Anda di halaman 1dari 20

A.

PENGERTIAN
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh adanya rudapaksa. Fraktur tulang wajah
sering dijumpai terutama pada cedera olahraga, kecelakaan lalu lintas ataupun berkelahi.
Pada kecelakaan lalu lintas, tujuh dari sepuluh penderita mengalami cedera wajah,
kebanyakan berupa luka tajam dan memar. Fraktur ZMC (Zygomaticum Complete)
biasanya melibatkan dinding bawah orbita tepat diatas nervus alveolaris inferior, sutura
zigomatiko frontal, sepanjang arkus pada sutura zigomatiko temporal, dinding lateral
zigomatiko maksila, dan sutura zigomatiko splenoid yang terletak di dinding
lateral orbita, sedangkan dinding medial orbita tetap utuh. Fraktur ini dapat menyebabkan
obstruksi jalan nafas atas, kadang kala diperlukan intubasi endotrakeal ataupun
krikotiroidotomi untuk melancarkan jalan nafas. Pada banyak kasus, penundaan
penanganan selama beberapa hari tidak menyebabkan efek samping yang berbahaya
(Sjamsuhidajat, dkk, 2014).

B. ANATOMI FISIOLOGI

Sumber: Sjamsuhidajat, dkk (2014)


(Gambar 2.1: Anatomi Tengkorak)

1
Tulang-tulang tengkorak pada wajah dapat dibedakan menjadi bagian kranium dan
bagian wajah. Kranium terdiri dari sejumlah tulang yang menyatu pada sendi yang tidak
bergerak yang disebut sutura. Mandibula adalah suatu perkecualian karena menyatu
dengan kranium melalui artikulasio temporo mandibularis yang bergerak. Tulang wajah
terdiri atas:
 os zygomaticum (2 buah)
 os maksila (2 buah)
 os nasale (2 buah)
 os lacrimale (2 buah)
 os vomer (1 buah)
 os palatinum (2 buah)
 os konka nasalis inferior (2 buah)
 os mandibula (1 buah) (Sjamsuhidajat, dkk, 2014)

Os frontale melengkung ke bawah, membentuk margo superior orbita. Di bagian


medial, os frontale berartikulasi dengan procesus frontalis maksila dan os nasale. Di
bagian lateral, berartikulasi dengan os zygomatikum. Margo orbitalis superior dibentuk
oleh os frontale, lateral oleh os zygomatikum, inferior oleh maksila dan medila oleh
procesus maksilaris dan os frontale. Kedua os nasales membentuk batang hidung. Tepi
bawahnya bersama maksila membentuk apertura nasalis anterior. Cavum nasi dibagi
dibagi dua oleh septum nasale bertulang yang sebagian besar dibentuk oleh vomer. Konka
superior dan media dari os ethmoidale pada setiap sisi, menonjol ke dalam cavum nasi;
sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri (Brunner, 2012).
Kedua maksila membentuk rahang atas, pars anterior palatum durum, sebagian
dinding lateral rongga hidung dan sebagian dasar orbita. Os zygomatikum membentuk
tonjolan pipi dan bagian dari dinding lateral serta dasar orbita. Di medial, berartikulasi
dengan maksila dan di lateral dengan prosesus zygomatikus ossis temporalis membentuk
arkus zygomatikus. Os zygomatikum ditembus oleh dua foramen untuk n.
Zygomatikofasialis dan zygomatikotemporalis. Mandibula terdiri atas, corpus horisontal
dan dua ramus vertikal. Korpus menyatu dengan ramus pada angulus mandibula. Foramen

