Sugeng Rawuh....
Maskumambang 4 12 i 6a 8i 8a
Kinanti 6 8u 8i 8a 8i 8a 8i
Sinom 9 8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12 a
Megatruh 5 12u 8i 8u 8i 8o
Asmaradana 7 8i 8a 8e 8a 7a 8u 8u
PUCUNG
6 6 5 3 1 1 1 2 6 6 5
ngel -mu I- ku ka- la- ko- ne kan-thi la- ku
1 2 6 3 5 3 2 1
le- kas- se la- wan kas
1 2 1 3 2 1 216 6
Te- ge- se kas yan- to sa- ni
6 1 2 3 2 2 21 6 1 23 12 2
Se- tya bu- dya pa- nge-ke- se dur ang- ka- ra
Kira-kira berapa ya guru gatranya?
yup....guru gatra ada 4 (empat)
Trus guru wilangannya ada berapa ya?
gatra 1 = 12
gatra 2 = 6
gatra 3 = 8
gatra 4 = 12
Kalo guru lagunya
gatra 1 = u
gatra 2 = a
gatra 3 = i
gatra 4 = a
Kira-kira pake laras apa ya?
karena angka yang digunakan tidak ada 4 dan 7, maka laras yang digunakan adalah slendro.
TEMBANG MACAPAT
1. Maskumambang
2. Mijil
3. Sinom
4. Asmarandahana
5. Kinanthi/ menanti, digandeng
6. Gambuh / Sarujuk
7. Dandang Guala
8. Durma/ Weweh
9. Pangkur/ mungkur/mundur
10. Megatruh/ Megat ruh
11. Pucung
Gambuh
Sekar gambuh ping catur
Kang cinatur
Polah kang kalantu
Tanpo tutur katulo- tulo katali
Kadaluarso katutuh kapatuh pan dadi awon
Asmaradana
Nora gampang wong ngaurip
Yen tan weruh uripira
Uripe padha lan kebo
Angur kebo dagingira
Khalal yen pinangana
Pan manungsa dagingipun
Yen pinangan pasthi kharam
BELAJAR MENGUBAH TEMBANG MACAPAT
Dalam khasanah budaya Jawa salah satu kekayaan yang hingga kini masih dapat kita
nikmati adalah ragam seni suara dalam bentuk tembang/lagu. Sekilas, menurut sejarahnya,
tembang dalam budaya Jawa terbagi menjadi beberapa bagian seturut dengan zaman
kemunculannya. Macam-macam tembang Jawa tradisional tersebut adalah: Sekar Kakawin,
Sekar Ageng, Sekar Tengahan, Sekar Macapat, Tembang Dolanan Gagrag Lawas dan Gagrag
Énggal. Dalam perkembangannya, khasanah lagu/tembang kini semakin beraneka ragam dengan
munculnya tembang-tembang baru sesuai dengan masuknya aneka genre musik yang sedikit
banyak juga turut memperkaya keberadaan tembang-tembang Jawa.
Dalam kesempatan ini saya akan mencoba membantu memperkenalkan salah satu jenis
tembang klasik tradisional Jawa, yaitu Sekar/Tembang Macapat. Agar lebih jelas dan menarik,
maka di awal tulisan saya ini sengaja saya akan menyampaikan contoh-contoh serta aturan
pembuatan sebuah tembang Macapat.
