Oleh : Kelompok 8
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat
dan hidayah-Nyalah sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah
upaya pemenuhan kebutuhan nutrisi dan istirahat tidur lansia ini tepat pada
waktu yang telah ditentukan. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas yang
diberikan dosen mata kuliah Keperawatan gerontik.
Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan masukan
dari semua pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk dapat
menyelesaikan makalah ini baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari isi makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, baik
dari segi kalimat, isi maupun dalam penyusunan. oleh karen itu, kritik dan saran
yang membangun dari dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan
semuanya, sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-
makalah selanjutnya.
KELOMPOK 8
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Apabila seseorang berhasil mencapai usia lanjut, maka salah satu upaya utama
adalah mempertahankan atau membawa status gizi yang bersangkutan pada
kondisi optimum agar kualitas hidup yang bersangkutan lebih baik. Perubahan
status gizi pada lanjut usia disebabkan perubahan lingkungan maupun faali dan
status kesehatan mereka. Perubahan ini makin nyata pada kurun usia dekade 70an.
Faktor lingkungan antara lain meliputi perubahan kondisi ekonomi yang terjadi
akibat memasuki masa pensiun, isolasi sosial berupa hidup sendiri setelah
pasangannya meninggal, dan rendahnya pemahaman gizi menyebabkan
mundurnya atau memburuknya keadaan gizi lanjut usia.
Perubahan gizi lanjut usia merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi,
hal ini terjadi oleh beberapa faktor antara lain : perubahan pola makan, faktor
ekonomi keluarga,perubahan fisik dan mental lanjut usia. Perubahan fisik dan
penurunan fungsi tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan penyerapan zat gizi.
Zat gizi termasuk zat besi pada lanjut usia yang mempunyai efek dari penurunan
kemampuan lansia dalam beraktivitas dan menurunkan kekebalan tubuh.
1
4. Bagaimana pemantauan nutrisi pada lansia?
5. Bagaimana pemenuhan nutrisi pada lansia?
6. Bagaimana perencanaan makanan untuk lansia?
7. Bagaimana kebutuhan tidur pada lansia?
8. Bagaimana fase tidur pada lansia?
9. Bagaimana pola tidur pada lansia?
10. Apa saja gangguan tidur pada lansia?
11. Bagaimana penatalaksanaan gangguan tidur pada lansia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui kebutuhan nutrisi pada lansia.
2. Mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi gizi lansia.
3. Mengetahui masalah gizi pada lansia.
4. Mengetahui pemantauan nutrisi pada lansia.
5. Mengetahui pemenuhan nutrisi pada lansia.
6. Mengetahui perencanaan makanan untuk lansia.
7. Mengetahui kebutuhan tidur pada lansia.
8. Mengetahui fase tidur pada lansia.
9. Mengetahui pola tidur pada lansia.
10. Mengetahui gangguan tidur pada lansia.
11. Mengetahui penatalaksanaan gangguan tidur pada lansia.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
2. Bahan makanan yang mengandung lemak seperti minyak,
santan, mentega, margarine, susu dan hasil olahannya.
b. Kelompok zat pembangun Kelompok ini meliputi makanan –
makanan yang banyak mengandung protein, baik protein
hewani maupun nabati, seperti daging, ikan, susu, telur,
kacang-kacangan dan olahannya.
c. Kelompok zat pengatur Kelompok ini meliputi bahan-bahan
yang banyak mengandung vitamin dan mineral, seperti buah-
buahan dan sayuran.
4
kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan menyebabkan berat
badan kurang dari normal. Apabila hal ini disertai dengan
kekurangan protein menyebabkan kerusakan-kerusakan sel
yang tidak dapat diperbaiki, akibatnya rambut rontok, daya
tahan terhadap penyakit menurun, kemungkinan akan mudah
terkena infeksi.
c. Kekurangan vitamin
Bila konsumsi buah dan sayuran dalam makanan kurang dan
ditambah dengan kekurangan protein dalam makanan akibatnya
nafsu makan berkurang, penglihatan menurun, kulit kering,
penampilan menjadi lesu dan tidak bersemangat.
