Iiu Infeksi Intrauterin
Iiu Infeksi Intrauterin
OLEH:
Rima Irwinda
PPDS Tahap II B
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
ETIOLOGI
Organisme penyebab dari korioamnionitis seringkali multipel. Gibbs, dkk
(1982) mengidentifikasikan mikroorganisme yang ditemukan dalam cairan amnion
pasien dengan korioamnionitis yaitu Bakteroides Sp (25%), Gardnerella vaginalis
(24%), grup β streptokokus (12%), streptokokus aerob jenis lain (13%), E.coli (10%),
dan gram negatif lain (10%). Hampir semua bakteri dalam penelitian tersebut
merupakan bakteri yang ditemukan pada sediaan apus wanita dengan vaginosis
bakterial. Sehingga banyak penelitian menghubungkan kejadian korioamnionitis
dengan vaginosis bakterial9.
PATOFISIOLOGI
Korioamnionitis terjadi akibat infeksi asenden mikroorganisme dari serviks
dan vagina setelah terjadinya ketuban pecah dan persalinan 8,10. Selain itu dapat pula
akibat infeksi transplasental yang merupakan penyebaran hematogen dan
bakteremia maternal dan induksi bakteri pada cairan amnion akibat iatrogenik pada
pemeriksaan amniosintesis, pasca transfusi intrauterin dan kordosintesis. Faktor
risiko terjadinya korioamnionitis adalah waktu antara ketuban pecah dan persalinan,
penggunaan monitor fetal internal, jumlah pemeriksaan dalam selama persalinan,
nulipara, dan adanya bakterial vaginosis.
3
Gambar 1. Tempat potensial infeksi bakteri di uterus11.
4
yang masih utuh dan masuk ke dalam cairan amnion, sehingga menyebabkan infeksi
pada janin12.
Setiap kehamilan dengan korioamnionitis merupakan faktor risiko penyebab
prematuritas dan ketuban pecah dini. Banyak penelitian yang menghubungkan
antara korioamnionitis dengan persalinan prematur. Teori yang paling banyak
dipergunakan saat ini adalah teori invasi bakteri dari ruang koriodesidua, yang
memulai terjadinya proses persalinan preterm. Hal ini dikarenakan pelepasan
endotoksin dan eksotoksin oleh bakteri akan mengakitivasi desidua dan membran
fetus untuk memproduksi beberapa sitokin, yang diantaranya tumor nekrosis factor-α
(TNF- α), interleukin-1α, interleukin-1β, interleukin-6, interleukin-8, dan granulosite
coloni stimulating factor (GCsF). Kemudian seluruh sitokin, endotoksin dan
eksotoksin akan menstimulasi sintesis prostaglandin yang akan terakumulasi dengan
sintesis dan pelepasan metaloprotease dan komponen bioaktif lainnya.
Prostaglandin akan menstimulasi kontraksi uterus sementara metaloprotease akan
menyerang membran korioamnion yang akan menyebabkan pecahnya membran.
Metaloprotease akan membentuk kolagen di serviks yang menyebabkan terjadinya
perlunakan serviks12.
Persalinan prematur disebabkan akibat janin itu sendiri. Pada janin yang
terinfeksi terjadi peningkatan kadar sekresi kortikotropin akibat peningkatan dari
corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipotalamus janin dan juga produksi CRH
dari plasenta. Hal ini akan meningkatkan kadar produksi adrenal janin berupa
peningkatan kortisol yang berhubungan dengan peningkatan kadar prostaglandin12.
5
Gambar 2. Kolonisasi bakteri koriodesidua dapat menyebabkan persalinan
prematur12.
DIAGNOSIS
Tanda dan gejala klinis korioamnionitis meliputi14 :
1. Demam (suhu intrapartum > 100.4˚ F atau > 37,8˚ C)
2. takikardia ibu (>120x/menit)
3. takikardia janin (>160x/menit)
4. cairan ketuban berbau atau tampak purulen
5. uterus teraba tegang
6. leukositosis ibu (leukosit 15.000-18.000 sel/mm3)
Bila terdapat dua dari enam gejala diatas ditemukan pada kehamilan, maka risiko
terjadinya neonatal sepsis meningkat.
