Anda di halaman 1dari 13

BHISAMA PARISADA TENTANG KESUCIAN PURA

Pergulatan Interpretasi Atas Kawasan Suci


Pura Uluwatu

Oleh:
Ida Ayu Komang Arniati
Universitas Hindu Indonesia, Denpasar
idaayuarniati@yahoo.com

Abstract

Two regulations have concerned the sacred site of Uluwatu Temple, namely, first, the Bali provin-
cial government regulation number 16 of 2009 about the space arrangement plan of the Bali provin-
cial area in the year of 2009-2029 which accommodates the Bhisama (consensus) about the sacred-
ness of the temple. Second, the traditional law by Desa Adat Pecatu has also regulated alas kekeran
or karang kekeran. There seems to be a contradiction between these two regulations. While, the ear-
lier, the provincial government regulation of Bali 2009-2029, regulates the radius of the sacred area
for about apeleneng agung ‘five kilometers’, the later, the traditional law issued by Desa Adat Pe-
catu, regulates the alas kekeran or the karang kekeran with the radius of less than one kilometers.

Abstrak

Ada dua jenis pengaturan mengenai Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu pertama, Peraturan Dae-
rah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun
2009-2029 yang di dalamnya memuat Bhisama Kesucian Pura, dan yang kedua, hukum adat Desa
Adat Pecatu yang memuat alas kekeran atau karang kekeran. Di antara kedua pengaturan tersebut
terjadi kontradiksi, yakni Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 yang memuat Bhisama Kesucian Pura mengatur
radius tempat suci adalah apeneleng agung yakni lima kilometer, sedangkan hukum adat Desa Adat
Pecatu memuat alas kekeran atau karang kekeran dengan radius kurang dari satu kilometer.

Kata kunci: Bhisama Parisada, Pura Uluwatu

I. PENDAHULUAN kan adanya hirofani, yakni kehadiran yang sakral


yang membuatnya terpisah dari lingkungan kos-
1.1 Latar Belakang Masalah mik yang melingkupinya dan membuatnya ber-
Pura sebagaitempat suci umat Hindu adalah beda secara kualitatif. Sedangkan ruang yang
tempat memuja Tuhan (Ida Hyang Widhi Wasa) profan adalah homogen dan netral, yakni tidak
dengan segala manifestasinya (prabawa) dan ada perbedaan kualitatif yang membedakan sa-
roh suci Leluhur (Atma Sidha Dewata). Pura tu bagian dengan bagian yang lainnya, karena
senantiasa dikelilingi oleh tembok batas untuk itu tidak ada orientasi nilai di dalamnya (Eliade,
membedakan areal pura sebagai ruang sakral 2002: 15-19).
dengan tempat di luar tembok pura sebagai ru- Pura sebagai tempat suci perlu dijaga kesuci-
ang profan. Setiap ruang yang sakral menanda- annya secara niskala (tidak nyata) dan secara

DHARMASMRTI
100
Vol. XIII Nomor 26 Oktober 2015 : 1 - 135
sekala (nyata). Menjaga kesucian pura secara tah Provinsi Bali dan Parisada) menginginkan
sekala disebut marerisak dan menjaga kesucian agar Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu yang
pura secara niskala disebut mareresik. Mareri- radiusnya apeneleng agung minimal lima kilo-
sak berarti pura harus selalu bersih, baik hala- meter dari sisi luar tembok pura dilaksanakan.
man, tembok penyengker, pemedalan (pintu ke Kelompok penolak (krama Desa Adat Pecatu)
luar pura), maupun bangunan-bangunan yang menginginkan agar radius Kawasan Tempat Su-
ada di pura, termasuk pula ditanami bunga yang ci Pura Uluwatu adalah alas kekeran dengan ja-
biasa dipakai untuk banten (upakara) dalam rak kurang dari satu kilometer. Bertitik tolak
persembahyangan. Mareresik berarti menjaga dari penjelasan yang disampaikan di atas, pada
kesucian pura dengan melakukan upaya-upaya: kesempatan ini dilakukan penelitian dalam ben-
upacara rerahinan, menaati ketentuan larangan tuk disertasi dengan judul ”Bhisama Parisada
masuk pura, menaati ketentuan larangan tentang Kesucian Pura: Pergulatan Interpretasi
melakukan kegiatan yang tidak boleh dilakukan atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu”.
di pura, melaksanakan pujawali secara periodik,
melaksanakan upacara secara insidental 1.2 Rumusan Masalah
(padgatakala), mengadakan upacara pemarisud- Rumusan masalah yang diajukan dalam
ha bila pura kesepungan, yakni ternoda karena penelitian ini sebagai berikut:
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan kesu- (1) Mengapa terjadi pergulatan interpretasi
cian pura maupun karena bencana alam (Ditjen Bhisama Parisada atas Kawasan Tempat
Bimas Hindu Departemen Agama, 2009: 15-17). Suci Pura Uluwatu?
Pura sebaiknya dijaga kesuciannya dan lem- (2) Bagaimanakah proses terjadinya pergu-
baga tertinggi umat Hindu yaitu Parisada mene- latan interpretasi Bhisama Parisada atas
tapkan Bhisama tentang Kesucian Pura sebagai Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu?
upaya untuk mempertahankan kesucian pura (3) Apa implikasi pergulatan interpretasi
dengan cara mengatur bangunan-bangunan Bhisama Parisada terhadap kehidupan aga-
yang bersifat profane di kawasan pura. ma, sosial budaya Desa Adat Pecatu?
Bhisama Parisada tentang Kesucian Pura
yang ditetapkan dengan Keputusan Parisada 1.3. Landasan Teori
Hindu Dharma Indonesia Pusat Nomor 11/Kep/ 2.3.1 Teori Fenomenologi
I/PHDIP/1994 ditetapkannya bhisama ini den- Teori fenomenologidari Alfred Scultz menye-
gan pertimbangan “demi terjaminnya kesucian butkan menggambarkan dan memahami prilaku
pura dengan kawasan sucinya di satu pihak dan seseorang atau kolektivitas untuk mengetahui
tetap berlangsungnya pembangunan nasional pandangan-pandangan, pengetahuan, nilai-nilai
dan daerah di lain pihak” (bagian “Menimbang” yang dijadikan pedoman pembimbing oleh ses-
Keputusan Parisada Pusat 11/1994). Isi Bhisa- eorang atau suatu kolektivitas dalam mewujud-
ma Parisada tentang Kesucian Pura; apeneleng, kan perilaku atau tindakannya. Teori fenome-
apenimpug atau apenyengker. Apeneleng agung nologi yang digunakan dalam penelitian adalah
untuk pura Sad Kahyangan, apeneleng alit untuk untuk mengungkap pergulatan interpretasi atas
pura Dang Kahyangan dan apenimpug atau ape- Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu, tidak han-
nyengker untuk Kahyangan Tiga, dan pura lain- ya hendak melihat apa yang tampak dipermu-
nya. Isi Bhisama Parisada tentang Kesucian Pura kaan, akan tetapi lebih pada pemahaman men-
selanjutnya dituangkan dalam Perda RTRW gapa terjadi pergulatan interpretasi tersebut.
Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009.
Pura Uluwatu berstatus sebagai pura Sad Ka- 1.3.2. Teori Konflik
hyangan, dalam konteks Bhisama Kesucian Pu- Konflik merupakan pertentangan atau per-
ra, Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu radius- bedaan pendapat dua orang atau kelompok
nyaapeneleng agung, sebagaimana telah ditu- (Rauf, 2000: 2). Dalam penelitian ini ditunjuk-
angkan dalam Perda RTRW Provinsi Bali kan perbedaan pendapat antara kelompok pen-
16/2009, yang pada akhirnya menimbulkan dukung Bhisama Kesucian Pura adalah Pemer-
pergulatan interpretasi.Pergulatan interpretasi intah Provinsi dan Parisada sedangkan kelom-
terjadi antara kelompok pendukung dan kelom- pok penolak adalah krama Desa adat Pecatu.
pok penolak. Kelompok pendukung (pemerin- Konflik berlangsung antar individu, kelom-

