Anda di halaman 1dari 19

UJI FITOKIMIA

PRAKTIKUM XII
(Mata Kuliah Analisis Bahan Dan Produk Agroindustri)

Kelompok 3
Kelas 2 C

Josua Saputra Selah 1802301038


Muhammad Nursyahwal 1802301043
Nur Atikah Fauziyah 1802301045
Rani Wijayanti 1802301020

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


POLITEKNIK NEGERI TANAH LAUT
PELAIHARI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Fitokimia atau kimia tumbuhan mempelajari aneka ragam senyawa


organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan yaitu mengenai struktur
kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya
secara alamiah serta fungsi biologinya. Tumbuhan menghasilkan berbagai
macam senyawa kimia organik, senyawa kimia ini bisa berupa metabolit primer
maupun metabolit sekunder. Kebanyakan tumbuhan menghasilkan metabolit
sekunder, metabolit sekunder juga dikenal sebagai hasil alamiah metabolisme.
Hasil dari metabolit sekunder lebih kompleks dibandingkan dengan metabolit
primer. Berdasarkan asal biosintetiknya, metabolit sekunder dapat dibagi ke
dalam tiga kelompok besar yakni terpenoid (triterpenoid, steroid, dan saponin)
alkaloid dan senyawa-senyawa fenol (flavonoid dan tanin) (Simbala, 2009).
Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas.
Pengobatan tradisional ini terus dikembangkan & dipelihara sebagai warisan
budaya bangsa yang terus ditingkatkan melalui penggalian, penelitian,
pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan dengan pendekatan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Obat tradisional biasanya digunakan dalam
bentuk pengobatan sendiri atau sebagai obat yang diperoleh dari pemberi
pelayanan pengobatan.
Bukti empiris tentang penggunaan tanaman obat sebagai obat tradisional
oleh nenek moyang kita selama beratus-ratus tahun terbukti relatif aman. Jika
digunakan secara benar, obat tradisional jarang sekali menimbulkan efek
samping. Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahan baku, cara
pengolahan, pengemasan, penyimpanan, dan pencampuran dengan bahan
kimia. Beragam upaya dilakukan dalam pencarian tumbuhan berkhasiat obat
dimulai dari mengidentifikasi kandungan kimia yang terkandung di dalamnya
serta bentuk morfologi dari tumbuhan tersebut yang memberikan ciri khas.
Namun, tidak semua tumbuhan berkhasiat yang memberikan ciri khas itu dapat
dikategorikan sebagai tumbuhan berkhasiat obat. Penelitian dan pengembangan
tumbuhan obat baik di dalam maupun di luar negeri berkembang pesat.
Penelitian yang berkembang, terutama dari segi farmakologi maupun
fitokimianya penelitian dilakukan berdasarkan indikasi tumbuhan obat yang
telah digunakan oleh sebagian masyarakat dengan khasiat yang teruji secara
empiris.

