan bantuan
mikromanipulator (Boediono, 1995; Gunawan et al., 2014). Walaupun teknik ICSI
dianggap sederhana, tetapi dalam aplikasinya melibatkan berbagai macam persoalan
termasuk masalah peralatan dan kemampuan teknik operator sehingga akan
memengaruhi tingkat keberhasilan ICSI (Afriani et al., 2018). ICSI terdiri dari
pemupukan oosit metafase II (MII) dengan menyuntikkan langsung satu spermatozoon
tunggal ke dalam ooplasma dengan akrosom dan membran sperma utuh (García-
Roselló et al., 2009).

3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Perkembangan Embrio


yang Diproduksi Dengan ICSI

3.2.1 Faktor sperma dan kejadian awal di ICSI

Dua masalah utama terkait dengan sel sperma telah dikonseptualisasikan untuk
mempengaruhi kemampuan perkembangan embrio yang diproduksi ICSI, yaitu faktor
pengaktifasi oosit sperma dan pengenalan membran sperma ke dalam ooplasma.
Meskipun teknik ICSI melewati banyak interaksi sperma-oosit normal, sebagian besar
oosit yang digunakan untuk ICSI kemudian diaktifkan dan menjadi embrio yang

8
dibelah. Selama nukleus sperma memiliki integritas genetik yang utuh, ICSI dapat
menghasilkan keturunan yang sehat terlepas dari konsentrasi, morfologi, dan motilitas
spermatozoa (Yanagimachi, 2005). Hanya satu spermatozoa yang tidak rusak secara
genetika diperlukan untuk membuahi satu oosit (García-Roselló et al., 2009). Aktivasi
oosit oleh spermatozoa terjadi pada proses fertilisasi pada saat spermatozoa melakukan
inisiasi terhadap fluktuasi Ca2+ di dalam oosit sampai terbentuk pronukleus. Fluktuasi
Ca2+ selama fertilisasi terjadi beberapa jam sampai terbentuknya pronukleus kemudian
berhenti dan terjadi lagi pada awal pembelahan mitosis embrio (Jones, 2007).

3.2.2 Faktor oosit

Faktor dari oosit adalah keberadaan inositol trifosfat (IP3) dan reseptornya yang
mengatur fluktuasi [Ca2+] yang akan menurunkan aktivitas maturation promoting
factor (MPF) (heterodimer cyclin dependent kinase 1/CDK1 dan cyclin B) dengan
mendegradasi cyclin B (Madgwick et al., 2005). Menurunnya MPF menyebabkan oosit
melanjutkan proses meiosis kedua yang ditandai dengan keluarnya badan kutub II dan
kemudian membentuk pronukleus betina. Aktivasi oosit secara alamiah dilakukan oleh
spermatozoa, tetapi dapat pula dilakukan secara buatan dengan listrik atau kimiawi
untuk menstimulasikan sinyal ion Ca2+ dan penghambatan aktivitas MPF (Gunawan et
al., 2014).

3.2.3 Faktor teknis ICSI dan pengembangan embrio lebih lanjut

Komponen penting dari aktivasi oosit adalah dimulainya kembali meiosis II


yang terjadi selama waktu dimana kromatin sperma mengalami dekondensasi dalam
sitoplasma oosit; ini tanda dimulainya kembali masuknya oosit ke dalam siklus sel.
Siklus sel dikendalikan oleh keseimbangan aktivitas kinase dan fosfatase yang
memodulasi aktivitas protein seluler. Sebelum pembuahan, siklus sel meiosis oosit
mamalia ditangkap di MII karena adanya MPF aktif. Aktivasi oosit mencakup sejumlah
besar titik akhir morfologi dan biokimia yang terdefinisi dengan baik, beberapa di
antaranya terjadi dalam beberapa detik atau menit interaksi membran plasma sperma-
oosit, dan beberapa yang terjadi selama beberapa jam (Yanagimachi, 1994; Schultz dan

