Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

LABORATORIUM PUSKESMAS WONOKROMO


KOTA SURABAYA

Disusun oleh :

1. Asikin ( 0417103067)
2. Dana Wijayanti (0417103071)
3. Fitri Nurdiana (0417103076)
4. Wildan Rohmanu (0417103090)
5. Nur Ria Saputri (0417103094)

PROGRAM STUDI D3 TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MAARIF HASYIM LATIEF
SIDOARJO
2019

i
Laporan Kegiatan praktek Kerja Lapangan mahasiswa yang dilaksanakan oleh :

1. Asikin ( 0417103067)
2. Dana Wijayanti (0417103071)
3. Fitri Nurdiana (0417103076)
4. Wildan Rohmanu (0417103090)
5. Nur Ria Saputri (0417103094)

Pada 14 Januari – 8 Februari 2019, telah diperiksa dan disahkan pada :


Hari : Sabtu
Tanggal : 12 Februari 2019

Kepala Puskesmas Wonokromo Surabaya

dr. Era Kartikawati

Dekan Falkutas Ilmu Kesehatan Pembimbing PKL


Universitas Maarif Hasyim Latif Fakultas Ilmu kesehatan
Universitas Maarif Hasyim Latif

Dheasy Herawati, S.Si.,M.Si. Anton Yuntarso, ST.,M.Si.

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan praktek kerja
lapangan ( PKL ) pada waktunya.
Adapun tujuannya adalah untuk bisa mengaplikasikan dan menerapkan
teori yang telah kami dapatkan selama dalam masa perkuliahan serta
mempraktekkan secara langsung dalam praktek kerja lapangan di Puskesmas
Wonokromo Surabaya. Sehingga kami tahu dan mengerti bagaimana menjadi
seorang tenaga Teknologi Laboratorium Medik yang profesional.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dan membimbing dalam melaksanakan Praktek
Kerja Lapanagan ini, diantaranya kepada :
1. dr. Era Kartikawati Selaku kepala Puskesmas Wonokromo Surabaya.
2. Ibu Dheasy Herawati, S.Si, M.Si Selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Prodi
D3 Teknik Laboratoruim Medik Universitas Maarif Hasyim Latif Sidoarjo.
3. Bapak Anton Yuntarso, ST,. M.Si, Selaku pembimbing Praktek Kerja
Lapangan di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Maarif Hasyim Latif
Sidoarjo.
4. Teman – teman program studi D3 Tehnologi Laboratorium Medik Universitas
Maarif Hasyim Latief Sidoarjo dan semua pihak yang memberi dukungan,
arahan, bimbingan dan bantuan kepada kami selama pelaksanaan Praktek Kerja
Lapangan di Laboratorium Puskesmas Wonokromo Surabaya.
Demikian laporan hasil Praktek Kerja Lapangan kami susun berdasarkan
pengalaman dan kami menyadari bahwa penyusun laporan ini jauh dari
kesempurnaan. oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Surabaya, 11 Februari 2019


Penyusun

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Ahli teknologi laboratorium medik (ALTM) atau lebih dikenal dengan
analis kesehatan adalah profesi yang bekerja pada sarana kesehatan yang
melaksanakan pelayanan pemeriksaan, pengukuran, penetapan, dan pengujian
terhadap bahan yang berasal dari manusia atau bahan bukan berasal dari
manusia atau menemukan jenis penyakit, penyebab penyakit, kondisi
kesehatan atau faktor yang dapat berpengaruh pada perorangan dan
masyarakat. .Menurut KEPMENKES RI Nomor 370/MENKES/SK/III/2007,
Analisis kesehatan atau disebut juga Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan
adalah tenaga kesehatan dan ilmuan keterampilan tinggi yang melaksanakan
dan mengevaluasi prosedur laboratorium dengan memanfaatkan berbagai
sumber daya. Sarana kesehatan ini berbentuk laboratorium kesehatan seperti
laboratorium patologi klinik yang memeriksa sampel berupa cairan–cairan
tubuh manusia seperti darah, sputum, feaces, urin, liquor cerebro spinalis
(cairan otak) dan lain- lain untuk mendapatkan data atau hasil sebagai penegak
diagnosa terhadap suatu penyakit. Cakupan juga luas meliputi pemeriksaan
mikrobiologi (bakteri), parasitologi (fungi, protozoa, cacing) kimia klinik
(hormone, enzim, glukosa, lipid, protein, eletrolit, dll)
Untuk meningkatkan perkembangan teknologi, khususnya di bidang
kesehatan sebagai seorang ahli laboratorium medik, dituntut untuk lebih
mempunyai pengalaman dan keterampilan di bidang laboratorium. Oleh
karena itu setiap semester IV di adakan suatu program praktek kerja lapangan
bagi setiap mahasiswa, hal ini bertujuan untuk mencapai derajat peningkatkan
pengetahuan dan kualitas daya manusia, khususnya bagi Analis kesehatan.
Dalam magang di Laboratorium Puskesmas Wonokromo Surabaya,
setiap mahasiswa di harapkan dapat menyerap pengalaman kerja yang ada
pada saat menjalani pendidikan di akademik, sehingga dari pengalaman

1
tersebut mahasiswa sudah memperoleh bekal tambahan ilmu yang berguna
pada saat mencari kerja.
Laboratorium Puskesmas Wonokromo merupakan pusat pelayanan tingkat
pertama masyarakat Wonokromo dan sekitarnya, Puskesmas wonokromo ini
terletak pada posisi yang mudah di jangkau oleh masyarakat yang berkunjung
dan memeriksakan diri ke Puskesmas Wonokromo.

1.2 Waktu Dan Tempat Praktek Kerja Lapangan


Kegiatan Praktek Kerja Lapangan ( PKL ) dilaksanakan selama 1 bulan,
mulai tanggal 14 Januari – 8 Februari 2019. Jadwal PKL dilaksanakan setiap
hari kerja yaitu senin – sabtu dan mengikuti jam kerja dan jam layanan yang
berlaku di Laboratorium Puskesmas Wonokromo Surabaya.

1.3 Tujuan Umum


Dengan adanya program praktek kerja lapangan, mahasiswa memperoleh
pengalaman keterampilan, penyesuaian sikap dan penghayatan pengetahuan
di dunia kerja dalam rangka memperkaya pengetahuan serta melatih
kemampuan bekerja dengan orang lain dalam satu team sehingga diperoleh
manfaat bersama baik bagi mahasiswa yang mengikuti PKL maupun instansi
tempat di mana mahasiswa melakukan PKL.

1.4 Tujuan khusus


1. Menambah wawasan mahasiswa dalam hal mempersiapkan, melakukan
sampling, dan mengadakan pemeriksaan laboratorium
2. Melatih mahasiswa untuk langsung melakukan pelayanan kesehatan
dilaboratorium.
3. Melatih kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya.
4. Melatih dan mengembangkan sikap dan ketrampilan mahasiswa dalam
pemberian pelayanan kesehatan khususnya pelayanan laboratorium.

2
1.5 Manfaat Bagi Mahasiswa
1. Mendapatkan pengalaman kerja, keterampilan di bidang laboratorium serta
memperoleh gambaran kerja mengenai laboratorium.
2. Terpapar langsung dengan kondisi yang sesungguhnya dan pengalaman
kerja di lapangan.
3. Mendapatkan pengalaman menggunakan metode analis masalah yang tepat
terhadap pemecahan permasalahan yang muncul dalam bidang
pemeriksaan laboratorium.
4. Menambah wawasan yang mungkin belum di dapat selama perkuliahan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemeriksaan Darah Lengkap


Pemeriksaan darah lengkap meliputi pemeriksaan terhadap sel darah
merah, sel darah putih, dan trombosit (Turgeon ML, 2004). Pentingnya
pemeriksaan darah lengkap tidak dapat diremehkan karena dapat digunakan
sebagai prosedur untuk skrining, dan sangat membantu untuk menunjang
diagnosis dari berbagai penyakit. Pemeriksaan darah lengkap dapat digunakan
untuk melihat kemampuan tubuh pasien dalam melawan penyakit dan dapat
digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kemajuan pasien dalam keadaan
penyakit tertentu seperti infeksi, pemeriksaan darah lengkap tersebut diantaranya
adalah pemeriksaan jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah
eritrosit (Barbara BA, 1984).
Pemeriksaan darah yang biasanya dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam berdarah dengue adalah melalui pemeriksaan jumlah trombosit,
nilai hematokrit, jumlah leukosit, kadar hemoglobin dan hapusan darah tepi untuk
melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaraan limfosit plasmabiru (LPB)
(Hadinegoro SR, 2006).
Pemeriksaan darah lengkap sebaiknya dilakukan untuk mengonfirmasi
diagnosis. Tes tambahan lainnya sebaiknya dilakukan jika ada indikasi. Tes
tambahan tersebut seperti tes fungsi hepar, glukosa, serum elektrolit, urea dan
creatinin, bicarbonate atau lactate, kardiak enzim, dan ECG.
2.1.1 Pemeriksaan Jumlah trombosit
Penurunan jumlah trombosit menjadi ≤100.000/mm3 atau kurang dari 1-2
trombosit/lapangan pandang besar (lpb) dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan
pada 10 lpb (Hadinegoro SR, 2006).

4
Pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan
hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit ≤100.000/mm3.
biasanya ditemukan antara hari ketiga sampai ketujuh (Hadinegoro SR, 2006).
Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya
antibodi anti NS1 VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan
sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan petanda degranulasi trombosit.
Hitung jumlah trombosit dapat digunakan sebagai alat bantu untuk
diagnosis dengue karena menunjukkan sensitivitas yang tinggi mulai dari hari ke-
4 demam sebesar 67.7%, bahkan pada hari ke-5 sampai ke-7 menunjukkan angka
100%.16 Spesifitas yang sangat tinggi pada penggunaan trombositopenia sebagai
parameter disebabkan karena jarangnya penyakit infeksi yang disertai dengan
penurunan hitung trombosit sampai di bawah 150.000/mm3. Bahkan jika
digunakan kriteria trombosit dibawah 100.000/mm3, spesifitas hampir mencapai
100% sejak hari pertama, namun mengurangi sensitivitas antara 10-20%
(Suwandono A, 2011).
Dengan demikian pemeriksaan trombosit harian akan sangat membantu
diagnosis dengue karena meningkatkan sensitivitas dan spesifitasnya. Nilai
rujukan jumlah trombosit normal dalam darah menurut Dacie adalah 150.000 –
400.000 per mm3 (Dacie JV, 1977).
2.1.2 Pemeriksaan Jumlah leukosit
Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel
neutrofil. Selanjutnya pada fase akhir demam, jumlah leukosit dan sel neutrofil
bersama-sama menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat.
Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB) >4% di
daerah tepi dapat dijumpai pada hari ketiga sampai hari ketujuh (Hadinegoro SR,
2006).
Limfosit atipik ini merupakan sel berinti satu (mononuklear) dengan
struktur kromatin halus dan agak padat, serta sitoplasma yang relatif lebar dan
berwarna biru tua. Oleh karenanya disebut limfosit plasma biru (LPB).