1.2 Tujuan
Kegiatan praktikum ini bertujuan untuk menentukan kandungan senyawa
aktif tanaman lokal
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
Fitokimia merupakan cabang ilmu kimia yang mempelajari mengenai
pertumbuhan dan metabolisme tanaman, misalnya pengubahan unsur anorganik
seperti nitrogen, kalium, air dan karbon dioksida menjadi pati, gula, protein dan
sebagainya yang dibutuhkan oleh tanaman. Ilmu fitokimia secara analisis
merupakan penambahan secara sistematis tentang berbagaisenyawa kimia,
terutama dari golongan senyawa organik yang terdapat dalam tumbuhan, proses
biosintesis, metabolisme dan perubahan-perubahan lain yang terjadi pada senyawa
kimia tersebut beserta sebaran dan fungsi biologisnya.
Untuk mengetahui atau menentukan kandungan zat aktif dalam suatu
tumbuhan atau ekstrak tumbuhan dapat dilakukan screening atau penapisan.
Metode screening atau penapisan ini diantaranya:
2.1 Metode skrining
2.1.1 Penapisan Fitokimia (Phytochemical Screening)
Penapisan Fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa
metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam
metabolit sekunder yang berperan dalam aktivitas biologinya. Senyawa-senyawa
tersebut dapat diidentifikasi dengan pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan ciri
khas dari setiap golongan dari metabolit sekunder.
Penapisan fitokimia dilakukan apabila ekstrak dari tumbuhan yang diperoleh
tidak diketahui kandungan kimianya. Penapisan fitokimia ini ditujukan untuk
mengetahui kandungan senyawa atau golongan senyawa dalam suatu tanaman atau
ekstrak tanaman.
Metode yang digunakan dalam skrining fitokimia harus memiliki persyaratan:
 Metodenya sederhana dan cepat
 Peralatan yang digunakan sesedikit mungkin
 Selektif dalam mengidentifikasi senyawa-senyawa tertentu
 Dapat memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan senyawa
tertentu dalam kelompok senyawa yang diteliti.
Golongan senyawa kimia dapat ditentukan dengan cara:
 uji warna
 penentuan kelarutan
 bilangan Rf
 ciri spektrum UV

Masalah pada skrining fitokimia biasanya adalah kesalahan menafsirkan hasil


analisis pengujian/skrining, seperti :
 Reaksi positif palsu adalah hasil pengujian menyatakan ada (positif), tapi
sebenarnya tidak ada (negatif), hal ini bisa disebabkan kesalahan alat, atau
pengaruh senyawa yang memiliki kesamaan sifat maupun struktur atom yang
identik
 Reaksi negatif palsu adalah hasil pengujian menyatakan tidak ada (negatif),
tapi sebenarnya ada (positif), hal ini bisa disebabkan kurang sensitifnya alat,
atau karena kadar didalam bahan uji terlalu sedikit, atau bahan ujinya (ekstrak
simplisia) tidak memenuhi syarat, oleh karena itu senyawa yang tadinya ada
hilang/rusak karna reaksi enzimatik maupun hidrolisis.

2.1.2 Penapisan Farmakologi atau Biologi (Pharmacological/Biological


Screening)
Penapisan ini dilakukan dengan cara menguji aktivitas farmakologi atau
biologi berbagai macam ekstrak tanaman. Tumbuhan atau tanaman yang diuji efek
farmakologinya bisa berupa tanaman yang dikumpulkan secara acak (random
screening) atau kelompok tanaman yang terpilih. Hasil dari metode ini dijadikan
sebagai alat untuk mengisolasi zat aktif yang terkandung dalam ekstrak tanaman.

2.1.3 Penapisan Etnofarmakologi


Metode penapisan ini didasarkan pada pengetahuan tradisional masyarakat
suatu daerah atau budaya tertentu. Metode ini melibatkan berbagai macam disiplin
ilmu seperti antropologi, etnobotani, botani, fitokimia, dan farmakologi.