9
Kopf, 1995). Aktivasi partenogenetik dapat diinduksi melalui peningkatan kalsium
bebas sitoplasma dengan beberapa metode. Bahkan, aktivasi spontan oleh penuaan
oosit in vitro dapat dilakukan (Kikuchi et al. 1995). Pada beberapa spesies hewan,
prosedur injeksi tampaknya cukup untuk mengaktifkan oosit, karena inti sperma dapat
mengalami dekondensasi dan pembentukan pronukleus ketika disuntikkan ke dalam
oosit. Namun, teknik ini telah gagal menghasilkan laju fisiologis perkembangan
embrionik atau janin tanpa adanya stimulus aktivasi eksogen pada beberapa spesies
domestik seperti sapi (García-Roselló et al., 2009).

3.3 Prosedur Pelaksanaan ICSI

3.3.1 Penyiapan Oosit

Oosit yang belum matang dikirim dalam media penampung embrio pada suhu
kamar. Suhu rendah ini mendukung oosit tanpa menstimulasi mereka untuk memulai
pematangan.5 Preparat yang mengandung 150 mL tetesan media pematangan (M199
dengan garam Earle dengan 25 mg/mL gentamisin, fetal bovine serum 10%, dan
Follicle Stimulating Hormone 5 mU/mL), dengan mineral oil putih, ditempatkan dalam
inkubator pada 38,2oC dan 5% CO2 untuk ekuilibrasi sebelum digunakan. Jika oosit
dari folikel yang dominan, distimulasi, preovulasi diterima, biasanya akan terjadi
maturasi pada saat pemulihan dan terus berlanjut selama pengiriman, dan dengan
demikian harus dikirim pada suhu tubuh (37oC - 38,2oC). Karena oosit ini memiliki
kumulus besar dan dimetabolisme selama pengiriman, direkomendasikan agar dikirim
dalam wadah dengan setidaknya 5 mL media untuk menghindari penggunaan nutrisi
atau konsentrat produk degradasi metabolisme. Setelah di laboratorium, oosit ini
diinkubasi pada suhu 38,2oC sampai sekitar 40 jam setelah donor betina menerima
stimulus ovulasi, kemudian dikenai ICSI. Oosit dapat diinkubasi dalam wadah tertutup
dari media pengiriman (biasanya garam M199/Hanks dan 10% FBS) atau dapat
ditempatkan dalam piring garam M199/Earle dengan 10% FBS dalam atmosfer 5%
CO2 di udara (Rader et al., 2016).

10
Setelah periode pematangan, piringan yang mengandung oosit dikeluarkan dari
inkubator dan oosit dievaluasi menggunakan mikroskop diseksi. Sel-sel cumulus yang
mengelilingi oosit diangkat (denuding) sehingga hanya oosit yang divisualisasikan.
Denuding dilakukan dengan pipetting pada 0,05% hyaluronidase dalam CZB-M7 atau
garam M199/Hanks dengan 10% FBS. Oosit matang (MII) diidentifikasidengan
adanya badan kutub pertama. Setelah denuding, oosit MII ditempatkan kembali ke
maturation droplets dan dikembalikan ke inkubator untuk menunggu ICSI (Rader et
al., 2016).

Gambar 3.1. Morfologi oosit kuda dewasa sebelum dan sesudah denuding kumulus.
(A) Kumulus oosit yang masih utuh. (B) Oosit setelah denuding dari kumulus (Rader
et al., 2016)

3.3.2 Penyiapan Sperma

Metode persiapan sperma yang paling umum digunakan adalah metode swim-
up; ini digunakan ketika ada jumlah sperma yang memadai. Pada metode ini, 100
hingga 200 mL semen segar, atau semen beku-cair (seluruh straw asli, atau potongan
ICSI dari straw asli) dilapisi di bawah 1 mL media sperma (Sp-CZB7) dalam 1,5- mL
tabung Eppendorf. Setelah inkubasi 20 menit pada 38,2oC di udara, bagian atas sekitar
0,6 mL media dikumpulkan dan ditempatkan dalam tabung Eppendorf terpisah.
Suspensi ini disentrifugasi pada 327 x g selama 3 menit, pelet diresuspensi dalam 1 mL
Sp-CZB, dan disentrifugasi lagi. Supernatan dihilangkan dan pelet sperma diresuspensi

