Anda di halaman 1dari 21

SEJARAH KOTA LHOKSEUMAWE

Gambar Peta Lhokseumawe

Sumber : google.com

Lhokseumawe berasal dari kata Lhok dan Seumawe. Dalam Bahasa Aceh, Lhok dapat berarti dalam, teluk, palung laut, dan Seumawe bermaksud
air yang berputar-putar atau pusat mata air pada laut sepanjang lepas pantai Banda Sakti dan sekitarnya. Keberadaan kawasan ini tidak lepas dari
kemunculan Kerajaan Samudera Pasai sekitar abad ke-13, kemudian kawasan ini menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh sejak tahun 1524.

a. Zaman Kolonial
Sebelum abad ke-20, negeri ini telah diperintah oleh Uleebalang Kutablang. Tahun 1903 setelah perlawanan pejuang Aceh terhadap penjajah
Belanda melemah, Aceh mulai dikuasai.
Lhokseumawe menjadi daerah taklukan dan mulai saat itu status Lhokseumawe menjadi Bestuur Van Lhokseumawe dengan Zelf Bestuurder
adalah Teuku Abdul Lhokseumawe tunduk di bawah Aspiran Controeleur dan di Lhokseumawe berkedudukan juga Wedana serta Asisten Residen
atau Bupati.

Pada dasawarsa kedua abad ke-20 itu, di antara seluruh daratan Aceh, Kota Lhokseumawe sebagai salah satu pulau kecil dengan luas sekitar
11 km² yang dipisahkan dengan Sungai Krueng Cunda diisi bangunan-bangunan Pemerintah Umum, Militer, dan Perhubungan Kereta Api oleh
Pemerintah Belanda.

Pulau kecil dengan desa-desa (Gampong) Kampung Keude Aceh, Kampung Jawa, Kampung Kutablang, Kampung Mon Geudong, Kampung
Teumpok Teungoh, Kampung Hagu, Kampung Uteuen Bayi, dan Kampung Ujong Blang yang keseluruhannya baru berpenduduk 5.500 jiwa secara
jamak di sebut Lhokseumawe.

Bangunan demi bangunan mengisi daratan ini sampai terwujud embrio kota yang memiliki pelabuhan, pasar, stasiun kereta api dan kantor-
kantor lembaga pemerintahan.

b. Masa Kemerdekaan

Sejak Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintahan Negara Republik Indonesia belum terbentuk sistemik sampai kecamatan. Pada mulanya
Lhokseumawe digabung dengan Bestuurder Van Cunda. Penduduk didaratan ini makin ramai berdatangan dari daerah sekitarnya seperti Buloh Blang
Ara, Matangkuli, Blang Jruen, Lhoksukon, Nisam, cunda serta Pidie.

Pada tahun 1956 dengan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, terbentuk daerah-daerah otonom kabupaten-kabupaten dalam
lingkup daerah Provinsi Sumatera Utara, di mana salah satu kabupaten diantaranya adalah Aceh Utara dengan ibukotanya Lhokseumawe.
Kemudian Pada Tahun 1964 dengan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Aceh Nomor 34/G.A/1964 tanggal 30 November 1964, ditetapkan
bahwa kemukiman Banda Sakti dalam Kecamatan Muara Dua, dijadikan Kecamatan tersendiri dengan nama Kecamatan Banda Sakti.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, berpeluang meningkatkan status
Lhokseumawe menjadi Kota Administratif, pada tanggal 14 Agustus 1986 dengan Peraturan Daerah Nomor 32 Tahun 1986 Pembentukan Kota
Administratif Lhokseumawe ditandatangani oleh Presiden Soeharto, yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Soeparjo Roestam pada tanggal 31
Agustus 1987. Dengan adanya hal tersebut maka secara de jure dan de facto Lhokseumawe telah menjadi Kota Administratif dengan luas wilayah
253,87 km² yang meliputi 101 desa dan 6 kelurahan yang tersebar di lima kecamatan yaitu: Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua,
Kecamatan Dewantara, Kecamatan Muara Batu, dan Kecamatan Blang Mangat.

Sejak Tahun 1988 gagasan peningkatan status Kotif Lhokseumawe menjadi Kotamadya mulai diupayakan sehingga kemudian lahir UU
Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe tanggal 21 Juni 2001 yang ditandatangani Presiden RI Abdurrahman Wahid, yang
wilayahnya mencakup tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat.