BHISAMA PARISADA TENTANG KESUCIAN PURA


Pergulatan Interpretasi Atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu 101
Ida Ayu Komang Arniati
pok, atau antara individu dengan kelompok data adalah sebagai berikut.
(Coser, 1957). Konflik dapat dibedakan dua jen- 1. Teknik Observasi (pengamatan), peneli-
is yaitu: konflik vertikal dan konflik horizontal. timelakukan pengamatan secara langsung
Konflik vertikal, yaitu konflik antara elite (Pari- mengamati aktivitas yang dilakukan oleh
sada dan Pemerintah Provinsi) dengan massa karma Desa Adat Pecatu, dibarengi dengan
(krama Desa Adat Pecatu), sedangkan konflik pencatatan dan dibantu dengan alat bantu vi-
horizontal adalah konflik yang terjadi di kalan- sual berupa kamera digital untuk merekam
gan massa (karma Desa Adat Pecatu) dengan- obyek yang telah ditentukan.
massa (elemen masyarakat umum) yang ada di 2. Teknik wawancara mendalamyang digunak-
Bali. an dalam penelitian adalah informan yang di-
pilih dan dipandang mengetahui masalah ke-
1.3.3. Teori Self-Regulatif dari Lingkungan sucian pura. Agar wawancara dapat berlang-
Sosial Semi-Otonom sung secara terarah maka dibantu pedoman
Salky Falk Moore (1978: 55-59) dari lingkun- wawancara yang memuat pokok-pokok piki-
gan sosial semi otonom dapat mendorong ma- ran terkait dengan masalah.
syarakat menaati suatu aturan yang lingkungan- 3. Studi dokumen yang digunakan dalam pene-
nya lebih luas atau dapat mendorong masyara- litian meliputi kegiatan penelusuran, peng-
kat menentangnya. Dalam konteks ini alas ke- umpulan dan penelaahan pustaka-pustaka
keran/karang kekeran sesuai tradisi dan awig- seperti, buku, teks Bhisama Kesucian Pura,
awig Desa Adat Pecatu menyebabkan Bhisama Undang-Undang, awig-awig, hasil penelitian,
Parisada tentang Kesucian Pura atas Kawasan jurnal, surat kabar, dan internet.
Tempat Suci Pura Uluwatu yang dituangkan
dalam Perda RTRW Provinsi Bali 2009 tidak 1.4.3.Instrumen Penelitian
efektif pelaksanaannya di Desa Adat Pecatu. Instrumen penelitian dalam penelitian kuali-
tatif adalah peneliti itu sendiri sebagai alat pen-
1.4.Metode Penelitian gumpul data yang utama dan didukung dengan
1.4.1. Jenis Sumber Data instrumen lain, seperti pedoman wawancara,
Dipilihnya lokasi penelitian adalah kualitatif alat perekam suara, kamera dan alat tulis. Pedo-
yang diambil dari data lapangan dan dari studi man wawancara disusun dalam bentuk pokok-
dokumen. Sumber data ada dua, data primer pokok pertanyaan untuk menggali berbagai in-
dan data skunder. Sumber data primer berupa formasi di lapangan yang terkait dengan pergu-
orang yang kemudian disebut informan. Infor- latan interpretasi atas Kawasan Tempat Suci Pu-
man yang dipilih diupayakan dapat mempresen- ra Uluwatu.
tasikan kondisi obyektif data lapangan yang di-
tentukan berdasarkan peranan keterlibatannya 1.4.4.Teknik Analisis Data
dalam pergulatan interpretasi Bhisama Kesu- Mengatur traskrip wawancara, catatan la-
cian Pura. Adapun informan yang dianggap pangan, dan dokumen yang lain kemudian dia-
mempunyai kompotensi adalah: (1) Pengurus nalisis dengan hermeneutik. Teknik analisis
Parisada; (2) Prajuru Desa Adat Pecatu, dan kra- hermeneutik adalah alat untuk menelusuri atau
ma Desa Pecatu; (3) Masyarakat, terutama mengungkap makna dalam teks, dan menginter-
pemerhati masalah Kesucian Pura yang ada di pretasikan dalam Bhisama Kesucian Pura. Den-
Bali. gan rincian analisis pada teks (pemahaman pa-
Sumber data sekunder berupa buku-buku, da teks), konteks pembentukan (menemukan
makalah, hasil penelitian, jurnal, majalah, surat makna teks) dan kontekstualisasi (penerapan di
kabar, Undang-undang, Purana Pura, Awig-awig, masyarakat).
lontar dan teks Bhisama Parisada tentang Kesu-
cian Pura serta sumber lainnya seperti internet II.PEMBAHASAN
yang kajiannya berhubungan dengan agama dan 2.1. Sebab Terjadi Pergulatan Interpretasi
budaya. Bhisama Parisada tentang Kesucian Pura.
Adanya Bhisama Parisada berisi perintah-
1.4.2. Teknik Pengumpulan Data perintah atau larangan-larangan yang dikeluar-
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan kan oleh Parisada. Untuk menetapkan Bhisama