5
mangkonsumsi obat-obatan yang mangganggu nafsu makan,
nafsu makan berkurang, makanan yang ditawarkan tidak
mengundang selera. Karena hal ini dapat menurunkan asupan
protein bagi lansia, akibatnya lansia menjadi lebih mudah sakit
dan tidak bersemangat.
c. Kekurangan Vitamin D
Biasanya terjadi pada lansia yang kurang mendapatkan paparan
sinar matahari, jarang atau tidak pernah minum susu, dan
kurang mengkonsumsi vitamin D yang banyak terkandung
pada ikan, hati, susu dan produk olahannya.
6
pembangun dan sumber zat pengatur. Dalam hal ini kita bisa
mengacu pada makanan empat sehat lima sempurna.
c. Karena lansia mengalami kemunduran dan keterbatasan maka
konsistensi dan tekstur atau bentuk makanan harus disesuaikan.
Sebagai contoh : gangguan pada gigi (gigi tanggal/ompong),
maka bentuk makanannya harus lunak, misal nasi ditim, lauk
pauk dicincang (ayam disuwir, daging sapi dicincang/digiling)
d. Makanan yang kurang baik bagi lansia adalah makanan
berlemak tinggi seperti seperti jerohan (usus, hati, ampela, otal
dll), lemak hewan, kulit hewan (misal kulit ayam, kulit sapi,
kulit babi dll), goreng-gorengan, santan kental. Karena seperti
prinsip yang disebutkan tadi bahwa kebutuhan lemak lansia
berkurang dan pada lansia mengalami perubahan proporsi
jaringan lemak. Hal ini bukan berarti lansia tidak boleh
mengkonsumsi lemak. Lansia harus mengkonsumsi lemak
namun dengan catatan sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai
contoh misalnya bila menu hari ini lauknya sudah digoreng,
maka sayurannya lebih baik sayur yang tidak bersantan seperti
sayur bening, sayur asam atau tumis. Bila hari ini sayurnya
bersantan maka lauknya dipanggang, dikukus, dibakar atau
ditim.
e. Lansia harus diberi pengertian untuk mengurangi atau kalau
bisa menghindari makanan yang mengandung garam natrium
yang tinggi. Contoh bahan makanan yang mengandung garam
natrium yang tinggi adalah garam dapur, vetsin, daging
kambing, jerohan, atau makanan yang banyak mengandung
garam dapur misalnya ikan asin, telur asin, ikan pindang.
Mengapa lansia harus menghindari makanan yang mengandung
garam natrium yang tinggi ? Hal ini dikarenakan pada lansia
mudah mengalami hipertensi. Hal ini, seperti yang dijelaskan
tadi bahwa elastisitas pembuluh darah telah menurun dan
7
terjadi penebalan di dinding pembuluh darah yang
mengakibatkan mudahnya terkena hipertensi. Selain itu indera
pengecapan pada lansia mulai berkurang, terutama untuk rasa
asin, sehingga rasa asin yang cukup-pun terasa masih kurang
bagi mereka, lalu makanan ditambah garam yang banyak, hal
ini akan meningkatkan tekanan darah pada lansia. Jadi kita
memang perlu sampaikan kepada lansia bahwa panduan rasa
asinnya tidak bisa lagi dipakai sebagai ukuran, karena bila
dengan panduan asin dari lansia, untuk kita yang belum lansia
akan terasa asin sekali.
f. Lansia harus memperbanyak makan buah dan sayuran, karena
sayur dan buah banyak mengandung vitamin, mineral dan serat.
Lansia sering mengeluhkan tentang konstipasi/susah buang air
besar, nah dengan mengkonsumsi sayur dan buah yang kaya
akan serat maka akan melancarkan buang air besar. Untuk
buah, utamakan buah yang bisa dimakan dengan kulitnya
karena seratnya lebih banyak. Dengan mengkonsumsi sayuran
dan buah sebenarnya lansia tidak perlu lagi mengkonsumsi
suplemen makanan.
g. Selain konsumsi sayur dan buah, Lansia harus banyak minun
air putih. Kebutuhan air yakni 1500 – 2000 ml atau 6 -8 gelas
perhari. Air ini sangat besar artinya karena air menjalankan
fungsi tubuh, mencegah timbulnya penyakit di saluran kemih
seperti kencing batu, batu ginjal dan lain-lain. Air juga sebagi
pelumas bagi fungsi tulang dan engselnya, jadi bila tubuh
kekurangan cairan maka fungsi, daya tahan dan kelenturan
tulang juga berkurang. Air juga berguna untuk mencegah
sembelit, karena untuk penyerapan makanan dalam usus
memerlukan air.
