Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peristiwa kecelakaan yang mengalami Fraktur di Indonesia merupakan pembunuh
ketiga setelah penyakit jantung koroner dan tuberculosis (Rahmawati, 2012). Open
Reduction Internal Fixation (ORIF) sebuah prosedur tindakan pembedahan medis,
mengacu pada operasi pembukaan mengatur tulang (Brunner & Suddarth, 2013, p. 8).
Setelah dilakukan proses pembedahan yang dirasakan pasien adalah nyeri (Priliana, 2014,
p. 254). Nyeri operasi fraktur femur menyebabkan pasein sulit untuk memenuhi Activity
Daily Living (Kusumayanti, 2015, p. 3).

Menurut Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) mencatat tahun
2016 lebih dari 8 juta jiwa meninggal dunia karena fraktur femur akibat kecelakaan lalu
lintas (WHO, 2016). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun 2013 peristiwa terjatuh yang mengalami
fraktur femur sebanyak 1.775 jiwa, kasus kecelakaan yang mengalami fraktur femur
sebanyak 1.770 jiwa (Riskesdas & Depkes RI, 2013). Di Jawa Timur selama 10 bulan
dari januari sampai oktober 2016 kasus fraktur femur karena kecelakaan 1.422 jiwa (Rois,
2016). Di Kabupaten Jember jumlah kejadian fraktur periode 2017 sebanyak 104 orang
yang mengalami fraktur femur (Sujarwanto, 2017)

Penyebab fraktur yaitu peristiwa trauma tunggal seperti benturan, pemukulan,


penekukan atau terjatuh, posisi miring, pemuntiran, penarikan, kelemahan abnormal pada
tulang (fraktur patologik) (Noor, 2016, pp. 254-525). Jika tekanan yang datang dari luar
lebih besar dari yang diserap oleh tulang akan terjadi trauma pada tulang yang berakibat
rusaknya atau patahnya jaringan tulang (Bararah & Jauhar , 2013, pp. 268-269).Tindakan
(ORIF) Open Reductions Internal Fixation yaitu untuk mengatur tulang dan sebagai
fiksasi tulang (Maysaroh, Rahayu , & Rahayu , 2015, p. 78). Pasca tindakan pembedahan
yang dirasakan adalah nyeri dilokasi luka pasca operasi pada daerah paha nyeri lebih
hebat dan berlangsung lebih lama (Priliana, 2014, p. 254).
Penatalaksanaan pada seluruh fraktur dengan dasar konsep EMPAT-R,
yaitu rekoqnisi, reduksi, retensi, rehabilitasi (Asikin, dkk, 2016, pp. 78-81). Tindakan
selanjutnya (ORIF) yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur
tulang, sebagai fiksasi ataupun penyambung tulang yang patah (Brunner & Suddarth,
2013, p. 8). Setelah dilakukan post op ORIF pasien seringkali mengalami nyeri hebat
(Priliana, 2014, p. 254). Penatalaksaan manajemen nyeri ada dua teknik
yaitu farmakologi dan non-farmakologi. Secara farmakologi dengan pemberian obat
anti inflamasi non steroid dan analgetik non narkotik (Priliana, 2014, p. 254). Secara non
farmakologi tanpa obat-obatan yaitu dengan teknik relaksasi nafas dalam menurut
penelitian sangat efektif untuk menurunkan skala nyeri pasca operasi (Esmi & Lestari ,
2014, p. 36)

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan studi kasus asuhan
keperawatan pada pasien yang mengalami Post Op ORIF (Fraktur Femur) Hari Ke-2
Dengan Nyeri Akut di Ruang Seruni RSD dr.Soebandi Jember.

B. Batasan Masalah
Asuhan Keperawatan pada klien yang mengalami Post Op ORIF (Fraktur Femur) hari
ke-2 dibatasi dengan kerusakan vaskuler yang di ikuti sindrom kompartemen
berhubungan dengan Nyeri Akut di Ruang Seruni RSD dr. Soebandi Jember
C. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Post Op ORIF (Fraktur
Femur) dengan Nyeri Akut di Ruang Seruni RSD dr.Soebandi Jember
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Post Op
ORIF (Fraktur Femur) dengan Nyeri Akut di Ruang Seruni RSD dr.Soebandi Jember
2. Tujuan Khusus
Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien yang mengalami Post Op
ORIF (Fraktur Femur) dengan Nyeri Akut di Ruang Seruni RSD dr.Soebandi Jember
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian
Fraktur adalah patahnya pada kontinuitas tulang dan menentukan jenis dan luas
tulang, akan terjadi apabila tulang tidak kuat menahan tekanan yang diberikan pada
tulang(Bararah & Jauhar , 2013, p. 267).