11
dalam media yang tersisa. Jika jumlah sperma rendah, semen biasanya disiapkan
dengan washing alone. Pencucian dilakukan dengan mencairkan semen, menempatkan
semen dalam tabung Eppendorf 1,5 mL, diencerkan dengan 1 mL Sp-CZB, dan
melakukan sentrifugasi dan resuspensi dua kali seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Setelah sentrifugasi kedua, supernatan diangkat dan sperma disuspensi kembali dalam
cairan yang tersisa untuk digunakan untuk ICSI (Rader et al., 2016).

3.3.3 Pelaksanaan ICSI

Proses ICSI menggunakan mikroskop inverted dan mikromanipulator, dimulai


dengan melakukan aspirasi spermatozoa menggunakan mikropipet injeksi berdiameter
bagian luar 10 μm dan diameter dalam 5-7 μm. Oosit difiksasi menggunakan
mikropipet holding berdiameter bagian luar 100-150 μm dan berdiameter bagian dalam
20-40 μm. Pada proses ICSI oosit diarahkan sedemikian rupa sehingga badan kutub I
berada pada posisi arah jam 12 atau jam 6. Spermatozoa diinjeksikan pada arah jam 3
yang merupakan sudut 90° terhadap badan kutub I untuk menghindari rusaknya inti sel
yang berada di dekat badan kutub I.

Gambar 3.2 Injeksi sperma. (A) Oosit dipegang oleh pipet penahan sehingga badan
kutub pada arah jam 12 atau 6, dan aspek oosit terdekat pipet penahan menyajikan
sitoplasma yang paling jelas. (B) Pipet injeksi yang mengandung sperma dimasukkan
melalui lubang yang sudah di bor di zona, dan dimajukan ke dalam oosit ke sisi jauh
dari oosit. Oolemma dipecah menggunakan pulse dari Piezo, dan sperma dikeluarkan

12
ke dalam sitoplasma oosit tanpa mengaspirasikan sitoplasma ke dalam pipet injeksi
(Rader et al., 2016).

3.3.4 Kultur Embrio

Setelah semua oosit disuntikkan dengan sperma, oosit ditempatkan dalam


tetesan 100 mL media penampung pasca ICSI (CZB-H, atau garam M199/Earle dengan
10% FBS) dan dibiarkan selama kurang lebih 2 jam pada 38,2oC dalam 5% CO2 di
udara. Oosit diperiksa untuk mencari lisis; oosit yang lisis dibuang dan oosit utuh
dipindahkan ke media kultur embrio (Rader et al., 2016). Oosit setelah ICSI dan
aktivasi kemudian dipindahkan dalam drop 50 μl medium kultur synthetic oviduct fluid
(SOF) yang mengandung 5 mg/ml BSA, 2,5% FBS dan ditutup mineral oil, selanjutnya
dikultur dalam inkubator 5% CO2, suhu 38,8°C (Gunawan et al., 2014). Embrio
diperiksa untuk memeriksa pembelahan pada hari 5 setelah ICSI. Embrio yang tidak
membelah dibuang pada saat itu. Embrio yang telah membelah ditempatkan ke dalam
tetesan baru dari media kultur untuk pengembangan ke tahap blastosis. Embrio
diperiksa setiap hari dari hari ke-7 hingga hari ke-10 pasca-ICSI untuk melihat
perkembangan blastosis. Blastosis dikenali dengan pembentukan lapisan trofoblas di
dalam zona pellucida, dengan penurunan kepadatan aspek bagian dalam embrio (Rader
et al., 2016).

Gambar 3.3 Blastosis kuda diproduksi oleh ICSI dan kultur in vitro. Sel-sel luar, di
dalam zona pellucida, telah membentuk lapisan trofoblas yang nyata dan ada
penampakan penurunan kepadatan aspek bagian dalam embrio (Rader et al., 2016).

