Anda di halaman 1dari 127

R.

MARSUKI ISWANDI

PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN


KOTA PESISIR BERWAWASAN
LINGKUNGAN

Editor

MUHIDIN

Unhalu Press
Kendari, 2015
PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KOTA PESISIR
BERWAWASAN LINGKUNGAN

Penulis :
R. MARSUKI ISWANDI
Editor :
MUHIDIN

Desain Cover dan Tata Letak


La Mudi & Firmansyah Labir
Diterbitkan oleh Unhalu Press
Kampus Hijau Bumi Tridharma
Jalan H.E.A. Mokodompit, Kendari 93231
Email: unhalupress@uho.ac.id, press@uho.ac.id

Cetakan Pertama : Desember 2015

PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KOTA PESISIR


BERWAWASAN LINGKUNGAN

R. Marsuki Iswandi
xi + 121 hlm, 17.0 x 24.00 cm
ISBN : 978-602-8161-83-1

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau
hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaykum Wr. Wb.


Alhamdulillah, berkat rahmat dan taufik-Nya buku ini dapat
dirampungkan. Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki konsekuansi
memiliki banyak kota pesisir yang selama ini tidak hanya menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi dan perdagangan, namun juga pemukiman. Kota
pesisir sejak sebelum kemerdekaan Indonesia telah memainkan peranan
penting dalam peradaban nusantara. Sekarang ini, kota pesisir dihadapkan
pada berbagai permasalahan yang mengancam eksistensi dari kota warisan
peradaban tersebut. Ancaman serius antara lain naiknya permukaan air laut
akibat pemanasan global, degradasi lingkungan, serta potensi bencana
geologi seperti tsunami dan gempa bumi. Oleh karenanya, diperlukan upaya
yang sistematik dan adaptif untuk menghadapi berbagai ancaman ini
sehingga kota pesisir dapat terus tumbuh menjadi salah satu pusat
perekonomian.
Permasalahan tersebut, menjadikan tantangan bagi kita semua baik
sebagai perencana kota, developer, pemerintah daerah, maupun akademisi
untuk memahami guna mempertahankan eksistensi dari Kota Pesisir
tersebut. Buku ini disusun terdiri atas enam Bab, didasari atas keyakinan
pada praktek pembangunan selama ini yang cenderung bias dari eksistensi
kota pesisir. Oleh karena itu, melalui pemahaman dari buku yang sederhana
ini menjadi refleksi awal dalam mengintegrasikan pikiran unuk keberlanjutan
kota pesisir.
Bab I dan Bab II membahas tentang pengenalan serta dilematikan
Kota Pesisir. Selanjutnya Bab III dan Bab IV, dengan materi tentang
Pendekatan Kewilayahan dan Penataan Kota Pesisir diawali serta Bab V dan
Bab VI, memuat tentang Rencana Strategis Pembangunan Pesisir menuju
Kota Pesisr yang Berkelanjutan.
Sebagai cacatan, tidak menutup kemungkinan masih terdapat
kelemahan dan kekeliruan, semua itu merupakan tanggung jawab penulis.
Kritik dan saran sangat diharapkan untuk menjadi bahan penyempurnaan
penulisan selanjutnya. Semoga buku ini bermanfaat adanya.
Wassalamu’alaykum Wr. Wb
Kendari, Desember 2015
Penulis

R. Marsuki Iswandi

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir i


UCAPAN TERIMA KASIH
Buku ini tidak mungkin diselesaikan tanpa bantuan, dukungan dan
motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya penulis menyampaikan terima
kasih dan perhargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., sebagai Rektor Universitas Halu Oleo
(UHO) yang telah memberikan motivasi dan bantuan kepada penulis;
2. Prof. Dr. Gusti Ray Sadimantara, M.Agr. sebagai Dekan Fakultas
Pertanian UHO yang turut berperan dalam kelancaram proses
penyusunan buku;
3. Dr. Ir. Muhidin, M.Si, yang telah membantu editing sampai proses
penerbitan buku ini;
4. Teman-teman yang turut membantu dalam penulisan buku ini, yakni La
Ode Alwi, La Ode Ramalan, La Ode Kasno Arif dan Hadi Sudarmo;
5. Unhalu Press yang telah bersedia menerbitkan buku ini;
6. Rekan-rekan sejawat khususnya di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian,
UHO serta mahasiswa Program Pascasarjana UHO, khususnya pada
Prodi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (PPW) yang terus
menanyakan ‘kapan buku ini diterbitkan’.
7. Keluarga di rumah, isteri tercinta Rr. Chairunizah, SE., juga ananda R.
Akhmad Difa’ Azizi M., R. Muh. Raya Fahreza M., dan R. Muh. Dehyah
Azmer M. atas pengertian kalian selama penyusunan buku ini.

R. Marsuki Iswandi

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir ii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... i


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................... vi

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1


1.1. Mengenal Kota Pesisir .............................................................................................. 1
1.2. Pengertian Kota Pesisir ............................................................................................ 2
1.3. Komponen Kota Pesisir ............................................................................................ 6
1.4. Karakteristik Masyarakat Kota Pesisir ..................................................................... 9
1.5. Tipologi Kota Pesisir ............................................................................................... 13

BAB II. DILEMATIKA KOTA PESISIR ...................................................................................... 16


2.1. Perkembangan Kota Pesisir di Indonesia ................................................................ 16
2.2. Tantangan dan Hambatan Kota Pesisir ................................................................... 18
2.3. Tekanan dan Dampak terhadap Wilayah Kota Pesisir .............................................. 22
2.4. Pertimbangan dalam Menata Perkembangan Kota Pesisir ...................................... 26

BAB III. PENDEKATAN KEWILAYAHAN DALAM PERENCANAAN KOTA PESISIR ............... 34


3.1. Konsep Pembangunan Wilayah Kota Pesisir............................................................ 34
3.2. Pentingnya Pembangunan Wilayah Kota Pesisir ...................................................... 38
3.3. Tata Ruang dan Lingkungan Hidup ......................................................................... 37
3.4. Perencanaan Wilayah dan Daya Saing Kota Pesisir ................................................ 40

BAB IV. PENATAAN KOTA PESISIR SEBAGAI GREEN CITIES ............................................. 43


4.1. Defenisi Green City ................................................................................................. 43
4.2. Atribut Pembangunan Green City ............................................................................ 45
4.3. Kelebihan, Kekurangan dan Hambatan Pembangunan Green City di Kota Pesisir ... 55
4.4. Antisipasi Perubahan Iklim dengan Pengembangan Green City ............................... 59

BAB V. RENCANA STRATEGIS DALAM PEMBANGUNAN KOTA PESISIR ............................ 63


5.1. Sekilas Cikal Bakal Rencana Strategis .................................................................... 63
5.2. Pengertian Rencana Strategis ................................................................................ 65
5.3. Komponen dan Prinsip Rencana Strategis dalam Pembangunan Kota Pesisir ......... 70
5.4. Langkah-langkah dan Rumusan Rencana Strategis ................................................ 72
5.5. Rencana Strategis Dalam Pembangunan Kota Pesisir ............................................. 76
5.6. Isu-isu Strategis dalam Pembangunan Kota Pesisir ................................................. 78

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir iii


5.7. Sasaran, Indikator dan Strategi .............................................................................. 83

BAB VI. MENUJU PERENCANAAN KOTA PESISIR YANG BERKELANJUTAN ...................... 86


6.1. Penerapan Integrated Coastal Management dalam Penataan Kota Pesisir .............. 90
6.2. Pengelolaan Pesisir yang Terinntegrasi ................................................................... 88
6.3. Penataan Ruang dan pengembangan Infrastruktur .................................................. 91
6.4. Penataan dalam Urbanisasi Kota Pesisir.................................................................. 93
6.5. Penataan dalam Kota Pesisir yang Nyaman ............................................................ 97

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 101


GLOSARIUM ............................................................................................................................ 107

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir iv


DAFTAR TABEL

Tabel 6.1. Indikator Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Kota Pesisir ...................................... 87


Tabel 6.2. Beberapa perbedaan ciri penduduk perkotaan dan pedesaan .................................... 94

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir v


DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Ruang Terbuka Hijau Kota Kendari ....................................................................... 46


Gambar 4.2. Ancaman Sampah di Wilayah Pesisir .................................................................... 47
Gambar 4.3. Green Transportation di Kawasan Pemukiman ..................................................... 49
Gambar 4.4. Contoh Green Transportation di Perkotaan ........................................................... 50
Gambar 4.5. Peluang Pengembangan Listrik di Wilayah Pesisir ............................................... 51
Gambar 4.6. Bangunan dengan Konsep Green Community di Universitas Negeri Sebelas
Maret ...................................................................................................................... 54
Gambar 6.2. Siklus Kebijakan Pengelolaan Pesisir .................................................................... 89

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir vi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Mengenal Kota Pesisir

Indonesia merupakan negara kepulauan atau negara maritim terbesar


di dunia. Sebagai negara kepulauan, maka sebagian besar penduduknya
bermukim di wilayah pesisir dengan memanfaatkan segala potensi yang ada.
Kota pesisir memiliki banyak keunggulan dari aspek potensi sumberdaya
alam. Di wilayah pesisir terutama daerah kabupaten, disamping memiliki
potensi perikanan dan kelautan, juga masih bisa dikembangkan komoditas
pertanian tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura. Adanya dua aspek
potensi ini menyebabkan masyarakat di wilayah pesisir memiliki sumber
pencaharian ganda yakni sebagai nelayan dan petani. Akan tetapi, di wilayah
pesisir yang telah terbentuk sebagai kota berkembang, maka aktivitas yang
sangat menonjol adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan
serta jasa dan perdagangan.
Kota pesisir memiliki tingkat kemajuan yang lebih cepat dibandingkan
wilayah-wilayah daratan. Hal ini disebabkan oleh lancarnya arus
perdagangan antar pulau dimana wilayah pesisir menjadi simpul-simpul
kegiatan perdagangan tersebut. Dalam perkembangannya, kota pesisir lebih
cenderung melakukan pembangunan infrastruktur wilayah berupa pelabuhan
dan jalan dan sarana prasarana lainnya guna mendukung percepatan
pembangunan wilayahnya. Disamping itu, dibangun pula pelabuhan-
pelabuhan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) sehingga para nelayan tidak
kesulitan untuk memasarkan ikan hasil tangkapannya.
Wilayah pesisir memiliki potensi kepariwisataan yang cukup beragam,
seperti wisata pantai, diving, snorkling, selancar, wisata pancing, dan
sebagainya. Potensi-potensi ini telah banyak dijadikan oleh kota-kota pesisir
sebagai sektor unggulan. Di Indonesia, salah satu kota pesisir yang gencar

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 1


mengembangkan pariwisata lautnya adalah Bali. Setidaknya terdapat 10
pantai yakni pantai Nusa Dua Bali, Pantai Jimbaran, Pantai Kuta, Pantai
Pandawa, Pantai Sanur, Pantai Karma Kandara, Pantai Tanah Lot, Pantai
Virgin Karangasem, Pantai Dreamland, dan Pantai Menjangan. Daftar pantai-
pantai ini sangat ramai dikunjungi para wisatawan baik wisatawan lokal
maupun mancanegara.
Potensi sumberdaya alam yang terdapat di kota-kota pesisir dapat
memberi manfaat bagi pembangunan kota pesisir manakala kota dan potensi
tersebut dapat dikelola dengan baik. Kota-kota pesisir yang terus mengalami
perkembangan dalam aspek ekonomi dan juga kepadatan penduduk akan
mendesak pembangunan kota sehingga dapat terpenuhi tuntutan kebutuhan
masyarakatnya. Untuk itu, kota pesisir ditata berdasarkan fungsi-fungsi
tertentu sehingga dapat ditentukan berbagai kegiatan pada ruang yang tepat,
sesuai dengan kapasitas dan kesesuaian lahan, sehingga tidak menimbulkan
kerusakan lingkungan di kota pesisir.

1.2 Pengertian Kota Pesisir

Dalam mendefinisikan kota pesisir tentunya perlu pemahaman tentang


kedua suku kata antara kota dan pesisir. Kedua suku kata tersebut, memiliki
karakter dan tipologi tersendiri. Oleh karenanya dalam memudahkan
pemahaman tentang kota pesisir, terlebih dahulu perlu memahami masing-
masing arti kedua suku kata tersebut.
Mengenai definisi kota, terdapat perbedaan cara pandang antara
orang awam dan para ahli. Orang awam dapat mendefinisikan kota sebagai
wilayah padat dengan rumah, padat dengan angkutan, padat dengan penjual
dan padat dengan pembeli, bahkan dengan tingkat keramaian yang cukup
tinggi serta padat dengan sarana dan prasarana kota lainnya. Tetapi para ahli
tidak berpandangan demikian, para ahli mendefiniskan kota berdasarkan
karakter wilayah kota. Seperti halnya ada yang disebut kota sebagai pusat

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 2


kerajaan dan kota sebagai pusat perekonomian, bahkan kota sebagai pusat
pemerintahan. Kota-kota tersebut ada yang terdapat di pantai atau pesisir
dan ada juga yang terletak di pedalaman. Setelah terbentuk pemahaman kota
yang didasarkan karakter dan tipologinya tersebut, maka kota dapat
didefnisikan.
Kota adalah kawasan yang dibangun pada sebuah wilayah tertentu
dengan berbagai fasilitas publik yang saling berdekatan. Hal ini
menggambarkan bahwa ciri sebuah kota yakni dengan konsentrasi bangunan
sarana dan prasarana publik lebih besar atau lebih padat dibandingkan
dengan wilayah lainnya yakni daerah perdesaan. Unsur yang harus dibangun
pertama di kota adalah bangunan,setelah air dan makanan tersedia.
Bangunan yang digunakan berbagai jenis sesuai dengan kegiatan manusia
yang menghuninya. Ada beberapa kategori penggunaan bangunan di
perkotaan yaitu meliputi permukiman, perdagangan, industri, pemerintahan,
dan transportasi.
Bila dipandang dari sisi sosial, kota menjelaskan sebuah komunitas
yang tercipta pertama kali untuk meningkatkan produktifitas melalui
konsentrasi dan spekulasi tenaga kerja, kebudayaan dan kegiatan rekreasi.
Hal ini menggambarkan, kota adalah strata dari komunitas yang heterogen
dan dapat dikelompokkan berdasarkan intelektualitas, kebudayaan, keahlian,
kreatifitas dan kelompok-kelompok yang membutuhkan ruang untuk
berekreasi. Sisi spasial ini dianggap perlu oleh masyarakat perkotaan yang
menjadi kebutuhan guna menghilangkan kejenuhan sehabis beraktifitas.
Dipandang dari sisi ekonomi, fungsi kota adalah sebagai tempat
mencari nafkah yang cukup melalui produksi barang dan jasa untuk
mendukung kehidupan penduduknya dan untuk kelangsungan kota itu
sendiri. Disini dapat diartikan adanya aktifitas perkotaan khususnya aktifitas
ekonomi mengindikasikan dinamisasi masyarakat dalam aktifitas sehari-hari.
Ekonomi perkotaan berkaitan erat dengan perkembangan kota, dimana

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 3


ekonomi perkotaan yang sehat mampu menyediakan berbagai kebutuhan
untuk keperluan pertumbuhan perkotaan, terutama untuk menerima
perkembangan baru yang disebabkan oleh kemajuan dibidang teknologi dan
perubahan keadaan (Hendro, et al, 2001).
Selanjutnya, sebelum menjawab atas pertanyaan : apa itu Kota
Pesisir?, diperlukan pemikiran yang mendalam. Oleh karena itu, untuk
mendapat sedikit pemahaman tentang Kota Pesisir, terlebih dahulu
menjawab atas pertanyaan : Apa itu wilayah pesisir?. Terdapat beberapa
definisi wilayah pesisir. Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara
darat dan lautan, dimana ke arah laut mencakup perairan laut sejauh 12 mil
dari garis pantai pada saat surut terendah, dan ke arah darat meliputi seluruh
atau sebagian wilayah desa yang berbatasan langsung dengan garis pantai.
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke
arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih
dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air asin. Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan
aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian
dan pencemaran (Brahtz, 1972; Soegiarto, 1976; Beatly, 1994, dalam
Direktoral Jendral Pesisir dan Pulau Kecil, 2003). Sementara Dahuri et al.
(1996) mengartikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara
daratan dan lautan, dimana batas ke arah darat adalah jarak secara arbiter
dari rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi
wilayah propinsi atau state di suatu negara.
Berdasarkan berbagai definisi wilayah pesisir, dapat disimpulkan
bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan
perairan laut. Secara fisiologi didefenisikan sebagai wilayah antara garis
pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut,
dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 4


dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang
materinya berupa kerikil.Wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya yang
memadai termasuk ketersediaan lahan dan dikembangkan menjadi daerah
perkotaan, kawasan pesisir memiliki potensi dalam membentuk wajah suatu
kota dimana keberadaan kawasan pesisir pada suatu daerah perkotaan
ternyata menambah suasana tersendiri bagi kota tersebut. Setelah
memahami sekelumit tentang pengertian kota dan pesisir, maka dapat
menjawab pertanyaan berikutnya, yakni apa itu Kota Pesisir ? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, maka dengan mudah untuk menjawabnya,
karena dengan hanya memahami karakter dan tipologi dimana letak kota itu
sendiri.
Rahmat (2010) mendefinisikan Kota Pesisir (Waterfront City) sebagai
kawasan perkotaan yang berada di tepi air (laut, danau, atau sungai), yang
memiliki karakteristik open access dan juga multi fungsi, namun sangat
rentan terhadap kerusakan serta perusakan. Keberadaannya di tepi air
tersebut membuat kota pesisir memiliki pengaruh langsung dan tidak
langsung dari darat dan laut. Dengan demikian, keseimbangan kota pesisir
akan sangat dipengaruhi oleh proses lingkungan pesisirnya sendiri.
Kota pesisir (Waterfront City) dapat dibedakan menjadi dua macam
aspek, yaitu berdasarkan pesisirnya dan berdasarkan populasinya (Rahmat,
2010). Berdasarkan pesisirnya, kota pesisir dibagi menjadi tiga jenis, yaitu
kota pesisir laut, kota pesisir sungai, dan kota pesisir danau. Suatu kota
berbatasan langsung dengan laut, sungai ataupun danau secara bersamaan,
maka perairan yang memberikan fungsi yang dominan bagi kota pesisir
tersebut, adalah perairan yang menjadi identitas dari kota pesisir tersebut.
Sedangkan berdasarkan populasinya suatu kota pesisir dapat dibedakan
kepada Kota Pesisir Mikro, Kota Pesisir Kecil, Kota Pesisir Sedang, dan Kota
Pesisir Besar. Kota Pesisir Laut akan memiliki peluang dan ancaman yang

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 5


berbeda dengan Kota Pesisir Sungai. Sedangkan Kota Pesisir Mikro akan
memiliki potensi dan permasalahan yang berbeda dengan Kota Pesisir Besar.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki lebih dari 150 kota
pesisir yang berada di sepanjang garis pantai dan merupakan negara dengan
garis pantai terpanjang ke dua di dunia. Intensitas kegiatan dan potensi kota-
kota pesisir yang tersebar diseluruh penjuru nusantara, memerlukan
perhatian yang lebih, sehingga kota-kota pesisir yang indah dan mempesona
tidak tergerus oleh abrasi, terintrusi oleh air laut dan tergenang banjir rob.
Dengan demikian keberadaan kota pada wilayah pesisir yang disebut sebagai
waterfront city mempunyai posisi strategis dan memiliki keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif sehingga berpotensi menjadi
penggerak ekonomi baik regional maupun nasional. Bahkan secara historis
menunjukkan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat
kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang
dimilikinya.

1.3 Komponen Kota Pesisir

Breen dan Rigby (1994) menjelaskan bahwa pengembangan kawasan


kota pesisir dikatakan tergolong sukses apabila mempertimbangan berbagai
macam komponen-komponen penting untuk mengatasi isu-isu umum kota
dan penduduknya. Komponen-komponen tersebut dijelaskan sebagai
berikut :

1. Lokasi dan Waktu


Lokasi kawasan waterfront city yang terletak berdekatan dengan pusat
bisnis perkotaan menjadi poin tersendiri dalam pengembangan kawasan,
begitu juga dengan waktu pelaksanaan pengembangan dapat
mempengaruhi percepatan ekonomi dimana berhubungan dengan
investasi perekonomian yang tersedia di kawasan waterfront city. Untuk
menarik investor dan developer pemerintah maupun swasta yang

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 6


menangani kawasan waterfront city seyogyanya memperhitungkan waktu
pembangunan untuk mempercepat perputaran dalam sektor ekonomi.

2. Aksesibilitas masyarakat
Kebebasan masyarakat untuk memiliki akses ke dalam kawasan
waterfront city merupakan aspek yang sangat penting dalam
pengembangan kawasan kota pesisir. Kebebasan ini merupakan hak bagi
setiap orang dan menjadi tujuan utama pada setiap pembangunan
waterfront city dimana termasuk didalamnya akses fisik dan sosial. Ini
berarti bahwa ruang publik secara psikologi haruslah menggambarkan
penyambutan kepada masyarakat.

3. Kewajiban dan tanggungjawab


Kewajiban disini adalah menyangkut keselamatan bagi pengunjung
kawasan waterfront city dengan semua fasilitas yang ada didalamnya
(taman, tempat bermain, ruang publik, toilet umum, dll). Terkadang hal ini
sering diabaikan oleh pihak pengelola atau pihak yang bertanggung jawab
sehingga membahayakan pengunjung, misalnya tidak disediakan
penghalang/pagar yang berbatasan dengan tepian air di dalam kawasan
waterfront city.

4. Isu-isu Lingkungan
Menjaga keseimbangan lingkungan dengan tetap konsisten dalam
mematuhi ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam pembangunan
baik didalam kawasan maupun dekat dengan kawasan waterfront city.
Industri yang berdekatan dengan kawasan yang menghasilkan zat-zat
kimia berbahaya harus dipindahkan untuk mencegah dampak negatif
yang ditimbulkan teristimewa konsekuensi yang merusak ekosistem
waterfront city di masa yang akan datang. Isu-isu lain seperti banjir, angin
topan dan tingginya air pasang harus diperhitungkan melalui solusi desain
yang baik.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 7


5. Fasilitas kota pesisir
Perkembangan teknologi mempengaruhi pengembangan waterfront city
dengan meningkatnya kebutuhan terhadap berbagai fasilitas seperti
pelabuhan, bangunan-bangunan di area waterfront city, IPAL, terminal air,
gudang, dll. Kontrol dan peraturan terhadap fasilitas-fasiltas tersebut
perlu dipertimbangan untuk menghindari kesalahan dalam pengelolaan
lahan berdasarkan hak milik lahan di kawasan waterfront city.

6. Karakter kawasan kota pesisir


Kawasan waterfront city harus memiliki karakter agar menarik untuk
dikunjungi. Mix use (multi guna) di kawasan waterfront city sekarang ini
banyak dilakukan teristimewa dalam pengembangan waterfront city. Hal
ini tidak boleh menghilangkan karakter sesungguhnya yang ada pada
kawasan waterfront city yang nantinya dapat menjadi tidak menarik lagi
atau bahkan menjadi berkurang fasilitasnya bagi masyarakat.

7. Perancangan/desain kawasan kota pesisir


Peran dari arsitek, perancang kota dan developer terkadang tidak
mengobservasi kebutuhan dari area waterfront city itu sendiri karena
terpaku pada standar bangunan yang sudah ditetapkan. Desain
bangunan tidak lagi memperhitungkan view secara langsung ke air (laut,
pantai, danau atau sungai). Penggunaan bangunan bersejarah yang
ditinggalkan perlu juga diperhitungkan apabila masih bisa dipertahankan
dengan melihat hubungan keterkaitan karakter kawasan.

8. Edukasi/interpretasi
Area publik di kawasan waterfront city memberikan kesempatan untuk
mengedukasi masyarakat mengenai sosial, maritim, budaya dan
lingkungan. Waterfront city dengan ekologi, flora dan fauna, menjadi poin
tersendiri sebagai edukasi lingkungan. Penyediaan fasilitas atau
bangunan yang menunjang edukasi lingkungan seperti museum seni,

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 8


sains, atau maritim, aquarium, outdoor auditorium atau ampiteater,
fasilitas konser, dll yang dapat dinikmati pengunjung dari segala usia, ras
maupun suku.

