Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Uveitis anterior menyebabkan pasien mengalami mata merah disertai peningkatan
produksi air mata. Penderita mengalami fotofobia dan blefarospasme sehingga menutup mata
bila terkena sinar. Mata terasa ngeres seperti berpasir dan terasa nyeri ketika digerakkan
maupun ditekan. Selain itu penglihatan juga menjadi kabur. Keadaan yang disebabkan oleh
uveitis anterior ini dapat mengganggu aktifitas sehari – hari atau pekerjaan terutama yang
dilakukan diluar ruangan.1
Epidemiologi uveitis secara internasional belum diketahui dan data uveitis di Indonesia
juga belum ada. Prevalensi bervariasi tergantung pada lokasi geografis, umur populasi, tempat
dan waktu penelitian di lakukan. Di Amerika Serikat uveitis merupakan 10% dari peyebab
kebutaan, dengan angka kejadian 15 kasus baru per 100.000 orang setiap tahunnya. Tidak
didapatkan pengaruh perbedaan ras, tetapi Uveitis anterior yang berhubungan dengan HLA–
B27 (human leukocyte antigen) banyak terjadi pada ras berkulit putih. Lebih sering terjadi pada
perempuan dibandingkan laki – laki. Banyak terjadi pada usia diatas 65 tahun dengan angka
kejadian 151,3 kasus dari 100.000 kasus uveitis , paling jarang terjadi pada pediatric dengan
prevalensi 30 kasus dari 100.000 kasus uveitis. Sebagian besar uveitis terjadi seara akut dan
unilateral dengan komplikasi. Paling banyak adalah uveitis yang mengenai segmen anterior
kemudian diikuti oleh panuveitis, uveitis intermediet, dan terakhir uveitis posterior. Penyebab
idiopatik merupakan penyebab terbanyak uveitis anterior, sedangkan infeksius merupakan
penyebab uveitis posterior yang paling banyak.1
Pengobatan utama uveitis akibat reaksi imunologi adalah dengan menggunakan obat –
obat anti inflamasi dan imunosupresif. Sangat penting untuk diingat bahwa hampir semua obat
– obatan yang digunakan untuk uveitis menghasilkan efek samping maupun komplikasi
sistemik sehingga harus dipertimbangkan keuntungan dan kerugian penggunaan obat – obat
tersebut. Pengobatan untuk uveitis antara lain adalah dengan diberikan midriatikum,
kortikosteroid, dan immune modulators therapy (IMT) atau yang biasa disebut sebagai immuno
suppressive. Uveitis anterior hanya memerlukan short-acting midriatium seperti tropicamide,
cyclopentolate, dan phenylephrine. Pemberian midriatikum bertujuan untuk memberikan rasa
nyaman kepada pasien karena dapat menurunkan spasme muskulus siliaris dan sfingter pupil
sehingga dapat mengurangi nyeri dan fotofobia, melepaskan dan mencegah terjadinya sinekia
posterior. Kortikosteroid merupakan terapi utama uveitis anterior yang diberikan apabila
terdapat inflamasi yang masih aktif, untuk mencegah atau mengobati komplikasi seperti cystoid
macular edema, serta menurunkan atau mencegah infiltrasi ke koroid retina, dan saraf optik.
Immune modulators therapy adalah pemberian obat – obatan yang dapat membunuh dengan
cepat pembelahan limfosit yang bertanggung jawab terhadap reaksi inflamasi. Obat – batan
immunosuppressive memiliki efeksamping sehingga hanya diberikan dengan indikasi khusus
antara lain inflamasi intraokuler yang mengancam penglihatan, terjadi kekambuhan, respon
tidak adekuat terhadap terapi kortikosteroid, dan terdapat kontraindikasi pemberian
kortikosteroid.1
Uveitis merupakan kasus yang belum banyak dimengerti oleh masyarakat. Angka
kejadian uveitis di Indonesia belum diketahui, sehingga masyarakat harus meningkatkan
kewaspadaan terhadap penyakit ini. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mendalami kasus
uveitis. Diharapkan dengan pengetahuan yang benar mengenai uveitis serta edukasi yang baik
kepada masyarakat dapat meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Uvea
Uveaterdiridariiris,korpussiliaredankhoroid.Bagianiniadalahlapisanvaskulartengahmat
adandilindungiolehkorneadansklera.Bagianiniikutmemasukkandarahkeretina.2,3

AnatomiMata
1. Iris
Irisadalahperpanjangankorpussiliarekeanterior.Irisberupasuatupermukaanpipihdengana
perturabulatyangterletakditengahpupil.Iristerletakbersambungandenganpermukaananteriorlens
a,yangmemisahkankameraanteriordarikameraposterior,yangmasing-
masingberisiaqueushumor.Didalamstromairisterdapatsfingterdanotot-
ototdilator.Kedualapisanberpigmenpekatpadapermukaanposteriorirismerupakanperluasanneur
oretinadanlapisanepitelpigmenretinakearahanterior. 2,3
Pasokdarahkeirisadalahdarisirkulusmajoriris.Kapiler-
kapilerirismempunyailapisanendotelyangtidakberlubangsehingganormalnyatidakmembocorka
nfluoreseinyangdisuntikkansecaraintravena.Persarafanirisadalahmelaluiserat-
seratdidalamnervussiliares. 2,3
Irismengendalikan banyaknyacahayayangmasukke
dalammata.Ukuranpupilpadaprinsipnyaditentukanolehkeseimbanganantarakonstriksiakibatakti
vitasparasimpatisyangdihantarkanmelaluinervuskranialisIIIdandilatasiyangditimbulkanolehakt
ivitassimpatik.2,3

2
2. Korpus Siliaris
Korpussiliarisyangsecarakasarberbentuksegitigapadapotonganmelintang,membentan
gkedepandariujunganteriorkhoroidkepangkaliris(sekitar6mm).Korpussiliaris terdiridari
suatu zonaanterior yangberombakombak,parsplikatadan
zonaposterioryangdatar,parsplana.Prosesussiliarisberasaldariparsplikata.Prosesussiliarisinite
rutamaterbentukdarikapiler-kapilerdanvenayangbermuarakevena-venavortex.Kapiler-
kapilernyabesardanberlobang-
lobangsehinggamembocorkanfloreseinyangdisuntikkansecaraintravena.Ada2lapisanepitelsili
aris,satulapisantanpapigmendisebelahdalam,yangmerupakanperluasanneuroretinakeanterior,
danlapisanberpigmendisebelahluar,yangmerupakanperluasandarilapisan
epitelpigmenretina.Prosesussiliarisdanepitelsiliarispembungkusnyaberfungsisebagaipembent
uk
aqueushumor. 2,3

