Anda di halaman 1dari 28

UNIVERSITAS INDONESIA

TTEOK SEBAGAI SIMBOL JEONG DALAM BUDAYA


KOMUNIKASI MASYARAKAT KOREA

TUGAS AKHIR

ZAINAB UMMU HASANAH


1506753814

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI BAHASA DAN KEBUDAYAAN KOREA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2019
UNIVERSITAS INDONESIA

TTEOK SEBAGAI SIMBOL JEONG DALAM BUDAYA


KOMUNIKASI MASYARAKAT KOREA

TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora

ZAINAB UMMU HASANAH; ZAINI


1506753814; 070803003

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI BAHASA DAN KEBUDAYAAN KOREA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2019
TTEOK SEBAGAI SIMBOL JEONG DALAM BUDAYA KOMUNIKASI
MASYARAKAT KOREA
Zainab Ummu Hasanah; Zaini
Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia.
Zainabummuhasanah@gmail.com; zaini@ui.ac.id

Abstrak
Makanan memiliki keterkaitan yang erat dengan komunikasi dan kebudayaan. Melalui
sebuah makanan tradisional kita dapat mengetahui berbagai hal seperti cita rasa khas
serta kondisi geografi daerah asal makanan tersebut. Namun, melalui makanan kita juga
dapat mengetahui budaya, nilai, tradisi, serta kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat
dari daerah makanan itu berasal. Tteok sebagai makanan khas Korea Selatan merupakan
salah satu jenis makanan yang dapat memberikan informasi tentang kebudayaan serta
nilai-nilai dalam masyarakat Korea. Tteok sebagai jenis makanan mengandung berbagai
makna dan pesan tentang perasaan seseorang. Kebahagiaan, kesedihan, amarah, dan
kepuasan merupakan ungkapan dari nilai yang ada dalam masyarakat Korea, yakni
jeong. Karya tulis ini disusun untuk menjelaskan nilai dan budaya dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat Korea dalam sebuah Tteok. Penelitian ini ditulis dengan
metode studi pustaka dan membahas peran tteok dalam komunikasi, serta
keterkaitannya dengan nilai jeong dalam masyarakat Korea. Berdasarkan hasil
penelitian, dapat disimpulkan bahwa tteok dapat menjadi simbol jeong dalam
komunikasi masyarakat Korea.

Kata kunci : jeong; komunikasi; Korea Selatan; makanan; tteok.

TTEOK AS A SYMBOL OF JEONG IN KOREAN COMMUNICATION


CULTURE
Abstract

Food has a close relation with culture and communication. Through a traditional food,
we can know the unique taste and geographic condition of the area where the food came
from. However, through a food we can also get the information about culture, value,
tradition, and customs of the society. Tteok is a type of Korean traditional food which
can tell us the information about Korean culture and values in their society. Tteok as
type of food has meaning and message about one’s feelings. Happiness, sadness, anger,
and pleasure in Korean traditional value are known as jeong. This paper aims to know
the culture and value within Korean sociocultural society through a tteok. This paper is
written with a literature study method and discuss the role of tteok in communication, as
well as its relevance to the value of jeong in Korean society. Based on the result of this
analysis, it was found that tteok can be seen as a symbol of jeong in Korean’s
communication.

Keywords : communication; food; jeong; South Korea; tteok.

1
Pendahuluan

Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi manusia
sebagai makhluk hidup. Mulai dari zaman prasejarah pada tahap berburu dan meramu,
bercocok tanam dan hidup menetap, bahkan hingga saat ini manusia selalu berusaha
bertahan hidup memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Fungsi utama dari makanan adalah
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada tubuh manusia, sehingga manusia dapat hidup,
melakukan aktivitas, serta tumbuh dan berkembang. Menurut KBBI versi daring,
makanan berarti segala bahan yang kita makan untuk membentuk jaringan tubuh,
memberikan tenaga, atau mengatur semua proses dalam tubuh. Makanan, umumnya
hanya dianggap sebagai sesuatu yang dikonsumsi dan hanya berfungsi untuk kebutuhan
biologis manusia.

Makanan tidak hanya berguna sebagai sumber energi tetapi juga sangat erat
kaitannya dengan aspek sosial-budaya dalam masyarakat. Anna Meigs (1997)
berpendapat bahwa makanan berkaitan dengan terbentuknya solidaritas dan ikatan
dalam kelompok sosial. Kemudian, Mary Douglas (1997) juga berpendapat bahwa jika
makanan dianggap sebagai sebuah kode, maka akan ada pesan yang disampaikan
melalui kode tersebut dalam pola relasi sosial yang ditunjukkan. Melalui dua pendapat
tersebut, dapat dipahami bahwa makanan dapat dijadikan simbol dalam menyampaikan
pesan atau makna pada interaksi dalam masyarakat.

Makanan yang memiliki makna khusus terdapat di berbagai negara, termasuk


Korea. Makanan Korea mulai terkenal semenjak Hallyu atau Korean Wave populer di
kancah internasional. Budaya Korea mulai dikenal secara global semenjak K-pop dan
K-drama mendapatkan perhatian di berbagai negara pada tahun 2000-an. Korean Wave
kemudian mulai berkembang tidak hanya memperkenalkan budaya pop Korea saja,
tetapi juga budaya tradisional Korea. Budaya tradisional yang mulai dikenal oleh
masyarakat global salah satunya adalah makanan. Makanan merupakan hal yang sangat
erat dengan budaya dan masyarakat Korea Selatan. Makanan Korea atau dalam bahasa
Korea disebut hansik (한식) kemudian secara global lebih dikenal sebagai K-food
melalui Korean Wave. K-food pertama kali mulai dikenal secara global melalui drama
populer Daejanggeum (대장금) yang dirilis pada tahun 2003. Sejak saat itu, makanan

2
Korea mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional. Menurut hasil penelitian
yang dilakukan oleh Institut Kebudayaan dan Pariwisata Korea (Korean Culture and
Tourism Institute) pada tahun 2014, 35% responden memilih bibimbap, 33% memilih
bulgogi, dan 30% memilih samgyupsal sebagai makanan Korea yang paling populer di
kalangan wisatawan asing. Salah satu alasan mengapa makanan Korea menjadi populer
dan diterima oleh masyarakat global adalah karena makanan Korea dianggap sebagai
model dari makanan alami atau bisa juga disebut dengan slow-food yang sehat bagi
tubuh.

Makanan tradisional Korea memiliki filosofi dan makna tersendiri dilihat dari
bahan, warna, proses pembuatan, serta waktu saat makanan tersebut dikonsumsi. Salah
satu makanan tradisional Korea yang erat dengan budaya masyarakatnya adalah tteok
(떡) atau kue beras. Tteok merupakan makanan yang sangat dekat dengan kehidupan
masyarakat Korea. Masyarakat Korea sudah mengonsumsi tteok sejak lama. Terdapat
berbagai jenis tteok dan makanan ini selalu muncul dalam berbagai acara seperti
kelahiran, ulang tahun, tahun baru, hingga kematian. Ini menunjukkan bahwa tteok
selalu ada dalam masyarakat Korea saat mereka senang ataupun sedih. Tteok dianggap
lebih dari sekadar makanan, tetapi juga mengandung perasaan dan nilai-nilai yang ada
di dalam masyarakat Korea. Selain sebagai makanan, tteok juga sering muncul dan
digunakan dalam peribahasa bahasa Korea. Tteok juga memberikan pesan tentang
berbagi, kenangan, sejarah, serta seni dari Korea Selatan (Wijayanti, 2017). Maka dari
itu, tteok dapat dilihat sebagai bagian dari budaya Korea Selatan.

Ada dua tulisan ilmiah yang digunakan oleh penulis sebagai dasar acuan.
Sumber pertama adalah makalah non seminar atau jurnal berjudul “Makna Tteok dalam
Perayaan Tradisional Korea Dol, Honrye, dan Charye” yang ditulis oleh Dhania Astrini
Wijayanti. Wijayanti menjelaskan, tteok memiliki makna bagi masyarakat Korea dalam
ketiga perayaan tradisional yang sudah disebutkan. Makna tteok yang dijelaskan oleh
Wijayanti, yaitu berbagi, doa dan harapan, serta kenangan. Mengutip dari penulisan
Wijayanti (2017), “Setiap bagian tteok memiliki makna kasih sayang dari orang untuk
orang lainnya, sukacita hidup bahagia serta keinginan terbaik untuk satu sama lain”.