9. Ruang Publik
Ruang publik wajib disediakan di kawasan waterfront city karena
pentingnya fungsi ruang publik bagi masyarakat. Mall, rumah toko, taman,
tempat bermain anak, dan fasilitas-fasilitas lain yang berfungsi sebagai
ruang publik merupakan hal yang vital disediakan sebagai aspek yang
dapat meningkatkan kualitas kawasan dan mempengaruhi kualitas hidup
masyarakat.
Kota terbentuk karena adanya keterkaitan komponen-komponen lain,
yaitu tempat tinggal dan tempat kerja. Antara keduanya terdapat jalan yang
akhirnya membentuk struktur kota. Kota terdiri atas persilangan-persilangan.
Makin kepusat, pencapaian makin mudah, nilainya makin tinggi, penggunaan
lahan makin tinggi nilainya. Hal tersebut mempunyai dampak visual, yaitu
makin tinggi skyline city (fungsi-fungsi ekonomi). Unsur-unsur fisik pembentuk
suatu kota terdiri atas peruntukan lahan, tata bangunan, sirkulasi dan parkir,
ruang terbuka, jalur pelestarian, aktivitas pendukung, tata informasi (signing
system), preservasi dan konservasi

1.4 Karakteristik Masyarakat Kota Pesisir

Pada umumnya masyarakat pesisir sudah menjadi bagian dari


masyarakat yang pluraristikdan masih tetap memiliki jiwa kebersamaan.
Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan
karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan, karena struktur
masyarakat pesisir sangat plural, sehingga mampu membentuk sistem dan
nilai budaya yang merupakan akulturasi budaya dari masing-masing
komponen yang membentuk struktur masyarakatnya.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 9


Masyarakat pesisir adalah sekelompok warga yang tinggal di wilayah
pesisir yang hidup bersama dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari
sumberdaya di wilayah pesisir. Masyarakat yang hidup di kota-kota atau
permukiman pesisir memiliki karakteristik secara sosial ekonomis sangat
terkait dengan sumber perekonomian dari wilayah laut (Prianto, 2005).
Demikian pula jenis mata pencaharian yang memanfaatkan sumber daya
alam atau jasa-jasa lingkungan yang ada di wilayah pesisir seperti nelayan,
penjual ikan keliling, pekerja industri maritim skala kecil dan menengah.
Masyarakat pesisir yang di dominasi oleh usaha perikanan pada umumnya
masih berada pada garis kemiskinan, mereka tidak mempunyai pilihan mata
pencaharian, memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tidak mengetahui dan
menyadari kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (Lewaherilla, 2002).
Selanjutnya dari status legalitas lahan, karakteristik beberapa
kawasan permukiman di wilayah pesisir umumnya tidak memiliki status
hukum (legalitas), terutama area yang direklamasi secara swadaya oleh
masyarakat (Suprijanto, 2006).Lingkunganalam sekitar akan membentuk sifat
dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi
interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap
serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Dikatakannya pula
perubahan lingkungan dapat merubah konsep keluarga. Nilai-nilai sosial yang
berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat
memacu perubahan sosial (Usman, 2003).
Masyarakat kota pesisir cenderung agresif, seperti dikemukakan oleh
Suharti (2000) karena kondisi lingkungan pesisir yang panas dan terbuka,
keluarga nelayan mudah diprovokasi, dan salah satu kebiasaan yang jamak
di kalangan nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan
mendapatkan uang menjadikan hidup mereka lebih konsumtif. Purba (2002)
menyatakan bahwa berbagai persoalan sosial dalam pengelolaan lingkungan
sosial pada masyarakat kota pesisir antara lain: berkembangnya konflik atau

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 10


friksi sosial, ketidakmerataan akses sosial ekonomi, meningkatnya jumlah
pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya kesenjangan
sosial ekonomi, kesenjangan akses pengelolaan sumberdaya, meningkatnya
gaya hidup (konsumtif), kurangnya perlindungan pada hak-hak masyarakat
lokal/tradisional dan modal sosial, perubahan nilai, memudarnya masyarakat
adat, lemahnya kontrol sosial, perubahan dinamika penduduk, masalah
kesehatan dan kerusakan lingkungan.
Masyarakat pesisir yang dimaksudkan dalam uraian ini adalah mereka
yang hidup dan menetap di kawasan pesisir dan laut. Secara khusus
masyarakat pesisir yang dimaksudkan adalah para nelayan tradisional yang
oleh karena ketidakberdayaannya dalam segala aspek, baik materi,
pengetahuan, maupun teknologi, menjadikan mereka miskin dan tertinggal
(Suhartono, 2007). Kota-kota pesisir di Indonesia memiliki keragaman yang
berbeda menghasilkanpola interaksi yang berbeda-beda antara manusia
dengan alam sehingga pada akhirnya memunculkan karakteristik masyarakat
yang beragam pula. Keragaman pola interaksi tersebut melahirkan berbagai
bentuk interaksi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang beragam pula antar
daerah. Dalam perkembangannya, setiap kota pesisir akan menghadapi isu,
masalah, maupun kebutuhan yang berbeda-beda dalam memenuhi tujuan
pembangunannya. Dalam mewujudkan ruang kota pesisir yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan di seluruh diperlukan suatu pendekatan
pembangunan yang peka terhadap keragaman karakteristik tersebut.
Dari 94 kota otonom di Indonesia, 47 di antaranya memiliki
karakteristik geografis berupa kawasan pesisir. Dominasi jumlah kota pesisir
di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat wajar mengingat morfologi
NKRI yang berupa kepulauan dengan sekitar 17.480 pulau dan dengan
95.181 Km bentang garis pantai dari seluruh pulau tersebut. Keadaan ini
tentunya perlu mempertimbangkan dinamika interaksi kegiatan maupun
masyarakat dalam kota tersebut.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 11


Dinamika interaksi kegiatan dapat didekati dengan memahami proses
pembentukan kota pesisir tersebut. Proses pembentukan kota-kota pesisir di
Indonesia pada umumnya terjadi sejak awal perkembangan kerajaan
tradisional di nusantara. Kegiatan utama berbagai kerajaan tersebut antara
lain adalah perdagangan, jasa, dan pusat pemerintahan (militer). Beberapa
kerajaan yang berkembang di kawasan pesisir antara lain adalah Kerajaan
Salakanagara di Teluk Lada Banten (150 M), Kerajaan Tarumanagara
dengan pelabuhan utama di Sunda Kelapa Jakarta (400 M), Kerajaan
Sriwijaya dengan pelabuhan utama di Ligor Selat Malaka (700M), Kesultanan
Tidore (1200 M), Kesultanan Ternate (1300 M), Samudera Pasai (1300 M),
Aceh Darussalam (1600 M) (Tjandrasasmita, 2000).
Keterikatan akan budaya masyarakat Indonesia yang dekat dengan
kawasan pesisir dan bukan semata-mata dalam kegiatan primer berupa
kegiatan pengumpulan hasil laut, namun juga mencakup kegiatan tersier
berupa kegiatan perdagangan dan jasa seperti pelayanan kepelabuhanan,
pusat transaksi ekonomi lintas wilayah bahkan lintas negara, serta sebagai
pusat pemerintahan negara. Berdasar kenyataan tersebut dapat disimpulkan
bahwa sejak dulu kawasan pesisir merupakan beranda dari kegiatan
masyarakat di Indonesia yang umumnya menjadi pusat aglomerasi ekonomi
kawasan sekitarnya (hinterland) dalam bentuk pelabuhan sebagai pasar atau
lokasi transaksi ekonomi
Sebagai kota yang berada di tepi pantai, kota pesisir memiliki
karakteristik unik yang berbeda dengan kota-kota yang berbasis pada wilayah
daratan. Sumberdaya alam di waterfront city khususnya yang berada di
wilayah pesisir dan lautnya bersifat dinamis serta sifat kepemilikan laut yang
merupakan aset umum (common property). Hal-hal inilah yang menyebabkan
kota pesisir ini dimanfaatkan untuk beragam aktivitas yang kemudian
menciptakan fungsi yang beraneka ragam.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 12


1.5 Tipologi Kota Pesisir

Tipologi kota pesisir menurut Muluk (1995) dapat diklasifikasikan


berdasarkan mata pencaharian utamanya atau berdasarkan sifat mereka
bermukim. Dengan kombinasi kedua kriteria itu, masyarakat kota pesisir
dapat dibagi ke dalam masyarakat nelayan, masyarakat petani dan nelayan,
masyarakat petani, masyarakat pengumpul atau penjarah (collector or
forager), masyarakat perkotaan dan perindustrian, dan masyarakat tidak
menetap/sementara atau pengembara (migratory).
Keinginan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungannya dan
menguasai lingkungan bagi kepentingan hidupnya adalah merupakan faktor
utama yang menimbulkan perilakunya terhadap lingkungan. Dalam konteks
yang lebih spesifik keinginan tersebut mendorong untuk memilih mata
pencaharian yang sesuai dengan lingkungan dan berbuat sesuatu dengan
berbagai cara yang dapat ia lakukan (Rapoport, 1990). Kemiskinan masih
menjadi ciri khas masyarakat di kawasan kota pesisir, hal ini disebabkan
kondisi sosial ekonomi mereka yang selalu lemah dalam posisi tawar.
Kurangnya pengetahuan dan rendahnya tingkat pendidikan formal
merupakan penyebab utama lemahnya kemampuan manajeman usaha
berkaitan dengan wilayah kota pesisir.
Komunitas dominan kehidupan masyarakat kota pesisir selain
sebagai pedagang asongan, pekerja industri maritim skala kecil menengah,
petani juga terdapat komunitas masyarakat nelayan. Menurut Yudohusodo
(1991), pola kehidupan para nelayan tergantung pada usaha laut yang
mengandung ikan. Sehari-hari sebagian besar waktunya digunakan untuk
melaut mencari ikan sehingga waktu berkumpul untuk keluarga dan untuk
kegiatan lainnya di rumah sangat terbatas.
Karakteristik nelayan dengan petani sangatlah berbeda sehingga
memiliki kekhasan tersendiri. Nelayan membutuhkan kemampuan fisik yang
lebih besar dibandingkan dengan petani karena areal tangkapan yang sangat

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 13


tergantung dengan keberadaan ikan sehingga nelayan melakukan aktivitas
berhari-hari dilautan yang memberikan dampak pada modal yang dibutuhkan
cukup besar seperti bahan bakar, makanan dan umpan. Jika nelayan hanya
mempunyai sampan kecil dan jaring seadanya maka yang diperoleh hanya
sedikit, sekedar untuk di konsumsi saja. Selain itu, konflik antar nelayan pun
sering terjadi baik nelayan besar dengan nelayan kecil, nelayan besar dengan
nelayan besar dan nelayan kecil dengan nelayan kecil. Hal ini pada umumnya
diakibatkan oleh perebutan areal tangkapan.
Berdasarkan tipologi kota pesisir (waterfront city) yakni berada di tepi
perairan (laut, danau, atau sungai). Kawasan tersebut umumnya merupakan
area pelabuhan, perdagangan, permukiman, atau pariwisata. Disisi lain
kawasan kota pesisir memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi,
permukiman, industri, atau pelabuhan yang berimplikasi pada dominasi
pemandangan yang berorientasi ke arah perairan. Dengan melihat wilayah
pesisir yang berfungsi sebagai kota, maka kepastian terjadinya multi
konsekuensi, seperti: (a) mixed-used waterfront city yang di dalamnya
terdapat perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan sarana
rekreasi; (b) recreational waterfront city yang menyediakan sarana rekreasi,
seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas kapal
pesiar; (c) residential waterfront city yang berisi hunian seperti perumahan,
apartemen, dan resort; (d) working waterfront city yang dilengkapi tempat
penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsi-
fungsi pelabuhan.
Dengan berbagai konsekuensi tersebut, mayarakat kota pesisir yang
mempunyai keterbatasan kapasitas pasti akan tidak berdaya. Guna
peningkatan kapasitas masyarakat kota pesisir khusunya yang bergelut
dengan orientasi perikanan, maka upaya pembangunan kota pesisir yang
berorientasi kemakmuran, yakni dengan cara: (i) konservasi : penataan
waterfront city lama yang sampai saat ini masih dapat dinikmati; (ii)

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 14


pembangunan kembali (redevelopment): upaya menghidupkan kembali
fungsi-fungsi waterfront city lama dengan mengubah atau membangun
kembali fasilitas yang ada; (iii) pengembangan (development), yakni
menciptakan waterfront city baru yang memenuhi kebutuhan kota dengan
cara mereklamasi pantai.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 15


BAB II
DILEMATIKA KOTA PESISIR

2.1 Perkembangan Kota Pesisir di Indonesia

Perkembangan kota pesisir terus mengalami pertumbuhan


sebagaimana kota-kota lainnya. Kota pesisir tumbuh secara signifikan dan
berakar dari faktor geografis dan sejarah. Khusus perkembangan kota pesisir
di tanah air dominan berawal dari pelabuhan dan kawasan pesisir yang
menjadi pusat kegiatan perdagangan dan pemerintahan kota. Kota pesisir
telah menjadi bagian dari rute dan pintu gerbang perdagangan baik regional,
nasional maupun internasional, pertukaran budaya bangsa, dan lambang
kemakmuran bangsa serta kesejahteraan rakyat. Dengan demikian kota
pesisir tersebut menjadi lokomotif ekonomi yang berperan penting dalam
pembangunan sosial-budaya yang penting dalam perkembangan budaya
nusantara.
Indonesia sebagai negara bekas jajahan, maka perkembangan kota
pesisir tidak terlepas dari pengaruh kolonial Belanda yang belangsung
selama kurang lebih 3,5 abad. Kolonial belanda selama berkuasa di
Indonesia banyak melakukan perecanaan ataupun penataan wilayah
meskipun hal tersebut dilakukan atas dasar perluasan kekuasaan dengan
memanfaatkan masyarakat Indonesia sebagai pekerjanya. Hingga saat ini,
masih banyak kita jumpai peninggalan-peninggalan kolonial Belanda yang
tersebar pada sejumlah wilayah pesisir di Indonesia seperti infrastruktur jalan
dan pelabuhan yang memiliki andil cukup besar dalam pembentukan
perkotaan pesisir di Indonesia.
Tipe kota pesisir selalu berorientasi pada perdagangan yang lebih
terbuka dan selalu enjadi simpul perdagangan antara kota dagang dan kota-
kota lainnya (Evers dan Korff, 2000). Hal ini terlihat dari sisi sejarah ketika

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 16


penjelajahan samudera oleh Bangsa Eropa semakin rutin dilakukan, maka
wilayah-wilayah pesisir menjadi sasaran utama untuk penguasaan ekonomi
global. Kondisi ini menyebabkan semakin berkurangnya pengaruh kekuasaan
di wilayah pedalaman yang semakin terputus interaksi ekonomi maupun
dukungan atas pajak dan pengaruh politik. Perpindahan penduduk ke pesisir
sama sekali tidak diantisipasi sebelumnya, menyebabkan semakin kuatnya
wilayah pesisir dalam aspek kependudukan dan perlahan-lahan menjadi
simpul-simpul perdagangan antar wilayah.
Perkembangan wilayah pesisir semakin menguat seiring dengan
rutinnya aktifitas perdagangan dari berbagai bangsa. Interaksi perdagangan
tersebut turut menciptakan struktur penduduk baru pada wilayah pesisir.
Aktifitas perdangan yang berjalan secara kontinyu mempengaruhi laju
perkembangan kota pada wilayah pesisir. Perkembangan wilayah dan
struktur penduduk menuntut dibangunnya fasilitas-fasilitas yang menjadi
kebutuhan utama untuk mendukung aktifitas masyarakat. Beberapa elemen
penting seperti pelabuhan, infrastruktur jalan, bangunan peribadatan, dan
pasar sebagai sarana vital bagi perekonomian masyarakat kemudian
dibangun, meskipun pada masa itu belum dilakukan dengan perencanaan
yang matang.
Wilayah pesisir sebagai pusat-pusat perdagangan utama, kemudian
dimasuki oleh penjajah kolonial. Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah
kolonial masa itu adalah pengaturan ruang kota yang membagi lahan-lahan di
dalam kota. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kepentingan
dalam menguasai perekonomian dan memperluas wilayah kekuasaan.
Lahirnya kota-kota pesisir di Indonesia pada umumnya terjadi sejak
awal perkembangan kerajaan tradisional di nusantara. Kegiatan utama
berbagai kerajaan tersebut antara lain adalah perdagangan, jasa, dan
pusat pemerintahan (militer). Beberapa kerajaan yang berkembang di

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 17


kawasan pesisir antara lain adalah Kerajaan Salakanagara di Teluk
Lada – Banten (150 M), Kerajaan Tarumanagara dengan pelabuhan utama
di Sunda Kelapa – Jakarta (400 M), Kerajaan Sriwijaya dengan pelabuhan
utama di Ligor – Selat Malaka (700 M), Kesultanan Tidore (1200 M),
Kesultanan Ternate (1300 M), Samudera Pasai (1300 M), Aceh Darussalam
(1600 M), Kesultanan Gowa-Tallo Makassar (1700 M), dan berbagai kerajaan
lainnya di Nusantara (Tjandrasasmita, 2000).
Selain kota-kota pesisir yang tumbuh dan berkembang sejak masa
kerajaan tersebut, saat ini telah banyak berkembang kota-kota pesisir lain,
dan faktanya kota pesisirlah yang paling cepat mengalami perkembangan
dan menjadi daerah-daerah paling cepat perkembangannya di Indonesia.
Sampai saat ini, setidaknya telah terdapat sekitar 150 kota di Indonesia yang
merupakan kota pesisir, dengan kategori mulai dari kota kecil, kota sedang,
kota besar sampai kota metropolitan.
Aktivitas di kawasan pesisir yang awalnya hanyalah terbatas pada
pemanfaatan sumberdaya alam dan sebagai pusat-pusat perdagangan, kini
telah banyak mengalami perkembangan. Perkembangan yang lebih dominan
adalah semakin pesatnya perindustrian dan sektor jasa. Hal tersebut
mengakibatkan aktivitas pengelolaan sumberdaya perikananpun telah
berkurang, yakni terbatas pada orang-orang yang berdomisili pada pesisir
pantai. Peralihan pusat-pusat kegiatan tersebut tidak lain adalah bagian dari
tuntutan kemajuan dan perkembangan penduduk yang ada di kota pesisir.

2.2 Tantangan dan Hambatan Kota Pesisir

Sejalan dengan berbagai tuntutan pembangunan ekonomi, sosial dan


budaya kota pesisir sebagaimana kota pada umumnya juga mengalami
tantangan dan hambatan dalam mempertahankan eksistensinya. Upaya
dalam menjawab berbagai tuntutan tersebut, mengakibatkan eksploitasi

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 18


sumberdaya alam yang berlebihan. Selain itu, diperparah dengan adanya
distrosi, bias program dan bias sasaran yang berimplikasi pada
ketidakberlanjutan eksistensi kota pesisir. Sebagai akibatnya kota-kota pesisir
mengalami kutukan (resource curse) yakni: banjir, abrasi pantai, intrusi air
laut, limpasan air laut akibat kenaikan permukaan air laut, dan penurunan
muka tanah. Hal ini diperparah oleh kerusakan habitat dan ekosistem
kawasan pesisir, pencemaran oleh sampah dan limbah ke tepi pantai,
eksploitasi sumber daya laut secara berlebihan, serta konversi kawasan
lindung pantai untuk penggunaan lain. Adisasmita (2010) menyatakan
tantangan pokok yang dihadapi dalam mengatasi permasalahan, khususnya
permukiman di kota pesisir yakni : (i) menyediaan sistem sarana hunian yang
sesuai bagi masyarakat; (ii) meningkatkan pembangunan, pelayanan sarana
dan prasarana permukiman; dan (iii) menciptakan iklim usaha yang sehat,
kompetitif dan dinamis dalam pembangunan kota pesisir.
Disamping tiga tantangan tersebut, tantangan lainnya adalah:
(a) bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dan swasta dalam
kerjasama investasi pembangunan dan menajemen pelayanan prasarana dan
sarana permukiman; (b) ketegasan dalam penerapan standar keselamatan
bangunan dan keamanan bangunan, menegakkan hukum dalam penataan
bangunan dan lingkungan; (c) penyelamatan dan memugar bangunan
bersejarah dan permukiman kumuh.
Permasalahan penting dalam pembangunan kota pesisir khususnya di
Indonesia yakni minimnya infrastruktur dan rendahnya kesadaran masyarakat
untuk berpartisipasi dalam mendukung pembangunan di kawasan pesisir.
Infrastruktur menjadi tonggak utama dalam menopang berbagai sektor di
kawasan pesisir sehingga rendahnya infrastruktur akan diikuti oleh
lambannya kemajuan kota pesisir.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 19


Menyikapi berbagai permasalahan tersebut, langkah strategis untuk
mengatasi munculnya tantangan ataupun hambatan pembangunan kota
pesisir yakni; pertama; menjaga serta melestarikan ekosistem dan kawasan
lindung kota pesisir. Upaya pelestarian yang dimaksud bukan hanya
tanggungjawab pemerintah melainkan dituntut keterlibatan semua
stakeholders suatu kawasan untuk turut berpartisipasi di dalamnya. Upaya
pembangunan yang hanya bertumpu pada sepihak saja akan menyulitkan
terwujudnya impian kota yang maju, sebaliknya jika pembangunan dilakukan
dengan asas kebersamaan dan mengedepankan kualitas maka peluang
pencapaian kota pesisir maju akan terwujud.
Kedua; penetapan serta pemberlakuan sanksi pelanggaran. Selama ini
banyak pihak yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan tindakan
pengrusakan di kawasan pesisir karena lemahnya aturan bahkan tidak
adanya sanksi bagi pelaku pengrusakan. Akibatnya, aktifitas tersebut berjalan
terus menerus tanpa menyadari dampak buruk yang kemudian akan muncul.
Berkaitan dengan masalah ini, sangat dibutuhkan peran serta lembaga-
lembaga sosial di komunitas pesisir untuk bisa mengendalikan aktivitas yang
merugikan lingkungan tersebut. Kedudukan lembaga sosial di masyarakat
pesisir harus diperkuat dan mampu bekerjasama dengan aparat pemerintah
agar memudahkan pengawasan dan perlindungan kawasan pesisir.
Ketiga; pengendalian eksploitasi sumberdaya kawasan pesisir secara
berlebihan. Eksploitasi sumberdaya yang dimaksud dapat berupa
sumberdaya di permukaan maupun sumberdaya perikanan dan kelautan.
Potensi sebagai penyokong utama kota pesisir adalah sumberdaya perikanan
dan kelautan. Ekploitasi berlebihan yang berjalan secara terus-menerus
dapat menyebabkan miskinnya sumberdaya kawasan pesisir dalam jangka
panjang sehingga perlu upaya perbaikan ekstra untuk memulihkannya. Untuk
menekan eksploitasi berlebihan tersebut maka kebijakan pengendalian dan

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 20


pengawasan oleh pemerintah sangat dibutuhkan sehingga dapat menjadi
kontrol pengelolaan sumberdaya.
Keempat; penataan bangunan pada kawasan kota pesisir. Penataan
ruang dan bangunan di kawasan kota membutuhkan kebijakan dan
ketegasan dari pihak pemerintah setempat. Seperti kasus yang banyak terjadi
di wilayah kota-kota yang baru berkembang bahwa aktivitas pendirian
bangunan yang tidak memperoleh izin sering menyulitkan pengaturan pola
ruang kota itu sendiri. Dengan demikian, ketegasan pengaturan pola ruang
melalui pemberian izin pendirian bangunan akan menjadikan kota lebih teatur
dalam aspek penataan ruang.
Kelima; pembangunan sarana dan prasarana secara memadai. Selain
kekuatan sumberdaya perikanan dan kelautan pada kawasan pesisir,
infrasktruktur yang memadai seperti jalan dan pelabuhan termasuk pelabuhan
perikanan menjadi tema paling utama untuk menunjang percepatan
pembangunan di kawasan pesisir. Pelabuhan atau dermaga dapat berfungsi
sebagai sentral aktifitas perdagangan antar wilayah dan jasa-jasa. Pada
faktanya, daerah-daerah pesisir dimana terdapat pelabuhan mengalami
perkembangan wilayah yang lebih cepat. Demikian pula dengan ketersediaan
pelabuhan perikanan akan membangun masyarakat pesisir guna peningkatan
kesejahteraan khususnya nelayan. Hal ini bukan hal yang mustahil terjadi
karena fungsi pelabuhan perikanan sebagai tempat pendaratan, penanganan,
pengolahan, dan pemasaran ikan akan benar-benar dioptimalkan oleh
masyarakat di kawasan pesisir. Jika hal ini bisa terwujud, maka akan diikuti
oleh peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akan mengantar
kawasan pesisir yang lebih maju. Di sisi lain, penyediaan infrastruktur jalan
sebagai jalur transportasi akan saling mendukung dengan berbagai sektor
lainnya di kawasan pesisir.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 21


2.3 Tekanan dan Dampak Terhadap Kota Pesisir

Secara konsep, semakin potensial suatu wilayah dari aspek


sumberdaya dan ekonominya maka semakin besar pula daya tariknya
terhadap publik untuk menjadikannya sebagai sasaran tempat mencari
penghidupan yang layak. Terjadinya penduduk yang bermigrasi dari desa ke
kota peisisir akan menambah padatnya penduduk di wilayah potensial
tersebut. Di samping itu tersedianya lapangan pekerjaan terutama dalam
sektor jasa menjadikan kota pesisir mengalami peningkatan jumlah
penduduk. Meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan akan berdampak
pada tingginya kebutuhan dalam berbagai aspek terutama permukiman,
pemenuhan pangan, persaingan pengelolaan sumberdaya dan memperoleh
sumber-sumber ekonomi. Kondisi seperti ini telah banyak terjadi pada
wilayah-wilayah potensial di Indonesia termasuk di kota pesisir. Untuk
mengantisipasi permasalahan ini maka sangat diperlukan pengelolaan kota
yang terstruktur sehingga tidak menimbulkan efek negatif bagi kota itu sendiri.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara intensif menunjukkan semakin
tingginya kebutuhan manusia terhadap sumberdaya yang ada. Tuntutan
kebutuhan tersebut mendorong pula terjadinya perkembangan kota berupa
pembangunan industri, pembangunan pelabuhan, penyediaan moda
transportasi baik di laut maupun di darat, penyediaan infrastruktur jalan, lahan
budidaya di pesisir, pembangunan kawasan wisata, dan sebagainya.
Beberapa aktifitas tersebut memberikan tekanan di kota pesisir sehingga
permasalahan yang banyak bermunculan yaitu adanya eksploitasi
sumberdaya yang berlebihan dan terjadinya ketidakseimbangan lingkungan
akibat lemahnya pengendalian bahan pencemar lingkungan dari aktifitas
industri, sampah rumah tangga, dan tumpahan minyak kapal laut, serta
sumber-sumber pencemaran lainnya.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 22