2
mentale bermuara pada permukaan anterior korpus mandibula, di bawah gigi premolar
kedua (Mansjoer, dkk, 2007).
Klasifikasi
Secara garis besar, fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan garis frakturnya,
hubungan antar fragmen tulang, jumlah fragmennya dan hubungan dengan dunia luar
(Muttaqin, 2014):
1. Berdasarkan garis frakturnya, dibagi menjadi:
 Transversal; tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Disebabkan oleh tekanan
tegak lurus pada tulang
 Diagonal/ oblik; disebabkan tekanan dengan arah sejajar sumbu panjang tulang
 Longitudinal; bentuknya sesuai dengan sumbu panjang tulang
 Spiral; disebabkan tenaga yang berputar
2. Berdasarkan hubungan satu fragmen patahan dengan yang lain dibedakan menjadi:
 Dislokasi; berpindahnya ujung tulang yang patah sehingga tidak sejajar sumbu
panjang tulang
 Angulasi; fragmen distal membentuk sudut terhadap fragmen proksimal
 Pemendekan; adanya tumpang tindih dari ujung fragmen tulang
 Rotasi
3. Berdasarkan jumlah fragmen tulangnya, dibedakan menjadi:
 Simpel; bila tulang terpisah menjadi dua segmen
 Kominutif; bila tulang terpisah menjadi lebih dari dua fragmen
4. Berdasarkan hubungan dengan dunia luar, dibedakan menjadi:
 Fraktur tertutup; bila tidak ada hubungan dengan dunia luar/ kulit utuh
 Fraktur terbuka; bila ada hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit.
Fraktur terbuka memerlukan penanganan segera karena sangat potensial untuk
mengalami infeksi.
5. Trauma muka dibagi atas fraktur pada organ berikut:
1. Fraktur tulang hidung
2. Fraktur tulang zygoma dan arkus zygoma
3. Fraktur tulang orbita
4. Fraktur tulang maksila (mid facial)
3
5. Fraktur tulang mandibula
Fraktur Tulang Zygomatikum
Kira-kira 6 % dari fraktur tulang zygoma tidak menunjukkan kelainan. Trauma dari
depan yang langsung merusak pipi menyebabkan perubahan tempat dari tulang zygoma
itu ke arah posterior, ke arah medial atau ke arah lateral sehingga terjadi impresi yang
mendesak bola mata menyebabkan terjadinya diplopia. Fraktur ini tidak mengubah posisi
dari rima orbita inferior ke arah atas atau ke arah bawah. Diagnosis ditegakkan secara
klinis dengan foto rontgen menurut Waters yaitu posisi temporooksipital. Tulang zygoma
dibentuk oleh tulang temporal, tulang frontal, tulang sphenoid dan tulang maksila yang
membentuk penonjolan pada pipi di bawah mata sedikit ke arah lateral (Brunner, 2012).
Sedangkan pada fraktur Arkus Zygoma ditandai dengan adanya rasa sakit pada
waktu bicara atau mengunyah, kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena
terdapatnya perubahan letak dari arkus zygoma terhadap prosessus koronoid dan otot
temporal. Fraktur arkus zygoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah
dikenal dengan palpasi. Tindakan reduksi kadang-kadang diperlukan reduksi terbuka
selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada arkus zygoma yang patah. Insisi
pada reduksi terbuka dilakukan di atas arkus zygoma, diteruskan ke bawah sampai ke
bagian zygoma di preaurikuler (Sjamsuhidajat, dkk, 2014).

Sumber: Sjamsuhidajat, dkk, 2014.


(Gambar 2.2: Gambar Fraktur Zygomatikum)

4
Menurut Sjamsuhidajat, dkk (2014) gejala fraktur zygoma antara lain:
 Pipi menjadi lebih rata (dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum
trauma)
 Diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata
 Edema periorbita dan ekimosis
 Perdarahan subkonjungtiva, ptosis
 Enophtalmus (fraktur dasar orbita atau dinding orbita)
 Terdapatnya hipestesia atau anestesia karena kerusakan saraf infra-orbitalis
 Terbatasnya gerakan mandibula
 Emfisema subkutis
 Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

Klasifikasi fraktur komplek zigomatikus adalah (Muttaqin, 2014):


1. Fraktur stable after elevation:
a. Hanya arkus (pergeseran ke medial),
b. Rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial atau ke lateral.
2. Fraktur unstable after elevation:
a. Hanya arkus (pergeseran ke medial);
b. Rotasi pada sumbu vertikal, medial atau lateral;
c. Dislokasi en loc, inferior, medial, posterior, atau lateral;
d. Comminuted fracture.

C. PENYEBAB
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya diakibatkan secara langsung dan tidak
langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di
sebabkan oleh kendaraan bermotor. Menurut (Mansjoer, dkk, 2007). adapun penyebab
fraktur antara lain:

1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.