5
Penggunaan parameter gabungan trombositopeni dan leukopeni
menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi daripada sensitivitas masing-masing.
Sensitivitas ini terus meningkat dan mencapai 100% pada hari ke 5 sampai ke 7
panas. Spesifitas kombinasi trombositopeni dan leukopeni umumnya cukup tinggi
>80%, bahkan pada spesimen hari ke 5 dan ke 7 mencapai 100%.16 Jumlah
leukosit normal untuk dewasa menurut Dacie adalah 4000 – 11.000 per mm3.
Beberapa jenis obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
leukosit berupa menurunnya jumlah neutrofil (neutropeni) diantaranya adalah
fenilbutazon (anti radang), kloramfenikol (antibiotik), fenitoin (antikonvulsan),
karbimazol (antitiroid).
Beberapa penyakit yang dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan leukosit berupa menurunnya jumlah neutrofil (neutropeni)
diantaranya adalah infeksi bakteri seperti tifus abdominalis, tuberkulosis milier,
reaksi hipersensitifitas dan anafilaksis, systemic lupus erythematosis (SLE),
kegagalan sumsung tulang, dan splenomegali (Dacie JV, 1977).
2.1.3 Pemeriksaan Nilai hematokrit
Nilai hematokrit adalah besarnya volume sel-sel eritrosit seluruhnya
didalam 100 mm3 darah dan dinyatakan dalam %. Peningkatan nilai hematokrit
menggambarkan hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan
indikator yang peka akan terjadinya kebocoran plasma, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit
mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan
hematokrit ≥ 20% mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
perembesan plasma (Hadinegoro SR, 2006).
Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh
penggantian cairan atau adanya perdarahan. Nilai rujukan nilai
hematokrit normal menurut Dacie untuk pria dewasa adalah 40 - 54 % dan untuk
wanita dewasa adalah 37 - 54 %.10 Beberapa penyakit lain yang dapat
mempengaruhi peningkatan nilai hematokrit diantaranya adalah dehidrasi, diare
berat, polisitemia vera, asidosis diabetikum, transcient ischemic attack (TIA),
eklampsia, trauma, pembedahan, luka bakar (Sutedjo AY, 2007).

6
2.1.4 Pemeriksaan Kadar Hemoglobin
Pemeriksaan kadar hemoglobin termasuk ke dalam pemeriksaan darah
lengkap. Nilai rujukan Hb menurut Dacie untuk pria dewasa adalah 12.5 – 18 gr
% dan untuk wanita dewasa adalah 11.5 – 16.5 gr %.10 Peningkatan nilai
hematokrit yang disertai dengan peningkatan kadar hemoglobin dapat
memperlihatkan adanya kebocoran plasma dan banyaknya sel darah merah di
dalam pembuluh darah, hal ini dapat mengindikasikan adanya infeksi dengue
dengan tanda bahaya yang meningkatkan resiko terjadinya SSD (Davis, 2011).
Beberapa keadaan patologis yang menyebabkan penurunan kadar hemoglobin
diantaranya adalah thalassemia, anemia, perdarahan akut dan kronis, infeksi
kronik, dan leukemia sedangkan keadaan yang menyebabkan peningkatan kadar
hemoglobin diantaranya adalah polisitemia dan dehidrasi (Dacie JV, 1977).

2.2 Kimia Klinik

Kimia klinik adalah ilmu yang mempelajari teknik terhadap darah, urin,

sputum (ludah, dahak), cairan otak, ginjal, sekret- sekret yang dikeluarkan. Ruang

lingkup kimia klinik pemeriksaan laboratorim hematologi, elektrolit, dan kimia,

fungsi ginjal, fungsi hati, imunologi, serologi dan mikrobiologi.

2.2.1 Glukosa Darah

Glukosa merupakan karbohidrat terpenting yang kebanyakan diserap ke

dalam aliran darah sebagai glukosa dan gula lain diubah menjadi glukosa di hati.

Glukosa adalah bahan bakar utama dalam jaringan tubuh serta berfungsi untuk

menghasilkan energi (Aritonang I, 2012) .

Gula darah adalah gula yang berada di dalam darah yang terbentuk dari

karbohidrat dalam makanan dan disimpan sebagai glikogen di hati dan otot rangka

(Kee, 2007). Sedangkan kadar glukosa darah adalah tingkat gula di dalam darah,

7
konsentrasi gula darah, atau tingkat glukosa serum di atur dengan ketat di dalam

tubuh (http://repository.unimus.ac.id)

2.2.2 Ureum

Ureum merupakan produk nitrogen terbesar yang dibentuk di dalam

hati dan dikeluarkan melalui ginjal. Ureum berasal dari diet dan protein

endogen yang telah difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi sebagian oleh

tubulus. Pada orang sehat yang makanannya banyak mengandung protein,

ureum biasanya berada di atas rentang normal. Kadar rendah biasanya tidak

dianggap abnormal karena mencerminkan rendahnya protein dalam makanan

atau ekspansi volume plasma. Pemeriksaan kadar ureum plasma penting dan

diperlukan pada pasien-pasien penyakit ginjal terutama untuk mengevaluasi

pengaruh diet restriksi protein ( Efendi I, 2006).

Konsentrasi ureum umumnya dinyatakan sebagai kandungan nitrogen

molekul, yaitu nitrogen urea darah (blood urea nitrogen, BUN). Namun di

beberapa negara, konsentrasi ureum dinyatakan sebagai berat urea total. Pada

penurunan fungsi ginjal, kadar BUN meningkat sehingga pengukuran BUN

dapat memberi petunjuk mengenai keadaan ginjal.

Menurut (Riswanto,2010) Nilai rujukan kadar ureum plasma adalah :

- Dewasa : 5 – 25 mg/dl

- Anak-anak : 5 – 20 mg/dl

- Bayi : 5 – 15 mg/dl

Peningkatan kadar urea disebut juga dengan uremia. Penyebab uremia

dibagi menjadi tiga, yaitu penyebab prarenal, renal, dan pascarenal. Uremia

8
prarenal terjadi karena gagalnya mekanisme yang bekerja sebelum filtrasi oleh

glomerulus. Mekanisme tersebut meliputi penurunan aliran darah ke ginjal dan

peningkatan katabolisme protein seperti pada perdarahan gastrointestinal,

hemolisis, leukemia (pelepasan protein leukosit), cedera fisik berat, luka bakar,

dan demam (Riswanto, 2010).

Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (penyebab tersering) yang

menyebabkan gangguan ekskresi urea. Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh

glomerulonefritis, hipertensi maligna, obat atau logam nefrotoksik. Gagal ginjal

kronis disebabkan oleh glomerulonefritis, pielonefritis, diabetes mellitus,

arteriosklerosis, amiloidosis, dan penyakit tubulus ginjal. Sedangkan uremia

pascarenal terjadi akibat obstruksi saluran kemih di bagian bawah ureter,

kandung kemih, atau urethra yang menghambat ekskresi urin (Riswanto, 2010).

Berikut ini rangkuman faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan

dan penurunan kadar ureum :

Tabel 1. Penyebab kenaikan kadar ureum

Faktor Ratio ureum/kreatinin Penyebab

 Hipovolemia, luka bakar, dehidrasi


 Gagal jantung kongestif, infark
myokard akut
 Perdarahan saluran cerna, asupan
Pra renal Meningkat
protein berlebih
 Katabolisme protein berlebih,
kelaparan
 Sepsis

9
Faktor Ratio ureum/kreatinin Penyebab

Penyakit ginjal (glomerulonefritis,


Renal Normal pielonefritis, nekrosis tubular akut)
Obat-obatan nefrotoksik

Obstruksi ureter
Pasca renal Menurun
Obstruksi outlet kandung kemih

Dikutip dari : Pagana KD, Pagana TJ. Mosby’s Manual of Diagnostic and
Laboratory Tests. 2nd ed. St Louis: Mosby; 2002.

Tabel 2. Penyebab penurunan kadar ureum

Penyebab Mekanisme

Pembentukan ureum
Gagal hati menurun karena gangguan
fungsi hati

Hidrasi berlebih Pengenceran ureum

Keseimbangan nitrogen
negatif Produksi ureum menurun
(malnutrisi, malabsorpsi)

Pengenceran ureum karena


Kehamilan
retensi air

Ureum menurun sebab


Sindrom nefrotik
kehilangan protein

Dikutip dari : Pagana KD, Pagana TJ. Mosby’s Manual of Diagnostic and
Laboratory Tests. 2nd ed.St Louis: Mosby; 2002.

10
2.2.3 Kreatinin

Kreatinin adalah produk metabolisme yang memiliki molekul lebih


besar dari ureum dan pada dasarnya tidak permeabel terhadap membran tubulus.
Oleh karena itu, kreatinin yang difiltrasi hampir tidak ada yang direabsorbsi,
sehingga sebenarnya semua kreatinin yang difiltrasi oleh glomerulus akan
diekskresikan ke dalam urin. Namun sejumlah kecil kreatinin disekresikan oleh
tubulus, sehingga jumlah kreatinin yang diekskresikan dalam urin sedikit
melebihi jumlah yang difiltrasi (Guyton AC, 1997).

Kreatinin merupakan produk penguraian kreatin. Kreatin disintesis di hati


dan terdapat pada hampir semua otot rangka sehingga individu dengan massa otot
besar dapat memiliki nilai yang lebih tinggi (O’Challaghan C, 2009). Menurut
(Riswanto, 2010) Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan plasma
kreatinin, antara lain :

- Diet tinggi kreatinin dari daging atau suplemen kaya kreatinin


- menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan asam keton, anion
organik pada uremia atau obat simetidin sulfa (Efendi I, 2006).

Berikut ini rangkuman faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin darah :


Tabel 3. Faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin

Pengaruh kadar
Faktor Mekanisme
kreatinin

Usia tua Merendahkan Massa otot berkurang

Massa otot lebih rendah daripada


Perempuan Merendahkan
laki-laki

Ras Amerika-Afrika Meningkatkan Massa otot lebih banyak

11
Pengaruh kadar
Faktor Mekanisme
kreatinin

Diet vegetarian Merendahkan Kurang menghasilkan kreatinin

Peningkatan sementara produksi


Makan daging kreatinin, tapi dapat tertutupi
Meningkatkan
masak oleh
peningkatan sementara GFR

Berotot Meningkatkan Peningkatan produksi kreatinin

Malnutrisi, massa
otot Merendahkan Penurunan produksi kreatinin
berkurang, amputasi

Massa lemak tidak


Obesitas Tidak ada perubahan mempengaruhi
kreatinin

Dikutip dari : National Kidney Foundation, K/DOQI. Clinical Practice Guidelines


for Chronic Kidney Disease : Evaluation, classification, and stratification. Am J
Kidney Dis. 2002;39(1).
Kadar kreatinin darah diukur dengan metode kalorimetri menggunakan
spektrofotometer, fotometer atau analyzer kimiawi. Nilai rujukannya adalah
sebagai berikut:
- Dewasa Laki-laki : 0,6-1,3 mg/dl.
- Dewasa Perempuan : 0,5-1,0 mg/dl.
Wanita sedikit lebih rendah karena massa otot yang lebih rendah daripada pria
(Riswanto, 2010).
Besar kecepatan suatu zat dibersihkan dari plasma merupakan cara yang
berguna untuk menghitung efektivitas ginjal dalam mengekskresikan zat

12
tersebut. Perhitungan yang terbaik adalah dengan menentukan bersihan
kreatinin, yaitu :
Menurut (Efendi I, 2006) Nilai normal untuk bersihan kreatinin :
Pria = 97 - 137 mL/menit/1,73 m2 atau 0,93-1,32 mL/detik/m2
Wanita = 88 - 128 mL/menit/1,73 m2 atau 0,85-1,23 mL/detik/m2
2.2.4 Trigliserida
Trigliserida merupakan asam lemak yang dibentuk dari esterifikasi
tiga molekul asam lemak menjadi satu molekul gliserol. Jaringan adiposa
memiliki simpanan trigliserid yang berfungsi sebagai ‘gudang’ lemak yang
segera dapat digunakan. Dengan masuk dan keluar dari molekul trigliserida di
jaringan adiposa, asam-asam lemak merupakan bahan untuk konversi menjadi
glukosa (glukoneogenesis) serta untuk pembakaran langsung untuk
menghasilkan energi.
Asam lemak dapat berasal dari makanan, tetapi dapat juga berasal dari
kelebihan glukosa yang diubah oleh hati dan jaringan lemak menjadi energi
yang dapat disimpan. Lebih dari 95% lemak yang berasal dari makanan adalah
trigliserida (Riswanto, 2010).
2.2.5 Kolesterol

Kolesterol berasal dari makanan dan sintesis endogen di dalam tubuh.


