TUGAS AKHIR
TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
Abstrak
Makanan memiliki keterkaitan yang erat dengan komunikasi dan kebudayaan. Melalui
sebuah makanan tradisional kita dapat mengetahui berbagai hal seperti cita rasa khas
serta kondisi geografi daerah asal makanan tersebut. Namun, melalui makanan kita juga
dapat mengetahui budaya, nilai, tradisi, serta kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat
dari daerah makanan itu berasal. Tteok sebagai makanan khas Korea Selatan merupakan
salah satu jenis makanan yang dapat memberikan informasi tentang kebudayaan serta
nilai-nilai dalam masyarakat Korea. Tteok sebagai jenis makanan mengandung berbagai
makna dan pesan tentang perasaan seseorang. Kebahagiaan, kesedihan, amarah, dan
kepuasan merupakan ungkapan dari nilai yang ada dalam masyarakat Korea, yakni
jeong. Karya tulis ini disusun untuk menjelaskan nilai dan budaya dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat Korea dalam sebuah Tteok. Penelitian ini ditulis dengan
metode studi pustaka dan membahas peran tteok dalam komunikasi, serta
keterkaitannya dengan nilai jeong dalam masyarakat Korea. Berdasarkan hasil
penelitian, dapat disimpulkan bahwa tteok dapat menjadi simbol jeong dalam
komunikasi masyarakat Korea.
Food has a close relation with culture and communication. Through a traditional food,
we can know the unique taste and geographic condition of the area where the food came
from. However, through a food we can also get the information about culture, value,
tradition, and customs of the society. Tteok is a type of Korean traditional food which
can tell us the information about Korean culture and values in their society. Tteok as
type of food has meaning and message about one’s feelings. Happiness, sadness, anger,
and pleasure in Korean traditional value are known as jeong. This paper aims to know
the culture and value within Korean sociocultural society through a tteok. This paper is
written with a literature study method and discuss the role of tteok in communication, as
well as its relevance to the value of jeong in Korean society. Based on the result of this
analysis, it was found that tteok can be seen as a symbol of jeong in Korean’s
communication.
1
Pendahuluan
Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi manusia
sebagai makhluk hidup. Mulai dari zaman prasejarah pada tahap berburu dan meramu,
bercocok tanam dan hidup menetap, bahkan hingga saat ini manusia selalu berusaha
bertahan hidup memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Fungsi utama dari makanan adalah
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada tubuh manusia, sehingga manusia dapat hidup,
melakukan aktivitas, serta tumbuh dan berkembang. Menurut KBBI versi daring,
makanan berarti segala bahan yang kita makan untuk membentuk jaringan tubuh,
memberikan tenaga, atau mengatur semua proses dalam tubuh. Makanan, umumnya
hanya dianggap sebagai sesuatu yang dikonsumsi dan hanya berfungsi untuk kebutuhan
biologis manusia.
Makanan tidak hanya berguna sebagai sumber energi tetapi juga sangat erat
kaitannya dengan aspek sosial-budaya dalam masyarakat. Anna Meigs (1997)
berpendapat bahwa makanan berkaitan dengan terbentuknya solidaritas dan ikatan
dalam kelompok sosial. Kemudian, Mary Douglas (1997) juga berpendapat bahwa jika
makanan dianggap sebagai sebuah kode, maka akan ada pesan yang disampaikan
melalui kode tersebut dalam pola relasi sosial yang ditunjukkan. Melalui dua pendapat
tersebut, dapat dipahami bahwa makanan dapat dijadikan simbol dalam menyampaikan
pesan atau makna pada interaksi dalam masyarakat.
2
Korea mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional. Menurut hasil penelitian
yang dilakukan oleh Institut Kebudayaan dan Pariwisata Korea (Korean Culture and
Tourism Institute) pada tahun 2014, 35% responden memilih bibimbap, 33% memilih
bulgogi, dan 30% memilih samgyupsal sebagai makanan Korea yang paling populer di
kalangan wisatawan asing. Salah satu alasan mengapa makanan Korea menjadi populer
dan diterima oleh masyarakat global adalah karena makanan Korea dianggap sebagai
model dari makanan alami atau bisa juga disebut dengan slow-food yang sehat bagi
tubuh.
Makanan tradisional Korea memiliki filosofi dan makna tersendiri dilihat dari
bahan, warna, proses pembuatan, serta waktu saat makanan tersebut dikonsumsi. Salah
satu makanan tradisional Korea yang erat dengan budaya masyarakatnya adalah tteok
(떡) atau kue beras. Tteok merupakan makanan yang sangat dekat dengan kehidupan
masyarakat Korea. Masyarakat Korea sudah mengonsumsi tteok sejak lama. Terdapat
berbagai jenis tteok dan makanan ini selalu muncul dalam berbagai acara seperti
kelahiran, ulang tahun, tahun baru, hingga kematian. Ini menunjukkan bahwa tteok
selalu ada dalam masyarakat Korea saat mereka senang ataupun sedih. Tteok dianggap
lebih dari sekadar makanan, tetapi juga mengandung perasaan dan nilai-nilai yang ada
di dalam masyarakat Korea. Selain sebagai makanan, tteok juga sering muncul dan
digunakan dalam peribahasa bahasa Korea. Tteok juga memberikan pesan tentang
berbagi, kenangan, sejarah, serta seni dari Korea Selatan (Wijayanti, 2017). Maka dari
itu, tteok dapat dilihat sebagai bagian dari budaya Korea Selatan.
Ada dua tulisan ilmiah yang digunakan oleh penulis sebagai dasar acuan.