Beberapa tekanan atau tuntutan pembangunan di kota pesisir yang
berdampak besar terhadap perubahan lingkungan kota pesisir :
a. Kebutuhan permukiman penduduk kota pesisir; penduduk kota pesisir
lebih cenderung bermukim di tepi pantai dengan pertimbangan
kemudahan akses sumberdaya. Tingginya angka pertumbuhan
penduduk di kota pesisir akan berdampak pada menumpuknya sampah
dan limbah rumah tangga yang terbuang di tepi pantai. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar permukiman tidak dilengkapi dengan
penyediaan tempat pembuangan sampah yang memadai sehingga
masyarakat yang kurang pemahamannya akan pentingnya menjaga
kelestarian lingkungan, selalu membuang limbah atau sampah langsung
di tepi pantai. Sampah atau limbah yang bermuatan bahan kimia dalam
jumlah besar akan mengakibatkan kematian ekosistem laut seperti
banyak kasus yang terjadi di wilayah-wilyah kota pesisir Indonesia.
Kehidupan ekosistem laut yang semakin terdesak dan mengalami
kematian menjadi faktor paling dominan terhadap potensi menipisnya
sumberdaya perikanan di wilayah pesisir.
b. Pembangunan pelabuhan, jalan di areal tepi pantai, dan transportasi laut;
tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan kota pesisir sangat ditunjang oleh
adanya pelabuhan serta adanya industri perkapalan yang memanfaatkan
pelabuhan tersebut. Akan tetapi berbagai permasalahan pun turut terjadi
akibat adanya pelabuhan dan aktifitas kapal laut. Wilayah pesisir yang
tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama lain saling terkait
dan tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu
ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Adanya perubahan
fungsi dan tata guna lahan seperti tergusurnya hutan mangrove untuk
kawasan pelabuhan, penurunan kualitas udara akibat debu, peningkatan
kebisingan dari kegiatan konstruksi dan kegiatan operasional di

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 23


pelabuhan, dan gangguan terhadap biota laut merupakan rentetan
masalah yang muncul akibat pembangunan pelabuhan. Demikian pula
penurunan kualitas air laut karena banyaknya tumpahan minyak atau
bahan bakar kapal yang secara langsung merusak kehidupan ekosistem
laut baik ekosistem ikan maupun mangrove di wilayah pesisir. Rusaknya
mangrove sangat mempengaruhi kelangkaan ekosistem laut lainnya
karena hutan mangrove banyak dimanfaatkan ekosistem laut sebagai
tempat hidup ataupun pemijahan.
c. Pembangunan sektor kepariwisataan; wisata bahari memiliki daya tarik
tersendiri untuk memikat banyak perhatian masyarakat dan juga
merupakan pilihan wisata yang paling ramai dikunjungi oleh wisatawan
baik lokal, domestik, maupun mancanegara. Dengan demikian, kota-kota
pesisir yang memiliki potensi pantai dengan struktur yang berpasir dan
laut yang berkarang banyak dikelola sebagai kawasan wisata. Aktifitas
pembangunan kawasan wisata yang tidak mementingkan aspek
lingkungan pada akhirnya menyebabkan hilangnya fungsi-fungsi alamiah
ekosistem kawasan pantai. Misalnya, untuk menambah visualisasi
kawasan pantai sering kali ditemukan adanya upaya penimbunan
sebagian kawasan pantai yang kemudian difungsikan sebagai taman
tambahan dari pantai tersebut. Tanpa disadari, kegiatan-kegiatan
tersebut ternyata banyak memiliki dampak negatif terhadap ekosistem
yang ada di kawasan pantai. Dengan demikian, penataan kawasan
pariwisata dengan tidak menimbulkan efek terhadap hilangnya suatu
ekosistem laut menjadi pertimbangan paling utama kedepannya.
d. Reklamasi pantai; dampak lingkungan hidup yang terjadi akibat kegiatan
reklamasi itu adalah kehancuran ekosistem berupa hilangnya
keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati yang diperkirakan
akan punah akibat kegiatan reklamasi antara lain berupa hilangnya

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 24


berbagai spesies mangrove, punahnya spesies ikan, kerang, kepiting,
burung dan berbagai keanekaragaman hayati lainnya. Dampak
lingkungan lainnya adalah meningkatkan potensi banjir. Hal itu
dikarenakan kegiatan tersebut dapat mengubah bentang alam
(geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi. Perubahan
itu antara lain berupa tingkat kelandaian, pola pasang surut, pola arus
laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air. Potensi banjir
akibat kegiatan reklamasi akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan
adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pemanasan global.
Dampak lain yang berhubungan langsung dengan kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat pesisir khususnya nelayan kaitannya dengan
reklamasi adalah hilangnya sumber-sumber kehidupan yang menjadi
lahan ekonomi masyarakat. Hal ini terjadi karena suatu kawasan yang
akan dibangun masyaratkat pantai sekitarnya bersih dari adanya fasilitas
dan aktivitas perikanan tangkap dan budidaya maupun bentuk eksploitasi
lainnya. Akibatnya, masyarakat nelayan yang awalnya menggunakan
kawasan direklamasi sebagai kawasan penangkapan dan budidaya
perikanan harus mencari areal baru untuk aktivitas sebagai nelayan.
Akibat lainnya yakni terjadinya perubahan pola usaha masyarakat dari
nelayan ke kegiatan usaha lainnya diluar pemanfaatan sumberdaya
perikanan dan kelautan.
e. Pembangunan Industri; pembangunan industri di suatu kawasan pada
dasarnya telah memiliki landasan keamanan lingkungan berdasarkan
hasil analisis mengenai dampak lingkungan secara ilmiah. Namun bukan
berarti bahwa hasil analisis tersebut benar-benar telah menyiasati segala
kemungkinan yang akan terjadi pasca beroperasinya suatu industri.
Dampak yang paling dominan adalah tercemarnya lingkungan akibat
pengelolaan bahan sisa industri yang tidak teratur. Efek pembangunan

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 25


industri tidak akan terasa besar dampaknya manakala industri tersebut
berada jauh dari permukiman penduduk, akan tetapi industri yang
letaknya di kawasan kepadatan penduduk dan wilayah pesisir akan
sangat terasa dampaknya bagi kehidupan. Misalnya saja industri
pertambangan yang berada di kawasan pesisir, keberadaannya akan
sangat mengancam kelestarian sumberdaya pesisir akibat pembuangan
bahan sisa ke laut, yang menyebabkan semakin langkanya sumberdaya
pesisir sekitarnya. Dengan demikian, pembangunan industri harus benar-
benar dipertimbangkan demi kelangsungan hidup masyarakat dan
terbentuknya kota pesisir yang aman, nyaman dan lestari.

2.4 Pertimbangan dalam Menata Pembangunan Kawasan Kota Pesisir

Menata pembangunan suatu kawasan kota pesisir harus berpedoman


pada konsep ruang, dimana ruang itu sendiri mempunyai beberapa unsur
yakni jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran. Konsep ruang juga berkaitan dengan
waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan
pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-
sama menyusun unit tataruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001).
Pelayanan kebutuhan bagi penduduk kota pesisir yang makin
meningkat itu memerlukan penyediaan berbagai fasilitas kota pesisir (sarana
dan prasarana) yang makin meningkat pula. Prasarana kota pesisir antara
lain: drainase, sanitasi pengelolaan sampah, jalan dan lainnya. Pada
perencanaan pembangunan seharusnya dipertimbangkan pula kemungkinan
peningkatan kekuatan tumbuh dan berkembangnya kegiatan-kegiatan
ekonomi pada kota yang bersangkutan. Selanjutnya pembangunan prasarana
perkotaan dikaitkan pula dengan aspek kualitas pelayanan.
Kebijakan perencanaan dan desain kota pesisir harus selaras dengan
penataan dan pengelolaan bangunan terpadu dengan mobilitas yang ramah

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 26


lingkungan, pengolahan sampah, kemitraan pemerintahan kota dan
masyarakat, serta dukungan finansial yang kuat (Dahuri, 2003). Tanpa
adanya beberapa hal tersebut maka akan menjadi sulit menciptakan kota
pesisir lebih maju termasuk kesejahteraan masyarakat di dalamnya.
Penataan pembangunan kota pesisir menjadi salah satu bahan
pertimbangan dalam menentukan skala prioritas pembangunan. Oleh karena
itu diperlukan langkah strategis dalam mengimplementasikan pembangunan
guna mewujudkan suatu kota pesisir yang bisa mempercepat pengembangan
wilayah yang bukan hanya wilayah sasaran pembangunan tetapi bisa
mendukung percepatan pengembangan wilayah sekitarnya. Menurut
Adisasmita (2010), ada tiga pertimbangan yang kelihatan relevan dalam
penyusunan rencana pembangunan regional. Pertama, seharusnya disusun
rencana regional atas dasar sub-sub wilayah atau unit perencanaan dengan
cirinya masing-masing yang ditandai oleh beberapa sumberdaya yang kurang
dominan. Penetapan skala prioritas diantara kegiatan-kegiatan ekonomi dari
setiap sub wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk kepentingan pemanfaatan
yang sebaik mungkin dari masing-masing kapasitas sumberdaya. Kedua,
adanya keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya yang dikaitkan
dengan sektor ekonomi tertentu dan pemanfaatan sumberdaya yang
diperlukan untuk seluruh sektor. Ketiga, adanya prosedur optimasi dalam
menentukan kapasitas sumberdaya tertentu untuk setiap kegiatan dan tingkat
dari setiap kegiatan yang harus dikembangkan dan biaya investasi untuk
mengatasi keterbatasan ambang batas tertentu. Fungsi yang harus
dimaksimalkan adalah penghasilan yang diperoleh dari seluruh tingkat
kegiatan yang dilakukan.
Pembangunan kota pesisir diharapkan dapat dilakukan berdasarkan
fungsi dan peranan yang sudah ditetapkan sehingga memungkinkan
terciptanya pola pengembangan kota pesisir yang lebih seimbang.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 27


Pembangunan kota pesisir sendiri merupakan manifestasi ruang dari
pengembangan ekonomi secara keseluruhan. Harapan besar dari
pembangunan kota pesisir adalah terciptanya pusat-pusat pertumbuhan,
memiliki dampak bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat serta
terciptanya perubahan ataupun peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat
khususnya di kota pesisir. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan
intervensi secara cermat yakni melalui pengembangan kawasan yang salah
satunya adalah penciptaan kawasan basis dan tidak mengganggu fungsi
ekologis kota pesisir.
Penataan pembangunan kota pesisir tentu tidak terlepas dari daerah
atau pulau-pulau kecil yang notabene memanfaatkan kota pesisir sebagai
sumber utama bagi kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian, penataan
pembangunan kota pesisir selayaknya sinergis dan menjadi kebutuhan vital
masyarakat kota pesisir. Pembangunan yang berbasis kebutuhan akan
mengurangi pemubaziran sumberdaya karena sifatnya akan berjalan secara
berkelanjutan. Hal inilah yang mendasari bahwa pembangunan kawasan
harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan sesuai dengan
permasalahan dan potensi faktual suatu kota.
Upaya pembangunan kota pesisir juga harus memperhatikan
kemudahan bagi masyarakat terutama dalam aspek pelayanan di kota. Unit
pelayanan tersebut merupakan unit-unit kegiatan yang melayani kepentingan
umum, yakni kantor pemerintahan, pelayanan kesehatan, pelayanan
pendidikan, dan pelayanan sosial kemasyarakatan lainnya. Wilayah setiap
unit pelayanan tersebut harus direncanakan sematang mungkin sehingga
seluruh wilayah dari sisi jumlah bisa proporsional, dari sisi jarak dapat
terjangkau, dan dari sisi bentuk memiliki nilai estetis yang tinggi.
Pembangunan kota pesisir perlu juga memperhatikan arahan kebijakan
tata ruang suatu wilayah, kedudukan dan peran wilayah secara makro serta

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 28


potensi kawasan yang dapat mendukung pengembangannya. Secara lebih
rinci, dasar pertimbangan penataan pembangunan kota pesisir dapat
dirumuskan dalam empat aspek berikut:
a. Keamanan dari bencana; kota pesisir merupakan kawasan dengan tingkat
kerentanan tinggi terhadap bencana, karena wilayahnya yang berbatasan
langsung dengan perairan. Akan tetapi pada faktanya justru kawasan
pesisirlah yang paling banyak ditempati penduduk, dan kondisi ini bukan
hanya terjadi di Indonesia melainkan pada sejumlah negara-negara di
dunia. Kondisi ini terjadi karena kawasan pesisir memiliki potensi besar
yang dapat dimanfaatkan baik dalam aspek potensi sumberdaya alam
maupun pengembangan sektor jasa dan perdagangan antar wilayah. Di
Indonesia sendiri setidaknya terdapat 41 kota pesisir dan 32 kota
diantaranya berstatus sebagai kawasan yang rawan terhadap banjir, dan
terdapat 29 kota yang rawan terhadap tsunami, serta 15 kota yang rawan
terhadap gelombang pasang (BNPB, 2010). Tingginya tingkat kerentanan
di kawasan pesisir ini merupakan ancaman yang sangat nyata bagi kota-
kota pesisir di Indonesia.
Terdapat beberapa kawasan yang rawan terhadap bencana terutama di
Sulawesi Tenggara, yang kesemuanya merupakan pulau-pulau kecil. Dua
daerah di antaranya adalah Kabupaten Konawe Kepulauan dan
Kabupaten Wakatobi. Dua daerah ini terletak pada wilayah perairan Laut
Banda yang terkenal akan gelombang besar dan arusnya, serta berpotensi
akan terjadinya gelombang pasang. Gelombang pasang sendiri
merupakan gelombang air laut yang melebihi batas normal dan dapat
menimbulkan bahaya baik di lautan, maupun di darat terutama daerah
pinggir pantai. Untuk menghindari resiko dari dampak gelombang besar, di
wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan wilayah timur yang berhadapan
langsung dengan Laut Banda telah dibangun tanggul penahan ombak.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 29


Namun pada kenyataannya tanggul-tanggul yang ada ternyata tidak bisa
bertahan lama diakibatkan hempasan ombak besar yang berlangsung
secara terus-menerus terutama saat musim angin timur. Kondisi ini
menggambarkan betapa rawannya kawasan pesisir terhadap bencana
sehingga dalam penataan kota pesisir sangat perlu memperhatikan tingkat
keamanan dari bencana. Di wilayah Kabupaten Wakatobi yang gencar
melakukan pembangunan kepesisiran dengan bertitik fokus pada
pengembangan sektor pariwisata juga perlu memperhatikan aspek
keamanan terutama perlindungan keamanan bagi para pengunjung
pariwisata.
b. Kenyamanan dalam ruang kota pesisir; kenyamanan merupakan hal
terpenting dalam suatu wilayah kota pesisir. Kawasan kota pesisir yang
nyaman menjadikan kota tersebut lebih hidup serta menarik banyak
perhatian orang. Misalnya jika suatu kota yang melaksanakan program
pembangunan sektor pariwisata, maka kondisi yang nyaman akan menjadi
aset karena melahirkan daya tariknya tersendiri. Kawasan kota pesisir
yang nyaman tidak semata-mata hanya pada masalah keindahan
pemandangan alam tetapi termasuk pula penataan ruang yang tertib dan
terarah yang didalamnya adalah perumahan, infrastruktur jalan, maupun
hubungan sosial dan keterikatan budaya suatu komunitas.
c. Produktivitas kota pesisir; produktivitas kota pesisir yang dimaksud adalah
tersedianya lapangan pekerjaan yang menjadi lahan ekonomi bagi
masyarakat pesisir. Penataan pembangunan kawasan pesisir harus
diarahkan pada penciptaan sarana dan prasarana yang mendukung usaha
produktif masyarakat pesisir. Melalui upaya tersebut akan membuka
lapangan kerja bagi masyarakat pesisir pada berbagai sektor, misalnya
bidang kontruksi, sektor jasa, maupun perdagangan. Kawasan pesisir
yang sangat indentik dengan sektor jasa dan perdagangan antar wilayah,

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 30


hanya akan dapat terwujud menjadi kota yang produktif apabila ada
perwujudan pembangunan yang mendukung sektor-sektor produktif.
Disamping itu, upaya pengembangan sumberdaya manusia di kawasan
pesisir untuk bisa menjadi aktor utama dalam menciptakan produktivitas
kota merupakan langkah yang sangat prinsip. Sumberdaya manusia harus
berkompeten sehingga dapat diandalkan sebagai tenaga kerja ataupun
penyedia jasa dan pelaku usaha yang menguasai sektor-sektor
perdagangan.
d. Kualitas lingkungan kota pesisir; pengelolaan lingkungan di kota pesisir
mengalami tantangan dan hambatan yang sangat kompleks. Penurunan
kualitas lingkungan kota pesisir adalah masalah klasik yang timbul akibat
makin padatnya penduduk yang bermukim di kota pesisir. Kasus yang
banyak terjadi pada wilayah-wilayah kota pesisir adalah kurangnya
kepedulian penduduk terhadap kelestarian lingkungan, yakni dengan
membuang sampah rumah tangga di tepi pantai. Dalam jangka panjang,
sampah-sampah yang terbuang setiap harinya telah berdampak besar
terhadap penurunan kualitas air laut. Mencermati polemik tersebut,
pertanyaan yang harus dijawab adalah sudah seberapa besar peranan
pemerintah untuk mengatasi pembuangan sampah pada tepi pantai
tersebut ? Sampai saat ini, penyediaan fasilitas pembuangan sampah
secara memadai belum terwujud pada banyak kawasan pesisir di
Indonesia. Contoh konkrit adalah pada kawasan Tempat Pendaratan Ikan
(TPI) yang mana limbah-limbah ikan banyak terbuang di laut akibat kurang
memadainya fasilitas pembuangan sampah.
e. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa menurunya kualitas
lingkungan kawasan pesisir terjadi karena kurangnya kesadaran dan
respon multipihak dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Dengan
demikian untuk mempertahankan kualitas lingkungan kota pesisir maka

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 31


sangat diperlukan kerjasama semua pihak untuk sama-sama
bertanggungjawab terhadap lingkungan. Langkah pertama adalah
bagaimana pemerintah setempat dapat menyediakan fasilitas
pembuangan sampah, selanjutnya harus dibangun pemahaman dan
tanggung jawab masyarakat dalam memelihara berkelanjutan lingkungan
kota pesisir yakni melalui proses pendidikan yang rutin dan intensif
dengan memberdayakan kolompok swadaya masyarakat yang memiliki
kapasitas dan semangat yang baik dalam mewujudkan kelestarian
lingkungan.
f. Ketahanan terhadap perubahan iklim; Perubahan iklim merupakan
fenomena alam yang terjadi akibat perubahan fungsi lingkungan yang juga
merupakan efek dari tindakan manusia. Semakin banyak rekayasa dan
pengrusakan fungsi alam, maka semakin besar pula peluang untuk
terjadinya perubahan iklim secara global. Jika dipahami demikian, maka
perubahan iklim dapat diantisipasi dengan tidak banyak melakukan
perubahan fungsi-fungsi lingkungan. jika perubahan fungsi tersebut terjadi
ataupun kerusakan, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah
melakukan langkah-lagkah secara partisipatif untuk dapat mengembalikan
kondisi alam seperti sedia kala. Langkah ini membutuhkan kerjasama dan
waktu yang panjang tetapi bukan mustahil untuk tidak dapat dilakukan.
Dampak perubahan iklim yang mencakup ancaman angin siklon,
kenaikan muka air laut, bajir, dan kekeringan perlu diantisipasi melalui
pendekatan struktur maupun non- struktur dalam pengembangan perkotaan.
Pendekatan struktur antara lain mencakup pembangunan prasarana dan
sarana penahan gelombang laut, pengolahan air, waduk, bendungan dan
sebagainya. Sementara upaya non-struktur mencakup di antaranya penataan
ruang melalui pengaturan zonasi pesisir, pengalokasian kegiatan berdasar
tingkat risiko bencana, penghutanan pantai dengan bakau, penghutanan

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 32


kawasan resapan air, serta pembentukan perilaku masyarakat yang ramah
lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim.
Berbagai pertimbangan, dengan pendekatan dalam penyediaan
infrastruktur pada kota pesisir harus didasari konsep penataan ruang kota
pesisir yang berkelanjutan. Hal ini mutlak karena “kualitas kehidupan
masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang baik tidak akan bertahan
dalam lingkungan yang secara ekologis menurun” (Royal Commission on
The Future of Toronto`s Waterfront dalam Laidley, 2005). Penempatan
kualitas ekologis pada prioritas utama dalam pembangunan menuntut
pergeseran pandangan dari perlunya pembangunan mega-infrastructure di
kota pesisir menjadi penyediaan infrastruktur ramah lingkungan sesuai
karakteristik ekologisnya. Pengembangan infrastruktur berkelanjutan berarti
perlunya mengedepankan keseimbangan dan integrasi aspek fisik-
lingkungan, sosial- budaya, dan ekonomi (Madiasworo, 2011).
Pembangunan Ruang Terbuka Hijau dangat dibutuhkan khususnya
dipesisir pantai agar menjadi sarana pariwisata. Selain itu didukung oleh
infrastruktur yang memadai sehingga menjadikan orang yang singgah
menjadi nyaman berlama-lama ditempat tersebut. Jika hal tersebut terpenuhi
dengan baik maka akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitarnya. Hal ini dikarenakan masyarakat dapat menyewakan fasilitas-
fasilitas yang belum tersedia termasuk makan dan minuman untuk para
pengunjung sehingga menjadi salah satu aspek penguat perekonomian
masyarakat wilayah pesisir.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 33


BAB III
PENDEKATAN KEWILAYAHAAN DALAM PERENCANAAN
KOTA PESISIR

Dalam mempertahankan esksistensi kota pesisir, diperlukan upaya


cermat yang berbasis konsep dan visi yang dapat dijalankan dalam
perencanaan pembangunan kota pesisir sebagai kota yang hijau, lestari,
sejahtera dan berkelanjutan.

3.1 Konsep Pembangunan Wilayah Kota Pesisir

Pembangunan wilayah merupakan upaya sadar guna mewujudkan


ekosistem wilayah yang dapat berperan penting dalam peningkatan
kesejahteraan dengan mengedepankan peningkatan kualitas lingkungan dan
sosial sebagai pendukung dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera,
jaya dan perkasa. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan wilayah
khususnya kota pesisir, membutuhkan konsep dalam tata ruang kota pesisir.
Pembangunan dalam bentuk apapun itu sangatlah membutuhkan pemikiran
dasar sebagai pedoman dalam penjabaran ide atau gagasan. Konsep
dibutuhkan agar terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan. Begitu pula
halnya dengan pembangunan wilayah kota pesisir yang membutuhkan
konsep yang jelas sehingga pembangunan wilayah tersebut dapat terlaksana
dengan baik. Hal ini dikarenakan letak kota pesisir (waterfront city) yang
merupakan kota yang berada pada wilayah transisi atara lautan dan daratan
yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Misalnya, jika suatu
daerah terdapat sungai maka kota pesisir berada di hilir yang akan
merasakan dampak pengrusakan lingkungan di daerah hulu sehingga dapat
mempengaruhi perekonomian maupun ekosistem manggrove yang ada di
wilayah tersebut.
Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses
iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan
pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 34


dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia
merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa
berkembang yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali
menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
pembangunan di Indonesia (Dirjen Penataan Ruang Departemen Pemukiman
dan Prasarana Wilayah, 2003).
Sebelum lebih jauh memahami tentang konsep pembangunan wilayah
kota pesisir, terlebih dahulu harus memahami defenisi pembangunan.
Pembangunan merupakan suatu orientasi dan kegiatan usaha tanpa akhir.
Pembangunan memiliki unsur-unsur: (1) proses perubahan; (2) upaya
terencana; (3) tujuan yang baik; (4) dengan nilai dan norma tertentu. Atau
dengan kata lain, pembangunan adalah suatu proses perubahan yang
direncanakan untuk mencapai tujuan yang lebih baik bagi masyarakat, dan
dilakukan dengan norma-norma atau nilai-nilai tertentu (Hariyono, 2010).
Dalam sejarah perkembangannya, bongkar pasang konsep
pengembangan wilayah di Indonesia terdapat beberapa landasan teori yang
turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai
seorang pelopor ilmu wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab dan
akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik,
sosial ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang
memunculkan teori polarization effect dan trickling down effect dengan
argumentasi bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara
bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an)
dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah
belakangnya dengan menggunakan istilah backwash effect dan spreadwash
effect. Keempat adalah Freadmann (era 1960-an) yang lebih menekankan
pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem
pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan.
Kelima adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 35


keterkaitan desa-kota (rural-urban linkages) dalam pengembangan wilayah
(Hariyono dan Tukidi, 2007).
Pembangunan kota sering lebih banyak dicerminkan oleh adanya
perkembangan fisik kota berupa sarana dan prasarana. Lahan-lahan
pertanian yang subur, ruang terbuka hijau banyak dialihfungsikan menjadi
pertokoan, pemukiman, tempat rekreasi, industri dan lain-lain sehingga
lingkungan terganggu. Oleh karena terganggunya kestabilan ekosistem
perkotaan, maka alam menunjukkan reaksinya yang negatif berupa:
meningkatnya suhu udara perkotaan, banjir/genangan, meningkatnya
kebisingan, penurunan permukaan air tanah, pencemaran air berupa air
minum yang berbau, pencemaran udara dan sebagainya (Sumarmi, 2010).
Dalam pengembangan kota pesisir terdapat beberapa aturan yang
menjadi dasarnya sebagai berikut:
1. Undang – Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
2. Undang - Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran;
3. Undang – Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
4. Undang – Undang Nomor 28 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional;
5. Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
6. Undang – undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
7. Keputusan Menteri Nomor 53 tahun 2002 tentang Pelabuhan;
8. Konvensi UNCLOS 1982 tentang Hukum Laut Internasional.
Faktanya pembangunan atau perkembangan kota pesisir di laut dalam
Indonesia lebih maju dibandingkan kota pesisir yang berhadapan dengan laut
luar/depan Indonesia. Kota pesisir di laut dalam terdapat di Kota Medan,
Tanjung Pinang, Pangkal Pinang dan Kota Lampung (di Pulau Sumatera 5
kota). Kota Serang, Jakarta, Semarang dan Kota Surabaya (di Pulau Jawa 4

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 36


kota). Kota Mataram dan Kota Kupang (di Kepulauan Sunda Kecil 2 kota).
Kota Ambon dan Ternate (di Maluku 2 kota). Kota Kendari, Mamuju, Palu dan
Kota Makasar (di Pulau Sulawesi 4 kota). Kota Padang, Bengkulu, Denpasar,
Jayapura, Manokwari, Manado dan Gorontalo dikategorikan langsung
berhadapan dengan samudera/laut lepas.