Sumber kolesterol dalam makanan seperti kuning telur, susu, daging, lemak
(gajih), dan sebagainya terutama dalam keadaan ester. Di dalam usus, ester
dihidrolisis oleh kolesterol esterase yang berasal dari pancreas, kemudian
kolesterol bebas yang terbentuk diserap oleh mukosa usus dengan kilomikron
sebagai alat transport ke sistem limfatik dan akhirnya ke sirkulasi vena (Riswanto,
2010).

Kolesterol disintesis di hati dan usus serta ditemukan dalam eritrosit,


membran sel, dan otot. Kolesterol penting dalam struktur dinding sel. Kolesterol
digunakan tubuh untuk membentuk garam empedu sebagai fasilitator untuk
pencernaan lemak dan untuk pembentukan hormon steroid (misal kortisol,
estrogen, androgen) oleh kelenjar adrenal, ovarium, dan testis (Riswanto,2010).

13
Karena lipid tidak dapat larut dalam air, maka perlu suatu ‘pengangkut’
agar bisa masuk dalam sirkulasi darah yaitu lipoprotein. Lipoprotein dalam
sirkulasi terdiri dari partikel berbagai ukuran yang juga mengandung kolesterol,
trigliserida, fosfolipid, dan protein dalam jumlah berbeda sehingga masingmasing
lipoprotein memiliki karakteristik densitas yang berbeda. Lipoprotein
terbesar dan paling rendah densitasnya adalah kilomikron, diikuti oleh
lipoprotein densitas sangat rendah (very low density lipoprotein, VLDL),
lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein, LDL), lipoprotein densitas
sedang (intermediate density lipoprotein, IDL), dan lipoprotein densitas tinggi
(high density lipoprotein, HDL).

VLDL terutama terdiri dari trigliserid endogen yang dibentuk oleh sel
hati dari karbohidrat. Ia bertugas membawa kolesterol yang dikeluarkan dari
hati ke jaringan otot untuk disimpan sebagai cadangan energi (Riswanto, 2010).
LDL merupakan partikel yang mengandung 45% kolesterol. Variannya
ditentukan oleh rasio kandungan kolesterol dan trigliserida, dimana trigliserida
menurun pada partikel yang lebih kecil (LDL-pk). LDL-pk bersifat aterogenik
karena beberapa hal : secara umum partikel yang lebih kecil dan padat akan
lebih mudah menerobos endotel pembuluh darah dan melakukan penetrasi ke
intima; LDL-pk lebih mudah mengalami oksidasi dan glikasi sehingga memicu
proses terbentuknya sel busa di intima. LDL bertugas mengangkut kolesterol
dalam plasma ke jaringan perifer untuk keperluan pertukaran zat. LDL ini
mudah menempel pada dinding pembuluh koroner dan menimbulkan plak. Itu
sebabnya LDL sering disebut sebagai “kolesterol jahat” (Suhartono T, 2007).
HDL dibentuk oleh sel hati dan usus, bertugas menyedot timbunan
kolesterol di jaringan tersebut, mengangkutnya ke hati dan membuangnya ke
dalam empedu, sehingga HDL disebut juga “kolesterol baik”. Penurunan HDL
pada DM tipe 2 disebabkan oleh banyak faktor, namun yang terpenting adalah
meningkatnya transfer kolesterol dari HDL ke lipoprotein kaya trigliserin dan
sebaliknya transfer trigliserid ke HDL. Kemungkinan lain adalah akibat
hiperglikemia maupun resistensi insulin (Suhartono T, 2007).

14
Menurut (PERKENI, 2005, kadar lipid plasma yang optimal adalah sebagai
berikut :

Tabel 4. Klasifikasi kadar lipid plasma

Kolesterol total (mg/dl)

< 200 Yang diinginkan

200 – 239 Batas tinggi

≥ 240 Tinggi

Kolesterol LDL (mg/dl)

< 100 Optimal

100 – 129 Mendekati Optimal

130 – 159 Batas Tinggi

160 – 189 Tinggi

≥ 190 Sangat Tinggi

Kolesterol HDL (mg/dl)

< 40 Rendah (kurang baik)

≥ 60 Tinggi (baik)

Trigliserida (mg/dl)

< 150 Normal

150 – 199 Batas Tinggi

200 – 499 Tinggi

≥ 500 Sangat Tinggi

15
2.2.6 SGOT-SGPT
SGOT-SGPT merupakan dua enzim transaminase yang dihasilkan terutama
oleh sel-sel hati. Bila sel-sel liver rusak, misalnya pada kasus hepatitis atau
sirosis, biasanya kadar kedua enzim ini meningkat. Makanya, lewat hasil tes
laboratorium, keduanya dianggap memberi gambaran adanya gangguan pada hati
(Ronald, 2004).
SGOT singkatan dari Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase, sebuah
enzim yang secara normal berada disel hati dan organ lain. SGOT dikeluarkan
kedalam darah ketika hati rusak. Level SDOT darah kemudian dihubungkan
dengan kerusakan sel hati, seperti serangan virus hepatitis. SGOT juga disebut
aspartate aminotransferase (AST) (Poedjiadi, 1994).
Aspartate transaminase (AST) atau serum glutamic oxaloacetic
transaminase (SGOT) adalah enzim yang biasanya terdapat dalam jaringan tubuh,
terutama dalam jantung dan hati; enzim itu dilepaskan ke dalam serum sebagai
akibat dari cedera jaringan, oleh karena itu konsentrasi dalam serum (SGOT)
dapat meningkat pada penyakit infark miokard atau kerusakan aku pada sel-sel
hati (Dorland, 1998).
SGPT adalah singkatan dari Serum Glutamik Piruvat Transaminase , SGPT
atau juga dinamakan ALT (Alanin Aminotransferase) merupakan enzim yang
banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi
hepatoselular. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai pada otot jantung,
ginjal dan otot rangka. Pada umumnya nilai tes SGPT/ALT lebih tinggi daripada
SGOT/AST pada kerusakan parenkim hati akut, sedangkan pada proses kronis
didapat sebaliknya ( joyce, 2007).
Enzim-enzim AST, ALT & GLDH akan meningkat bila terjadi kerusakan
sel hati. Biasanya peningkatan ALT lebih tinggi dari pada AST pada kerusakan
hati yang akut, mengingat ALT merupakan enzim yang hanya terdapat dalam
sitoplasma sel hati (unilokuler). Sebaliknya AST yang terdapat baik dalam
sitoplasma maupun mitochondria (bilokuler) akan meningkat lebih tinggi daripada
ALT pada kerusakan hati yang lebih dalam dari sitoplasma sel. Keadaan ini
ditemukan pada kerusakan sel hati yang menahun.2,5,7 Adanya perbedaan

16
peningkatan enzim AST dan ALT pada penyakit hati ini mendorong para peneliti
untuk menyelidiki ratio AST & ALT ini. De Ritis et al mendapatkan ratio
AST/ALT = 0,7 sebagai batas penyakit hati akut dan kronis. Ratio lni yang
terkenal dengan nama ratio De Ritis memberikan hasil< 0,7 pada penyakit hati
akut dan > 0,7 pada penyakit hati kronis. Batas 0,7 ini dipakai apabila
pemeriksaan enzim-enzim tersebut dilakukan secara optimized, sedangkan apabila
pemeriksaan dilakukan dengan cara kolorimetrik batas ini adalah 1.7 Istilah
"optimized" yang dipakai perkumpulan ahli kimia di Jerman ini mengandung arti
bahwa cara pemeriksaan ini telah distandardisasi secara optimum baik substrat,
koenzim maupun lingkungannya. (Suryadi dan Marzuki, 1983).

2.3 Urinalisis

Urinalisis adalah tes yang dilakukan pada sampel urin pasien untuk tujuan

diagnosis saluran kemih, batu ginjal, skrining dan avaluasi berbagai jenis penyakit

ginjal, memantau perkembangan penyalit seperti diabetus melitus dan tekanan

darh tinggi ( hipertensi), dan skrining terhadap status kesehatan umum

2.3.1 Pemeriksaan Makroskopik

Urinalisis dimulai dengan mengamati penampakan makroskopik : warna

dan kekeruhan. Urin norml yang baru dikeluarkan tampak jernih sampai sedikit

berkabut dan berwarna kuning oleh pigmen urokrom dan urobilin. Intensitas

warna sesuai dengan konsentrasi urine, urin encer hampir tidak berwarna, urine

pekat berwarna kuning tua atau sawo matang. Kekeruhan biasanya terjadi karena

kristalisasi atau pengendapan urat (dalam urine asam ) atau fosfat (dalam urine

basa). Kekeruhan juga bisa disebabkan oleh bahan selular berlebihan atau protein

dalam urine. Kelainan pada warna, kejernihan, dan kekeruhan dapat

mengidentifikasikan kemungkinan adanya infeksi, dehidrasi, darah di urin

17
(hematuria), penyakit hati, kerusakan otot atau eritrosit dalam tubuh. Obat- obatan

tertentu juga dapat mengubah warna urine. Kencing berbusa sangat mungkin

mewakili jumlah besar protein dalam urine (proteinuria).

2.3.2 Pemeriksaan Urin Metode Carik Celup

Urinalisis adalah analisis fisik , kimia, dan mikroskopis terhadap urin. Urinalisis

berguna untuk mendiagnosis penyakit ginjal atau infeksi saluran kemih dan untuk

mendeteksi adanya penyakit metabolik yang tidak berhubungan dengan ginjal.

Pemeriksaan urin memakai carik celup sangat cepat, mudah dan spesifik.

Carik celup berupa secarik plastik kaku yang pada sebelah sisinya dilekati

dengan satu sampai sembilan kertas isap atau bahan penyerap lain yang masing-

masing mengandung reagen- reagen spesifik terhadap salah satu zat yang

mungkin ada di dalam urine. Ada dan banyaknya zat yang dicari ditandai dengan

perubahan skala warna tertentu pada bagian yang mengandung reagen spesifik,

skala warna yang menyertai carik celup memungkinkan penilaian semikuantitatif.

