Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN FITOKIMIA

“EKSTRAKSI KULIT BATANG SUKUN (Artocarpus altilis)


DENGAN METODE REFLUKS”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK II
NAMA NIM
ARDIANTI 202104004
FEBBY AYU RAHMAYANI 202104009
KALMA DG.SITUDJU 202104012
MUHAMMAD RAPIDAN 202104016
NUR ANISA SYAFITRA NACAK 202104020
PUTRI AMALIA 202104024
DOSEN PEMBIMBING:
Apt. RUSTAM T.,S.Si.,M.Kes

LABORATORIUM FITOKIMIA
PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA (DIII) FARMASI
FAKULTAS TEKNOLOGI KESEHATAAN DAN SAINS
ITKES MUHAMMADIYAH SIDRAP
2023
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Fitokimia atau kimia tumbuhan berkaitan erat dengan organik bahan
alam dari biokimia tumbuhan. Kemajuan fitokimia sangat dibantu dengan
metode penjaringan untuk menjaring tumbuhan sehingga diperoleh senyawa
yang khas. Setiap gugus senyawa, atom memiliki keanekaan dan jumlah
struktur molekul yang banyak dan tidak sama. Hal tersebut yang membuat
metode identifikasi senyawa kimia berbeda antara fitokimia, kimia organik
dan sintesis organik. Analisis fitokimia merupakan bagian dari ilmu
farmakognosi yang mempelajari metode atau cara analisis kandungan kimia
yang terdapat dalam tumbuhan atau hewan secara keseluruhan atau bagian-
bagiannya, termasuk cara isolasi atau pemisahan. (Harborne, 1987)
Pada tahun terakhir ini fitokimia atau kimia tumbuhan telah
berkembang menjadi satu disiplin ilmu tersendiri, ilmu ini berada diantara
kimia organik bahan alam dan biokimia tumbuhan, serta berkaitan dengan
keduannya. Bidang perhatiannya adalah aneka ragam senyawa organik yang
di bentuk dan di timbun oleh tumbuhan, yaitu mengenai struktur kimianya,
biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebaran secara ilmiah
dan fungsi biologisnya. (Harborne, 1984)
Keanekaragaman dan jumlah struktur molekul yang di hasilkan oleh
tumbuhan banyak sekali, demikian juga laju pengetahuan tentang hal tersebut.
Masalah utama dalam penelitian fitokimia adalah menyusun data yang ada 2
mengenai setiap golongan senyawa khusus. Kandungan kimia tumbuhan
dapat di golongkan menurut beberapa cara. Pengolahan didasarkan pada asal
biosintesis, sifat kelarutan dan adanya gugus fungsi tertentu. Identifikasi
gugus atom atau unsur-unsur senyawa dalam tumbuhan, dilakukan setelah
diperoleh ekstrak murni. Metode identifikasi untuk mengetahui jenis senyawa
bergantung pada pengukuran sifat fisikokimianya atau ciri lainnya. Sifat
fisikokimia yang diukur antara lain titik leleh untuk senyawa padat, titik didih
untuk senyawa cair, massa jenis dan putar optik untuk senyawa aktif optik.
Identifikasi kualitatif fitokimia atau kelompok senyawa pada tumbuhan dan
hewan sangat bergantung pada pereaksi gugus polar atau non-polar dengan
senyawa-senyawa pada tumbuhan dan hewan. Identifikasi kualitatif pada
ekstrak tumbuhan dan hewan dapat di lakukan dengan Spektroskopi Infra
merah (IR) dan Spektroskopi Gass Chromatograph-Mass Spectrometer (GC-
MS). (Mao, 2016)
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh
cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi
serbuk. (Dirjen POM, 1995)
Ekstraksi merupakan proses suatu zat atau beberapa dari suatu padatan
atau cairan dengan bantuan pelarut. Pemisahan terjadi atas dasar kemampuan
larutan yang berbeda dari komponen-komponen tersebut. Ekstraksi biasa
digunakan untuk memisahkan dua zat berdasarkan perbedaan kelarutan.
Bahan diperiksa untuk menemukan kelompok senyawa kimia tertentu,
misalnya alkaloid, flavonoid atau saponin, meskipun struktur kimia
sebetulnya dari senyawa ini bahkan keberadaannya belum diketahui.
(Adawiyah, 2017)
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relative konstan
dengan adanya pendinginan balik. Ekstraksi refluks digunakan untuk
mengekstraksi bahan-bahan yang tahan terhadap pemanasan. (Sudjadi, 1986)
Prinsip dari metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan akan
menguap pada suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan kondensor
sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada
kondensor dan turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap
ada selama reaksi berlangsung. Sedangkan aliran gas N 2 diberikan agar tidak
ada uap air atau gas oksigen yang masuk terutama pada senyawa
organologam untuk sintesis senyawa anorganik karena sifatnya reaktif.
(Sudjadi, 1986)
I.2 TujuanPraktikum
Adapun maksud dari percobaan kali ini adalah untuk mengetahui dan
mempelajari cara mengekstraksi simplisia dengan metode refluks, untuk
mengetahui proses ekstraksi dengan metode refluks pada sampel kulit batang
Artocarpus altilis serta Untuk mendapatkan ekstrak dari simplisia kulit
Artocarpus altilis.