2.2 Metode ekstraksi


Ekstrak adalah sediaan pekat atau kering yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan sehingga
diperoleh masa kental atau serbuk. Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan
kimia yang dapat larut dari suatu bahan simplisia sehingga terpisah dari bahan yang
tidak larut. Didalam satu simplisia ada senyawa yang dapat larut dalam cairan
penyari dana ada yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain.
Ekstrak yang digunakan pada praktikum kali ini adalah ekstrak daun jambu biji.
Berikut adalah kelebihan dan kekurangan beberapa metode ekstraksi :
2.2.1 Maserasi
Keuntungan :
- Unit alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam
- Biaya operasionalnya relatif rendah
- Prosesnya relatif hemat penyari dan tanpa pemanasan
Kekurangan :
- Proses penyariannya tidak sempurna karena zat aktif mampu
terekstraksi sebesar 50% saja
- Prosesnya lama karena butuh waktu beberapa hari
2.2.2 Perkolasi
Kelebihan :
- Tidak terjadi kejenuhan
- Pengaliran meningkatkan difusi
Kekurangan :
- Cairan penyari lebih banyak
- Resiko cemaran mikroba untuk penyari air karena dilakukan secara
terbuka
2.2.3 Soxhletasi
Kelebihan :
- Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak
tahan terhadap pemanasan secara langsung
- Digunakan pelarut yang lebih sedikit dan pemanasannya dapat diatur
Kekurangan :
- Pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah disebelah
bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi
peruraian oleh panas
- Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk
menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi
2.2.4 Refluks
Kelebihan :
- Mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar
- Tahan pemanasan langsung
Kekurangan :
- Membutuhkan volume total pelarut yang besar
- Membutuhkan sejumlah manipulasi dari operator
2.2.5 Destilasi uap air
Kelebihan :
- Alatnya sederhana
- Menghasilkan minyak atsiri dalam jumlah yang cukup banyak
Kekurangan :
- Cocok untuk minyak atsiri yang rusak oleh panas uap air
- Membutuhkan waktu destilasi yang lebih panjang untuk hasil yang lebih
banyak
2.2.6 Infusi
Kelebihan :
- Unit alat yang dipakai sederhana
- Biaya operasionalnya relatif rendah
Kerugian :
- Zat-zat yang tertarik kemungkinan sebagian akan mengendap kembali,
apabila kelarutanya sudah mendingin dan hilangnya zat-zat atsiri
- Adanya zat-zat yang tidak tahan panas lama

2.3 Skrining Fitokimia


Metabolit sekunder yang dihasilkan dari proses ekstraksi serta metode yang
dapat dilakukan skrining fitokimia antara lain (Mandal, 2015):
2.3.1 Deteksi Triterpenoid
a. Uji Noller
Larutan uji ditambahkan reagen Moller (0.1% Stannic klorida dalam tionil
klorida) menghasilkan warna merah
b. Uji Sannie
Campuran stannous klorida, asam asetat dan karbon tetraklorida (6:50:50)
ketika disemprotkan pada kertas saring yang berisi triterpen dan dipanaskan
pada 100°C menghasilkan warna coklat .
c. Uji Rosenthaler
Penambahan asam sulfat untuk larutan beralkohol dari triterpen
mengandung vanilin hidroklorida memberikan reaksi warna.
2.3.2 Detreksi Steroid
a. Uji Libermann-Burchard
Ditambahkan asam sulfat pekat ked lam larutan ekstral dalam asam asetat
glacial, jika postif akan memberikan perubahan warna merah mawar (rose)
menjadi merah, ungu, dan biru kehijauan.

b. Reaksi lifschutz
Sebuah reaksi warna dihasilkan ketika sterol dipanaskan dengan asam
perbenzoat, asam asetat glasial, dan asam sulfat.
c. Reaksi Rossenhein
Senyawa diperlakukan dengan kloroform dan disemprot dengan asam
trikloroasetat, dan warna Rossenhein diproduksi untuk ergosterol.
d. Uji Zimmermann
Uji ini positif untuk semua sterol 17-keto. Senyawa ditambah dengan 1 ml
dari 2 N kalium hidroksida dalam alkohol absolut dan 1 ml dari 1%
dinitrobenzene dalam alkohol absolut. Setelah 10 menit, campuran itu
ditambahkan ke 10 ml alkohol absolut akan menghasilkan warna violet
e. Reaksi Tschugaeff
Larutan asam asetat glasial dari sterol ditambah dengan seng klorida dan
asetil klorida dan direbus lalu jika positif maka terbentuk warna merah.
f. Reaksi Pinus
Androsteron ditambahkan ke dalam larutan antimon triklorida di asam
asetat memberikan warna biru.
g. Reaksi Pettenkofer
Larutan furfural dalam asam asetat ditambahkan ke
dehydroepiandrosterone diikuti dengan penambahan asam sulfat dan
pemanasan memberikan warna merah. Warna ini perubahan merah kebiruan
dalam beberapa hari.
2.3.3 Deteksi Tanin dan Senyawa Fenolik
Fenolik dapat berbentuk fenol bebas atau dalam bentuk glikosidik. Karena
banyaknya fungsi hidroksil, fenol cenderung relatif polar dan larut dalam
alkohol encer. Karena merupakan asam lemah, maka juga dapat diekstraksi
atau dipecah menjadi alkali encer seperti garam fenolat. Masalah yang
dihadapi dengan senyawa fenolik adalah dapat mengalami reaksi
polimerisasi oleh aksi oksidasi polifenol. Reaksi ini menghasilkan warna
coklat pada bahan tanaman yang rusak bila terkena udara (Houghton, 1998).
Proses deteksi dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu :
a. Uji ferri klorida
Ditambahkan beberapa tetes 5% FeCl3 ke dalam larutan ekstrak air dari
sampel, dan dengan adanya warna hijau gelap menunjukkan adanya fenolik
senyawa.