DHARMASMRTI
102
Vol. XIII Nomor 26 Oktober 2015 : 1 - 135
dibicarakan terlebih dahulu dalam rapat Pesa- Desa Adat Pecatu. Kelompok yang menolak
muhan Agung selanjutnya dibicarakan melalui Bhisama Kesucian Pura adalah dari krama Desa
Samuhan Sabha Walaka. Setelah melalui Pesa- Adat Pecatu, Ketua BPD Desa Adat Pecatu Ketut
muhan Agung dan Samuan Sabha Walaka maka Murdaya, Wakil BPD Desa Adat Pecatu Wijana,
keputusan dilanjutkan dalam Pesamuhan Sabha Kelihan Desa Adat Pecatu Wayan Rebong, Ketua
Pandita. Keputusan Sabha Pandita ini yang LPM Desa Adat Pecatu, Made Karyana, Perbekel
nantinya dibawa ke dalam Mahasabha, dan Desa Pecatu. Sedangkan kelompok yang mendu-
ketetapan inilah sebagai ketetapan Bhisama kung Bhisama Kesucian Pura bahwa radius Pura
Parisada. Seperti Bhisama Parisada tentang ke- Uluwatu adalah apeneleng agung, dengan jarak
sucian Pura. Bhisama Kesucian Pura yang lima kilometer dari sisi luar tembok pura. Ke-
ditetapkan bersifat mengikat untuk dijadikan lompok pendukung Bhisama Kesucian Pura
pedoman pengamalan bagi umat Hindu. yang terdiri dari: Pemerintah Provinsi Bali dan
Dikatakan mengikat karena Bhisama ini ditu- Parisada serta elemen masyarakat lain.
angkan dalam Perda RTRW Provinsi Bali Faktor penyebab terjadinya perbedaan per-
16/2009. Isinya: (a) Dalam kitab suci Weda sepsi Bhisama Parisada tentang Kesucian Pura
telah diuraikan tentang apa yang disebut den- adalah faktor ideologi, faktor hukum dan faktor
gan tempat-tempat suci dan kawasan suci gu- faktor ekonomi.
nung, danau, campuan (pertemuan dua sungai (a) Faktor Ideologi.
atau lebih), pantai, laut dan sebagainya diyakini Di balik pengaturan Bhisama Kesucian
memiliki nilai-nilai kesucian. Oleh karena itu Pura maupun yang mendukung penera-
Pura dan tempat-tempat suci umumnya didiri- pan Bhisama Kesucian Pura pada Ka-
kan di tempat tersebut, karena di tempat terse- wasan Tempat Suci Pura Uluwatu adalah
but orang-orang suci dan umat Hindu mendapat- ideologi Tri Hita Karana, untuk memeli-
kan pikiran-pikiran suci; (b) Pura-Pura Sad hara keseimbangan antara pembangu-
Khayangan, Dang Khayangan, Khayangan Tiga, nan dengan tempat suci untuk menjaga
dan pura lainnya. Tempat-tempat suci tersebut keserasian dan keseimbangan. Sedang-
memiliki radius kesucian yang disebut daerah kan dari sisi pendukung penerapan
kekeran dengan ukuran Apeneleng, Apenimpug, Bhisama Kesucian Pura pada Kawasan
atau Apenyengker; (c) Pura Sad Khayangan Tempat Suci Pura Uluwatu disesuaikan
dipakai ukuran Apeneleng Agung minimal, 5 km dengan alas kekeran atau karang keker-
(dari sisi luar tembok pura), untuk Pura Dang an Desa Adat Pecatu. Ideologi yang ada
Khayangan dipakai ukuran Apeneleng Alit 2 km di balik alas/karang kekeran dari Desa
(dari sisi luar tembok pura), dan untuk Khayan- Adat Pecatu adalah ideologi berdasar-
gan Tiga atau pura lainnya dipakai ukuran Apen- kan desa kala patra yaitu sesuaikan den-
impug atau Apenyengker. gan tempat, waktu dan keadaan yang
Di daerah radius kesucian pura hanya boleh ada di Desa Adat Pecatu.
ada bangunan yang terkait dengan kehidupan (b) Faktor Hukum.
keagamaan Hindu, misalnya didirikan Dharma- Penyebab terjadinya pergulatan inter-
sala, Pesraman dan lain-lain. Umat Hindu pretasi adalahdari Desa Adat Pecatu me-
mendapatkan kemudahan untuk melakukan ke- miliki awig-awig Palet 5 Indik Druen De-
giatan keagamaan (misalnya Tirta Yatra, Dhar- sa, Pawos 27 kaping 5 dan kaping 6 yang
ma Wacana, Dharma Githa, Dharma Sedana dan disebut dengan ‘Awig-awig Desa Adat
lain-lain) (Parisada Pusat, 1994). Isi Bhisama Pecatu atau termasuk Hukum Adat. Isi
inilah yang dituangkan dalam Perda RTRW awig-awig bahwa “tanah kekeran, yaitu
Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 dan men- ladang yang tidak dimiliki oleh warga
jadi pergulatan interpretasi. desa, hanya boleh diperuntukkan untuk
Perbedaan persepsi terhadap Bhisama Pari- Desa Adat yaitu kesucian alam lingkun-
sada tentang kesucian pura menyebabkan ada gan Pura Uluwatu (palet 5). Semua tanah
yang mendukung dan ada yang menolaknya. Ke- kekeran yang disebutkan mengukuhkan
lompok yang menolak bahwa radius Pura Ulu- kesucian dan keangkeran pura tidak bo-
watu dengan alas kekeran atau karang kekeran leh digarap menjadi kebun dan diban-
yang sudah dimiliki turun temurun oleh krama gun, hanya boleh ditanamai pohon pen-

BHISAMA PARISADA TENTANG KESUCIAN PURA


Pergulatan Interpretasi Atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu 103
Ida Ayu Komang Arniati
eduh (palet 6). Artinya ukuran atau ra- tasi terhadap Kawasan Tempat Suci Pura Uluwa-
dius kesucian pura dengan alas kekeran/ tu adalahdimanfaatkannya Pura Uluwatu seb-
karang kekeran dengan radius kurang agai tujuan wisata yang menarik para wisa-
dari satu kilometer. tawan karena memiliki panorama alam yang se-
Sedangkan Parisada menetapkan Bhisa- juk, adanya matahari terbenam (sunset) dan tar-
ma Parisada tentang Kesucian Pura yang ian kecak. Hal yang menarik lainnya adalah letak
dituangkan ke dalam Perda RTRW pura yang berada di atas tebing dan di atas per-
Provinsi Bali 16/ 2009 menyebutkan mukaan laut yang menyebabkan kekaguman pa-
bahwa tempat suci memiliki radius kes- ra wisatawan. Dengan meningkatnya kunjungan
ucian yang disebut dengan apeneleng, wisatawan ke Kawasan Tempat Suci Pura Ulu-
apenimpug atau apenyengker. Pura Sad watu, maka pemerintah kabupaten melakukan
Khayangan dipakai ukuran Apeneleng penataan untuk meningkatkan pelayanan kepa-
Agung setara lima kilometer (dari sisi lu- da wisatawan. Pada awalnya lingkungan di seki-
ar tembok pura), untuk Dang Khayangan tar Pura Uluwatu adalah hutan kekeran yang di-
dipakai ukuran Apeneleng Alit dua kilo- keramatkan, dan dilindungi oleh masyarakat
meter (dari sisi luar tembok pura), dan sekitar.
untuk Khayangan Tiga dan pura lain- Adanya kunjungan wisatawan menyebabkan
lainnya dipakai ukuran Apenimpug atau adanya tuntutan kenyamanan dan keamanan
Apenyengker, terbukti dituangkan dalam wisatawan yang menjadi salah satu bagian dari
hukum negarapada Perda RTRW Provin- motivasi kunjungan wisatawan. Dalam menjaga
si Bali 16/2009, Pasal 44 (ayat 2), Pasal keamanan wisatawan maka dibangun fasilitas
44 (ayat 9) dan Pasal 50 (ayat 2). penunjang yang berkaitan dengan kegiatan pari-
(c) Faktor ekonomi. wisata seperti hotel, villa, dan sebagainya. Pem-
Penyebab terjadinya perbedaan persep- bangunan hotel dan vila yang jaraknya dari Ka-
si karena keberadaan Pura Uluwatu me- wasan Tempat Suci Pura Uluwatu satu koma
miliki daya tarik para wisatawan dan empat puluh lima meter (1, 45 km) yakni Hotel
mendatangkan keuntungan bagi krama Bulgari dan Hotel Puri-Puri Bali. Karena antara
Desa Adat Pecatu yang berdampak pembangunan hotel dan Kawasan Tempat Suci
penambahan ekonomi atau kapital. Pura Uluwatu sangat dekat maka elemen ma-
Pergerakan uang (financescapes) oleh syarakat, kaum intelektual, kaum muda dan ma-
wisatawan seperti yang disampaikan syarakat Bali bereaksi dan menolak pembangu-
oleh Appadurai (dalam Ritzer, 2007: nan tersebut.
598) mempengaruhi krama Desa Adat Reaksi penolakan pembangunan yang
Pecatu karena menawarkan keuntun- berdekatan dengan Kawasan Tempat Suci Pura
gan, namun dari sisi negatif banyak lah- Uluwatu disambut baik oleh MUDP Provinsi Bali
an karma Desa Adat Pecatu yang beralih dan Parisada. Atas reaksi tersebutMUDP Provin-
fungsi seperti disewakan dan dijual ke- si Bali dan Parisada menginginkan agar Bhisama
pada investor. Bagi pemerintah kabupat- Kesucian Pura dituangkan ke dalam Perda
en merupakan anugrah karena ban- RTRW Provinsi Bali. Atas usulan tersebut Pemer-
yaknya investor yang menanamkan intah Provinsi Bali menyetujuinya dan Bhisama
modalnya. Namun pemerintah Provinsi Kesucian Pura dituangkan dalam Perda RTRW
Bali mempertegas tidak boleh ada ban- Provinsi Bali Nomor 16, Tahun 2009 sampai
gunan dengan radius lima kilometer dari dengan tahun 2029.
Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu, ke-
cuali untuk menunjang kegiatan Agama 2.3. Perkembangan pergulatan interpre-
Hindu seperti membangun Dharmasala tasi terhadap Kawasan Tempat Suci Pura
dan Pasraman. Uluwatu
Perbedaan pandangan terhadap Kawasan
2.2. Proses terjadinya Pergulatan Inter- Tempat Suci Pura Uluwatu sebagai proses
pretasi atas Kawasan Tempat Suci Pura Ulu- perkembangan pergulatan interpretasi bahwa
watu krama Desa Adat Pecatu menginginkan agar
Proses awal terjadinya pergulatan interpre- alas kekeran atau karang kekeran yang digunak-