3
Tulisan kedua yang dijadikan penulis sebagai dasar acuan adalah penelitian yang
dilakukan oleh Kim Hee-sup berjudul “Funeral Foods and Its Role as Vehicle of
Communication”. Kim (2017) menuliskan bahwa makanan pada ritual pemakaman
menjadi channel atau komunikan pada proses komunikasi non-verbal. Makanan
berkontribusi dalam konsolidasi pada hubungan sosial masyarakat Korea. Keluarga
yang berduka menyediakan makanan yang disajikan untuk kerabat yang datang
menyampaikan bela sungkawa. Makanan yang telah disajikan kemudian menjadi
perantara yang digunakan untuk berbagi perasaan sedih dan kehilangan yang dirasakan
setelah ditinggal oleh orang terdekatnya.

Kedua sumber acuan memiliki kesamaan, yaitu membahas makanan yang


membawa makna dalam sebuah proses komunikasi. Berdasarkan penelitian kedua
sumber, penulis dapat menyimpulkan bahwa kedua tulisan menjelaskan makanan Korea
memiliki makna serta pesan yang disampaikan kepada orang yang menyantapnya.
Meskipun begitu, Wijayanti lebih fokus menjelaskan tentang makna dari makanan yang
menjadi objek penelitiannya, yaitu tteok. Sedangkan Kim berfokus pada peran makanan
sebagai pembawa pesan.

Berdasarkan latar belakang yang sudah dituliskan oleh penulis, permasalahan


yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana peran tteok sebagai simbol
afeksi dalam komunikasi budaya masyarakat Korea. Penelitian ini hanya akan
membahas peran tteok sebagai simbol afeksi atau jeong dalam masyarakat Korea.
Penelitian ini menjadi menarik untuk dilakukan karena pembahasan tentang tteok
sebagai makanan tradisional Korea belum banyak dibahas dalam bahasa Indonesia,
terutama peranannya sebagai simbol afeksi dalam sebuah proses komunikasi.
Berdasarkan penjelasan yang dilakukan oleh penulis, karya tulis ini bertujuan untuk
menjelaskan bagaimana makanan tradisional menjadi simbol yang digunakan untuk
menyampaikan sebuah perasaan dalam budaya Korea. Karya tulis ini dibuat dengan
menggunakan metode penelitian studi pustaka. Studi pustaka merupakan metode
penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan informasi yang berkaitan
atau relevan dengan topik atau masalah yang diangkat oleh penulis. Informasi tersebut
dapat diperoleh melalui buku, laporan, jurnal penelitian, karya ilmiah, serta berbagai
sumber tertulis lain secara luring ataupun daring. Melalui metode ini, penulis berharap

4
agar karya tulis mampu memberikan informasi secara utuh tentang tteok sebagai media
komunikasi lintas budaya.

Tinjauan Teoretis

Komunikasi Non-verbal dalam Masyarakat Korea

Komunikasi merupakan salah satu hal mendasar yang umum dilakukan oleh
manusia sebagai makhluk sosial. Menurut Kimball Young dan Raymon W. Mack,
interaksi yang dilakukan manusia merupakan bukti bahwa manusia hidup bersama-sama
(Soekanto, 2001). Dalam KBBI versi daring, komunikasi didefinisikan sebagai proses
pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga apa
yang disampaikan dapat diterima dan dipahami. Komunikasi juga didefinisikan oleh
Shannon dan Weaver (1949) sebagai bentuk interaksi manusia yang terjadi secara
sengaja atau tidak, sebagai sebuah upaya saling mempengaruhi dan dapat dilakukan
melalui berbagai cara.

Komunikasi kemudian dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu (1)


komunikasi lisan dan tulisan; (2) komunikasi verbal dan non-verbal; (3) komunikasi ke
bawah, atas, dan samping; (4) komunikasi formal dan informal; serta (5) komunikasi
satu arah dan dua arah (Jiwanto, 1987). Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori
komunikasi non-verbal.

Komunikasi non-verbal dapat dipahami sebagai proses penyampaian informasi


atau emosi yang dilakukan tanpa menggunakan kata-kata atau secara non-linguistik
(Budyatna & Ganiem, 2011). Komunikasi non-verbal juga didefinisikan sebagai semua
aspek komunikasi yang bukan merupakan kata-kata (Wood, 2013). Komunikasi non-
verbal merupakan komunikasi yang terjadi melalui penggunaan ekspresi, bahasa tubuh,
karya seni, tindakan dan hal-hal lain yang memiliki pesan dan makna di dalamnya.

Di dalam masyarakat Korea, ekspresi dan bahasa tubuh sering kali digunakan
dalam proses komunikasi antar individu. Namun, selain ekspresi dan gerak tubuh,
masyarakat Korea juga menyampaikan sebuah pesan yang dikomunikasikan melalui
pakaian, makanan, ataupun hal-hal yang menjadi simbol atau representasi dari pesan

5
yang ingin disampaikan. Hal ini sesuai dengan penjelasan tentang komunikasi non-
verbal yang menyatakan bahwa komunikasi non-verbal merupakan simbol.

Penggunaan simbol baik dalam bahasa tubuh, ekspresi, ataupun benda dalam
komunikasi non-verbal sebenarnya berguna sebagai pendukung dalam komunikasi
verbal. Beberapa ahli berpendapat bahwa komunikasi non-verbal dipersepsikan sebagai
tanda yang lebih dipercaya dibandingkan dengan penggunaan kata-kata. Secara umum,
kebanyakan orang percaya bahwa dalam mengekspresikan sebuah perasaan, komunikasi
non-verbal lebih efektif (Andersen dalam Wood, 2013). Sebagai contoh, masyarakat
Korea cenderung mengisap makanan dan membuat suara saat makan untuk
menunjukkan bahwa ia menikmati makanan yang telah disajikan.

Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer dan George Herbert Mead

Interaksionisme simbolik merupakan teori yang berfokus pada hubungan antar


individual di dalam sebuah masyarakat. Menurut Blumer istilah interaksionisme
simbolik ini merujuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Ciri dari
interaksionisme simbolik adalah manusia saling menerjemahkan dan saling
mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya reaksi dari tindakan orang lain, tetapi juga
didasarkan atas makna atau pesan yang diberikan terhadap tindakan orang lain. Interaksi
antar individu, dihubungkan dengan adanya penggunaan simbol serta interpretasi atau
usaha yang dilakukan untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing.

Interaksionisme simbolik berpendapat bahwa makna tidak tumbuh atau muncul


dengan sendirinya atau secara tiba-tiba. Namun, muncul berkat adanya kesadaran
manusia akan suatu hal serta kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan makna itu
muncul. Kecenderungan interaksionime simbolis ini berawal gagasan dasar yang
dikemukakan oleh Mead yang mengatakan bahwa interaksionisme simbolik
memusatkan perhatian pada tindakan dan interaksi manusia. Lalu makna dari sebuah
simbol muncul akibat dari kapasitas berpikir manusia. Blumer kemudian
mengemukakan premis yang berkaitan dengan interaksi simbolik. Premis-premis
tersebut, yaitu (1) individu berinteraksi dengan sesuatu berdasarkan makna yang telah
diberikan; (2) makna yang ada muncul karena adanya interaksi yang dilakukan dengan
orang lain dan juga lingkungan masyarakat; (3) makna yang ada kemudian

6
diinterpretasikan kembali oleh lawan bicara berdasarkan keadaan yang sedang terjadi
(Griffin, 2012).

Pembahasan

Nilai Jeong dalam Masyarakat Korea

Kebudayaan Korea mendapatkan banyak pengaruh dari ajaran Konfusianisme.


Tidak hanya kebudayaan, secara luas ajaran Konfusianisme dalam masyarakat Korea
kemudian tumbuh dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat lainnya
seperti kepercayaan, hingga aturan dalam hubungan antar manusia. Pengaruh ini juga
kemudian membentuk cara pandang, cara pikir, hingga cara masyarakat Korea
mendeskripsikan sebuah perasaan.

Konfusianisme, sama seperti di negara Asia Timur lainnya, mempengaruhi cara


pandang dan berpikir masyarakat Korea yang dapat terlihat secara jelas dari hubungan
antar individunya. Konfusianisme merupakan sistem nilai yang mengatur hubungan
yang harmonis antar sesama manusia di dalam sebuah kelompok, seperti keluarga, desa,
dan negara (Shim, dkk dalam Yoon, 2016). Konfusianisme di Korea membentuk
pemahaman bahwa hubungan di dalam keluarga merupakan sebuah purwarupa dari
semua jenis hubungan antar manusia. Hubungan keluarga kemudian berkembang
menjadi hubungan sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai Konfusianisme yang tumbuh
dan melekat di dalam masyarakat Korea lalu memunculkan keterkaitan antara
kebudayaan dengan cara berkomunikasi masyarakatnya. Proses komunikasi yang ada di
dalam masyarakat Korea tidak dapat dipisahkan dengan tanda-tanda budaya, seperti
jeong, nunchi, euiri, uri, dan nilai-nilai khas Korea lainnya.