5
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
4. Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai
keadaan berikut:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas) merupakan pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomyelitis merupakan dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit
nyeri.
c. Rakhitis merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan
oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
d. Secara spontan s e p e r t i disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

Tanda dan Gejala

Menurut Mansjoer, dkk, (2007) tanda dan gejaka fraktur zygomatikum adalah:

1. Deformitas

6
2. Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya
perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti: rotasi pemendekan tulang dan
penekanan tulang
3. Bengkak: edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur
4. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
5. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
6. Tenderness/keempukan
7. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
8. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
9. Pergerakan abnormal
10. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
11. Krepitasi

D. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik dari faktur, menurut Brunner (2012):
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi. Spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di rancang untuk
meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
2. Setelah terjadi fraktur, bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen
tulang pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun
teraba) ekstermitas yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang normal
dengan ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempatmelekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karenakontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi
satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)

7
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.

E. PATOFISIOLOGI
Mansjoer, dkk, (2007), tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai
kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak
yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan
ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur:
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahanuntuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan,
dan kepadatan atau kekerasan tulang.

8
F. PATWAYS

9
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Selain plain radiografi, pemeriksaan yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis adalah (Mansjoer, dkk, 2007):
1. CT Scan
Dapat melihat fragmen tulang yang terpisah, adanya perdarahan dan fraktur basis
kranii dengan lebih jelas.
2. MRI
Tidak digunakan sebagai alat primer untuk mendeteksi fraktur fasial.
3. Foto Rontgen
Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung mengetahui
tempat dan type fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi
dan selama proses penyembuhan secara periodik.
4. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1: dapat digunakan mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
5. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
6. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menrurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma.

H. PENATALAKSANAAN
Menurut (Mansjoer, dkk, 2007), penatalaksanaan fraktur zygomatikum adalah sebagai
berikut:
1. Fraktur Reduction
Reduksi tidak langsung melalui sulkus gingivobukalis. Dibuat sayatan kecil pada
mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator dimasukkan di belakang
tuberositas dan fraktur dikembalikan kepada tempatnya. Cara reduksi fraktur ini
mudah dikerjakan dan memberi hasil baik. Reduksi terbuka yaitu tulang zygoma yang
patah tidak bisa diikat dengan kawat baja dari Kirschner, harus ditanggulangi dengan
reduksi terbuka menggunakan kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul di atas
zygoma dapat dipakai sebagai tanda untuk melakukan insisi. Adanya fraktur pada rima

10
orbita inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi di bawah
palpebra inferior untuk mencapai fraktur dis ekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini
harus dikerjakan hati-hati karena dapat merusak bola mata .
. Peralatan traksi :
 Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
 Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka panjang.
2. Fraktur Immobilisasi
 Pembalutan (gips)
 Eksternal Fiksasi
 Internal Fiksasi
 Pemilihan Fraksi
3. Fraksi terbuka: Pembedahan debridement dan irigrasi
 Imunisasi tetanus
 Terapi antibiotic prophylactic
 Immobilisasi
4. Pemberian anti obat antiinflamasi.
5. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
6. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot

I. FOCUS PENGKAJIAN KEPERAWATAN


Pengkajian pada system musculoskeletal (Muttaqin, Arif. 2014) meliputi:
1. Sirkulasi
Gejala: riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer,
atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
2. Integritas ego
Gejala: perasaan cemas, takut, marah, apatis; factor-faktor stress multiple, misalnya
financial, hubungan, gaya hidup. Tanda: tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan
atau peka rangsang; stimulasi simpatis.
3. Makanan atau cairan

11
Gejala: insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ;
malnutrisi (termasuk obesitas); membrane mukosa yang kering (pembatasan
pemasukkan / periode puasa pra operasi).
4. Keamanan
Gejala: alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan; Defisiensi
immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan); Munculnya
kanker / terapi kanker terbaru; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi
anestesi; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat
mengubah koagulasi); Riwayat transfuse darah/reaksi transfuse. Tanda: menculnya
proses infeksi yang melelahkan; demam.
5. Persistem
B1 (Breathing): Napas pendek, B2 (Blood): Hipotensi, bradikardi, B3 (Brain): Pusing
saat melakukan perubahan posisi, nyeri tekanotot, hiperestesi tepat diatas daerah
trauma dan mengalami deformitas pada daerah trauma, B4 (Bleader): Inkontenensia
defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut dan peristaltic hilang, B5 (Bowel):
Mengalami distensi perut dan peristaltik usus hilang, B6 (Bone): Kelumpuhan otot
terjadi kelemahan selama syok spinal, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot dan
hilangnya reflek.