DHARMASMRTI
104
Vol. XIII Nomor 26 Oktober 2015 : 1 - 135
an sebagai radius Kawasan Tempat Suci Pura atau berkurangnya nilai tanah yang secara tu-
Uluwatu. run temurun dan dengan usaha dan pengorban-
Alaskekeran atau karang kekeran yang telah an yang tidak sedikit.Atas gugatan tersebut, MA
memberikan rasa keadilan dan perlindungan RI menolak gugatan pemohon yang dituangkan
pada karma Desa Adat Pecatu di sekitar pura se- dalam Putusan MARI Nomor 30 P/HUM/2010,
hingga tetap dapat menggunakan tanahnya un- Putusan MA RI Nomor 32 P/HUM/2010 dan No-
tuk berusaha termasuk di sektor pariwisata. Na- mor 65 P/HUM/2013.
mun begitu dituangkan Bhisama Kesucian Pura Dengan amar putusan Nomor 32 P/
dalam Perda RTRW Provinsi Bali 16/2009, rasa HUM/2010, MA menetapkan: menolak permo-
keadilan dan ketenangan masyarakat terganggu. honan keberatan Hak Uji Materiil dari pemohon.
Perda RTRW Provinsi Bali 16/2009 mengatur MA RI berpendapat, bahwa norma Perda Nomor
mengenai radius kawasan suci pura yang sangat 16 Tahun 2009 ProvinsiBali tidak bertentangan
jauh melebihi kawasan suci pura yang selama dengan peraturan perundangan-undangan yang
ini diakui secara turun temurun oleh karma De- lebih tinggi.
sa Adat Pecatu. Proses akhir pergulatan interpretasi dan tin-
Unjuk rasa berbagai komponen terjadi pros- dak lanjut terhadap bangunan sebelum dan ses-
es perkembangan pergulatan interpretasi. Kra- udah adanya keputusan MA adalahkrama Desa
ma Desa Adat Pecatu berunjuk rasa ke Dewan Adat Pecatu membangun restoran, rumah dan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali warung atas nama Jero Mangku Sutika dan I
dan Parisada Bali yang menuntut pengurangan Made Darna. Posisi Bhisama Parisada tentang
atau revisi (perubahan) agar radius kesucian Kesucian Pura yang telah dituangkan dalam Per-
Pura Uluwatu disesuaikan dengan alas kekeran da RTRW Provinsi Bali 16/2009, dalam posisi ti-
dengan ukuran kurang dari satu kilometer. Usu- dak efektifan atau kesulitan untuk menegakkan-
lan perubahan atau revisi tersebut mendapat nya. Kondisi ini mengindikasikan adanya perla-
tantangan dari: Tim Penegak Bhisama Kawasan wanan diam dari krama Desa Adat Pecatu.
Suci (TPBKS), Forum Masyarakat Peduli Kesu- Kondisi ini tidak terlepas dari konteks kelahi-
cian Pura (FMPKP), yang dimotori Si Ketut Man- ran Bhisama Parisada tentang kesucian pura
diranatha, Forum Masyarakat Penyungsung Pu- maupun Perda RTRW Provinsi Bali 2009 yang
ra dan Pemangku Forum Peduli Bali, Aliansi mengadopsi Bhisama Parisada tentang Kesucian
Bakti Pertiwi, Walhi Bali, Ketua Dharma Adyak- Pura tersebut sesuai dengan teori Sally Falk
sa Parisada Pusat Ida Pedanda Sebali Tianyar Moore menyimpulkan, bahwa lingkungan sosial
Arimbawa, Ketua MUDP Jero Gde Suwena Upad- semi-otonom dapat mendorong masyarakat
hesa, dan Anggota DPD Wayan Sudirtha. Isi tan- menaati suatu aturan yang lingkungannya lebih
tangan, Bhisama jangan mau diubah dan jangan luas atau dapat mendorong masyarakat menen-
mau dikalahkan oleh awig-awig Desa Adat Pe- tangnya. Dalam konteks ini alas kekeran atau ka-
catu. Kalau Bhisama dilemahkan akan meng- rang kekeran sesuai tradisi dan awig-awig Desa
hilangkan kesucian pura dan keajekan pura. Adat Pecatu menyebabkan Bhisama Parisada
Proses akhir terjadainya pergulatan inter- tentang Kesucian Pura yang dituangkan dalam
pretasi karena tidak ada kesepakatan maka lima Perda RTRW Provinsi Bali 16/2009 tidak efektif
karma Desa Adat Pecatu dan Kesatuan Hukum pelaksanaannya di Desa adat Pecatu. Sedangkan
Adat Desa Pecatu mengajukan keberatan hak uji tindak lanjut terhadap bangunan setelah adanya
materiil ke MA RI,dengan alasan: (a) Selaku pe- keputusan dari MA bangunan rumah tetap
milik tanah yang berada dalam Kawasan Tempat berdiri, namun bangunan hotel, vila, dan kara-
Suci Pura Uluwatu tidak dapat menggunakan ta- oke yang berhubungan paraiwisata tidak ada.
nah miliknya untuk melaksanakan kegiatan usa-
ha, khususnya kegiatan usaha penyedia prasara- 2.4. Implikasi Pergulatan Interpretasi
na pariwisata seperti villa, homestay, hotel, cafe, Terhadap Kehidupan Agama, Sosial dan Bu-
karaoke dan usaha spa yang merupakan keg- daya Desa Adat Pecatu:
iatan usaha utama di wilayah Desa Adat Pecatu, Implikasi terhadap kehidupan agama Desa
sebagai daerah pariwisata; (b) Hilangnya kes- Adat Pecatu, dapat ditinjau dari Tiga Kerangka
empatan untuk mencari penghasilan bagi kelu- Dasar Agama Hindu, yaitu Tattwa, merupakan
arga di atas tanah yang dimilikiserta hilangnya uraian filosofis tentang ajaran Agama Hindu