Jeong menjadi hal yang menarik untuk dibahas ketika menyinggung tentang
hubungan dan perasaan masyarakat Korea. Jeong dikatakan sebagai unsur utama yang
mengatur hubungan di antara orang-orang Korea (Yoon, 2016). Menurut kamus Bahasa
Korea versi daring milik Pusat Bahasa Nasional Korea, jeong (정) diartikan sebagai rasa,
kasih sayang, serta ikatan. Konsep yang serupa seperti Jeong juga ada di dalam
kebudayaan negara-negara Asia Timur lainnya seperti Tiongkok serta Jepang. Ketiga

7
negara ini juga menggunakan tulisan atau karakter bahasa Cina yang sama yaitu 情
(qing) yang merujuk kepada makna emosi dan perasaan (Yoon, 2016, hal.86).
Walaupun menggunakan simbol yang sama, makna dari nilai atau gagasan ini memiliki
perbedaan di ketiga negara itu. Masyarakat Tiongkok mengartikan jeong sebagai nilai
kesetiaan serta kerja sama yang menguntungkan di dalam sebuah hubungan antar
individu. Sedangkan, masyarakat Jepang, yang menyebut jeong sebagai jyo,
mengartikannya sebagai sebuah sentimental (Jeong, 2014).

Jeong dalam masyarakat Korea merupakan sebuah konsep nilai yang abstrak.
Dalam berbagai jurnal berbahasa Inggris, para peneliti mengartikan jeong sebagai
affection atau afeksi dalam bahasa Indonesia. Afeksi dalam psikologi merupakan cinta
kasih, perasaan-perasaan, dan emosi yang dibedakan dari aspek kognitif dan konotatif
kepribadian (Hassan dkk, 2003). Le Clezio, penerima Penghargaan Nobel dalam Sastra
pada tahun 2008, pernah mengatakan “...konsep tentang nilai atau gagasan yang disebut
jeong di Korea, merupakan gagasan yang mendalam serta memiliki ciri khas tersendiri.
Kata ini bahkan tidak dapat ditemukan padanannya jika dicari dalam kamus bahasa
Inggris atau pun Perancis...” (Yoon, 2012). Jeong dikatakan dapat merepresentasikan
cara berhubungan antar manusia yang lebih kuno dan primitif daripada cinta (Kim
dalam Chung & Cho, 2006). Secara lebih rinci, jeong diumpamakan sebagai sebuah
simbol hubungan manusia di masyarakat Korea yang mendekati ikatan erat layaknya
sebuah keluarga (Lee dalam Yoon, 2016, hal.86). Lee juga mengatakan bahwa nilai
jeong mengandung nilai uri (우리) atau “kita” yang menganggap bahwa “aku” dan
“kamu” merupakan satu kesatuan individu yang tidak dapat dipisahkan. Pendapat ini
yang kemudian membuktikan bahwa jeong tidak dapat dilepaskan dari nilai
kolektivisme yang ada di dalam masyarakat Korea.

Jeong atau afeksi dapat diartikan sebagai perasaan atau emosi yang muncul
ketika individu menjadi akrab atau dekat terhadap seseorang ataupun sesuatu.
Hubungan atau ikatan tersebut tidak hanya muncul antara manusia dengan manusia,
tetapi juga dapat meluas kepada ikatan antara manusia dan sebuah benda. Jeong
mencangkup perasaan kasih sayang, ikatan, kedekatan, serta kepemilikan (Chung &
Cho, 2006). Chung dan Cho (2006) berpendapat, jeong tidak menggambarkan kondisi
kognitif tertentu, melainkan menggambarkan sebuah keadaan emosional. Jeong juga

8
dikatakan berbeda dengan konsep emosi atau perasaan yang ada di negara Barat. Jeong
bukan merupakan emosi yang ada di dalam diri seorang individu, tetapi merupakan
emosi yang melibatkan dua atau lebih individu. Hal ini yang kemudian menjadikan
jeong sulit dipahami. Secara umum, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia jeong
dapat dipahami sebagai afeksi. Menurut Kim (2006), jeong dapat menjadi kode budaya
yang khas dalam komunikasi masyarakat Korea yang mengandung perasaan masyarakat
tersebut terhadap sesuatu yang dicintainya.

Jeong dianggap sebagai sebuah emosi yang “masuk” kepada seorang individu.
Masyarakat Korea memiliki ungkapan “정이 들다” (jeongi deulda) yang artinya jeong
telah masuk ke dalam diri seseorang. Seorang individu secara pasif menerima jeong
sebagai sebuah emosi di dalam dirinya, bukan ia yang berusaha merasakan jeong. Ini
sesuai dengan anggapan yang menyatakan jeong sebagai emosi yang kuno, primitif,
bukan buatan, serta bukan merupakan sebuah pilihan (Chung & Cho, 2006). Jeong
kemudian dideskripsikan dengan karakteristik emosi yang berkaitan dengan sukarela,
pengorbanan, tidak bersyarat, empati, peduli, tulus, serta kesamaan pengalaman dan
nasib. Karakter tersebut kemudian menjadi asing bagi orang-orang di negara lainnya,
terutama negara-negara Barat. Jeong yang memiliki karakteristik yang sukarela dan
tulus cenderung dianggap sebagai perasaan atau emosi yang sepihak karena tidak
mengharapkan sebuah balasan (Ahn, 2017).

Jeong dalam masyarakat Korea, merupakan sebuah perasaan yang ada di antara
hubungan antar individu (Chung & Cho, 2006). Menurut Chung dan Cho (2006),
manusia merasakan jeong pertama kali saat kehangatan seorang ibu diberikan dan
dirasakan oleh bayi yang dilahirkannya. Jeong yang diberikan seorang ibu kepada
anaknya kemudian dapat disebut dengan mojeong (모정). Mojeong kemudian dianggap
sebagai bentuk awal atau purwarupa dari jeong yang dirasakan manusia. Saat jeong
sudah ada dan muncul di antara seorang ibu dan anaknya, sang ibu akan berinteraksi
dengan bayi yang dilahirkannya dengan cara memenuhi keinginan dan kebutuhan bayi
tersebut. Hal ini kemudian menunjukkan rasa aman serta nyaman yang dapat dirasakan
sang anak. Mojeong yang dianggap sebagai awal dari masuknya jeong ke dalam diri
seseorang kemudian meluas seiring dengan berkembangnya individu tersebut. Jeong
dalam diri seseorang meluas melalui hubungan yang dimilikinya dengan ayah, suami

9
atau istri, teman, alam, serta benda-benda yang ada di dalam kehidupannya.
Perkembangan tersebut kemudian memunculkan berbagai bentuk jeong yang ada di
dalam masyarakat, tergantung dengan siapa saja yang ada di dalam hubungan tersebut.
Mojeong kemudian berkaitan dengan Bujeong (부정). Bujeong merupakan bentuk jeong
atau afeksi yang berasal dari orang tua (ayah dan ibu). Namun, menurut Pusat Bahasa
Nasional Korea, bujeong lebih umum diartikan sebagai afeksi yang ada di antara
hubungan anak dengan ayahnya.

Aejeong (애정) merupakan jenis jeong yang ada di antar sepasang kekasih.
Aejeong didefinisikan sebagai sebuah perasaan yang lebih luas dibandingkan rasa cinta
antara sepasang kekasih. Secara umum, cinta dimengerti sebagai perasaan yang muncul
karena adanya ketertarikan secara seksual antara laki-laki dan perempuan. Namun
aejeong dalam masyarakat Korea membahas emosi atau perasaan yang lebih luas.
Aejong di dalam masyarakat Korea mengandung rasa kesedihan, kerinduan, dan
keinginan yang kuat untuk mewujudkan gambaran yang sempurna dari sepasang
kekasih. Tidak hanya rasa bahagia yang terkandung di dalamnya, aejeong juga
mengandung perasaan kehilangan serta amarah yang ada di dalam hubungan sepasang
kekasih (Yoon & Williams, 2015).