3.2 Pentingnya Pembangunan Wilayah Kota Pesisir

Peluang pembangunan sektor kelautan dan dampaknya terhadap


pembangunan wilyah pesisir dan lautan pada masa mendatang cukup cerah.
Hal ini terutama dipengaruhi oleh permintaan pasar dalam negeri maupun
luar negeri. Seperti diketahui bahwa permintaan pasar merupakan fungsi dari
tingkat pendapatan, jumlah penduduk, harga komoditi subsitusi, selera, mutu,
dan citra dari produk kelautan yang di pasarkan (Budiharso, 2001).
Indonesia sebagai negera kepulauan (archipelago state) yang
memiliki ± 17.500 buah pulau-pulau yang terbentang luas dari sabang sampai
merauke ditunjang dengan garis pantai mencapai ± 81.290 Km. Selain itu,
potensi wisata pantai, pertanian dan perikanan yang mampu meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir. Kawasan
pesisir dalam kenyataannya menampung sekitar 60% populasi dunia. Secara
historis, kawasan pesisir telah menjadi hamparan konsentrasi berbagai kota-
kota pelabuhan dan pusat-pusat pertumbuhan global. Alasan itulah yang
menjadikan pentingnya pembangunan wilayah pesisir.
Meningkatnya jumlah penduduk maka akan berdampak pada
peningkatan pemanfaatan lahan dan aktifitas ekonomi di daratan. Wilayah
pesisir merupakan wilayah yang sangat unik, baik dari sisi kondisi fisik dan
sumber daya alam yang dimilikinya, maupun dari sisi fungsi dan perannya di
dalam ekosistem kehidupan daratan dan lautan. Hilang dan rusaknya
kawasan tersebut dapat menimbulkan bencana besar, tidak saja terhadap

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 37


kehidupan manusia di daratan, tetapi juga terhadap kehidupan dan
keanekaragaman hayati di lautan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
Kep.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan
Pesisir Terpadu, wilayah pesisir diartikan sebagai wilayah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana kearah laut 12 mil
dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu
kewenangan kabupaten/kota, kearah darat batas administrasi kabupaten/
kota.

3.3 Tata Ruang dan Lingkungan Hidup

Ruang merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan


wilayah. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur yaitu: (1) jarak; (2) lokasi;
(3) bentuk; (4) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu,
karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan
organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut bersama-sama
menyusun tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001).
Peraturan pemanfaatan ruang berfungsi:
1. Sebagai alat pengendali kegiatan pemanfaatan zona/subzona;
2. Menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana zonasi;
3. Menjamin agar kegiatan pemanfaatan baru tidak mengganggu kegiatan
pemanfaatan ruang yang telah berjalan dan sesuai dengan rencana
alokasi ruang; dan
4. Mencegah dampak kegiatan pemanfaatan yang merugikan.
Secara spesifik tujuan penataan ruang adalah tercapainya
pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:
1. Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan
sejahtera.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 38


2. Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia.
3. Meningkatkan sumberdaya alam dan buatan secara berdaya guna,
berhasil guna dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia.
4. Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
5. Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Ruang kawasan pesisir merupakan ruang wilayah diantara ruang
daratan dan dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan
adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan
termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. Ruang lautan
adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari
sisi laut pada garis laut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di
bawahnya. Rais (1997) pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan
mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang
dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan dan daya dukung
lingkungan berdasarkan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diselenggarakan
untuk: menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil,
melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; melindungi habitat biota laut;
dan melindungi situs budaya tradisional. Rehabilitasi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil wajib dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan
ekosistem dan/atau keanekaragaman hayati setempat (Ali, 2015).
Sistem pemanfaatan lahan yang berkelanjutan merupakan upaya
ajakan moral untuk melestarikan lingkungan sumber daya alam dengan
mempertimbangkan 3 aspek (Salikin, 2003) sebagai berikut :
1. Kesadaran lingkungan; Sistem pemanfaatan lahan tidak boleh
menyimpang dari peruntukan lahan dan ekologi lingkungan yang ada.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 39


Keseimbangan adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis
yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam.
2. Bernilai ekonomis; Sistem pemanfaatan lahan harus mengacu pada
pertimbangan untung rugi, baik dari diri sendiri dan orang lain, untuk
jangka pendek dan jangka panjang, serta organisme dalam sistem
ekologi maupun di luar sistem ekologi. Motif ekonomi saja tidak cukup
menjadi alasan pembenar (justifikasi) untuk mengeksploitasi sumberdaya
lahan secara tidak bertanggung jawab. Namun dalam jangka panjang
dampak ekonomis dan ekologi yang ditimbulkan sangat merugikan,
terutama bagi generasi yang akan datang.
3. Berwatak sosial; Sistem pemanfaatan lahan pesisir harus selaras dengan
norma sosial dan budaya yang dianut dan dijunjung tinggi oleh
masyarakat sekitarnya. Sebagai contoh peternakkan itik di pekarangan
rumah secara ekonomis menjanjikan keuntungan yang layak, namun
ditinjau dari aspek sosial dapat memberikan dampak yang kurang baik,
seperti pencemaran udara: bau/kotoran/ pencemaran lingkungan karena
penggunaan obat-obatan pembersih kandang.

3.4 Perencanaan Wilayah dan Daya Saing Kota Pesisir

Perencanaan kota sangat luas yang lebih diarahkan pada penyusunan


rencana tata ruang yang meliputi rencana tata guna tanah perkotaan,
rencana pengembangan jaringan dan sistem transportasi perkotaan, rencana
pengembangan sarana dan prasarana perkotaan dan sebagainya. Program
pembangunan kota terdiri atas program tata guna agraria meliputi aspek
landreform, aspek pengurusan hak atas tanah, aspek pendaftaran tanah,
serta aspek penelitian dan pengembangan hukum administrasi pertanahan
(Adisasmita, 2008).
Di era otonomi daerah yang telah bergulir sejak tahun 1999
memberikan wewenang yang sangat luas kepada pemerintah daerah untuk

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 40


mengatur sumberdaya yang dimiliki namun diawasi oleh legislatif sebagai
kontrol bagi pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah daerah haruslah
mempunyai perencanaan yang sistematis dan terukur sehingga dapat
dievaluasi setiap tahunnya. Hal tersebut berdampak pada peningkatan daya
saing terutama di daerah pesisir.
Sumber pendapatan asli daerah (PAD) adalah potensi ekonomi yang
dimiliki daerah, namun harus sejalan dengan pelestarian lingkungan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka prinsip pengelolaan sumberdaya pesisir
dan laut secara terpadu dapat difokuskan pada empat aspek yaitu:
1. Keterpaduan antara berbagai sektor dan swasta yang berasosiasi;
2. Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat;
kabupaten/kota, kecamatan dan desa;
3. Integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut;
4. Integrasi antara sains/teknologi dan manajemen.
Dalam jangka panjang, pelaksanaan Co-management diyakini akan
memberikan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir
dan laut dalam menunjang kehidupan;
2. Meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta
dalam setiap tahapan pengelolaan secara terpadu;
3. Meningkatkan pendapatan masyarakat dengan bentuk-bentuk
pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan
lingkungan.
Menurut Mahkamah Konstitusi, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau
pulau kecil dilakukan dengan tujuan untuk:
1. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan
memperkaya sumber daya pesisir dan pulaupulau kecil serta sistem
ekologisnya secara berkelanjutan;

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 41


2. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil; serta
3. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan dan
keberlanjutan.
Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional pasal 33, yaitu:
1. Kepala daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas
perencanaan pembangunan di daerahnya;
2. Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan, Kepala Daerah
dibantu Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda);
3. Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah menyelenggarakan
Perencanaan Pembangunan Daerah sesuai dengan tugas dan
kewenangannya;
4. Gubernur menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan
sinergi perencanaan antar Kabupaten/Kota.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 42


BAB IV
PENATAAN KOTA PESISIR SEBAGAI GREEN CITIES

4.1 Definisi Green City

Penataan kota yang selaras dengan alam merupakan agenda yang


harus menjadi prioritas bagi praktisi penataan perkotaan. Alam diciptakan
oleh Sang Maha Pencipta dalam kondisi yang sempurna tanpa kurang
sedikitpun. Apabila kita mencermati lingkungan yang belum ada campur
tangan manusia di dalamnya, maka kita akan merasakan situasi yang sangat
nyaman. Kenyamanan tersebut dapat dirasakan melalui segarnya menghirup
udara dan indahnya pandangan mata melihat hijaunya tumbuhan yang
dilengkapi dengan berbagai macam ekosistem hewan. Tetapi apabila kita
bandingkan dengan kondisi perkotaan di Indonesia pada umumnya, maka
akan sangat dirasakan perbedaan suasana kenyamanannya. Maka penataan
kota dengan konsep Green City menjadi agenda penting untuk diwujudkan.
Green City berarti kota hijau. Apabila ditinjau dari suku katanya, kota
adalah suatu wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, yang sebagian
besar lahannya terbangun dan perekonomiannya bersifat non pertanian.
Sedangkan hijau bukan hanya dimaknai sebagai fungsi tumbuh-tumbuhan
yang menghijaukan lingkungan akan tetapi pengelolaan pembangunan
berwawasan lingkungan yang mencakup kelestarian tanah, air, udara,
ekosistem hewan, dan seluruh makhluk hidup lainnya. Beberapa definisi kota
hijau di Indonesia menurut panduan Kementerian Pekerjaan Umum (2011),
yaitu:
1. Kota yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan
efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan
sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan,
mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 43


dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan.
2. Kota yang didesain dengan mempertimbangkan dampak terhadap
lingkungan, dihuni oleh orang-orang yang memiliki kesadaran untuk
meminimalisir (penghematan) penggunaan energi, air dan makanan serta
meminimalisir buangan limbah, pencemaran udara dan pencemaran air.
3. Kota yang mengutamakan keseimbangan ekosistem hayati dengan
lingkungan terbangun sehingga tercipta kenyamanan bagi penduduk kota
yang tinggal didalamnya maupun bagi para pengunjung kota.
4. Kota yang dibangun dengan menjaga dan memupuk aset-aset kota
wilayah seperti aset manusia dan warga yang terorganisasi, lingkungan
terbangun, keunikan, dan kehidupan budaya, kreativitas dan intelektual,
karunia sumber daya alam, serta lingkungan dan kualitas prasarana kota.
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa Green City atau kota hijau
adalah pembangunan pada suatu wilayah pemukiman padat penduduk, serta
infrastruktur sosial ekonomi yang penataannya mempertimbangkan aspek
sosial, ekonomi, dan ekologis demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
Tujuan utama Green City adalah tercapainya pembangunan suatu kota yang
berkelanjutan dengan menitikberatkan pembangunan berwawasan
lingkungan yakni penyelarasan strategi penataan ruang, strategi infrastruktur,
dan strategi pembangunan sosial dan ekonomi.
Pentaan kota pesisir sedapat mungkin ditata menjadi kota yang sehat
dan nyaman untuk dihuni oleh penduduknya. Bagaimana kota yang sehat dan
nyaman tersebut? sangat sedikit dari kita yang tidak mengetahui bahwa kota
yang sehat salah satunya adalah kota yang memiliki banyak pepohonan, baik
yang fungsinya sebagai penghijauan dan pelindung, pepohonan yang berupa
tanaman produktif akan menghasilkan berbagai jenis buah yang dapat
dikonsumsi. Pohon merupakan penyuplai oksigen yang menjadi kebutuhan
utama manusia, sehingga semakin banyak tersedia pepohonan maka

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 44


ketersedian oksigen pun akan semakin banyak, dan akan menciptakan
kondisi kenyaman wilayah sekitarnya. Namun demikian Green City bukanlah
sebatas penghijauan kota atau yang umumnya dikenal dengan pembangunan
Ruang Terbuka Hijau (RTH). RTH hanyalah salah satu dari beberapa atribut
yang harus dipenuhi dalam pengembangan Green City. Upaya penting lain
diantaranya adalah pelibatan dan peningkatan partisipasi serta pembentukan
karakteristik masyarakat yang berwawasan lingkungan. Disamping itu,
pengelolaan sampah, efisiensi penggunaan sumberdaya dan energi,
penataan bangunan dan transportasi harus dilakukan berdasarkan prinsip-
prinsip keberlanjutan. Dengan demikian, penataan kota menjadi Green City
untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan perkotaan dari pesatnya
pembangunan berbagai fasilitas sosial dan ekonomi sangat perlu untuk
dilakukan.

4.2 Atribut Pembangunan Green City

Penatanan kota pesisir sebagaiGreen City sangatlah penting,


mengingat karakter masyarakatnya sangat beragam dan cenderung
berperilaku merugikan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya volume
sampah yang terbuang dilaut dan pengelolaan sumberdaya pesisir yang tidak
ramah lingkungan. Suasana kota pesisir yang cenderung panas akibat
meningkatnya suhu udara yang diantaranya disebabkan oleh semakin
menipisnya pepohonan sekitar sehingga mengurangi kenyamanan hidup di
wilayah kota pesisir. Penanganan berbagai permasalahan lingkungan di
wilayah kota pesisir mendesak seluruh stakeholders agar menata kota pesisir
menjadi Green City yang memiliki delapan atribut yakni, green planning and
design, green open space, green waste, green tranportation, green water,
green energy, green building, dan green community (Iswandi dan Alwi, 2013).
Kedelapan atribut ini harus dipenuhi oleh kota-kota pesisir jika ingin

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 45


dikembangkan menjadi kota hijau. Adapaun maksud dari atribut-atribut ini
dapat dijelaskan seperti di bawah ini.

Pertama, green planning and design yakni adanya perencanaan dan


rancangan tata ruang hijau yang berprinsip pada konsep pembangunan kota
pesisir berkelanjutan. Green City menuntut perencanaan tataguna lahan dan
tata bangunan yang ramah lingkungan serta penciptaan tata ruang yang
atraktif dan memiliki nilai-nilai estetika. Perencanaan dan rancangan tata
ruang kota pesisir yang berpedoman pada konsep Green City turut
menentukan kenyamanan dalam kota. Proporsi penggunaan ruang untuk
berbagai fungsi dengan perencanaan yang baik dan sesuai dengan
peruntukan ruang akan menjadikan kota pesisir sebagai kota yang terencana
hijau sekaligus menjadi aset yang dapat dipertahankan. Disisi lain, penataan
ruang harus diperkuat dengan kebijakan pengelolaan oleh pemerintah kota
sehingga ruang yang telah ditetapkan dapat dimanfaatkan sesuai fungsi
masing-masing ruang.
Kedua, Berdasarkan UU RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang dijelaskan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau green open space

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 46


merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Lebih lanjut lagi
ditegaskan bahwa suatu kota dikatakan sebagai kota hijau manakala telah
dialokasikan minimal 30 persen dari luas wilayahnya untuk menjadi Ruang
Terbuka Hijau. RTH pada kota pesisir memiliki fungsi yang penting
diantaranya terkait dengan aspek sosial budaya, ekologi, dan estetika. Fungsi
ekologi RTH yakni sebagai pengendali iklim wilayah kota pesisir, dimana
pepohonan selain sebagai penghasil oksigen, juga bermanfaat sebagai
peredam kebisingan dalam kota serta visual control yang menahan silau
matahari. Perancangan RTH adalah sebagai taman terbuka yang sejuk dan
terbuka pemanfataannya oleh publik, sehingga secara sosial budaya RTH
berfungsi sebagai ruang interaksi sosial, rekreasi, olahraga, maupun sebagai
sarana pendidikan bagi masyarakat kota. Agar RTH benar-benar dapat
dinikmati oleh publik, maka penataannya harus memuat unsur estetika. RTH
yang memiliki nilai estetika dapat meningkatkan kenyamanan, keindahan
lingkungan kota, serta dapat menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga
kota. Faktor utama yang harus diperhatikan dalam perencanaan RTH adalah
keterjangkauan wilayah, jaminan keamanan, serta kelengkapan sarana atau
fasilitas publik di dalamnya.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 47


Ketiga, green waste merupakan pengelolaan sampah hijau yang
berprinsip pada reduce (pengurangan), reuse (penggunaan ulang) dan
recycle (daur ulang). Secara administratif, kurang lebih 42 daerah/kota dan
181 daerah kabupaten di Indonesia yang berada di wilayah pesisir.
Pembuangan sampah pada sembarang tempat khususnya pada lahan
kosong di sekitar wilayah pesisir dapat meningkatkan emisi CO2, oleh karena
itu Arif (2008) menyatakan bahwa dalam rangka untuk mengantisipasi dan
menanggulangi adanya musibah bencana alam yang akan terjadi di kawasan
kota pesisir, perlu dilakukan upaya komprehensif meliputi pembuatan
prasarana, sarana pengendalian serta peraturan, dan pelaksanaannya harus
melibatkan instansi terkait. Untuk kawasan pesisir yang rawan terhadap
bencana alam gelombang pasang tsunami, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, antara lain membangun rumah di kawasan pantai yang aman
dari jangkauan tsunami; mengembangkan perlindungan alami yaitu dengan
cara penanaman mangrove untuk membuat green-belt; serta perlu dilakukan
penyuluhan tentang bahaya gelombang pasang tsunami dan cara-cara
penyelamatannya. Apabila daerah kabupaten/kota tidak mampu melakukan
langkah antisipasi pengelolaan sampah, maka sangat berpeluang untuk
terjadinya pencemaran wilayah pesisir dan akan mengganggu keberlanjutan
ekosistem wilayah pesisir itu sendiri. Dengan demikian, untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan kota pesisir akibat sampah
tersebut, perlu langkah komprehensif seperti pembuatan fasilitas
pembuangan sampah yang memadai, pengelolaan sampah secara terpadu,
serta aturan atau kebijakan terkait pengelolaan sampah.
Keempat, green tranportation yakni transportasi umum hijau yang fokus
pada pembangunan transportasi umum yang berkualitas. Green
transportation diantaranya bertujuan untuk meningkatkan penggunaan
transportasi umum sehingga penggunaan transportasi milik pribadi dapat
berkurang. Untuk bisa mencapai tujuan tersebut maka perlu penyediaan

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 48


infrastruktur jalan yang mendukung perkembangan transportasi umum.
Pengurangan penggunaan kendaraan terutama kendaraan mekanis, akan
mengurangi gas atau emisi yang dihasilkan kendaraan sehingga tercipta
lingkungan bebas polusi. Langkah lain yang harus dilakukan untuk dapat
mencapai tujuan green transportation yakni pembangunan ruang jalan yang
ramah bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda. Pada umumnya, wilayah-
wilayah kota termasuk kota pesisir memfokuskan pembangunan jalan yang
memadai untuk kendaraan roda empat. Akibatnya, terjadi peningkatan
penggunaan kendaraan roda empat milik pribadi sehingga kemacetan dan
polusi udara semakin sulit terhindarkan. Pembangunan jalan untuk pejalan
kaki dan pengguna sepeda merupakan solusi untuk mewujudkan transportasi
hijau yang berperan penting bagi penyelamatan lingkungan dan kesehatan
manusia di wilayah kota.

Penyediaan fasilitas taman jalur khusus sepeda berfungsi untuk


bersepeda, penyediaan stok O2 melalui ruang terbuka hijaunya, terjaganya
keanekaragaman hayati, dan sebagainya. Fasilitas ini akan lebih efektif
apabila memiliki rencana pengelolaan yang tertata dengan baik. Untuk
mengetahui rencana pengelolaan yang baik untuk jalur khusus sepeda, maka

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 49


diperlukan riset mengenai jalur khusus sepeda ini yang tergolong baru.
Meningkatnya minat masyarakat beraktifitas sepeda di Indonesia merupakan
suatu peluang bagi pihak pemerintah kota pesisir. Peluang tersebut dapat
diubah menjadi suatu keuntungan apabila pihak pemerintah kota pesisir
mampu mengelola jalur khusus sepeda secara berkelanjutan.