3. Khoroid
Khoroidadalahsegmenposterioruvea,diantararetinadansklera.Khoroidtersusundaritiga
lapisanpembuluhdarahkhoroid;besar,sedangdankecil.Semakindalampembuluhterletakdidala
mkhoroid,semakinlebarlumennya.Bagiandalampembuluhdarahkhoroiddikenalsebagaikhorio
kapilaris.Darahdaripembuluhdarahkhoroiddialirkanmelaluiempatvenavortex,satudimasing-
masingkuadranposterior.KhoroiddisebelahdalamdibatasiolehmembranBruchdandisebelahlua
rolehsklera.Ruangsuprakoroidterletakdiantarakhoroiddansklera.Khoroidmelekateratkeposter
iorketepi-
tepinervusoptikus.Keanterior,khoroidbersambungdengankorpussiliare.Agregatpembuluhdar
ahkhoroidmemperdarahibagianluarretinayangmendasarinya. 2,3

2.2. Pendahuluan
Uveitis adalah penyakit yang kompleks oleh karena banyak penyebab reaksi randang
di dalam mata baik itu infeksius dan non infeksius. Selain itu, keradangan tersebut dapat juga
merupakan keradangan sekunder akibat keradangan primer di tempat lain.Uveitis adalah
inflamasi atau keradnagan pada traktus uvea. Saat ini istilah uveitis digunakan untuk
menggambarkan berbagai macam inflamasi intraokuler yang mengenai tractus uvea (iris,
badan silier, dan koroid) serta retina dan pembuluh darah retina. 2,3,4
2.3. Epidemiologi
Epidemiologi uveitis secara internasional belum diketahui dan data uveitis di
Indonesia juga belum ada. Prevalensi bervariasi tergantung pada lokasi geografis, umur
populasi, tempat dan waktu penelitian di lakukan. Di Amerika Serikat uveitis merupakan
10% dari peyebab kebutaan, dengan angka kejadian 15 kasus baru per 100.000 orang setiap
tahunnya. Tidak didapatkan pengaruh perbedaan ras, tetapi Uveitis anterior yang
berhubungan dengan HLA–B27 (human leukocyte antigen) banyak terjadi pada ras berkulit
putih. Lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki – laki. Banyak terjadi pada usia
diatas 65 tahun dengan angka kejadian 151,3 kasus dari 100.000 kasus uveitis , paling jarang
terjadi pada pediatric dengan prevalensi 30 kasus dari 100.000 kasus uveitis. Sebagian besar

3
uveitis terjadi seara akut dan unilateral dengan komplikasi. Paling banyak adalah uveitis yang
mengenai segmen anterior kemudian diikuti oleh panuveitis, uveitis intermediet, dan terakhir
uveitis posterior. Penyebab idiopatik merupakan penyebab terbanyak uveitis anterior,
sedangkan infeksius merupakan penyebab uveitis posterior yang paling banyak.
2.4. Patofisiologi Uveitis
Patofisiologipastidariuveitistidakdiketahui.Secaraumumuveitisdisebabkanolehreaksii
munitas.Uveitisseringdihubungkandenganinfeksisepertiherpes,toksoplasmosisdansifilis.Rea
ksiimunitasterhadapbendaasingatauantigenpadamatajugadapatmenyebabkancederapadapem
buluhdarahdansel-
selpadatraktusuvealis.Uveitisjugaseringdikaitkandenganpenyakitataukelainanautoimun,sepe
rtilupuseritematosussistemikdanartritisreumatoid.
Padakelainanautoimun,uveitismungkindisebabkanolehreaksihipersensitifitasterhadap
deposisikompleksimundalamtraktusuvealis.Beberapakelainanyangdapatmenyebabkanuveitis
anterior antara lain AutoimunArtritis,
ReumatoidJuvenilis,SpondilitisAnkilosa,KolitisUlserativa,Uveitisterinduksilensa,Sarkoidosi
s,PenyakitCrohn,Sifilis,Tuberkulosis,MorbusHansen,HerpesZoster, Herpes
simpleks,Onkoserkiasis,AdenovirusKeganasanSindromMasquerade(Retinoblastoma,Leuki
mia,Limfoma,Melanomamaligna). Lain-
lain:Idiopatik,Uveitistraumatik,Ablatioretina,IridosiklitisheterokromikFuchs,krisisglaukoma
tosiklitik.3,4

2.5. Pembagian dan Klasifikasi Uveitis


Pembagian uveitis bermacam macam tergantung dari dasar pembagiannya. Apabila
berdasarkan anatomi atau bagian traktus uvea yang terkena, maka dibagi anterior,
intermediet, posterior, dan panuveitis. Apabila berdasarkan perjalanan klinis terbagi menjadi
akut, kronik, dan rekuren Apabila berdasarkan etiologi dibagi menjadi infeksius dan non-
infeksius, sedangkan berdasarkan histologinya menjadi granulomatous dan non-
granulomatus.1
Tipe Uveitis Tempat Utama Inflamasi Penyakit
Uveitis Anterior Bilik mata depan (BMD) Iritis
Iridocyclitis
Anterior Cyclitis
Uveitis Intermediet Vitreus Pars planitis
Posterior Cyclitis
Hyalitis
Uveitis Posterior Retina dan koroid Koroiditis fokal, multifocal,
dan difus
Horioretinitis
Retinocoroiditis
Retinitis
Neuroretinitis
Panuveitis Bilik mata depan, vitreus,
dan retina atau koroid