Sumber pertama adalah makalah non seminar atau jurnal berjudul “Makna Tteok dalam
Perayaan Tradisional Korea Dol, Honrye, dan Charye” yang ditulis oleh Dhania Astrini
Wijayanti. Wijayanti menjelaskan, tteok memiliki makna bagi masyarakat Korea dalam
ketiga perayaan tradisional yang sudah disebutkan. Makna tteok yang dijelaskan oleh
Wijayanti, yaitu berbagi, doa dan harapan, serta kenangan. Mengutip dari penulisan
Wijayanti (2017), “Setiap bagian tteok memiliki makna kasih sayang dari orang untuk
orang lainnya, sukacita hidup bahagia serta keinginan terbaik untuk satu sama lain”.
3
Tulisan kedua yang dijadikan penulis sebagai dasar acuan adalah penelitian yang
dilakukan oleh Kim Hee-sup berjudul “Funeral Foods and Its Role as Vehicle of
Communication”. Kim (2017) menuliskan bahwa makanan pada ritual pemakaman
menjadi channel atau komunikan pada proses komunikasi non-verbal. Makanan
berkontribusi dalam konsolidasi pada hubungan sosial masyarakat Korea. Keluarga
yang berduka menyediakan makanan yang disajikan untuk kerabat yang datang
menyampaikan bela sungkawa. Makanan yang telah disajikan kemudian menjadi
perantara yang digunakan untuk berbagi perasaan sedih dan kehilangan yang dirasakan
setelah ditinggal oleh orang terdekatnya.
4
agar karya tulis mampu memberikan informasi secara utuh tentang tteok sebagai media
komunikasi lintas budaya.
Tinjauan Teoretis
Komunikasi merupakan salah satu hal mendasar yang umum dilakukan oleh
manusia sebagai makhluk sosial. Menurut Kimball Young dan Raymon W. Mack,
interaksi yang dilakukan manusia merupakan bukti bahwa manusia hidup bersama-sama
(Soekanto, 2001). Dalam KBBI versi daring, komunikasi didefinisikan sebagai proses
pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga apa
yang disampaikan dapat diterima dan dipahami. Komunikasi juga didefinisikan oleh
Shannon dan Weaver (1949) sebagai bentuk interaksi manusia yang terjadi secara
sengaja atau tidak, sebagai sebuah upaya saling mempengaruhi dan dapat dilakukan
melalui berbagai cara.
Di dalam masyarakat Korea, ekspresi dan bahasa tubuh sering kali digunakan
dalam proses komunikasi antar individu. Namun, selain ekspresi dan gerak tubuh,
masyarakat Korea juga menyampaikan sebuah pesan yang dikomunikasikan melalui
pakaian, makanan, ataupun hal-hal yang menjadi simbol atau representasi dari pesan
5
yang ingin disampaikan. Hal ini sesuai dengan penjelasan tentang komunikasi non-
verbal yang menyatakan bahwa komunikasi non-verbal merupakan simbol.
Penggunaan simbol baik dalam bahasa tubuh, ekspresi, ataupun benda dalam
komunikasi non-verbal sebenarnya berguna sebagai pendukung dalam komunikasi
verbal. Beberapa ahli berpendapat bahwa komunikasi non-verbal dipersepsikan sebagai
tanda yang lebih dipercaya dibandingkan dengan penggunaan kata-kata. Secara umum,
kebanyakan orang percaya bahwa dalam mengekspresikan sebuah perasaan, komunikasi
non-verbal lebih efektif (Andersen dalam Wood, 2013). Sebagai contoh, masyarakat
Korea cenderung mengisap makanan dan membuat suara saat makan untuk
menunjukkan bahwa ia menikmati makanan yang telah disajikan.
6
diinterpretasikan kembali oleh lawan bicara berdasarkan keadaan yang sedang terjadi
(Griffin, 2012).
Pembahasan
Jeong menjadi hal yang menarik untuk dibahas ketika menyinggung tentang
hubungan dan perasaan masyarakat Korea. Jeong dikatakan sebagai unsur utama yang
mengatur hubungan di antara orang-orang Korea (Yoon, 2016). Menurut kamus Bahasa
Korea versi daring milik Pusat Bahasa Nasional Korea, jeong (정) diartikan sebagai rasa,
kasih sayang, serta ikatan. Konsep yang serupa seperti Jeong juga ada di dalam
kebudayaan negara-negara Asia Timur lainnya seperti Tiongkok serta Jepang. Ketiga
7
negara ini juga menggunakan tulisan atau karakter bahasa Cina yang sama yaitu 情
(qing) yang merujuk kepada makna emosi dan perasaan (Yoon, 2016, hal.86).
Walaupun menggunakan simbol yang sama, makna dari nilai atau gagasan ini memiliki
perbedaan di ketiga negara itu. Masyarakat Tiongkok mengartikan jeong sebagai nilai
kesetiaan serta kerja sama yang menguntungkan di dalam sebuah hubungan antar
individu. Sedangkan, masyarakat Jepang, yang menyebut jeong sebagai jyo,
mengartikannya sebagai sebuah sentimental (Jeong, 2014).
Jeong dalam masyarakat Korea merupakan sebuah konsep nilai yang abstrak.
Dalam berbagai jurnal berbahasa Inggris, para peneliti mengartikan jeong sebagai
affection atau afeksi dalam bahasa Indonesia. Afeksi dalam psikologi merupakan cinta
kasih, perasaan-perasaan, dan emosi yang dibedakan dari aspek kognitif dan konotatif
kepribadian (Hassan dkk, 2003). Le Clezio, penerima Penghargaan Nobel dalam Sastra
pada tahun 2008, pernah mengatakan “...konsep tentang nilai atau gagasan yang disebut
jeong di Korea, merupakan gagasan yang mendalam serta memiliki ciri khas tersendiri.