2.3.3 Pemeriksaan Urine Secara Otomatis

Pada tes urine secara otomatis, analisa dilakukan dengan menggunakan

urine analyzer. Tes urine strip ada yang versifat kualitatif yang hanya menunjukan

reaksi positif atau negatif dan ada yang semi kuantitatif yang mampu

memperkirakan hasil dalam bentuk jumlah, yang biasanya dinyatakan dengan 1+,

2+, 3+, dan 4+. Namun, tes dapat juga dinyatakan dalam miligram per desiliter.

Urine Analyzer diciptakan untuk mempermudah analis menentukan jumlah

(kuantitatif) analit dalam urine, termasuk didalamnya bilirubin, protein, glukosa,

dan sel darah. Cara kerjanya, pertama dengan meletakkan urin strip pada tray.

18
Dari tray, strip diteruskan oleh penggerak ke alat pembaca. Pada alat pembaca,

terdapat LED yang memancarkan cahaya dari panjang gelombang yang mengarah

pada permukaan test pad. Cahaya LED yang mengenai pad terpantul dengan

warna yang terdapat pada pad dan tertangkap oleh detektor. Disini panjang

gelombang yang diterimadiperkuat dan difilter. Masing- masing cahaya yang

dikuatkan tersebut dikelompokkan berdasar parameter dan diubah menjadi sinyal

analog menggunakan analog digital converter. Selanjutnya, kadar analisa

menggunakan microcomputer dan membandingkannya dengan cahaya pda

referensi.

2.3.4 Pemeriksaan Sedimen Urine

Sedimen urin adalah unsur yang tidak larut di dalam urine yang berasal dari

darah, ginjal dan saluran kemih, sehingga pemeriksaan sedimen urin sangat

penting dalam membantu menegakkan diagnosa dan mengikuti pejalanan penyakit

pada kelainan ginjal dan saluran kemih. Pemeriksaan sedimen urine merupakan

mikroskopik urin dan sangat penting untuk mengetahui adanya kelainan pada

ginjal dan saluran kemih serta berat ringannya penyakit.

2.4 Widal

Widal atau uji Widal adalah prosedur uji serologi untuk mendeteksi bakteri
Salmonella enterica yang mengakibatkan penyakit Thipoid. Uji ini akan
memperlihatkan reaksi antibodi Salmonella terhadap antigen O-somatik dan H-
flagellar di dalam darah. Prinsip pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi
bila serum penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonella typhosa.
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan
antibodi (agglutinin). Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari
suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium.

19
Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan
titer antibodi dalam serum.
2.5 Elektrolit
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi
tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh
merupakan salah satu bagian dari fisiologi homeostatis.
Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan
berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air
(pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut). Fungsi cairan tubuh yaitu sebagai
sarana untuk mengangkut zat makanan ke sel-sel, mengeluarkan buangan-
buangan sel, membantu metabolisme sel, sebagai pelarut untuk elektrolit dan
non elektrolit, termoregulasi, serta membantu pencernaan.Elektrolit adalah zat
kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut
ion jika berada dalam larutan. Kation merupakan ion-ion yang membentuk
muatan positif dalam larutan. Kation ekstraseluler utama adalah natrium
(Na+), sedangkan kation intraseluler utama adalah kalium (K+). Anion
merupakan ion-ion yang membentuk muatan negatif dalam larutan. Anion
ekstraseluler utama adalah klorida (Cl- ), sedangkan anion intraseluler utama
adalah fosfat (PO43+). Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui
makanan, minuman, dan cairan intravena dan didistribusi ke seluruh bagian
tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang
normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian
tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan
lainnya; jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang
lainnya (Soebiyanto dan Harti, 2017).
2.6 Hipertensi

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan

tekanan darah di atas normal. Tekanan darah 140/90 mmHg didasarkan pada dua

fase dalam setiap denyut jantung, yaitu fase sistolik 140 menunjukkan fase darah

20
yang sedang dipompa oleh jantung dan fase diastolik 90 menunjukkan fase darah

yang kembali ke jantung.

Menurut WHO, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah

kurang dari 130/85 mmHg. Sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHg dinyatakan

sebagai hipertensi dan di antara nilai tersebut disebut sebagai normal-tinggi.

Batasan tersebut diperuntukkan bagi individu dewasa diatas 18 tahun (Triyanto,

2014:7).

Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana

tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko

terhadap stroke, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal. Pada

hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih,

tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan diastolik masih dalam

kisaran normal. Hipertensi ini sering ditemukan pada usia lanjut. Sejalan dengan

bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah.

Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus

meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau

bahkan menurun drastis.

21
Tabel 5. Klasifikasi Hipertensi menurut WHO & International society of
Hypertendion Working Group ( ISHWG )

SISTOL DIASTOLIK
KATEGORI
( mmHg ) ( mmHg )
Optimal < 120 < 80

Normal < 130 < 85

Normal - Tinggi 130 - 139 <85 - 89

Tingkat 1 ( Hipertensi 140 – 159 90 – 99


ringan)
140 – 149 90 - 94
Sub – Group : perbatasan

Tingkat 2 ( Hipertensi 160 - 179 100 - 109


sedang)

Tingkat 3 ( Hipertensi >= 180 >= 110


Berat )

Hipertensi sistol terisolasi >= 140 < 90


Sub group : perbatasan 140 - 149 < 90

22
BAB III
GAMBARAN UMUM

3.1 Sejarah Berdirinya Puskesmas

3.1.1 Sejarah Puskesmas


Perkembangan kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak
pemerintahan Belanda pada abad ke-16 yaitu adanya upaya pemberantasan
penyakit cacar dan cholera yang sangat ditakuti oleh masyarakat. Pada tahun
1968 diterapkan konsep puskesmas yang dilangsungkan dalam Rapat
Kerja Nasional di Jakarta, yang membicarakan tentang upaya
mengorganisasi sistem pelayanan kesehatan di tanah air, karena pelayanan
kesehatan pada saat itu dirasakan kurang menguntungkan dan dari kegiatan-
kegiatan seperti Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), Balai
Pengobatan (BP), Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) dan sebagainya
masih berjalan sendiri-sendiri dan tidak saling berhubungan. Melalui rakernas
tersebut timbul gagasan untuk menyatukan semua pelayanan kesehatan tingkat

23
pertama ke dalam suatu organisasi yang dipercaya dan diberi nama Pusat
Kesehatan Masyarakat. Puskesmas dibedakan menjadi 4 macam yaitu :
1) puskesmas tingkat desa,
2) puskesmas tingkat kecamatan
3) puskesmas tingkat kewedanan
4) puskesmas tingkat kabupaten.
Pada tahun 1979 mulai dirintis pembangunan di daerah-daerah tingkat
kelurahan atau desa, untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan yang berada di
suatu kecamatan maka selanjutnya disebut sebagai puskesmas induk sedangkan
yang lain disebut puskesmas pembantu, dua kategori ini dikenal sampai
sekarang (hhtp:/PelangiIndonesia,Sejarah perkembangan puskesmas di
Indonesia no.04, 2005, diakses tgl 7 Agustus 2013).
3.1.2 Pengertian Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelayanan teknis dinas kesehatan
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja. (Depkes, 2004). Merujuk dari defenisi
puskesmas tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Unit Pelaksana Teknis
Sebagai unit pelayanan teknis dinas Kabupaten/Kota, puskesmas
berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional dinas
kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat
pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.
2. Pembangunan Kesehatan
Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan
oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
yang optimal.
3. Pertanggungjawaban Penyelenggaraan
Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan
kesehatan di wilayah Kabupaten/Kota adalah dinas kesehatan
Kabupaten/Kota, sedangkan puskesmas bertanggungjawab hanya

24
sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh dinas
kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan kemampuannya.
4. Wilayah Kerja
Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu
kecamatan. Tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu
puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas
dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa, kelurahan atau
RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung
jawab langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Disamping itu
dikenal pula Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling. Puskesmas
Pembantu adalah unit pelayanan kesehatan sederhana yang merupakan
bagian integral dari Puskesmas keliling yaitu unit pelayanan kesehatan
keliling berupa kenderaan bermotor roda empat atau perahu motor,
dilengkapi peralatan kesehatan, peralatan komunikasi serta sejumlah
tenaga yang berasal dari puskesmas (Depkes, 2004).
3.2 Lokasi Puskesmas Wonokromo Surabaya
Jl. Karangrejo VI No.4, Wonokromo, Kota Surabaya, Jawa Timur 60243

3.3 Visi dan Misi Puskesmas Wonokromo Surabaya


Visi : Memberdayakan masyarakat secara mandiri demi terwujudnya
masyarakat sehat.
Misi :
 Melalui sistem manajemen yang tertib dan terintegrasi.
 Melalui peran serta masyarakat untuk ikut mendukung pembangunan
berwawasan kesehatan.
 Melalui upaya pemberian pelayanan klinis yang bermutu.

25
3.4 Motto Puskesmas Wonokromo Surabaya
Motto :
" Satu hati, santun, prima dalam pelayanan"

3.5 Tujuan Puskesmas Wonokromo Surabaya


Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Wonokromo sesuaidengan tujuan pembangunan kesehatan.

26
BAB IV

STUDI KASUS

4.1 Studi Kasus 1 “ Perbandingan Pemeriksaan Urine Carik Celup dengan


Pemeriksaan Urine Mikroskopis ”.

Lampiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium :

Dari hasil pemeriksaan urinalisis pada pasien diketahui sebagai berikut :

Tabel 4.1.1 Makroskopis Carik Celup

Keterangan Hasil

Eritrosit Positif ( 3+ )
Protein Positif ( 1+ )
Leukosit Positif ( 1+ )

Tabel 4.1.2 Mikroskopis Sedimen

Keterangan Hasil

Eritrosit Banyak
Protein 2-4
Leukosit 1-3

27
Pembahasan :

Hasil Eritrosit

Dalam keadaan normal tidak didapatkan adanya darah didalam urine,


adanya darah (erytrosit) dalam urine mungkin akibat perdarahan di saluran
kencing. Hasil eritrosit positif artinya di dalam stik urine mengandung enzim
peroksidase sehingga dapat mengkatalis reaksi antara diisopropylbenzene dan
tetramethylbenzidine, tetapi dengan eritrosit mikroskopis yang jumlahnya sedikit
hal ini bisa dikarenakan eritrosit yang ada di dalam urine penderita tersebut
mengalami hemolisis.

Eritrosit dalam air seni dapat berasal dari bagian manapun dari saluran
kemih. Secara teoritis, harusnya tidak dapat ditemukan adanya eritrosit, namun
dalam urine normal dapat ditemukan 0 – 3 sel/LPK. Hematuria adalah adanya
peningkatan jumlah eritrosit dalam urin karena: kerusakan glomerular, tumor yang
mengikis saluran kemih, trauma ginjal, batu saluran kemih, infeksi, inflamasi,
infark ginjal, nekrosis tubular akut, infeksi saluran kemih atas dan bawah,
nefrotoksin, dll.