Fraktur merupakan putusnya jaringan tulang yang umumnya penyebab utamanya oleh
tekanan atau trauma. Fraktur merusak kontinuitas tulang penyebabnya tekanan luar yang
datang berlebih, dibandingkan dengan yang diserap oleh tulang(Asikin,M dkk, 2013, p.
68). Jadi dapat disimpulkan oleh penulis bahwa Fraktur femur adalah hilangnya
kontinuitas tulang paha, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan
oleh kecelakaan pada tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luas trauma.

2. Etiologi
Penyebab fraktur femur ada tiga menurut (Rosyidi, 2013, pp. 35-36) yaitu:
a) Trauma secara langsung
Penyebab utamanya adalah terjadi pada titik kekerasan sering bersifat terbuka dengan
garis patah menyilang dan miring (Asikin,M dkk, 2013, p. 68).
b) Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung penyebab patah tulang di tempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah pada bagian yang paling lemah dalam jalur
hantaran vector kekerasan (Asikin,M dkk, 2013, p. 68).
c) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang ini sangat jarang terjadi. Dapat berupa pemuntiran, penekukan,
penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan (Rosyidi, 2013,
p. 36).

3. Manifestasi Klinis
Ada beberapa tanda gelaja fraktur menurut (Bararah & Jauhar , 2013, p. 271) yaitu:
a. Nyeri
b. Deformitas
c. Krepitasi
d. Bengkak
e. Temperature local meningkat
f. Gerakan secara tidak normal
g. Echymosis (memar)
h. Hilangnya fungsi
i. Kemungkinan lain.

4. Konsep Asuhan Keperawatan


a) Pengkajian
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan sistem atau metode proses
keperawatan yang di dalam pelaksanaannya dibagi menjadi lima tahap, yaitu
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Rosyidi,
2013, p. 46).
1) Identitas
Pada identitas kebanyakan seseorang yang mengalami fraktur terjadi pada
laki-laki pada umur di bawah 45 tahun yang sering berhubungan dengan olah
raga, pekerjaan keras, atau luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor
(Lukman & Ningsih, 2013, p. 26)
2) Status Kesehatan Saat Ini
 Keluhan utama
Pada umumnya keluhan kasus Post Operasi ORIF (Fraktur Femur) adalah
nyeri, nyeri dirasakan lebih hebat dan berlangsung lebih lama (Priliana, 2014,
p. 254).
 Riwayat penyakit sekarang
 Provoking incident: fraktur femur tertutup yang disebabkan oleh trauma
langsung pada paha (Noor, 2016, p. 524).
 Quality of pain: Nyeri dirasakan setelah post operasi fraktur femur yang
dirasakan nyeri terasa menusuk dan secara terus menerus (Asikin,M dkk,
2013, p. 90).
 Region: Pada kasus post operasi (fraktur femur) nyeri di rasakan di bagian
area luka paha setelah dilakukan tindakan operasi (Asikin,M dkk, 2013, p. 90).
 Severity: nyeri yaitu pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan. Nyeri akibat terjadi kerusaan jaringan yang nyata (Ana, 2015,
3) Riwayat Kesehatan Terdahulu
 Riwayat penyakit sebelumnya
Perlu diketahui pada riwayat penyakit sebelumnya, pasien pernah
mengalami osteoporosis, hipertensi, mengonsumsi kortikosteroid. Perlu pula
diketahui riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat osteoporosis, serta
penyakit lain (Noor, 2016, p. 423).
 Riwayat penyakit keluarga
Pada riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
salah satu faktor predisposisi terjadi fraktur, misalnya karena diabetes
mellitus, osteoporosis, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik (Asikin,M dkk, 2013, p. 91).
 Riwayat alergi
Mengetahui ada atau tidaknya alergi terhadap obat-obatan, jika setelah
dilakukan skin test terdapat kemerahan berarti posisf mempunyai riwayat
alergi terhadap obat-obatan, dan akan berdampak pada tindakan perawatan
selanjutnya (Muttaqin & Sari, 2013, p. 70).