Kota-kota di Indonesia sedang merencanakan pembangunan jalur


khusus sepeda. Seperti Sentul City, merupakan daerah yang memiliki 65%
daerah hijau. Sentul City memiliki kualitas lingkungan yang bersih dan sehat.
Luas dari kawasan ini adalah 3.100 hektar. Kawasan ini memiliki konsep eco-
city, yakni pembangunan kota untuk memastikan keselarasan dengan lokasi
sekitarnya dengan konsep Green Property. Salah satu kegiatan
pengembangan berkelanjutan (sustainable development) menuju eco-city
adalah penyediaan taman jalur khusus sepeda.
Kelima, green water merupakan Konsep yang bertujuan untuk
mengefisiensi penggunaan air, penyediaan air, serta pengelolaan dan
penciptaan air yang berkualitas. Permasalahan yang umumnya dirasakan
oleh penduduk kota pesisir adalah ketersediaan sarana air bersih yang
berkualitas. Secara geografis, kota pesisir umumnya relatif jauh dari sumber
air bersih sehinga sangat membutuhkan prinsip-prinsip pengelolaan yang

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 50


hemat. Studi yang dilakukan oleh Rockstrom et al (2009) menjelaskan bahwa
pengelolaan air dengan prinsip green water yang tepat akan menjadi basis
baru bagi revolusi hijau, bahkan bisa menjadi basis terhadap ketahanan
terhadap bencana yang disebabkan air, seperti banjir, kekeringan, dan musim
kemarau yang kini menjadi sulit diprediksi akibat perubahan iklim (climate
change). Terwujudnya green water juga akan menunjang keberlangsungan
kegiatan masyarakat terutama pertanian. Air menduduki posisi penting pada
sektor pertanian, yang mana kekurangan air akan menurunkan produktivitas
pertanian sehingga berdampak pada pendapatan masyarakat disektor
pertanian. Untuk mengatasi segala kemungkinan yang terjadi akibat
permasalahan air serta dapat menunjang Green Water di kota pesisir maka
perlu dipadukan dengan atribut Green Open Space dan Green Building.
Atribut Green Open Space akan berperan sebagai media air dalam tanah
yang dalam prosesnya akan menjadi faktor pendukung bagi terpenuhinya
kebutuhan air dalam jangka panjang untuk berbagai kebutuhan baik
kebutuhan manusia maupun untuk kebutuhan pengembangan sektor
pertanian. Kondisi ini akan menjadi interaksi yang kuat antara wilayah
perkotaan dan perdesaan sebagai sentral produksi pangan sektor pertanian.
Dengan demikian, dapat membuka peluang untuk terciptanya integrasi
pembangunan kota pesisir dengan daerah hinterlandnya.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 51


Keenam, green energy merupakan strategi kota hijau melalui
penghematan energi dan penggunaan energi terbaharukan, seperti listrik
tenaga surya, listrik tenaga angin, listrik tenaga air, dan potensi tenaga listrik
pada wilayah pesisir yakni energi pasang surut (tidal energy), energi panas
laut (ocean thermal energy conversion), energi gelombang laut (Wave
Energy), dan energi ganggang laut. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk
seperti halnya terjadi pada kota-kota pesisir selalu sejalan dengan terjadinya
peningkatan kebutuhan energi fosil. Sementara ketersediaan energi fosil
semakin menipis, dan berjalannya waktu akan mejadi ancaman bila tidak
diciptakan energi alternatif. Wilayah kota pesisir memiliki potensi besar dalam
penyediaan energi, hanya saja perlu ada upaya pemanfaatan dengan
pelibatan teknologi maju dan pengorbanan finansial yang cukup. Wilayah
Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan energi laut diataranya
adalah Pantai Barat Pulau Sumatera bagian Selatan dan Pantai Selatan
Pulau Jawa bagian Barat. Teknologi yang berpotensi diterapkan di pesisir
pantai Selatan Pulau Jawa adalah teknologi Tapered Channel (Tapchan).
Prinsip kerja teknologi tersebut yang gelombang laut yang datang disalurkan
memasuki sebuah saluran runcing yang berujung pada sebuah bak
penampung yang telah disiapkan dengan posisi ketinggian tertentu. Proses
kembalinya air dalam bak ke laut akan memutar turbin yang dipasang
sebagai penghantar arus listrik. Disamping itu, wilayah perairan yang memiliki
gerakan gelombang laut yang cukup dapat pula dikembangkan energi lirtik
tenaga gelombang laut. Laut dapat menghasilkan listrik melalui teknologi
yang diberi nama Permanen Magnet Linear Buoy. Nama Buoy karena pada
prinsip dasarnya teknologi tersebut dipasang untuk memanfaatkan
gelombang laut di permukaan. Prinsip kerja Buoy penghasil listrik, yaitu
dengan mengapungkannya di permukaan laut. Gelombang laut yang terus
mengalun dan berirama bolak-balik dalam Buoy akan diubah menjadi

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 52


gerakan harmonis listrik. Dua contoh potensi energi ini hanyalah sebagian
dari potensi energi yang berpeluang dikembangkan di perairan laut Indonesia.
Ketujuh, green building merupakan atribut pengembangan Green City
dengan konsep hunian hijau yakni strategi perancangan struktur bangunan
yang ramah lingkungan dan bersifat efisien. Konsep hunian hijau merupakan
salah satu alternatif pemecahan masalah isu pemanasan global, terutama
yang disebabkan oleh efek rumah kaca. Struktur bangunan yang tertutup
menyebabkan penggunaan energi listrik yang berlebihan karena listrik tetap
menyala untuk menerangi bagian dalam rumah meskipun disiang hari.
Aplikasi konsep Green Building yakni merancang bangunan atau rumah
dengan ventilasi yang baik agar cahaya matahari mudah masuk dan
menerangi bagian dalam rumah. Pencahayaan alami ini akan mengurangi
penggunaan energi listrik sebagai sarana penerang dalam rumah terutama
disiang hari. Disamping pencahayaan alami, efisiensi penggunaan energi
dapat pula diterapkan dengan penghijauan sekitar halaman bangunan atau
rumah. Pepohonan yang cukup akan berfungsi sebagai penyejuk lingkungan
sekitar rumah dan cara ini akan mengurangi penggunaan Air Conditioning
sebagai penyejuk ruangan dalam rumah. Kesadaran akan pentingya green
building ini telah banyak ditunjukkan para arsitektur terutama pengembang
hunian. Sejalan dengan itu, Kong Fanhua, et al (2010); Newell (2012); Young,
Robert et al (2013) menyatakan bahwa gerakan hijau berkembang pesat tidak
hanya melindungi sumberdaya alam, tetapi juga dalam implemetasinya dalam
rangka efisiensi penggunaan energi dan meminimalisir kerusakan lingkungan.
Untuk menanamkan pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam
pengembangan green building maka penggunaan material yang tersedia di
lingkungan sekitar dan memiliki sifat ramah lingkungan sangat penting untuk
diperhatikan. Biaya yang dikorbankan pun harus disiapkan dalam jumlah
yang lumayan menguras tabungan. Akan tetapi jika mengingat fungsinya

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 53


terhadap penghematan energi kedepannya, maka hitungan biaya tersebut
tidak akan menguras celengan secara berkepanjangan.
Di Indonesia, green building telah dikembangkan oleh Institut
Teknologi Bandung (ITB) yang mulai mencoba menerapkan konsep
bangunan hijau di beberapa gedung-gedung di dalam kampus ITB. Salah
satunya adalah Gedung Campus Center ITB sebagai konsep green campus.
Gedung Campus Center ITB memang belum memenuhi standar green
building yang dikeluarkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI),
namun pembangunan gedung ini dinilai sebagai tahap inisiasi penerapan
konsep green building. Dapat dilihat beberapa elemen-elemen arsitektur pada
bangunan tersebut sudah mulai mencoba menerapkan beberapa konsep
green building, meskipun untuk mendapatkan sertifikasi green building harus
ada perbaikan-perbaikan yang mendukung.

Kedelapan, green community adalah strategi pelibatan semua


stakeholder yakni pemerintah, swasta dan masyarakat untuk berpartisipasi
aktif dalam pembangunan kota hijau. Green community bertujuan
menciptakan partisipasi nyata stakeholder dalam pembangunan Green City
melalui pembentukan karakter dan kebiasaan berperilaku ramah lingkungan.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 54


Mengubah perilaku masyarakat tidaklah semudah melakukan pembangunan
fisik atau sarana dan prasarana wilayah. Masyarakat memiliki karakteristik
yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya sehingga turut
mempengaruhi perilakunya. Dalam keadaan ini, terkadang pelaku
pembangunan menemui kesulitan untuk melakukan intervensi dalam
masyarakat. Salah satu contoh yakni kebiasaan membuang sampah.
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan
merupakan masalah klasik yang sering kita jumpai pada area pasar.
Meskipun telah disiapkan fasilitas pembuangan sampah di area pasar akan
tetapi sampah-sampah masih berserakan dimana-mana. Bagi masyarakat
yang tinggal di wilayah pesisir pantai atau teluk, maka pemandangan sampah
yang hanyut bersama air menjadi tontonan rutin setiap harinya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih rendah partisipasinya
dalam menjaga kebersihan lingkungan. Untuk mengatasi permasalahan ini,
maka pendekatan penyadaran masyarakat harus dilakukan sedini mungkin
sehingga karakter yang terbentuk adalah karakter peduli lingkungan. Anak-
anak yang belajar di bangku sekolah mulai pada jenjang Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) ataupun SD sudah harus diberikan pemahaman dasar
tentang perlunya melestarikan lingkungan dengan berpartisipasi menjaga
kebersihaanya maupun segala tindakan yang tidak mendukung
pembangunan lingkungan berkelanjutan. Demikian pula masyarakat dewasa
yang masih berperilaku tidak ramah lingkungan, perlu pembinaan khusus
maupun peringkatan tegas bagi siapapun yang tidak memperhatikan
kelestarian lingkungan.

4.3 Kelebihan, Kekurangan, dan Hambatan Pembangunan Green City di


Kota Pesisir

Green City memiliki banyak kelebihan terutama dalam mendukung


pembangunan lingkungan berkelanjutan. Kelebihan tersebut telah dijelaskan
melalui delapan atribut pembangunan Green City. Kelebihan yang paling

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 55


menonjol dan telah banyak diterapkan sejumlah kota di Indonesia adalah
terpenuhinya kebutuhan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di suatu
kawasan. RTH dapat mengurangi serta memecahkan masalah lingkungan
seperti polusi udara, banjir, kebisingan, ancaman kekeringan, maupun
perubahan iklim secara global. Kelebihan lain dari pembangunan Green City
adalah: (a) terbentuknya manajemen kota yang berkualitas, (b) terbentuknya
peruntukan kawasan dalam kota berdasarkan fungsi kawasan, (c) melahirkan
prinsip pemanfaatan sumberdaya dan energi berbasis lingkungan dan
berkelanjutan, (d) terciptanya penggunaan dan pengelolaan fasilitas kota
yang ramah lingkungan, dan (e) terbinanya masyarakat untuk berperilaku
peka terhadap kelestarian lingkungan.
Penerapan Green City di Kota Pesisir akan melahirkan tata ruang kota
serta pengelolaan kota yang sinergis dengan perilaku masyarakat. Kota
pesisir yang cenderung padat aktivitas dibidang perdagangan dan jasa
sangat membutuhkan pola pengaturan ruang dan manajemen pengelolaan
sumberdaya di dalamnya sehingga tetap lestari dan berorientasi
sustainability. Misi kota hijau sebenarnya tidak hanya sekedar menghijaukan
kota. Lebih dari itu, kota hijau dengan visinya yang lebih luas dan
komprehensif, yaitu Kota Ramah Lingkungan, memiliki misi antara lain
memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin
kesehatan lingkungan, dan Mensinergikan lingkungan alami dan buatan,
berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan baik secara lingkungan, sosial dan
ekonomi secara seimbang.
Selain berbagai kelebihan dari pengembangan Green City, juga
terdapat kelemahannya. Penerapannya Green City pada kawasan yang
berbeda tidak dapat digeneralisasi bahwa semuanya memiliki pendekatan
dan pola penataan ruang yang sama. Perencanaan pengembangan Green

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 56


City sangat membutuhkan kajian teknis setidaknya untuk mengetahui
karakteristik lokal, iklim makro, kondisi sosial budaya masyarakat, dan
sebagainya. Misalnya, jika ingin menerapkan salah satu dari atribut Green
City yakni Green Open Space atau RTH, maka sebelumnya harus dikaji
kesesuaiannya sehingga penetapan peruntukan kawasan RTH tepat sasaran.
Misalnya pada wilayah dataran tinggi, RTH difungsikan sebagai pencegah
longsor dan erosi, di pantai difungsikan sebagai penahan bencana
gelombang pasang atau tsunami, di kota besar difungsikan untuk mengurangi
polusi udara, serta di kawasan pemukiman difungsikan sebagai peredam
kebisingan terutama kendaraan. Jadi RTH di masing-masing kota memiliki
fungsi ekologis yang berbeda. Disamping itu, penerapannya saat ini
kebanyakan dilakukan dengan tidak terkonseptual, sehingga menimbulkan
citra penghijauan asal jadi tanpa melihat siapa sebenarnya sasaran yang
dapat mengambil manfaat positif dari pembukaan kawasan RTH.
Hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kota
pesisir sebagai Green City di Indonesia dapat dicermati dalam beberapa
aspek, yaitu aspek Turbinlakwas, ekonomi, sosial, lingkungan, tata kelola,
dan spasial. Dalam aspek Turbinlakwas, ada masalah pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan yang harus diperhatikan. Di
Indonesia, Pengaturan Program Pengembangan Kota Hijau sebenarnya
sudah cukup lengkap, akan tetapi harus didukung lagi dengan peraturan-
peraturan turunan yang lebih detail lagi seperti juknis, agar lebih mudah
dilaksanakan. Dalam hal pembinaan, pengembangan Green City di kota
pesisir masih terkendala dengan lemahnya peran kelembagaan terkait dalam
melaksanakan fungsinya sebagai pembina masyarakat untuk berperan aktif
dalam mewujudkan kota pesisir menjadi Green City. Semua daerah/kota telah
memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang didalamnya memuat
pola penggunaan ruang berdasarkan fungsi kawasan/wilayah. Akan tetapi
pada kondisi riil, masih banyak disaksikan daerah/kota yang dalam

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 57


pelaksanaan pembangunan wilayahnya seolah-olah RTRW tidak ada,
sehingga pembangunan wilayah kota melenceng dari perencanaan-
perencanaan yang telah ditetapkan. Upaya lain yang masih lemah dalam
upaya pengembangan Green City di perkotaan
Ditinjau dari aspek ekonomi, pengembangan Green City di kota pesisir
membutuhkan input berjumlah besar. Ini merupakan kendala sekaligus
tantangan bagi kota pesisir untuk bisa menciptakan lingkungan yang terkelola
secara berkelanjutan. Dalam aspek sosial, pengembangan Green City
menghadapi kendala antara lain kecenderungan perilaku masyarakat yang
kontraproduktif dan destruktif, serta kurangnya pemahaman masyarakat akan
pentingnya aspek lingkungan sehingga peran masyarakat dalam
perwujudannya kota hijau rendah. Sementara dalam aspek lingkungan,
terjadinya peningkatan jumlah penduduk perkotaan menyebabkan padatnya
kebutuhan ruang untuk pemukimansehingga ketersediaan lahan ruang hijau
semakin berkurang. Keadaan yang lebih berpengaruh lagi adalah
pembangunan perkotaan yang cenderung berorientasi pada aspek ekonomi
dan kurang memperhatikan aspek lingkungan, sehingga terjadi penurunan
kualitas lingkungan seperti telah banyak terjadi pada sejumlah kota di
Indonesia.
Permasalahan dalam aspek tata kelola pengembangan kota
pesisirsebagai Green City diantaranya yakni lemahnya fungsi lembaga-
lembaga dan penegakan hukum, izin yang tumpang tindih, konflik antar
sektor, faktor politis dan ekonomi yang mengalahkan kepentingan lingkungan,
keterbatasan dana untuk pengelolaan lingkungan, serta lemahnya kontrol
masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan oleh pemerintah. Kemudian
yang terakhir, dalam aspek spasial, tantangan P2KH adalah perkembangan
kawasan perkotaan yang cenderung bersifat ekspansif dan menunjukkan
gejala urban sprawl yang tidak terkendali, alih fungsi kawasan pertanian
subur di pinggiran kota dan meningkatnya ketergantungan pada kendaraan

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 58


bermotor, serta kurangnya lahan perkotaan yang dapat digunakan sebagai
Ruang Terbuka Hijau.

4.4 Antisipasi Perubahan Iklim dengan Pengembangan Green City

Perubahan iklim secara global terjadi kerena meningkatnya konsentrasi


gas di atmosfer. Perkembangan ilmu dan teknologi seperti yang terjadi
dimasa kini ternyata tidak selamanya membawa dampak positif. Sejak
penemuan mesin uap oleh ilmuwan berkebangsaan Skotlandia yakni James
Watt menjadi awal mula terjadinya revolusi industri yang gencar terjadi sekitar
tahun 1760 -1832. Sejak saat itu, mulai banyak dibangun sumber energi yang
berasal dari batu bara, minyak bumi, dan gas, yang membuang limbah gas di
atmosfer, seperti Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), dan Nitrous oksida
(N2O). Matahari yang menyinari bumi juga menghasilkan radiasi panas yang
ditangkap oleh atmosfer sehingga udara bersuhu nyaman bagi kehidupan
manusia. Jika kemudian atmosfer bumi dijejali gas, terjadilah efek selimut
seperti yang terjadi pada rumah kaca, yakni radiasi panas bumi yang lepas ke
udara ditahan oleh selimut gas sehingga suhu mengalami kenaikan dan
menjadi panas. Semakin banyak gas dilepas ke udara, semakin tebal selimut
bumi, semakin panas pula suhu bumi.
Menurut perkiraan dari sejumlah ilmuwan, saat ini bumi akan
mengalami kenaikan pemanasan secara terus-menerus. Kenaikan tersebut
akan menyebabkan mencairnya es kutub dan menghangatkan suhu lautan,
maka kemungkinan yang terjadi adalah meningkatnya volume air laut
sehingga permukaan air laut pun akan mengalami peningkatan. Bila hal ini
terjadi, akan banyak pantai yang hilang karena air laut jauh masuk ke
daratan, bahkan kemungkinan banyak pulau yang tenggelam terutama Pulau-
pulau kecil. Suatu daerah yang mempunyai iklim hangat akan menerima
curah hujan yang tinggi, tetapi air hujan membuat tanah menjadi kering.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 59


Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang
95.180 km dan setidaknya 70 persen kota-kota di Indonesia terdapat di
wilayah pesisir. Dampak perubahan iklim sudah jelas terlihat terutama di
wilayah pesisir, yakni adanya kenaikan air laut yang menyebabkan abrasi di
berbagai wilayah pesisir, banjir rob disaat air pasang, serta cuaca yang tidak
menentu dan bersifat ekstrim sehingga menyebabkan badai dan tingginya
gelombang air laut. Disamping itu, adanya perubahan pola menyebabkan
banjir pada suatu wilayah dan kekeringan di wilayah lainnya. Permasalahan
ini tentu sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
pesisir di Indonesia.
Faktor lain sebagai pemicu perubahan iklim di perkotaan adalah
tingginya penggunaan bahan bakar fosil untuk kebutuhan listrik, transportasi,
penggunaan energi pada bangunan gedung, dan pembakaran sampah yang
tidak terkendali serta terjadinya kebakaran hutan menyebabkan tingginya
emisi gas rumah kaca. Apabila keadaan ini dibiarkan berkepanjangan maka
ancaman kerusakan lingkungan perkotaan akan semakin besar, dan
berpengaruh negatif terhadap penduduk yang berdomisili di dalamnya.
Pengembangan Green City merupakan salah satu upaya dalam
mengantisipasi, adaptasi, dan mitigasi perubahan iklim secara global.
Misalnya saja pengalokasian suatu kawasan untuk RTH di wilayah kota
minimal 5.000 m2 akan menggantikan kerusakan hutan di wilayah pinggiran
kota akibat penebangan liar, kebakaran hutan baik sengaja maupun tidak
disengaja, konversi hutan untuk lahan perkebunan, maupun dibukanya lahan-
lahan untuk tujuan komersil lainnya. Penyediaan RTH dalam kota akan
mempertahankan ketersediaan air dalam tanah serta terwujudnya kota yang
nyaman dan asri.
Pesatnya aktivitas diperkotaan menjadi faktor pemicu utama terjadinya
perubahan iklim. Pembangunan industri di berbagai kawasan dalam kota
merupakan faktor utama penyebab terjadinya polusi besar-besaran baik

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 60


polusi udara maupun pecemaran lain akibat pengelolaan limbah industri yang
tidak bisa terkontrol dengan baik. Peran serta masyarakat untuk mengatasi
perubahan iklim global merupakan hal yang sangat penting, mengingat
perubahan lingkungan tidak terlepas dari aktivitas manusia. Sehingga
kesadaran dan kebersamaan untuk mengelola lingkungan dengan prinsip
keberlanjutan sangat mutlak dilakukan ditengah-tengah munculnya ancaman
degradasi lingkungan seperti sekarang ini.
Kesadaran yang dimaksudkan di atas adalah bagaimana pembangunan
dalam kota selalu berpedoman pada pembangunan berbasis Green City
sehingga lingkungan yang telah rusak dapat dikembalikan fungsi
sesungguhnya dan sumberdaya alam yang mulai menipis dapat diperbaharui
kembali. Ditengah-tengah kemajuan dan perkembangan model bangunan
modern, maka bangunan yang baik untuk mendukung pengembangan Green
City adalah bangunan dengan konsep Green Building. Masyarakat yang
sadar akan pentingnya pendirian bangunan yang ramah lingkungan yakni
merancang struktur bangunan sehingga tanpa harus menggunakan alat bantu
Air Conditioning (AC) suasana dalam rumah tetap nyaman dan sejuk, karena
penggunaan AC merupakan salah satu pemicu terjadinya pemanasan global.
Salah satu upaya dalam pengembangan energi terbarukan yang biasa
disebut dengan energi hijau (green energy) ini, perlu dikembangkan budaya
pemanfaatan energi hijau meskipun secara sederhana. Pembangkit energi
sederhana ini misalnya seperti :
a. Budidaya tanaman jarak pagar (Jatropha Curcas) dan jarak kaliki (Ricinus
Communis) yang bijinya berpotensi sebagai bahan bakar. Penelitian di
Gujarat India menunjukkan bahwa 5 ton biji jarak bila digilas akan
menghasilkan 1,6 ton minyak (rendemennya 32%), dengan 9.470 k.cal
per kg (energi solar sekitar 10.1770 k.cal per kg). Jadi bila 10 kilogram biji
jarak digilas, maka dapat menghasilkan 3,2 kilogram minyak. Minyak ini

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 61


dapat diaplikasikan langsung pada mesin diesel yang biasa memakai
bahan bakar solar.
b. Pengolahan kotoran ternak menjadi biogas.
c. Membudayakan hutan rakyat dengan penanaman tanaman keras sebagai
kayu bakar di lahan-lahan kosong untuk membangun sumber penghasil
energi.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 62


BAB V
RENCANA STRATEGIS PEMBANGUNAN KOTA PESISIR

5.1 Sekilas Cikal Bakal Rencana Strategis

Berbicara asal muasal strategi, kita banyak belajar dari strategi di


kalangan militer. Strategi tersebut kemudian banyak diadopsi dan
ditransformasi dalam dunia akademis yang sekarang banyak diterapkan
dalam bidang manajemen perusahaan, termasuk strategi-strategi
pengelolaan lingkungan dan penataan kota. Strategi sangat erat kaitannya
dengan perumusan arah pengembangan masa depan untuk tercapainya
sasaran-sasaran tertentu yang ditetapkan secara personal maupun
organisasional. Strategi yang awalnya hanya direncanakan dan diterapkan
pada kalangan pimpinan militer, kini telah menjadi amunisi ampuh oleh multi
pihak yang merencanakan pembangunan dalam berbagai sektor.
Sumberdaya wilayah kota pesisir secara umum di Indonesia memiliki
ketersediaan yang melimpah dan sejumlah ekosistem di dalamnya bernilai
ekonomi tinggi. Akan tetapi, melimpahnya sumberdaya yang kita miliki saat ini
tidak menutup kemungkinan bahwa pada masa mendatang akan hilang atau
punah. Kondisi faktual saat ini, sumberdaya kota pesisir di Indonesia
berangsur-angsur telah menipis. Hal ini dapat diketahui misalnya dari aktivitas
nelayan yang hasil tangkapannya semakin menurun, dan wilayah tangkapan
(fishing grounds) yang semakin jauh. Dari aspek demografi, kepadatan
penduduk akan menjadikan suatu kota semakin tidak teratur manakala tidak
dilakukan langkah-langkah perencanaan yang baik. Dengan demikian,
pembangunan kota pesisir perlu menetapkan rencana strategis sehingga
sumberdaya yang ketersediaannya terbatas bisa dioptimalkan
pemanfaatannya berdasarkan prinsip keberlanjutan, serta dapat
mengantisipasi berbagai kemungkinan khususnya berkaitan dengan

Perencanaan Pengembangan Kota 63


penataan ruang kawasan pesisir dengan adanya peningkatan kepadatan
penduduk dan aktifitas masyarakat yang berpotensi menjadikan kota pesisir
memiliki nilai rendah dari sisi pembangunan kewilayahan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka perencanaan mutlak dilakukan
mengingat perencanaan itu sendiri dikuatkan oleh beberapa faktor (Tarigan,
2008): (a) banyak di antara potensi wilayah selain terbatas juga tidak mungkin
lagi diperbanyak atau diperbaharui, (b) kemampuan teknologi dan cepatnya
perubahan dalam kehidupan manusia, (c) kesalahan perencanaan yang
sudah dieksekusi di lapangan sering tidak dapat diubah atau diperbaiki
kembali, (d) lahan dibutuhkan oleh setiap manusia untuk menopang
kehidupannya, (e) tatanan wilayah sekaligus menggambarkan keperibadian
dari masyarakat di wilayah tersebut, dimana kedua hal tersebut adalah saling
mempengaruhi, (f) potensi wilayah berupa pemberian alam maupun hasil
karya manusia di masa lalu adalah aset yang harus dimanfaatkan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam jangka panjang dan bersifat
langgeng.
Keenam faktor tersebut perlu disikapi dengan perencanaan yang lebih
baik sehingga keberadaannya bukan merupakan hambatan dalam
pembangunan kota melainkan dapat menjadi kekuatan yang mengantar pada
terciptanya kota yang tangguh. Rencana strategis dari ketersediaan lahan,
dukungan teknologi, ketersediaan sumberdaya manusia, dan potensi
sumberdaya perlu dirumuskan berdasarkan kekuatan-kekuatan maupun
kelemahannya. Rencana strategis akan sangat menentukan kemajuan
pembangunan kota yang akan menjawab tuntutan kehidupan di masa
mendatang. Dengan demikian, untuk membuat perencanaan strategis harus
mengaitkan empat unsur sekaligus, yaitu : data dan informasi yang kita miliki
pada masa lalu (past time), kondisi sekarang (current/present time), perkiraan

Perencanaan Pengembangan Kota 64


ke depan (future/next time), serta perlunya sumber daya (resources) untuk
mencapai tujuan yang diharapkan.

5.2 Pengertian Rencana Strategis

Rencana strategis dalam pembangunan kota pesisir merupakan suatu


kerangka dasar dalam pengembangan wilayah kota pesisir secara terpadu.
Penyusunan rencana strategis merupakan kelanjutan dari proses, identifikasi
proses dan permasalahan yang terjadi. Dengan demikian, rencana strategis
pembangunan kota harus ditetapkan dengan mengacu pada kebijakan-
kebijakan pembangunan di wilayah pemerintahan kota yang sekaligus
merupakan penjabaran dari kebijakan pembangunan nasional.
Pada aspek manajemen, perencanaan strategik banyak digunakan di
kalangan perusahaan untuk pengembangan masa depannya. Dalam
perkembangnnya, rencana strategis pun telah banyak diadopsi dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Hal ini diilhami oleh timbulnya
sejumlah permasalahan khususnya faktor ketersediaan SDA dan penataan
ruang, sehingga perlu adanya rencana strategis untuk mengembangkan dan
mengatasi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Perencanaan kota pesisir terpadu sering pula disebut perencanaan
komprehensif (comprehensive planning atau integrated planning). Maksud
perencanaan ini adalah untuk menghindari perencanaan yang saling
bertabrakan sata sama lain. Perencanaan ini dilakukan oleh antar instansi
yang dilaksanakan atas kerjasama tim (team work). Dimaklumi bahwa tidak
gampang untuk menyusun perencanaan komprehensif, karena adanya
perbedaan kepentingan antar sektoral (instansi). Namun demikian, bila
perbedaan kepentingan tersebut dapat dihindari maka perencanaan
komprehensif akan bermakna lebih baik (Adisasmita, 2010).