Pada tahun 2006 kecamatan Mura Dua mengalami pemekaran menjadi Kecamatan Muara Dua dan Muara Satu sehingga jumlah kecamatan di
Kota Lhokseumawe menjadi empat kecamatan.
BIOSKOP PUSPA

LOKASI TAPAK

Gambar lokasi tapak bioskop puspa


Sumber : googlemaps

Bioskop Puspa terdapat di kawasan perdagangan tepatnya di Jalan Sukaramai, Kota Lhokseumawe..Bioskop ini didirikan pada tahun
1963 dengan konsep Arsitektur Modern. Diawal berdirinya Bioskop Puspa ini merupakan milik seorang pengusaha lokal bernama Ibrahim yang
kemudian berpindah kepemilikan keapada seorang warga berketurunan Tionghoa. Keberadaan bioskop ini merupakan penanada sejarah kemarakan
dunia perfilman di Indonesia kala itu.

Bioskop Puspa mulai meredup dan akhirnya tutup, akibat dampak dari konflik bersenjata yang melanda Aceh. Kondisi bioskop Puspa kini
tidak terawat dan telah berslih fungsi sebagai tmpat parkir pada area dalam dan menjadi lapak pedagang kaki lima di area depan dari bioskop puspa.
Kendati masih terlihat bentuk fasad dari bioskop yang masih utuh / tidak terdapat perubahan.
Gambar keadaan bioskop puspa pada tahun 1963
Sumber : http://lhokseumaweheritage.blogspot.com
STASIUN KERETA API

LOKASI TAPAK

Gambar lokasi tapak stasiun kereta api.


Sumber : googlemaps.

Keberadaan stasiun kereta api di Lhokseumawe tidak terlepas dari pembangunan jalur kereta api dari Medan menuju Kuta Raja sekitar
tahun 1912 yang kemudian beroprasi sekitar tahun 1930. Stasiun kereta api Lhokseumawe ini merupakan stasiun kereta persinggahan dari jalur
kereta Medan menuju Kuta Raja (banda aceh) itu. Stasiun kereta api ini tidak lagi beroprasi pada tahun 1951 dan kini telah beralih fungsi sebagai
kantor Pos Taktis Sispam milik Polres Aceh Utara.
Gambar keadaan stasiun kereta api
Sumber : Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Lhokseumawe, Cut Azmah Fithri, Sisca Olivi, Nurhaiza
RUMAH DINAS MANTERI HEWAN BELANDA

LOKASI TAPAK

Gambar lokasi tapak rumah dinas manteri hewan belanda


Sumber : googlemaps.
Pada awal berdiriya bangunan ini berfungsi sebagai rumah dinas mantri hewan Belanda hingga memasuki tahun 60-an. Di tahun
1960-1963 bangunan beralih fungsi menjadi rumah dinas kepala polisi. Setelah 1963 sampai saat ini bangunan berganti kepemilikan tidak lagi milik
pemerintah dan telah menjadi rumah tinggal warga.
Gambar keadaan rumah dinas manteri hewan belanda
Sumber : Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Lhokseumawe, Cut Azmah Fithri, Sisca Olivi, Nurhaiza
2.2. Kondisi Lingkungan Kota Lhokseumawe

a. Kondisi Geografis

Kota Lhokseumawe merupakan bagian dari Provinsi Aceh yang terletak diantara 04o 54o – 05o 18o LU dan 96o 20o – 97o 21o BT. Kota
ini memiliki wilayah sekitar 181,06 Km2, dengan batas administrasi sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka;

- Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Aceh Utara (Kecamatan Kuta Makmur);

- Sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Aceh Utara (Kecamatan Dewantara) dan,

- Sebelah Timur berbatas dengan Kabupaten Aceh Utara (Kecamatan Syamtalira Bayu).

Secara geografis Kota Lhokseumawe mempunyai potensi dan permasalahan yang dapat menunjang dan menghambat perkembangan
kota dimasa mendatang. Potensi dan permasalahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

Kota Lhokseumawe secara umum sangat dipengaruhi oleh kedudukan tektonik aktif di patahan yang diakomodasikan oleh gerak
convergent miring Lempeng Hindia Australia dan Lempeng Sunda, dan patahan geser dextral memanjang di sepanjang Bukit Barisan. Kedua
wilayah administrasi ini merupakan wilayah dataran dengan kemiringan 0-15% yang bebas bencana longsor dan gerakan tanah, sehingga baik
untuk pengembangan kota dan daerah pertanian.

b. Kondisi Topografi
Berdasarkan kondisi fisik dasar yang ada, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan mengenali daya dukung lahan di Kota
Lhokseumawe, khususnya dalam menampung dan mendukung aktifitas masyarakat kota Lhokseumawe di atasnya.