 Riwayat lingkungan
Fraktur terjadi pada semua usia tetapi cenderung terjadi pada laki-laki yang
sering berhubungan denggan olahraga, pekerjaan yang berat seperti pekera
proyek, dan kecelakaan lalu lintas (Lukman & Ningsih, 2013, p. 26).
4) Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum
Saat pasien sadar dari anastesi umum, rasa nyeri menjadi sangat terasa. Nyeri
mulai terasa sebelum kesadaran pasien kembali penuh. Nyeri akut akibat insisi
menyebabkan pasien gelisan dan menyebabkan tanda-tanda vital berubah.
Apabila pasien merasa nyeri, mereka sulit melakukan bentuk efektif nafas
dalam. Klien yang mendapat anastesi regional dan likal biasanya tidak
mengalami nyeri karena area insisi masih berada di bawah pengaruh anastesi
(Muttaqin & Sari, 2013, p. 140).
 Pemeriksaan body sistem
 Sistem penglihatan
Sistem penglihatan tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan) (Rosyidi K. , 2013, p. 52).
 Sistem pendengaran
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal tidak ada lesi atau nyeri
tekan (Rosyidi, 2013, p. 52).
 Sistem pernafasan
Pasien pasca operasi akan mengalami efek dari anestesi umum terlihat pada
sistem respirasi, dimana akan terjadi respon depresi pernafasan skunder dari
sisa anestesi inhalasi, kontrol kepatenan jalan nafas menurun, dan juga
penurunan kemampuan untuk melakukan batuk efektif. Kondisi ini
menyebabkan adanya masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif
dan resiko tinggi pola nafas tidak efektif (Muttaqin & Sari, 2013, p. 136).
 Sistem kardiovaskuler
Pada pasien pasca operasi akan mengalami efek anastesi yang akan
mempengaruhi mekanisme regulasi sirkulasi normal sehingga mempunyai
risiko terjadinya penurunan kemampuan jantung dalam melakukan stroke
volume efektif yang berimplikasi pada penurunan curah jantung. Tandanya
dengan adanya cedera vaskuler adalah terjadinya penurunan perfusi perifer,
perubahan elektrolit, dan metabolisme karena terjadi mekanisme kompensasi
pengaliran suplai hanya untuk organ vital (Muttaqin & Sari, 2013, p. 137).
 Sistem persyarafan
Pasien pasca operasi akan mengalami efek anastesi pada sistem syaraf pusat
akan mempengaruhi penurunan kontrol kesadaran dan kemampuan orientasi
pada lingkungan, sehingga pasien yang mulai sadar dapat gelisah. Penurunan
reaksi anastesi akan bermenifestasi munculnnya nyeri akibat kerusakan
neomuscular pasca operasi (Muttaqin & Sari, 2013, p. 137).
 Sistem pencernaan
Pasien pasca operasi akan mengalami efek anestesi akan menimbulkan
penurunan peristaltik usus dan risiko paralisis usus dan berimplikasi pada
peningkatan paralisis usus dengan distensi otot abdomen dan timbulnya gejala
obstruksi gastrointestinal. Efek anestesi juga mempengaruhi kemampuan
pengosongan lambung, sehingga terjadinya refluks, esophagus dan makanan
keluar dari kerongkongan yang memicu terjadinya aspirasi ke saluran nafas
(Muttaqin & Sari, 2013, p. 137).
 Sistem perkemihan
Secara umum efek anestesi juga mempengaruhi terhambatnya jaras eferen dan
eferen terhadap kontrol miksi, sehingga berimplikasi pada masalah gangguan
pemenuhan eliminasi urin (Muttaqin & Sari, 2013, p. 137).
 Sistem endokrin
Penderita post operasi terjadi hipoglikemi karena efek anestesi menyebabkan
asupan karbohidrat tidak adekuat (Muttaqin & Sari, 2013, p. 85).
 Sistem muskuluskeletal
Respon pengaturan posisi bedah akan menimbulkan peningkatan resiko
terjadinya trombo emboli, parastesia, dan cedera tekan beberapa penonjol
tulang. Efek intervensi bedah akan meninggalkan adanya kerusakan integritas
jaringan dengan adanya luka pasca bedah dan adanya sistem drainase pada
luka bedah. Efek anestesi akan mempengaruhi penurunan kontrol otot dan
keseimbangan secara sadar sehingga pasien beresiko tinggi cedera (Muttaqin
& Sari, 2013, p. 138).