Perencanaan Pengembangan Kota 65


Perencanaan mempunyai arti luas, beberapa rumusan tentang
pengertian perencanaan dapat dikemukakan sebagai berikut (Adisasmita,
2010) :
a. Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai sesuatu tujuan
tertentu.
b. Perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-
baiknya dengan menggunakan sumberdaya yang ada secara lebih efektif
dan efisien.
c. Perencanaan adalah penentuan tujuan yang akan dicapai, bagaimana,
bilamana, dan oleh siapa.
d. Perencanaan pembangunan adalah melihat ke masa depan dengan
menentukan pilihan berbagai alternatif kegiatan untuk mencapai tujuan
masa depan.
e. Perencanaan pembangunan adalah suatu pengarahan penggunaan
sumberdaya pembangunan yang terbatas untuk mencapai tujuan
pembangunan (ekonomi dan sosial budaya) yang lebih baik secara efektif
dan efisien.

Rencana strategis merupakan rencana spesifik mengenai program dan


kegiatan yang akan dilakukan saat ini hingga selanjutnya guna pencapaian
suatu tujuan. Dalam pemahaman manajemen, Kerzner (2001) menjelaskan
bahwa perencanaan strategis (strategic planning) adalah sebuah alat
manajemen yang digunakan untuk mengelola kondisi saat ini untuk
melakukan proyeksi kondisi pada masa depan, sehingga rencana strategis
adalah sebuah petunjuk yang dapat digunakan organisasi dari kondisi saat ini
untuk mereka bekerja menuju 5 sampai 10 tahun ke depan. Mintzberg, (1994)
berpendapat bahwa perencanaan strategis merupakan cara yang melibatkan
pemikiran melalui sebuah karya, penciptaan dari fungsi manajemen staf baru
Perencanaan Pengembangan Kota 66
yaitu munculnya ahli perencanaan. Dimana sistem perencanaan ini
merupakan strategi yang bagus sebagai suatu tahapan strategi yang akan
diterapkan para pelaku bisnis, manajer perusahaan dan mengarahkan agar
tidak membuat kekeliruan .
Menurut Allison dan Kaye (2005) mendefinisikan perencanaan
strategis adalah proses sistematik yang disepakati organisasi dan
membangun keterlibatan diantara stakeholder utama tentang prioritas yang
hakiki bagi misinya dan tanggap terhadap lingkungan operasi. Perencanaan
strategis khususnya digunakan untuk mempertajam fokus organisasi, agar
semua sumber organisasi digunakan secara optimal untuk melayani misi
organisasi itu. Perencanaan strategis menekankan pentingnya membuat
keputusan-keputusan yang menempatkan organisasi untuk berhasil
menanggapi perubahan lingkungan. Fokus perencanaan strategik adalah
pada pengelolaan strategis, artinya penerapan pemikiran strategis pada tugas
memimpin sebuah organisasi guna mencapai maksudnya.
Rencana adalah hasil dari proses perencanaan dokumen-dokumen
yang menunjukan berbagai detail konfigurasi ruang dan infrastruktur yang
diinginkan dari perkembangan kota di masa depan. Rencana biasanya
disajikan dalam bentuk peta/gambar yang disertai dengan teks yang
menerangkan rasionalisasi rencana berdasarkan analisis terhadap kondisi
yang ada pada saat ini dan analisis kecenderungan pada masa yang akan
datang. Ada empat rencana pembangunan perkotaan khususnya kota pesisir
yaitu:
1. Rencana Struktur (Structure Plan)
Rencana struktur adalah dokumen rencana yang mencakup area
geografis yang meliputi seluruh wilayah dan kota. Rencana ini
memberikan indikasi yang lengkap tentang pertumbuhan ruang dan
karakteristik penggunaan lahan pada masa depan secara detail;

Perencanaan Pengembangan Kota 67


2. Rencana Induk (Master Plan);
Rencana induk disusun untuk menetapkan penggunaan lahan secara
administratif dalam konteks manajemen perkotaan, mengenai kategori
penggunaan lahan, kepadatan dan tinggi bangunan, dan standar-standar
lainnya dalam pembangunan perkotaan. Rencana induk berfungsi
sebagai kerangka kontrol dalam peruntukan dan pemanfaatan lahan;
3. Rencana Teknis (Technical Plan)
Rencana teknis merupakan dokumen terinci tentang biaya dan
pelaksanaan suatu proyek pembangunan. Rencana teknis atau rencana
tahunan merupakan kerangka bagi pekerjaan aktual yang harus dilakukan
dan memonitor kemajuan fisik dan finansial dari suatu proyek;
4. Rencana Tindak (Action Plan)
Rencana tindak menjembatani rencana jangka panjang dan rencana
teknis (rencana tahunan). Rencana tindak merupakan sekumpulan
alternatif proyek jangka menengah (lima tahun) yang disiapkan untuk
menjadi masukan bagi keputusan investasi, anggaran biaya, implikasi
sumberdaya dan keterlibatan lembaga-lembaga dalam pelaksanaan.

Rencana strategis merupakan sebuah rencana tertulis dalam waktu


jangka panjang yang didalamnya menyatakan visi dan misi serta pernyataan
tujuan perencanaan. Perencanaan strategis di dalamnya ada pedoman-
pedoman tertentu yang akan menjadi acuan dalam perumusan suatu rencana
atau kegiatan. Hal ini dipertegas oleh Hopkins dan Hopkins (1997), yang
menyatakan bahwa perencanaan strategi adalah sebagai proses penggunaan
kriteria sistematis dan investigasi yang sangat teliti untuk merumuskan,
menetapkan dan mengendalikan strategi serta mendokumentasikan harapan-
harapan organisasi secara formal. Perencanaan strategis menjadi pedoman
sebuah organisasi untuk tanggap terhadap lingkungan yang dinamis dan sulit
diramal. Perencanaan strategis menekankan pentingnya membuat
Perencanaan Pengembangan Kota 68
keputusan-keputusan yang menempatkan organisasi untuk berhasil
menanggapi perubahan lingkungan.
Rencana strategis tidak mensyaratkan adanya standar baku, dan
tahapan serta prosesnya pun memiliki variasi yang tidak terbatas. Tuntutan
rencana strategis suatu kota adalah bagaimana variasi rencana tersebut bisa
mengakomodir kebutuhan, situasi dan kondisi kota. Secara umum, proses
perencanaan strategis memuat unsur-unsur berikut: (a) perumusan visi dan
misi, (b) pegkajian lingkungan internal dan eksternal, (c) perumusan isu-isu
strategis, (d) penyusunan strategi pengembangan (Djunaedi, 2000). Tahapan
yang lebih utama dalam perumusan rencana strategis adalah penentuan visi
dan misi, dimana dalam tahapan ini akan ditentukan arah dan tujuan rencana
ke depannya. Visi merupakan gambaran universal yang hendak dicapai
tentang apa yang direncanakan, selanjutnya dijabarkan langkah-langkah
pelaksanaannya melalui misi. Misi yang telah dijabarkan selanjutnya akan
dikaji pencapaiannya berdasarkan kondisi internal dan eksternal. Faktor
lingkungan internal mencakup kekuatan dan kelemahan yang dimiliki,
sedangkan faktor lingkungan eksternal mencakup peluang dan ancaman
yang akan dihadapi pada masa mendatang.
Meskipun pendapat para ahli tentang perencanaan strategis secara
umum terkonsentrasi pada manajemen organisasi/perusahaan, akan tetapi
dalam konteks rencana perkotaan dapat ditarik benang merah bahwa
rencana strategis adalah proses perumusan rencana masa depan
berdasarkan kondisi dan potensi faktual, serta menjelaskan bagaimana
usaha-usaha dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu melalui penerapan
strategi yang dipilih. Faktor lingkungan internal dalam pembangunan kota
pesisir selalu terkait dengan tersedianya sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, sarana dan prasarana, maupun dukungan kebijakan serta
kelembagaan. Sedangkan faktor lingkungan eksternal berhubungan dengan

Perencanaan Pengembangan Kota 69


degradasi habitat perairan, kerawanan bencana, kerusakan hutan dan cagar
alam laut, pencemaran, dan sebagainya. Dengan dikajinya kondisi lingkungan
internal dan eksternal maka akan diketahui isu-isu strategis yang akan
dijadikan sebagai pedoman penyusunan rencana strategis.

5.3 Komponen dan Prinsip Rencana Strategis dalam Pembangunan


Kota Pesisir

Rencana strategis sebagai sebuah dokumen perencanaan mempunyai


landasan pikir yang berbeda jika dibandingkan dengan dokumen
perencanaan pendahulunya. Beberapa perbedaan tersebut antara lain,
adalah :
1. Rencana strategis dikembangkan dengan pola pikir melihat ke masa
depan (vision). Karena dalam perumusannya yang menjadi perhatian
utama adalah di masa depan menjadi apa? dan dengan strategi
bagaimana cita dan citra tersebut akan diwujudkan?
2. Salah satu kunci utama perumusan visi sampai dengan strategi
pencapaian tujuan dan sasaran yaitu program dan kegiatan harus
memperhatikan keselarasan. Dengan keselarasan dapat dijaga tingkat
ketercapaian target yang tinggi. Karena tanpa keselarasan akan
dihasilkan perencanaan yang tidak integral dan mengakibatkan kegiatan
tidak terkait dengan program dan sasarannya.
3. Dalam merumuskan rencana strategis ada keharusan untuk penetapan
indikator kinerja sasaran/program dan kegiatan serta membangun sistem
pengumpulan data. Hal tersebut diperlukan agar pengukuran kinerjanya
dapat dilakukan dengan baik.

Komponen rencana strategis terdiri atas visi, misi, tujuan, sasaran,


kebijakan, program dan kegiatan. Agar perumusan visi pembangunan kota
pesisir dapat lebih tepat, sebagai langkah pertama diperlukan identifikasi

Perencanaan Pengembangan Kota 70


kondisi tapak kota sehingga diperoleh gambaran umum yang dapat dijadikan
sebagai dasar perumusan rencana strategis. Di samping itu perlu juga
dilakukan environmental scanning untuk mengindentifikasi data internal dan
eksternal yang berpengaruh terhadap aktivitas organisasi. Ini dibutuhkan agar
visi yang dirumuskan dapat memenuhi kebutuhan dan harapan mereka.
Sebab eksistensi organisasi sangat tergantung dari
kebutuhan/ketergantungan pelanggan terhadap keberadaan organisasi.
Sebab organisasi pemerintah harus menjadi organisasi yang berorientasi
kepada pelanggan (customer driven organization).
Hasil dari program dan kegiatan yang termuat dalam rencana strategis
diharapkan dapat berdampak positif bagi kemajuan pembangunan kota
pesisir, dan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat penerima
manfaatnya. Untuk bisa mewujudkan hal tersebut penyusunan rencana
strategis harus didasarkan pada prinsip-prinsip: Pertama; mengacu pada
kebijakan umum. Kebijakan dan program pembangunan suatu wilayah
sebaiknya mengacu pada kebijakan daerah terutama Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) maupun kebijakan-kebijakan nasional yang terkait
langsung dengan program yang direncanakan. Hal ini dimaksudkan agar
program pembangunan dapat dapat berjalan beriringan dan saling
mendukung satu sama lain. Kedua; relevan dengan kondisi internal dan
eksternal. Strategi, program, dan rencana kegiatan pembangunan disusun
untuk menjawab isu-isu strategis yang lahir dari analisis lingkungan internal
dan eksternal. Olehnya itu, relevansi diantara keduanya perlu ada sehingga
program dan rencana kegiatan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Ketiga; keterlibatan stakeholders. Program pembangunan harus dibangun
dengan prinsip milik bersama. Artinya, upaya pembangunan bukan hanya
tanggungjawab para perancang program tetapi merupakan tanggungjawab

Perencanaan Pengembangan Kota 71


bersama seluruh stakeholders. Rasa tanggung jawab bersama tadi akan
menguatkan semangat dalam mewujudkan program-program pembangunan.
Keempat; ada fokus. Rencana strategis harus memiliki tujuan yang jelas dan
terarah sehingga bisa fokus pada pencapaian suatu rencana. Kelima; bersifat
strategis dan terukur. Program pembangunan hendaknya merupakan unsur
yang berpotensi bisa dikembangkan di masa depan. Oleh sebab itu, perlu
diperhatikan obyek dan subyek dalam pembangunan apakah memiliki posisi
strategis dan dapat diukur sehingga berpeluang untuk menciptakan
pengembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat.

5.4 Langkah-Langkah dan Rumusan Rencana Strategis

Proses perumusan rencana strategis merupakan proses pengarahan


usaha dalam rencana kegiatan atau program serta menjamin strategi terpilih
dilaksanakan dengan baik sehingga tujuan yang direncanakan dapat tercapai.
Untuk menghasilkan suatu rumusan rencana strategis dalam pembangunan
kota, terdapat beberapa langkah yang dapat diterapkan. Langkah-langkah
tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Memahami proses perencanaan pembangunan kota.
Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk
memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pembangunan kota
yang tidak melalui proses perencanaan yang matang hanya akan
menjadikan sumberdaya sebagai input pembangunan tersebut menjadi
sia-sia. Sebagai personal yang merumuskan rencana strategis harus
benar-benar memahami paradigma pembangunan sesuai dengan tuntutan
kemajuan saat ini. Di samping itu, dia juga harus cermat dalam
menganalisis isu-isu strategis sebagai peluang maupun tantangan dalam
pelaksanaan pembangunan wilayah. Perencanaan pembangunan dalam
prosesnya bukan hanya menempatkan masyarakat sebagai penerima

Perencanaan Pengembangan Kota 72


manfaat hasil pembangunan, melainkan harus dilibatkan dan dibutuhkan
partisipasinya dalam perencanaan pembangunan.
2. Memahami konsep rencana strategis.
Pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan rencana strategis sedianya
memiliki pemahaman mendalam mengenai rencana strategis itu sendiri.
Output dari rencana strategis harus mampu menciptakan pembangunan
yang mensejahterakan masyarakat. Dengan demikian, penetapan
indikator-indikator dalam setiap tahapan rencana strategis menjadi penting
untuk diperhatikan. Dalam rencana srategis perlu diterapkan pendekatan-
pendekatan sistematis sehingga program, kegiatan, dan strategi yang
dirumuskan mampu menjawab isu-isu strategis dalam pembangunan.
3. Pemutakhiran profil wilayah.
Profil wilayah berupa keberdaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
sarana dan prasarana, serta segala unsur penunjang dalam menyusun
rencana strategis harus tersedia serta perlu adanya pemutakhiran data.
Semakin tinggi tingkat keakurasian data atau profil wilayah maka rumusan
rencana strategis akan semakin detail. Dengan demikian, kerjasama
berbagai unsur dalam pemerintahan mutlak dibutuhkan untuk bisa sama-
sama bertanggungjawab dalam pemutakhiran profil wilayah.
4. Perumusan isu-isu strategis.
Isu strategis dapat diartikan sebagai suatu kondisi atau kejadian penting,
yang apabila tidak diantisipasi, akan menimbulkan kerugian besar atau
sebaliknya akan menghilangkan peluang apabila tidak dimanfaatkan.
Analisis isu-isu strategis merupakan bagian terpenting dan sangat
menentukan proses penyusunan rencana untuk melengkapi tahapan-
tahapan yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam menentukan data dan
informasi yang akan dijadikan isu strategis dilakukan dengan
memperhatikan kriteria yakni: (a) memiliki pengaruh yang besar atau

Perencanaan Pengembangan Kota 73


signifikan terhadap pencapaian sasaran pembangunan, (b) luasnya
dampak yang ditimbulkan terhadap publik, (c) memiliki daya ungkit untuk
pembangunan, dan (d) kemungkinan atau kemudahannya untuk dikelola.
5. Menyusun rencana dan program strategis.
Proses penyusunan rencana strategis akan bisa dilakukan apabila telah
dilakukan pengamatan terhadap lingkungan baik lingkungan internal
maupun ekternal. Analisis mengenai kondisi lingkungan akan melahirkan
isu-isu strategis yang segera harus diantisipasi atau dikelola. Dengan
demikian, strategi dan kebijakan akan dapat dirumuskan yang selanjutnya
dikembangkan program-program strategis yang akan menjadi rencana
tindakan. Untuk memastikan program dan rencana tindakan tersebut dapat
berjalan sesuai rencana, maka harus ditetapkan sasaran, sumber-sumber
yang diperlukan, serta pembagian peran dan tanggungjawab.
6. Menyusun rencana monitoring dan evaluasi.
Monitoring dan evaluasi merupakan komponen perencanaan yang sangat
penting, sebagai alat yang mengontrol kinerja perencanaan yang
dilakukan di suatu wilayah tertentu. Suatu program ataupun proyek
perencanaan pada dasarnya memiliki tujuan umum dan pengaturan
aktivitas yang sangat kompleks. Hal tersebut yang seharusnya dilakukan
monitoring dan evaluasi, sehingga hasil yang didapatkan lebih maksimal.
Monitoring dan evaluasi mengekstraksi informasi yang relevan dari masa
lalu, aktivitas yang sedang dilakukan saat ini yang dapat dijadikan basis
data untuk program dan orientasi perencanaan dimasa yang akan datang.
Monitoring merupakan suatu kegiatan yang dilakukan selama proses
perencanaan tersebut dilakukan. Monitoring merupakan suatu kegiatan
pemantauan penyelesaian suatu proyek dimana didalamnya terdapat
review terhadap keberhasian tujuan yang ingin dicapai dan yang
digunakan sebagai dasar input kegiatan berikutnya. Sedangkan evaluasi

Perencanaan Pengembangan Kota 74


merupakan kegiatan yang dilakukan di akhir proses perencanaan, dimana
kegiatan yang dilakukan berupa review dari kegiatan tersebut dimana
komponen yang sangat diperhatikan adalah output, outcome dan
kesesuaian tujuan dengan implementasi yang dilakukan oleh
perencana.
7. Merencanakan konsultasi publik.
Konsultasi publik dalam penyusunan rencana strategis merupakan suatu
kegiatan tukar pendapat, ide, tanggapan konstruktif, dan saran
penyempurnaan sehingga draf rencana strategis yang dipersiapkan dapat
semakin operasional di lapangan. Konsultasi publik melibatkan segenap
unsur masyarakat (stakeholders) yang bertujuan untuk memperoleh
legitimasi atas rencana strategis yang tersusun. Pelaksanaan konsultasi
publik harus bersih dari adanya kepentingan-kepentingan sepihak yang
kemudian merugikan kepentingan publik. Efektifitas konsultasi publik akan
dapat tercapai dengan baik manakala para pelaku mempunyai
kemampuan dan pemikiran yang konstruktif agar mampu untuk
mendengarkan, memahami, mendampingi, dan melakukan tindakan yang
diperlukan untuk melayani kepentingan masyarakat secara luas.
8. Mendokumentasikan dalam bentuk dokumen perencanaan.
Rumusan rencana strategis yang telah melewati tahap konsultasi publik
tentu memiliki perbaikan-perbaikan dari adanya tanggapan ataupun saran-
saran stakeholders. Apabila telah dilakukan revisi, maka rencana strategis
tersebut harus dibuat dalam bentuk dokumen, agar lebih mudah dilihat
kapanpun dibutuhkan terutama saat program dan kegiatannya telah
berjalan.

Beberapa tahapan penyusunan rencana strategis seperti apa yang


telah diuraikan perlu diperhatikan dengan baik terutama oleh pihak yang
terlibat dalam perumusan rencana strategis. Kegiatan awal mulai dari
Perencanaan Pengembangan Kota 75
pemahaman dasar mengenai perencanaan strategis hingga pelaksanaan
program dan rencana aksi yang tertuang dalam dokumen rencana strategis
harus diaplikasikan berdasarkan rencana yang ditetapkan. Hal terpenting
lainnya adalah terlaksananya monitoring dan evaluasi sehingga proses
pelaksanaan program dan kegiatan dapat terkontrol dan terukur sehingga
kegiatan berjalan dengan baik dan hasilnya bisa menjadi pedoman untuk
pelaksanaan lebih lanjut.

5.5 Rencana Strategis dalam Pembangunan Kota Pesisir

Semua kota memiliki ciri khas tersendiri yang ditentukan oleh fungsi
kota dalam ruang lingkup daerah. Masing-masing fungsi memberikan
pengaruhnya tersendiri pada pengembangan kota. Oleh karena itu, hal
pertama yang perlu diperhatikan adalah fungsi apa yang paling dominan
dalam sebuah kota. Sifat serta fungsi kota inilah yang mempengaruhi proses
pembangunan kota tersebut. Setiap kota harus berkembang dengan
karakternya sendiri, dan yang lebih penting, bagaimana kota tersebut mampu
menampung perkembangannya di masa mendatang dengan tetap
mempertahankan kawasan yang berfungsi melindungi kehidupan kota dan
masyarakatnya.
Cara-cara pembangunan kota khususnya kota pesisir harus
mengakomodasi perkembangan dan kecenderungan eksternal yang sangat
pesat, oleh karena itu kota harus dipandang sebagai suatu entity (organisasi)
yang mampu menghadapi tantangan dan mempengaruhi perkembangan
lingkungan kota, maka diperlukan pendekatan baru dalam lingkungan
pembangunan kota-kota tidak cukup hanya mempunyai strategi jangka
panjang yang dituangkan dalam rencana induk, akan tetapi memerlukan
penyesuaian-penyesuaian strategis yang sifatnya operasional terhdap
perubahan-perubahan yang dihadapinya.

Perencanaan Pengembangan Kota 76


Pertumbuhan kota pesisir dengan diiringi penduduk yang besar
bagaimanapun akan membutuhkan area yang lebih besar, sehingga akan
menimbulkan permasalahan dengan alam. Pembangunan kota harus
memperhatikan alam dan lingkungan. Kota besar bukanlah tempat yang
cocok untuk tempat tinggal jika persoalan lingkungan diabaikan (Salim, 1997).
Alam merupakan unit terpenting bagi kelangsungan aktifitas kota dan
manusia di dalamnya, sehingga keseimbangan alam dan lingkungan menjadi
tanggung jawab bersama untuk sekarang dan sampai kapanpun.
Pembangunan kota yang terencana bisa mengurangi timbulnya
berbagai permasalahan seperti yang telah banyak terjadi di kota-kota pesisir
Indonesia. Kurangnya antisipasi masyarakat khusunya penduduk yang
bermukim di kota pesisir terhadap potensi penyebab kerusakan lingkungan
menyebabkan wilayah pesisir semakin terusik dan jauh dari kenyamanan.
Semua orang apalagi masyarakat kota tentu sangat mengidamkan kondisi
kota yang nyaman, bersih, aman, indah, dan di bidang ekonomi memiliki
kekuatan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat di wilayahnya. Guna
mencapai hal tersebut, maka penataan dan perencanaan kota merupakan
upaya pertama dan paling utama serta menerapkan prinsip pembangunan
kota yang mampu menguatkan ekonomi wilayah.
Sebagaimana telah dijelaskan pada sub-sub bahasan sebelumnya,
bahwa perumusan rencana strategis suatu wilayah harus diawali dengan
identifikasi lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Tujuannya yakni
agar dapat diperoleh gambaran umum permasalahan yang sedang dihadapi
ataupun beberapa daya dukung yang menjadi kekuatan dalam
pengembangan kota pesisir. Identifikasi mengenai kondisi lingkungan akan
melahirkan beberapa isu strategis yang mendesak untuk segera ditangani
ataupun ditingkatkan.

Perencanaan Pengembangan Kota 77


Sebagai kota pesisir, tentu sumberdaya yang dapat diandalkan tidak
lain adalah berupa potensi subsektor perikanan baik perikanan tangkap
maupun perikanan budidaya dan perhubungan laut. Sementara di
permukaan, potensi yang ada berupa industri, perdagangan, dan jasa-jasa.
Beberapa potensi tersebut akan bermanfaat maksimal manakala ditunjang
dengan sumberdaya manusia yang berkompeten. Beberapa potensi kota
pesisir yang telah disebutkan tersebut dalam prakteknya sering dijumpai
permasalahan-permasalahan dan membutuhkan penanganan serius
sehingga keberadaannya tidak mengancam kehidupan dalam berbagai
aspek.