Dalam tembang Macapat dikenal beberapa istilah yang digunakan sebagai acuan dalam
membuat/menggubah sebuah tembang. Adapun istilah-istilah beserta pengertian sederhananya
adalah sebagai berikut:
langan : jumlah suku kata dalam sebuah kalimat
dhing : huruf vokal/bunyi yang terdapat pada suku kata terakhir pada suatu baris kalimat lagu
: jumlah kalimat/baris yang terdapat dalam satu bait lagu
: bait lagu
1. POCUNG
Jumlah gatra dalam 1 pupuh: 4 gatra
Contoh:
Mapan éwuh tinitah dadi kang sepuh (12u)
Tan kena gumampang (6a)
Nadyan marang saduluré (8e)
Tuwa anom aja béda traping karya (12a)
2. MASKUMAMBANG
Jumlah gatra dalam 1 pupuh: 4 gatra
Contoh:
Kang tan manut pitutur wong tuwa ugi (12i)
Panemu duraka (6a)
Ing donya tumekèng akir (8i)
Tan wurung kasurang-surang (8a)
3. GAMBUH
Jumlah gatra dalam 1 pupuh: 5 gatra
Contoh:
Sekar Gambuh ping catur (7u)
Kang cinatur tutur kang kalantur (10u)
Tanpa tutur katula-tula katali (12i)
Kadaluwarsa kapatuh (8u)
Kapatuh pan dadi awon (8o)
4. MEGATRUH
Jumlah gatra dalam 1 pupuh: 5 gatra
Contoh:
Yèn Suwanda baé yayi kang kadulu (12u)
Sasrabahu kang kaèksi (8i)
Yèn Sasrabahu kadulu (8u)
Suwanda datan kaèksi (8i)
Dèn awas panunggal loro (8o)
5. MIJIL
Jumlah gatra dalam 1 pupuh: 6 gatra
Contoh:
Apan uwus ubayèng narpati (10i)
Rumeksèng kaprabon (6o)
Kang wus tetep rumeksa ing akèh (10e)
Kalaraning praja dèn pakéling (10i)
Larapana ing sih (6i)
Wadya saprajèku (6u)
6. KINANTHI
Jumlah gatra dalam 1 pupuh: 6 gatra
Contoh:
Pinandeng sarwi tumungkul (8u)
Anoman ngiling-ilingi (8i)
Sarta myarsakken karuna ((8a)
Sumedhot tyasira nenggih (8i)
Iya iki apa baya (8a)
Kusuma Putri Manthili (8i)
7. PANGKUR
Jumlah gatra dalam 1 pupuh: 7 gatra
Contoh:
Lawan ambegé sadaya (8a)
Wregung alit ambeg sapati urip (11i)
Ratuné wre wus angratu (8u)
Ring Sang Rama Wijaya (7a)
Ciptanira lebur luluh ing satuduh (12u)
Rama ingaken Jawata (8a)
Sungkemé ing pati urip (8i)
8. DURMA
Jumlah gatra dalam 1 pupuh: 7 gatra
Contoh:
Kadya pinuh sariranya déning kang rah (12a)
Wauta Sang Apekik (7i)
Regawa kumesar (6a)
Muring ring tyas mangarang (7a)
Marang ngendi sira yayi (8i)
Jurang hingungak (5a)
Manawa tibèng trebis (7i)
9. ASMARADANA / ASMARANDANA
Jumlah gatra dalam 1 pupuh: 7 gatra
Contoh:
Katon asihira yayi (8i)
Tresna maring kadang tuwa (8a)
Iya sapa kaya kowé (8e)
Wus kèthèr isining jagad (8a)
Tumon kasektènira (7a)
Dasamuka wusnya wuwus (8u)
Kang rayi lon aturipun (8u)
10. SINOM
Jumlah gatra dalam 1 pupuh: 9 gatra
Contoh:
Wong Agung Rama Wijaya (8a)
Mangunèng tyas tan pinanggih (8i)
Tan ana wenganing driya (8a)
Déné kalangan jaladri (8i)
Ènget pandhita nguni (7i)
Sutikna Yogi turipun (8u)
Bésuk pan kalampahan (7a)
Angadoni jayèng jurit (8i)
Mring Ngaléngka sedhih kalangan samodra (12a)
11. DHANDHANGGULA
Jumlah gatra dalam 1 pupuh: 10 gatra
Contoh:
Sasmitaning aurip puniki (10i)
Apan éwuh yèn ora weruha (10a)
Tan jumeneng ing uripé (8e)
Akèh kang ngaku-aku (7u)
Pangrasané sampun udani (9i)
Tur durung wruh ing rasa (7a)
Rasa kang satuhu (6u)
Rasaning rasa punika (8a)
Upayanen dara pan sampurna ugi (12i)
Ing kauripanira (7a)
Catatan:
Untuk memperindah serta menyesuaikan dengan guru wilangan, maka di dalam membuat Sekar
Macapat seringkali ada kata-kata yang digabungkan, atau dicarikan padanannya.