 Sistem integument
Efek anestesi juga mempengaruhi pusat pengatur suhu tubuh sehingga kondisi
pasca bedah pasien cenderung mengalami hipotermi (Muttaqin & Sari, 2013,
p. 137). Sedangkan menurut (Rosyidi, 2013, p. 51) terdapat eritmia, suhu
sekitar trauma meningkat, terjadi pembengkakan atau Oedema dan nyeri
tekan. Menurut (Asikin,M dkk, 2013) teraba hangat di sekitar trauma dan
perubahan kelembapan kulit, waktu pengisian kapiler 3 detik.
 Sistem reproduksi
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus mengalami rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang di alami klien (Rosyidi, 2013, p. 50).
5) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang fraktur femur menurut (Lukman & Ningsih, 2013, p. 37)
antara lain :
a. Pemeriksaan rontgen: Mengetahui dan menentukan lokasi dan luasnya
fraktur atau trauma, dan jenis fraktur.
b. Scan tulang: Memperlihatkan tingkat keparahan fraktur, juga dapat untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram: Untuk memastikan ada atau tidaknya kerusakan vaskuler pada
bagian fraktur.
d. Hitung darah lengkap: Hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
pendarahan, meningkatkan lekosit sebagai respon terhadap peradangan.
e. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi: Mengtahui perubahan terjadinya kehilangan darah, tranfusi
atau cedera hati.
g. Penatalaksanaan
h. Reduksi
i. Mengembalikan fragmen tulang seperti semula pada kesejajarannya dan
rotasi anatomis. Reduksi tertutup bertujuan mengembalikan fragmen tulang
ke posisinya semula (sesame ujung saling berhubungan) dengan manipulasi
dan traksi, bidai, dan alat yang lainya. Reduksi terbuka yaitu dengan cara
pendekatan secara bedah. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, skrup,
plat, paku (Nurarif & Kusuma , 2015, p. 11).
b) Diagnosa Keperawatan.
Diagnose keperawatan Post Op ORIF (Fraktur femur) menurut (SDKI, 2017):
1. Nyeri Akut
Definisi :
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab :
 Agen cedera fisiologis (mis, inflamasi, iskemia, neoplasma)
 Agen cedera kimiawi (mis, terbakar, bahan kimia iritan)
 Agen cedera fisik (mis, abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat,
prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan). (SDKI, 2017, pp. 172-173)
2. Gangguan Mobilitas Fisik
Definisi: Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstermitas secara
mandiri.
Penyebab :
 Kerusakan integritas struktur tulang
 Perubahan metabolisme Ketidak bugaran fisik
 Penurunan Kendal iotot
 Penurunan massa otot
 Penurunan kekuatan otot
 Keterlambatan perkembangan
 Kekakuan sendi
 Kontraktur
 Malnutrisi
 Gangguan muskuluskletal
 Gangguan neuromuskular
 Indek smasa tubuh diatas persentilke -75 sesuai usia
 Efek agen farmakologis
 Program pembatasan gerak
 Nyeri
 Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
 Kecemasan
 Gangguan kognitif
 Keengganan melakukan pergerakan
 Gangguan sensoripersepsi
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif: Mengeluh sulit menggerakkan ekstermitas
Objektif
1. Kekuatan otot menurun
2. Rentang gerak (ROM) menurun
Gejala dan tanda minor
Subjektif
1. Nyeri saat bergerak
2. Enggan melakukan pergerakan
3. Merasa cemas saat bergerak
Objektif
1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak terkoordinasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
Kondisi Klinis Terkait
1. Strok
2. Cedera medula spinalis
3. Trauma
4. Osteoarthritis
5. Ostemalasia
6. Keganasan (SDKI, 2017, pp. 124-125)
3. Kerusakan Integritas Kulit
Definisi: kerusakan kulit (dermis atau epidermis )atau jaringan (membrane mukosa ,
kornea , fasia, otot ,tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi, atau ligament).