8
a. Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang
beraneka ragam, yang terdiri dari : zat tenaga, zat pembangun
dan zat pengatur.
b. Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang.
Porsi makan hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga
dapat makan lebih sering dengan porsi yang kecil. Contoh
menu : Pagi : Bubur ayam Jam 10.00 : Roti Siang : Nasi,
pindang telur, sup, papaya Jam 16.00 : Nagasari Malam : Nasi,
sayur bayam, tempe goreng, pepes ikan, dan pisang.
c. Banyak minum dan kurangi garam, dengan banyak minum
dapat memperlancar pengeluaran sisa makanan, dan
menghindari makanan yang terlalu asin akan memperingan
kerja ginjal serta mencegah kemungkinan terjadinya darah
tinggi.
d. Batasi makanan yang manis-manis atau gula, minyak dan
makanan yang berlemak seperti santan, mentega dll.
e. Bagi pasien lansia yang prose penuaannya sudah lebih lanjut
perlu diperhatikanhal-hal sebagai berikut :
1. Makanlah makanan yang mudah dicerna
2. Hindarimakanan yang terlalu manis, gurih, dan goring-
gorengan
3. Bilakesulitan mengunyah karena gigirusak atau gigi palsu
kurang baik, makanan harus lunak/lembek atau dicincang
4. Makan dalam porsi kecil tetapi sering
5. Makananselingan atau snack, susu, buah, dan sari buah
sebaiknya diberikan
f. Batasi minum kopi atau teh, boleh diberikan tetapi harus
diencerkan sebab berguna pula untuk merangsang gerakan usus
dan menambah nafsu makan.
g. Makanan mengandung zat besi seperti : kacang-kacangan, hati,
telur, daging rendah lemak, bayam, dan sayuran hijau.
h. Lebih dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara
dikukus, direbus, atau dipanggang kurangi makanan yang
digoreng
9
2.2 Kebutuhan istirahat tidur pada lansia
2.2.1 Pengertian
Istirahat adalah suatu keadaan dimana keadaan jasmaniah menurun
yang berakibat badan menjadi lebih segar. Sedangkan tidur oleh
Johnson dianggap sebagai salah satu kebutuhan fisiologis manusia.
Tidur terjadi secara alami, dengan fungsi fisiologis dan psikologis
yang melekat merupakan suatu proses perbaikan tubuh. Secara
fisiologis, jika seseorang tidak mendapatkan tidur yang cukup
untuk mempertahankan kesehatan tubuh, dapat terjadi efek-efek
seperti pelupa, konfusi, dan disorientasi, terutama jika deprivasi
tidur terjadi untuk waktu yang lama.
10
jam tidur total yang normal berkisar 5-9 jam pada 90% orang
dewasa. Pada usia lanjut efisiensi tidur berkurang, dengan waktu
yang lebih lama di tempat tidur namun lebih singkat dalam
keadaan tidur. Menurut Darmojo (2009), seiring bertambahnya
usia, terdapat penurunan periode tidur. Seorang usia lanjut
membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama
di tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih sedikit waktu
tidur nyenyaknya.
11
berkurang, tekanan darah turun, kecepatan pernapasan dan
metabolisme tubuh menurun, dan gerakan bola mata melambat.
Tidur NREM memiliki empat tahap dan setiap tahap ditandai
dengan pola perubahan aktivitas gelombang otak. Tahapan
tersebut yaitu :
1. Tahap I
Tahap ini adalah tahap transisi dimana seseorang beralih dari
sadar menjadi tidur. Pada tahap I ini ditandai dengan
seseorang merasa kabur dan rileks, seluruh otot menjadi
lemas, kelopak mata mulai menutup mata, kedua bola mata
bergerak ke kanan dan ke kiri, kecepatan jantung dan
pernapasan menurun, pada pemeriksaan EEG terjadi
penurunan voltasi gelombang-gelombang alfa pada otak.