Contoh penggabungan:
nuju ing nujwèng
suka ing sukèng
madyaning madyèng
Contoh padanan:
samodra = jalanidhi = jaladri
manungsa = wong = jalmi
roh = suksma
Gusti = Hyang Widi = Hyang Ma Wasésa
Daftar Pustaka:
Siswojo, Poedjo S. 1987. Sekar Macapat. Wonogiri:Depdikbudkab.
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2006. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta:Kanisius.
Harjawiyana dan Supriya. 2007. Kamus Unggah-ungguh Basa Jawa. Yogyakarta:Kanisius.
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris
kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan)
tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu.[1] Macapat dengan nama
lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali[2], Sasak[3], Madura[4], dan Sunda. Selain itu
macapat juga pernah ditemukan di Palembang[5] dan Banjarmasin.[6] Biasanya macapat
diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca
terjalin tiap empat suku kata.[7] Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada
pula.[7] Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh
Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.[8] Sebab di Jawa
Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.[8]
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis
menggunakan metrum macapat.[9]. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada
umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja.[9]
Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat
Wedhatama[10], Serat Wulangreh[11], dan Serat Kalatidha.[12]
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik,
tembang tengahan dan tembang gedhé.[13] Macapat digolongkan kepada kepada kategori
tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau
puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak
diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek.[13] Di sisi lain tembang
tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa
Pertengahan.[14]
Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah
diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada
bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.[13]
Daftar isi [sembunyikan]
1 Etimologi
2 Sejarah macapat
3 Struktur macapat
4 Jenis metrum macapat
5 Tabel macapat
6 Contoh penggunaan metrum macapat
6.1 Dhandhanggula
6.2 Maskumambang
6.3 Sinom
6.4 Asmaradana
6.5 Kinanthi
6.6 Pangkur
6.7 Pangkur
6.8 Durma
6.9 Mijil
6.10 Pucung
6.11 Jurudemung
6.12 Wirangrong
6.13 Balabak
6.14 Gambuh
6.15 Megatruh
6.16 Girisa
7 Catatan kaki
8 Sumber pustaka
[sunting]Etimologi
Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu
maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.[7] Namun ini bukan satu-satunya arti,
penafsiran lainnya ada pula.[7] Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti
lainnya di dalam bukunya Tembang in two traditions.[7]
Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda
diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.[7]
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan
singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat".[7] Selain
maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu.[7] Konon maca-sa
termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki
dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri.[7] Ternyata ini termasuk
kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé.[7] Maca-ro termasuk tipe tembang
gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam
setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara.[7] Maca-tri atau kategori yang
ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana
Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya.[7] Dan akhirnya,
macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua
wali.[7]
[sunting]Sejarah macapat
Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya
pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.[8] Sebab
di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.[8] Sebagai contoh ada
sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan
telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi.[13] Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan
karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat
teks ini berasal dari Bali.[15]
Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang lebih
tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan
turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara.[16] Pendapat ini disangkal oleh
Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa
lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin
pudar.
[sunting]Struktur macapat
Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh
dibagi menjadi beberapa pada.[9] Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini
biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.[9]
Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan.[9]
Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra.[9] Sementara setiap larik atau gatra
ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda.[9] Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata
yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.[9]
Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan.[9] Sementara
aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.[9]
[sunting]Jenis metrum macapat
Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga
jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik
memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu metrum.