Kata ini bahkan tidak dapat ditemukan padanannya jika dicari dalam kamus bahasa
Inggris atau pun Perancis...” (Yoon, 2012). Jeong dikatakan dapat merepresentasikan
cara berhubungan antar manusia yang lebih kuno dan primitif daripada cinta (Kim
dalam Chung & Cho, 2006). Secara lebih rinci, jeong diumpamakan sebagai sebuah
simbol hubungan manusia di masyarakat Korea yang mendekati ikatan erat layaknya
sebuah keluarga (Lee dalam Yoon, 2016, hal.86). Lee juga mengatakan bahwa nilai
jeong mengandung nilai uri (우리) atau “kita” yang menganggap bahwa “aku” dan
“kamu” merupakan satu kesatuan individu yang tidak dapat dipisahkan. Pendapat ini
yang kemudian membuktikan bahwa jeong tidak dapat dilepaskan dari nilai
kolektivisme yang ada di dalam masyarakat Korea.
Jeong atau afeksi dapat diartikan sebagai perasaan atau emosi yang muncul
ketika individu menjadi akrab atau dekat terhadap seseorang ataupun sesuatu.
Hubungan atau ikatan tersebut tidak hanya muncul antara manusia dengan manusia,
tetapi juga dapat meluas kepada ikatan antara manusia dan sebuah benda. Jeong
mencangkup perasaan kasih sayang, ikatan, kedekatan, serta kepemilikan (Chung &
Cho, 2006). Chung dan Cho (2006) berpendapat, jeong tidak menggambarkan kondisi
kognitif tertentu, melainkan menggambarkan sebuah keadaan emosional. Jeong juga
8
dikatakan berbeda dengan konsep emosi atau perasaan yang ada di negara Barat. Jeong
bukan merupakan emosi yang ada di dalam diri seorang individu, tetapi merupakan
emosi yang melibatkan dua atau lebih individu. Hal ini yang kemudian menjadikan
jeong sulit dipahami. Secara umum, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia jeong
dapat dipahami sebagai afeksi. Menurut Kim (2006), jeong dapat menjadi kode budaya
yang khas dalam komunikasi masyarakat Korea yang mengandung perasaan masyarakat
tersebut terhadap sesuatu yang dicintainya.
Jeong dianggap sebagai sebuah emosi yang “masuk” kepada seorang individu.
Masyarakat Korea memiliki ungkapan “정이 들다” (jeongi deulda) yang artinya jeong
telah masuk ke dalam diri seseorang. Seorang individu secara pasif menerima jeong
sebagai sebuah emosi di dalam dirinya, bukan ia yang berusaha merasakan jeong. Ini
sesuai dengan anggapan yang menyatakan jeong sebagai emosi yang kuno, primitif,
bukan buatan, serta bukan merupakan sebuah pilihan (Chung & Cho, 2006). Jeong
kemudian dideskripsikan dengan karakteristik emosi yang berkaitan dengan sukarela,
pengorbanan, tidak bersyarat, empati, peduli, tulus, serta kesamaan pengalaman dan
nasib. Karakter tersebut kemudian menjadi asing bagi orang-orang di negara lainnya,
terutama negara-negara Barat. Jeong yang memiliki karakteristik yang sukarela dan
tulus cenderung dianggap sebagai perasaan atau emosi yang sepihak karena tidak
mengharapkan sebuah balasan (Ahn, 2017).
Jeong dalam masyarakat Korea, merupakan sebuah perasaan yang ada di antara
hubungan antar individu (Chung & Cho, 2006). Menurut Chung dan Cho (2006),
manusia merasakan jeong pertama kali saat kehangatan seorang ibu diberikan dan
dirasakan oleh bayi yang dilahirkannya. Jeong yang diberikan seorang ibu kepada
anaknya kemudian dapat disebut dengan mojeong (모정). Mojeong kemudian dianggap
sebagai bentuk awal atau purwarupa dari jeong yang dirasakan manusia. Saat jeong
sudah ada dan muncul di antara seorang ibu dan anaknya, sang ibu akan berinteraksi
dengan bayi yang dilahirkannya dengan cara memenuhi keinginan dan kebutuhan bayi
tersebut. Hal ini kemudian menunjukkan rasa aman serta nyaman yang dapat dirasakan
sang anak. Mojeong yang dianggap sebagai awal dari masuknya jeong ke dalam diri
seseorang kemudian meluas seiring dengan berkembangnya individu tersebut. Jeong
dalam diri seseorang meluas melalui hubungan yang dimilikinya dengan ayah, suami
9
atau istri, teman, alam, serta benda-benda yang ada di dalam kehidupannya.
Perkembangan tersebut kemudian memunculkan berbagai bentuk jeong yang ada di
dalam masyarakat, tergantung dengan siapa saja yang ada di dalam hubungan tersebut.
Mojeong kemudian berkaitan dengan Bujeong (부정). Bujeong merupakan bentuk jeong
atau afeksi yang berasal dari orang tua (ayah dan ibu). Namun, menurut Pusat Bahasa
Nasional Korea, bujeong lebih umum diartikan sebagai afeksi yang ada di antara
hubungan anak dengan ayahnya.
Aejeong (애정) merupakan jenis jeong yang ada di antar sepasang kekasih.