I.3 Manfaat Praktikum


1. Dapat mengetahui cara mengambil ekstrak dari tanaman kulit sukun
2. Mengekstraksi sampel kulit sukun dengan metode refluks
3. Mengetahui cara mengidentifikasi komponen kimia dalam tanaman
ekstrak kulit sukun melalui praktek langsung di laboratorium
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dasar Teori
Ilmu fitokimia merupakan ilmu yang mempelajari tentang aspek kimia
tanaman, meliputi senyawa organik atau zat kimia yang terdapat dari tanaman
yang memberikan ciri khas pada tanaman/tumbuhan itu. Fitokimia adalah
ilmu yang mempelajari berbagai senyawa organik yang dibentuk dan
disimpan oleh tumbuhan oleh tumbuhan yaitu tentang struktur kimia,
biosintesis, perubahan dan metabolisme, penyebaran secara alami dan fungsi
biologis dari senyawa organik. Senyawa organik atau zat kimia tanaman ini
dapat diperoleh melalui beberapa proses yang disebut proses analisis
fitokimia yang terdiri dari 5 tahap, yaitu proses pembuatan simplisia, proses
ekstraksi, proses skrining, proses pemisahan dan pemurnian dan proses
karakterisasi dan identifikasi. Fitokimia lebih diarahkan untuk mengetahui
senyawa organik berupa metabolit sekunder dari tiap tanaman dan
pelaksanakan uji bioaktifitas untuk mengetahui manfaat dari senyawa
metabolit sekunder tersebut. Praktikum fitokimia akan memfokuskan pada
pembuatan ekstrak, skrining fitokimia, karakterisasi dan identifikasi dan uji
bioaktifitas tanaman. (Saputri et al, 2021)
Ekstraksi dapat didefinisikan sebagai proses pemisahan atau penyarian
komponen kimia dari suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu.
Dimana ekstraksi ini bertujuan untuk menarik komponen kimia yang
terdapatdalam simplisia atau sampel. Ekstraksi dapat kita lakukan pada
sampel yang berasal dari tumbuhan atau tanaman, hewan dan mineral atau
pelican. (Depkes RI, 1979)
Dalam farmakope IV ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh
dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia
hewani menggunakan pelarut yang sesuai kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Tujuan
ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam
simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat
padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi padalapisan antar
muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. (Harbone, J.B., 1987)
Metode refluks adalah metode ekstraksi komponen dengan cara
mendidihkan campuran antara contoh dan pelarut yang sesuai pada suhu dan
waktu tertentu. Serta uap yang terbentuk diembunkan dalam kondensor agar
kembali ke labu reaksi. Pada umumnya metode refluks digunakan untuk
ekstraksi bahan-bahan yang sulit dipisahkan. Pada kondisi ini jika dilakukan
pemanasan biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai
selesai. (Harbone, J.B, 1987)
Prinsip dari metode refluks adalah penarikan komponen kimia yang
dilakukan dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-
sama dengan cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari
terkondensasi pada kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari
yang akan turun kembali menuju labu alas bulat, akan menyari kembali
sampel yang berada pada labu alas bulat, demikian seterusnya berlangsung
secara berkesinambungan sampai penyarian sempurna, penggantian pelarut
dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4 jam. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan
dan dipekatkan. Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk
mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan
pemanasan langsung. Sedangkan kerugian metode ini adalah membutuhkan
volume total pelarut yang besar dan sejumlah manipulasi dari operator
(Harbone,J.B., 1987)