b. Uji Gelatin
Ditambahkan 2 ml larutan 1% gelatin mengandung 10% natrium klorida ke
dalam larutan ekstrak air dari sampel. Adanya endapan putih menunjukkan
adanya senyawa fenolik. Asam galat dan pseudotannin akan positif dengan
gelatin jika larutannya cukup pekat.
c. Uji Goldbeater
Rendam kulit goldbeater dalam 2% asam hidroklorat; bilas dengan air suling
dan dimasukkan dalam larutan uji selama 5 menit. Cuci dengan air suling
dan dipindahkan ke larutan 1% besi sulfat. Adanya warna coklat atau hitam
pada kulit menunjukkan adanya tanin. Kulit goldbeater adalah membran
yang dibuat dari usus sapi.
d. Uji Phenazone
Untuk sekitar 5 ml ekstrak air, tambahkan 0,5 g asam natrium fosfat; hangat,
dingin, dan filter. Untuk filtrat tambahkan 2% larutan dari phenazone. Lalu
adanya tannin akan memberikan endapan.
e. Uji untuk katekin
Katekin pada pemanasan dengan asam membentuk phloroglucinol,
dilakukan untuk uji lignin. Celupkan batang korek api ke dalam ekstrak
tanaman, keringkan, dibasahi dengan asam klorida pekat, dan hangatkan di
dekat api. Phloroglucinol menghasilkan warna pink kayu atau merah.
f. Uji asam klorogenat
Ekstrak yang mengandung asam klorogenat ketika ditambah dengan larutan
amonia dan terkena udara secara bertahap memberikan warna hijau.
g. Uji timbal asetat
Ekstrak air dilarutkan dalam air suling, dan ditambahkan 3 ml 10% larutan
timbal asetat. Adanya endapan putih menunjukkan adanya senyawa fenolik.
2.3.4 Deteksi alkaloid
Alkaloid mengandung amina yang dapat diekstraksi secara selektif
menggunakan modifikasi dari metode klasik "asam-basa". Sebagai aturan
umum, adanya asam dan basa kuat harus dihindari dalam penentuan alkaloid
(dan bahan tanaman pada umumnya) ketika senyawa sasaran tidak diketahui
(Sarker, 2012).
Serbuk dicampur dengan 1 ml 10% larutan amonia atau 10% larutan natrium
sodium, lalu dikocok selama 5 menit dengan 5 ml 60oC. Filtrat didinginkan
(Sarker, 2012).