4
PembagianUveitisberdasarkanLokasiAnatomisLesi

2.6. Uveitis Anterior


2.6.1. Pendahuluan
Uveitis anterior adalah uveitis yang paling banyak ditemui sedangkan uveitis anterior
akut adalah uveitis anterior yang paling banyak,sekitar 75% dari semua kasus uveitis anterior.
DItandai dengan onset yang mendadak dengan waktu serangan kurang dari 3 bulan. Biasanya
tidak sulit mengenali uveitis anterior akut ini, oleh karena keluhan pasien yang sangat heba,
yang membuat dia datang berobat.1
2.6.2. Pengertian
Uveitis anterior adalah inflamasi pada traktus uvea, bilik mata depan merupakan
tempat utama terjadinya inflamasi. Di samping itu, juga disertai dengan inflamasi pada iris
dan bada silier serta struktur di sekitarnya ang meliputi kornea dan sclera. Adapun
penyakitnya meliputi:
 Iritis : inflamasi mengenai bilik mata depan dan iris
 Ridocyclitis : inflamasi mengenai iris dan badan silier
 Anterior cyclitis : inflamasi mengenai badan silier bagian anterior
 Keratouveitis : inflamasi mengenai traktus uvea dan kornea
 Sclerouveitis : inflamasi mengenai traktus uvea dan sklera
Uveitis anterior dapat terjadi secara akut dan kronis, masing masing mempunyai gejaa
klinis yang berbeda, waaupun ada juga beberapa yang sama. Oleh karena itu pembahasan
gejala klinis dibedakan antara akut dan kronis.1
1. Uveitis anterior akut
a. Keluhan

5
 Mata merah, diakibatkan karena hiperemi periorneal (injeksi silier) oleh
karena adanya inflamasi di daerah iris dan atau badan silier.
 Nyeri, diakibatkan karena inflamasi akut pada daerah iris pada iritis akut
atau dari glaucoma sekunder. Disamping itu, nyeri yang berkaitan dengan
spasme silier pada iritis biasanya refered pain akibat dari inervasi saraf
terigeminus.
 Fotofobia atau takut melihat cahaya. Adanya cahaya akan merangsang
spasme dari iris dan badan silier yang sedang dalam keadaan inflamasi. Hal
ini menyebabkan bertambah nyeri sehingga penderita berusaha
menghindarinya.
 Epifora atau mengeluarkan air mata berlebihan, sebagai akibat inflamasi
yang mengenai perifer kornea, iris, dan badan silier.
 Pengelihatan menurun, sebagai akibat adanya kekeruhan pada aksis visual
akibat penumpukan sel – sel inflamasi, fibrin, dan protein di bilik mata
depan (BMD) serta adnaya kerati preipitates (KPs) di endotel kornea. Pada
kasus berat, pupil dapat tertutup olehfibrin yang disebut oklusio pupil
sehingga terjadi penurunan tajam penglihatan yang berat.
b. Tanda klinis
 Visus menurun, sebagai akibat adanya kekeruhan di media refraksi baik itu
di kornea, BMD, dan di pupil.
 Hiperemi perikornea/injeksi silier, akibat adanya reaksi inflamasi di iris dan
badan silier menyebabkan tejadinya vasodilatasi pembluh darah yang
mensuplai struktur tersebut.
 Pupil miosis, sebagai akibat spasme iris dan badan silier.
 Endotel kornea kotor dan Keratic Preipitats (KPs). Adanya tumpukan
banyak sel – sel radang di BMD yang melekat di endotel kornea
menyebabkan gangguan pada endotel kornea sehingga menjadi seperti
berdebu/kotor. Dalam beberapa hari sel-sel randang yang menempel tersebut
akan menggumpal dan memadat membentuk bulatan – bulatan kecil di
endotel kornea biasanya berwarna keputihan yang disebut keratic
precipitates. Apabila kps ini berukuran besar dan berwarna kekuningan
disebut mutton-fat kps.
 Aqueous cells (Sel di BMD). Sel adalah kumpulan sel – sel radang yang
berada di BMD. Apabila sel – sel radang inisangat banyak, akan mengendap
di bawah BMD membentuk hipopion. Adanya hipopion menandakan uveitis
yang berat.
2. Uveitis anterior kronis
Uveitis anterior kronik lebih jarang apabila dibandingkan dengan tipe akut. Biasanya
ditandai dengan keradangan yang menetap yang mudah kambuh dalam waktu kurang
dari 3 bulan sesudah penghentian pengobatan. Inflamasi yang terjdai dapat
granulomatous atau non – granulomatous dan lebih sering terjadi seara bilateral
simultan.
a. Keluhan
Pada umumnya tampak lebih tenang dibandingkan dengan uveitis akut.
Banyak penderita tidak mempunyhi keluban sampai dengan penyakinya terus
berkembang, dan mula mengeluh penglihatannya menurun, akibat timbul

6
berbagai komplikasi seperti calcific band keratopathy, katarak atau cystoid
macular edema (CME).
b. Tanda – tanda klinis
 Mata Kemerahan. Pada umumnya ata tidak terlalu merah atau kadang
– adang sedikit kemerahan (pink selama periode kekambuhan akibat
proses inflamasi.
 Flare dan sel di BMD. Pada uveitis kronis, flare lebih tampak jelas
dibandingkan sel pada mata dengan proses inflamasi yang lama.
Sedangkan sel didapatkan dalam gradasi yang bervariasi, namum
proses inflamasi yang lama ini sering tidak dirasakan oleh penderita.
 Keratic Precipitates (KPs) adalah kumpulan dari deposit sel – sel yang
menempel pada endotel kornea, yang tersususun dari sel – sel
epiteloid, limfosit, dan polimorofnuklkear. Kaarakteristik dan
distribusi KPs ini dapat mengindikasikan berbagai tipe uveitis.
 Iris nodule, khas terjadi pada penyakit granulomatous. Biasanya ada 2
jenis iris nodule yaitu Koeppe nodules (berada di tepi iris) dan Busacca
Nodules (di stroma iris).
 Iris Bombans, Yaitu iris yang menelembung. Hal ini terjadi akibat
adanya sinekia posteriod yang mengenai seluruh kuadran pupil dan
akhirnyaterjadi blok pupil. Akibatnya iris akan terdorong oleh aliran
humor akuos sehingga menggelembung. Apabila dibiarkan terus akan
berakibat timbulnya glaucoma sekunder. Pada umumnya teradi karena
sinekia posteriod yang lama dan tidak segera mendapatkan pengobatan
uveitis yang adekuat termasu pemberian midriatikum.1
3. UveitisAnteriorJenisNon-Granulomatosa
Padabentuknon-granulomatosa,onsetnyakhasakut,denganrasa
sakit,injeksi,fotofobiadanpenglihatankabur.Terdapatkemerahansirkumkornealatauinjek
sisiliaryangdisebabkanolehdilatasipembuluh-
pembuluhdarahlimbus.Depositputihhalus(keraticpresipitate/KP)padapermukaanposteri
orkorneadapatdilihatdenganslit-lampatau dengankacapembesar. KPadalahdeposit
seluler
padaendotelkornea.KarakteristikdandistribusiKPdapatmemberikanpetunjukbagijenisuv
eitis.KPumumnyaterbentukdidaerahpertengahandaninferiordarikornea.Terdapat4jenis
KPyangdiketahui,yaitusmallKP,mediumKP,largeKPdanfreshKP.SmallKPmerupakanta
ndakhaspadaherpeszosterdanFuch’suveitissyndrome.MediumKPterlihatpadakebanyaka
njenisuveitisanteriorakutmaupunkronis.LargeKPbiasanyajenismuttonfatbiasanyaterdap
atpadauveitisanteriortipegranulomatosa.FreshKPatauKPbaruterlihatberwarnaputihdan
melingkar.Seiringbertambahnyawaktu,akanberubahmenjadilebihpucatdanberpigmen.P
upilmengecildanmungkinterdapatkumpulanfibrindenganseldikameraanterior.Jikaterdap
atsinekiaposterior,bentukpupilmenjaditidakteratur. 3,7