Hasil Protein

Protein adalah bahan yang dibutuhkan tubuh,sehingga tidak boleh dibuang


dalam urine. Apabila terdapat protein dalam urine maka patut dicurigai ada
masalah dengan organ yang bertugas menyeleksi keluarnya protein ini yaitu
ginjal. Meskipun begitu kondisi panas tinggi dan dehidrasi berat juga dapat
memberikan hasil protein urine yang positif. Protein terdiri atas fraksi albumin
dan globulin. Peningkatan ekskresi albumin merupakan petanda yang sensitif
untuk penyakit ginjal kronik yang disebabkan karena penyakit glomeruler,
diabetes mellitus, dan hipertensi.

28
Hasil Lekosit

Lekosit adalah sel darah putih, apabila ada infeksi atau luka di saluran
kencing,maka jumlah lekosit akan meningkat, leukosit juga akan meningkat akibat
kontaminan misalnya akibat keputihan. Secara normal kadar lekosit dalam urine
adalah 0-5 per lapangan pandang bila dilihat dengan mikroskop. Lekosit hingga 4
atau 5 per LPK umumnya masih dianggap normal. Peningkatan jumlah lekosit
dalam urine (leukosituria atau piuria) umumnya menunjukkan adanya infeksi
saluran kemih baik bagian atas atau bawah, sistitis, pielonefritis, atau
glomerulonefritis akut. Leukosituria juga dapat dijumpai pada febris, dehidrasi,
stress, leukemia tanpa adanya infeksi atau inflamasi, karena kecepatan ekskresi
leukosit meningkat yang mungkin disebabkan karena adanya perubahan
permeabilitas membran glomerulus atau perubahan motilitas leukosit. Pada
kondisi berat jenis urin rendah, leukosit dapat ditemukan dalam bentuk sel Glitter
merupakan lekosit PMN yang menunjukkan gerakan Brown butiran dalam
sitoplasma. Pada suasana pH alkali leukosit cenderung berkelompok.

29
4.2 Studi Kasus 2 “ Gambaran kadar Natrium dan Kalium serum pada
penderita Hipertensi dengan gagal ginjal di RS muhammadiyah
Gresik”.

Hasil penelitian

Tabel 4.2.1 Hasil Pemeriksaan Kadar Natrium dan Kalium Serum pada
Penderita Hipertensi dengan gagal ginjal di Rumah sakit Muhammadiyah
Gresik

Tekanan Kalium Natrium Kreatinin


No. Darah (mmol/L) (mmol/L) ( mg/dL )
(mmHg)
1 140/80 5,6 136 4,72
2 150/100 6,1 130 2,30
3 150/100 4,0 121 2,43
4 150/90 5,0 138 4,17
5 150/100 6,0 140 5,93
6 160/90 4,4 130 7,08
7 170/100 4,6 112 4,78
8 180/100 3,2 131 8,50

Tabel 4.2.2 Distribusi status tekanan darah pasien hipertensi di RS


Muhammadiyah Gresik berdasarkan klasifikasi Hipertensi menurut WHO dan
ISHWG (International society of Hypertention Working Group )

Kategori n %
Normal 0 0
Hipertensi ringan 5 62,5
Hipertensi sedang 2 25,0
Hipertensi berat 1 12,5
Total 8 100

30
Dari data Tabel di atas Nilai tekanan darah pasien hipertensi

dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Hipertensi menurut WHO dan ISHWG,

tingkat Hipertensi ada 4 tingkat yakni Normal, Hipertensi ringan, hipertensi

sedang dan hipertensi berat.Menurut Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 8

data pasien dengan kelompok hipertensi ringan memiliki prosentase lebih besar

yaitu 62,5%, diikuti pasien dengan kelompok hipertensi sedang yang memiliki

prosentase 25,0%.

Tabel 4.2.3 Distribusi hasil pemeriksaan Natrium serum pasien hipertensi dengan

gagal ginjal di RS Muhammadiyah Gresik

n %
Hiponatremia 5 62,5
Normal 3 37,5
Hipernatremia 0 0
Total 8 100
Dari data tabel di atas kadar natrium pasien hipertensi dengan gagal ginjal (

nilai normal Natrium 135 -145 mmol/dL ), menunjukkan hasil natrium rendah (

hiponatremia ) sebanyak 5 orang (62,5%) dan natrium normal sebanyak 3 orang

(37,5%)

Tabel 4.2.4 Distribusi hasil pemeriksaan Kalium serum pasien hipertensi dengan

gagal ginjal di RS Muhammadiyah Gresik

n %
Hipokalemia 1 12,5
Normal 4 50,0
Hiperkalemia 3 37,5
Total 8 100

31
Dari data tabel diatas kadar kalium pada pasien hipertensi dengan gagal ginjal

(nilai Kalium 3,6 – 5,2 mmol/L), menunjukkan hasil kalium rendah

(hipokalemia) sebanyak 1 orang (12,5%), kalium normal sebanyak 4 orang

(50%) dan kalium tinggi ( hiperkalemia) sebanyak 3 orang (37,5%).

PEMBAHASAN

Distribusi Hipertensi dengan Gagal ginjal

Dari data tabel 4.2.2 Nilai Tekanan darah diklasifikasikan menurut WHO

dan ISHWG( International society of Hypertention Working Group ) yang

menunjukan prosentase lebih besar yaitu kategori kelompok hipertensi ringan (

62,5%), di ikuti dengan kelompok Hipertensi sedang ( 25,0% ). Hipertensi yang

diserang adalah pembuluh darah, sehingga seluruh tubuh yang dilewati pembuluh

darah akan mengalami gangguan termasuk ginjal. Dokter spesialis penyakit

dalam dan konsultan ginjal hipertensi Dr.J. Pudji Rahardjo, SpPD-KGH

menjelaskan bila tekanan darah melebihi 140 mmHg/90 mmHg maka aliran

darah ke ginjal akan terganggu. Bila salah satu faktor pendukung kerja ginjal,

misalnya aliran darah ke ginjal, jaringan ginjal atau saluran pembuangan ginjal

terganggu atau rusak maka fungsi ginjal akan terganggu. Dalam ginjal sendiri

terdapat terdapat jutaan pembuluh darah kecil yang fungsinya sebagai penyaring

guna mengeluarkan produk sisa darah. Jika pembuluh darah di ginjal rusak,

alhasil ada kemungkinan aliran darah berhenti membuang limbah dan cairan

ekstra dari tubuh. Bila extra cairan tubuh meningkat, maka tekanan darah juga

bisa meningkat. Bila hipertensi tidak terkontrol maka akan menyebabkan arteri

32
disekitar ginjal menyempit, melemah dan mengeras. Kerusakan pada arteri ini

menghambat darah yang diperlukan oleh jaringan pada ginjal. Kalau arteri rusak,

maka nefron tidak menerima Oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan sehingga

Fungsi ginjal terganggu dan mengalami Gagal Ginjal ( Sukandar,2006 ).

Parameter yang mengindikasikan Gagal ginjal kronik adalah kadar

kreatinin serum lebih dari 1,5 mg/dL ( Nasir & Ahmad,2014 ).Gagal ginjal akut

mengindikasikan peningkatan kadar kreatinin lebih dari atau sama dengan 0,3

dalam 48jam atau peningkatan kadar kreatinin lebih dari 1,5 x dari nilai kreatinin

awal dalam jangka wakti 7 hari dan terjadi anuria. Namun secara klinis

peningkatan kadar kreatinin serum dua kali lipat mengindikasikan adanya

penurunan Fungsi ginjal 50%.

Distribusi Hasil Natrium dan Kalium serum

Dari data Tabel 4.2.3 menunjukkan prosentase kadar natrium serum pada

penderita hipertensi dengan gagal ginjal memiki kadar natrium rendah /

hiponatremia ( 62,5% ) dan natrium normal (37,5%). Penelitian tersebut

didasarkan pada kondisi komorbiditas dan tingkat keparahan penyakit ginjal.

Menurut salah satu peneliti lain, Hiponatremia merupakan gangguan elektrolit

yang paling umum ( tambajong dkk, 2016 ). Pada ginjal sistem renin angiotensin

dan aldostreron berperan dalam timbulnya hipertensi. Renin berperan pada

konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang mempunyai efek

vasokonstriksi. Angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang berakibat

pada retensi natrium sehingga ekskresi urine meningkat ( Yaswir& Ferawati,

2012: 82 ). Gangguan glomerulus dan tubulus pada ginjal serta retensi urin yang

33
berlebihan akibat hormon antidiuretik menyebabkan hiponatremia.Secara klinis

kadar natrium normal pada pasien hipertensi dengan gagal ginjal terjad jika pasien

disertai muntah dan diare berat sehingga elektrolit banyak yang terbuang ( Loss of

electrolit ) dan pasien mendapat asupan infuse NaCl.

Dari data Tabel 4.2.4 menunjukkan prosentase kadar kalium serum pada

penderita hipertensi dengan gagal ginjal memiliki kadar Kalium normal (62,5%)

di ikuti kalium tinggi / Hiperkalemia (37,5%) dan hipokalemia (12,5%). Kalium

adalah ion intraseluler utama dalam tubuh daan berperan penting dalam menjaga

fungsi sel. Sedikit terjadi prubahan dalam distribusi ini dapat menyebabkan

hipokalemia / Hiperkalemia. Jika ada kerusakan jaringan yang signifikan,

kandungan sel termasuk kalium akan bocor ke dalam kompartemen ekstraseluler

yang menyebabkan peningkatan kalium dalam serum yang berpotensi berbahaya

(Gaw, 2011). Jika fungsi Ginjal terganggu, ginjal tidak mampu membuang

kelebihan kalium dalam tubuh. Kondisi ini menyebabkan jumlah kalium dalam

tubuh meningkat ( Hiperkalemia ). Jika jumlah kalium dalam tubuh > 5,3 mmol/L

maka pasien dkatakan hiperkalemia dan jika sudah mencapai > 6,6 mmol/L dapat

terjadi aritma yang serius atau terhentinya denyut jantung. Kalium di filtrasi di

glomerulus, sebagian besar di reabsorbsi bersama dengan natrium dan klorida di

lengkung henle. Kalium dikeluarkan dari tubuh melalui traktus gastrointestinal

kurang dari 5%, dan melalui urine mencapai 90% dan mengakibatkan

Hipokalemia ( Yaswir dan Ferawati,2012 ). Penggunaan diuretic, diare, obat

pencahar secara kronis adalah penyebab paling umum hipokalemia.