Kemudian jeong juga hidup di dalam hubungan antar teman. Jeong yang ada
dalam hubungan pertemanan umumnya disebut sebagai ujeong (우정). Ujeong di dalam
sebuah pertemanan erat kaitannya dengan kesetiaan serta solidaritas. Jeong sebagai
emosi, tidak serta merta ada di dalam sebuah hubungan. Ujeong yang ada di dalam
hubungan pertemanan, umumnya muncul karena adanya ketertarikan yang sama
terhadap suatu hal, atau juga karena berada di lingkungan yang sama. Hal yang menarik
dari ujeong adalah kecenderungannya mempengaruhi seorang individu saat menghadapi
sebuah masalah. Masyarakat Korea yang memiliki nilai kolektivisme yang tinggi,
menaruh kepercayaan yang tinggi kepada kerabat atau temannya dengan berlandaskan
ujeong yang ada. Hal ini kemudian membuat masyarakat Korea lebih memilih untuk
menceritakan serta berkonsultasi tentang masalahnya kepada teman atau kerabat,
dibandingkan dengan tenaga profesional (Yoon & Williams, 2015).

10
Jenis serta pemahaman yang beragam tentang jeong membuatnya sulit untuk
dideskripsikan dalam satu kesatuan konsep yang utuh. Jeong dapat didefinisikan
tergantung pada individu-individu yang ada dalam hubungan atau ikatan yang ada.
Jeong sebagai sebuah perasaan memiliki kesan yang hangat, tenang, serta ketahanan
(Kim dalam Kim, 2003). Jeong yang ada dalam masyarakat Korea akan selalu ada
selama hubungan antar individu masih berlangsung di dalam masyarakat. Jeong juga
dipandang sebagai emosi atau perasaan yang tidak bisa dihilangkan karena adanya
ikatan di dalamnya. Bahkan beberapa pendapat mengatakan bahwa jeong tidak bisa
diputuskan, meskipun mereka ingin melakukannya.

Budaya Hansik dalam Masyarakat Korea

Makanan memiliki tempat tersendiri di dalam masyarakat Korea. Masyarakat


Korea menganggap makanan sebagai hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari.
Terdapat peribahasa dalam bahasa Korea, “금강산도 식후경이다” (geumgangsando
sikhukyeongida) yang berarti “Gunung Geumgang juga lebih baik dinikmati
pemandangannya setelah makan”. Peribahasa tersebut juga dapat memberikan makna,
bahwa masyarakat Korea mementingkan makan sebelum melakukan aktivitas lainnya
agar dapat dilakukan dengan maksimal. Selain itu, makanan Korea juga tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai tradisi dan kebudayaan masyarakat Korea. Masyarakat Korea
sejak dulu menganggap makanan memiliki fungsi yang sama dengan obat-obatan, yaitu
menjaga kesehatan dan menyembuhkan tubuh manusia (KOCIS, (n.d.). Berdasarkan
pemikiran itu, masyarakat Korea kemudian mengolah bahan makanan menjadi sesuatu
yang sehat bagi tubuh. Hal ini kemudian menjadikan makanan Korea sebagai contoh
dari makanan alami atau lebih populer disebut sebagai slow food. Makanan alami atau
slow food merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sebuah makanan
yang disajikan melalui proses panjang tanpa merusak kandungan nutrisi yang ada dalam
bahan makanan yang digunakan.

Makanan Korea secara luas dikenal dengan istilah hansik pada era globalisasi
saat ini. Hansik merupakan singkatan kata dalam bahasa Korea, yaitu hanguk (한국)
yang berarti negara Korea dan eumsik (음식) yang berarti makanan. Hansik terkenal
secara luas karena rasanya yang lezat, serta tampilannya yang menggugah selera.

11
Namun, hansik juga dikenal sebagai makanan yang diolah melalui proses panjang.
Salah satu contoh yang paling terkenal adalah Kimchi. Kimchi merupakan makanan
khas Korea yang menjadi representasi makanan tradisional Korea dan dikenal sebagai
salah satu makanan yang baik untuk kesehatan tubuh karena dibuat melalui proses
fermentasi. Kimchi, meski dianggap sebagai pelengkap, merupakan makanan yang
selalu ada disajikan bersama dengan hidangan Korea lainnya. Kimchi yang sudah ada
sejak ribuan tahun yang lalu, pada awalnya hanya merupakan sayuran yang diawetkan
dengan garam. Tetapi dengan perkembangan teknologi pertanian serta variasi bahan
pembuat kimchi yang membuatnya dikonsumsi secara luas di Semenanjung Korea,
makanan ini kemudian menjadi ciri khas atau pembeda negara Korea dengan negara
lainnya (Cempaka, 2013). Kimchi yang awalnya hanya sebuah makanan, kemudian
berubah menjadi simbol identitas masyarakat Korea karena ciri khas yang dimilikinya.

Selain Kimchi, makanan lain yang diolah melalui proses fermentasi juga dapat
banyak ditemui dalam jenis-jenis makanan Korea, seperti doenjang, gochujang,
ganjang serta jeotgal. Masyarakat Korea melakukan fermentasi pada bahan makanan
yang ada dengan tujuan untuk memperkaya rasa dan nutrisi yang ada dalam makanan
tersebut. Selain itu, mengutip dari situs web Korean Culture and Information Service
(KOCIS) yang berada di bawah Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata
pemerintah Korea, fermentasi juga dilakukan dengan tujuan untuk membuat makanan
dapat disimpan dalam waktu yang lama. Pengawetan makanan yang dilakukan
masyarakat Korea ini muncul karena Semenanjung Korea memiliki empat musim setiap
tahunnya, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, serta musim dingin. Pada
musim dingin yang biasa terjadi di bulan Januari, suhu di Korea bisa mencapai 4,9
derajat celsius di bawah titik beku dan mengakibatkan kegiatan pertanian tidak dapat
dilakukan (Cempaka, 2013) Secara geografis, Semenanjung Korea dikelilingi oleh
pegunungan dan lahan yang dapat ditanami sayur-sayuran cenderung berjumlah sedikit.
Dengan kondisi geografis serta iklim yang dimiliki Korea, masyarakat Korea kemudian
mengembangkan proses pengawetan makanan dengan cara fermentasi yang terlihat
pada makanan Korea yang ada saat ini.

Bukan hanya memiliki proses pengolahan panjang serta kaya akan nutrisi,
makanan tradisional Korea juga mengandung nilai-nilai budaya dan tradisi. Makanan

12
Korea jika diperhatikan, disajikan dengan penampilan dan nilai estetika atau keindahan
yang tinggi. Hal ini menunjukkan pandangan masyarakat Korea akan penampilan dari
sebuah hidangan. Terdapat sebuah ungkapan dalam masyarakat Korea yaitu “보기
좋은 떡이 먹기도 좋다” (bogi joheun tteoki meokgido johda) yang berarti “tteok
yang terlihat enak, rasanya pasti enak”. Ungkapan tersebut memiliki makna bahwa
sesuatu yang disajikan secara indah atau bagus dapat menggugah selera siapa saja yang
akan menyantap hidangan tersebut. Tampilan makanan Korea yang indah ternyata tidak
hanya bertujuan untuk meningkatkan nilai estetika makanan, tapi juga mengandung
makna mendalam yang merepresentasikan kebudayaan Korea.

Jika membahas tentang makanan Korea yang disusun sedemikian rupa dan indah
dilihat, salah satu makanan yang mudah dijadikan contoh adalah bibimbap. Bibimbap
merupakan makanan Korea yang terbuat dari berbagai jenis sayuran, telur, daging, nasi
atau 밥 (bab) serta pasta cabai khas Korea atau gochujang. Bibimbap disajikan dalam
satu mangkuk berisi bahan-bahan makanan yang sudah disusun berdasarkan warna
sehingga penampilannya menyenangkan untuk dilihat. Bibimbap yang disajikan dalam
satu mangkuk besar kemudian disantap dengan cara diaduk dan dicampur terlebih
dahulu. Proses ini dalam bahasa Korea disebut 비비다 (bibida) yang kemudian
dijadikan nama dari hidangan ini. Melalui penyajian ini seseorang yang memakan
bibimbap dapat merasakan rasa dari semua bahan makanan yang sudah dicampur, tetapi
juga tidak menghilangkan rasa dari masing-masing bahan makanan. Ini mencerminkan
karakter orang Korea yang senang membaur dan tergabung dalam sebuah kelompok.
(Chung, Yang, Shin, & Chung, 2016)

Melalui pembahasan di atas dapat dipahami, bahwa makanan dalam masyarakat


Korea bukan hanya sesuatu yang dikonsumsi. Namun, memiliki nilai dan makna yang
mencerminkan identitas, kebiasaan, serta nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat.
Melalui makanan juga dapat terlihat pola kehidupan masyarakat Korea yang
dipengaruhi oleh faktor geografis serta iklim yang ada di Korea.