13
Idealnya, resipien untuk blastosis yang diproduksi in vitro harus 4 sampai 6 hari
pascaovulasi pada hari transfer. Karena blastosis tersedia untuk transfer 7, 8, 9, atau 10
hari setelah ICSI, sinkronisasi penerima sulit dilakukan dan pusat transfer embrio
dengan sejumlah besar penerima harus dipilih (Rader et al., 2016).

14
BAB IV

PENUTUP

3.1 Simpulan

Teknik IVF yang telah banyak diterapkan pada hewan percobaan dan manusia
adalah fertilisasi mikro dengan cara ICSI (Intracytoplasmic Sperm Injection).
Intracytoplasmic Sperm Injection pada hewan ternak dapat menjadi alat penelitian
yang berharga untuk menyelidiki aspek mendasar tentang interaksi oosit dan sperma
selama pembuahan, terutama dalam kaitannya dengan aktivasi oosit dan pembentukan
pronuklear jantan pada tahap perkembangan embrio yang sangat awal.

3.2 Saran

Studi eksperimental lebih lanjut pada spesies model diperlukan untuk


mengidentifikasi masalah mendasar atau keterbatasan dalam pelaksanaan teknik ICSI.

15
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, T., Hellyward, J., Purwanti, E., Jaswandi, Lyzmanto, F., Mudana, M. 2018.
Manipulasi Embrio pada Sapi. Penerbit: Andalas University Press, Padang.
ISBN: 978-602-6953-33-9.

Boediono, A. 1995. Aplikasi Bioteknologi Reproduksi Pada Hewan Ternak Dalam


Rangka Peningkatan Produksi Dan Kualitas. Inovasi. Vol. 6: 24-32.

García-Roselló, E., García-Mengual, E., Coy, P., Alfonso, J., Silvestre, M.A. 2009.
Intracytoplasmic Sperm Injection in Livestock Species: An Update. Journal
compilation. 44: 143–151.

Gunawan, M., Fahrudin, M., dan Boediono, A. 2014. Perkembangan Embrio Sapi
Setelah Fertilisasi Menggunakan Metode Intracytoplasmic Sperm Injection
(ICSI) dan Aktivasi dengan Strontium. Jurnal Kedokteran Hewan. 8 (2): 154-
157.

Kikuchi, K., Izaike, Y., Noguchi, J., Furukawa, T., Daen, F.P., Naito, K., Toyoda, Y.
1995. Decrease of histone H1 kinase activity in relation to parthenogenetic
activation of pig follicular oocytes matured and aged in vitro. J Reprod Fertil.
Vol 105: 325–330.

Madgwick, S., M. Levasseur, K.T. Jones. 2005. Calmadulin-dependent protein kinase


II, and not protein kinase C, is sufficient for triggering cell-cycle resumption in
mammalian eggs. J. Cell Sci. 118:3849-3859.

Rader, K., Choi, Y.H., Hinrichs, K. 2016. Intracytoplasmic Sperm Injection, Embryo
Culture, and Transfer of In Vitro–Produced Blastocysts. Vet Clin Equine.
http://dx.doi.org/10.1016/j.cveq.2016.07.003. Diakses tanggal 9 Mei 2019.

Schultz, R.M., Kopf, G.S. 1995. Molecular basis of mammalian egg activation. Curr
Top Dev Biol. Vol 30: 21–62.

16
Supriatna, I. 2018. Transfer Embrio pada Ternak Sapi. Penerbit: SEAMEO BIOTROP,
Bogor. ISBN: 978-979-8275-58-6.

Toelihere, M.R. 2006. Pokok-pokok pikiran tentang perkembangan (bio) teknologi


reproduksi di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang dalam menunjang
pembangunan peternakan di Indonesia. Seminar Nasional Peranan Bioteknologi
Reproduksi dalam Pembangunan Peternakan di Indonesia. Prosiding: 2006 April
8; Bogor. p. 1-12.

Yanagimachi, R. 1994. Stability of the mammalian sperm nucleus. Zygote. 2: 383–384.

Yanagimachi, R. 2005. Male gamete contributions to the embryo. Ann N Y Acad Sci.
1061: 203–207.

17

Anda mungkin juga menyukai