7
GambaranKeraticPresipitatespadaUveitisAnterior

4. UveitisAnteriorJenisGranulomatosa
Padabentukgranulomatosa,biasanyaonsetnyatidakterlihat.Penglihatanberangsur
kaburdanmatatersebutmemerahsecaradifusdidaerahsirkumkornea.Sakitnyaminimaldanf
otofobianyatidakseberatbentuknon-
granulomatosa.Pupilseringmengecildantidakteraturkarenaterbentuknyasinekiaposterior
.KPmuttonfatbesar-besardapatterlihatdenganslit-lampdipermukaanposteriorkornea.
Tampak kemerahan,flaredansel-selputihditepianpupil(nodulKoeppe).Nodul-
nodulinisepadandengan
KPmuttonfat.NodulserupadiseluruhstromairisdisebutnodulBusacca.3,7

2.6.3. Diagnosis
Diagnosisuveitisanteriordapatditegakkandenganmelakukananamnesis,pemeriksaanof
talmologidanpemeriksaanpenunjanglainnya.3,8,9
1. Anamnesis
Anamnesisdilakukandenganmenanyakanriwayatkesehatanpasien,misalnyapern
ahmenderitairitisataupenyakitmatalainnya,kemudianriwayatpenyakitsistemikyangmun
gkinpernahdideritaolehpasien.Keluhanyangdirasakanpasienbiasanyaantaralain:
a. Nyeridangkal(dullpain),yangmunculdanseringmenjadilebihterasaketikamatadisent
uhpadakelopakmata.Nyeritersebutdapatberalihkedaerahpelipisataudaerahperiorbita
l.Nyeritersebutseringtimbuldanmenghilangsegerasetelahmuncul.
b. Fotofobiaataufotosensitifterhadapcahaya,terutamacahayamatahariyangdapatmenam
bahrasatidaknyamanpasien
c. Kemerahantanpasekretmukopurulen
d. Pandangankabur(blurring)
e. Umumnyaunilateral

2. PemeriksaanOftalmologi
a. Visus:Visusbiasanyanormalataudapat sedikitmenurun
b. Tekananintraokular(TIO)padamatayangmeradanglebihrendahdaripadamatayangseh
at.Halinisecarasekunderdisebabkanolehpenurunanproduksicairanakuosakibatradan
gpadakorpussiliaris.AkantetapiTIOjugadapatmeningkatakibatperubahanalirankelua
r(outflow)cairanakuos

8
c. Konjungtiva:Terlihatinjeksisilier/perilimbalataudapatpula(padakasusyangjarang)inj
eksipadaseluruhkonjungtiva
d. Kornea:KP(+),Udemastromakornea
e. CameraOculiAnterior(COA): Sel-selflaredan/atauhipopion

Ditemukannyasel-
selpadacairanakuosmerupakantandadariprosesinflamasiyangaktif.Jumlahselyangdite
mukanpadapemeriksaanslitlampdapatdigunakanuntukgrading. Grade0 sampai
+4ditentukandari:
0 :Tidakditemukansel
+1 : 5-10 sel
+2 : 11-20sel
+3 : 21-50sel
+4 :>50 sel

Aqueousflareadalahakibatdarikeluarnyaproteindaripembuluhdarahirisyangme
ngalamiperadangan.Adanya flare tanpaditemukannyasel-selbukan
indikasibagipengobatan.Melaluihasilpemeriksaanslit-lamp
yangsamadenganpemeriksaansel,flarejugadiklasifikasikansebagaiberikut :
0 :Tidakditemukanflare
+1 : Terlihathanyadenganpemeriksaanyangteliti
+2 : Moderat,iristerlihatbersih
+3 :Irisdan lensaterlihatkeruh
+4 : Terbentukfibrinpadacairan akuous

Hipopionditemukansebagianbesarmungkinsehubungandenganpenyakitterkait
HLAB27,penyakitBehcetataupenyakitinfeksiterkaitiritis.

GambaranHipopionpadaUveitisAnterior

f. Iris:dapatditemukansinekiaposterior
g. Lensadan korpusvitreusanterior:dapatditemukan
lentikularpresipitatpadakapsullensaanterior.Kataraksubkapsulerposteriordapatditemu
kanbilapasienmengalamiiritisberulang.

3. PemeriksaanLaboratorium

9
Pemeriksaanlaboratoriummendalamumumnyatidakdiperlukanuntukuveitisanter
ior,apalagibilajenisnyanon-
granulomatosaataumenunjukkanresponterhadappengobatannonspesifik.Akantetapipada
keadaandimanauveitisanteriortetaptidakresponsifterhadappengobatanmakadiperlukanu
sahauntukmenemukandiagnosisetiologiknya.Padapriamudadenganiridosiklitisakutreku
rens,fotorontgensakroiliakadiperlukanuntukmengeksklusikemungkinanadanyaspondilit
isankilosa.Padakelompokusiayanglebihmuda,artritisreumatoidjuvenilharusselaludiperti
mbangkankhususnyapadakasus-
kasusiridosiklitiskronis.Pemeriksaandarahuntukantinuclearantibodydanrheumatoidfact
orsertafotorontgenlututsebaiknyadilakukan.Perujukankeahlipenyakitanakdianjurkanpa
dakeadaanini.Iridosiklitisdengan
KPmuttonfatmemberikankemungkinansarkoidosis.Fotorontgentorakssebaiknyadilakuk
andanpemeriksaanterhadapenzimlisozimserumsertaserumangiotensineconvertingenzy
me sangatmembantu.
PemeriksaanterhadapHLA-
B27tidakbermanfaatuntukpenatalaksanaanpasiendenganuveitisanterior,akantetapikemu
ngkinandapatmemberikanperkiraanakansuseptibilitasuntukrekurens.Sebagaicontoh,HL
A-B27
ditemukanpadasebagianbesarkasusiridosiklitisyangterkaitdenganspondilitisankilosa.Te
skulitterhadaptuberkulosisdanhistoplasmosisdapatberguna,demikianpulaantiboditerhad
aptoksoplasmosis.Berdasarkantes-
testersebutdangambarankliniknya,seringkalidapatditegakkandiagnosisetiologiknya.Dal
amusahapenegakandiagnosisetiologisdariuveitisdiperlukanbantuanataukonsultasidenga
nbagianlainsepertiahliradiologidalampemeriksaanfotorontgen,ahli
penyakitanakataupenyakitdalampadakasusatritisreumatoid,ahlipenyakitTHTpadaksusu
veitisakibatinfeksisinusparanasal,ahlipenyakitgigidanmulutpadakasusuveitisdenganfok
usinfeksidi ronggamulut,danlain-lain.