Pada tahap ini, seseorang dapat dibangunkan dengan mudah.
2. Tahap II
Tahap ini merupakan tahap tidur yang ringan dan ditandai
dengan kedua bola mata yang mulai berhenti bergerak, tonus
otot perlahan berkurang, kecepatan pernapasan turun secara
signifikan. Pada pemeriksaan EEG, muncul gelombang beta
yang berfrekuensi 14-18 siklus/detik, gelombang ini disebut
dengan gelombang tidur. Tahap II berlangsung 10-15 menit.
3. Tahap III
Pada tahap III ini, keadaan fisik lemah lunglai karena tonus
otot lenyap secara menyeluruh. Terdapat penurunan
kecepatan jantung, pernapasan, dan proses metabolisme
tubuh akibat dominasi dari sistem saraf parasimpatis. Pada
EEG terlihat perubahan gelombang beta menjadi 1-2 siklus /
detik. Selama tahap III ini berlangsung, seseorang sulit
dibangunkan.
4. Tahap IV
12
Tahap ini merupakan tahap tidur dimana seseorang berada
dalam keadaan sangat rileks dan jarang bergerak serta sulit
untuk dibangunkan. Pada pemeriksaan EEG hanya tampak
gelombang delta yang lambat dengan frekuensi 1-2 siklus /
detik. Denyut jantung dan pernapasan menurun sekitar 30%.
Dalam tahap ini seseorang akan mengalami mimpi. Selain
itu, keadaan tubuh akan pulih pada tahap ini.
d) Malas berbicara
13
Pada tahap 2 dan 3, meliputi tidur dalam yang progresif. Pada
tahap 4, tingkat terdalam, sulit untuk dibangunkan.
Tidur tahap 4 sangat penting untuk menjaga kesehatan fisik. Tahap
ini sangat jelas terlihat menurun pada lansia, tetapi mereka belum
mengetahui akibat dari penurunan ini. Pola tidur pada lansia
ditandai dengan sering terbangun, penurunan tahap 3 dan 4 waktu
non-REM, lebih banyak terbangun pada malam hari disbanding
tidur, dan lebih banyak tidur selama siang hari. Tidur siang hari
dapat mengurangi waktu dan kualitas tidur di malam hari pada
beberapa lansia.
Dari tahap 4, orang tersebut berlanjut ke tidur REM. Tidur REM
terjadi beberapa kali dalam siklus tidur dimalam hari tetapi lebih
sering terjadi pagi hari sekali. Pada tidur REM, aktifitas dan tanda-
tanda vital mengalami akselerasi, yang menyebabkan peningkatan
kesenangan dan pelepasan ketegangan yang dimanifestasikan
dengan tersentak dan berbalik, kedutan otot, dan peningkatan
frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan tekanan darah. Tidur
REM membantu melepaskan ketegangan dan membantu
metabolisme system saraf pusat. Kekurangan tidur REM telah
terbukti menyebabkan iritasi dan kecemasan.
14
Fungsi pemeliharaan ini sangat penting untuk lansia, yang
memerlukan lebih banyak waktu untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan Lansia yang waktu tidurnya terganggu menjadi lebih
lupa, disorientasi, atau konfusi; orang yang mengalami kerusakan
kognitif menujukkan peningkatan kegelisahan, perilaku keluyuran,
dan “sindrom” dan “sundowning” (konfusi, agiatasi dan perilaku
terganggu selama sore menjelang senja dan jam awal malam).
Kualitas tidur dapat dipengaruhi oleh perubahan terkait usia,
konsumsi banyak obat dan gangguan organik dan mental.