34
4.3 Studi Kasus 3 “ Gambaran Hasil Komponen Leukosit Pada Penderita

dengan pemeriksaan widal positif “.

jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif


analitik yang bersifat studi komparatif yaitu untuk mengetahui gambaran hasil
koponen leukosit pada pederita dengan pemeriksaan widal positif.
Tabel 4.3.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium :

Responden Leukosit Lym MXD Neut O H A B


µL % % %
Ny: N 7.900 11,5% 17,6% 70,9% 𝟏 𝟏 - -
𝟑𝟐𝟎 𝟏𝟔𝟎
Nn: K 5.100 9,6% 3,7% 86,7% 𝟏 𝟏 - -
𝟑𝟐𝟎 𝟑𝟐𝟎
Tn: Z 3.700 20,0% 10,9% 69,1% 𝟏 𝟏 - -
𝟔𝟒𝟎 𝟖𝟎
Ny: U 4.300 16,5% 11,4% 72,1% 𝟏 𝟏 𝟏 𝟏
𝟖𝟎 𝟖𝟎 𝟖𝟎 𝟖𝟎
Ny: R 7.100 14,9% 8,8% 76,3% 𝟏 𝟏 𝟏 𝟏
𝟖𝟎 𝟖𝟎 𝟖𝟎 𝟖𝟎
Keterangan :

1. Lym : Limposit

2. MXD : Mixed cell count blood test (mono,eos,baso)

3. Neut : Neutrofil

 Interprestasi widal :
 Positif :Titer tertinggi yang masih menunjukkan aglutinasi
 Negatif: Tidak terjadi aglutinasi
1
Nilai Rujukan Antigen O : 160
1
Nilai Rujukan Antigen H : 160

1
Nilai Rujukan Antigen A : 160

Nilai Rujukan Antigen B : 160

35
 Nilai Normal 4 Komponen :
 Leukosit : 4,300 – 10,300
 Lym % : 15 – 45
 Neut % : 50 – 70
 MXD % : 1,3 – 25,9

Dari hasil pemeriksaan widal pada pasien diketahui sebagai berikut :

1. Hasil leukosit yang didapat pada 5 sampel px didapati hasil leukosit normal

2. Hasil lym yang didapat pada 3 sampel px didapati mengalami penurunan

3. Hasil MXD didapati pada 5 sampel px didapati hasil normal

4. Hasil neutrofil pada 3 sampel px mengalami kenaikan diatas batas normal

5. Hasil widal pada 5 sampel px hanya ditemukan beberapa widal yang positif

Pembahasan

Leukosit berfungsi mempertahankan tubuh terhadap benda – benda asing

termasuk bakteri penyebab infeksi/penyakit, bakteri penyebab infeksi yang

dikenali leukosit adalah salmonella typhi, salmonella paratiphy, staphyllococus &

streptococus. Jenis leukosit yang berperan dalam hal ini adalah monosit, neutrofil

dan lym sehingga sering ditemukan neutropeni, lukopeni polimorfonuklear

dengan limfosis yang relatif pada demam yang merupakan arah diagnosis demam

tifoid dengan widal menjadi jelas.

Apabila Presentase hasil neutrofil mengalami peningkatan maka disebut

neutofilia. Hal ini disebabkan oleh infeksi bakteri,virus /jamur akut, gangguan

metabolisme, dan perdarahan. Peningkatan jumlah neutrofil berkaitan dengan

36
tingkat keganasan infeksi. Derajat neutrofilia sebanding dengan jumlah jaringan

yang mengalami inflamasi. Jika peningkatan neutrofil lebih besar daripada sell

darah merah total mengindikasikan infeksi yang berat. Faktor pengganggu kondisi

fisiologis seperti stres, senang, takut, marah,olahraga sementara yang bisa

meningkatkan peningkatan neutrofil. Hal yang harus diwaspadai Agranulositosis (

ditandai dengan neutropenia dan leukopenia ) sangat berbahaya dan sering

berakibat fatal.

Untuk mencegah terjadinya kenaikan hasil leukosit dianjurkan agar pasien

untuk menjaga makanan dan kebersihan serta pemberian antibiotik sesuai anjuran

dokter.

37
4.4 Studi Kasus 4 “ kadar Glukosa, Ureum, Creatinin dan Trigliserida pada
serum segar dan serum simpan 10 hari pada suhu 2-8 ˚C di Poliklinik
Pratama Pertamina Surabaya ”.

Tabel 4.4.1 Hasil Laboratorium dengan penundaan pemeriksaan

Nama
Hari Pasien Glucosa Urea Creatinin Trigliserida
1 Radikin 75 38,7 1,45 97
2 72 37,9 1,31 89
3 72 38,7 1,32 88
4 100 46,4 1,79 128
5 94 50,8 1,81 126
6 92 50,1 2,15 119
7 89 52,9 1,98 113
8 105 58,4 2,02 162
9 113 73,1 2,29 187
10 128 72,9 2,52 211
Keterangan : Sample serum di simpan dalam frezeer suhu 2~8oC

Tabel 4.4.2 Presentase hasil Laboratorium dengan penundaan pemeriksaan

Hari Glukosa Urea Creatinin Trigliserida


1 0% 0% 0% 0%
2 (-) 4 % (-) 2 % (-) 9,6 % (-) 8,2 %
3 (-) 4 % 0% (-) 8,9 % (-) 9.2 %
4 (+) 33,3 % (+) 19,8 % (+) 23,4 % (+) 31,9 %
5 (+) 25,3 % (+) 31,2 % (+) 24,8 % (+) 29,8 %
6 (+) 22,6 % (+) 29,4 % (+) 48,2 % (+) 22,6 %
7 (+) 18,6 % (+) 36,6 % (+) 36,5 % (+) 16,4 %
8 (+) 40 % (+) 50,9 % (+) 39,3 % (+) 67%
9 (+) 50,6 % (+) 88,8 % (+) 57,9 % (+) 92,7 %
10 (+) 70,6 % (+) 88,3 % (+) 73,7 % (+) 117,5 %
Keterangan : (-) menurun, (+) meningkat

38
Tabel 4.4.3 Nilai Control serodos dalam kurun waktu penelitian
Hari Glukosa Urea Creatinin Trigliserida
1 93 33,0 0,94 128
2 96 34,1 0,93 132
3 100 32,3 1,14 124
4 94 33,1 1,03 127
5 98 35,1 1,05 125
6 96 34,4 1,34 135
7 84 32,5 1,05 118
8 85 30,0 0,92 131
9 82 30,7 1,08 127
10 83 29,0 1,02 130

Pada studi kasus ini ATLM mengambil judul “kadar Glukosa, Ureum,
Creatinin dan Trigliserida pada serum segar dan serum simpan 10 hari pada
suhu 2-8 ˚C di Poliklinik Pratama Pertamina Surabaya”.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik. Yaitu untuk
melihat variasi pemeriksaan kadar Glukosa, Ureum, Creatinin dan
Trigliserida pada serum segar dan serum simpan 10 hari pada suhu 2-8ºC.
Sebelum dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu dilakukan QC (quality
control) terhadap automatic Humastar 100 menggunakan serum kontrol
serodos pada table 4.4.3 dengan rentang nilai target serodos
Glucosa Liquicolor 80-110 mg/dl
UrealiquiUV 26,3-41,1 mg/dl
Auto-Creatinin 0,87-1,35 mg/dl
Trigliserida 117-169 mg/dl
artinya alat automatic Humastar 100 dalam kondisi bagus, mampu membaca
kadar glukosa, Ureum, Creatinin dan Trigliserida dengan akurat dan siap
digunakan untuk penelitian.
Serum merupakan bagian cairan darah tanpa faktor pembekuan atau sel
darah. Serum didapatkan dengan cara membiarkan darah di dalam tabung

39
reaksi tanpa antikoagulan membeku dan kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan tinggi untuk mengendapkan sel-selnya, cairan diatas yang
berwarna kuning jernih disebut serum (Evelyn, 2009).
Serum harus segera dipisahkan dari bahan bekuan darah dalam sampel
atau paling lambat 2 jam setelah pengambilan darah untuk menghindari
perubahan-perubahan dari zat-zat yang terlarut di dalamnya oleh pengaruh
hemolisis darah (Hardjoeno, 2003).
Sampel serum stabil selama kurang dari 2 jam. Darah yang tidak
disentrifus akan berlangsung proses glikolisis. Glikolisis menurunkan kadar
glukosa 5–7 % per jam (5- 10 mg/dl) (Morgan dalam Kardika, 2013).
Jika dilakukan penyimpanan serum seharusnya disimpan di tempat yang
suasana gelap, dan dalam tabung atau botol yang berisi serum dibungkus
dengan kertas hitam atau aluminium foil untuk menjaga stabilitas serum dan
disimpan pada suhu yang rendah atau di lemari pendingin (Carl. E.
Speicher, 2004).
Banyak disebutkan didalam brosur kit reagen, penundaan sampel untuk
pemeriksaan dilakukan dengan cara menyimpan serum pada tabung yang
tertutup rapat. Salah satu kit reagen yang menyebutkan bahwa serum boleh
dilakukan penyimpanan pada suhu 2-8˚C dapat bertahan selama 3 hari
(Beckmen Coulter, 2009).
Di lihat dari tabel 4.4.1 diatas menunjukan bahwa hasil pemeriksaan
Glukosa, Ureum, creatinin dan trigliserida pada serum segar dan serum
simpan 10 hari pada suhu 2- 28 8 ºC terjadi penurunan nilai pada hari kedua
dan ketiga serta pada hari keempat dan seterusnya terjadi variasi hasil.
Namun hasil dari serum yang disimpan 4 hari sampai dengan 10 hari pada
suhu 2-8 ºC memilki hasil yang berbeda dengan hasil serum segar maupun
dengan hasil serum simpan 3 hari, hal ini terjadi karena ketahanan serum
yang disimpan pada suhu 2-8 ºC tidak bisa terlalu lama walaupun dilakukan
perlakuan pencegahan terpapar cahaya, apabila disimpan lebih dari 3 hari
harus pada suhu - 20 ºC bahkan dapat bertahan sampai 1 bulan lamanya
(Beckman Coulter, 2009).

40
Demi menghindari keraguan tersebut maka alangkah baiknya
mengambil maksimum yang 3 hari.
Dapat disimpulkan bahwa masa stabilitas serum pada suhu 2-8 ºC untuk
pemeriksaan glucosa darah, Ureum, creatinin dan trigliserida adalah selama
3 hari, setelah itu kadar glucosa darah, Ureum, creatinin dan trigliserida
akan mengalami variasi hasil pemeriksaan.

4.5 Studi Kasus 5 “ Perbedaan Hasil Nilai Glukosa, SGOT dan SGPT Pada
Pemeriksaan Serum Segera dan Tunda ’’.

Lampiran hasil Laboratorium

Tabel 4.5.1 Hasil Laboratorium dengan penundaan pemeriksaan

NO NAMA HARI GLUCOSE SGOT SGPT


PASIEN
1. NY. X Segera 216 30 32
/ 24 jam 210 32 34
/ 48 jam 208 35 38
/ 72 jam 202 42 44
/ 96 jam 198 48 52
/ 120 jam 197 54 59
/ 144 jam 200 58 63

Tabel 4.5.2 Prosentase hasil laboratorium dengan penundaan pemeriksaan

HARI GLUCOSE SGOT SGPT

Segera 0% 0% 0%
/ 24 jam 2,7 % 6% 6%
/ 48 jam 3,7 % 16 % 18 %
/ 72 jam 6,4 % 40 % 37 %
/ 96 jam 8,3 % 60 % 62 %
/ 120 jam 8,7 % 80 % 84 %
/ 144 jam 7,4 % 93 % 96 %

41
Jenis peneilitian yang digunakan adalah penelitian analitik yaitu untuk
melihat variasi pemeriksaan kadar glucose, SGOT dan SGPT pada serum
segera dan serum tunda selama 7 hari.

Sebelum dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu dilakukan quality


kontrol terhadap alat photometer BSA-3000 menggunakan serum kontrol
certify 1.