a. Tes Dragendroff
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan 2 ml tetes reagen Dragendroff
(potasium bismut iodida). Warna coklat kemerahan menandakan tes positif.
b. Tes Mayer
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Mayer
(potasiummerkurat iodida). Warna krem menandakan tes positif.
c. Tes Wagner
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Wagner
(larutan iodium pada potasium iodida). Warna coklat kemerahan
menandakan tes positif.
d. Tes Hager
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Hager (larutan
asam pitrat jenuh). Warna kuning menandakan tes positif.
e. Tes Marme
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Marme
(kadmium iodida + potasium iodida + air) lalu terbentuk endapan jika postif.
f. Tes Scheiber
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Scheiber
(natrium tungstat + dinatrium fosfat + air) lalu terbentuk endapan jika postif.
g. Tes Reineckate
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes larutan Reineckate (1
gram amonia pada air dan 0,3 gram hidroksilamin hidroklorida pada 100 ml
etanol) lalu terbentuk endapan jika postif.
h. KLT untuk mendeteksi alkaloid
- Tanpa penambahan senyawa kimia yaitu dengan menyinari lempeng
yang sudah ditotolkan ekstrak sampel dibawah sinar UV 254nm akan
terjadi pemadaman pada lempeng. Pada UV 365 nm beberapa alkaloid
seperti rauwolfia, ajmalin dapat menunjukkan fluoresensi biru atau
kuning.
- Dengan menggunakan reagen semprot yaitu dengan penyemprotan
Dragendorf akan memberikan warna coklat atau oranye pada totolan
sampel, namun warna yang dihasilkan tidak stabil sehingga perlu diberi
tambahan larutan 5% Na nitrit atau 5% asam sulfat etanolik.
2.3.5 Deteksi Glikosida
'Glikosida' adalah istilah umum yang mencakup berbagai macam ciri umum
zat, yang terdiri dari setidaknya satu molekul gula yang dihubungkan
melalui karbon anomerik untuk bagian lain. Secara teknis, mencakup baik
holosida (misalnya disakarida, oligosakarida, polisakarida). Glikosida
relatif polar karena adanya satu atau lebih gula dalam molekul. Kebanyakan
glikosida dapat diekstraksi dengan pelarut polar seperti aseton, etanol,
metanol, air atau campurannya. Aglikon glikosida dapat diperoleh dengan
menghidrolisa ekstraks glikosida dalam media air, diikuti oleh ekstraksi
aglycone ke dalam pelarut yang kurang polar, misalnya dietileter atau
diklorometana (Houghton, 1998).
a. Uji Keller Kiliani : spesifik untuk digitoxose moiety
b. Uji Baljet : menggunakan larutan Na pikrat. Reaksi positif ditandai dengan
pengubahan warna kuning menjadi oranye.
c. Uji Raymond : kardenolida direaksikan dengan m-dinitrobenzena dan
NaOH metanolik memberikan warna ungu
d. Uji Legal : menggunakan larutan alkali Na nitroprussida memberikan warna
merah muda.
e. Uji Liebermann-Burchard : melarutkan sampel dalam asam asetat glacial
lalu ditambah 1 tetes asam sulfat pekat. Perubahan warna terjadi dari merah
mawar (rose0 menjadi merah, ungu, dan biru kehijauan. Reaksi dilakukan
untuk steroid moiety.
Kardeinolida positif pada reaksi-reaksi di atas, namun bufadeinolida
memberikan hasil positif pada uji Liebermann-Burchard.
f. Tes Borntrager
Panaskan serbuk dengan asam sulfat, saring dan tambahkan kloroform pada
filtart. Kocok dan kumpulkan lapisan organik. Tambahkan sedikit beberapa
tetes larutan amonia pekat, kocok dan jaga tabung uji beberapa menit.
Warna merah/merah muda menunjukkan adanya antarkinon dan jika
negatif, mengandung antranol.
g. Tes Modifikasi Borntrager
Dilakukan dengan feriklorida dan melarutkan menggunakan asam
hidroklorat untuk hidrolisis oksidatif. Adanya antrakinon ditunjukkan
dengan warna merah muda sampai merah saat diekstraksi dengan karbon
tetraklorida, lalu ketika dikocok dengan amonia.