15
nyenyak masih dapat dialami. Namun bagi seseorang dengan
kelelahan yang berlebihan, dapat menyebabkan periode tidur
REM lebih pendek (Asmadi, 2008). Kebiasaan buruk atau tidak
sehat yang dilakukan setiap hari dapat mempengaruhi kualitas
tidur dan kemudian menimbulkan gangguan. Gaya hidup ini
antara lain kebiasaan minum minuman beralkohol atau
minuman yang mengandung cafein di senja atau sore hari,
berolahraga saat mau tidur tidur, mengikuti jadwal pagi dan
malam hari yang tidak beraturan, dan bekerja yang
memerlukan aktivitas daya pikir sesaat sebelum tidur
(Rafiudin, 2004).
c. Kerja lembur
Pekerjaan yang memerlukan jam lembur / shift, dapat
mengganggu kebutuhan tidur seseorang. Pekerjaan ini
menghalangi seseorang memiliki kesempatan untuk tidur
dengan jam tidur cukup dibanding seseorang yang memiliki
pekerjaan reguler di pagi hari (Rafiudin,2004)
d. Status kesehatan
Seseorang yang kondisi tubunya sehat, memungkinkan
seseorang dapat mengalami kualitas tidur yang baik. Namun
pada orang yang sakit dan mengalami nyeri, kebutuhan
istirahat dan tidurnya mengalami gangguan sehingga kualitas
tidurnya menurun. (Asmadi, 2008). Penyakit- penyakit
seperti ISPA, gagal jantung, dan penyakit pembuluh darah
sangat berpeluang mengalami gangguan tidur. Seperti
misalnya pada pasien jantung, sangat sering mengalami
kualitas tidur yang buruk. Pada pasien dengan penyakit gagal
jantung kongestif, adanya sesak di saat tidur atau apnea,
membuat pasien mengalami gangguan tidur berat. (Rafiudin,
2004).
e. Obat-obatan
16
Terapi pengobatan yang dikonsumsi seseorang ada yang
menyebabkan tidur, tetapi ada pula yang berefek
mengganggu pola tidur, seperti obat golongan amfetamin
dapat menurunkan fase REM (Asmadi, 2008).
17
Hipersomnia dicirikan dengan tidur lebih dari 8atau 9 jam per
periode 24 jam, dengan keluhan tidur berlebihan. Orang
tersebut dapat menunjukkan mengantuk di siang hari yang
persisten, mengalami serangan tidur , tampak mabuk dan
kemotose, atau mengalami mengantuk pascaensefalitik.
Keluhan keletihan, kelemahan dan kesulitan mengingat atau
belajar merupakan hal yang sering terjadi.
3. Apneu tidur
Apnea tidur adalah berhentinya pernafasan selama tidur.
Gangguan ini diidentifikasi dengan gejala mendengkur,
berhentinya pernafasan minimal 10 detik, dan rasa kantuk di
siang hari yang luar biasa. Gejala apnea tidur antara lain:
a) Dengkuran yang keras dan periodic
b) Aktifitas malam hari yang luar biasa, seperti: duduk tegak,
berjalan dalam tidur, terjatuh dari tempat tidur
c) Gangguan tidur dengan seringnya terbangun di malam hari
d) Perubahan memori
e) Depresi
f) Rasa kantuk yang berlebihan di siang hari
g) Nokturia
Sakit kepala di pagi hari
Ortopnea akibat apnea tidur
Pasien di anjurkan untuk menghindari alcohol dan obat-obatan
yang dapat mempengaruhi respon terbangun dan untuk
menggunakan bantal tambahan atau tidur di atas kursi.
18
1. Dosis yang diberikan bersifat intermiten (3-4 kali dalam
seminggu),
2. Pengobatan jangka pendek (3-4 mimggu)
3. Penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada
gejala insomnia,
19
usia muda. Pilihan pertama adalah short-acting BZDs
serta dihindari pemakaian long acting BZDs (Galimi, R.,
2010). BZDs digunakan untuk transient insomnia karena
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Penggunaan lebih dari 4 minggu akan menyebabkan
tolerance dan ketergantungan. Golongan BZDs yang paling
sering dipakai adalah temazepam, termasuk intermediate
acting BZDs karena memiliki waktu paruh 8-20 jam. Dosis
temazepam adalah 15-30 mg setiap malam. Efek samping
BZDs meliputi: gangguan psikomotor dan memori pada
pasien yang diterapi short-acting BZDs, sedangkan residual
sedation muncul pada pasien yang mendapat terapi long
acting BZDs. Pada pasien yang menggunakan BZDs jangka
panjang akan menimbulkan resiko ketergantungan, daytime
sedation, jatuh, kecelakaan, dan fraktur (Kamel &
Gammack, 2006).