Dari karakteristik topografi, sebagian besar wilayah ini sangat potensial untuk dijadikan kawasan budidaya terutama karena daerahnya
yang datar, namun jenis pengembangannya juga harus disesuaikan dengan jenis tanahnya.

Namun, yang perlu diperhatikan adalah letak kota Lhokseumawe yang berada pada daerah rawan gempa dan Tsunami, sehingga untuk
pengembangan di masa depan beberapa daerah yang dianggap menjadi titik rawan gempa dan Tsunami di wilayah ini perlu di rencanakan
kawasan konservasi atau kawasan budidaya yang tidak padat penduduk atau kegiatan.

Kota Lhokseumawe merupakan wilayah dataran dengan kemiringan 0-15%


Topografi Kota Lhokseumawe relatif datar dengan kemiringan antara 0-8 % pada kawasan pusat kota serta 8 – 15 % pada kawasan pinggiran

Pantai Ujong Blang yang terletak di Kecamatan Banda Sakti, mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata alam
bahari serta dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung. Potensi lain yang dimiliki adalah potensi wisata alam lingkungan pantai pada
pertemuan antara sungai dan laut yang dapat dilalui oleh perahu nelayan, Pantai Ujong Blang juga memiliki Industri Perahu (boat) serta
perkampungan Nelayan. Pantai Ujong Blang juga berpotensi sebagai Tempat Pelelangan (TPI).

1. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang menonjol di Kota Lhokseumawe meliputi perikanan tangkap, budidaya tambak ikan
dan tambak garam.

2. Sektor pertanian meliputi padi sawah dan perkebunan.

3. Kota Lhokseumawe berada diantara dua patahan (sebelah Timur – Utara dan sebelah Barat – Selatan Kota).

4. Berada pada pertemuan Plate Euroasia dan Australia berjarak + 130 km dari garis pantai Barat sehingga Kota ini rawan terhadap
Tsunami.

5. Kecamatan Banda Sakti sebagai Pusat Pemerintahan, Perdagangan dan Pendidikan di Wilayah Kota Lhokseumawe, merupakan kawasan
yang di kelilingi oleh laut dan sungai, sehingga rawan bencana gelombang laut.

Gambar Ancaman Bencana di Kota Lhokseumawe

Ancaman gelombang laut di Kecamatan Banda Sakti


Kawasan Rawan Bencana Kota Lhokseumawe

6. Kota Lhokseumawe, secara khusus Kecamatan Banda Sakti sangat rentan terhadap kemungkinan ancaman abrasi pantai dan gelombang
pasang laut serta luapan sungai-sungai.

7. Kerusakan Lingkungan

Kawasan hutan pantai tersebut terus mengalami kerusakan akibat terjadinya perambahan oleh masyarakat yang tinggal dekat kawasan
pantai, sehingga menimbulkan ancaman abrasi pantai. Dan diperkirakan kerusakan hutan ini setiap tahunnya terus bertambah. Disamping
itu, tekanan pemanfaatan tambang galian C untuk kegiatan pembangunan di Kota Lhokseumawe, yang utamanya diperuntukan bagi
perumahan, timbunan maupun untuk bahan bangunan. Kondisi tersebut secara nyata menyebabkan erosi, yang selanjutnya akan
mengakibatkan sedimentasi pada lokasi penambangan, sekaligus menimbulkan tingkat kerawanan lingkungan yang berbahaya bagi
masyarakat sekitar lokasi penambangan. Belum optimal dan terintegrasinya upaya pengendalian aktivitas pada lahan kritis yang ada di
Kecamatan Muara Dua. Akibatnya, secara nyata kondisi tersebut menjadi ancaman erosi pada saat musim hujan bagi kawasan sekitarnya.

Dari luas wilayah yang ada, sebagian besar (76,33%) merupakan lahan datar, dengan kemiringan antara 0 – 2%. Sedangkan sekitar
23,67% merupakan lahan bergelombang. Kecuali di kecamatan Banda Sakti merupakan lahan datar dengan luas 1.124 Ha, lahan dengan
kategori bergelombang ditemui di Kecamatan Muara Dua, Blang Mangat dan Muara Satu dengan persentase yang hampir sama. Luas
lahan menurut kemiringan dapat dilihat pada Tabel 2.2

LUAS LAHAN MENURUT KEMIRINGAN

No. Kecamatan Luas Kemiringan Lahan (Ha)


Datar Bergelombang

(0-2%) (2-15%)

1. Banda Sakti 1.124 0

2. Muara Dua 4.275 1.505

3. Blang Mangat 4.209 1.403

4. Muara Satu 4.212 1.378

Jumlah 13.820 4.286

(%) (76,33) (23,67)