Aejeong didefinisikan sebagai sebuah perasaan yang lebih luas dibandingkan rasa cinta
antara sepasang kekasih. Secara umum, cinta dimengerti sebagai perasaan yang muncul
karena adanya ketertarikan secara seksual antara laki-laki dan perempuan. Namun
aejeong dalam masyarakat Korea membahas emosi atau perasaan yang lebih luas.
Aejong di dalam masyarakat Korea mengandung rasa kesedihan, kerinduan, dan
keinginan yang kuat untuk mewujudkan gambaran yang sempurna dari sepasang
kekasih. Tidak hanya rasa bahagia yang terkandung di dalamnya, aejeong juga
mengandung perasaan kehilangan serta amarah yang ada di dalam hubungan sepasang
kekasih (Yoon & Williams, 2015).
Kemudian jeong juga hidup di dalam hubungan antar teman. Jeong yang ada
dalam hubungan pertemanan umumnya disebut sebagai ujeong (우정). Ujeong di dalam
sebuah pertemanan erat kaitannya dengan kesetiaan serta solidaritas. Jeong sebagai
emosi, tidak serta merta ada di dalam sebuah hubungan. Ujeong yang ada di dalam
hubungan pertemanan, umumnya muncul karena adanya ketertarikan yang sama
terhadap suatu hal, atau juga karena berada di lingkungan yang sama. Hal yang menarik
dari ujeong adalah kecenderungannya mempengaruhi seorang individu saat menghadapi
sebuah masalah. Masyarakat Korea yang memiliki nilai kolektivisme yang tinggi,
menaruh kepercayaan yang tinggi kepada kerabat atau temannya dengan berlandaskan
ujeong yang ada. Hal ini kemudian membuat masyarakat Korea lebih memilih untuk
menceritakan serta berkonsultasi tentang masalahnya kepada teman atau kerabat,
dibandingkan dengan tenaga profesional (Yoon & Williams, 2015).
10
Jenis serta pemahaman yang beragam tentang jeong membuatnya sulit untuk
dideskripsikan dalam satu kesatuan konsep yang utuh. Jeong dapat didefinisikan
tergantung pada individu-individu yang ada dalam hubungan atau ikatan yang ada.
Jeong sebagai sebuah perasaan memiliki kesan yang hangat, tenang, serta ketahanan
(Kim dalam Kim, 2003). Jeong yang ada dalam masyarakat Korea akan selalu ada
selama hubungan antar individu masih berlangsung di dalam masyarakat. Jeong juga
dipandang sebagai emosi atau perasaan yang tidak bisa dihilangkan karena adanya
ikatan di dalamnya. Bahkan beberapa pendapat mengatakan bahwa jeong tidak bisa
diputuskan, meskipun mereka ingin melakukannya.
Makanan Korea secara luas dikenal dengan istilah hansik pada era globalisasi
saat ini. Hansik merupakan singkatan kata dalam bahasa Korea, yaitu hanguk (한국)
yang berarti negara Korea dan eumsik (음식) yang berarti makanan. Hansik terkenal
secara luas karena rasanya yang lezat, serta tampilannya yang menggugah selera.
11
Namun, hansik juga dikenal sebagai makanan yang diolah melalui proses panjang.
Salah satu contoh yang paling terkenal adalah Kimchi. Kimchi merupakan makanan
khas Korea yang menjadi representasi makanan tradisional Korea dan dikenal sebagai
salah satu makanan yang baik untuk kesehatan tubuh karena dibuat melalui proses
fermentasi. Kimchi, meski dianggap sebagai pelengkap, merupakan makanan yang
selalu ada disajikan bersama dengan hidangan Korea lainnya. Kimchi yang sudah ada
sejak ribuan tahun yang lalu, pada awalnya hanya merupakan sayuran yang diawetkan
dengan garam. Tetapi dengan perkembangan teknologi pertanian serta variasi bahan
pembuat kimchi yang membuatnya dikonsumsi secara luas di Semenanjung Korea,
makanan ini kemudian menjadi ciri khas atau pembeda negara Korea dengan negara
lainnya (Cempaka, 2013). Kimchi yang awalnya hanya sebuah makanan, kemudian
berubah menjadi simbol identitas masyarakat Korea karena ciri khas yang dimilikinya.
Selain Kimchi, makanan lain yang diolah melalui proses fermentasi juga dapat
banyak ditemui dalam jenis-jenis makanan Korea, seperti doenjang, gochujang,
ganjang serta jeotgal. Masyarakat Korea melakukan fermentasi pada bahan makanan
yang ada dengan tujuan untuk memperkaya rasa dan nutrisi yang ada dalam makanan
tersebut. Selain itu, mengutip dari situs web Korean Culture and Information Service
(KOCIS) yang berada di bawah Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata
pemerintah Korea, fermentasi juga dilakukan dengan tujuan untuk membuat makanan
dapat disimpan dalam waktu yang lama. Pengawetan makanan yang dilakukan
masyarakat Korea ini muncul karena Semenanjung Korea memiliki empat musim setiap
tahunnya, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, serta musim dingin. Pada
musim dingin yang biasa terjadi di bulan Januari, suhu di Korea bisa mencapai 4,9
derajat celsius di bawah titik beku dan mengakibatkan kegiatan pertanian tidak dapat
dilakukan (Cempaka, 2013) Secara geografis, Semenanjung Korea dikelilingi oleh
pegunungan dan lahan yang dapat ditanami sayur-sayuran cenderung berjumlah sedikit.