5.6 Isu-isu Strategis dalam Pembangunan Kota Pesisir

Isu-isu strategis dalam pembangunan kota pesisir Indonesia secara


umum di antaranya sebagai berkut:

1. Kualitas sumberdaya manusia relatif rendah.


Rendahnya kualitas sumberdaya manusia di wilayah pesisir secara
umum tidak hanya terjadi pada masyarakat pesisir saja, akan tetapi termasuk
pula stakeholders lainnya. Penyebab rendahnya kualitas sumberdaya
manusia di wilayah pesisir sering dihubung-hubungkan dengan rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat. Umumnya masyarakat pesisir memiliki angka
partisipasi yang rendah dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena selain
keterbatasan fasilitas pendidikan, masyarakat pesisir juga sangat dimanjakan
oleh kelimpahan sumberdaya pesisir dan laut sehingga terkadang
mengabaikan pentingnya pendidikan. Akan tetapi semua pihak perlu
meningkatkan kepeduliannya untuk mengatasi rendahnya kualitas
sumberdaya manusia di kawasan pesisir.
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat juga merembes pada
rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Kasusnya kurang lebih sama

Perencanaan Pengembangan Kota 78


dengan faktor pendidikan, yakni minimnya fasilitas kesehatan yang dapat
digunakan masyarakat. Kondisi seperti ini pada umumnya terjadi pada
masyarakat pesisir di wilayah pulau-pulau kecil. Secara detail, rendahnya
kualitas sumberdaya manusia yang sekaligus berdampak pada terhambatnya
pembangunan kota pesisir di antaranya yakni; (a) rendahnya taraf pendidikan
masyarakat, (b) terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, (c) kurangnya
minat tenaga guru untuk membina generasi muda di wilayah pesisir terutama
bagi kawasan yang masih terisolir, (d) rendahnya tingkat kesehatan
lingkungan permukiman, (e) minimnya sarana dan prasarana kesehatan,
termasuk kurangnya tenaga medis, (f) rendahnya tingkat pendapatan
masyarakat, sehingga sangat sulit untuk bisa melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi, (g) kurangnya prioritas pemerintah untuk memacu
peningkatan sumberdaya manusia masyarakat pesisir.
Sebagai akibat dari beberapa kelemahan tersebut, menyebabkan
tidak optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Dampak
lain yang paling dominan adalah pola pemanfaatan sumberdaya yang tidak
memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan serta rendahnya
partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti
padatnya limbah rumah tangga yang mencemari pantai. Hal ini terjadi karena
rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya mengelola sumberdaya
berdasarkan prinsip keberlanjutan. Sementara dari sisi adopsi inovasi,
masyarakat sangat sulit menyesuaikan diri dengan adanya kemajuan
teknologi saat ini. Teknologi yang seharusnya menjadi input bagi
pengembangan usaha subsektor perikanan malah menjadi tantangan bagi
masyarakat pesisir. Lebih disayangkan lagi yaitu rendahnya intervensi
pemerintah terkait pengelolaan wilayah pesisir, serta kegiatan yang
diturunkan pada masyarakat terkesan kurang efektif dan efisien.

Perencanaan Pengembangan Kota 79


2. Lemahnya penegakan hukum
Pengelolaan wilayah pesisir bisa berjalan sesuai kaidah-kaidah
pengelolaan yang benar manakala ditunjang dengan pola pengaturan dan
penegakan hukum oleh aparat pemerintah. Permasalahan yang umumnya
terjadi di antaranya adalah aktivitas penangkapan dengan penggunaan bom
dan racun/obat bius, kurangnya pengetahuan mengenai zonasi yang
ditetapkan pemerintah (kurang sosialisasi), semakin berkurangnya luas
mangrove akibat penebangan liar, adanya masyarakat yang terus melakukan
penangkapan terhadap jenis-jenis ekosistem yang dilindungi. Sementara dari
sisi penegakan hukum, aparat tidak bisa berbuat banyak karena kurangnya
sarana dan prasarana patroli sehingga pengawasan tidak berjalan dengan
maksimal.

3. Inkonsistensi dalam penerapan penataan ruang

Selama ini perencanaan tata ruang lebih banyak berorientasi ke darat dan
belum menyentuh wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Penataan ruang
wilayah pesisir khususnya ruang baik untuk fungsi pemukiman, penangkapan
dan budidaya perairan, kawasan industri (kecil dan menengah), perlu dibuat
dan ditetapkan dalam bentuk aturan, sebab berkaitan erat dengan upaya
meminimalkan pencemaran kawasan pesisir. Salah satu kesulitan penataan
ruang di kawasan pesisir yakni banyaknya penduduk yang bermukim di areal
pantai sehingga untuk mengaturnya akan terjadi konflik. Pada saat ini,
jumlah orang yang ingin memanfaatkan sumberdaya pesisir semakin
bertambah, sementara ketersediaan sumberdaya tersebut semakin menipis.
Belum lagi adanya aktivitas pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Untuk
alasan inilah penataan ruang mutlak dilakukan sehingga pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir berjalan secara teratur dan berkelanjutan.

Perencanaan Pengembangan Kota 80


4. Degradasi ekosistem kota pesisir
Ekosistem kota pesisir yang banyak mengalami penurunan kuantitas
terutama adalah vegetasi mangrove dan terumbu karang, dan berimplikasi
pada menurunnya populasi ikan. Aktivitas penebangan pohon mangrove oleh
kebanyakan masyarakat yang bermukim di kawasan pesisir menyebabkan
terjadinya abrasi pantai. Hutan mangrove yang ditebang masyarakat
biasanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga (kayu bakar dan perabot
rumah).
Dengan lemahnya pengawasan, aktivitas semacam ini masih banyak
dilakukan oleh masyarakat terutama di wilayah pulau-pulau kecil. Disamping
itu, kegiatan lain yang menjadi penyumbang terjadinya degrasi ekosistem
yang paling dominan adalah aktivitas pengeboman ikan ataupun penggunaan
racun sianida. Kedua bentuk kegiatan ini banyak merusak kehidupan terumbu
karang yang pada akhirnya karang sebagai tempat hidup ataupun pemijahan
ikan tidak lagi berfungsi. Akibatnya, ikan pun menjauh untuk mencari tempat
hidup lain.

5. Pencemaran lingkungan kota pesisir


Pencemaran lingkungan kota pesisir terjadi melalui banyak sumber,
diantaranya adalah aktivitas industri yang membuang bahan sisa industri
pada sungai yang akhirnya bermuara ke laut, sampah rumah tangga yang
bermukim di kawasan pesisir, aktivitas penangkapan ikan dengan racun,
minyak kotor hasil buangan kapal laut, kawasan wisata pantai yang tidak
dilengkapi dengan fasilitas pembuangan sampah, dan sebagainya. Sebagai
akibatnya, kualitas perairan pesisir semakin menurun, timbulnya bau yang
tidak menyenangkan dari tumpukan sampah di kawasan pantai, serta
kegagalan produksi bagi masyarakat pembudidaya di kawasan pesisir.

Perencanaan Pengembangan Kota 81


6. Banyaknya potensi obyek wisata bahari yang belum dikembangkan
Indonesia memiliki banyak potensi obyek wisata bahari akan tetapi
kurang mendapat perhatian untuk dikembangkan menjadi sektor andalan. Hal
ini terjadi karena adanya anggapan bahwa sektor pariwisata bahari sangat
sulit untuk menjadi sektor andalan bagi daerah apalagi obyek wisata di pulau-
pulau kecil. Beberapa kelemahan dalam pengelolaan wisata bahari di
antaranya adalah belum terpadunya pengembangan paket wisata bahari,
kurang tersedianya fasilitas wisata menyebabkan kurangnya pengunjung,
menurunnya kualitas pantai, perairan dan terumbu karang yang menjadi
andalan utama untuk pengembangan wisata bahari, rendahnya respon
masyarakat untuk menerima pengunjung atau wisatawan, kurangnya
keterampilan masyarakat untuk menciptakan benda-benda cendramata yang
dibutuhkan pengunjung wisata, dan sebagainya.

7. Belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap maupun budidaya

Perikanan tangkap merupakan usaha andalan khususnya bagi


masyarakat di wilayah kota pesisir Indonesia. Akan tetapi dalam usaha
penangkapan ikan, para nelayan mengalami beberapa permasalahan di
antaranya yaitu semakin jauhnya daerah tangkapan (fishing ground)
sementara armada perahu yang digunakan sangat terbatas. Di samping itu,
masyarakat sangat terkendala dengan pemasaran ikan hasil tangkapannya.
Biasanya hasil tangkapan hanya dipasarkan di lingkungan nelayan sendiri,
dan banyak pula yang menjual ikannya pada pedagang pengumpul
(tengkulak). Harga yang diberlakukan pun jauh lebih rendah sehingga
keuntungan yang diperoleh nelayan sangat sedikit. Kondisi ini merupakan
akibat dari tidak tersedianya sarana penampungan dan pengolahan hasil
tangkapan oleh para nelayan. Disamping itu, usaha perikanan budidaya
belum banyak diminati oleh masyarakat nelayan. Hal ini disebabkan karena

Perencanaan Pengembangan Kota 82


masa produksi yang relatif lama sementara kebutuhan hidup terus mengalami
peningkatan dari hari ke hari. Usaha perikanan budidaya pada kebanyakan
daerah pesisir hanyalah merupakan usaha sambilan, sehingga sehingga
skala usaha cenderung lebih kecil.

5.7 Sasaran, Indikator dan Strategi

Sasaran strategis disusun berdasarkan hasil identifikasi potensi dan


permasalahan yang akan dihadapi saat sekarang dan di masa mendatang.
Sasaran dalam penyusunan rencana strategis merupakan arahan kebijakan
yang ditetapkan agar pengelolaan isu-isu strategis dapat lebih fokus
dilakukan. Program dan kegiatan yang direncanakan harus relevan dengan
sasaran. Olehnya itu, sasaran harus mencakup permasalahan umum
sebagaimana teruraikan dalam isu-isu strategis.
Pernyataan sasaran harus dilengkapi dengan indikator sebagai ukuran
kinerjanya. Sasaran dilengkapi dengan target kinerja atau indikator sehingga
menjadi ukuran keberhasilan dari pencapaian tujuan yang ditetapkan. Agar
sasaran dalam penyusunan rencana strategis memiliki arah yang jelas, maka
perlu diperhatikan beberapa kriteria penetapan sasaran yakni: (a) sasaran
strategis yang ditetapkan harus berupa ukuran pencapaian dari tujuan, (b)
sasaran strategis mencerminkan berfungsinya outcomes dari semua
program, (c) sasaran strategis harus dirumuskan dengan jelas dan terukur,
(d) sasaran strategis harus dilengkapi dengan target kinerja atau indikator.
Berdasarkan kriteria-kriteria penetapan sasaran, dengan mengacu pada
isu-isu strategis misalnya kualitas sumberdaya manusia masih relatif rendah
maka dapat ditetapkan sasaran di antaranya adalah peningkatan taraf
pendidikan bagi masyarakat pesisir. Apabila sasaran-sasaran tersebut
diuraikan dalam taget kinerja atau indikator-indikator pencapaian, maka dapat
dirumuskan sebagai berikut: (a) meningkatnya jumlah lulusan minimal pada

Perencanaan Pengembangan Kota 83


Pendidikan Dasar sembilan tahun, (b) adanya kesimbangan jumlah guru dan
siswa, (c) meningkatnya pendapatan dan taraf hidup masyarakat pesisir,
(d) masuknya mata ajar pengelolaan sumberdaya kepesisiran dalam
kurikulum, (e) terlaksananya program-program pendidikan luar sekolah
(penyuluhan dan latihan). Kelima indikator tersebut secara konsisten
menunjuk pada tercapainya sasaran seperti apa yang telah dirumuskan
tersebut.
Setelah menentukan indikator-indikator pencapaian sasaran, maka
selanjutnya akan dirumuskan strategi atau rencana aksi untuk mewujudkan
indikator yang ditentukan. Dengan demikian, apabila kita kembali pada
sasaran dan indikator tersebut maka beberapa rencana aksi yang dapat
diterapkan yakni: (a) meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan
terutama fasilitas Pendidikan Dasar sembilan tahun, (b) memenuhi kebutuhan
tenaga guru yang proporsional dengan jumlah siswa, (c) melakukan
pembinaaan masyarakat pesisir agar bisa menerapkan usaha yang
berorientasi agribisnis, (d) mengusulkan dan mengimplementasikan kurikulum
pengelolaan sumberdaya pesisir, (e) mengembangkan program pelatihan
serta peningkatan intensitas penyuluhan dalam rangka pembinaan
masyarakat pesisir.
Perumusan sasaran, indikator, dan rencana aksi tersebut merupakan
salah satu contoh dari sejumlah isu-isu strategis yang ada dan telah
dijelaskan pada sub-sub bahasan sebelumnya. Pada hakekatnya, perumusan
sasaran, indikator dan kegiatan/rencana aksi harus tetap relevan dan saling
terkait satu sama lain, sehingga tujuan yang ditetapkan dalam rencana
strategis dapat tercapai sesuai dengan target. Untuk perumusan sasaran,
indikator dan rencana aksi pada beberapa isu strategis lainnya yang telah
dibahas sebelumnya, dapat dirumuskan dengan berpedoman pada indikator
dan rencana aksi untuk mencapai sasaran kualitas sumberdaya manusia.

Perencanaan Pengembangan Kota 84


Menurut Adisasmita (2010), penataan sistem perkeotaan dilakukan dari
dua segi yaitu keserasian antara suatu kota dengan kota yang lain, dan dapat
pula dipandang pada masing-masing kota. Strategi pengembangan perkotaan
untuk masing-masing meliputi beberapa upaya seperti: (a) memperbaiki
alokasi sumberdaya (lahan) perkotaan, (b) memperbaiki kualitas sumberdaya
manusia, (c) mengurangi pengangguran, (d) pembangunan fasilitas
pelayanan perkotaan dan meningkatkan mutu pelayanan, (e) meningkatkan
peran swasta dalam pelayanan kota, (f) penyempurnaan
institusional/kelembagaan. Strategi pembangunan perkotaan pesisir dengan
mengedepankan kualitas sumberdaya manusia adalah pendekatan paling
utama. Kompetensi SDM yang handal akan menguatkan aspek-aspek lainnya
dalam pembangunan perkotaan, seperti terkelolanya sumberdaya alam
secara berimbang dan optimal, terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja
diperkotaan, dan adanya partisipasi aktif masyarakat sebagai bentuk
kesadaran untuk mendukung pembangunan di kota.
Perbaikan dalam alokasi sumberdaya lahan dapat dilaksanakan dengan
mendasarkan pada penataan ruang kota/daerah yang disusun secara
optimal. Dalam penataan ruang perlu memperlihatkan empat buah asas,
yaitu: (a) menciptakan kemudahan yang proporsional untuk menikmati
pelayanan fasilitas ekonomi dan sosial bagi segenap lapisan masyarakat; (b)
kesesuaian pemanfaatan ruang, yaitu kesesuaian antara tuntutan kegiatan
usaha di satu pihak dan kemampuan wilayah di lain pihak; (c) kelestarian
lingkungan yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian kemampuan
wilayah yang berarti pula menjamin jalannya kegiatan usaha; (d) kemampuan
berkembang yang dimiliki masing-masing bagian wilayah yang diharapkan
meningkat dengan adanya interaksi fungsional dengan bagian-bagian wilayah
lainnya.

Perencanaan Pengembangan Kota 85


BAB VI

MENUJU PERENCANAAN KOTA PESISIR BERKELANJUTAN

6.1 Penerapan Integrated Coastal Management dalam Penataan Kota


Pesisir

Pendekatan pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara


terpadu (Integrated Coastal Management = ICM) yaitu keterpaduan
perencanaan yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial budaya
dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Alikodra, 2006). ICM
merupakan pendekatan pengelolaan yang memberikan arah bagi
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan dengan
mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, berbagai tingkat
pemerintahan dan sekaligus mengintegrasikan komponen ekosistem darat
dan komponen ekosistem laut, serta sains dan manajemen.
Pembangunan berkelanjutan telah memasuki perbendaharaan kata
para ahli serta masyarakat setelah diterbitkannya laporan mengenai
pembangunan dan lingkungan serta sumberdaya alam. Laporan ini
diterbitkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan -
PBB (UN World Commission on Environment and Development - WCED)
yang diketuai oleh Harlem Brundtland, dalam laporan tersebut didefinisikan
istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan
sumberdaya keanekaragaman hayati laut, yang minimal harus meliputi empat
dimensi (Dahuri, 2003) yaitu: (1) ekonomi, (2) sosial, (3) ekologi,
(4) pengaturan (governance). Lebih rinci ditampilkan pada Tabel 1.
Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai :
1) Pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial
masyarakat;
2) Pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi
masyarakat;

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 86


3) Pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup masyarakat yang
didukung oleh tata kelola yang menjaga pelaksanaan pembangunan
yang akan meningkatkan kualitas kehidupan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.

Tabel 6.1. Indikator Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Kota Pesisir


Dimensi Indikator
a. Volume dan nilai produksi
b. Volume dan nilai ekspor (diabandingkan dengan total
ekspor nasional)
c. Kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik
Ekonomi
Bruto
d. Pendapatan Nelayan
e. Nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik
f. Pengolahan
a. Penyerapan tenaga kerja
b. Budaya kerja
c. Tingkat pendidikan
Sosial d. Tingkat kesehatan
e. Distribusi jender dalam proses pengambilan keputusan
(gender distribution in decision making)
f. Kependudukan (demography).
a. Komposisi hasil tangkap.
b. Hasil tangkap per satuan upaya (CPUE).
c. Kelimpahan relatif spesies target.
d. Dampak langsung alat tangkap terhadap spesies non
target.
Ekologi e. Dampak tidak langsung penangkapan terhadap struktur
tropik.
f. Dampak langsung alat tangkap terhadap habitat.
g. Perubahan luas area dan kualitas habitat penting
h. perikanan.
i. Hak kepemilikan (property rights).
a. Ketaatan terhadap peraturan perundangan (compliance
Governance regime).
b. Transparansi dan partisipasi.
Sumber: Dahuri, 2003

Salah satu sasaran pembangunan berkelanjutan adalah


meningkatnya penerapan peduli alam dan lingkungan dalam pembangunan

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 87


sehingga dapat meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang tercermin pada
membaiknya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).
Menurut Liu et. al., (2005), indikator pembangunan berkelanjutan
untuk pembangunan kawasan pesisir terdiri dari empat aspek yaitu :
1) Aspek ekologi diukur dari kondisi sumberdaya perikanan, komoditas
utama perikanan keberagaman sumberdaya perikanan, kualitas perairan,
keragaman ekosistem, dan luas kawasan konservasi.
2) Aspek ekonomi dapat dinilai dari jumlah tangkapan, nilai tangkapan,
penerimaan bersih, jumlah tenaga kerja, banyaknya usaha perikanan,
kuantitas kegiatan perikanan, investasi dan subsidi pemerintahan di
bidang perikanan.
3) Aspek sosial dalam pengelolaan kawasan pesisir meliputi statistik dasar
kependudukan dan tingkat pendidikan. Statistik dasar kependudukan
terdiri dari tingkat kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, tingkat
ketergantungan, tingkat kelahiran, tingkat pertumbuhan penduduk.
Tingkat pendidikan terdiri dari angka melek huruf penduduk usia di atas 5
tahun, tingkat partisipasi sekolah, angka kecukupan tenaga pengajar
dengan jumlah murid
4) Aspek kelembagaan meliputi beberapa indikator yaitu efisiensi
pengelolaan, tingkat partisipasi masyarakat, pengembangan kapasitas
masyarakat, keberlanjutan kelembagaan.

6.2 Pengelolaan Pesisir Yang Terintegrasi

Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Filipina,


Malaysia, dan Thailand, pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir di Indonesia
tergolong masih sangat baru. Usaha-usaha pengelolaan sumberdaya pesisir
masih berkembang secara teoritis, bersifat sektoral, dan belum
terdokumentasikan dengan baik. Pengalaman mengelola sumberdaya
wilayah pesisir tersebut juga belum cukup memberikan kontribusi yang berarti

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 88


sebagai pembelajaran untuk mendapatkan model pengelolaan sumberdaya
pesisir yang ideal.
Tulungen, et al., (2002) proses pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir mengikuti serangkaian tahap atau langkah yang berbentuk siklus
kebijakan, yang dimulai dengan: (1) identifikasi isu, (2) persiapan program, (3)
adopsi program atau persetujuan dan pendanaan, (4) implementasi atau
pelaksanaan, dan (5) pemantauan (monitoring) dan evaluasi (lihat Gambar
6.2.). Masing-masing langkah dalam proses ini saling terkait dan mendukung,
namun mekanisme proses dari satu lokasi dengan lokasi lainnya tergantung
pada kebutuhan dan kondisi setempat. Satu siklus pengelolaan ini, yakni
sampai pada tahapan pemantauan dan evaluasi, disebut sebagai satu
generasi pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu, yang dapat berlangsung
selama 2 - 6 tahun.

3 3

4 2 4 2

5 1 5 1

Gambar 6.2. Siklus Kebijakan Pengelolaan Pesisir


Sumber: Tulungen, et al., 2002

Daerah pesisir di Indonesia sebenarnya telah mendapat persetujuan


dalam mengatur, mengelola, atau memberdayakan daerahnya masing
masing, seperti dibahas pada Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah
Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 89


masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut
adalah :
1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut
sebatas wilayah laut tersebut;
2. Pengaturan kepentingan administratif;
3. Pengaturan ruang;
4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah
5. Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
34 tahun 2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil mencantumkan prinsip perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, yaitu:
1. Merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan/atau komplemen
dari sistem perencanaan pembangunan daerah;
2. Mengintegrasikan kegiatan antara pemerintah dengan pemerintah
daerah, antar sektor, antara pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat,
antara ekosistem darat dan ekosistem laut, dan antara ilmu pengetahuan
dan prinsip-prinsip manajemen;
3. Dilakukan sesuai dengan kondisi biogeofisik dan potensi yang dimiliki
masing-masing daerah, serta dinamika perkembangan sosial budaya
daerah dan nasional; dan
4. Melibatkan peran serta masyarakat setempat dan pemangku
kepentingan lainnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2014 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjelaskan bahwa rencana aksi

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 90


pengelolaan adalah tindak lanjut rencana pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk
satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan
berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap kawasan
perencanaan.
Tantangan masa depan kawasan pesisir sebagai lingkungan binaan
(built environment) perlu diarahkan pada penciptaan ruang yang
diorientasikan pada keseimbangan lima aspek yaitu:
1. Ekologi-keruangan,
2. Sosiologi,
3. Antropologi,
4. Kebudayaan dan
5. Ekonomi masyarakat di kawasan pesisir secara berkelanjutan.

Model yang dikembangkan Jones dan Siva (1991) memfokuskan


model integrasi komunitas dan lingkungan binaan dalam konteks
pembangunan kawasan tepian laut/ pesisir perlu memperhatikan 6 (enam) hal
yaitu :
1) Kemajuan (advancement);
2) Perbaikan(betterment);
3) Peningkatan kapasitas (capacity building);
4) Pemberdayaan (empowerment);
5) Peninggian capaian (enhancement);
6) Pendampingan (nurturing).

6.3 Penataan Ruang dan Pengembangan Infrastruktur

Adapun aktor yang paling berpengaruh dalam penataan ruang dan


pengembangan infrastruktur antara lain (1) pelaku industri: optimalisasi

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 91


pemasaran hasil produksi dan peningkatan mutu kualitas produksi, (2) aktivis
lingkungan hidup: tersedianya ruang terbuka hijau untuk mencegah abrasi
pantai, (3) pemerintah: mewujudkan pembangunan berkelanjutan
(Suistainable Development), dan (4) masyarakat umum: tersedianya fasilitas
rekreasi keluarga di wilayah pantai.
Dari sekian banyak kebutuhan yang perlu mendapat perhatian khusus
yaitu (1) pembangunan daerah perkotaan berkelanjutan (2) pembangunan
masyarakat yang berkemampuan (3) pembangunan perumahan dan
pemukiman yang cukup, layak dan sehat, (4) perbaikan dan pengaturan
sistem transportasi perkotaan yang efektif dan efisien, (5) penyediaan
rekreasi dan (6) pembangunan tata ruang perkotaan yang dinamis.
Infrastruktur perkotaan meliputi berbagai jenis yaitu jalan, listrik, air
minum, drainase, sanitasi, manajemen persampahan dan pasar.
Pembangunan infrastruktur perkotaan seharunya dilakukan secara
terintegrasi (integrated urban infrastructure development). Selain hal tersebut,
khususnya pada daerah pesisir diperlukan pelabuhan laut agar memudahkan
akses masyarakat dengan daerah pesisir lainnya. Infrastruktur tempat
pendaratan ikan (TPI) juga tidak kalah pentingnya karena akan membantu
antara lain pendaratan hasil tangkapan, pemasaran hasil tangkapan,
pengisian perbekalan dan tambat labuh.
Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng utama
dunia yaitu lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Eurasia dan
Australia bertumbukan di lepas pantai barat Pulau Sumatera, lepas pantai
selatan Pulau Jawa, lepas pantai Selatan kepulauan Nusa Tenggara, dan
berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan. Antara lempeng
Australia dan Pasifik terjadi tumbukan di sekitar Pulau Papua. Sementara
pertemuan antara ketiga lempeng itu terjadi di sekitar Sulawesi. Itulah
sebabnya mengapa di pulau-pulau sekitar pertemuan tiga lempeng itu sering

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 92


terjadi gempa bumi. Hal tersebut memberikan berpotensi menimbulkan
tsunami.
Dampak perekonomian (economic impact) yang diakibatkan oleh
peristiwa tsunami, seperti :
1. Akibat rusaknya tanaman, masa penggarapan atau produksi (setelah
peristiwa tsunami) terganggu, dimana pemulihannya butuh waktu cukup
lama, khususnya untuk tanaman/pohon-pohon produksi berukuran besar.
2. Dampak ekonomi / roda ekonomi terganggu karena :
a) Adanya kerusakan listrik, telpon dan
b) Jaringan (lifelines) lainnya
c) Adanya kerusakan jalan dan pasar
d) Situasi trauma
e) Dan lainnya

Pengaruh tsunami akan dapat diminimalisir apabila lingkungan pesisir


yang memanfaatkan tata ruang dengan baik. Pemanfaatan tata ruang
tersebut seperti (1) ekosistem mangrove dan (2) terumbu karang. Hal ini
dilakukan dengan melalui pemberdayaan masyarakat pesisir sehingga tidak
terjadi perusakan ekosistem mangrove dan perusakan terumbu karang.
Fungsi dari keduanya agar dapat menjadi pemecah gelombang laut yang
menuju ke darat. Penataan pemukiman penting dilakukan agar tidak terjadi
tumpang tindih antara pemukiman dan perkantoran. Selain itu juga, penataan
jalan dan jembatan yang memudahkan mobilitas masyarakat pesisir yang
berdampak pada kemajuan perekonomian daerah pesisir.