2.6.4. Diagnosis Banding


Berikutadalahbeberapadiagnosisbandingdariuveitisanterior:2,10
 Konjungtivitis.Padakonjungtivitispenglihatantidakkabur,responpupilnormal,adakot
oranmatadanumumnyatidakadarasasakit,fotofobiaatauinjeksisiliaris.
 Keratitisataukeratokonjungtivitis.
Padakeratitisataukeratokonjungtivitis,penglihatandapatkaburdanadarasasakitdanfot
ofobia.Beberapapenyebabkeratitissepertiherpessimpleksdanherpeszosterdapatmeny
ertaiuveitisanteriorsebenarnya.
 Glaukomaakut.Padaglaukomaakutpupilmelebar, tidakditemukansinekiaposterior
dan korneanya“beruap”.

2.6.5. Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi dari uveitis anterior:2,11
 Sinekia anterior perifer.Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior
perifer yang menghalangi humor akuos keluar di sudut iridokornea (sudut kamera
anterior) sehingga dapat menimbulkan glaukoma.
 Sinekiaposteriordapatmenimbulkanglaukomadenganberkumpulnyaakuoshumourdi
belakangiris,sehinggamenonjolkaniriskedepan.
 Gangguanmetabolismelensadapatmenimbulkankatarak
 Edemakistoidmakulardandegenerasimakuladapattimbulpadauveitisanterioryangber
kepanjangan.

10
2.6.6. Tatalaksana Uveitis Anterior
Pengobatan utama uveitis akibat reakksi imunlogi adalah menggunakan obat-
obat anti inflamasi dan imunosupresif. Sangat penting untuk diingat bahwa hampir
semua obat – ibatan yang digunakan untuk uveitis menghasilkan efek samping
maupun komplikasi sistemik sehingga harus dipetimbangkan keuntungan dan
kerugian penggunaan obat – obatan tersebut.
1. Midriatikum
Obat – obatan midriatikum yang tersedia saat ini adalah sebagai berikut
a. Jangka waktu efek terapinya pendek (Short acting)
i. Tropicamide 0,5% dan 1% durasi 6 jam
ii. Cyclopentolate 0,5% dan 1% durasi 24jam
iii. Phenylephrine 2,5% dan 10% durasi 3 jam
b. Jangka waktu efek terapinya panjang (Long acting)
i. Homatropine 2% durasi lebih dari 2 hari
ii. Atropine 1% merupakan cycloplegic dan midriatikum yang paling
kuat,durasi lebih dari 2 minggu
Pada hampir semua kasus uveitis anterior akut hanya memerlukan short acting
midriaticum. Hal ini bertujuan menjaga agar pupil masih dapat bergerak dan lebih
cepat kembali normal pada saat pemberiaannya dihentikan. Pada kasus uveitis yang
berat dan kronis, harus menggunakan longacting midriatium untuk mempertahankan
posisi pupil dalam keadaan midriasis sehingga dapat melepaskan sinekia posterior dan
mencegah timbulnya sinekia posterior dalam jangka waktu lama sampai inflamasi
terkontrol.
Tujuan pemberian midriatikkum:
Pemberian midriatikum harus mempertimbangkan beberapa faktor, oleh karena efek
midriatikum ini kadang – kadang justru membuat tidak nyaman akibat silau terutama
ada kasus uveitis ringan di mana penderita masih dapat beraktifitas diluar ruangan
yang cukup terang. Demikian juga peilihan antara short ating dan long acting
midriaticum sangat penting.
a. Membuat rasa nyaman. Pada uveitis akut, terjadi spasme musculus siliaris dan
sfingter pupil, sehingga menyebabkan nyeri yang hebat dan fotofobia. Dengan
pemberian midriaticum, akan menurunan spasme musculus siliaris dan
sfingter pupil sehingga menurunan nyeri dan mengurangi terjadinya fotofobia.
b. Melepaskan sinekia posterior. Sinekia posterior yang tidak segera dilepaskan
dapat bertambah berat yang akhirnya menyebabkan terjadinya blok pupil yang
dapat menghalangi aliran humor akuos yang diikuti oleh terjadinya iris
bombans.
c. Mencegah timbulnya sinekia posterior Pemberian short acting midriaticm pada
uveitis ringan sampai sedang akan menyebaban pupil bergerak sehingga dapat
mencegah terjadinya sinekia posterior.
2. Kortikosteroid
Sampai saat ini, kortikosteroid masih merupakan terapi utama uveitis anterior.
Mengingat efek samping yang dapat ditimbulkan, maka pemberian kortikosteroid
harus berdasarkan indikasi yaitu:

11
a. Pengobatan inflamasi yang masih aktif
b. Mencegah atau mengobati komplikasi seperti macular edema.
c. Menurunkan atau mencegah infiltrasi kekoroid , retina dan saraf optik
Komplikasi penggunaan korikosteroid cukup banyak melalui rute pemberian apapun.
Oleh karena itu, pemberiannya hanya apabila manfaat yang didapat lebih besar
dibandingkan dengan risikonya.
Dosis dan pemberian kortikosteroid harus berdasarkan penyakit dan harus disesuaikan
dengan masing masing individu. Pada umumnya diawali dengan dosis tinggi,
kemudian diturunkan bertahap sesuai dengan derajat inflamasinya. Biasanya dosis
diturunkan bertahap setiap beberapa hari atau minggu dan tidak boleh dihentikan
langsung untuk mencegah terjadinya relaps. Dosis dipertahankan pada kadar
minimum untuk mengontrol inflamasi dan mencegah komplikasi. Hal ini berlaku baik
pemberian seara topikal maupun sistemik.
a. Kortikosteroid topikal.
Kortikosteroid topikal efektif terutama untuk uveitis anterior oleh karena efek
terapinya tidak dapat mencapai bagian belakang lensa. Namun demikian, masih
memiliki efek terapi pada vitritis dan maular edema pada kasus pseudofakia
maupun afakia. Adapun jenis kortiosteroid topikal yang sering digunakan antara
lain:
 Prednisolon acetate 1%
 Fuorometholone 0,1%
 Dexamethasone Phosphate 0,1%
 Difluprednate 0,05%
Jumlah tetesan pemberian obat – obat tersebut tergantung berat ringannya
inflamasi. Pada asus uveitis anterior akut, dengan gejala yang heba, dapat
diberikan 1 tetes setiap satu menit selama 5 menit pertama pada tiap jam.
Pemberian diturunkan bertahap secara hati hati sesuai dengan penyakitnya, mulai
dari 1 tetes setiap jam, dilanjutkan sehari4 kali per hari, 1 tetes sehari,diturunkan
dalam waktu beberapa minggu. Pemberian obat dihentikkan biasanya setelah 5 – 6
minggu.
Pemberian kortikosteroid topikal pada uveits anterior kronis harus hati – hati.
Oleh karena pemberiannya yang cukup lama, adang kadang penyakitnya berulang
dalam waktu beberapa bulan. Hal ini meningkatkan faktor resiko terjadinya
komplikasi berupa kattarak dan glaucoma sekunder. Evaluasi tekanan intraokuli
harus rutin dilakukan.
Pemberian salep sebaiknya pada malam sebelum tidur, oleh karena menyebabkan
buran dan kurang nyama. Dipasaran juga tersedia kokrtikosteroid yang
dikombinasikan dengan antibiotika dalam satu sediaan tetes mata ataupun salep
mata.
b. Kortikosteroid periokuler
Pemberian kortikosteroid melalui injeksi periokuler dapat dilakukan melalui
ineksi sub tenon posterior atau injeksi transeptal inferior. Indikasi pemberian
kortikosteroid periokuler:

12
 Uveitis anterior yang tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid
topikal.
 Uveitis anterior yang disertai komplikasi berupa MCE atau uveitis
posterior
 Uveitis anterior yang harus diberikan melalui sistemik, namun tidak
memungkinkan pemberian sistemik.
 Mata dengan uveitis saat dilakukan tindakan pembedahan
Adapun jenis kkortikosteroid yang sering digunakan pada injeksi periokuler
adalah:
 Triacinolon acetonide 40mg
 Methylprednisolone acetate 40 – 80mg
Injeksi kortikosteroid periokuler dilakukan setiap 1 – 2 minggu sebanya sampai 4
kali injeksi. Disarankan dilakukkan pada pasien yang dirawat inap. Apabila pada
pasien rawat jalan, setelah dilakukan injeksi ditunggu selama 2 jam. Apabila tidak
terlihat komplikasi diperbolehkan pulang, dengan penjelasan apabila timbul efek
samping, segera kembali. Injeksi periokuler tidak boleh dilaikukan pada uveitis
infektius (misal toksoplasmosis). Injeksi periokuler harus dilakukan dengan hati –
hati, dan harus dilakukan oleh dokter yang berpengalaman, oleh karena dapat
menyebabkan komplikasi berupa:
 Ptosis
 Subdermal fat atrophy
 Paresis muskulus ekstraokuli
 Perdarahan periorbita dan retrobulbar
 Tertusuknya bulbus okuli
 Kerusakan saraf optic
 Retinal dan choroidal vascular occlusion
 Hipopigmentasi kulit
c. Kortikosteroid sistemik.
Pemberian kortikosteroid sistemik dapat diberikan secara oral maupun melalui
intravena. Indikasi pemberian kortikosteroid sistemik:
 Uveitis yang mengancam penglihatan, yang dengan pemberian
kortikosteroid topikal maupun periokuler tidak memberikan respon.
 Uveitis yang disertai dengan penyakit sistemik, yang memerlukan
pengobatan kokkrtikosteroid sistemik.
Jenis kortikosteroid oral yang sering digunakan
 Prednison, adalah kortikosteroid oral yang paling efektif sebagai terapi
uveitis, dosis 1 – 2 mg/kg/hari. Dosis tersebut dipertahankan sampai
terlihat efek linisnya, kemudian diturunkan secara bertahap setiap 1 atau 2
minggu sampai inflamasi mereda. Walaupun inflamasi sudah hilang,
peberiannya tidak boleh dihenikan langsung/mendadak, untuk
menghindari terjadinya relaps, berikan dosis yang terendah dan
dipertahankkan selama 1 - 2 minggu setelah inflamasi hilang. Lama