2. Non-Benzodiazepine
Memiliki efek pada reseptor GABA dan berikatan secara
selektif pada reseptor benzodiazepine subtife 1 di otak.
Obat ini efektif pada usia lanjut karena dapat diberikan
dalam dosis yang rendah. Obat golongan ini juga
mengurangi efek hipotoni otot, gangguan prilaku,
kekambuhan insomnia jika dibandingkan dengan obat
golongan BZDs. Zaleplon, Zolpidem dan Eszopiclone
berfungsi untuk mengurangi latensi tidur sedangkan
Ramelteon (Melatonin Receptor Agonist) digunakan pada
pasien yang mengalami kesulitan untuk mengawali tidur
(Galimi, 2010). Obat golongan non- Benzodiazepine yang
aman pada usia lanjut:
3. Zaleplon
Ancoli- Israel menemukan keefektifan dan keamanan dari
zaleplon pada usia lanjut. Zaleplon dapat digunakan jangka
20
pendek maupun jangka panjang, tidak ditemukan terjadinya
kekambuhan atau withdrawal symptom setelah obat
dihentikan. Dosis dari zaleplon 5-10 mg, akan tetapi waktu
paruhnya hanya 1 jam (Kamel & Gammack, 2006).
4. Zolpidem
Zolpidem merupakan obat hipnotik yang berikatan secara
selektif pada reseptor benzodiazepine subtife 1 di otak.
Efektif pada usia lanjut karena tidak mempengaruhi sleep
architecture. Zolpidem memiliki waktu paruh 2,5-2,9 jam
dengan dosis 5-10 mg. Zolpidem merupakan kontraindikasi
pada sleep related breathing disorder dan gangguan hati.
Efek samping dari zolpidem adalah mual, dizziness, dan
efek ketergantungan jika digunakan lebih dari 4 minggu
(Petit, dkk., 2003).
5. Eszopiclone
Golongan non-benzodiazepine yang mempunyai waktu
paruh paling lama adalah eszopiclone yaitu selama 5 jam
pada pasien usia lanjut (Galimi, 2010). Scharf et al dalam
penelitiannya menyimpulkan eszopiclone 2 mg dapat
menurunkan sleep latency, meningkatkan kualitas dan
kedalaman tidur, meningkatkan TST pada pasien usia lanjut
dengan insomnia primer (Scharf M., dkk., 2005). Krystal
AD et al dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
eszopiclone 3 mg setiap malam dapat membantu
mempertahankan tidur dan meningkatkan kualitas tidur
pada pasien usia lanjut dengan insomnia kronik (Krystal,
dkk., 2003).
6. Melatonin reseptor agonist
Melatonin Reseptor Agonist (Ramelteon) obat baru yang
direkomendasikan oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk terapi insomnia kronis pada usia lanjut.
Ramelteon bekerja secara selektif pada reseptor melatonin
MT1 dan MT2. Dalam penelitian yang dilakukan dengan
21
metode A randomized, double blind study selama 5 minggu
pada 829 sampel berumur rata-rata 72,4 tahun dengan
chronic primary insomnia disimpulkan terjadi penurunan
latensi tidur dan peningkatan TST pada minggu pertama.
Ramelteon tidak menimbulkan withdrawal effect (Petit,
dkk., 2003).