Penyebab:
a. Perubahan sirkulasi
b. Perubahan status nutrisi (kelebihan atu kekurangan)
c. Kekurangan/ kelebihan volume cairan
d. Penurunan mobilitas
e. Bahan kimia iritatif
f. Suhu lingkungan yang ekstrem
g. Factor mekanis (mis: penekanan pada tonjolan tulang , gesekan) atau factor
elektris (elektrodiatermi, energy listrik tegangan tinggi)
h. Efek samping terapi radiasi
i. Kelembabpan
j. Proses penuaan
k. Neuropati perifer
l. Perubahan pigmentasi
m. Perubahan hormonal
n. Kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan /melindungi
integritas jaringan.
Gejala dan tanda mayor
1. Subjektif : tidak tersedia
2. Objektif : kerusakan jaringan /lapisan kulit
Gejala dan tanda minor
1. Subjektif : tidak tersedia
2. Objektif:
 Nyeri
 Perdarahan
 Kemerahan
 Hematoma
Kondisi klinis terkait
 Imobilisasi
 Gagal jantung kongestif
 Gagal ginjal
 Diabetes mellitus
 Imunodefisiensi (mis, AIDS) (SDKI, 2017, p. 300).
4. Resiko Infeksi
Definisi: Beresiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik.
Faktor resiko:
 Penyakit kronis (diabetes mellitus)
 Efek prosedur invasive
 Malnutrisi
 Peningkatan paparan organisme pathogen lingkungan
 Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
 Gangguan peristaltic
 Kerusakan integritas nyeri
 Perubahan sekresi PH
 Penurunan kerja siliaris
 Ketuban pecah lama
 Ketuban pecah sebelum waktunya
 Merokok
 Statis cairan tubuh
 Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder
 Penurunan haemoglobin
 Imunonosupresi
 Leukopenia
 Supresi respon inflamasi
 Vaksinasi tidak adekuat
Kondisi Klinis Terkait
 Luka bakar
 Penyakit paru obstruktif kronis
 Diabetes mellitus
 Tindakan invasive AIDS
 Luka
 Kondisi penggunaan terapi steroid
 Penyalahgunaan obat
 Ketuban pecah sebelum waktunya
 Kanker
 Gagal ginjal
 Gangguan fungsi hati
 Imunosupresi (SDKI, 2017, p. 304).
c) Intervensi
1. Nyeri Akut
Tujuan / kriteria evaluuasi
 Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk
mencapai kenyamanan
 Mempertahankan tingkat nyeri pada skala yang rendah
 Mengenali factor penyebab dan menggunakan tindakan untuk memodifikasi
factor tersebut
 Melaporkan pola tidur yang baik
 Melaporkan kemampuan untuk mempertahankan performa peran dan
hubungan interpersonal
 Aktivitas keperawatan
 Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10
Rasional: meminta paisen untuk menyebutkan tingkat nyeri yang di rasa dari angka
0-10 (Hariyanto & Sulistyowati, 2015, p. 91)
 Mengkaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan
dan durasi, frekunsi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan factor
presipitasinya.
Rasional: Menentukan kebutuhan akan manajemen nyeri dan keefektifannya
(Asikin,M dkk, 2013, p. 95)
 Penyuluhan kepada pasien/ keluarga
 Intruksikan kepada pasien untuk melaporkan kepada perawat jika peredaan
nyeri tidak dapat dicapai
Rasional: Informasikan kepada pasien jika nyeri tidak menurun (Asikin,M dkk,
2013, p. 96)
 Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologik sebelum, setelah dan jika
memungkinkan selama ktivitas menimbulkan nyeri, sebelum nyeri
meningkat, dan bersama pengunaan tindakan peredaan nyeri dengan yang
lain.
Rasional: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
nyeri yang mungkin berlangsung lama (Rosyidi, 2013, p. 59).
 Aktivitas lain
 Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian nyeri dan efek
samping
Rasional: menyesuaikan dosis sesuai nyeri yang di alami pasien
 Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif di masa
lalu, seperti distraksi, relaksasi, atau kompres hangat/dingin
Rasional: Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri (Rosyidi, 2013, p. 59).
 Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan relaksasi.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan
kelelahan otot (Rosyidi, 2013, p. 59).
 Aktivitas kolaboratif
 Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi
Rasional: menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri
baik secara sentral maupun perifer (Rosyidi, 2013, p. 59).