[sunting]Tabel macapat
Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari tembang-
tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini[17]:
Metrum
Gatra
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
Tembang cilik / Sekar alit
Dhandhanggula
10
10i 10a 8é 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a
Maskumambang
4
12i 6a 8i 8a
Sinom
9
8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a
Kinanthi
6
8u 8i 8a 8i 8a 8i
Asmarandana
7
8a 8i 8é 8a 7a 8u 8a
Durma
7
12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i
Pangkur
7
8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i
Mijil
6
10i 6o 10é 10i 6i 6u
Pocung
4
12u 6a 8i 12a
Tembang tengahan / Sekar madya
Jurudhemung
7
8a 8u 8u 8a 8u 8a 8u
Wirangrong
6
8i 8o 10u 6i 7a 8a
Balabak
6
12a 3é 12a 3é 12u 3é
Gambuh
5
7u 10u 12i 8u 8o
Megatruh
5
12u 8i 8u 8i 8o
Tembang gedhé / Sekar ageng
Girisa
8
8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a
[sunting]Contoh penggunaan metrum macapat
Di bawah ini disajikan contoh-contoh penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa
beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut
legenda dan watak setiap metrum
[sunting]Dhandhanggula
Dhandhanggula adalah sebuah metrum yang memiliki watak luwes. Metrum ini diatribusikan
kepada Sunan Kalijaga.
Contoh (Serat Jayalengkara):
Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Prajêng Medhang Kamulan winarni, Diceritakan mengenai kerajaan Medhang Kamulan,
narèndrâdi Sri Jayalengkara, ketika sang raja agung Sri Jayalengkara
kang jumeneng nerpatiné, yang bertahta sebagai raja
ambek santa budi alus, memiliki pikiran tenang dan berbudi halus
nata dibya putus ing niti, raja utama pandai dalam ilmu politik
asih ing wadya tantra, mengasihi para bala tentara
paramartêng wadu, sayang terhadap para wanita
widagdêng mring kasudiran, teguh terhadap jiwa kepahlawanan
sida sedya putus ing agal lan alit, berhasil dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah
tan kènger ing aksara. tidak terpengaruh sihir.
[sunting]Maskumambang
Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis
Sambaté mlas arsa
Luhnya marawayan mili
Gung tinamêng astanira
[sunting]Sinom
Pangéran Panggung saksana,
Anyangking daluwang mangsi,
Dènira manjing dahana,
Alungguh sajroning geni,
Èca sarwi nenulis,
Ing jero pawaka murub.
[sunting]Asmaradana
Aja turu soré kaki Ana Déwa nganglang jagad Nyangking bokor kencanané Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan Yaiku bagéyanipun wong welek sabar narima
[sunting]Kinanthi
Metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung dan piwulang. Metrum ini konon diciptakan oleh
Sultan Adi Erucakra.
Contoh (Serat Rama gubahan Yasadipura):
Anoman malumpat sampun,
Praptêng witing nagasari,
Mulat mangandhap katingal,
Wanodyâyu kuru aking,
Gelung rusak awor kisma,
Ingkang iga-iga kêksi.
[sunting]Pangkur
Lumuh tukua pawarta,
Tan saranta nuruti hardengati,
Satata tansah tinemu,
Kataman martotama,
Kadarmaning narendra sudibya sadu,
Wus mangkana kalih samya,
Sareng manguswa pada ji.
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)
[sunting]Pangkur
Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karenan mardi siwi,
Mangka nadyan tuwa pikun,
Yen tan mekani rasa,
Yekti sepi sepa lir asepa samun,
Samangsane pakumpulan,
Gonyak ganyuk nglelingsemi.
[sunting]Durma
Damarwulan aja ngucireng ngayuda, 12 a
Baliya sun anteni, 7 i
Mangsa sun mundura, 6 a
Lah Bisma den prayitna, 7 a
Katiban pusaka mami, 8 i
Mara tibakna, 5 a
Curiganira nuli. 7 i
(Langendriyan)
[sunting]Mijil
Jalak uren mawurahan sami, 10 i
Samadya andon woh, 6 o
Amuwuhi malad wiyadine, 10 e
Ana manuk mamatuk sasari, 10 i
Angsoka sulastri, 6 i
Ruru karya gandrung. 6 u
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)
[sunting]Pucung
Pucung adalah salah satu dari 12 puisi jawa (tembang macapat) yang sangat sederhana sekali.