BHISAMA PARISADA TENTANG KESUCIAN PURA


Pergulatan Interpretasi Atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu 105
Ida Ayu Komang Arniati
yang tersimpul dalam Tri Hita Karana.Tri Hita gan terjadi ketidakharmonisan dan tidak
Karana merupakan tiga penyebab kesejahter- mencerminkan perbuatan yang baik yakni Waci-
aan, Tri artinya tiga, Hita artinya sejahtera, dan ka Parisudha sesuai dengan ajaran Agama Hin-
Karana artinya sebab. Tri Hita Karana terdiri du.
dari parahyangan (lingkungan spiritual), pa-
wongan (lingkungan sosial), dan pelemahan 2.5. Implikasi pergulaan interpretasi ter-
(lingkungan alamiah). Jadi Tri Hita Karana hadap kehidupan sosial budaya Desa Adat
adalahtigabuah unsur yang merupakan sumber- Pecatu sosial-humaniora.
nya sebab yang memungkinkan timbulnya ke- Koentjaraningrat (2004: 9) berpendapat
baikan. Tri Hita Karana mengandung filsafat ke- bahwa kebudayaan berarti “keseluruhan gagas-
selarasan yaitu hubungan antara manusia den- an dan karya manusia, yang harus dibiasakan-
gan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia nya dengan belajar, beserta keseluruhan dari
dengan sesamanya (Pawongan) dan manusia hasil budi dan karyanya itu”. Kebudayaan, menu-
dengan alam lingkungannya (Palemahan). Kes- rut Koentjaraningrat (2004: 10) mempunyai 3
elarasan itu, sesuai dengan ajaran Agama Hindu (tiga) wujud, yakni: (1) wujud ideel; (2) wujud
merupakan tujuan hidup yaitu Moksartham jag- kelakuan; dan (3) wujud fisik. Ketiga wujud ke-
adhita ya ca iti dharma, artinya tujuan agama budayaan memuat pengertian sebagai berikut:
adalah mencapai kesejahteraan jasmani dan ke- (1) Wujud ideal dari kebudayaan adalah wujud
bahagiaan hidup rohani secara selaras dan seim- kebudayaan sebagai suatu kompleks dari
bang. idée-idee, gagasan, nilai-nilai, norma-nor-
Susila adalah perilaku yang baik sesuai den- ma, peraturan dan sebagainya.
gan ajaran Agama Hindu. Susila merupakan aja- (2) Wujud kelakuan dari kebudayaan adalah
ran pengendalian diri untuk mengendalikan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
pikiran, perkataan dan perbuatan dalam Agama aktivitas kelakuan berpola dari manusia
Hindu disebut Tri Kaya Parisudha. Tri artinya ti- dalam masyarakat.
ga, Kaya artinya gerak, dan Parisudha artinya su- (3) Wujud fisik dari kebudayaan adalah wujud
ci. Jadi Tri Kaya Parisudha artinya tiga gerak, kebudayaan sebagai benda-benda hasil
perbuatan atau prilaku manusia yang harus dis- karya manusia.
ucikan dengan sebaik-baiknya yang terdiri dari Namun, dalam penelitian ini ketiganya digu-
gerak dari pikiran, gerak dari perkataan dan nakan sebagai pendekatan untuk menjelaskan
gerak perbuatan. pergulatan interpretasi Bhisama Kesucian Pura
Jadi implikasi terhadap kehidupan agama De- atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu. Sebe-
sa Adat Pecatu dalam penerapan Bhisama Kesu- lum itu, akan didalami lagi pengertian masing-
cian Pura terdapat dalam Tattwa tersimpul pada masing wujud kebudayaan itu.Pertama, wujud
Tri Hita Karana terutama pada aspek pawongan ideal kebudayaan tata kelakuan yang mengatur
(hubungan manusia dengan manusia), dan pada mengendalikan, dan memberikan arah kelakuan
Susila, pada aspek Tri Kaya Parisudha, yaitu tiga dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Im-
perbuatan yang disucikan yang ada dalam diri plikasi pergulatan interpretasi Bhisama Kesu-
manusia, dan pada Acara yang sebaiknya dilak- cian Pura terhadap kehidupan sosial budaya
sanakan. Implikasi tersebut tercermin dari pili- dalam wujud ideal bagi Desa Adat Pecatu adalah
han kata yang dikeluarkan oleh pendukung Perda RTRW Provinsi Bali 16/2009 mengatur,
Bhisama Kesucian Pura dan pilihan kata yang mengendalikan, dan memberikan arahan, tetapi
dikeluarkan oleh penolak Bhisama Kesucian Pu- yang diikuti oleh krama Desa Adat Pecatu adalah
ra yang tidak mencerminkan sikap yang baik alaskekeran atau karang kekeran. Ketiga, wujud
dan tidak sesuai dengan Tri Kaya Parisudhapada kelakuan dari kebudayaan disebut sistem sosial
aspek wacika Parisudha berkata yang baik dan mengenai kelakuan berpola manusia itu sendiri.
benar. Adapun pilihan kata yang digunakan oleh Sistem sosial terdiri atas aktivitas manusia yang
pendukung dan penolak seperti kata kurang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu
ajar, tidak tahu diri, cukur kumis Sudiana (Ketua dengan yang lain dari hari ke hari, dari tahun ke
Parisada Bali). Hal ini menunjukkan hubungan tahun selalu mengikuti pola tertentu.
manusia dengan manusia dalam hal ini hubun- Implikasi pergulatan interpretasi terhadap
gan pendukung dan penolak dari aspek pawon- kehidupan sosial budaya dalam tata kelakuan