2. Gangguan Mobilitas Fisik
Tujuan atau kriteria evaluasi
 Memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar dengan pengawasan
 Meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi, jika diperlukan
 Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secaa mandiri dengan alat bantu
 Menyangga berat badan
 Berjalan dengan menggunakan langkah-langkah yang benar
 Berpindah dari dan ke kursi roda
 Menggunakan kursi roda secara efektif
 Aktivitas keperawatan
 Ubah posisi pasien yang imobilisasi atau sangga bagian tubuh yang terkena
Rasional: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernafasan (decubitus,
atelectasis, pneumonia) (Rosyidi, 2013, p. 62)
 Gunakan sabuk penyokong saat memberikan bantuan ambulasi atau
perpindahan
Rasional: Mempertahankan posisi fungsional ekstremitas Menurunkan insiden
komplikasi kulit dan pernafasan (decubitus, atelectasis, pneumonia) (Rosyidi,
2013, p. 62)
 Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas. Kaji
kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan dari lembaga kesehatan
dirumah dan alat kesehatan yang tahan lama (Wilkinson, 2016, pp. 268-269)
3. Gangguan Integritas Kulit
Tujuan/ Kriteria Evaluasi
 Pasien dan keluarga menunjukkan rutinitas perawatan kulit atau perawatan
luka yang optimal
 Drainase purulen (atau lainnya) atau bau luka minimal
 Tidak ada lepuh atau maserasi pada kulit
 Nekrosis, selimur, lubang, perluasan luka ke jaringan di bawah kulit atau
pembentukan saluran sinus berkurang atau tidak ada.
 Eritema kulit dan eritema disekitar luka minimal
 Aktivitas keperawatan
 Inspeksi luka pada setiap mengganti balutan
Rasional: menilai perkembangan masalah klien (Rosyidi, 2013, p. 64)
 Kaji ada atau tidaknya jaringan nekrotik
Rasional: mengetahui tentang sirkulasi kulit disebabkan oleh alat dan/ pemasangan
gips/ bebat atau traksi, pembentukan edema yang membutuhkan intervensi lebih
lanjut (Lukman & Ningsih, 2013, p. 51)
 Penyuluhan pasien dan keluarga
Ajarkan perawatan luka insisi pembedahan termasuk tanda dan gejala infeksi,
cara mempertahankan luka insisi tetap kering saat mandi dan mengurangi
penekanan pada insisi tersebut.
Rasional: menginformasi dan memebri conto tentang perawatan luka yang akan
dilakukan di rumah (Lukman & Ningsih, 2013, p. 51)
 Aktivitas kolaboratif
 Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral, kalori
dan vitamin
Rasional: Mencari informasi tentang gizi yang cocok pada penderita fraktur
(Lukman & Ningsih, 2013, p. 51).
 Aktivitas lain
 Lakukan perawatan luka atau perawatan kulit secara rutin
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi (Lukman &
Ningsih, 2013, p. 55)
 Bersihkan dan balut area insisi pembedahan menggunakan prinsip stril
4. Resiko Infeksi
Tujuan/Kriteria Evaluasi
 Terbebas dari tanda dan gejala infeksi
 Memperlihatkan higiene personal yang adekuat
 Menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi
 Melaporkan tanda dan gejala infeksi serta mengikuti prosedur skrining dan
pemantauan aktivitas keperawatan
 Pantau tanda dan gejala infeksi
Rasional: Mengetahui gejala awal terjadinya infeksi. (Lukman & Ningsih, 2013, p.
64)
 Intruksikan untuk menjaga higiene personal untuk melindungi tubuh terhadap
infeksi
 Penyuluhan untuk pasien dan keluarga
Rasional: menurunkan kadar kontaminasi (Lukman & Ningsih, 2013, p. 53).
 Instruksikan untuk menjaga personal hygiene untuk melindungi tubuh
tehadap infeksi.
 Ajarkan teknik mencuci tangan yang benar dan ajarkan kepada pengunjung
untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruangan
Rasional: mencegah terjadinya infeksi (Rosyidi, 2013, p. 64) (Wilkinson, 2016, pp.
235-236).
1. Aktivitas kolaboratif
 Berikan terapi antibiotik
Rasional: guna untuk mencegah dan mengatasi infeksi (Rosyidi, 2013, p.
64).
2. Aktivitas lain
 Pertahankan teknik isolasi

Anda mungkin juga menyukai