h. Deteksi dengan KLT dilakukan dengan 2 metode yaitu tanpa reagen kimia
dan dengan adanya reagen semprot.
- Tanpa reagen kimia terjadi pemadaman lemah oleh kardenolida pada
UV 265nm, namun pemadaman kuat oleh bufadenolida. Untuk glikosida
jantung, tidak boleh dilakukan fluoresensi pada panjang gelombang
365nm.
- Dengan reagen semprot dapat dilakukan untuk mendeteksi secara
spesifik untuk kardenolida dan untuk mendeteksi secara umum untuk
kardenolida da bufadenolida. Untuk mendeteksi kardenolida secara
spesifik, dilakukan dengan reagen Kredde akan menyebabkan warna
merah muda atau biru-ungu dan dapat juga menggunakan reagen Legal,
Baljet, dan Raymond memberikan warna merah-oranye atau ungu.
Untuk mendeteksi secara umum, dapat dilakukan dengan reagen asam
kloramin-trikloroasetat memberika fluoresensi biru, kuning, atau
kuning-hijau yang dilakukan pada panjang gelombang 365nm. Selain
dengan reagen asam kloramin-trikloroasetat, dapat dilakukan juga
dengan reagen asam sulfat 5ml lalu dipanaskan selama 3-5menit pada
100oC dan memberikan hasil fluoresensi biru, coklat, hijau, dan
kekuningan dan beberapa muncul warna coklat atau biru di bawah sinar
matahari.
2.3.6 Deteksi Flavonoid
Serbuk diekstraksi dengan 10 ml etanol selama 5 menit pada water bath suhu
60oC (Sarker, 2012).
a. Uji Shinoda
Ekstrak ditambahkan campuran lempeng magnesium dan dipekatkan
dengan asam hidroklorat. Warna merah mengindikasikan adanya flavonoid,
flavonon dan xanton.
b. Untuk larutan uji, ditambahkan feri klorida. Pergantian warna dari hijau
menjadi hitam.
c. Deteksi dengan KLT tanpa atau dengan tambahan reagen kimia
- Tanpa reagen dilakukan pada panjang gelombang 254nm, semua
flavonoid menunjukkan pemadaman tampak biru tua pada lempeng
KLT yang berfluoresensi kuning. Pada panjang gelombang 165nm,
tergantung pada struktur, flavonoid akan memberikan fluoresensi
berwarna kuning, biru, atau hijau, namun bisa terjadi hasil positif palsu
jika ekstrak mengandung asam-asam dan kumarin (berfluoresensi biru)
- Dengan reagen semprot dilakukan dengan reagen alami atau polietilen
glikol memberikan fluoresensi pada 365nm yang intensif. Selain reagen
tersebut, dapat juga dilakukan dengan reagen Fast Blue Salt akan
memberikan warna biru-ungu di bawah sinar matahari, atau dapat juga
dilakukan dengan tambahan 0,1 M NaOH atau 10% KOH.
BAB III
METODELOGI
3.1 Waktu Dan Tempat
Kegiatan praktikum dilaksanakan pada hari kamis tanggal 23 Mei 2019
pukul 09.00 WITA sd selesai di Laboratorium Pengujian Politeknik Negeri
Tanah Laut.
3.2 Alat Dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat – alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah gelas beaker,
tabung reaksi,batang pengaduk kaca,dan gelas ukur
3.2.2 Bahan
Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah teh,
aquadest, air metanol Naoh,FeCl3
3.3 Prosedur Kerja
Preparasi
1. Ditimbang teh sebanyak 2 gr didalam gelas beaker 250 ml masing-masing
3 buah
2. Gelas beaker 1 &3 ditambahkan air sebanyak 100 ml
3. Gelas beaker 2 ditambahkan metanol sebanyak 100 ml
4. Larutan didalam gelas beaker 1&3 didihkan ± 5 menit
5. Larutan didalam gelas beaker 2 didihkan sampai suhu 70 º C
a. Uji Saponin
1. Dimasukkan larutan teh gelas beaker 1 kedalam 2 tabung reaksi ± 5
ml
2. Dikocok dengan kuat sampai berbusa
3. Diamkan selama 10 menit
4. Jika busanya hilang maka psitif mengandung saponin
b. Uji flavonoid
1. Dimasukkan larutan teh gelas beaker 2 kedalam 2 tabung reaksi
± 5 ml
2. Ditambahkan NAOH 10% sebanyak 3-5 tetes
3. Diamati perubahan warna (+ hijau mengandung Flavonoid)
c. Uji Tanin
1. Dimasukkan larutan teh pada gelas beaker ketiga ± 5 ml
2. Ditambahkan 1% Fecl3
3. Diamati perubahan warnanya (+ kemerah-merahan mengandung
tanin)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapat hasil sebagai berikut :