DHARMASMRTI
106
Vol. XIII Nomor 26 Oktober 2015 : 1 - 135
Desa Adat Pecatu adalah bahwa membangun di III. PENUTUP
radius Perda RTRW Provinsi Bali 16/2009 tidak
dibenarkan, tetapi sesuai alas kekeran atau ka- 3.1.Simpulan
rang kekeran dibenarkan, warung dan tempat Berdasarkan kajian akademis yang dilakukan
tinggal Jero Made Sutika. Ketiga,wujud fisik ke- terhadap masalah penelitian Bhisama Parisada
budayaan merupakan seluruh total hasil fisik Tentang Kesucian Pura: Pergulatan Interpretasi
dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua ma- atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu dapat
nusia dalam masyarakat sehingga sifatnya pal- disimpulkan sebagai berikut.
ing konkret dan berupa benda-benda atau hal- Terjadinya pergulatan interpretasi
hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Im- Bhisama Parisada atas Kawasan Tempat Suci
plikasi pergulatan interpretasi Bhisama Kesu- Pura Uluwatu disebabkan oleh beberapa faktor
cian Pura terhadap kehidupan sosial budaya yaitufaktor ideologi, faktor hukum, dan faktor
dalam wujud fisik Desa Adat Pecatu adalahbah- ekonomi, dan dapat dijabarkan:
wa bangunan yang tidak berdasarkan Perda (a) Faktor ideologi, adanya pergulatan in-
RTRW Provinsi Bali 16/2009, tetapi sesuai den- terpretasi dari segi ideologi antara pen-
gan alas kekeran atau karang kekeran diwujud- dukung Peraturan Daerah Provinsi Bali
kan dalam bentuk fisik, yaitu bangunan restoran, Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana
warung dan tempat tinggal I Made Darna. Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun
2009-2029 dengan pendukung Awig-
2.6.Temuan awig Desa Adat Pecatu terhadap radius
Ada dua jenis pengaturan mengenai Kawasan Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu.
Tempat Suci Pura Uluwatu pertama, Peraturan Pendukung Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Provinsi BaliNomor 16 Tahun 2009 Ten- Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ren-
tang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali cana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali
Tahun 2009-2029 yang di dalamnya memuat Tahun 2009-2029 berpegang pada ide-
Bhisama Kesucian Pura, dan yang kedua, hukum ologi Tri Hita Karana, sedangkan pendu-
adat Desa Adat Pecatu yang memuat alas keker- kung Awig-awig Desa Adat Pecatu ber-
an atau karang kekeran. Di antara kedua pen- pegang pada ideologi Desa Kala Patra;
gaturan tersebut terjadi kontradiksi, yakni Per- (b) Faktor hukum, terdapat perbedaan
aturan Daerah Provinsi BaliNomor 16 Tahun pendapat antara pendukung Peraturan
2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Provinsi BaliNomor 16 Tahun
Provinsi Bali Tahun 2009-2029yang memuat 2009 Tentang Rencana Tata Ruang
Bhisama Kesucian Pura mengatur radius tempat Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029
suci adalah apeneleng agung yakni lima kilome- dengan pendukung Awig-awig Desa
ter, sedangkan hukum adat Desa Adat Pecatu Adat Pecatu. Pendukung Peraturan Dae-
memuat alas kekeran atau karang kekeran den- rah Provinsi BaliNomor 16 Tahun 2009
gan radius kurang dari satu kilometer. Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Krama Desa Adat Pecatu tetap menggunakan Provinsi Bali Tahun 2009-2029 ber-
alas kekeran atau karang kekeran dan tidak pendapat, radius Kawasan Tempat Suci
menggunakan Bhisama Kesucian Pura untuk Pura Uluwatu adalah apeneleng agung
menentukan radius Kawasan Tempat Suci Pura yakni lima kilometer dari sisi luar peny-
Uluwatu. Kondisi ini menempatkan hukum adat engker pura, sedangkan pendukung
pada posisi menghambat berlakunya Peraturan Awig-awig Desa Adat Pecatu ber-
Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Ten- pendapat, radius Kawasan Tempat Suci
tang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Pura Uluwatu adalah alas kekeran atau
Tahun 2009-2029. Ini sejalan dengan teori Sally karang kekeran dengan radius kurang
Falk Moore tentang “Mekanisme Pengaturan dari satu kilometer; dan
sendiri dari Bidang Sosial Semi-otonom”, bahwa (c) Faktor ekonomi, adanya ketentuan tidak
bidang sosial semi-otonom, dapat membentuk dibolehkan untuk membangun sepan-
aturan untuk mengatur diri sendiri (hukum jang apeneleng agung dengan radius li-
adat) yang dapat mendorong atau menghambat ma kilometer kecuali untuk aktivitas
berlakunya hukum negara. yang terkait dengan kehidupan ke-

BHISAMA PARISADA TENTANG KESUCIAN PURA


Pergulatan Interpretasi Atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu 107
Ida Ayu Komang Arniati
agamaan seperti dharmasala dan pasra- arifan lokal, secara konstitusional dil-
man dirasakan sangat merugikan krama indungi pasal 18 B ayat 2 jo pasal 28i
Desa Adat Pecatu secara ekonomi. Kra- ayat 3 UUD 1945. Setelah keluarnya pu-
ma Desa Adat Pecatu tidak bisa meman- tusan Makamah Agung tersebut tidak
faatkan lahannya secara optimal untuk ada lagi pergulatan seperti halnya sebe-
keperluan ekonomi. lum keluarnya putusan Makamah Agung.
Proses pergulatan interpretasi atas Kawasan Pergulatan interpretasi Bhisama Kesucian
Tempat Suci Pura Uluwatu mencakup tahapan Pura berimplikasi terhadap kehidupan agama
sebagai berikut: dan kehidupan sosial budaya Desa Adat Pecatu.
(a) Pergulatan dimulai sejak awal keluarnya Implikasi terhadap kehidupan agama terjadi pa-
Peraturan Daerah Provinsi BaliNomor da Tattwa dari aspek pawonganyakni hubungan
16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata tidak harmonis antara krama Desa Adat Pecatu
Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun dengan pihak luar Desa Adat Pecatu, seperti pa-
2009-2029 yang memuat Bhisama Kesu- ra pendukung penerapan Bhisama Kesucian Pu-
cian Pura, hal ini menimbulkan penen- ra atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu.
tangan (resistensi) dari krama Desa Ketidakharmonisan itu tampak dari kedua be-
Adat Pecatu karena merasa dirugikan lah pihak tidak mencerminkan sikap yang tidak
secara ekonomi; sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, khu-
(b) Perkembangan pergulatan terjadi ketika susnya Wacika Parisudha dengan mengeluarkan
krama Desa Adat Pecatu melakukan un- kata-kata yang tidak baik.
juk rasa dan penyampaian pendapat ke Implikasi terhadap kehidupan sosial budaya
DPRD Provinsi Bali dan Parisada. Unjuk Desa Adat Pecatu, relatif tidak tampak, dalam
rasa itu mendapat reaksi berupa unjuk arti kelembagaan sosial seperti Desa Adat, Ban-
rasa tandingan dari para pendukung jar Adat, Tempekan beserta aktivitas budaya
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor yang dilakukan masih tetap seperti halnya sebe-
16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata lum ada penetapan Kawasan Tempat Suci Pura
Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun Uluwatu. Implikasi tampak pada aktivitas
2009-2029; perseorangan, dapat diketahui dari adanya gu-
(c) Pergulatan tahap akhir, krama Desa Adat gatan ke Makamah Agung, yang mempersoalkan
Pecatu mengajukan gugatan Peraturan keberadaan pendukung Peraturan Daerah
Daerah Provinsi BaliNomor 16 Tahun Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang
2009 Tentang Rencana Tata Ruang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Ta-
Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 hun 2009-2029 yang diajukan oleh beberapa
ke Makamah Agung. Makamah Agung orang krama Desa Adat Pecatu.
menolak gugatan tersebut, dengan putu-
san Makamah Agung Nomor 32 P/ 3.2.Saran-Saran
HUM/2010. Makamah Agung ber- Saran yang dimaksud adalah sumbang piki-
pendapat bahwa Peraturan Daerah ran kepada pihak-pihak yang terkait dan dapat
Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 ti- digunakan sebagai bahan pertimbangan atau
dak bertentangan dengan peraturan pe- masukan terkait dengan pergulatan interpretasi
rundang-undangan yang lebih tinggi, atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu. Ada-
dengan pertimbangan: Termohon mem- pun saran yang disampaikan.
punyai kewenangan untuk menyelengg- 1. Kepada Pemerintah Provinsi Bali disarankan
arakan penataan ruang berdasarkan dalam membuat aturan lebih lanjut, agar
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 26 Ta- memperhatikan kearifan lokal di masyarakat
hun 2007 tentang Tata Ruang. Materi hal ini berdasarkan temuan penelitian bahwa
muatan Perda dapat memuat karakteris- terjadi kontradiksi pengaturan radius ka-
tik Daerah (vide pasal 12 Undang-Un- wasan tempat suci.
dang Nomor 10 Tahun 2004) in casu 2. Kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia
mengatur kawasan tempat suci sebagai disarankan, dalam menerapkan atau
salah satu kawasan lindung setempat, mengimplementasi Bhisama Kesucian Pura
merupakan penghormatan terhadap ke- perlu melihat kondisi riil tempat suci yang