Dengan kondisi geografis serta iklim yang dimiliki Korea, masyarakat Korea kemudian
mengembangkan proses pengawetan makanan dengan cara fermentasi yang terlihat
pada makanan Korea yang ada saat ini.
Bukan hanya memiliki proses pengolahan panjang serta kaya akan nutrisi,
makanan tradisional Korea juga mengandung nilai-nilai budaya dan tradisi. Makanan
12
Korea jika diperhatikan, disajikan dengan penampilan dan nilai estetika atau keindahan
yang tinggi. Hal ini menunjukkan pandangan masyarakat Korea akan penampilan dari
sebuah hidangan. Terdapat sebuah ungkapan dalam masyarakat Korea yaitu “보기
좋은 떡이 먹기도 좋다” (bogi joheun tteoki meokgido johda) yang berarti “tteok
yang terlihat enak, rasanya pasti enak”. Ungkapan tersebut memiliki makna bahwa
sesuatu yang disajikan secara indah atau bagus dapat menggugah selera siapa saja yang
akan menyantap hidangan tersebut. Tampilan makanan Korea yang indah ternyata tidak
hanya bertujuan untuk meningkatkan nilai estetika makanan, tapi juga mengandung
makna mendalam yang merepresentasikan kebudayaan Korea.
Jika membahas tentang makanan Korea yang disusun sedemikian rupa dan indah
dilihat, salah satu makanan yang mudah dijadikan contoh adalah bibimbap. Bibimbap
merupakan makanan Korea yang terbuat dari berbagai jenis sayuran, telur, daging, nasi
atau 밥 (bab) serta pasta cabai khas Korea atau gochujang. Bibimbap disajikan dalam
satu mangkuk berisi bahan-bahan makanan yang sudah disusun berdasarkan warna
sehingga penampilannya menyenangkan untuk dilihat. Bibimbap yang disajikan dalam
satu mangkuk besar kemudian disantap dengan cara diaduk dan dicampur terlebih
dahulu. Proses ini dalam bahasa Korea disebut 비비다 (bibida) yang kemudian
dijadikan nama dari hidangan ini. Melalui penyajian ini seseorang yang memakan
bibimbap dapat merasakan rasa dari semua bahan makanan yang sudah dicampur, tetapi
juga tidak menghilangkan rasa dari masing-masing bahan makanan. Ini mencerminkan
karakter orang Korea yang senang membaur dan tergabung dalam sebuah kelompok.
(Chung, Yang, Shin, & Chung, 2016)
13
Sejarah Perkembangan Tteok
Sejak berkembangnya Korean Wave atau disebut juga dengan Hallyu, berbagai
hal tentang Korea banyak diminati oleh masyarakat internasional. Tidak hanya budaya
pop Korea, kebudayaan tradisional Korea juga tidak luput dari perhatian banyak orang,
salah satunya makanan. Seperti kebanyakan negara Asia lainnya, beras merupakan salah
satu bahan makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Korea. Namun,
masyarakat Korea tidak hanya mengonsumsi beras dalam bentuk nasi, tetapi diolah
sedemikian rupa menjadi makanan khas Korea yang dikenal dengan nama tteok atau
kue beras.
Tteok atau kue beras merupakan makanan tradisional Korea yang terbuat dari
bahan utama beras atau gandum. Beras atau gandum yang menjadi bahan utama
pembuat tteok biasanya dihaluskan menjadi tepung beras, atau dapat juga ditumbuk
setelah beras menjadi nasi. Tteok kemudian diolah bersamaan dengan bahan-bahan
lainnya, seperti kacang-kacangan serta berbagai macam buah. Pengolahan tteok bersama
bahan-bahan lainnya kemudian menjadikan tteok lebih beragam dari segi bentuk dan
warna.
14
digunakan untuk mengolah makanan yang ditemukan salah satunya adalah batu untuk
mengolah biji-bijian yang dikenal sebagai dolhwak (돌확) dan galdol (갈돌). Dolhwak
merupakan alat masak berbentuk seperti mangkuk dengan bagian tengah yang cekung
ke dalam. Sedangkan galdol, merupakan seperangkat alat yang terdiri dari batu yang
berbentuk seperti papan, serta batu berbentuk lonjong untuk memukul sesuatu. Selain
kedua alat tersebut, teknologi memasak kuno lainnya yang ditemukan adalah siru
(시루). Siru merupakan alat masak untuk mengukus atau pun merebus bahan-bahan
makanan. Alat-alat sederhana ini diperkirakan merupakan peninggalan orang-orang
Korea pada saat zaman perunggu (Yeo, 2016).
Selanjutnya pada periode Masa Tiga Kerajaan dan Silla Bersatu (668-935), tteok
diperkirakan mulai berkembang mengikuti perkembangan budaya masyarakat pada saat
itu. Beras yang menjadi komoditi utama dalam bidang pertanian pada Masa Tiga
Kerajaan, membuat jenis serta resep tteok semakin beragam (Yeo, 2016). Beras yang
menjadi komoditi utama pada saat itu serta munculnya teknologi yang terbuat dari besi
dinilai menjadi awal mula tteok yang terbuat dari beras (Wijayanti, 2017). Kemudian
pada masa Silla Bersatu, kualitas kehidupan masyarakat Korea semakin membaik. Hal
tersebut didukung karena kondisi perdagangan Korea yang kuat, sehingga membuat
ekonomi negara ikut stabil. Kondisi ekonomi yang stabil serta bidang perdagangan yang
kuat pada masa Silla Bersatu, memberikan pengaruh pada berbagai hal termasuk tteok.
Pada masa ini, tteok mulai dikonsumsi secara luas dengan jenis yang lebih beragam.
