Anda di halaman 1dari 2

Diskusi 5

Hukum di formulasikan sebagai manifestasi gagasan untuk menciptakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban tersebut secara empiris.Oleh karena itu tentunya sebelum ada hukum itu ada perisitiwa yang
secara harfiah melanggar norma tidak tertulis di dalam masyarakat.Sehingga di formulasikan hukum
untuk membuat kepastian secara preventif,protektif dan konsolidatif.Karena latar belakang pembuatan
aturan hukum itu berdasar pada fakta empiris maka aturan hukum itu baru di buat setelah ada perisitiwa
yang “tidak bisa di terima oleh masyarakat pada umumnya”.Dengan kata lain apabila belum pernah ada
perisitiwa tersebut maka aturan belum ada.Keadaan seperti inilah yang penulis menyebutnya “Hukum
selalu tertinggal satu langkah dari peradaban manusia”.Dengan melihat keadaan social di bidang
informasi,teknologi dan peradaban manusia lainnyayang selalu berkembang akan selalu ada peristiwa
baru yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

Sementara itu hukum pidana kita mengenal adagium ‘nulla poena sine culpa praevia legi poenale” yang
di jadikan sebagai asas legalitas undang- undang pidana di Republik ini yaitu “tidak ada suatu tindakan di
nyatakan bersalah sebelum di undangkan aturan yang mengatur tentang tindakan tersebut”.Oleh karena
itu hukum tidak berlaku surut,akibatnya akan banyak sekali peristiwa inpunitas seiring dengan
perkembangan keadaan sosial yang sangat signifikan.Dalam keadaan pragmatis tersebut apakah kita
akan menerima begitu saja di perdaya oleh hukum?

Keadaan seperti diatas tidak perlu terjadi apabila kita mengintepretasikan hukum sebagai skema artifisial
yang tidak terbatas pada makna tekstualitasnya saja.Inti dari hukum bukanlah pada undang – undang
yang secara eksplisit tertulis hitam di atas putih, namun substansinya hukum itu terdapat pada manusia
yang menjalankan hukum tersebut.Selayaknya kita sebagai manusia yang di berikan kecerdasan
intelektual dalam otak dan di anugrahi kecerdasan spiritual di dalam sanubari.Maka seyogyanya manusia
menjalankan hukum dengan menggunakan kecerdasan spiritual dan intelektual secara selaras dan
berimbang.Penegakan hukum secara positivisme yang terikat kaku pada sebuah aturan tetulis adalah
merupakan pembodohan manusia oleh hukum.Karena manusia akan kehilangan kecerdasan spiritualnya
yang merupakan anugrah paling istimewa yang di berikan sang pencipta.

Menafsirkan hukum secara progresif seperti yang di cetuskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo membawa
solusi untuk keluar dari belenggu hukum yang kaku.Intepretasi hukum bukan pada arti sebuah kalimat
saja,namun dengan pemahaman pola pikir ( Mindset ).Sehingga apabila ada peristiwa baru yang belum
di atur secara eksplisit namun itu merupakan sebuah kejahatan dan sudah timbul korban.Modus dan
motifnya pun jelas,maka tidak perlu menunggu sebuah aturan baru untuk membawa ke
peradilan.Pemahaman seperti ini akan meminimalkan suatu peristiwa kekosongan hukum
( Inpunitas).Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah pemahaman tentang definisi dari surat – surat
sebagai alat bukti.Apakah short massage service ( SMS ) yang berupa tulisan tersebut bisa dijadikan alat
bukti seperti halnya surat – surat?Sebelum adanya Undang – Undang Informasi dan Tekhnologi hal
tersebut sempat di perdebatkan.Mestinya dengan pendekatan pemahaman pola pikir maka karena pada
waktu menggagas KUHP dahulu belum ada kecanggihan seperti SMS dan seiring dengan perkembangan
teknologi orang berkirim surat di gantikan dengan sms maka sudah tidak perlu lagi memperdebatkan
peran dan fungsi SMS apakah bisa di samakan dengan surat yang dikirim lewat kantor Pos seperti jaman
dulu.

Pemahaman progresifseperti ini juga menutup celah sebagian anggota masyarakat yang menggunakan
hukum sebagai alat untuk melakukan kejahatan.

Sumber bacaan:

https://www.kompasiana.com/kukuhtirtas/5500b142813311501afa7abf/hukum-selalu-tertinggal-satu-
langkah-dari-peradaban-manusia

Anda mungkin juga menyukai