DHARMASMRTI
108
Vol. XIII Nomor 26 Oktober 2015 : 1 - 135
ada di masyarakat. Kawasan tempat suci di agar melakukan pendalaman pemahaman
masing-masing desa pakraman atau daerah mengenai maksud, tujuan, dan isi Bhisama
kabupaten/kota kondisinya berbeda dengan Kesucian Pura untuk melestarikan atau men-
kawasan tempat suci yang ada di tempat lain- gajekan kawasan tempat suci yang dihormati
nya. dan disucikan oleh seluruh umat Hindu.
3. Kepada Krama Desa Adat Pecatu disarankan,

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Amr. 2002. Say Peace. Conflict Resolution Traning Manual For Muslim Communication. Vir-
ginia, USA: The Graduate School of Islamic and Social Science.
Adhika, Wayan. 2011. “Komodifikasi Kawasan Suci Pura Uluwatu di Kuta Selatan, Kabupaten Ba-
dung dalam Era Globalisasi”. Disertasi (tidak diterbitkan). Denpasar: Program Doktor,
Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana, Universitas Udayana.
____________. 2012. Komodifikasi Kawasan Suci Pura Uluwatu dalam Era Globalisasi. Denpasar: Uday-
ana University Press.
Agus, Bustanudin . 2006. Agama dan Kehidupan Manusia: PengantarAntropologi Agama. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2009. Paradigma Ilmu Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Universi-
tas Pendidikan Indonesia.
Althusser, Louis. 2004. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yog-
yakarta: Jalasutra.
____________. 2007. Filsafat Sebagai Senjata Revolusi. Yogyakarta: Resist Book.
Ardana, I Gst. 2000. Pura Kahyangan Tiga. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
Atmadja, I Nengah Bawa. 2008. Ideologi Tri Hita Karana-neo Libralisme = Vilanisasi Radius Kesucian
Pura. Persfektif Budaya. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
____________.2010 Genealogi Keruntuhan Majapahit: Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama
Hindu di Bali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Badan Pusat Statistik. 2012. Kecamatan Kuta Selatan Dalam Angka 2012. Kabupaten Badung.
Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Daerah Kecamatan KutaSelatan 2013. Kabupaten Badung.
Bagus, I Gusti Ngurah. 2002a. Paradigma Dharma sebagai Kerangka Pemahaman Agama Hindu.
Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
___________. 2002b. Aneka Pemikiran Tentang Hindu Dharma. Denpasar: Pusat Kajian Hindu.
Bali Post. 2008 “Delapan Puluh Pemuda AHMI Serbu Pemkab Badung. Persoalan Pemangkasan Ra-
dius Kesucian Pura Uluwatu”. Bali Post, 23 April 2008.
Bali Post. 2008. “ Warga Pecatu Gedor DPRD dan PHDI, Gugat Bhisama dan Tolak Radius Kesucian
Pura”” (diakses 17/1/2013). Denpasar: http://www.balipost. co.id/mediadetail.php?m
odule=detailberita&kid=12&id=945.
Bali Post. 2009. Revisi Perda RTRW ‘Bhisama’ Jangan Dikalahkan oleh Awig-Awig” (akses 17/1/2013).
Denpasar: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&
id=11130.
Bali Post. 2010. ‘Ribuan Massa yang Pro Kebijakan Pemkab Badung , Berkumpul dan Berorasi di
Puspem Badung” (diakses 17/1/2013). Denpasar: http://www.balipost.co.id/mediade-
tail.php?module=detailberita&kid=127id=945.
Bali Post. 2010 “Massa Forum Pendukung Kesucian Pura Memilih MendatangiDPRD Bali”. (diakses
17/1/2013). Denpasar: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailber
ita&kid=127id=945.
Bali Post. 2011 “Desa Kedui, Desa Tembuku Kabupaten Bangli Siap Membela Perda RTRW ke DPRD”.

BHISAMA PARISADA TENTANG KESUCIAN PURA


Pergulatan Interpretasi Atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu 109
Ida Ayu Komang Arniati
(diakses 17/1/2013). Denpasar: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=
detailberita&kid=10&id=61013.
Bali Aga. 2011 “ Ketika Bupati Bertemu Gubernur Membahas Radius Kesucian Pura di Wantilan Jaya
Sabha”. (diakses 17/1/2013). Denpasar: http://taboloidbaliaga.blogspot.com.
Bapedda Litbang. 2011. Badung Dalam Angka 2011. Badung: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ba-
dung.
Biro Hukum dan Ham Setda Prov Bali. 2005: Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3,Tahun 2005, ten-
tang Rencana Tata Ruang Wilayah. Denpasar: Provinsi Provinsi.
Brow, Radeliffe, A.R.1952. Structure and Function in Primite Society. London; Cohen and West.
Bartos, J.O&Wehr, P.2002. Using Conglict Theory. New York: Cambridge University Press.
Berry, David. 2003. Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi. Editor dan Pengantar; Paulus Wirutomo.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Coser, A. Lewis. 1956.The Functions of Sosial Conflict. New York: the Free Press.
__________ 1957. Social Conflict and The Theory of Social Change. London: The British Journal of Sociol-
ogy, Vol.8, No.3 (Sep 1957). pp. 197-207.
Denzin, K. Norman dan Lincoln, S Yvonna. 2009. Handbook Of Qualitative Research. Penerjemah,
Dariyatno dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Desa Adat Pecatu. 1987. “Awig-Awig Desa Adat Pecatu”.
Desa Pecatu. 2010. Monografi Desa Pecatu.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984. Ensiklopedi Indonesia. Edisi Kelima. Jakarta: Inter-
media.
___________.1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
___________.1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid II. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ditjen Bimas Hindu Departemen Agama. 2009. Pedoman Pembangunan Tempat Ibadah. Jakarta: Di-
rektorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Departemen Agama.
Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. 2011. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Eliade, Mircia. 2002. Sakral dan Profan:Menyingkap Hakikat Agama. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Gelgel, Putu dan Wayan, Budi Utama. 2013. Bhisama Parisada : Dasar Hukum, Kekuatan Mengikat,
dan Fungsinya di Era Global. Denpasar: Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia.
Gorda, I Gusti Ngurah. 1996. Etika Hindu dan Prilaku Organisasi. Denpasar: Sekolah Tinggi Ilmu Eko-
nomi Satya Dharma Singaraja.
Grondin, Jean. 2007. Sejarah Hermeneutik: dari Plato sampai Gadamer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hadirman, Fransisco Budi. 2004. Kritik Ideologi : Menyingkap Kepentingan PengetahuanBersama Ju-
rgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.
____________. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius.
Ihromi, T.O. 2000. Antropologi dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, (Ed). 2009. Metode Penelitian Hukum: Kontelasidan Refleksi. Ja-
karta: Yayasan Obor Indonesia.
Jenks, Chris. 2013. Culture: Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajaar.
Kaler, I Gusti Ketut. 1983. Butir-Butir Tercecer tentang Adat Bali 2, Denpasar: Bali Agung.
Kaelan, H. 2005.Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur.Yogya-
karta: Paradigma.
___________. 2010. Metode Penelitian Agama (Kualitatif Interdisipliner). Yogyakarta: Paradigma.
Keramas, Dewa Made, Tantera. 2008. Putra Sesana. Surabaya: Paramita.
Kholisah, Nur. 2012. Demokrasi Aja Kok Repot:Retorika Politik Gus Dur danProses Demokrasi.Yogya-
karta: Pohon Cahaya.
Laksmi. 2012. Interaksi, Interpretasi, dan Makna: Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bi-
dang Ilmu Informasi dan Ilmu terapan lainnya. Bandung: Karya Putra Darwati.
Lelland, David. Mc 2005. Ideologi Tanpa Akhir. Diterjemahkan oleh Muhamad Syukri (dari judul asli
:Ideologi . Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. 2012. Profil Pura Kahyangan Jagatdi Bali.