Pemeriksaan Laboratorium kesehatan terutama di bidang kimia klinik


merupakan hal yang sangat menentukan dalam menegakkan diagnosis,
monitoring terapi, dan evaluasi tindakan medis. Hasil pemeriksaan
laboratorium yang akurat dan dapat dipercaya, perlu perhatian terhadap
tahap pra analitik, analitik, dan pasca analitik (Hardjono, 2007).

Pemeriksaan laboratorium klinik itu sendiri terdiri dari berbagai


macam pemeriksaan, dalam studi kasus ini saya meneliti perbedaan hasil
pemeriksaan serum parameter GLUCOSE, SGOT & SGPT yang dilakukan
secara LANGSUNG dan TUNDA yang saya lakukan di puskesmas
kedungdoro.

Adapun tujuan dari penelitian yang saya lakukan adalah untuk


mengetahui apakah ada perbedaan hasil dari pemeriksaan serum yang
dilakukan saat itu juga atau LANGSUNG dan pemeriksaan serum TUNDA
selama / 24 jam , / 48 jam, / 72 jam, / 96 jam, / 120 jam, / 144 jam.

Dalam subjek penelitian hasil perbandingan pemeriksaan ini untuk


menentukan nilai hasil pemeriksaan yang saya gunakan, faktor yang
menentukan adalah :

1. cara penyimpanan serum

2. suhu penyimpanan serum

3. waktu penyimpanan serum

Dalam hal ini saya menyimpan serum dalam wadah serum cup
tertutup rapat kemudian suhu yang saya gunakan berkisar 2 – 8 derajat
celcius dan waktu penyimpanan selama 1 – 6 hari.

Adapun hasil penelitian perbandingan pemeriksaan laboratorium


sebagai berikut :

42
Penjabaran hasil penelitian pemeriksaan paramater GLUCOSE, SGOT
dan SGPT pada tabel 4.5.1dan 4.5.2 menunjukan bahwa untuk parameter
pemeriksaan :

 GLUSOCE pemeriksaan LANGSUNG cenderung NORMAL

 GLUCOSE pemeriksaan TUNDA 1 – 6 hari cenderung TINGGI

 SGOT pemeriksaan LANGSUNG cenderung NORMAL

 SGOT pemeriksaan TUNDA 1 – 6 hari cenderung TINGGI 2-3x lipat

 SGPT pemeriksaan LANGSUNG cenderung NORMAL

 SGPT pemeriksaan TUNDA 1- 6 hari cenderung TINGGI 2-3x lipat

Dengan nilai hasil pemeriksaan yang fluktuatif.

Dari hasil penelitian pemeriksaan perbadingan untuk parameter GLUCOSE,


SGOT dan SGPT menggunakan serum secara LANGSUNG dan TUNDA
yang saya lakukan dapat saya simpulkan bahwa faktor yang berperan penting
dari hasil pemeriksaan tersebut adalah waktu, cara penyimpanan dan suhu
yang digunakan.

43
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Pemeriksaan Serum Elektrolit

Metode : Ion Selektive Electrode ( ISE ) Auto Analyser Elektrolite (Easylite


Expand )
Komposisi : 1. Daily cleaner (Stabil 4 minggu setelah di mixing pada suhu 2 – 8oC)
- Daily Cleaner Diluent 1 x 90 mL
- Daily Cleaner Powder 6 Botol
2. Quality Control Kit ( Suhu 2 – 8oC ) - Level 1 ( Normal )
- Level 2 ( High )
Spesimen : Serum
Pemeriksaan : Secara interval
Suhu : Stabil sampai tanggal kadaluarsa pada suhu 4 – 25 oC
Satuan : mmol/L
4.1.1 Cara Membersihkan dan perawatan alat ( Daily Cleaner )
1. Posisi pada layar harus terlulis ” Stanby ”
2. Tekan” NO ” untuk proses selanjutnya akan tampil ” daily cleaner ”
3. Jika alat belum di daily cleaner maka tekan ” YES ”
4. Akan muncul ” Aspiret ”
5. Masukkan cairan daily pada ujung jarum, lalu tekan tombol ” YES ”
6. Setelah proses cleaning selesai akan muncul ” Stanby ” pada monitor
4.1.2 Cara kalibrasi manual

1. Posisi monitor pada layar tertuliskan ” Stanby ”

2. Tekan ” NO ” akan muncul ” Calibrasi Now ”

3. Tekan ” YES ” akan muncul ” Pum cal ” dan ” wassing

4. Tunggu alat sampai proses kalibrasi ” A dan B ” selesai

5. Jika proses kalibrasi selesai pada layar akan muncul tulisan ” AnalyzeBlood ”

44
4.1.3 Cara Melakukan kwalitas kontrol ( QC )

1. Siapkan serum kontrol normal

2. Posisi monitor pada layar tertuliskan ” Analyze Blood ”

3. Tekan ” NO ” pilih ” Second Menu ”

4. Pilih menu ” Quality Control ”

5. Kemudian tekan ” YES ” Akan muncul ” Run control ”

6. Tekan ” YES ”

7. Pilih ” Normal Control ” kemudian tekan ” YES ”

8. Hisap serum kontrol normal

9. Tunggu sampai proses analisa kontrol selesai

10. Akan muncul ” Store Results ? ” lalu tekan ” YES ” 2 kali

4.1.4 Cara pemeriksaan sampel

1. Siapkaan serum pasien yang akan diperiksa,

2. setelah proses kontrol selasai akan muncul ” Analyze blood ”

3. Kemudian tekan ” YES ” akan tampil pada layar ” Patien ID ”

4. Tekan ”YES ” ( ID 0000 ) Isikan Nomer ID menggunakan tombol ” YES ” atau ” NO ”

5. Kemudian di layar akan muncul ” Correct ”

6. Akan muncul ” probe in blood ”sampel akan terhisap ( Analizing )

7. Tunggu proses analisa sampai hasil tercetak

45
4.2 Pemeriksaan Widal

Prosedur kerja

1. Pra Analitik

a) Persiapan pasien

Pasien sebelumnya diterapi dengan antibiotik

b) Persiapan Alat dan Bahan

1. Alat

a. Alat hematologi analyzer

b. mikropipet

c. yellow tip

d. object glass

e. tabung EDTA

f. tabung centrifuge

g. torniquet

2. Bahan

a. spuite

b. darah

c. serum

d. kapas alkohol 70%

e. batang pengaduk

f. Reagen Salmonella Thypi O

46
g. Reagen Salmonella Thypi H

h. Reagen Salmonella Parathypi BH

c) Persiapan Sampel

1. Mengisi identitas pasien

2. Pengambilan darah vena

a. Persiapkan alat dan bahan

b. Tangan pasien diletakkan di atas meja dengan telapak tangan


menghadap ke atas

c. Lengan diikat cukup erat dengan torniquet untuk membendung


aliran darah, tetapi tidak boleh terlalu kencang sebab dapat merusak
pembuluh darah

d. Dibersihkan lokasi penusukan dengan kapas alkohol 70% dan


biarkan kering

e. Jarum di tusuk ke dalam vena, dengan posisi jarum menghadap ke


atas, dengan sudut 45o

f. Isap darah sampai volume yang dibutuhkan, sementara itu minta


pasien membuka kepalan tangannya

g. jarum di tarik perlahan-perlahan, di plester bagian vena dan lepas


setelah 15 menit

h. Darah dipindahlan dari spoit ke dalam dan di alirkan lewat


dinding tabung yang tersedia

3. Cara memperoleh serum

a. Disediakan tabung centrifuge yang bersih dan kering

47
b. Darah dialirkan lewat dinding tabung sebanyak 1 ml, kemudian
diamkan beberapa menit lalu dimasukkan kedalam centrifuge putar
selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm.

c. Tabung dikeluarkan dari centrifuge, cairan kuning yang terdapat


dibagian atas yang digunakan sebagai bahan pemeriksaan.

2. Analitik

2.1 Prosedur kerja alat hematologi analyzer

a. Disiapkan alat dan bahan

b. Darah didalam tabung EDPA sebanyak 2 ml

c. Masukkan kedalam alat hematologi analyzer

d. tunggu hingga mesin bekerja kurang lebih 3 menit

2.2 Prosedur kerja widal metode slide

a. Disiapkan alat dan bahan

b. serum di pipet sebanyak 20 µl, 10 µl, 5 µl

c. serum, diteteskan diatas papan slide

d. tambahkan reagen widal sebanyak 40 µl pada tiap lingkaran yang telah


ditetesin serum, maka pengencerannya adalah 1:80, 1:160, 1:320

e. Campur reagen widal dan serum hingga homogen dengan menggunakan


batang pengaduk

f. Kemudian baca hasil dengan melihat adanya aglutinasi dalam waktu 1


menit.

48
3. Pasca Analitik

Bila terjadi aglutinasi, dikatan reaksi widal positif yang berarti serum
tersebut mempunyai antibodi terhadap salmonella Typhi dan bila tidak
terjadi aglutinasi maka dikatakan serum seseorang tidak mempunyai
antibodi terhadap Salmonella Typhi

Tabel 4.2 Interpretasi hasil

No Sample µl Reagen µl Titer


1 20 40 1/80
2 10 40 1/160
3 5 40 1/320

4.3 Pemeriksaan Glukosa

Metode : GOD – PAP

Komposisi : -RGT : Reagen enzym 4 x 100 ml

-STD : Standar Glucose ( 100 mg /dl ) 1 x 3 ml

Spesimen : Serum, plasma

Pemeriksaan : Secara seri

Panjang gelombang : Hg 546 nm ( 500 nm )

Suhu : 20..... 25° C

Satuan : mg / dl

Normal range : Puasa = 75 – 115 mg / dl

Linearitas : Linear sampai konsentrasi 400 mg /dl.

Kontrol Kualitas : Humatrol atau Serodos

49
4.4 Pemeriksaan Urea liquiUV

Metode : Urease / GLDH

Komposisi : - ENZ : Reagen Enzym 8 x 40 ml

-SUB : Reagen Substrat 8 x 10 ml

- STD : Standar Urea ( 80 mg / dl ) 1 x 3 ml

Spesimen : Serum, plasma ( kecuali plasma amonium heparinat),


urine 24 jam Urine diencerkan 1 + 100 aquadest

Pemeriksaan : Secara interval

Panjang gelombang : Hg 334 nm, 340 nm, 365 nm

Suhu : 25° C ,30C atau 37C

Satuan : mg / dl

Faktor konversi BUN : Urea x 0,466

Normal range Urea : serum / plasma : 10 – 50 mg /

Urine 24 jam : 20 – 35 g /24 jam

BUN : serum / plasma : 4,6 – 23,3 mg / dl

Urine 24 jam : 9.3 – 16,3 g /24 jam

Linearitas : Linear sampai konsentrasi 500 mg/dl (serum/plasma), 500 g/l


(urine).