II.2 Metode Ekstraksi Bahan Alam


Berbagai jenis bahan terdapat di alam memiliki jenis, bentuk dan
komposisi yang beragam. Dalam pemanfaatanya, manusia dapat mengambil
seluruh zat dari bahan tersebut atau dapat mengambil beberapa zat yang
dibutuhkannya saja dari suatu bahan. Untuk dapat mengambil atau
memperoleh zat tersebut dapat dilakukan dengan berbagai proses, salah
satunya yaitu ekstraksi. Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu
komponen dari suatu campuran berdasarkan proses distribusi terhadap dua
macam pelarut yang tidak saling bercampur. Ekstraksi pelarut umumnya
digunakan untuk memisahkan sejmlah gugus yang diinginkan dan mungkin
merupakan gugus pengganggu dalam analisis secara keseluruhan. Kadang-
kadang gugus-gugus pengganggu ini diekstraksi secara selektif. Proses
ekstraksi dapat dibedakan menurut bentuk campurannya menjadi dua jenis,
yaitu padat- cair dan cair-cair. Zat yang diekstraksi dalam ekstraksi padat-cair
yaitu berbentuk padatan. Sedangkan pada ekstraksi cai-cair, zat yang
diekstraksi merupakan bentuk cairan. Ekstraksi cair-cair inilah yang biasa
disebut ekstraksi pelarut. Ekstraksi pelarut atau disebut juga ekstraksi air
merupakan metode pemisahan yang paling baik dan populer. Alasan
utamanya adalah pemisahan ini dapat dilakukan baik dalam tingkat makro
ataupun mikro. Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat pelarut
dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur,
seperti benzen, karbon tetraklorida atau kloroform. Batasan nya adalah zat
terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbada dalam kedua fase pelarut.
(Agung, 2017)
Secara umum definisi ekstraksi pelarut/cair-cair adalah proses
pemisahan suatu komponen/solutlarutan fase air menggunakan pelarut
organik tertentu. Dalam proses ekstraksi dihasilkan dua jenis larutan yaitu
larutan fase organik dan fase air. Larutan fase organik yang dihasilkan dari
proses ekstraksi adalah larutan yang kaya dengan solut yang diinginkan dan
sering disebut ekstrak sedangkan larutan fase air adalah larutan yang miskin
dengan solut disebut rafinat. (Heti nurcahyanti, 2015)
Ekstraksi adalah penyaring zat–zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari
bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut, zat-
zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda
demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan
pelarut tertentu dalam mengekstraksinya. Tujuan ekstraksi bahan alam adalah
untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini
didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut,
dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian
berdisfusi masuk ke dalam pelarut. (Dirjen POM,1986)
Prinsip ekstraksi didasarkan pada sebaran atau distribusi zat terlarut
dalam senyawa aktif dengan penggunaan perbandingan dua pelarut yang tidak
saling bercampur atau sifat polaritas yang berbeda. Pemilihan pelarut
didasarkan pada kemampuan polaritas yang besar atau bersifat semipolar
sehingga dapat melarutkan berbagai komponen kimia dalam sampel yang
bersifat polar hingga nonpolar dalam jumlah yang maksimum. (Diana Lady,
2020)
Tujuan Ekstraksi Adapun tujuan daripada ekstraksi adalah untuk
menarik semua komponen kimia yang terdapat didalam simplisia. Basic
daripada ekstraksi ini adalah perpindahan massa komponen zat padat ke
dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka,
kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. (Isnaeni, 2017)
Secara umum, terdapat empat situasi dalam menentukan tujuan
ekstraksi:
1. Senyawa kimia telah diketahui identitasnya untuk diekstraksi dari
organisme. Dalam kasus ini, prosedur yang telah dipublikasikan dapat
diikuti dan dibuat modifikasi yang sesuai untuk mengembangkan proses
atau menyesuaikan dengan kebutuhan pemakai.
2. Bahan diperiksa untuk menemukan kelompok senyawa kimia tertentu,
misalnya alkaloid, flavanoid atau saponin, meskipun struktur kimia
sebetulnya dari senyawa ini bahkan keberadaannya belum diketahui.
Dalam situasi seperti ini, metode umum yang dapat digunakan untuk
senyawa kimia yang diminati dapat diperoleh dari pustaka. Hal ini diikuti
dengan uji kimia atau kromatografik yang sesuai untuk kelompok senyawa
kimia tertentu.
3. Organisme (tanaman atau hewan) digunakan dalam pengobatan
tradisional, dan biasanya dibuat dengan cara, misalnya Tradisional Chinese
mediane (TCM) seringkali membutuhkan herba yang dididihkan dalam air
dan dekok dalam air untuk diberikan sebagai obat. Proses ini harus ditiru
sedekat mungkin jika ekstrak akan melalui kajian ilmiah biologi atau kimia
lebih lanjut, khususnya jika tujuannya untuk memvalidasi penggunaan
obat tradisional.
4. Sifat senyawa yang akan diisolasi belum ditentukan sebelumnya dengan
cara apapun. Situasi ini (utamanya dalam program skrining) dapat timbul
jika tujuannya adalah untuk menguji organisme, baik yang dipilih secara
acak atau didasarkan pada penggunaan tradisional untuk mengetahui
adanya senyawa dengan aktivitas biologi khusus. (Isnaeni, 2017)
II.2.1 Jenis – Jenis Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat
larut dari suatu serbuk simplisia, sehingga terpisah dari bahan yang
tidak dapat larut. Beberapa metode yang banyak digunakan untuk
ekstraksi bahan alam yaitu :
1. Meserasi
Maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan
terlindung dari cahaya. Keuntungan dari metode ini adalah
peralatannya sederhana. Sedang kerugiannya antara lain waktu
yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan
penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk
bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks,
dan lilin. Metode maserasi dapat dilakukan dengan modifikasi
sebagai berikut:
 Modifikasi maserasi melingkar
 Modifikasi maserasi digesti
 Modifikasi Maserasi Melingkar Bertingkat
 Modifikasi remaserasi
 Modifikasi dengan mesin pengaduk Metode Soxhletasi
2. Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari
melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi Keuntungan metode
ini adalah tidak memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat
(marc) telah terpisah dari ekstrak. Kerugiannya adalah kontak
antara sampel padat tidak merata atau terbatas dibandingkan
dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses
perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien.
3. Soxhletasi
Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara
berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap,
uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh
pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan
selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah
melewati pipa sifon.
4. Refluks
Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk
mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan
tahan pemanasan langsung. Kerugiannya adalah membutuhkan
volume total pelarut yang besar dan sejumlah manipulasi dari
operator.
5. Digesti
Digesti merupakan suatu metode ekstraksi dengan maserasi
kinetik (dengan pengadukan terus-menerus), dan dilakukan pada
temperatur ruangan (kamar). Ekstraksi dengan metode digesti
secara umum dilakukan pada temperatur 40-5000C. (Depkes RI,
2000)
6. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya
dilakukan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air
dari bahan-bahan nabati. Proses ini dilakukan pada suhu 900C
selama 15 menit. (Depkes RI, 2000)
7. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan
temperatur sampai titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-
1000C. (Depkes RI, 2000)
II.2.2 Cara – Cara Ekstraksi
1. Ekstraksi Secara Soxhletasi
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara
berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih.
Uap penyari akan naik melalui pipa samping, kemudian di
embunkan lagi oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun untuk
menyari zat aktif dalam simplisia. Selanjutnya bila cairan penyari
mencapai sifon, maka seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat
dan terjadi proses sirkulasi. (Dirjen POM, 1986)
2. Ekstraksi secara Perkolasi
Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian
simplisia dengan derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5
bagian sampai 5 bagian cairan penyari dimasukkan dalam bejana
tertutup sekurang – kurangnya 3 jam. Massa dipindahkan sedikit
demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan penyari.
Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka
dengan kecepatan 1 ml permenit, sehingga simplisia tetap
terendam. Filtrat dipindahkan ke dalam bejana, ditutup dan
dibiarkan selama 2 hari pada tempat terlindung dari cahaya. (Dirjen
POM, 1986)
3. Eksraksi secara Meserasi
Meserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian
simplisia dengan derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian
dituangi dengan penyari 75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5
hari, terlindung dari cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari
lalu diperas dan ampasnya di maserasi kembali dengan cairan
penyari. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi, lalu
dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang
tidak bercahaya, setelah dua hari. (Dirjen POM, 1986)
4. Ekstraksi secara refluks
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi
berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan
cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat
pendingin tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih.cairan penyari
akan,uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan
akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian
seterusnya. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali
diekstraksi selama 4 jam. (Dirjen POM, 1986)
5. Ekstraksi secara Destilasi
Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya
digunakan untuk mengekstraksi minyak esensial (campuran
berbagai senyawa menguap). Selama pemanasan, uap
terkondensasi dan destilt (terpisah sebagai 2 bagian yang tidak
saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan
kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah senyawa yang
bersifat termolabil dapat terdegradasi. (Dalimartha, 2021)
II.2.3. Kromatografi Lapis tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan (KLT) termasuk kategori
kromatografi planar yang termasuk di dalamnya adalah kromatografi
kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi kolom yang
fase diamnya diisikan atau ter-packing dalam kolom. Kromatografi
planar ini fase diamnya merupakan lapisan uniform bidang datar yang
didukung oleh plat kaca, aluminium atau plat selulosa dalam
kromatografi kertas, sedangkan fase gerak yang juga sering disebut
sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam
dibawah pengaruh kapiler, pengaruh gravitasi atau pengaruh potensial
listrik. Dibanding dengan jenis lain kromatogafi lapis tipis ini lebih
mudah pelaksanaannya dan lebih murah. (Mulyono, 2012)
KLT biasanya digunakan pada analisis kualitatif untuk untuk
menentukan jumlah komponen campuran, atau penentuan suatu zat.
Sehingga KLT merupakan teknik analisis yang cukup mudah dan
praktis. HPTLC (High Performance Thin-Layer Chromatography)
digunakan untuk analisis secara kuantitatif. HPTLC merupakan salah
satu pengembangan KLT. Akan tetapi peralatan HPTLC sangat mahal
dan cukup rumit. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan
analisis kuantitatif kromatografi lapis tipis dengan biaya yang relatif
murah dengan hasil yang akurat. (Hess Amber, 2004)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan kromatografi kolom pada
prinsipnya sama. Apabila suatu cuplikan yang merupakan campuran
dari beberapa komponen yang diserap lemah oleh adsorben akan
keluar lebih cepat bersama eluen, sedangkan komponen yang diserap
kuat akan keluar lebih lama. (Deinstrop, Elke H, 2011)
KLT merupakan suatu teknik pemisahan dengan menggunakan
adsorben (fase stasioner) berupa lapisan tipis seragam yang disalurkan
pada permukaan bidang datar berupa lempeng kaca, pelat aluminium
atau pelat plastik Pengembangan kromatografi terjadi ketika fase
gerak tertapis melewati adsorben. (Deinstrop, Elke H, 2011)
KLT dapat digunakan jika :
1. Senyawa tidak menguap atau tingkat penguapannya rendah.
2. Senyawa bersifat polar, semi polar, non polar atau ionik.
3. Sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan,
hemat biaya dan dalam jangka waktu tertentu.
4. Sampel yang akan dianalisis akan merusak kolom pada
Kromatografi Cair (KC) ataupun Kromatografi Gas (KG).
5. Pelarut yang digunakan akan mengganggu penjerap dalam kolom
Kromatografi Cair.
6. Senyawa dalam sampel yang akan dianalisis tidak dapat dideteksi
dengan metode KC ataupun KG atau memiliki tingkat kesulitan
yang tinggi.
7. Setelah proses kromatografi, semua komponen dalam sampel perlu
dideteksi (berkaitan dengan nilai Rf).
8. Komponen dari suatu campuran dari suatu senyawa akan dideteksi
terpisah setelah pemisahan atau akan dideteksi dengan berbagai
metode secara bergantian (misalnya pada drug screening).
9. Tidak ada sumber listrik. KLT digunakan secara luas untuk analisis
solute-solute organic terutama dalam bidang biokimia, farmasi,
klinis, forensic, baik untuk analisis kualitatif dengan cara
membandingkan nilai Rf solut dengan nilai Rf senyawa baku atau
untuk analisis kualitatif .
Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya
komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau
berjalannya suatu reaksi, menentukan efektivitas pemurniaan,
menentukan kondisi yang sesuai untuk kromotografi kolom,serta
untuk memantau kromatografi kolom melakukan screening sampel
untuk obat. (Gandjar IG,2012)
Kelebihan dan Kekurangan Kromatografi Lapis Tipis
Kelebihan KLT yaitu:
 KLT lebih banyak digunakan untuk tujuan analisis.
 Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi
warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar
ultraviolet.
 Dapat dilakukan elusi secara mekanik (ascending), menurun
(descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi.
 Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang
akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak. Hanya
membutuhkan sedikit pelarut. Biaya yang dibutuhkan terjangkau.
 Jumlah perlengkapan sedikit.
 Preparasi sample yang mudah.
 Dapat untuk memisahkan senyawa hidrofobik (lipid dan
hidrokarbon) yang dengan metode kertas tidak bisa (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Kekurangan KLT yaitu:
 Butuh ketekunan dan kesabaran yang ekstra untuk mendapatkan
bercak/noda yang diharapkan.
 Butuh sistem trial and eror untuk menentukan sistem eluen yang
cocok. Memerlukan waktu yang cukup lama jika dilakukan secara
tidak tekun.
Hasil KLT dinilai dengan beberapa parameter antara lain:
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan
dengan Rf/hRf
Rf = Jarak titik pusat bercak dari titik awal
Jarak pengembangan
Angka Rf berjarak antara 0,00 sampai 1,00 dan hanya dapat
ditentukan 2 desimal. Harga ini merupakan ukuran kecepatan migrasi
suatu senyawa pada kromatografi dan pada kondisi konstan
merupakan besaran karakteristik dan reprodusibel. (Zenda Fadila Putri
2010)
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf antara lain: struktur
kimia dari senyawa yang dipisahkan sifat dari penyerap dan derajat
keaktifanya, tebal penyerap, pelarut, kejenuhan bejana pengembang,
dan suhu percobaan hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h),
menghasilkan nilai berjangka antara 0 sampai 00. (Zenda Fadila Putri,
2010)
II.2.4 Ekstraksi Cair-Cair
Ekstrak cair-cair yaitu proses pemisahan senyawa alam sampel
menggunakan dua pelarut yang tidak saling campur. Solut dipisahkan
dari cairan pembawa (diluen menggunakan solven cair). Campuran
diluen dan solven ini adalah heterogen (immiscibe, tidak saling
campur), jika dipisahkan akan terdapat 2 fase yaitu fase diluen
(rafinat) dan fase solver (ekstraktan). Ekstraksi cair-cair terutama
digunakan, jika pemisahan campuran dengan cara destilasi tidak
mungkin dilakukan atau tidak ekonomis.
Pemisahan zat-zat terlarut antara dua pelarut yang tidak saling
campur antara lain menggunakan alat corong pisah. Ekstraksi cair-cair
selalu terdiri atas sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara
intensif antara kedua pelarut dan pemisahan kedua fase cair se-
sempurna mungkin.
Pada saat pencampuran terjadi perpindahan massa, yaitu solute
meninggalkan pelarut yang pertama dan masuk ke dalam pelarut
kedua. Sampel akan terpratisi atau terdistribusi ke dalam kedua pelarut
berdasarkan kepolarannya. Perbedaan konsentrasi solute di antara
kedua pelarut merupakan pendorong terjadinya ekstraksi. Agar terjadi
perpindahan massa yang baik berarti performasi ekstraksi yang besar
haruslah diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas mungkin
diantara kedua cairan tersebut.