Tteok juga mulai muncul dalam berbagai acara kepercayaan atau ritual, serta perayaan-
perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Korea.
15
Selanjutnya tteok terus berkembang pada masa Dinasti Joseon (1392-1910).
Mengutip dari tulisan karya Wijayanti (2017), keragaman jenis serta rasa tteok semakin
berkembang pada masa ini karena adanya perkembangan teknik pertanian serta metode
kuliner masyarakat Korea. Dalam program Tale of Hansik episode 2 yang disiarkan oleh
Arirang TV (dipublikasikan kembali melalui kanal Youtube), tteok pada masa Dinasti
Joseon berkembang di dalam kerajaan dan keluarga bangsawan atau yangban (양반).
Proses pengolahan dan penyajian tteok pada masa ini berbeda-beda mengikuti fungsi
dan kepentingannya. Pada akhir masa Dinasti Joseon, perdagangan bebas sudah
dilegalkan sehingga perdagangan barang-barang, termasuk tteok, dapat dijual secara
luas (Wijayanti, 2017).
Tidak hanya kurang dikenal secara global, saat ini kepopuleran tteok juga
semakin berkurang dalam masyarakat Korea yang sudah semakin modern. Masyarakat
Korea pada saat ini lebih memilih makanan yang mudah didapat secara cepat.
Kemudian nilai-nilai dan makna tteok juga sudah mulai berkurang terutama di kalangan
anak muda Korea. Menurunnya kepopuleran tteok dalam masyarakat Korea ini juga
terbukti dengan perbandingan jumlah toko roti dan toko penjual kue beras yang ada di
Korea. Menurut penelitian yang dilakukan oleh LG Global Challanger pada tahun 2015,
ditemukan bahwa terdapat 4733 unit toko roti, sedangkan toko kue beras hanya
16
berjumlah 432 unit saja. Ini menunjukkan bahwa keberadaan tteok sedikit tergeser
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Korea. Tteok hanya menjadi makanan
pelengkap pada saat hari-hari perayaan Korea.
Tteok merupakan makanan yang sudah lama ada di dalam kehidupan masyarakat
Korea. Tteok merupakan hal yang sulit dipisahkan dari kehidupan sosial dan budaya
masyarakat Korea. “밥 먹는 배가 따로 있고 떡 먹는 배가 따로 있다” (bab
meokneun baega ttaro itgo tteok meokneun baega ttaro itda) merupakan ungkapan
dalam masyarakat Korea yang berarti “perut untuk makan nasi dan perut untuk makan
tteok ada secara terpisah”. Ungkapan atau peribahasa ini menunjukkan betapa
masyarakat Korea menikmati tteok sebagai sebuah makanan. Seperti yang sudah
dikemukakan sebelumnya, tteok mengandung makna berbagi dalam masyarakat Korea.
Makna ini tidak muncul secara tiba-tiba. Tteok memiliki makna berbagi karena adanya
kepercayaan dan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Korea.
17
Kebiasaan berbagi tteok yang dilakukan pada zaman dahulu tetap ada dan
dilakukan oleh masyarakat Korea di era modern seperti saat ini. Masyarakat Korea
memiliki kebiasaan untuk memberikan tteok kepada tetangga di sekitar tempat tinggal
baru pada saat mereka berpindah rumah. Sirutteok atau patsirutteok merupakan jenis
tteok yang dibuat dari campuran beras ketan dan kacang merah dengan cara dikukus
menggunakan siru. Pada saat seseorang berpindah rumah, ia akan memberikan sirutteok
kepada tetangganya dengan tujuan memperkenalkan diri dan berharap untuk hidup
berdampingan dengan baik. Sirutteok yang berwarna merah memiliki pesan untuk
kehidupan yang baik. Masyarakat Korea memiliki kepercayaan bahwa warna merah
dapat mengusir roh jahat. Memberikan tteok kepada tetangga baru menjadi awal sebuah
hubungan terbentuk di antara tetangga. Memperkenalkan diri untuk tinggal
berdampingan dengan harmonis melalui pemberian sirutteok juga dapat dipahami
menjadi awal munculnya afeksi di antara hubungan antar tetangga.
Berbagi tteok tidak hanya dilakukan antar tetangga, tetapi juga dilakukan di
dalam keluarga. Keluarga merupakan orang yang memiliki sebuah hubungan erat
dengan seorang individu, baik secara biologis ataupun emosional. Hubungan di dalam
keluarga yang sudah berlangsung dalam waktu yang lama akan menumbuhkan afeksi
atau jeong di antara individu yang ada di dalamnya. Afeksi akan muncul dan diberikan
oleh suami kepada istri, orang tua kepada anak, kakak kepada adik, atau pun kakek-
nenek kepada cucunya. Afeksi ini dapat ditunjukkan atau disampaikan melalui berbagai
hal, salah satunya berbagi makanan, yakni tteok.
18
melaksanakan ujian dengan baik kemudian dikomunikasikan melalui pemberian
chabssaltteok. Masyarakat Korea memiliki kebiasaan untuk memberikan chabssaltteok
(찹쌀떡) kepada kerabat atau anggota keluarga yang akan melakukan ujian masuk
universitas. Chabssaltteok merupakan tteok yang terbuat dari beras ketan. Dalam bahasa
Korea, butda (붙다) dapat berarti lengket atau menempel, tetapi dapat juga bermakna
lulus ujian. Tekstur chabssaltteok yang lengket dimaknai sebagai harapan agar orang
yang menerima dan memakannya dapat fokus serta lulus pada ujian yang akan dihadapi.