DHARMASMRTI
110
Vol. XIII Nomor 26 Oktober 2015 : 1 - 135
Denpasar: Universitas Udayana.
Lindblom, Charles E.1986. Proses Penetapan Kebijaksanaan, Diterjemahkan Ardian Syamsudindari
judul asli: The Policy-Making Process. Jakarta:Erlangga.
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya MasyarakatMultikultur. Yog-
yakarta: LkiS.
Maksun. 1994. Mencari Ideologi Alternatif. Bandung: Ikapi.
Magnis-Suseno, Frans. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
___________.1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke PerselisihanRevisionisme. Jakarta:
Gramedia.

Mannheim, Karl. 1998. Ideologi dan Utopia. Yogyakarta: Kanisius.


Muawiyah Ramly Andi. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx. Yogyakarta: LKiS.
Meleong, J Lexy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Moore, Sally Falk. 1978. Low as Process an Antrophological Approach. London: Routledge&Kegan
Paul.
Muhajir, Noeng. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif Telaah Positivistik, Rasionalistik, Phenome-
nologik, dan Realisme Metaphisik. Yogyakarta: Rakesarasin.
Mudana, I Gede. 2005. “Pembangunan Bali Nirwana Resort di Kawasan Tanah Lot: Hegomoni dan
Perlawanan di Desa Braban, Tabanan Bali”. Disertasi (tidak diterbitkan) Denpasar: Dis-
ertasi Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya, Universitas Udayana.
Mustain. 2007. Petani vs Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegomoni Negara. Yogyakarta: AR-
Ruzz Media.
Nader, Laura and Harry F.Todd, Jr.1978. The Disputing Process: Law in TenSocieties. New: Colombia
Press.
Nasution, S.1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Nurhadiantomo.2004. Konflik-Konflik Sosial Pri dan Non Pri. Surakarta: Muhamadiyah University
Press.
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. 2001. “Kumpulan Bhisama Sabha Pandita, Ketetapan Ma-
hasabha dan Keputusan PHDI”. Jakarta: PHDI.
Parisada Hindu Dharma Indonesia. 2010. Kumpulan Bhisama Sabha Pandita Ketetapan Mahasabha
dan Keputusan. Jakarta: Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia.
_______ t.t. Sejarah Parisada. http://www.parisada.org/index.php?option+com. Content&task=view.
<5/3/2013>
_______t.t. Anggaran Rumahtangga.
http://www.parisada.org/index.php?option+com. Content&task=view. <5/3/2013>
Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali. 2011 “Bupati Badung Kembali Menegaskan Sikap-
nya tentang Kontrovenrsi Maraknya Vila di Kawasan Suci Uluwatu” . (diakses 17/1/2013).
Denpasar: http://www.parisada.org/index.php? Ite mid=26&id=719& option=com.
Content&task+view..
Parimartha, I Gde.2013.Silang Pandang Desa Adat dan Dinas Di Bali, Denpasar: Udayana University
Press.
Peraturan Pemerintah Daerah Bali Nomor 16, Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali.
Pendit, S. 1996. Hindu Dharma Abad XXI. Jakarta: Yayasan Dharma Naradha.
Poerwadarminta, W.J.S.1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pudja, Gede dan Tjok, Rai Sudharta. 1977/1978. Manawadharmasastra. Jakarta: Departemen Aga-
ma Republik Indonesia.
Pudja, Gede. 1979. Sarassasmuccaya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu.
__________1999. Theologi Hindu (Brahma Widya). Surabaya: Paramita.
Punyaatmaja, Oka, 1976. Panca Sradha. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat.
Provinsi Bali. 2009. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 16, Tahun 2009 tentangRencana Tata Ruang
Wilayah. Bali: Provinsi Bali.

BHISAMA PARISADA TENTANG KESUCIAN PURA


Pergulatan Interpretasi Atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu 111
Ida Ayu Komang Arniati
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada
Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Republik Indonesia. 1945. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ricoeur, Paul. 2012. Yogyakarta: Teori Interpretasi: Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya.
Yogyakarta: IRCiSod.
Salim, Agus. 2011. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Soepomo, R. Bab-Bab tentang Hukum Adat. 2003. Jakarta: Pradnya Paramita.
Santoso Purwo, Saskarayasa, Adhi. 2004.Menembus OrtodoksiKajianKebijakan Publik. Yogyakarta:
Fisipol UGM.
__________. 2004. “Catur Lokapala”. Denpasar: Milik Sendiri.
Suastika I Made, Kutha Ratna, Mudana, I Gede. 2009. Jelajah Kajian Budaya. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Subagiasta, I Ketut. 2006. Tattwa Hindu. Surabaya: Paramita.
__________. 2008. Sraddha dan Bhakti. Surabaya: Paramita.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Sukidin dan Chrysoekamto. 2011. Memahami Ilmu Sosial. 2011. Jember: Center for Society Studies.
Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Soebandi, Ketut. 1981. Pura Kawitan/Padharman dan Penyungsung Jagat. Denpasar: Guna Agung.
_________.1983 Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali. Denpasar: Kayu Mas Agung.
Soeharto, Bambang, S.2013. Menangani Konflik di Indonesia. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.
Tempo. 2010. ‘Sejumlah Tokoh Umat Hindu di Bali Tergabung Tim Penegak Bhisama Kawasan Suci
(TPBKS) Desak Radius Kesucian Pura Dipertahankan” (diakses 17/1/2013). Denpasar:
http://www.tempo.co/read/news/179295948.
Triguna, Ida Bagus Gde,Yudha. 2011. Bali Unik. Jakarta: Pustaka Jurnal Keluarga.
Vreede, Frans. 1993. Intisari Filsafat Hindu. Denpasar: Pustaka Siddhanta.
Wijaya, Putu 2011. “Kebalian dalam Ruang Kosmopolitan” dalam I Nyoman Darma Putra dan I Gde
Pitana (eds).Bali dalam Proses Pembentukan Karakter Bangsa. Denpasar: Penerbit Pusta-
ka Larasan.
Windia, I Wayan. 2008. “Konflik Adat dan Kesepekang di Desa Adat Bungaya, Kabupaten Karangas-
em Bali Persfektif Kajian Budaya” Disertasi (tidak diterbitkan). Denpasar: Program Stu-
di Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

DHARMASMRTI
112
Vol. XIII Nomor 26 Oktober 2015 : 1 - 135

Anda mungkin juga menyukai