7. Sedating Antidepressant
Sedating antidepressant hanya diberikan pada pasien
insomnia yang diakibatkan oleh depresi. Amitriptiline
adalah salah satu sedating antidepressant yang digunakan
sebagai obat insomnia, akan tetapi pada usia lanjut
menimbulkan beberapa efek samping yaitu takikardi,
retensi urin, konstipasi, gangguan fungsi kognitif dan
delirium. Pada pasien usia lanjut juga dihindari penggunaan
trisiklik antidepresan (Galimi, 2010). Obat yang paling
sering digunakan adalah trazodone. Walsh dan Schweitzer
menemukan bahwa trazodone dosis rendah efektif pada
pasien yang mengalami insomnia oleh karena obat psikotik
atau monoamnie oxidase inhibitor dan pada pasien yang
memiliki kontraindikasi terhadap BZDs. Dosis trazodone
adalah 25-50 mg perhari, efek samping dari trazodone
adalah: kelelahan, gangguan sistem pencernaan, dizziness,
mulut kering, sakit kepala dan hipotensi (Kamel &
Gammack, 2006).
b. Non farmakologik
1. Higene tidur
Memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk
tidur merupakan syarat mutlak untuk gangguan tidur.
Jadwal tidur-bangun dan latihan fisik sehari-hari yang
teratur perlu dipertahankan. Kamar tidur dijauhkan dari
suasana tidak nyaman. Penderita diminta menghindari
latihan fisik berat sebelum tidur. Tempat tidur jangan
dijadikan tempat untuk menumpahkan kemarahan.
22
Perubahan kebiasaan, sikap, dan lingkungan ini efektif
untuk memperbaiki tidur. Edukasi tentang higene tidur
merupakan intervensi efektif yang tidak memerlukan biaya
(Petit, dkk., 2003).
2. Terapi pengontrolan stimulus
Terapi ini bertujuan untuk memutus siklus masalah yang
sering dikaitkan dengan kesulitan memulai atau jatuh tidur.
Terapi ini membantu mengurangi faktor primer dan reaktif
yang sering ditemukan pada insomnia.
3. Sleep Restriction Therapy
Membatasi waktu di tempat tidur dapat membantu
mengkonsolidasikan tidur. Terapi ini bermanfaat untuk
pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur.
Misalnya, bila pasien mengatakan bahwa ia hanya tertidur
lima jam dari delapan jam waktu yang dihabiskannya di
tempat tidur, waktu di tempat tidurnya harus dikurangi.
Tidur di siang hari harus dihindari. Lansia dibolehkan tidur
sejenak di siang hari yaitu sekitar 30 menit. Bila efisiensi
tidur pasien mencapai 85% (rata-rata setelah lima hari),
waktu di tempat tidurnya boleh ditambah 15 menit. Terapi
pembatasan tidur, secara berangsurangsur, dapat
mengurangi frekuensi dan durasi terbangun di malam hari
(Petit, dkk., 2003).
4. Terapi relaksasi dan biofeedback
Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik.
Menghipnosis diri sendiri, relaksasi progresif, dan latihan
nafas dalam sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif
untuk memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan
yang cukup dan serius. Biofeedback yaitu memberikan
umpan-balik perubahan fisiologik yang terjadi setelah
relaksasi. Umpan balik ini dapat meningkatkan kesadaran
diri pasien tentang perbaikan yang didapat. Teknik ini dapat
23
dikombinasi dengan higene tidur dan terapi pengontrolon
tidur (Petit, dkk., 2003).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nutrisi adalah zat yang diperlukan tubuh untuk membentuk energi dan
berlangsungnya fungsi organ tubuh secara normal. Nutrisi sangat penting bagi
manusia karena nutrisi merupakan kebutuhan fital bagi semua makhluk hidup.
Pada tiap tahapan usia memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda-beda, sehingga
diperlukan pola makan dan menu yang seimbang sesuai dengan kebutuhan pada
tahapan usia masing-masing.
Manula memiliki kebutuhan nutrisi secara khusus karena sistem jaringan dan
organ mereka mengalami penuaan. Kesehatan nutrisi membantu manula menjaga
24
hidup yang lebih aktif dan menyenangkan, melindungi mereka dari penyakit,
mengurangi keparahan penyakit, dan mempercepat pemulihan penyakit. Maka
dari itu manula membutuhkan asupan nutrisi yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
25
Potter & Perry.2005.Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4.Jakarta
:EGC
Stanley M, Patricia GB. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik . Jakarta :
EGC.
26