Sumber : BPS dan Bappeda Kota Lhokseumawe

Luas Kota Lhokseumawe sebesar 18.106 ha dimanfaatkan untuk berbagai keperluan atau kebutuhan masyarakat. Penggunaan lahan
terbesar adalah untuk kebutuhan permukiman, yaitu 10.630 ha (58,71%), kemudian secara berturut-turut untuk persawahan 3.943 ha atau
21,78%, budidaya perairan darat dan perkebunan rakyat masing-masing 687 ha (3,79%) dan 674 ha (3,72%) serta seluas 643 ha (3,55%)
yang masih berupa hutan belukar dan semak yang belum dimanfaatkan.

PROFIL PENGGUNAAN LAHAN MENURUT JENIS DAN LUAS

KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2008


No. Jenis Penggunaan Luas (Ha) Persentase (%)

1. Permukiman 10.630 58,71

2. Industri Pabrik 894 4,94

3. Persawahan 3.943 21,78

4. Pertanian Lahan Semusim 281 1,55

5. Perairan darat 687 3,79

6. Perkebunan Rakyat 674 3,72

7. Alang-alang/semak 232 1,28

8. Hutan Belukar 643 3,55

9. Lain-lain 122 0,67

Jumlah 18.106 100,00

Sumber : Kota Lhokseumawe Dalam Angka, BPS, 2009

2.2. Kondisi Lingkungan Site yang di Survey


Peta lingkungan site yang disurvey

a. Kawasan Pusong
Kondisi lingkungan pada site mayoritas merupakan kawasan yang kumuh. Kemiskinan merupakan akar masalah dari permukiman
kumuh. Rendahnya akses terhadap pelayanan sosial dan ekonomi menjadikan kaum miskin sulit meningkatkan taraf hidup dan kehidupannya.
Selain itu, ketersediaan pelayanan dan penjaminan akan pelayanan infrastruktur belum ada, jikalau pun ada, kualitasnya masih rendah.

Bagi sebagian besar orang terutama para pengambil kebijakan, rumah kumuh dipandang sebagai suatu masalah terutama dilihat dari sisi
penampilan fisiknya. Rumah kumuh selalu menjadi kambing hitam bagi kumalnya wajah kota dan menyiratkan terlalu vulgar tentang kegagalan
pembangunan, sesuatu yang haram bagi kebanyakan pemimpin. (Sueca 2004)

Kemiskinan sangat berkaitan erat dengan lingkungan dan permukiman kumuh. Status permukiman kumuh seringkali tidak jelas mulai dari
status administrasi dan hukum tanah, serta tidak menyesuaikan dengan rencana tata ruang kota. Terkait status hukum atas tanah, biasanya hal ini
yang membedakan permukiman kumuh (slum) dengan pemukiman liar (squatter). Penyebab terjadinya permukiman kumuh sangat kompleks,
sehingga dampak yang ditimbulkan pun sangat besar baik bagi desa maupun kota. Masyarakat yang hidup dalam lingkungan kumuh, merupakan
masyarakat yang memiliki taraf perekonomian di bawah rerata atau berpenghasilan rendah. Dari segi pemerintahan, pemerintah dianggap kurang
peduli dan kurang cekatan dalam menangani pelayanan terhadap masyarakat.

Gambar 5. Kondisi permukiman Desa Pusong


Terlalu padatnya rumah karena jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain cenderung dekat, sehingga menyebabkan daerah ini
terlihat kumuh dan tidak tertata. Kondisi rumah juga terlihat kurang layak sebagai tempat bermukim. Banyak rumah memiliki kondisi kurang
memadai karena dinding dan atapnya terbuat dari bahan yang mudah roboh bila tertiup angin kencang atau terkena hujan deras. Beberapa
bagian dalam rumah yang kurang bertata rapi, dan sampah berserakan di bawah rumah

Masalah paling krusial pada pemukiman kumuh adalah bagaimana membangun perubahan sikap, perilaku serta paradigma masyarakat
untuk tidak menjadi kumuh. Jika menilik kembali di lapangan, realita kondisi kekumuhan tidak hanya sebatas kekurangan penyediaan
infrastruktur, tapi bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada dan tersusun di dalam dokumen perencanaan penataan
permukiman yang komprehensif. Perubahan pola pikir untuk menjadi lebih baik, jauh lebih penting agar pemanfaatan dan pemeliharaan
terhadap infrastruktur yang telah tersedia dapat terpelihara.