Kontrol Kualitas : Humatrol atau Serodos

4.5 Pemeriksaan Auto-Creatinin

Metode : Jaffe kinetik

Komposisi : PIC : Asam pikrat 1 x 50 ml

NaOH : Natrium hidroksida 2 x 100 ml

STD : Standar Creatinin ( 2 mg / dl ) 1 x 5 ml

50
Stabil : sampai tanggal kedaluarsa pada suhu 15.....25C

Spesimen : Serum, plasma heparin, urine 24 jam ( encerkan urine 1 + 4 aquadest )

Pemeriksaan : Secara interval

Panjang gelombang : Hg 492 nm ( 490 - 510 nm )

Suhu : 37° C

Satuan : mg / dl

Normal range : Laki – laki : 0,6 – 1,1 mg / dl

Wanita : 0,5 – 0,9 mg / dl

Urine 24 jam : 1000 – 1500 mg / 24 jam

Creatinin Clearence

Laki – laki : 98 – 156 ml / menit / 1,73 m2

Wanita : 95 – 160 ml / menit / 1,73 m2

Linearitas : Linear sampai konsentrasi 15 mg/dl (serum/plasma),500


mg/dl(urine)

Kontrol Kualitas : Humatrol atau Serodos

4.6 Pemeriksaan Trigliserida

Metode : GPO – PAP dengan LCF ( Lipid Clearing Factor )

Komposisi : RGT : Reagen mono 4 x 100 ml

STD : Standar Trigliserida ( 200 mg/dl ) 1 x 3 ml

Spesimen : Serum, plasma heparin atau EDTA

Pemeriksaan : Secara seri

Panjang gelombang : Hg 546 nm ( 500 nm )

Suhu : 20 ..... 25° C

Satuan : mg / dl

Normal range : < 150 mg / dl

Linearitas : Linear sampai konsentrasi 1000 mg /dl.

51
Kontrol Kualitas : Humatrol atau SerodoS

4.7 Prosedur Kerja alat Humastar 100

1. Menghidupkan alat
 Tekan Power ON pada alat
Tombol kuning untuk Cooler (pendingin reagent)
Tombol merah untuk Menghidupkan alat
 Tempatkan reagen tray
 Pastikan penutup reagent terbuka
 Pastikan diluent ( NaCl 0,9 % ) di posisi 30 sampel tray
 Hidupkan komputer
 Klik “HI” ( Sofware h.100 )
 Masukkan ID ( user )
 Password ( user )
2. Melakukan Star Up ( ± 45 menit )
 Klik tombol maintenance
 Klik Star Up → OK atau
 Klik Exit
 Klik Star Up ( warna hijau ) → OK
Not : Setelah 24 jam otomatis star up akan terlihat di monitor, klik OK
3. Mengecek Volume Reagent
 Tempatkan reagent di posisinya

 Klik Menu Reagent

 Klik Check Levels


Not : Untuk volume reagent di botol besar minimal 5 ml dan botol kecil
minimal 3 ml
4. Running sampel

 Pilih menu sampel


 Input ID pasien (manual atau auto)
 Tentukan Posisi sampel (manual atau auto)

52
 Pilih tube (tabung) atau Cup
Volume serum untuk TABUNG minimal 1 ml ( 1000µl )
Volume serum untuk CUP minimal
200 µl
 Isi referensi ( Nama Dokter )
 Pilih type ( serum )
 Pilih Link Patient
 Klik New
 Input data pasien ( Nama, alamat, dll )
 Klik Comfirm → Ok

 Klik add sampel


 Pilih menu WorkList
 Pilih Test ( otomatis Ke blok )
 Pilih method group
 Pilih Parameternya
 Blok parameter yg akan di periksa
 Klik Excute Test

 Klik Star ( Warna Hijau )


Star dilakukan hanya diawal saja, selanjutnya di excute, alat akan
running
Not : Untuk sampel Cyto, pilih Urgent
5. Melakukan Control ( QC )

 Pilih menu Sampel


 Pilih QC
 Klik ID
 Pilih controlnya (ex : Humatrol/Serodos)
 Pilih posisi control (manual atau auto)
 Pilih Cup

 Klik add sampel

53
 Pilih Worklist
 Klik Control
 Pilih parameternya
 Blok parameter yg akan di kontrol
 Klik Excute test
6. Melakukan Kalibrasi Reagent

 Pilih menu sampel


 Pilih calibrator
 Klik ID
 Pilih kalibratornya (ex : AutoCal)
 Pilih posisi calibrator (manual atau auto)
 Pilih Cup

 Klik add sampel


 Pilih Worklist
 Klik Calibrator

Catatan : LCF dapat mencegah hasil tinggi palsu, karena LCF menjernihkan
kekeruhan yang disebabkan

54
DAFTAR PUSTAKA

Aritonang I. [Tesis] Hubungan karakteristik dan tindakan ibu dalam pemeliharaan


kesehatan gigi dengan status kesehatan gigi dan mulut anak di SD kecamatan
Medan tuntungan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara Medan. 2012 ; p.1.
A.V. Hoffbrand, J.E. Petit, et al. 2009. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Barbara, BA. Hematology principle and procedure. 4th edition. Boston :

Department of Hematology Tufts New England Medical Center Hospital.

1984.

Beckman Coulter, (2009) .Total Bilirubin. USA: OSR General Chemistry.

Dacie JV, Lewis SM. Practical haematology. 5th edition. London:


Churchill Livingstone. 1977.
Dahlan S. 2014. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta. Arkans

Djaja, R et al. 2013. Gambaran Gejala Klinik, Hemoglobin, Leukosit, Trombosit

Dan Uji Widal Pada Penderita Demam Tifoid Dengan IgM Anti Salmonella

Typhi (+) di Dua Rumah Sakit Subang Tahun 2013. Universitas Maranatha.

Carl E Speicher,M.D, (2004). Pemilihan Uji Laboratorium Yang Efektif. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Effendi I, Markum H. Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Ginjal. In: Sudoyo


AW, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Bagian
Penyakit Dalam FKUI; 2006. p. 506-7.

55
Evelyn Pearce. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia. Jakarta.

Cetakan 33

Fatmawati, Arkhaesi, Hardian. 2011. Uji diagnostik tes Serologi Widal

dibandingkan dengan Kultur darah sebagai baku emas untuk diagnostik

demam tifoid pada anak di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran

Undip. Semarang.

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Terjemahan). 9th ed.
Setiawan I, editor. Jakarta: EGC; 1997.
Guyton, A.C, John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi. Kedokteran. EGC. Jakarta

Hardjoeno. Intepretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik Bagian Dari

Standar Pelayanan Medik. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin.

Jakarta. 2007. 337 – 51.

Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T, editor.

Tatalaksana demam berdarah dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat

Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.

2006.

Hardjoeno,dkk. 2003. Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Lephas.

http://repository.unimus.ac.id.

Joyce. L, 2007. Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. EGC : Jakarta

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Info Pusat Data dan Informasi Hipertensi.

Jakarta : PusdatinKemkes.

56
Kovesdy, C.P. 2012. Signifikansi antara Hipo dan Hipernatremia pada Penyakit

Ginjal Kronis. Nephrol Dial TransplantArticle, 27:891-8.

Morgan, Jeff. 2007. Collecting, Processing and Handling Venous, Capillaryand

Blood Spot Samples. Available from:

www.idpas.org/SCNReportSite/supplements/ PATH% 20 supplement%20

BloodCollectionManual.pdf (Akses : 6 juli 2008).

National Kidney Foundation, K/DOQI. Clinical Practice Guidelines for Chronic

Kidney Disease : Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney

Dis. 2002;39(1).

O’Callaghan C. At a Glance Sistem Ginjal (Terjemahan). 2nd ed. Safitri A,

Astikawati R, editors. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2009.

Pagana KD, Pagana TJ. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Tests. 2nd

ed. St Louis: Mosby; 2002.

Pearce dan Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis.Edisi

ke-35. Jakarta: Gramedia.

Perkumpulan Endrokinologi Indonesia. Petunjuk Praktis Penatalaksanaan

Dislipidemia. PERKENI; 2005.

Poedjiadi, 1994, Jakarta, “Dasar-Dasar Biokimia”. UI Press

57
Riswanto. Kreatinin Darah. [internet]; 2010 [updated 2010; cited 2011 Nov 22];

Available from: http://labkesehatan.blogspot.com/2010/03/kreatinin-

darahserum.html.

Riswanto. Pemeriksaan Lipid. [internet]; 2010 [updated 2010; cited 2011 Nov
23]; Available from :
http://labkesehatan.blogspot.com/2010/02/pemeriksaanlipid.html.
Riswanto. Ureum Darah. [internet]; 2010 [updated 2010; cited 2011 Nov 22];
Available from: http://labkesehatan.blogspot.com/2010/03/ureum-
darahserum.html.
Ronald A. Sacher& Richard A. McPherson, alih bahasa : Brahm U. Pendit dan
Dewi Wulandari, editor : Huriawati Hartanto, Tinjauan Klinis Hasil
Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 11, EGC, Jakarta, 2004.
Soebiyanto dan Harti, A.S. 2017. Biokimia Dasar untuk Profesi Kesehatan.
Jakarta Timur : CV. Trans Info Media.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M.K., Setiati, S. 2009. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : InternaPublishing.
Suhartono T. Dislipidemia pada Diabetes Mellitus. In: Darmono, Suhartono T,
Pemayun TG, Padmomartono FS, editors. Naskah Lengkap Diabetes Mellitus
Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit Dalam. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2007. p. 31-4.
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah
dengue. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi V. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Hal 2773-2779.
Suryadi dan Marzuki. 1983. Pemeriksaan Faal Hati. Cermin Kedokteran. No. 30.
Vol. 1. 14 – 19.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk030diagnosislaboratorium.pdf

58
Sustrani, L., Alam, S. Dan Hadibroto, I. 2005. Hipertensi. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Sutedjo, AY. Mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan laboratorium.
Yogyakarta : Medika Fakultas Kedokteran UGM. 2007.
Suwandono Agus, Nurhayati, Ida Parwati, dkk. Perbandingan
nilai diagnostic trombosit, leukosit, antigen NS1, dan antibodi IgM
antidengue. Jurnal Indonesian Medical Association Volum 61 Hal 8. 2011.
Turgeon, ML. Clinical hematology theory and procedures. Boston.
4th edition. Boston : A Wolters Kluwer Company. 2004.
Tambajong, R.Y., Rambert, G.I. dan Wowor, M.F. 2016. Gambaran Kadar
Natrium dan Klorida pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5
NonDialisis. Jurnal e-Biomedik, 4(1), 2.
Yaswir, R. dan Ferawati, I. 2012. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan
Natrium, Kalium, dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal
Kesehatan Andalas, 1(2), 83.

59
LAMPIRAN – LAMPIRAN

Lampiran Studi Kasus 4

Pemeriksaan Kimia Klinik sejak awal Desember 2014 telah menggunakan


automatic clinical chemistry, berikut perbandingan nilai CV antara bulan Maret,
Februari, Januari 2019.

Parameter CV maret 19
Glukosa 3,4%
Kreatinin 6,4%
Urea 14%
Trigliserida 7,4%

Catatan: CV menunjukkan variasi suatu pemeriksaan. Semakin kecil nilai CV


maka kualitasnya semakin baik (ideal <10%).
Berikut Grafik Levey Jening Parameter Glukosa, BUN, Creatinin dan Trigliserida

GRAFIK 1. GLUKOSA

60
GAMBAR 2. UREA

GAMBAR 3. TRIGLISERIDA

61
GAMBAR 4. KREATININ

62

Anda mungkin juga menyukai