13
Sejarah Perkembangan Tteok

Sejak berkembangnya Korean Wave atau disebut juga dengan Hallyu, berbagai
hal tentang Korea banyak diminati oleh masyarakat internasional. Tidak hanya budaya
pop Korea, kebudayaan tradisional Korea juga tidak luput dari perhatian banyak orang,
salah satunya makanan. Seperti kebanyakan negara Asia lainnya, beras merupakan salah
satu bahan makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Korea. Namun,
masyarakat Korea tidak hanya mengonsumsi beras dalam bentuk nasi, tetapi diolah
sedemikian rupa menjadi makanan khas Korea yang dikenal dengan nama tteok atau
kue beras.

Tteok atau kue beras merupakan makanan tradisional Korea yang terbuat dari
bahan utama beras atau gandum. Beras atau gandum yang menjadi bahan utama
pembuat tteok biasanya dihaluskan menjadi tepung beras, atau dapat juga ditumbuk
setelah beras menjadi nasi. Tteok kemudian diolah bersamaan dengan bahan-bahan
lainnya, seperti kacang-kacangan serta berbagai macam buah. Pengolahan tteok bersama
bahan-bahan lainnya kemudian menjadikan tteok lebih beragam dari segi bentuk dan
warna.

Nenek moyang masyarakat Korea telah mengonsumsi tteok sejak lama.


Keberadaan tteok dalam masyarakat Korea yang telah berlangsung lama membuatnya
menjadi bagian dari budaya masyarakat Korea. Kemudian muncul istilah budaya tteok
atau dalam bahasa Korea disebut dengan 떡문화 (tteok munhwa). Walaupun sudah
dikonsumsi sejak zaman nenek moyang masyarakat Korea, para ahli sejarah Korea
belum dapat memastikan secara pasti kapan tteok mulai dikonsumsi oleh masyarakat
Korea (Yeo, 2016). Namun, secara garis besar perkembangan tteok dapat dibagi
menjadi lima periode, yaitu (1) Sebelum Masa Tiga Kerajaan; (2) Masa Tiga Kerajaan
dan Silla Bersatu; (3) Dinasti Goryeo; (4) Dinasti Joseon; serta (5) Masa Modern. Pada
kelima periode tersebut, tteok berkembang bersamaan dengan perkembangan teknologi,
kepercayaan, serta pola kehidupan sosial masyarakat Korea.

Tteok diperkirakan sudah ada sebelum kemunculan Tiga Kerajaan (37SM-668)


di Korea. Pada periode Sebelum Masa Tiga Kerajaan, kemunculan tteok dapat diketahui
dari penemuan alat-alat masak sederhana di Korea. Teknologi sederhana yang

14
digunakan untuk mengolah makanan yang ditemukan salah satunya adalah batu untuk
mengolah biji-bijian yang dikenal sebagai dolhwak (돌확) dan galdol (갈돌). Dolhwak
merupakan alat masak berbentuk seperti mangkuk dengan bagian tengah yang cekung
ke dalam. Sedangkan galdol, merupakan seperangkat alat yang terdiri dari batu yang
berbentuk seperti papan, serta batu berbentuk lonjong untuk memukul sesuatu. Selain
kedua alat tersebut, teknologi memasak kuno lainnya yang ditemukan adalah siru
(시루). Siru merupakan alat masak untuk mengukus atau pun merebus bahan-bahan
makanan. Alat-alat sederhana ini diperkirakan merupakan peninggalan orang-orang
Korea pada saat zaman perunggu (Yeo, 2016).

Selanjutnya pada periode Masa Tiga Kerajaan dan Silla Bersatu (668-935), tteok
diperkirakan mulai berkembang mengikuti perkembangan budaya masyarakat pada saat
itu. Beras yang menjadi komoditi utama dalam bidang pertanian pada Masa Tiga
Kerajaan, membuat jenis serta resep tteok semakin beragam (Yeo, 2016). Beras yang
menjadi komoditi utama pada saat itu serta munculnya teknologi yang terbuat dari besi
dinilai menjadi awal mula tteok yang terbuat dari beras (Wijayanti, 2017). Kemudian
pada masa Silla Bersatu, kualitas kehidupan masyarakat Korea semakin membaik. Hal
tersebut didukung karena kondisi perdagangan Korea yang kuat, sehingga membuat
ekonomi negara ikut stabil. Kondisi ekonomi yang stabil serta bidang perdagangan yang
kuat pada masa Silla Bersatu, memberikan pengaruh pada berbagai hal termasuk tteok.
Pada masa ini, tteok mulai dikonsumsi secara luas dengan jenis yang lebih beragam.
Tteok juga mulai muncul dalam berbagai acara kepercayaan atau ritual, serta perayaan-
perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Korea.

Kemudian agama Buddha berkembang di Korea pada periode Dinasti Goryeo


(936-1392). Agama Buddha yang memercayai keharusan menjaga harmoni atau
keseimbangan antara manusia dan alam semesta. Kepercayaan ajaran Buddha tersebut
akhirnya mempengaruhi kebiasaan makan masyarakat Korea (Wijayanti, 2017).
Kebiasaan makan yang berubah kemudian membuat masyarakat Korea menjadi
vegetarian. Vegetarian didefinisikan sebagai orang yang tidak memakan daging atau
produk olahan yang mengandung jenis makanan tersebut, tetapi memakan sayuran atau
tumbuh-tumbuhan (American Dietetic Association, 2009). Tteok kemudian dibuat
dengan bahan-bahan alami seperti buah dan sayur yang tersedia dari alam.

15
Selanjutnya tteok terus berkembang pada masa Dinasti Joseon (1392-1910).
Mengutip dari tulisan karya Wijayanti (2017), keragaman jenis serta rasa tteok semakin
berkembang pada masa ini karena adanya perkembangan teknik pertanian serta metode
kuliner masyarakat Korea. Dalam program Tale of Hansik episode 2 yang disiarkan oleh
Arirang TV (dipublikasikan kembali melalui kanal Youtube), tteok pada masa Dinasti
Joseon berkembang di dalam kerajaan dan keluarga bangsawan atau yangban (양반).
Proses pengolahan dan penyajian tteok pada masa ini berbeda-beda mengikuti fungsi
dan kepentingannya. Pada akhir masa Dinasti Joseon, perdagangan bebas sudah
dilegalkan sehingga perdagangan barang-barang, termasuk tteok, dapat dijual secara
luas (Wijayanti, 2017).

Tteok kemudian semakin berkembang di era modern seiring dengan berubahnya


lingkungan masyarakat Korea karena masuknya globalisasi. Tidak hanya rasa dan
bentuk, saat ini tteok diolah sesuai dengan selera masyarakat Korea modern. Olahan
tteok kini semakin beragam dan dikombinasikan dengan kebudayaan luar. Salah satu
olahan tteok yang banyak bermunculan saat ini adalah kue ulang tahun atau cake dengan
tteok yang digunakan sebagai bahan utamanya. Walaupun kental dengan nilai-nilai
budaya Korea, kepopuleran tteok sebagai makanan khas Korea kurang dikenal secara
global. Tekstur tteok yang kenyal dianggap asing dan cenderung baru, menjadi salah
satu alasan utama mengapa tteok tidak banyak mendapatkan perhatian masyarakat
internasional. Jika membahas tentang tteok, hal yang paling umum diketahui oleh warga
asing adalah tteokbokki yang merupakan jajanan khas Korea. Tteokbokki merupakan
makanan Korea yang dibuat dari tteok sebagai bahan utama dan dimasak menggunakan
bumbu pedas khas Korea.

Tidak hanya kurang dikenal secara global, saat ini kepopuleran tteok juga
semakin berkurang dalam masyarakat Korea yang sudah semakin modern. Masyarakat
Korea pada saat ini lebih memilih makanan yang mudah didapat secara cepat.
Kemudian nilai-nilai dan makna tteok juga sudah mulai berkurang terutama di kalangan
anak muda Korea. Menurunnya kepopuleran tteok dalam masyarakat Korea ini juga
terbukti dengan perbandingan jumlah toko roti dan toko penjual kue beras yang ada di
Korea. Menurut penelitian yang dilakukan oleh LG Global Challanger pada tahun 2015,
ditemukan bahwa terdapat 4733 unit toko roti, sedangkan toko kue beras hanya

16
berjumlah 432 unit saja. Ini menunjukkan bahwa keberadaan tteok sedikit tergeser
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Korea. Tteok hanya menjadi makanan
pelengkap pada saat hari-hari perayaan Korea.