Salah satu ciri masyarakat miskin adalah rendahnya kepemilikan akan aset sebagai modal hidup. Masih terjadi saat ini, salah satunya
adalah masyarakat yang masih melakukan interaksi sosial (tinggal, bahkan mencari mata pencaharian) di bantaran sungai/pantai misalnya.
Seperti yang terjadi di wilayah Pusong Lama Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Persoalan-persoalan perkotaan yang ada di daerah
bantaran sungai/pantai ini meliputi masalah pemukiman, kekurangan akses sarana dan prasarana (seperti jalan, sanitasi dan drainase),
pengolahan pembuangan limbah dan sampah, dan lain-lain.

b. Kawasan Kota
Lingkungan di wilayah perkotaan mayoritas merupakan wilayah perdagangan yang terdapat fasilitas seperti ruko, café, swalayan dan
pasar. BELOM SIAP!!!!
2.3. Sosial Masyarakat

Jumlah angkatan kerja yang berasal dari berbagai tingkat pendidikan di Kota Lhokseumawe terus mengalami peningkatan seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk. Untuk itu Pemerintah Kota Lhokseumawe mempunyai tujuan yang harus segera dicapai, yaitu
memperluas kesempatan kerja baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Di sisi lain permasalahan akibat masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam menciptakan ketentraman dan ketertiban terhadap
penggunaan fasilitas-fasilitas pemerintah dan fasilitas lainnya seperti :

1) Kesadaran dalam menciptakan suasana aman dan tertib di pasar (masalah penertiban pedagang kaki lima).

2) Kesadaran penertiban bangunan (masalah penataan ruang).

3) Pemerliharaan kebersihan dan keindahan lingkungan (masalah persampahan).


Pembangunan pada sektor tenaga kerja diarahkan untuk mendukung prioritas pembangunan dengan mempercepat pemulihan ekonomi
daerah dan penanganan kemiskinan. Kendala atau permasalahan yang dihadapi pada sektor tenaga kerja adalah masalah konflik yang terjadi
di Provinsi Aceh khususnya Kota Lhokseumawe, kemudian lambatnya pemulihan ekonomi daerah dan penanganan kemiskinan, lemahnya
kapasitas kelembagaan dan fungsi kelembagaan serta kurangnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan kerja

Upaya pemerintah Kota Lhokseumawe dalam membuka lapangan kerja dinilai sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Hal ini
dianggap sangat penting agar tidak menimbulkan persoalan baru yang dapat mengganggu proses pembangunan daerah pada masa yang akan
datang. Angkatan kerja yang terdidik yang belum mendapat pekerjaan relatif besar jumlahnya di samping angkatan kerja yang tidak
berpendidikan. Serta terbatasnya keterampilan teknis penguasaan teknologi oleh tenaga kerja.

Penduduk Kota Lhokseumawe yang bekerja di berbagai jenis pekerjaan pada tahun 2006 sebanyak 45.261 orang. Empat jenis lapangan
pekerjaan yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah pedagang/jualan (18,98%), nelayan (12,43%), pertanian (11,86%), dan pekerja
bangunan (10,79%).

PROPORSI PENDUDUK LHOKSEUMAWE MENURUT JENIS PEKERJAAN

PROPORSI
NO. JENIS PEKERJAAN
(%)

1 2 3

1 PNS 8.91
2 TNI / POLRI 2.33

3 BUMN 2.67

4 PERTAMBANGAN / PENGGALIAN 0.34

5 PENGANGKUTAN / KOMUNIKASI 3.02

6 INDUSTRI & PENGOLAHAN 2.00

7 DAGANG / JUALAN 18.98

8 PERTANIAN 11.86

9 NELAYAN 12.43

10 BANGUNAN 10.79

11 LAIN-LAIN 26.67

LHOKSEUMAWE 100.00

Sumber : Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Lhokseumawe, 2008.

Ditinjau dari segi beban tanggungan penduduk (Burden of Depedency Ratio), Kota Lhokseumawe pada tahun 2006 mencapai 48,87,
dimana jumlah penduduk yang berusia produktif (usia 15 s/d 64 tahun) mencapai 105.163 jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang berusia
belum produktif antara usia 0 s/d 14 tahun dan tidak produktif (65 tahun ke atas) mencapai 51.393 jiwa. Ini berarti bahwa tiap 100 orang
penduduk Kota Lhokseumawe yang berusia produktif harus menanggung kurang lebih 49 orang usia belum dan tidak produktif. Jika
dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2004, terlihat adanya kecenderungan penurunan angka beban tanggungan di Lhokseumawe selama
periode tahun 2004-2006, rata-rata sebesar 10,66 % per tahun.

Anda mungkin juga menyukai