Gibbs, dkk mengemukakan gejala dan tanda infeksi intrapartum yaitu suhu
ibu ≥ 37,8˚C dan 2 atau lebih dari kondisi dibawah ini: takikardia ibu (>100 x/menit),
takikardia janin (>160 x/menit), nyeri uterus, cairan amnion berbau dan leukositosis
ibu (>15.000 sel/mm3) 1.
Korioamnionitis seringkali bukan suatu gejala akut, namun merupakan suatu
proses kronis dan tidak menunjukkan gejala sampai persalinan dimulai atau terjadi
ketuban pecah dini. Bahkan sampai setelah persalinan sekalipun pada wanita yang
6
terbukti memiliki korioamnionitis (melalui pemeriksaan histologis atau kultur) dapat
tidak ditemukan tanda klasik diatas selain tanda-tanda prematuritas12.
Terdapat beberapa metode laboratorium lain yang diharapkan dapat
membantu penegakkan diagnosis, beberapa diantaranya seperti pemeriksaan serum
CRP (C-reative protein) maternal, pemeriksaan esterase leukosit cairan amnion, dan
deteksi asam organik bakterial dengan kromatografi gas-cairan 14. Peningkatan kadar
CRP memiliki spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis korioamnionitis. Kadar CRP
rata-rata pada kehamilan adalah 0,7-0,9 mg/dl. Terdapat peningkatan sedikit selama
persalinan8,10.
Pemeriksaan langsung dari cairan amnion dapat memberikan kriteria yang
lebih pasti dari korioamnionitis. Kombinasi pewarnaan Gram dan kultur dari hasil
amniosintesis merupakan metode diagnostik terbaik1,3. Ditemukannya bakteri gram
positif memiliki nilai prediktif positif (positif predictive value/PPV) 93,3%, sedangkan
ditemukannya gram negatif memiliki nilai prediktif negatif 85,4% (negatif predictive
value/NPV). Akurasi tes tergantung dari konsentrasi bakteri saat pengambilan
sampel8,10. Pada pasien dengan suspek korioamnionitis, kadar glukosa cairan
amnion yang rendah merupakan prediktor yang baik dari hasil positif kultur cairan
amnion namun merupakan prediktor yang buruk untuk korioamnionitis secara klinis 9.
Ditemukannya leukosit esterase antigen pada cairan amnion memiliki sensitivitas
91% dan nilai PPV 95%.
Deteksi asam organik bakteri dengan menggunakan kromatografi gas-cairan
cukup sensitif namun memerlukan alat yang rumit dan tidak praktis8,10.
Hasil pemeriksaan mikroskopik yang menunjang diagnosis korioamnionitis
adalah ketika terlihat set leukosit mononuclear dan polimonorfonuklear menginfiltrasi
selaput korion. Sebelum 20 minggu hampir semua sel leukosit polimorfonuklear
adalah sel yang berasal dari ibu, sedangkan selanjutnya merupakan respon inflamasi
dari janin6.
Dari pemeriksaan-pemeriksaan diatas tidak satupun yang cukup sensitif dan
spesifik digunakan secara tersendiri terlepas dari gejala dan tanda klinis untuk
mendiagnosis korioamnionitis.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa terjadinya korioamnionitis berhubungan
dengan ketuban pecah dini. Untuk mendiagnosa adanya ketuban pecah dapat
dilakukan pemeriksaan inspekulo (untuk melihat adanya genangan atau rembesan
cairan amnion), nitrazin tes, tes daun pakis, tes evaporasi, USG, fluoresen
intraamnonitik, tes diamin oksidase, fibronektin janin dan pemeriksaan AFP pada
sekret vagina8.
7
PENATALAKSANAAN
Korioamnionitis diterapi antimikroba dan janin dilahirkan tanpa memandang
usia gestasi. Antibiotika yang diberikan adalah antibiotika intravena berspektrum
luas. Untuk sebagian besar kasus, cukup digunakan antibiotika tunggal. Terdapat
penelitian yang membuktikan bahwa pemberian antibiotika intrapartum dibandingkan
dengan postpartum akan menurunkan kejadian sepsis & pneumonia neonatal dan
morbiditas postpartum ibu. Standar baku jenis pemberian antibiotika untuk
korioamnionitis akut belum ada, banyak studi melakukan evaluasi terhadap
pemberian antibiotika. Terdapat studi yang merekomendasikan pemberian ampisilin
(2 g setiap 6 jam) ditambah dengan gentamisin (1,0-1,5mg/kg setiap 8 jam) 14.