Pucung biasa disebut juga dengan pocung. Pucung adalah tetembangan yang digunakan untuk
mengingat pada kematian, karena dekat dengan kata “pocong” yaitu pembungkusan mayat saat
mau dikubur. Selain itu pucung juga berarti woh-wohan (buah-buahan) yang memberikan
kesegaran. Dan kata “cung” sendiri mengingatkan pada kuncung yang lucu. Oleh sebab itu
perkembangan dari tembang ini merujuk kepada hal-hal lucu atau parikan atau bedhekan
(tebakan).
Pucung sendiri memiliki watak kendur, tanpa adanya klimaks dan tujuan dalam cerita. Dalam
membuat pucung tidak boleh asal-asalan karena ada aturannya.
Berikut aturan dari tembang pucung.
1. Guru gatra = 4
Artinya tembang ini memiliki 4 larik kalimat.
2. Juru wilangan = 12, 6, 8, 12
Maksudnya tiap kalimat harus bersuku kata seperti diatas. Kalimat pertama 12 suku kata.
Kalimat kedua 6 suku kata. Kalimat ketiga 8 suku kata. Kalimat keempat 12 suku kata.
3. Guru lagu = u, a, i, a
Akhir suku kata dari setiap kalimat harus bervokal u, a, i, a
Berikut ini adalah contoh tembang pucung.
Ngelmu iku kelakone kanthi laku --> u
Lekase lawan kas --> a
Tegese kas nyantosani --> i
Setya budya pengekesing dur angkara --> a
[sunting]Jurudemung
Tuladha iki dijupuk saka Serat Pranacitra
ni ajeng mring gandhok wétan
wus panggih lan Rara Mendut
alon wijilé kang wuwus
hèh Mendut pamintanira
adhedhasar adol bungkus
wus katur sarta kalilan
déning jeng kyai Tumenggung.
Tuladha iki dijupuk saka Serat Sekar-sekaran anggitan Mangkunegaran IV.
cirining serat iberan
kebo bang sungunya tanggung
saben kepi mirah ingsun
katon pupur lalamatan
kunir pita kasut kayu
wulucumbu Madukara paran margane ketemu
[sunting]Wirangrong
Tuladha iki dijupuk saka Serat Wulang Rèh anggitan dalem Ingkang Sinuhun Pakubuwana IV.
dèn samya marsudêng budi
wiwéka dipunwaspaos
aja-dumèh-dumèh bisa muwus
yèn tan pantes ugi
sanadyan mung sakecap
yèn tan pantes prenahira
[sunting]Balabak
Tuladha iki dijupuk saka Serat Jaka Lodhang anggitan Ki Ranggawarsita.
byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang
mamèt wé
turut marga nyambi reramban janganan
antuké
praptêng wisma wusing nyapu atetebah
jogané
(Inggris) Bernard Arps, 1992, Tembang in two traditions: performance and interpretation of
Javanese literature. London: SOAS
(Inggris) Hedi I.R. Hinzler, 1994, Gita Yuddha Mengwi or Kidung Ndèrèt. A facsimile edition of
manuscript Cod. Or. 23.059 in the Library of Leiden University. Leiden: ILDEP/Legatum
Warnerianum
(Indonesia) Karsono H. Saputra, 1992, Pengantar Sekar Macapat. Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia. ISBN 979-8184-02-5
(Inggris) Th. C. van der Meij, 2002, Puspakrema. A Javanese Romance from Lombok. Leiden:
CNWS. ISBN 90-5789-071-2
(Inggris) Th. Pigeaud, 1967, Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in
the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume
I. Synopsis of Javanese Literature 900 - 1900 A.D. The Hague: Martinus Nyhoff
(Jawa) Poerbatjaraka, 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan
(Belanda) Prijohoetomo, 1934, Nawaruci : inleiding, Middel-Javaansche prozatekst, vertaling
vergeleken met de Bimasoetji in oud-Javaansch metrum. Groningen: Wolters
(Belanda) J.J. Ras, 1982, Inleiding tot het modern Javaans. Leiden: KITLV uitgeverij. ISBN 90-
6718-073-4
(Indonesia) I.C. Sudjarwadi et al., 1980, Seni macapat Madura: laporan penelitian. Oleh Team
Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember. Jember: Universitas Negeri Jember.