19
Kemudian susu gyeongdan merupakan tteok yang dibuat dengan bahan utama
tepung beras ketan dan dibentuk bulat menyerupai bola-bola kecil. Tteok yang sudah
dibentuk menyerupai bola ini kemudian direbus dan dilumuri dengan berbagai macam
tambahan seperti jawawut, bubuk kacang merah, bubuk kacang tanah, bubuk kayu
manis, dan biji wijen. Susu gyeongdan yang dilumuri dengan jawawut merupakan tteok
yang selalu disajikan pada perayaan dol. Warna merah yang dianggap sebagai
penangkal energi buruk diharapkan akan membawa hal-hal baik untuk hidup sang anak
kelak.
Keempat jenis tteok tersebut menyampaikan pesan tentang kasih sayang orang
tua yang mengharapkan agar anak tumbuh berkembang dengan baik. Orang tua
berharap agar anak mereka hanya memiliki sifat-sifat dan kehidupan yang baik.
Harapan dan doa yang disampaikan melalui tteok menunjukkan adanya hubungan yang
erat antara orang tua, kerabat, serta anak yang merayakan perayaan dol. Hubungan erat
dan ikatan yang ada kemudian dibuktikan dengan adanya afeksi atau jeong di antara
individu-individu tersebut. Afeksi atau jeong kemudian ditunjukkan melalui pesan di
dalam tteok yang disajikan pada perayaan dol.
20
Selain perayaan dol, tteok juga muncul dalam ritual atau upacara tradisional
Korea lainnya, seperti honrye (혼례). Honrye merupakan upacara pernikahan yang
dilaksanakan secara tradisional di Korea. Sama seperti upacara atau ritual pernikahan
tradisional di negara lainnya, honrye pada pelaksanaannya memiliki proses yang
panjang. Makanan merupakan hal yang tidak bisa dilupakan saat melaksanakan prosesi
pernikahan. Tteok pada upacara honrye juga muncul dan digunakan dalam proses
pelaksanaannya. Bongchi tteok (봉치떡) merupakan olahan tteok yang muncul pada
ritual ini. Bongchi tteok merupakan tteok yang dikukus dan dibuat berlapis dengan
bahan utama tepung beras ketan dan bubuk kacang merah yang ada di antara
lapisannya. Bongchi tteok kemudian dihiasi dengan sebuah kacang kastanye dan buah
jujube di bagian atasnya. Setiap bagian dari bongchi tteok menyampaikan harapan untuk
calon pasangan suami-istri yang akan menikah. Tteok yang bertekstur lengket menjadi
simbol hubungan yang erat antara suami dan istri. Kacang merah yang ditaburkan di
tiap lapisan menjadi simbol untuk mengusir roh jahat atau energi buruk yang dapat
mengganggu keharmonisan hidup suami-istri. Kacang kastanye dan buah jujube
menjadi lambang harapan agar pasangan suami-istri dikaruniai keturunan yang banyak.
Harapan akan kehidupan baik yang akan dilalui saat menjadi pasangan suami-istri
disampaikan melalui simbol-simbol yang terdapat di dalam tteok.
Kesimpulan
Rasa kasih sayang dan afeksi, menurut teori hierarki kebutuhan yang
dikemukakan oleh Abraham Maslow, merupakan salah satu hal yang dibutuhkan
manusia sebagai makhluk hidup. Jeong dalam masyarakat Korea yang dipahami sebagai
afeksi atau kasih sayang yang selalu ada di antara hubungan antar individu dan
merupakan nilai yang kental dengan kebudayaan Korea. Masyarakat Korea yang
merupakan masyarakat dengan nilai kolektivisme tinggi memandang sebuah hubungan
antar manusia sebagai hal yang tidak dapat dihilangkan dalam kehidupan. Karena pada
hakikatnya, setiap makhluk hidup berdampingan dan selalu memiliki sebuah ikatan
dengan makhluk lainnya. Tidak hanya antara makhluk hidup, jeong memiliki konsep
tentang hubungan antara manusia dengan benda di sekitarnya.
21
Manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan akan perasaan kasih sayang. Komunikasi kemudian menjadi cara
manusia untuk berinteraksi dengan tujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak
dapat dipenuhinya seorang diri. Tidak hanya melalui kata-kata, penggunaan objek-objek
yang ada di sekitar manusia juga dapat dilakukan untuk menyampaikan perasaan kasih
sayang. Objek atau benda yang digunakan dalam proses komunikasi tersebut tidak
secara langsung mengandung pesan atau makna, tetapi akan muncul ketika
bersinggungan dengan kebudayaan, kebiasaan, dan pemikiran individu yang ada di
dalam proses komunikasi tersebut.
Tteok, sebagai makanan tradisional Korea memiliki makna dan pesan dari siapa
pun yang menyajikannya. Makna serta pesan yang ada di dalam sebuah tteok tidak
muncul dengan sendirinya. Namun, sudah dipengaruhi dengan adanya pengetahuan atau
cara pikir masyarakat Korea dalam mengartikan sesuatu. Kepercayaan, kebudayaan,
hingga waktu serta tempat disajikannya makanan ini menjadi faktor yang membentuk
makna dari tteok. Harapan dan doa yang disampaikan melalui tteok merupakan sebuah
bentuk penyampaian dari sebuah afeksi atau jeong. Ikatan sebuah hubungan antar
individu serta rasa kasih sayang juga kemudian dapat tergambar dari sebuah tteok.
Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat bahwa komunikasi non-verbal dalam budaya
komunikasi masyarakat Korea dapat dilakukan melalui penggunaan makanan sebagai
komunikan yang membawa pesan untuk disampaikan kepada orang lain. Penulis merasa
masih menemukan banyak kesulitan mulai dari proses pengumpulan hingga analisis
data untuk penulisan tugas akhir ini. Masih terbatasnya jurnal-jurnal tertentu serta karya
ilmiah terkait dengan topik yang dipilih penulis menjadikan tulisan ini jauh dari kata
sempurna. Penulis berharap topik ini dapat dikembangkan dengan lebih baik pada
penelitian selanjutnya dengan menggunakan metode dan teknik penelitian yang lebih
mendukung.
22
Biodata Penulis
ZAINAB UMMU HASANAH, merupakan mahasiswi Program Studi Bahasa dan
Kebudayaan Korea angkatan 2015. Mahasiswi yang akrab dipanggil Ummu, lahir di
Cilegon pada tanggal 26 Mei 1997. Studi tentang kebudayaan Korea dan hubungan
internasional menjadi hal yang menarik bagi penulis. Semasa kuliah, penulis aktif dalam
berbagai kegiatan di dalam dan di luar kampus. Penulis dipercaya menjadi mandataris
HWARANG serta menjabat sebagai wakil ketua Komisi Kelembagaan DPM FIB UI
pada tahun 2017. Ketertarikan terhadap kebudayaan dan hubungan internasional
mendorong penulis untuk mengikuti berbagai kegiatan dengan tema-tema tersebut. Pada
tahun 2016 penulis berpartisipasi sebagai usher pada konferensi “In The Zone” yang
diadakan oleh Perth USAsia dan Foreign Policy Community Indonesia di Jakarta.
Penulis juga pernah mengikuti kegiatan sukarelawan yang bekerja sama dengan
organisasi dari Korea, yaitu menjadi perwakilan mahasiswa sebagai panitia dalam
kegiatan “The Pacific Asia Society” di FIB UI pada bulan Januari 2017 dan “8th Happy
Builder Collage Students Social Contribution Activity” yang diselenggarakan oleh
Posco E&C di SMAN 3 Jakarta. Lalu pada bulan Agustus 2018, penulis juga
berpartisipasi dalam “18th Asian Games 2018” sebagai liaison officer yang diadakan di
Jakarta.
23
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Douglas, M. (1997). Deciphering a Meal. In C. Counihan, & P. Van Esterik, Food and
Culture: A Reader (p. 36). New York: Routledge.
G. Goble, Frank. (1992). Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terj
The Third Force, The Psycology of Abraham Maslow oleh Drs. A. Supratiknya.
Yogyakarta: kanisius.
Samovar, L. A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. (2010). Komunikasi Lintas Budaya.
Jakarta: Salemba Humanika.
Shim, T., Kim, M., & Martin, J. (2008). Changing korea - understanding culture and
communication. New York: Peter Lang.
Soekanto, S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal: 67
Yoon, K. (2016). The Local Sociality and Emotion of Jeong in Koreans’ Media
Practices. In S. S. Lim, & C. Soriano, Asian Perspectives on Digital Culture
Emerging Phenomena, Enduring Concepts. London: Routledge. Hal: 85-100
Sumber Daring
(KOCIS), K. (n.d.). Food : Korea.net : The official website of the Republic of Korea.
Diakses melalui http://www.korea.net/AboutKorea/Korean-Life/Food
24
(KOCIS), K. (2016). Korean recipes: red bean steamed rice cake (팥시루떡) :
Korea.net : The official website of the Republic of Korea. Diakses melalui
http://www.korea.net/NewsFocus/Culture/view?articleId=142434
Arirang TV. Youtube. (2013). Tale of Hansik Ep.02 Rice cake 떡. Diakses melalui
https://www.youtube.com/watch?v=L8-fqh2ltr0
Cho, N. (2017). Stories Behind Korean Rice Cakes (Tteok) - Gwangju News Online.
Diakses melalui http://gwangjunewsgic.com/food-drink/korean-food/stories-
behind-korean-rice-cakes-tteok/
Kim, T. (2011). ’K-food’ to be next big thing in Korean wave. Diakses melalui
http://www.koreatimes.co.kr/www/news/biz/2011/09/123_95576.html
25
Soranakom, R., Baatarnyam, A., Dung, N. P., & Grudinschi, S. (2015). Tteok Secrets -
Revealing The Secrets of Tteok. LG Global Challanger. Diakses melalui
http://www.lgchallengers.com/wp-
content/uploads/global/global_pdf/2015_G0581
Sumber Jurnal
Chung, H.-k., Yang, H.-J., Shin, D., & Chung, K.-r. (2016). Aesthetics of Korean foods:
The symbol of Korean culture. Journal of Ethnic Foods, 178-188.
Kim, H. (2017). Funeral Foods and Its Role as Vehicle of Communication. Ristumeikan
Research Repository. 47-54. Diakses melalui
https://core.ac.uk/display/92529035?recSetID=
Kim, S. (2003). Korean Cultural Codes and Communication. International Area Review,
110-111.
Position of the American Dietetic Association: Vegetarian Diets. (2009). Journal of the
American Dietetic Association, 109(7), 1266–
1282.doi:10.1016/j.jada.2009.05.027
Yeo, S. (2016). A Study of The Measure for Utilizing Contents to Promote the Rice
Cake Culture of Korea. Hankuk University of Foreign Studies. DCollection.
Diakses melalui
http://hufs.dcollection.net/public_resource/pdf/200000162953_20190316223408
.pdf
26