Makna Tteok sebagai Simbol Afeksi

Tteok merupakan makanan yang sudah lama ada di dalam kehidupan masyarakat
Korea. Tteok merupakan hal yang sulit dipisahkan dari kehidupan sosial dan budaya
masyarakat Korea. “밥 먹는 배가 따로 있고 떡 먹는 배가 따로 있다” (bab
meokneun baega ttaro itgo tteok meokneun baega ttaro itda) merupakan ungkapan
dalam masyarakat Korea yang berarti “perut untuk makan nasi dan perut untuk makan
tteok ada secara terpisah”. Ungkapan atau peribahasa ini menunjukkan betapa
masyarakat Korea menikmati tteok sebagai sebuah makanan. Seperti yang sudah
dikemukakan sebelumnya, tteok mengandung makna berbagi dalam masyarakat Korea.
Makna ini tidak muncul secara tiba-tiba. Tteok memiliki makna berbagi karena adanya
kepercayaan dan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Korea.

Masyarakat Korea merupakan masyarakat yang memiliki nilai kolektivisme


yang tinggi. Hal ini dapat terlihat melalui tradisi dan kebiasaan masyarakat Korea yang
melakukan berbagai kegiatan bersama-sama dalam sebuah kelompok. Dahulu, wanita
Korea di pedesaan biasa berkumpul bersama-sama untuk membuat tteok dalam jumlah
besar. Kegiatan membuat tteok yang dilakukan bersama-sama kemudian menjadi wadah
para wanita Korea untuk berbagi cerita. Tidak hanya berbagi cerita, proses pembuatan
tteok yang panjang juga menjadi wadah bagi para wanita untuk bekerja sama dan
membantu satu sama lain. Tteok yang sudah dibuat kemudian akan dibagikan kepada
seluruh warga di pedesaan dan disantap bersama-sama. Kebiasaan berbagi tteok yang
ada dalam masyarakat Korea ini dapat melambangkan kemurahan hati masyarakat
Korea. Tteok yang dibuat dan dikonsumsi bersama-sama menunjukkan kedekatan serta
ikatan antar individu yang ada di dalam masyarakat pedesaan Korea pada saat itu. Tiap
bagian tteok yang sudah dibuat, dibagikan, kemudian disantap memiliki pesan tentang
afeksi, suka cita akan kehidupan yang bahagia, serta harapan terbaik untuk satu sama
lain.

17
Kebiasaan berbagi tteok yang dilakukan pada zaman dahulu tetap ada dan
dilakukan oleh masyarakat Korea di era modern seperti saat ini. Masyarakat Korea
memiliki kebiasaan untuk memberikan tteok kepada tetangga di sekitar tempat tinggal
baru pada saat mereka berpindah rumah. Sirutteok atau patsirutteok merupakan jenis
tteok yang dibuat dari campuran beras ketan dan kacang merah dengan cara dikukus
menggunakan siru. Pada saat seseorang berpindah rumah, ia akan memberikan sirutteok
kepada tetangganya dengan tujuan memperkenalkan diri dan berharap untuk hidup
berdampingan dengan baik. Sirutteok yang berwarna merah memiliki pesan untuk
kehidupan yang baik. Masyarakat Korea memiliki kepercayaan bahwa warna merah
dapat mengusir roh jahat. Memberikan tteok kepada tetangga baru menjadi awal sebuah
hubungan terbentuk di antara tetangga. Memperkenalkan diri untuk tinggal
berdampingan dengan harmonis melalui pemberian sirutteok juga dapat dipahami
menjadi awal munculnya afeksi di antara hubungan antar tetangga.

Berbagi tteok tidak hanya dilakukan antar tetangga, tetapi juga dilakukan di
dalam keluarga. Keluarga merupakan orang yang memiliki sebuah hubungan erat
dengan seorang individu, baik secara biologis ataupun emosional. Hubungan di dalam
keluarga yang sudah berlangsung dalam waktu yang lama akan menumbuhkan afeksi
atau jeong di antara individu yang ada di dalamnya. Afeksi akan muncul dan diberikan
oleh suami kepada istri, orang tua kepada anak, kakak kepada adik, atau pun kakek-
nenek kepada cucunya. Afeksi ini dapat ditunjukkan atau disampaikan melalui berbagai
hal, salah satunya berbagi makanan, yakni tteok.

Anggota keluarga biasanya berbagi tteok pada kesempatan-kesempatan tertentu.


Salah satunya ketika seorang anak akan menghadapi suneung (수능) atau ujian tes
masuk universitas. Pendidikan bagi masyarakat Korea merupakan sebuah hal yang
dianggap penting. Hal ini kemudian menjadikan pendidikan di perguruan tinggi
dianggap sebagai awal dari tahapan baru dalam kehidupan seseorang. Masyarakat Korea
memiliki kebiasaan untuk tidak mengonsumsi miyeokguk (미역국) saat mendekati hari
ujian. Miyeokguk merupakan sup yang menggunakan rumput laut sebagai bahan
utamanya. Rumput laut dalam miyeokguk memiliki tekstur yang licin. Tekstur licin ini
dianggap sebagai simbol kegagalan ujian karena melambangkan orang tersebut tidak
dapat fokus pada ujian yang akan dihadapi. Harapan agar seseorang dapat

18
melaksanakan ujian dengan baik kemudian dikomunikasikan melalui pemberian
chabssaltteok. Masyarakat Korea memiliki kebiasaan untuk memberikan chabssaltteok
(찹쌀떡) kepada kerabat atau anggota keluarga yang akan melakukan ujian masuk
universitas. Chabssaltteok merupakan tteok yang terbuat dari beras ketan. Dalam bahasa
Korea, butda (붙다) dapat berarti lengket atau menempel, tetapi dapat juga bermakna
lulus ujian. Tekstur chabssaltteok yang lengket dimaknai sebagai harapan agar orang
yang menerima dan memakannya dapat fokus serta lulus pada ujian yang akan dihadapi.

Tteok sebelum berkembang seperti sekarang, dikonsumsi dalam kehidupan


sehari-hari sebagai kudapan atau juga sebagai makanan pokok pengganti nasi oleh
masyarakat Korea. Namun, di era modern seperti saat ini tteok lebih sering ditemukan
pada hari-hari khusus seperti perayaan tradisional Korea. Hal ini kemudian juga dapat
dianggap sebagai pergeseran peran tteok dalam kehidupan masyarakat Korea.
Keberadaan tteok yang muncul pada hari-hari perayaan atau pun ritual adat masyarakat
Korea membuat makanan ini memiliki nilai lebih sebagai sebuah hidangan tradisional
Korea daripada hanya sebuah kudapan. Berbagai jenis tteok yang muncul pada perayaan
tradisional Korea mengandung makna harapan serta kenangan masyarakat Korea
tergantung dari waktu, warna, dan individu yang menyantapnya (Wijayanti, 2017).

Tteok disajikan dalam berbagai perayaan tradisional karena dianggap memiliki


makna khusus. Salah satu perayaan yang menyajikan tteok dalam pelaksanaannya
adalah dol (돌). Dol dalam kebudayaan tradisional Korea merupakan tradisi yang
dilakukan untuk merayakan ulang tahun pertama seorang anak di Korea. Pada perayaan
ini baekseolgi (백설기), susu gyeongdan (수수경단), injeolmi (인절미), serta
songpyeon (송편) merupakan jenis tteok yang disajikan dalam perayaan dol.
Baekseolgi merupakan tteok yang dibuat dengan cara dikukus. Baekseolgi dalam
kepercayaan masyarakat dianggap sebagai simbol kesucian dan kemurnian karena
berwarna putih. Pada ritual atau perayaan dalam kebudayaan Korea, baekseolgi
biasanya disajikan sebagai persembahan untuk dewa-dewa yang dianggap sempurna dan
tidak memiliki kekurangan. Selain melambangkan kesucian dan kemurnian, baekseolgi
juga mengandung doa agar anak memiliki umur yang panjang.