II.3 Uraian Bahan


1. METANOL (Farmakope Indonesia Edisi III halaman 706)
Nama Resmi : METANOL
Nama Lain : Metanol absolute
RM/BM : CH3OH
Pemerian : Cairan Tidak berwarna, jernih, bau khas
Kelarutan : Dapat bercanpur dengan air, membentuk cairan jernih
tidak berwarna
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai Pengendap Protein
2. KLOROFORM (Farmakope Indonesia Edisi III halaman 151)
Nama Resmi : CLOROFORNUM
Nama Lain : Kloroform
RM/BM : CHCl3/119,38
Pemerian : Cairan, mudah menguap, tidak berwarna dan bau khas
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 200 bagian air, mudah larut
dalam etanol p
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai Eluen

3. Aquadest (Farmakope Indonesia Edisi III halaman 96)


Nama Resmi : AQUA DESTILLATA
Nama Lain : Air suling
RM/BM : H2O
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau
Kelarutan : Larut dalam etanol dan gliserol
Penyimpana : Dalam wadah tertutup baik
n
Kegunaan : Sebagai pelarut

4. Butanol(Farmakope Indonesia Edisi III halaman 663)


Nama Resmi : BUTANOL
Nama Lain : n-butanol
RM/BM : C4H9OH/ 74,12
Pemerian : Cairan jernih dan tidak berwarna
Kelarutan : Larut dalam 11 bagian air pada suhu 15,5º
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai pelarut
5. Dietil Eter (Farmakope Indonesia Edisi III halaman 672)
Nama Resmi : ETHER
Nama Lain : Dietil eter
RM/BM : C2H10O3/ 72.12
Pemerian : Cairan transparan, tidak berwarna, bau khas,
sangat mudah menguap, dan sangat mudah terbakar
Kelarutan : Larut dalam 10 bagian air, dapat bercampur dengan
etanol (95%) P dengan kloroform
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai pelarut

6. Etil Asetat (Farmakope Indonesia Edisi III halaman 253)


Nama Resmi : ETHYL ACETATE
Nama Lain : Etil asetat
RM/BM : C4H5O2/ 88,1
Pemerian : Cairan tidak berwarna,bau seperti eter
Kelarutan : Larut dalam air, dalam methanol, dapat bercampur
dengan asetat, dietil eter dan benzene
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai Eluen

7. Etanol (Farmakope Indonesia Edisi III halaman 65)


Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Etanol, Alkohol
RM/BM : C2H6O/ 95,2
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap
dan mudah bergerak, bau khas, rasa panas, mudah terbakar
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam klorofrom P dan
dalam eter P
Penyimpana : Dalam wadah tertutup rapat
n
Kegunaan : Sebagai pelarut
8. Hekxan (Farmakope Indonesia Edisi III halaman 680)
Nama Resmi : HEKXAN P
Nama Lain : n-Hekxan
RM/BM : C6H12 /140,19
Pemerian : Cairan tidak berwarna, stabil, sangat mudah terbakar
Kelarutan : Larut dalam 1.5 bagian air, etanol (95%) P dan lebih
kurang 10 bagian kloroform
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai Eluen

II.4 Uraian Tumbuhan


II.4.1 Klasifikasi Tumbuhan
Kingdom : Plante
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnolipsida
Ordo : Rosales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus J.R Forst. & G. Forst
Spesies : Artocarpus altitis

II.4.2 Nama Daerah


Indonesia : Sirsak

Inggris : Soursop

Jawa : Nangka sebrang, nangka walanda

Sunda : Nangka walanda

Madura : Nangka buris


Bali : Srikaya jawa
Aceh : Deureuyan belanda
Nias : Durio ulondro
Minangkabau : Durian betawi
Lampung : Jambu landa

II.4.3 Morfologi Tumbuhan


Tanaman sukun (Artocarpus altitis) merupakan salah satu jenis
tanaman penghasil buah terpenting dari famili Moraceae yang
merupakan salah satu jenis makanan pokok di Kepulauan Polinesia,
Melanesia dan Mikronesia. Asal-usul tanaman tidak diketahui secara
pasti, namun diyakini merupakan jenis asli dari daerah Polinesia dan
tropis Asia (Pitoyo, S., 1992). Sedangkan ciri morfologi tanaman
sukun dapat dilihat dari akar, batang, daun, bunga, dan buah, yang
dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Akar: Tanaman sukun mempunyai akar tunggang yang tumbuh
cukup dalam dan akar menyamping yang tumbuh dangkal. Akar
menyamping seringkali tumbuh tunas-tunas yang dapat dijadikan
bibit untuk perbanyakan. Bila akar menyamping terpotong atau
terlukai akan merangsang tumbuhnya tunas yang dapat juga
menjadi bibit dan sering disebut dengan tunas alam.

 Batang: Tanaman sukun tumbuh cukup tinggi hingga mencapai


ketinggian sekitar 14 meter. Batangnya besar dan kokoh, bertekstur
lebih lunak, dan mengandung banyak getah. Selain itu pohon sukun
memiliki kulit berwarna hijau kecokelatan dengan tekstur kulit
berserat dan kasar. Cabang pohon akan terlihat tumbuh mejulur ke
atas dengan jumlah yang cukup banyak. Batang sukun sangat
jarang dimanfaatkan sebab termasuk kayu yang tidak awet dan
tidak kuat.

 Daun: Tanaman sukun mempunyai daun tunggal yang berbentuk


oval hingga lonjong dan ukurannya cukup besar. Ukurannya
panjang antara 20 cm hingga 60 cm, lebarnya antara 20 cm hingga
40 cm, dan panjang tangkai 3 cm hingga 7 cm. Bagian pangkal
daun sukun cenderung bulat meruncing dan tepi daun berlekuk
menyirip dengan diselingi percabangan. Permukaan daun sukun
bagian atas berwarna hijau mengkilap licin dan jika diraba terasa
licin, sedangkan bagian bawah berwarna kusam dan teksturnya
kasar.

 Bunga: Tanaman sukun mempunyai bunga di bagian ketiak daun


pada ujung cabang batang atau ranting. Bunganya termasuk jenis
tunggal atau bunga jantan dan betina yang terpisah, namun berada
dalam satu rumah atau dikenal dengan istilah monoceous. Bunga
jantan berwarna kuning dan bentuknya seperti tongkat panjang
yang disebut ontel, sedangkan bunga betina bentuknya bulat
dengan tangkai pendek. Penyerbukan bunga secara alami dengan
bantuan angin, sedangkan menurut penelitian bantuan serangga
kurang perperan.