13
pemberian tidak boleh melebihi 3 bulan dan dosis maksimal 5 – 10
mg/kkg/hari.
 Methylprednisolone, merupakan kkortikosteroid yang memiliki efek terapi
di bawah prednisone, namun efek samping yang ditimbulak lebih kkeil
dibandingkan prednison. Dosis 2 – 60mg/hari terbagi dalam 3 atau 4 kali
sehari. Apabila inflamasi sudah mereda, dosis diturunkan bertahap.
Pemberiannya tidak boleh langsung dihentikan walaupun inflamasi sudah
megnhilang, dosis paling rendah dipertahankan selama 1 – 2 minggu.
Jenis kokrtikosteroid injeksi sistemik yang sering digunakan
 Methylprednisolone, Dosis 1 g/hari diberikan melalui infus selama 1
jam. Terapi ini dilakukan selama 3 hari yang kemudian diikuti dengan
pemberian prednisone oral dengan dosis awal 1 – 2 mg/kg/hari. Pasie
yang hendak diberikan terapi injeksi methylprednisolone harus rawat
inap dan diperiksa oleh internist sebelum injeksi diberikkan.
d. Komplikasi pemberian kortikosteroid topikal
 Peningkatan tekanan intra okuli, biasanya terjadi pada beberapa
individu yang sensitif. Namun demikian, pemakaian yang lama dapat
menyebabkan hipertensi okuler.
 Katarak (posterior sub-capsular), terutama disebabkan oleh pemakaian
sistemik. Katarak akibat pemakaian secara topikal lebih jarang terajdi.
Namun demikian, terjadinya katara berkaitan dengan dosis dan lama
waktu pemakaian kortikosteroid.
 Kornea. Komplikasi pada kornea dapat terjadi akibat terhambatnya
sintesis kolagen. Beberapa penyakit pada kornea dapat timbul, yaitu
infeksi sekunder oleh karena bakteri dan jamur, kambuhnya keratitis
herpes simpleks dan corneal melting serta lamaya penyembuhan luka
pada kornea.
 Efek sistemuk. Walaupun jarang terjadi, namun pada pemakaian angka
pang, terutama pada anak – anak , dapat meynebabkan timbulnya efek
sitemik.
3. Immune Modulators Therapy (IMT)
Obat –obatan immune modulator atau kadang kadang disebut immunosuppressive
adalah jenis obat yang bekerja dengan cara membunuh dengan cepat pembelahan
limfosit yang bertanggungjawab terhadap terjadinya inflamasi.
Ada beberapa ogolonga obat obatan immune modulator untuk pengobatan uveitis
yaitu:
a. Antimetabolites
b. Inhibitors of T-cell signaling
c. Alkylating agents
d. Biogenic response modifier
Obat – obat jenis ini memiliki efek samping, sehingga pemberian IMT pada uveitis
harus berdasarkan indikasi khusus yaitu:
 Uveitis/ inflamasi intraokuler yang mengancam penglihatan
 Ada kekambuhan dari proses penyakitnya

14
 Respons yang tidak adekuat terhadap terapi kortikosteroid
 Kontraindikasi pemberian kortikosteroid yang disebabkan oleh kelainan
sitemik atau tubuh intolerans terhadap adanya efek samping. Dapat juga oleh
karena ketergantungan kortikosteroid akibat pemberian jangka panjang.
Adanya efek samping sitemik dan efek toksik terhadap beberapa organ tubuh akibat
pemakaian IMT, terutama untuk pemakaian jangka panjang, maka sebelum memulai
pemberian IMT harus diperhatika beberapa hal pada pasien, yaitu:
 Tidak sedang menderita penyakit infeksi
 Tidak memiliki kelainan fungsi hepar dan ginjal
 Tidak didapatkan kelainan hematologi
 Sesudah pemberian, harus dilakukan follow up yang diteliti dan cermat
terhadap semua faal tubuh, yang dilakukan oleh dokter yang ahli dan
berpengalaman di bidangnya.
 Dilakukan evaluasi yang terus menerus terhadap penyakitnya
 Informed consent harus diberikan sebelum dimulai pemberian IMT
a. Antimetabolites
Obat – obatan yang termasuk golongan antimetabolit adalah sebagai berikut:
 Azathioprine
o Azathioprine merupakan analog neklosida purin, yang bekerja
dengan cara mengganggu replikasi DNA dan transkripsi RNA
(mengganggu metablisme purin)
o Regimen dosis awal 1mg/kkg/hari (tablet 50mg) diberikan sekali
sehari atau dalam dosisterbagi. Setelah 1 – 2 minggu, dosis dapat
ditingkatkan dua kali. Dapat dikombinasikan dengan
kortikosteroid. Pemberian azathioprine dihentikan apabila penyakit
inaktif dalam 1 tahun.
o Efek samping supresi sumsum tulang, gangguan gastrointestinal
dan hepatotoksik. Apabila terjadi efek samping, pemberian dapat
dihentikkan.
o Monitor pemeriksaan hematologi (hitung darah lengkap) pada
minggu pertama pemberian dan setiap bulan. Tes fungsi hepar
dilakukakn setiap 2 – 3 bulan.
 Methotrexate
o Termasuk analog asam folat dan inhibitor hehidrofolat reduktase.
Bekerja dengan cara menghambat replikasi DNA. Efek
antiinflamasi diperoleh akibat dilepaskannya adenosine
ekstraseluler.
o Pemberian diberikan setiap minggu sekali. Dosis dewasa
pemberian awal 7,5 – 10 mg/minggu dan dosis dapat ditingkatkan
sampai dosis maintenance 15 – 25 mg/minggu. Saat diberikan per
oral, subkutan , intramuskuler maupun intravenous. Untuk
mengurangi efek samping diberikan asam folat 1 mg/ hari. Efek
terapi maksimal dalam mengontrol inflamasi intraokuli diperoleh
setelah pemberian selama 6 bulan.

15
o Efek samping supresi sumsum tulang dan hepatotosik serta
teratogenik pada hepar.
o Monitor hitung darah legkap dan tes fungsi hepar setiap 1 - bulan.
Kadang diperlukan biopsy hepar pada pemakaian jangka panjang.
 Mycophenolate
o Bekerja dengan menghambat inosin monofosfat dehydrogenase dan
replikasi DNA.
o Pemberian dosis 1 g, diberikan kali seari, dapat ditingkkatkan
sampai 4 g sehari. Dapat diberikan bersama – sama dengan
kortikosteroid.
o Efek samping gangguan gastrointestinal dan supresi sumsum
tulang
o Monitor pemeriksaan hitung darah lengkap setiap minggu selama 1
bulan pada satu bulan pertama pemberian, dilanjutkan setiap bulan
sekkali.
b. Inhibitors of T-cell signaling
Obat – obatan yang termasuk inhibitor T-cell signaling meliputi cyclosporine dan
tacrolimus.
 Cyclosporin
o Bekerja dengan cara mengeliminasi transduksi signal T-cell dan
down-regulate transkripsi gen interleukin-2 (IL-2) dan ekspresi
CD4+T-lymphosite.
o Pemberian dosis awal 5 mg/kg/hari, diberikan sekali sehari atau
dalam dosis terbagi 2 kali sehahri. Apabila inflamasi sudah
terkontrol, dosis diturunkan menjadi 2 – 3 mg/kg/hari. Tidak boleh
dihentikan mendadak, karena dapat menyebabkan inflamasi
berulang.
o Efek samping nefrotoksik, hepatotoksik, hyperlipidemia,
hipertensi, hirsutism dan gingiva hyperplasia. Hati –hati pada
penderita dnegna usia diatas 55 tahun oleh karena fungsi ginjal
yang sudah menurun.
o Monitor tekanan darah, tes fungsi hati dan ginjal setiap bulan. Adar
kreatinin serum tidak boleh naik 30% dari awal sebelum
pemberian.
 Tacrolimus
o Mekanisme kerja mirip dengan cylisporin. Digunakan apabila
terjadi intoleran atau tidak memberikan respons pada terapi
yclosporin.
o Pemberian diberikan peroral denga dosis 0,1 – 0,15/kg/hari. Dapat
diberikan bersama sama kortikosteroid.
o Efek samping hiperglikemaia, neurotoksik, dan nefrotoksik. Efek
nefrotoksik lebih menonjol dibandingan cyclosporin.
o Monitor tekanan darah, pemeriksaan hitung darah, tes fungsi ginjal
dan pemeriksaan akdar glukosa darah, setiap minggu pada awal
pemberian kemudian setiap bulan.
c. Alkylating agents