19
Kemudian susu gyeongdan merupakan tteok yang dibuat dengan bahan utama
tepung beras ketan dan dibentuk bulat menyerupai bola-bola kecil. Tteok yang sudah
dibentuk menyerupai bola ini kemudian direbus dan dilumuri dengan berbagai macam
tambahan seperti jawawut, bubuk kacang merah, bubuk kacang tanah, bubuk kayu
manis, dan biji wijen. Susu gyeongdan yang dilumuri dengan jawawut merupakan tteok
yang selalu disajikan pada perayaan dol. Warna merah yang dianggap sebagai
penangkal energi buruk diharapkan akan membawa hal-hal baik untuk hidup sang anak
kelak.

Selanjutnya songpyeon merupakan tteok berbentuk bulan sabit. Bentuk bulan


sabit diibaratkan layaknya sebuah senyuman. Songpyeon kemudian diberikan dengan
maksud berbagi kebahagiaan yang dirasakan kepada orang lain. Bentuk bulan sabit ini
juga bisa dimaknai sebagai sebuah pemikiran. Saat perayaan dol, Songpyeon yang
disajikan terdapat dua jenis, yaitu yang bagian dalamnya dibiarkan kosong dan yang
diberi bahan tambahan sebagai isi. Songpyeon yang bagian dalamnya dibiarkan kosong
memberikan pesan tentang harapan agar sang anak memiliki sifat besar hati dan murah
hati. Sedangkan songpyeon yang memiliki isi di bagian dalamnya menyampaikan
harapan agar sang anak menjadi manusia yang bijaksana. Dalam perayaan dol, injeolmi
juga mengandung pesan tentang harapan orang tua agar sang anak mendapatkan sifat-
sifat baik, sama seperti songpyeon. Anak diharapkan memiliki sifat ulet serta kesabaran.
Harapan ini disampaikan melalui injeolmi yang memiliki tekstur lengket karena terbuat
dari beras ketan yang ditumbuk setelah dikukus.

Keempat jenis tteok tersebut menyampaikan pesan tentang kasih sayang orang
tua yang mengharapkan agar anak tumbuh berkembang dengan baik. Orang tua
berharap agar anak mereka hanya memiliki sifat-sifat dan kehidupan yang baik.
Harapan dan doa yang disampaikan melalui tteok menunjukkan adanya hubungan yang
erat antara orang tua, kerabat, serta anak yang merayakan perayaan dol. Hubungan erat
dan ikatan yang ada kemudian dibuktikan dengan adanya afeksi atau jeong di antara
individu-individu tersebut. Afeksi atau jeong kemudian ditunjukkan melalui pesan di
dalam tteok yang disajikan pada perayaan dol.

20
Selain perayaan dol, tteok juga muncul dalam ritual atau upacara tradisional
Korea lainnya, seperti honrye (혼례). Honrye merupakan upacara pernikahan yang
dilaksanakan secara tradisional di Korea. Sama seperti upacara atau ritual pernikahan
tradisional di negara lainnya, honrye pada pelaksanaannya memiliki proses yang
panjang. Makanan merupakan hal yang tidak bisa dilupakan saat melaksanakan prosesi
pernikahan. Tteok pada upacara honrye juga muncul dan digunakan dalam proses
pelaksanaannya. Bongchi tteok (봉치떡) merupakan olahan tteok yang muncul pada
ritual ini. Bongchi tteok merupakan tteok yang dikukus dan dibuat berlapis dengan
bahan utama tepung beras ketan dan bubuk kacang merah yang ada di antara
lapisannya. Bongchi tteok kemudian dihiasi dengan sebuah kacang kastanye dan buah
jujube di bagian atasnya. Setiap bagian dari bongchi tteok menyampaikan harapan untuk
calon pasangan suami-istri yang akan menikah. Tteok yang bertekstur lengket menjadi
simbol hubungan yang erat antara suami dan istri. Kacang merah yang ditaburkan di
tiap lapisan menjadi simbol untuk mengusir roh jahat atau energi buruk yang dapat
mengganggu keharmonisan hidup suami-istri. Kacang kastanye dan buah jujube
menjadi lambang harapan agar pasangan suami-istri dikaruniai keturunan yang banyak.
Harapan akan kehidupan baik yang akan dilalui saat menjadi pasangan suami-istri
disampaikan melalui simbol-simbol yang terdapat di dalam tteok.

Kesimpulan

Rasa kasih sayang dan afeksi, menurut teori hierarki kebutuhan yang
dikemukakan oleh Abraham Maslow, merupakan salah satu hal yang dibutuhkan
manusia sebagai makhluk hidup. Jeong dalam masyarakat Korea yang dipahami sebagai
afeksi atau kasih sayang yang selalu ada di antara hubungan antar individu dan
merupakan nilai yang kental dengan kebudayaan Korea. Masyarakat Korea yang
merupakan masyarakat dengan nilai kolektivisme tinggi memandang sebuah hubungan
antar manusia sebagai hal yang tidak dapat dihilangkan dalam kehidupan. Karena pada
hakikatnya, setiap makhluk hidup berdampingan dan selalu memiliki sebuah ikatan
dengan makhluk lainnya. Tidak hanya antara makhluk hidup, jeong memiliki konsep
tentang hubungan antara manusia dengan benda di sekitarnya.

21
Manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan akan perasaan kasih sayang. Komunikasi kemudian menjadi cara
manusia untuk berinteraksi dengan tujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak
dapat dipenuhinya seorang diri. Tidak hanya melalui kata-kata, penggunaan objek-objek
yang ada di sekitar manusia juga dapat dilakukan untuk menyampaikan perasaan kasih
sayang. Objek atau benda yang digunakan dalam proses komunikasi tersebut tidak
secara langsung mengandung pesan atau makna, tetapi akan muncul ketika
bersinggungan dengan kebudayaan, kebiasaan, dan pemikiran individu yang ada di
dalam proses komunikasi tersebut.

Tteok, sebagai makanan tradisional Korea memiliki makna dan pesan dari siapa
pun yang menyajikannya. Makna serta pesan yang ada di dalam sebuah tteok tidak
muncul dengan sendirinya. Namun, sudah dipengaruhi dengan adanya pengetahuan atau
cara pikir masyarakat Korea dalam mengartikan sesuatu. Kepercayaan, kebudayaan,
hingga waktu serta tempat disajikannya makanan ini menjadi faktor yang membentuk
makna dari tteok. Harapan dan doa yang disampaikan melalui tteok merupakan sebuah
bentuk penyampaian dari sebuah afeksi atau jeong. Ikatan sebuah hubungan antar
individu serta rasa kasih sayang juga kemudian dapat tergambar dari sebuah tteok.
Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat bahwa komunikasi non-verbal dalam budaya
komunikasi masyarakat Korea dapat dilakukan melalui penggunaan makanan sebagai
komunikan yang membawa pesan untuk disampaikan kepada orang lain. Penulis merasa
masih menemukan banyak kesulitan mulai dari proses pengumpulan hingga analisis
data untuk penulisan tugas akhir ini. Masih terbatasnya jurnal-jurnal tertentu serta karya
ilmiah terkait dengan topik yang dipilih penulis menjadikan tulisan ini jauh dari kata
sempurna. Penulis berharap topik ini dapat dikembangkan dengan lebih baik pada
penelitian selanjutnya dengan menggunakan metode dan teknik penelitian yang lebih
mendukung.

22
Biodata Penulis
ZAINAB UMMU HASANAH, merupakan mahasiswi Program Studi Bahasa dan
Kebudayaan Korea angkatan 2015. Mahasiswi yang akrab dipanggil Ummu, lahir di
Cilegon pada tanggal 26 Mei 1997. Studi tentang kebudayaan Korea dan hubungan
internasional menjadi hal yang menarik bagi penulis. Semasa kuliah, penulis aktif dalam
berbagai kegiatan di dalam dan di luar kampus. Penulis dipercaya menjadi mandataris
HWARANG serta menjabat sebagai wakil ketua Komisi Kelembagaan DPM FIB UI
pada tahun 2017. Ketertarikan terhadap kebudayaan dan hubungan internasional
mendorong penulis untuk mengikuti berbagai kegiatan dengan tema-tema tersebut. Pada
tahun 2016 penulis berpartisipasi sebagai usher pada konferensi “In The Zone” yang
diadakan oleh Perth USAsia dan Foreign Policy Community Indonesia di Jakarta.
Penulis juga pernah mengikuti kegiatan sukarelawan yang bekerja sama dengan
organisasi dari Korea, yaitu menjadi perwakilan mahasiswa sebagai panitia dalam
kegiatan “The Pacific Asia Society” di FIB UI pada bulan Januari 2017 dan “8th Happy
Builder Collage Students Social Contribution Activity” yang diselenggarakan oleh
Posco E&C di SMAN 3 Jakarta. Lalu pada bulan Agustus 2018, penulis juga
berpartisipasi dalam “18th Asian Games 2018” sebagai liaison officer yang diadakan di
Jakarta.