 Buah: Buah sukun berbentuk bulat dan cenderung lonjong dengan


diameter rata-rata 20 cm hingga 30 cm. Per pohon dapat
menghasilkan buah hingga 200 buah per pohon, dengan berat per
buah sukun sekitar 3 hingga 4 kg tetapi ada pula yang mencapai
5 kg tergantung varietasnya. Ketika muda, kulit buah ini berwarna
hijau terang dan ketika matang akan berubah menjadi kekuningan
atau oranye kecokelatan. Daging buah sukun warnanya bervariasi,
dari putih, putih-kekuningan, hingga kuning. Buah sukun tidak
berbiji yang menghasilkan segmen pada daging terlihat menyatu
dengan kandungan pati yang tergolong besar.
II.4.4 Tempat Tumbuh
Menurut tempat tumbuh tanaman sukun tersebar mulai dari
dataran rendah dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut
(dpl), namun kadang-kadang terdapat juga pada tempat yang memiliki
ketinggian 1.500 meter dpl. Tanaman ini dapat tumbuh baik di daerah
panas yang suhu rata-rata sekitar 20-40 °C yang beriklim basah
dengan curah hujan 2.000-3.000 mm/tahun dan kelembaban relatif 70-
90 %. (Rajendran, 1992)
Tanaman sukun menyukai lahan terbuka dan banyak menerima
sinar matahari. Keberadaan tanaman sukun di suatu tempat merupakan
indikator bahwa tanaman sukun bisa tumbuh dengan baik di daerah
tersebut asal tidak berkabut. (Alrasjid, 1993)
tanaman sukun dapat tumbuh pada semua jenis tanah seperti
tanah podsolik merah kuning, tanah berkapur dan tanah berpasir
(regosol), namun akan lebih baik apabila ditanam pada tanah alluvial
yang gembur, bersolum dalam, banyak mengandung humus, tersedia
air tanah yang cukup dangkal dan memiliki pH tanah sekitar 5-7.
Umumnya pertumbuhan tanaman sukun tidak baik apabila ditanam
pada tanah yang memiliki kadar garam (NaCl) tinggi. Demikian pula
penanaman sukun di daerah yang beriklim kering, di mana tanaman
sering mengalami stress karena kekurangan air (drought stress) dapat
menyebabkan perontokan buah. (Adinugraha, 2011)
II.4.5 Kandungan Kimia dan Manfaat Daun Sirsak
1. Kandungan Kimia
Tanaman sukun (Artocarpus altitis) merupakan tanaman
tropis, sehingga hampir disemua daerah di Indonesia sukun
tumbuh. Kulit kayu tanaman sukun ditemukan senyawa flavonoid
dan turunannya yang terprenilasi, yaitu artonol B dan
sikloartobilosanton. Kedua senyawa tersebut telah diisolasi dan
diuji bioativitasnya. (Makmur, et al, 1999)
Senyawa metabolit sekunder flavonoid dikenal memiliki
fungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi, antibakteri dan
antikanker. Ekstrak kulit batang sukun diprediksikan mengandung
senyawa metabolit sekunder yang potensial sebagai antibakteri dan
antioksidan, tetapi penggunaan dalam ekstrak memiliki kelemahan
diantaranya waktu simpan yang pendek dan rentan terhadap
kerusakan. Berdasarkan hasil uji fitokimia kulit batang sukun
positif mengandung senyawa alkaloid, polifenol dan flavonoid.
2. Manfaat Kulit Batang Sukun
Daun dan kulit pohon sukun atau Artocarpus altilis (Park.)
Fosberg dikenal oleh masyarakat di beberapa daerah sebagai bahan
obat untuk mengobati penyakit diabetes secara alami. Hasil-hasil
penelitian menunjukan bahwa daun dan kulit pohon sukun
mengandung senyawa-senyawa golongan flavonoid yang tinggi,
yang diyakini mampu menurunkan kadar glukosa dalam darah
sehingga dapat dikembangkan sebagai obat antidiabetes. Kulit
batang sukun juga banyak mengandung senyawa metabolit
sekunder seperti saponin, fenolik, dan terpenoid. (Adinugraha,
H.A., & Susilawati, S. 2014)
Ekstrak kloroform kulit batang mengandung alkaloid
(Lestari, A., Salempa, P., & Jusniar., 2017). Ekstrak metanol kulit
batang sukun mampu menghambat aktivitas bakteri Salmonella
thyphimurium, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus
aureus pada konsentrasi rentang 0,156-10 mg/sumur (Octiviani, R.,
Zaharah, T.A., & Ardaningsih, P., 2019).
BAB III
METODE KERJA
III.1 Waktu Dan Tempat Praktikum
Praktikum Fitokimia I dilaksanakan pada :
Hari/tanggal : Sabtu, 01 April 2023
Waktu : 13.00-17.00
Tempat : Laboratorium Fitokimia ITKES Muhammadiyah Sidrap
III.2 Alat dan Bahan
A. Alat yang digunakan
1. Botol kaca 2 buah
2. Corong kaca 1 buah
3. Timbangan analitik 1 buah
4. Labu alas bulat 1 buah
5. Waterbath 1 buah
6. Kondensor 1 buah
7. Corong pisah 1000 ml 1 buah
8. Erlemeyer 1000 ml , 250 ml 1 buah
9. Gelas piala 2000 ml, 500 ml 1 buah
10. Oven 1 buah
11. Aluminium Foil 1 buah
12. Batang Pengaduk 1 buah
13. Gelas Ukur 50 ml 1 buah
B. Bahan yang digunakan
1. Simplisia Kulit Batang Sukun 50 gr
2. Metanol 1 liter
3. Dietil eter 1 liter
4. Etil asetat 1 liter
5. N-hekxan 1 liter
6. N-butanol 1 liter
7. Kloroform 1 liter
8. Aquadest secukupnya
III.3 Prosedur Kerja
III.3.1 Pengambilan bahan
Dilakukan pengambilan bahan sampel di desa Bojo,
Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi
Selatan pada hari Sabtu, 19 Maret 2023 Pukul 07.00 – 12.00 WITA
III.3.2 Pengelolaan bahan
1. Dikumpulkan kulit batang sukun yang akan di jadikan sebagai
bahan baku simplisia.
2. Dilakukan sortasi basah untuk memisahkan kotoran dari kulit
batang
3. Dicuci kulit batang hingga bersih dengan air mengalir
4. Dipotong potong kecil kulit batang sukun
5. Dikeringkan kulit batang sukun dengan cara di angin anginkan
III.3.3 Ekstraksi Bahan
III.3.3.1 Ekstraksi Bahan Dengan Metode Refluks
Menggunakan
Pelarut Metanol
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Ditimbang simplisia kulit batang sukun sebanyak 50 gr
3. Dimasukkan simplisia kulit batang sukun kedalam labu
alas bulat
4. Diukur 250 ml metanol, lalu masukkan kedalam labu
alas bulat
5. Diletakkan diatas hot plate dan alat refluks dirangkaikan
6. Dilakukan 3 kali penyarian dengan menggunakan
metode refluks, masing-masing penyarian dilakukan
selama ± 4 jam
7. Sampel disaring menggunakan corong yang dilapisi
kertas saring dan disimpan di dalam botol markisa
8. Dimasukkan kedalam Rotary Evaporator dan diuapkan
9. Diambil ekstrak metanol kulit batang sukun yang telah di
uapkan, lalu dimasukkan ke dalam vial
III.3.3.2 Ekstraksi Bahan Dengan Metode Refluks
Menggunakan
Pelarut Dietil Eter
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Diambil sisa ekstrak kulit batang sukun, kemudian
ditambahkan dengan dietil eter dan aquadest sebanyak 10
ml dan diulangi sebanyak 3 kali
3. Dimasukkan ke dalam corong pisah, ditunggu hingga
larutan aquadest dan dietil eter terpisah
4. Diambil ekstrak dietil eter kulit batang sukun, lalu
diuapkan didalam oven hingga pelarut dietil eter
menguap
5. Diambil ekstrak dietil eterkulit batang sukun, lalu
dimasukkan kedalam botol kecil/vial
III.3.3.3 Ekstraksi Bahan Dengan Metode Refluks
Menggunakan
Pelarut N-Butanol
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Diambil sisa ekstrak kulit batang sukun, kemudian
ditambahkan pelarut N-Butanol sebanyak 10 ml dan
diulangi sebanyak 3 kali
3. Dimasukkan kedalam corong pisah, ditunggu hingga
larutan N-Butanol dan ekstrak kulit batang sukun
terpisah
4. Diambil ekstrak kulit batang sukun, lalu diuapkan
sampai kering di atas kompor berlapis wadah berisi pasir
hingga pelarut N-Butanol menguap
III.4 Pola Praktikum