Ampisilin diberikan sebagai pilihan pertama karena dapat melintasi plasenta dengan
cepat (<30 menit) dalam konsentrasi tinggi (rasio darah maternal/darah umbilicus
0,71). Regimen intravena yang direkomendasikan termasuk cefoxitin (4X2gr),
cefotetan (2x2gr), piperasilin atau mezlocilin (4x3-4gr), ampisilin sulbaktam (4x3gr),
tikarsilin/klavulanat (4x3gr). Pada kasus yang lebih berat misalnya pada sepsis dapat
diberikan terapi kombinasi yang terdiri dari penisilin atau ampisilin, aminoglikosida
dan agen anaerob seperti klindamisin (3x900gr). Literatur lain menganjurkan
pemberian gentamisin 5mg/kgBB/hari dosis tunggal10. Pada korioamnionitis lama
pemberian antibiotika belum ada standar baku. Pemberian antibiotika intravena
dapat dilanjutkan hingga 48-72 jam bebas demam, kemudian dilanjutkan dengan
antibiotika oral. Kepustakaan lain menyarankan pemberian terapi parenteral hingga
1-2 hari postpartum, tanpa tambahan antibiotika oral sesudahnya14.
Pilihan cara persalinan pada kasus korioamnionitis sebaiknya pervaginam.
Jika persalinan tidak timbul spontan, maka dilakukan induksi persalinan, baik dengan
medikamentosa atau mekanik15. Persalinan perabdominam meningkatkan risiko
demam postpartum akibat infeksi (endometritis) pada ibu. Endometritis dapat terjadi
pada 30% pasien dengan persalinan perabdominam, dibandingkan risiko pada
persalinan pervaginam hanya 10%. Morbiditas ibu meningkat 5x lipat pada
persalinan perabdominam jika dibandingkan dengan persalinan pervaginam8. Namun
persalinan perabdominam dapat dipertimbangkan bila persalinan diperkirakan belum
selesai dalam interval 12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Hal ini didasarkan dari
suatu penelitian yang mengemukakan tidak terdapatnya perbedaan peningkatan
infeksi neonatus jika jarak antara diagnosis korioamnionitis dan persalinan < 12 jam,
namun peningkatan kejadian infeksi neonatus setelah interval 12 jam belum dapat
dipastikan. Pada suatu penelitian persalinan perabdominam berhubungan dengan
meningkatnya kejadian atonia uteri, perawatan ibu di ICU dan skor apgar yang
rendah16.
8
MORBIDITAS DAN MORTALITAS AKIBAT KORIOAMNIONITIS
Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan, terutama
pada neonatus dengan berat badan lahir rendah, dimana terjadi peningkatan 3-4x
lipat kematian perinatal diantara neonatus dengan berat lahir yang rendah yang
dilahirkan dari ibu yang menderita korioamnionitis. Selain itu terjadi juga kejadian
respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan intraventrikular, dan sepsis
neonatal atau meningitis7,10. Janin memiliki risiko tinggi terhadap kejadian pneumonia
neonatal ataupun kongenital akibat aspirasi cairan amion yang terinfeksi.
Korioamnionitis dihubungkan dengan 20-40% kasus sepsis neonatal dan pneumonia.
Korioamnionitis merupakan penyebab nyata terjadinya morbiditas maternal,
namun jarang mengakibatkan mortalitas maternal. Bakteremia dapat terjadi pada 2-
5% kasus. Infeksi intrapartum meningkatkan risiko infeksi puerpuralis pada
persalinan pervaginam menjadi 13%, dibandingkan dengan persalinan yang tidak
disertai dengan infeksi intrapartum hanya 6%13. Pada ibu korioamnionitis dapat
mengakibatkan metritis, peritonitis, sepsis hingga kematian ibu.
9
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
10
BAB V
KESIMPULAN
11
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
12
15. Turnquest MA, et al. Chorioamnionitis: is Continuation Antibiotic Therapy
Necessary After Cesarean Section? Am J Obstet Gynecol 1998: 179: 1261-6
13