ZAINI, S. Sos., MA menyelesaikan studi Program Magister (S-2) dalam bidang


Korean Studies pada tahun 2007 dari Ajou University, Korea Selatan atas beasiswa dari
National Institute for International Education (NIIED), Ministry of Education, Science
and Technology, Republic of Korea. Sejak 2008 sampai sekarang mengajar di Program
Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia. Mengampu mata kuliah antara lain: Pengantar Budaya Korea, Masyarakat
dan Budaya Korea, Kepercayaan Masyarakat Korea dan Budaya Perusahaan Korea.
Ketertarikan terhadap bidang kajian Korea dimulai sejak menjadi mahasiswa pada
Departemen Sosiologi, FISIP-UI, tahun 1990-an. Sering diundang menjadi pembicara
dan narasumber dalam berbagai seminar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri
terkait bidang Studi Korea. Menjadi narasumber, antara lain: Surat Kabar KOMPAS,
KORAN TEMPO, CNN Indonesia, KUMPARAN.COM untuk liputan budaya populer
Korea.

23
Daftar Pustaka

Sumber Buku

Budyatna, M., & Ganiem, L. M. (2011). Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta:


Kencana.

Choi, J., & Lim, H. (2014). This is Korea. Seoul: Hollym.

Douglas, M. (1997). Deciphering a Meal. In C. Counihan, & P. Van Esterik, Food and
Culture: A Reader (p. 36). New York: Routledge.

G. Goble, Frank. (1992). Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terj
The Third Force, The Psycology of Abraham Maslow oleh Drs. A. Supratiknya.
Yogyakarta: kanisius.

Griffin, E. A. (2012). A First Look at Communication Theory. New York: McGraw-


Hill.

Hassan, dkk. (2003). Kamus istilah psikologi. Jakarta: Progres.

Jeong, H. (2014). Archaeology of Psychotherapy in Korea: A study of Korean


therapeutic work and professional growth. London: Routledge.

Meigs, A. (1997). Food as a Cultural Construction. In C. Counihan, & P. Van Esterik,


Food and Culture: A Reader (p. 95). New York: Routledge.

Samovar, L. A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. (2010). Komunikasi Lintas Budaya.
Jakarta: Salemba Humanika.

Shim, T., Kim, M., & Martin, J. (2008). Changing korea - understanding culture and
communication. New York: Peter Lang.

Soekanto, S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal: 67

The Korean Foundation. (2014). Korean Food Guides in English.

Wood, J. T. (2013). Komunikasi Interpersonal . (R. D. Setiawan, Trans.) Jakarta:


Salemba Humanika.

Yoon, K. (2016). The Local Sociality and Emotion of Jeong in Koreans’ Media
Practices. In S. S. Lim, & C. Soriano, Asian Perspectives on Digital Culture
Emerging Phenomena, Enduring Concepts. London: Routledge. Hal: 85-100

Sumber Daring

(KOCIS), K. (n.d.). Food : Korea.net : The official website of the Republic of Korea.
Diakses melalui http://www.korea.net/AboutKorea/Korean-Life/Food

24
(KOCIS), K. (2016). Korean recipes: red bean steamed rice cake (팥시루떡) :
Korea.net : The official website of the Republic of Korea. Diakses melalui
http://www.korea.net/NewsFocus/Culture/view?articleId=142434

Ahn, S. (2017, 31 Maret). 코라타임스 시사 생활 영어. Retrieved from Hankook Ilbo:


www.hankookilbo.com/News/ReadAMP/201703310457627137?did=GS

Arirang TV. Youtube. (2013). Tale of Hansik Ep.02 Rice cake 떡. Diakses melalui
https://www.youtube.com/watch?v=L8-fqh2ltr0

Cho, N. (2017). Stories Behind Korean Rice Cakes (Tteok) - Gwangju News Online.
Diakses melalui http://gwangjunewsgic.com/food-drink/korean-food/stories-
behind-korean-rice-cakes-tteok/

Goswami, N. (2016). Food as a Form of Communication - Reputation Today. Diakses


melalui http://reputationtoday.in/views/food-as-a-form-of-communication/

Jang, I. (2010). '시작도 끝도 떡! 떡! 떡!'…떡과 함께한 인생살이. Diakses melalui


http://www.pressian.com/news/article.html?no=100589#09T0

Kamus Korea-Indonesia. (n.d.). Diakses melalui Pusat Bahasa Nasional Korea:


https://krdict.korean.go.kr/ind/dicSearch/search?nation=ind&nationCode=4&Par
aWordNo=&mainSearchWord=%EB%B6%80%EC%A0%95

KBBI Daring. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/komunikasi

KBBI Daring. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/makanan

Kim, S. (2019). Steamed Rice Cake. Diakses melalui


http://folkency.nfm.go.kr/en/topic/detail/2033

Kim, T. (2011). ’K-food’ to be next big thing in Korean wave. Diakses melalui
http://www.koreatimes.co.kr/www/news/biz/2011/09/123_95576.html

Mabrey, P. (2011). Introduction to Food Communication | Food Communication.


Diakses melalui https://sites.jmu.edu/foodcomm/2011/05/16/introduction-to-
food-communication/

_________. (2011). Introduction to Food Communication 2 | Food Communication.


Diakses melalui http://sites.jmu.edu/foodcomm/2012/05/15/introduction-to-
food-communication-2-2/

Moon, S. (2002). ´Hello! Enjoy! I am your new neighbor´. Diakses melalui


http://koreajoongangdaily.joins.com/news/article/article.aspx?aid=1905771

Setiawan, S. (2017, 13 Februari). “Studi Kepustakaan” Pengertian & ( Tujuan – Peranan


– Sumber – Strategi ). Diakses dari http://www.gurupendidikan.co.id/studi-
kepustakaan-pengertian-tujuan-peranan-sumber-strategi/

25
Soranakom, R., Baatarnyam, A., Dung, N. P., & Grudinschi, S. (2015). Tteok Secrets -
Revealing The Secrets of Tteok. LG Global Challanger. Diakses melalui
http://www.lgchallengers.com/wp-
content/uploads/global/global_pdf/2015_G0581

Yoon, K. (2012, 12 Agustus). 학술/전통문화: Korean Spirit. Diakses melalui Korean


Spirit: www.ikoreanspirit.com/news/articleView.html?idxno=36499

Sumber Jurnal

Cempaka, F. (2013). SEJARAH KIMCHI SEBAGAI MAKANAN TRADISIONAL


DAN IDENTITAS BANGSA KOREA. Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya. Depok: UIANA .

Chung, C. K., & Cho, S. J. (2006). Conceptualization of Jeong and Dynamics of


Hwabyung. Psychiatry Invest, 46-54.

Chung, H.-k., Yang, H.-J., Shin, D., & Chung, K.-r. (2016). Aesthetics of Korean foods:
The symbol of Korean culture. Journal of Ethnic Foods, 178-188.

Kim, H. (2017). Funeral Foods and Its Role as Vehicle of Communication. Ristumeikan
Research Repository. 47-54. Diakses melalui
https://core.ac.uk/display/92529035?recSetID=

Kim, S. (2003). Korean Cultural Codes and Communication. International Area Review,
110-111.

Lizie, A. (2012). Food And Communication. In Routledge International Handbook of


Foods (pp. 27-38). Routledge. Diakses melalui
https://www.routledgehandbooks.com/doi/10.4324/9780203819227.ch3

Position of the American Dietetic Association: Vegetarian Diets. (2009). Journal of the
American Dietetic Association, 109(7), 1266–
1282.doi:10.1016/j.jada.2009.05.027

Stajcic, N. (2013). Understanding Culture: Food as a Means of Communication.


Hemispheres. Studies on Cultures and Societies, 77-86.

Wijayanti, D. A. (2017). MAKNA TTEOK DALAM PERAYAAN TRADISIONAL


KOREA DOL, HONRYE, DAN CHANRYE. Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya. Depok: UIANA .

Yeo, S. (2016). A Study of The Measure for Utilizing Contents to Promote the Rice
Cake Culture of Korea. Hankuk University of Foreign Studies. DCollection.
Diakses melalui
http://hufs.dcollection.net/public_resource/pdf/200000162953_20190316223408
.pdf

26

Anda mungkin juga menyukai