Pengambilan Desa Bojo, Kecamatan


Sampel Mallusetasi, Kabupaten
Barru, Sulawesi Selatan

Disortasi basah, dicuci,


Sampel dipotong-potong kecil,
dkeringkan dan di
sortasi kembali

Simplisia Kering 50 gram

Diekstraksi dengan metanol secara


Refluks (3 x 4 jam)

Diuapkan dengan
menggunakan Rotavapor

Ampas Ekstrak Metanol

Ekstrak Metanol Kering Di KLT

Ditambahkan air 30 ml diekstraksi


dengan dietil eter (3 x 50 ml)
dengan corong pisah
Diuapkan dengan
menggunakan oven

Lapisan Air Ekstrak Dietil Eter Di KLT

Diekstraksi dengan N-
Butanol jenuh air (3 x 50
ml) dengan corong pisah

Diuapkan dengan
menggunakan
pasir panas

Lapisan Air Ekstrak N-Butanol Di KLT


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Pengamatan

Gambar IV.1 Hasil Pengamatan


IV.2 Pembahasan
Praktikum fitokimia ini dimulai dari pengambilan sampel,
pengolahan sampel dan yang terakhir ekstraksi. Kegiatan pengambilan
bahan baku dilakukan di desa bojo, Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten
Barru, Sulawesi Selatan pada hari Sabtu, 19 Maret 2023 pukul 07.00 –
12.00 WITA. Setelah pengumpulan bahan, langkah selanjutnya adalah
pengolahan bahan. Bahan yang diaambil sebelumnya disortasi basah untuk
memisahkan kotoran dari bahan kemudian dicuci, setelah dicuci, bahan
dipotong-potong kecil kemudian dikeringkan setelah dikeringkan bahan
disortasi kembali.
Setelah pengolahan bahan, langkah selanjutnya adalah dilakukan
proses ekstrasi. Pada percobaan ini dilakukan metode ekstraksi yaitu metode
refluks. Diproses selama 3 x 4 jam, Sampel disaring menggunakan corong
yang dilapisi kertas saring dan disimpan di dalam botol. Hasil dari ekstraksi
ini kemudian dimasukkan kedalam Labu alas bulat kemudian dilakukan
penguapan di Rotary evaporator vakum, ekstraksi yang didapatkan
kemudian dimasukkan ke dalam oven. Hasil sampel kulit batang sukun yaitu
ekstraksi kental dan lebih sedikit, berwarna hijau kehitaman. Disisihkan
sebagian kecil dimasukkan kedalam vial diberi label untuk hasil ekstrak
Metanol.
Pembuatan ekstraksi dietil eter, Ekstrak metanol yang telah kering
ditambahkan air 10-30 ml, kemudian diekstraksi dengan dietil eter sebanyak
50 ml dengan corong pisah. Dilakukan penyaringan dan diulangi sebanyak 3
kali lalu dipisahkan menjadi dua wadah. Setelah itu lapisan dietil eter
dikumpulkan dan diuapkan di dalam oven, serta sebagian dari ekstrak dietil
eter tersebut disisihkan untuk tahap selanjutnya yaitu di identifikasi secara
kromatografi lapis tipis dengan cairan pengelusi, kemudian dengan
penampakan noda lampu ultraviolet dan asam sulfat 10%.
Pembuatan Ekstraksi Dengan N-Butanol dilakukan dengan cara
lapisan air diekstraksi dengan n-butanol sebanyak 50 ml, dilakukan
sebanyak 3 kali dalam corong pisah, setelah itu ekstrak n-butanol yang
diperoleh diuapkan sampai kering di atas kompor berlapis wadah besi
(wajan) berisi pasir kemudian disishkan untuk tahap selanjutnya yaitu
identifikasi secara kromatografi lapis tipis denga cairan pengelusi, kemudian
penampakan noda lampu ultraviolet dan asam sulfat 10%.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang dilakukan kita dapat mengetahui cara
mengekstraksi kulit batang sukun dengan metode refluks dan kami dapat
mengetahui proses ekstraksi dengan metode refluks serta hasil yang
didapatkan yaitu ekstrak kulit batang sukun metanol, ekstraksi dietil eter dan
ekstraksi n-butanol, pemerian hasil ekstrak yakni berbentuk semi padat,
kental, berwarna coklat tua agak hitam dan berbau khas kulit batang sukun,
ekstrak kulit batang sukun siap digunakan untuk tahap selanjutnya yaitu
kromotografi lapis tipis.
V.2 Saran
1. Untuk Institut
Diharapkan alat-alat laboratorium dilengkapi untuk menunjang
jalannya praktikum.
2. Untuk Dosen
Diharapkan mempertahankan dalam membimbing jalannya
praktikum sehingga dapat selesai tepat waktu.
3. Untuk mahasiswa
Saat melakukan praktikum diharapkan memeriksa kebersihan alat
yang digunakan dan pada praktikum hendaknya berhati-hati dan mengikuti
prosedur yang ada agar tidak terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, R.. 2017. Analisis Kadar Saponin Ekstrak Metanol Kulit Batang
Kemiri (Aleurites moluccana (L.) Willd) dengan Metode Gravimetri.
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Makassar.
Adinugraha, H. A. (2011). Pengaruh Umur Pohon Induk Dan Jenis Media
Terhadap Pertumbuhan Stek Akar Sukun. Dan Benih, 12(1), 21–29.