12
J. FOKUS INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA (NANDA) TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
1 Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, NIC: Manajemen nyeri (2380)
agen cedera fisik (00132) klien dapat menunjukan kontrol terhadap nyeri dan 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi
pengurangan nyeri, dengan kriteria hasil sebagai lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas, dan factor pencetus
berikut:
2. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk
NOC: Kontrol nyeri (1605) mengetahui pengalaman nyeri dan sampaikan
Skala Skala penerimanaan pasien terhadap nyeri
No Indikator 3. Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadapn
Kaji Target
kualitas hidup pasien (misalnya tidur, nafsu makan,
1 Mengenal kapan nyeri 5 pengertian, perasaan, hubungan, performa kerja dan
terjadi tanggung jawab peran
2 Menggunakan 5 4. Gali bersama pasien factor-faktor yang dapat
tindakan pengurangan menurunkan atau memperberatkan nyeri
nyeri tanpa analgesic 5. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi seperti
3 Melaporkan nyeri yang 5 relaksasi atau terapi music
terkontrol Kolaborasika dengan dokter untuk pemberian analgesik
Keterangan:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan
NOC: Tingkat nyeri (2102)
No Indikator Skala Skala
Kaji Target
1 Panjangnya episode 5
nyeri
2 Ekspresi wajah 5
meringis
3 Ketegangan otot 5

13
Keterangan:
1. Berat
2. Cukup
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada

2 Ketidakefektifan bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, NIC: Manajemen Jalan Nafas (3140)
nafas berhubungan dengan bersihan jalan nafas teratasi dengan kriteria hasil 1. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift atau jaw thrust,
benda asing dalam jalan nafas sebagai berikut: sebagaimana mestinya
(00031) NOC: Stastus Pernafasan (0415) 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Buang secret dengan memotivasikan pasien untuk
Skala melakukan batuk atau menyedot lender
No Indikator Skala Kaji
Target 4. Kelola nebulizer ultrasonik sebagaimana mestinya
1 Frekuensi 5 5. Posisikan untuk meringankan sesak nafas
pernafasan
2 Irama 5
pernafasan
3 Sianosis 5
4 Penggunaan 5
otot bantu nafas
5 Pernafasan 5
cuping hidung
Keterangan:
1. Deviasi berat dari kisaran normal
2. Deviasi cukup dari kisaran normal
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal

14
3 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, NIC: Manajemen Jalan Nafas (3140)
berhubungan dengan perubahan gangguan pertukaran gas teratasi dengan kriteria 1. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift atau jaw thrust,
membrane alveolar-kapiler hasil sebagai berikut: sebagaimana mestinya
(00030) NOC: Stastus Pernafasan (0415) 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Skala 3. Buang secret dengan memotivasikan pasien untuk
No Indikator Skala Kaji melakukan batuk atau menyedot lender
Target
4. Kelola nebulizer ultrasonik sebagaimana mestinya
1 Frekuensi 5
5. Posisikan untuk meringankan sesak nafas
pernafasan
2 Irama 5
NIC: Monitor Pernafasan (3350)
pernafasan
1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan
3 Sianosis 5
bernafas
4 Penggunaan 5
2. Catat pergerakan dada, catat ketidaksemitrisan,
otot bantu nafas
penggunaan otot bantu nafas, retraksi pada otot
5 Pernafasan 5
supraclaviculas dan intercostal
cuping hidung
3. Monitor pola nafas (misalnya: bradipneu, takipneu,
Keterangan: hiperventilasi, pernafasan kusmaul, pernafasan 1:1,
1. Deviasi berat dari kisaran normal apneustik, respirasi biot dan pola ataxic)
2. Deviasi cukup dari kisaran normal
4. Monitor kemampuan batuk efektif pasien
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal

4 Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, NIC: Pembidaian (0910)
berhubungan dengan factor pada klien dapat teratasi, dengan kriteria hasil 1. Monitor pergerakan di bagian distal area trauma
mekanik (00046) sebagai berikut: 2. Identifikasi bahan bidai yang tepat yaitu bahan kaku
NOC: Penyembuhan Luka Primer (1102) 3. Posisikan tangan atau pergelangan yang trauma sesuai
No Indikator Skala Kaji Skala fungsinya
Target 4. Pasang bidai pada bagian tubuh yang mengalami