Hasil Pengamatan
No Uji
Tabung 1 Tabung 2

1 Saponin Positif Positif

2 Flavonoid Positif Positif

3 Tanin Positif Positif

4.2 Pembahasan
Dari percobaan diatas menggunakan sampel teh dan dilakukan tiga uji
untuk mengatuhui apakah sampel mengandung fitokimi dan dilakukan
pengulangan sebanyak 2 kali, adapun uji yang dilakukan yaitu flafonoid,
saponin dan tanin dan didapatkan hasil dari uji saponin dari kedua tabung fositif
mengandung saponin begitu juga dengan uji flavonoid dan tanin dari kedua
tabung fositif mengandung flavonoid dan tanin.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang sudah kami lakukan didapatkan hasil sebagai
berikut:
1. Dari uji saponin dari sampel teh fositif mengandung saponin
2. Dari uji flafonoid dari sampel teh mengandung flavonoid
3. Dari uji tanin fositif mengandung Tanin
5.2 Saran
Sebaiknya disaat melakukan praktikum bisa lebih teliti agar tidak terjadi
kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I. Jakrta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Atul, P., D. Nilesh, R. Akkatai, K. Kamlakar, dan S. R. Shahu. 2012. A review on
aegle marmelos: a potential medicinal tree. International Research Journal of
Pharmacy. 3(8):86–91.
Djamal, R., 1988. Tumbuhan Sebagai Sumber Bahan Obat. Pusat Penelitian.
Universitas Negeri Andalas.
Harbon J.B. 1987. Metode Fitokimia : Penentuan cara modern menganlisis
tumbuhan. Terbitan ke dua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan iwang
soediro. Bandung. ITB Press.
Hariana, Arief. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Depok : Penebar
Swadaya
Rismayani. 2013. Manfaat Buah Maja sebagai Pestisida Nabati untuk Hama
Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella). Warta Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, Volume 19 Nomor 3, Desember 2013.

Deinstrop, E.H., 2007. Applied Thin Layer Chomatography : Best Practice and
Avoidance of Mistakes, Second, Re. ed. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co.
KGaA, Eckental.

Harborne, J.B., 1984. Phytochemical Methods : A Guide to Modern Techniques of


Plants Analysis, Second. ed. Chapman & Hall, Lon.

Houghton, J., Raman, A., 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of
Natural Extracts, First. ed. Chapman & Hall.

Maity, P., D. Hansda, U. Bandyopadhyay, dan D. K. Mishra. 2009. Biological


activities of crude extracts and chemical constituents of bael, aegel marmelos
(l.) corr. Indian Journal of Experimental Biology. 47:849–861.

Mandal, S.C., Mandal, V., Kumar, A., 2015. Essentials of Botanical Extraction
Principles : and Applications. Elsevier, London.

Mishra, B. B., D. D. Singh, N. Kishore, V. K. Tiwari, dan V. Tripathi. 2010.


Antifungal constituents isolated from the seeds of aegle marmelos.
Phytochemistry. 71:230–234.
Rao, K. J. dan S. Paria. 2015. Aegle marmelos leaf extract and plant surfactants
mediated green synthesis of au and ag nanoparticles by optimizing process
parameters using taguchi method. ACS Sustainable Chemistry & Engineering.
3(3):483–491.
Sarker, S.D., Nahar, L., 2012. Natural Products Isolation : Methods and Protocols,
Third. ed. Humana Press, London.

Anda mungkin juga menyukai