16
Yang termasuk alkylating agents adalah cyclophosphamide dan chlorambucil.
Obat – obatan ini merupakan terapi paling tinggi untuk uveitis dan sangat baik
untuk terapi uveitis pada keadaan dimana pemberian IMT yang lain tidak berhasil
 Cyclophosphamide
o Bekerja dengan mengganggu replikasi DNA sehingga terjadi
kematian sel.
o Pemberian secara peroral dengan dosis 2mg/kg/hari, biasanya
diberikan selama 1 tahun. Dosis maintenance disesuaikan dengan
jumlah leukosit antara 3000-4000 sel/uL. Setelah 1 tahun
pemberian dan inflamasi mereda, dosis diturunkan bertahap.
o Efek samping haemorrhagic cystitis, myelosuppression,
teratogenik, infertile dan alopesia serta infeksi oportunistik.
Apabila terjadi gross hematuria, obat dihentikan.
o Monitor pemeriksaan hitung darah, urinalisis dilakukan setiap 1
minggu sekali.
 Chlorambucil
o Chlorambucil merupakan long – acting alkylating agents, yang
bekerja mengganggu replikasi DNA.
o Pemberian diberikan peroral dengan dosis 0,1 – 0,2 mg/kh, sekali
sehari. Chlorambucil dapat juga diberikan terapi dosis tinggi
jangka pendek 2 mg/hari selama 1 minggu, kemudian dinaikkan
menjadi 2 mg/hari minggu berikutnya sampai inflamasi
terkkontrol.
o Efek samping myelosuppresive teratogenik dan infertile
o Monitor hitung darah lengkap
d. Biologic response modifier
Inflamasi dikedalikan oleh kkompleks seri dari interaksi antara sel dengan sel dan
sel dengan sitokin. Obat – obatan yang menghambat berbagai macam sitokin
disebut sebagai Biologic Response Modifiers. Obat – obatan ini pada mulanya
dipakai sebagai transplantasi organ, namun saat ini mulai digunakan pada uveitis.
Saat ini terdapat golongan biological blocker, yaitu Anti Tumour Nerotic Factor a
(TNF-a) dan IL-2 receptor antagonis.
 Anti-tumour necrotic factor a
o Inflizimab diberikan intravenous melalui infus setiap 8 minggu
pada fase maintenance.
o Adalimumab, mirib inflizimab, hanya pemberiannya secara
subkutan setiap minggu.
 IL-2 receptor antagonis
o Daclizumab

17
BAB III
KESIMPULAN
Uveitis adalah penyakit yang kompleks oleh karena banyak penyebab reaksi randang
di dalam mata baik itu infeksius dan non infeksius. Selain itu, keradangan tersebut dapat juga
merupakan keradangan sekunder akibat keradangan primer di tempat lain.Uveitis adalah
inflamasi atau keradnagan pada traktus uvea. Saat ini istilah uveitis digunakan untuk
menggambarkan berbagai maam inflamasi intraokuler yang mengenai tractus uvea (iris,
badan silier, dan koroid) serta retina dan pembuluh darah retina.
Epidemiologi uveitis secara internasional belum diketahui dan data uveitis di
Indonesia juga belum ada.Sebagian besar uveitis terjadi seara akut dan unilateral dengan
komplikasi. Paling banyak adalah uveitis yang mengenai segmen anterior kemudian diiuti
oleh panuveitis, uveitis intermediet, dan terakhir uveitis posterior. Penyebab idiopatik
merupakan penyebab terbanyak uveitis anterior, sedangkan infeksius merupakan penyebab
uveitis posterior yang paling banyak.
Pengobatan utama untuk uveitis adalah kortikosteroid yang dapat dikombinasikan
dengan pemberian midriatikum, dan immune modulators therapy (IMT) atau yang biasa
disebut sebagai immuno suppressive. Pengobatan uveitis tidak hanya bisa didapatkan dari
dokter Spesialis Mata tetapi juga bisa didapatkan dari dokter umum sehingga mudah
didapatkan oleh masyarakat yang mengalami uveitis. Meskipun pengobatan uveitis mudah
didapatkan, apabila uveitis tidak diobati dengan baik dapat menimbulkan komplikasi yang
cukup parah seperti sinekia anterior, sinekiaposterior,glaucoma, katarak, serta

18
edemakistoidmakulardandegenerasimacula.

Daftar Pustaka
1. Budiono S, dkk. Buku Ajar: Ilmu Kesehatan Mata. Airlangga University Press. Surabaya:
2013. Halaman 130-154
2. VaughanDG,AsburyT,Riordan-EvaP.TraktusUvealisdanSklera.General Ophthalmology.
Widya Medika. Jakarta: 2003. halaman:155-160.
3. KanskiJ.Uveitis. In: ClinicalOphthalmology.Third
Edition.London:ButterworthHeinemann,1994.151-155.
4. George R.Non GranulomatousAnterior Uveitis,2005.http://www.emedicine.com
5. SmithR,NozikR.Uveitis.Baltimore:Williamsand Wilkins,1983.72-74.
6. GuideA.Uveitis.http://www.preventblindnessamerica.org
7. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2014.
Halaman: 180-182.
8. Gordon K.Iritis andUveitis, 2005.http://www.emedicine.com
9. HollwichF.Oftalmologi.Edisikedua.Jakarta:BinarupaAksara,1993.117-138.
10. NewellFW.InflammatoryDisorders.In:Ophthalmology.FifthEdition.London:TheCVMosb
yCompany,1982.258-267.
11. RaoNA,FosterDJ,AugsburgerJJ.UveitisandIntraocularNeoplasms.In:HeUvea.NewYork:
Raven Press,1992.

19

Anda mungkin juga menyukai