15
1 Memperkirakan 1 trauma, topang area yang trauma dengan tangan
kondisi kulit
2 Memperkirakan 1 NIC: Perawatan Luka (3660)
kondisi tepi 1. Angkat balutan dan plester perekat
luka
2. Monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna,
3 Pembentukan 1
bekas luka ukuran dan bau
4 Tanda-Tanda 1 3. Oleskan salep yang sesuai dengan kulit
Vital normal 4. Pantau peningkatan suhu tubuh
atau bisa 5. Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
ditoleransi 6. Pertahankan teknik balutan steril ketika melakukan
Keterangan: perawatan luka dengan tepat
1. Tidak ada
7. Dokumentasikan lokasi luka, ukuran dan tampilan
2. Terbatas
3. Sedang
4. Besar
5. Sangat besar

5 Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, NIC: Perawatan tirah baring (0740)
berhubungan dengan gangguan klien dapat mengatasi hambatan mobilitas fisik, 1. Balikan pasien tidak dapat mobilisasi paling tidak
musculoskeletal (00085) dengan kriteria hasil sebagai berikut: setiap 2 jam, sesuai dengan jadwal yang spesifik
2. Bantu menjaga kebersihan (misalnya dengan
NOC: Ambulasi (0200)
menggunakan deodorant atau parfum)
No Indikator Skala Kaji Skala 3. Monitor komplikasi dari tirah baring (misalnya
Target kehilangan tonus oto, nyeri punggung, konstipasi,
1 Menopang 5 peningkatan stress, depresi perubahan siklus tidur,
berat badan infeksi saluran kemih dan kesulitan dalam berkmih,
2 Berjalan 5 serta pneumonia)
dengan
langkah yang
efektif NIC: Peningkatan latihan: latihan kekuatan (0201)
3 Berjalan 5 1. Sediakan informasi mengenai fungsi otot, latihan

16
dengan pelan fisiologi dan konsekuensi dari penyalahgunaannya
Keterangan: 2. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
1. Sangat terganggu terlibat dalam latihan otot progesif
2. Banyak terganggu 3. Demonstrasikan sikap tubuh yang baik dan
3. Cukup terganggu tingkatkan latihan dalam setiap kelompok otot
4. Sedikit terganggu 4. Instruksikan untuk menghindari latihan kekuatan
5. Tidak terganggu saat suhu ekstrim
5. Bantu untuk menaikan tingkat kenaikan kerja otot
6. Kolaborasikan dengan keluarga atau tenaga
kesehatan yang lain (misalnya terapis aktivitas,
pelatih fisiologis, terapis okupasional, terapis
rekreasional, terapis fisik) dalam merencanakan,
mengajarkan dan memonitor program latihan otot

6 Risiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, NIC: Perlindungan Infeksi (6550)
dengan kurang pengetahuan infeksi tiak terjadi dengan kriteria hasil : 1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan
untuk menghindari pemajanan NOC: Kontrol Risiko: Proses Infeksi (1924) local
patogen (00004) No Indikator Skala Skala 2. Pertahankan asepsis untuk pasien beresiko
Kaji Target 3. Periksa setiap kondisi sayatan bedah atau luka
1 Mengidentifikasi tanda 5 4. Instruksikan pasien untuk minum antibiotic yang
dan gejala infeksi diresepkan
2 Mencuci tangan 5
Keterangan:
1. Tidak pernah menunjukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Secara konsisten menunjukan

17
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 Vol 4. Jakarta: EGC
Dochterman, Bulecheck. 2016. Nursing Intervention Classification, 6th Edition. United States
of America: Mosby.
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Moorhead S, Johnson M, Maas M, Swanson, E. 2006. Nursing Outcomes Classification, 5th
Edition. United States of America: Mosby
Muttaqin, Arif. 2014. Buku Ajara Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika
NANDA International Inc. 2014. North American Nursing Diagnosis Association, Nursing
Diagnostises: Definitions & Classifications 2015-2017. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat, R, dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

18
PATWAYS

19
LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR ZYGOMATICUM

OLEH

NAMA : JONRIS SAMLOY

NPM : 18180000112

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PENDIDIKAN PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
JAKARTA
2019

20

Anda mungkin juga menyukai