Adinugraha, H.A., & Susilawati, S. (2014). ‘Variasi Kandungan Kimia Tanaman
Sukun dari Beberapa Populasi di Indonesia sebagai Sumber Pangan dan
Obat’. Jurnal Hutan Tropis, 2(3), 226- 232
Daenlangi, R., Salempa, P., & Danial, M. (2016). ‘Isolasi dan Identifikasi
Senyawa Metabolit Sekunder Ekstrak n-Heksana Kulit Batang Sukun
(Artocarpus altilis)’. Jurnal Chemica, 17(1), 91-97.
Deinstrop Elke, 2007, Applied Thin-Layer Chromatography, 2nd ed, Weinheim:
Wiley-VCA hal. 1-2.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan. Jakarta.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi ke-III. Jakarta :Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi ke-IV. Jakarta ˸ Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Dirjen POM. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta ˸ Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Gandjar, I. G. dan Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Handayani, Prima Astuti dan Nurcahyanti, Heti. 2014. Jurnal Bahan Alam
Terbarukan edisi 1. Vol:3.
Harborne, J. B. 1984. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan Terbitan Kedua. Bandung: Penerbit Institut Teknologi
Bandung.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Diterjemahkan oleh Dr. Kosasih Padmawinata dan Dr. Iwang
Soediro. Penerbit ITB. Bandung
Kristanti, Alfinda Novi, ed. 2019. Fitokimia. Airlangga University Press.
Lestari, A., Salempa, P., & Jusniar. (2017). ‘Isolasi dan Identifikasi Senyawa
Metabolit Sekunder Ekstrak Kloroform Kulit Batang Sukun (Artocarpus
altilis)’. Jurnal Chemica, 17(1), 76-82.
Mao, Xin, dkk. 2016. The Genus Phyllanthus: An Ethnopharmacological,
Phytochemical, and Pharmacological Review. Hindawi Publishing
Corporation Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine,
2016, 1-36.
Makmur, L.; Agustini, L. dan Mishra., 1999, Artonol B dan Sikloartobilosanton
dari Tumbuhan Artocarpus teysmanii MIQ, Lembaga Penelitian ITB,
Bandung.
Mulyono, Tri dkk. (2012). Pengembangan Analisis Spot secara Kuantitatif pada
Metode Kromatografi Lapis Tipis menggunakan LabVIEW. Surabaya:
FMIPA Universitas Jember.
Octiviani, R., Zaharah, T.A., & Ardaningsih, P. (2019). ‘Aktivitas Antibakteri dan
Antioksidan Ekstrak dan Fraksi Metanol Kullit Kayu Batang Sukun
(Artocarpus altilis Park) yang Tersalut Kitosan-Tripolipospat’. Jurnal
Kimia Khatulistiwa, 8(2), 34-40.
Pitoyo, S. (1992). Budidaya Sukun. Yogyakarta: PT. Kanisius.
Rajendran, R. (1992). Arthocarpus altilis (Parkinson) Fosberg. Edible fruits and
nuts: PROSEA: Plant Resources of South-East Asia. Bogor, Indonesia.
Simbala, H. E. I., 2009. Analisis Senyawa Alkaloid Beberapa Jenis Tumbuhan
Obat sebagai Bahan Aktif Fitofarmaka. Pasific Journal. Vol. 1 (4) : 489-
94.
Sudjadi, 1986, Metode Pemisahan, 167 – 177, Fakultas Farmasi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Pengambilan Sampel

Gambar 1.1 Pengambilan sampel di desa Bojo Kec. Mallusetasi Kab.Barru


Sulawesi Selatan

Lampiran 2 Pengelolaan Bahan


Gambar 2.1 Pengelolaan simplisia dengan cara diangin-anginkan didepan rumah
Lampiran 3 Refluks dengan Metanol

Gambar 3.1 Penimbangan sampel yang akan di digunakan


Gambar 3.2 Dimasukkan sampel kedalam labu alas bulat

Gambar 3.3 Dimasukkan pelarut metanol sebanyak 1 liter


Gambar 3.4 Diletakkan diatas hot plate dan alat refluks dirangkaikan

Gambar 3.5 Hasil ekstraksi dengan metode refluks menggunakan metanol


Lampiran 4 Pembuatan Ekstrak Metanol

Gambar 4.1 Disaring masuk kedalam botol menggunakan corong dilapisi kapas

Gambar 4.2 Dimasukkan hasil ekstrak metanol kedalam labu alas bulat untuk
diuapkan
Gambar 4.3 Diuapkan ekstrak metanol di rotapavor sampai mendapatkan ekstrak
yang kental

Gambar 4.4 Hasil ekstrak metanol setelah diuapkan di rotavapor


Gambar 4.5 Dimasukkan hasil ekstrak metanol kental kedalam oven hingga
kering

Lampiran 5 Pembuatan Ekstraksi dengan Dietil eter


Gambar 5.1 Ditambahkan air 30 ml diekstraksi dengan dietil eter 3 x 50 ml
dengan corong pisah

Gambar 5.2 Didiamkan beberapa menit sehingga cairan berpisah


Gambar 5.3 Dipisahkan larutan dietil eter dengan lapisan air menggunakan
corong pisah

Lampiran 6 Pembuatan Ekstraksi Dengan N-Butanol

Gambar 6.1 Diekstraksi dengan n-butanol jenuh air 3 x 50 ml dengan corong


pisah
Gambar 6.2 Pemisahan larutan menggunakan corong pisah

Gambar 6.3 Penguapan hasil n-butanol di atas pasir panas


Gambar 6.4 Hasil ekstraksi dengan metanol, Dietil eter dan N-Butanol.

Anda mungkin juga menyukai