6.4 Penataan dalam Urbanisasi Kota Pesisir

Di Indonesia, gejala urbanisasi mulai tampak menonjol sejak tahun


1970 -an, di saat pembangunan sedang digalakkan, terutama di kota-kota
besar. Beberapa faktor disinyalir menjadi pendorong meningkatnya arus
urbanisasi, diantaranya: (1) perbedaan pertumbuhan dan ketidakmerataan

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 93


fasilitas antara desa dengan kota dalam berbagai aspek kehidupan
(Saefullah, 1994); (2) semakin meluas dan membaiknya sarana dan
prasarana transportasi, (3) pertumbuhan industri di kota-kota besar yang
banyak membuka peluang kerja, (4) pembangunan pertanian, khususnya
melalui paket program revolusi hijau (Hugo, 1975). Tetapi pada umumnya
faktor ekonomi dianggap sebagai faktor utama menjadi pendorong arus
urbanisasi.

Tabel 6.2. Beberapa perbedaan ciri penduduk perkotaan dan pedesaan


(Adisasmita, 2008)

No. Dimensi Perkotaan Pedesaan


1. Ekonomi Didominasi oleh Utamanya sektor
kegiatan sektor primer dan kegiatan
sekunder yang penunjangnya
tersier.
2. Struktur pekerjaan Industri Pertanian dan industri
pengolahan, primer lainnya
konstruksi,
administrasi dan
jasa
3. Tingkat dan Lebih tinggi dari Lebih rendah dari rata-
pelayanan rata-rata nasional rata nasional
pendidikan
4. Aksesibilitas kepada Tinggi Rendah
jasa pelayanan
5. Aksesibilitas pada Tinggi Tinggi
informasi
6. Demografi Tingkat kelahiran Tingkat kelahiran dan
dan kematian kematian tinggi
rendah
7. Politik Lebih liberal dan Konservatif dan
radikal menentang perubahan
8. Etnik Beragam Lebih homogen
9. Tingkat migrasi Tinggi dan Rendah dan umumnya
umumnya net net migrasi keluar
migrasi masuk
10. Sikap terhadap Progresif, inovatif, Konservatif, bersifat
perubahan dan modern status quo dan
tradisional.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 94
Perbedaaan dimensi antara desa dan kota menimbulkan terjadinya
urbanisasi penduduk dari desa ke kota dengan harapan memperoleh
kesejahteraan hidup yang lebih baik daripada di desa. Adanya urbanisasi
dapat menimbulkan dampak yang bersifat positif yaitu sebagai berikut
(Bintaro, 1983; Ischak, 2001):
1. Struktur ekonomi menjadi lebih bervariasi. Timbul bermacam-macam
usaha, antara lain: transportasi, perdagangan, bermacam usaha di
bidang jasa dan lain-lain.
2. Berkembangnya usaha di bidang wiraswasta, seperti peternakan ayam,
burung puyuh, pariwisata dan lain-lain.
3. Berkembangnya bidang pendidikan mulai Sekolah Dasar sampai
Akademi/Perguruan Tinggi.
4. Meluasnya kota kearah pinggiran kota sehingga transportasi menjadi
lebih lancar.
5. Meningkatkan harga tanah, baik di kota dan pinggiran kota.
6. Berkembangnya industrialisasi, sebab tenaga kerja murah, pasaran
meluas sehingga industri cenderung lebih berkembang.
Selain dampak positif yang ditimbulkan urbanisasi namun juga
mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan (Ischak: 2001):
1. Berkurangnya ruang terbuka,
2. Masalah pencemaran air, termasuk intrusi air laut pada daerah pantai,
3. Masalah transportasi dan pencemaran udara,
4. Pencemaran udara akibat industri,
5. Masalah sampah,
6. Pencemaran daerah pantai,
7. Masalah pendidikan lingkungan.
Dampak urbanisasi di negara maju berbeda bila dibandingkan dengan
negara berkembang. Bedanya adalah dinegara berkembang secara fisik kota
akan tumbuh menjadi besar dan luas dengan tingkat teknologi dan kualitas

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 95


kehidupan kota yang kurang memadai, misalnya pemukiman miskin
(squatter), sarana-prasarana yang kurang memadai. Sebaliknya di negara
maju perubahan fisik kota berkembang dengan pemukiman elite di pinggiran
kota yang ditunjang dengan teknologi maju (Suharso, 2014)
Secara umum masalah perkotaan dapat dibagi dalam beberapa
kelompok permasalahan yakni (Adisasmita, 1998; Adisasmita, 2008):
1. Keadaan lingkungan fisik perkotaan (urban setting) kurang memadai,
antara laju pertumbuhan penduduk yang cepat, sikap hidup dan perilaku
penduduk pendatang baru yang belum banyak mengenal dengan tata
kehidupan perkotaan, tersedianya lapangan kerja yang terbatas,
kebutuhan sarana hunian (perumahan) meningkat terus sedangkan yang
tersedia adalah terbatas, penentuan lokasi industri perkotaan yang tidak
terarah, pemanfaatan lahan perkotaan yang tidak efektif dan terancana
dengan baik, kurangnya prasarana dan sarana perkotaan yang terbatas,
seperti transportasi umum perkotaan, aliran listrik, air minum dan
sebagainya.
2. Perencanaan dan program pembangunan perkotaan serta koordinasi
pelaksanaannya masih mengalami berbagai kendala dan kelemahan.
Disadari bahwa penyusunan rencana pembangunan perkotaan yang
komprehensif dan berkelanjutan adalah tidak mudah, hal ini disebabkan
karena kehidupan masyarakat perkotaan berkembang sangat cepat,
selain dari itu sifat permasalahan pembangunan perkotaan yang dihadapi
adalah sangat kompleks dan bersifat multi aspek, sedangkan
kemampuan aparat perencana dan pengelola perkotaan masih lemah, di
samping itu kemampuan keuangan daerah adalah terbatas dan lemah.
3. Sarana penunjang yang tersedia seringkali belum dimanfaatkan
sepenuhnya, misalnya keahlian dan kepakaran yang berada di perguruan
tinggi, data dan informasi, pengalaman-pengalaman (baik daerah
setempat maupun dari daerah lain), potensi sumber pendanaan

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 96


pemerintah daerah dan pembiayaan pembangunan daerah dan lain
sebagainya.
4. Partisipasi masyarakat (social participation) dan pemberdayaan
masyarakat (social empowerment) dari seluruh lapisan atas sampai
lapisan bawah untuk menunjang pembangunan perkotaan belum
dikembangkan dan diaktualisasikan secara luas dan intensif.
5. Norma-norma tata tertib pergaulan sosial, tertib hukum (penegakan
hukum), dan tata tertib kemasyarakatan ternyata sering tidak diindahkan
dan bahkan dilanggar, disebabkan antara lain karena kondisi sosial
ekonomi dari sebagian masyarakat perkotaan yang masih rendah dan
terdapat pihak-pihak yang sengaja mengabaikan peraturan dan
perundangan yang berlaku, sehingga menimbulkan benturan dan
ketidaktertiban dalam kehidupan masyarakat perkotaan.
Kebijakan perencanaan wilayah kota pesisir sangat urgen untuk
diaplikasikan pada 3 tipe kawasan pantai berikut ini :
1. Daerah konservasi pantai yang mempunyai pertimbangan nilai
konservasi ekosistem yang tinggi (high value natural conservation) dan
memiliki nilai lansekap (bentang alam) yang indah (scenic landscape).
2. Daerah yang sebagian dapat dikembangkan untuk kepentingan spesifik
yang membutuhkan potensi pantai (misalnya, pelabuhan, fasilitas
perikanan, pariwisata)
3. Daerah yang perlu dikendalikan karena proses perkembangan
perkotaannya (urbanisasi).

6.5 Penataan Kota Pesisir yang Nyaman

Perencanaan tata guna lahan pada kota posisir pesisir dapat dilandasi
oleh (Mulyadi, 2005):

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 97


1. Rencana pembangunan nasional yang menempatkan pengembangan
pesisir dalam rangka menunjang kepentingan peningkatan pendapatan
nasional dan ketahanan nasional;
2. Rencana pengembangan regional yaitu dalam kaitannya dengan
pembangunan daerah guna meningkatkan pendapatan regional serta
kelestarian lingkungan hidup;
3. Rencana pengembangan lokal yaitu dalam kaitannya dengan usaha
pengembangan pesisir sebagai gerbang bagi peningkatan peranan suatu
kota atau desa pantai sebagai kegiatan jasa distribusi lokal dan regional.

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penataan kota pesisir


adalah sebagai berikut:
1. Pembangunan perumahan rakyat dalam bentuk sederhana dan rumah
sangat sederhana agar memenuhi kebutuhan rumah yang layak bagi
masyarakat pesisir sehingga dapat membantu peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
2. Perbaikan manajemen transportasi ditujukan untuk pengaturan lalu lintas
daerah perkotaan dapat terselenggara secara lancar, tertib dan teratur,
aman/selamat dan nyaman. Jika manajemen taransportasi berjalan
dengan baik maka akan mengurangi tingkat stres masyarakat karena
macet.
3. Pembangunan obyek-obyek wisata dan tata ruang terbuka sangat
penting karena memberikan hiburan kepada masyarakat dan
mengembalikan kesegaran jasmani setelah bekerja. Hal ini memudahkan
masyarakat pesisir dalam mengakses termpat wisata sehingga tidak
memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh hiburan .

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,


perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 98


luas wilayah kota. Target luas sebesar 30% dari luas wiayah kota dapat
dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan.
Penyediaan dan pemanfaatan ruang tebuka hijau dimaksudkan untuk
menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi :
1. Kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis;
2. Kawasan pengendalian air larian denganmenyediakan kolam retensi;
3. Area pengembangan keanekaragaman hayati;
4. Area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan
perkotaan;
5. Tempat rekreasi dan olahraga masyarakat;
6. Tempat pemakaman umum;
7. pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan;
8. pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis;
9. penyediaan ruang tebuka hijau yang bersifat privat, melalui pembatasan
kepadatan serta kriteria pemanfaatannya;
10. Area mitigasi/evakuasi bencana dan ruang penempatan pertandaan
(signage) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak
mengganggu fungsi utama RTH tersebut.
Secara konsepsional, suatu wilayah tempat pembangunan
dialokasikan terdiri atas tiga zona. Pertama, zona preservasi, yaitu suatu
wilayah yang mengandung atribut biologis dan ekologis yang sangat vital bagi
kelangsungan hidup ekosistem dan seluruh komponennya meliputi biota
(organisme), termasuk kehidupan manusia, spesies langka atau endemik,
tempat (habitat) pengasuhan dan pemijahan berbagai biota laut, alur
(migratory routes) ikan dan biota laut lainnya, dan sumber air tawar. Di dalam
zona preservasi tidak diperkenankan kegiatan pemanfaatan atau
pembangunan, kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan.
Kedua, zona konservasi, yakni wilayah yang di dalamnya
diperbolehkan adanya kegiatan pembangunan, tetapi dengan intensitas

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 99


(tingkat) yang terbatas dan sangat terkendali, misalnya wisata alam
(ecotourism), perikanan tangkap dan budidaya yang ramah lingkungan
(responsible fishheries), serta pengusahaan hutan bakau secara lestari. Zona
konservasi bersama preservasi berfungsi memelihara berbagai proses
penunjang kehidupan dan sumber keanekaragaman hayati, seperti siklus
hidrologi dan unsur hara, dan membersihkan limbah secara alamiah. Luas
zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu wilayah
bergantung pada kondisi alamnya, biasanya berkisar antara 30 hingga 50
persen dari luas wilayah.
Ketiga, zona pemanfaatan, yakni wilayah yang karena sifat biologis
dan ekologisnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan
yang lebih intensif; antara lain industri, pertambangan, dan perkotaan dengan
pemukiman padat. Namun, kegiatan pembangunan dalam zona pemanfaatan
hendaknya harmonis mengikuti karakteristik ekologis. Misalnya, kegiatan
budidaya tambak udang hendaknya tidak pada lahan pesisir bertekstur pasir
atau sangat masam, atau berdekatan dengan wilayah industri.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 100


DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Raharjo dan S. A. Adisasmita. 2008. Teori Pertumbuhan Kota


(Perkotaan). Universitas Hasanuddin. Makassar.
Adisasmita, H.R. 2010. Pembangunan dan Tata Ruang. Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Alikodra, Hadi S. 2006. Integrasi Konsep Pengelolaan SDAL Dalam
Perencanaan Pembangunan Daerah. Makalah Disampaikan Pada
Diklat Perencanaan Daerah. Badan Diklat Depdagri. Jakarta.
Ali, Mukti. 2015. Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir sebuah
“Keniscayaan”?. Prosiding Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan
Binaan Indonesia di Universitas Sam Ratulangi.
Allen, J. H. & Potiowsky, T. 2008. Portland„s Green Building cluster:
Economic Trends and Impacts. Economic Development Quarterly
22(4), 303-315.
Allison, M. dan Kaye, J. 2005. Strategic Planning for Non Profit Organizations:
A Practical Guide and Workbook. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Arif F, Mary Selintung Dan Ria Wikantari, 2011. Settlement Rubbish Handling
In The Coastal Regions Of Makassar City, Teknik Perencanaan Dan
Pengembangan Wilayah Pascasarjana Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Benedict, M. A., & McMahon, E. T. 2002. Green Infrastructure: Smart
conservation for the 21st century. Renewable Resources, 20, 12–17.
Birch, E.L. & Wachter, S.M. (ed). 2008. Growing Greener Cities : Urban
Sustainability in the Twenty First Century, University of Pennsylvania
Press, Philadelphia, 392p.
Blank, Tarquin. 2005. Engineering Economy. New York: Mc Graw-Hill inc.
BNPB 2010. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014.
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Indonesia.
Breen, Ann And Dick Rigby. 1994. Waterfronts, Cities Reclaim Their Edge.
Newyork, USA: Mcgraw-Hill,Inc.
Budiharsono, Sugeng. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir
dan Lautan. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Chao, M. Parker,G. Mahon, D. & Kammerud, R. (1999). Recognition of
Energy Costs and Energy Performance in Commercial Property

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 101


Valuation: Recommendations and Guidelines for Appraisers, February
1999. For the Pacific Gas & Electric Company and the U.S.
Environmental Protection Agency. Retrieved June 29, 2009, from
http://www.imt.org/ DF%20files/CA%20RGs%202-99.PDF
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dahuri, R., Rais, R. J. Ginting, S. P. dan Sitepu, M. J. 1996. Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita.
Jakarta.
Daniels, T. (2008), Taking the Initiative :Why Cities Are Greening Now, in
”Growing Greener Cities : Urban Sustainability in the Twenty First
Century”, edited by Birch, E.L & Wachter, S.M, University of
Pennsylvania Press, p ix – xii
Dawkins, C, J. (2000). Transactions Cost and the Land Use Planning
Process. Journal of Planning Literature 14(4), 507-518.
De Roo, M. (2011), The Green City Guidelines: Techniques for A Healthy
Liveable City, Vormerveer: Zwaan Print Media.
Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public
Works (2010a), Ecological Footprint of Indonesia 2010, Jakarta:
Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of
Public Works.
Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public
Works (2011), Program Pengembangan Kota Hijau: Dari Rencana
Menuju Aksi Nyata, Jakarta: Directorate General of Spatial Planning
and Development, Ministry of Public Works. Proceeding.
Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public
Works (2012a), Kajian Telapak Ekologis pada KSN Perkotaan, Jakarta:
Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of
Public Works.
Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Perikanan dan
Kelautan. 2003. Modul Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Terpadu. Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Jakarta.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah. 2003. Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang di
Indonesia, Tinjauan Teoritis dan Praktis: Makalah Dipresentasikan
dalam Studium Generale STTNAS. Yogyakarta.
Djunaedi, Achmad. 2000. Keragaman Pilihan Corak Perencanaan (Planning
Style) untuk Mendukung Kebijakan Otonomi Daerah: Makalah
Dipresentasikan dalam Seminar dan Temu Alumni MPKD. Bali.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 102
Duerksen, C. (2009). Saving the World through Zoning: Sustainable
Community Development Code Reform Project. Presented at the
Planning in the West conference, Boise, Idaho, June 17-18, 2009
Ernawi, I. S., (2010), The “Green Concept” Interfere the Urban Development
Policy in Indonesia, 2nd International Seminar on Tropical Eco-
Settlements, 3 November 2010, Bali.
Evers, Hans-Dieter and Ruediger Korff (2000) Southeast Asian Urbanism. Lit
Verlag, Berlin.
Falkenmark, M., and J. Rockstrom. 2006. The New Blue and Green Water
Paradigm: Breaking New Ground for Water Resources Planning and
Management. Journal of Water Resources Planning and
Management 132, no. 3 (May 0): 129-132
Glaeser, E. L., Kahn, M. E. (2010) The greenness of cities: carbon dioxide
emissions and urban development. Journal of Urban Economics, 67:
404–418.
Graham, S. & Marvin, S. 2001. Splintering Urbanism: Networked
Infrastructures, Technological Mobilities and the Urban Condition,
London: Routledge.
Haryono, Paulus. 2010. Perencanaan Pembangunan Kota dan Perubahan
Paradigma. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Hariyono dan Tukidi. 2007. Konsep Pengembangan dan Penataan Ruang
Indonesia di Era Otonomi Daerah. Jurnal Geografi, Vol.4 (1): 1-10.
Hendro, R, Rudi P, Hari Tri, 2001. Dimensi Keruangan Kota. Universitas
Indonesia, Jakarta
Hopkins, W.E. dan Hopkins S.A. 1997. Strategic Planning-Financial
Performance Relationship in Bank; A Causal Examination. Strategic
Management Journal, Vol 18:8, hal:635-652.
Hugo, G. 1986. Circular Migration in Indonesia dalam Population and
Development Review, No. 8 (1).
Ischak. 2001. Urbanisasi dan Dampak Lingkungan. Jurnal Humaniora Vol. 13
(3): 275-283.
Iswandi, Marsuki., La Ode Alwi. 2013. Model “Green Cityes” Resolusi
Tersembunya Dalam Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
Tropis. Makalah disampaikan dalam seminar Nasional, yang
diselenggarakan oleh Asosiasi Perencana Indonesia (Aspi) di Manado
Tanggal 13-14 September 2013. Manado.
Kementrian Pekerjaan Umum. 2011. Program Pengembangan Kota Hijau
(Panduan Pelaksanaan 2011). Percetakan Negara: Republik

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 103


Indonesia, Jakarta.
Kerzner, Harold. 2001. Strategic Planning for Project Management Using a
Project Maagement Maturity Model, John Willey & Sons, Inc. New
York.
Kirmanto j, Imam S. Ernawi, and Ruchyat Deni Djakapermana, 2012.
Indonesia Green City Development Program: an Urban Reform.
Ministry of Public Works, Indonesia.
Kong Fanhua, Haiwei Yin, Nobukazu Nakagoshi and, Yueguang Zong, 2010
Urban green space network development for biodiversity conservation:
Identification based on graph theory and gravity modeling. Journal :
Landscape and Urban Planning, journal homepage:
www.elsevier.com/locate/landurbplan.
Laidley, Jennefer. 2005. Constructing a Foundation for Change: The
Ecosystem Approach and the Global Imperative on Toronto‟s Central
Waterfront. York University. Ontario.
Lasut M.T. 2002. Environmental Management of Coastal Zone. Sam
Ratulangi Universty. Manado.
Lewaherilla, Niki Elistus. 2002 Pariwisata Bahari; Pemanfaatan Potensi
Wilayah Pesisir dan Lautan. Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program PascaSarjana / S3Institut Pertanian Bogor.
Liu, Pang-Lo, Wen-Chin Chen, & Chih-Hung Tsai. 2005. An Empirical Study
on The Correlation between The Knowledge Mana-gement Method and
New Product Develop-ment Strategy on Product Performance in
Taiwan‟s Industries, Technovation.
Madiasworo, Taufan. 2011. Penataan Ruang Sebagai Basis
Pengembangan Infrastruktur Perkotaan Berkelanjutan. Jakarta:
KIPRAH.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Tinjauan Aspek
Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir.
Surabaya
Mintzberg, H. 1994. The Rise and Fall of Strategic Planning. NY: The Free
Press. New York.
Mulyadi. 2005. Ekonomi Kelautan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Muluk. 1995. Masyarakat Pesisir dan Pegelolaan Wilayah Pesisir, Kumpulan
Makalah Pelatihan Sistem Ekologi dan Sosial Wilayah Pesisir, Puslit
LH Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Newell J, Mona Seymour, Thomas Yee, Jennifer Renteria,, Travis Longcore,
Jennifer R. Wolch, Anne Shishkovsky. 2012. Green Alley Programs:
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 104
Planning for a sustainable urban infrastructure?. journal homepage:
www.elsevier.com/locate/cities. Cities xxx (2012) xxx–xxx
Prianto, E. 2005. Proseding Fenomena Aktual Tema Doktoral Arsitektur dan
Perkotaan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Purba. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Kantor Menteri Negara


Lingkungan Hidup. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Rahmat, Adipati, 2010. Jakarta Waterfront City. adipatirahmat.wordpress.
com
Rais, J. 1997. Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Peisisir Terpadu
(Integrated Coastal Zone Planning and Management). Universitas
Diponegoro. Semarang.
Robert Young, E. Gregory McPherson, 2013. Governing metropolitan green
infrastructure in the United States, Journal : Landscape and Urban
Planning rn al h om epa ge: www.elsevier.com/locate/landurbplan.
Rapoport A, 1990. The Meaning of the Built Environment: A Nonverbal
Communication Approach. Tucson: University of Arizona Press.
Arizona
Saefullah, Asep D. 1994. Mobilitas Penduduk dan Perubahan di Pedesaan.
Prisma, No. 7, Tahun XXIII, 1994.
Salikin, Karwan A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius.
Yogyakarta.
Salim, Emil, 1997. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.
Siswiyanti, Yayuk dan A. Jahi. 2006. Mengembangkan Kapasitas Masyarakat
Pedesaan dalam Berswasembada Energi Melalui Pendidikan:
Pengembangan energi hijau (green energy) sebagai energi alternatif.
Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor, Vol. 2, (2):77-82.
Suharso, Yohanes. 2014. Proses dan Dampak Urbanisasi. Jurnal Majalah
Ilmiah Pawiyatan, Vol. 11 (2): 114-125.
Suharti. 2000. Potret Nelayan Kenjeran. Socialforum.hyoermart.net/_cusudi/
00000007.html. Diakses pada tanggal 5 Februari 2016.
Suhartono. 2007. Kehidupan Masyarakat Pesisir. [online].
http://coastalpoverty.blogspot.com/2008/02/gambaran-kehidupan-
masyarakat-pesisir.html. Tanggal akses 25 Januari 2016
Sumarmi. 2007. Perilaku Masyarahat dalarn Pelestaian Jalur Hijau di
Sempidan Sungai Brantas. Malang: Lembaga Penelitian.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 105


Sumarmi. 2009. Sekolah Hijau sebagai Alternatif Pendidikan Lingkungan
Hidup dengan Menggunakan Pendekatan Ko ntelcstual. lurnal llmu
Pendidikan UM. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sumarmi. 2010. Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH): Dipresentasikan dalam
Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang Sebagai Pidato
Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Geografi Lingkungan
Pada Fakultas Ilmu Sosial. Malang.
Suprijanto, Iwan. 2006. Karakteristik Spesifik, Permasalahan dan Potensi
Pengembangan Kawasan Kota Tepi laut/Pantai (Coastal City) di
Indonesia“, Proceeding - Studi Dampak Timbal Balik Antar
Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan
Global.
Tarigan, Robinson. 2008. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bumi
Aksara. Jakarta.
Tjandrasasmita, U. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota
Muslim di Indonesia, Menara Kudus. Kudus.
Tulungen. J, Bayer. T, Dimpudus. M, Kasmidi. M, Rotinsulu. C, Sukmara. A,
Tangkilisan. N. 2002. Panduan Pembentukan dan Pengelolaan Daerah
Perlindungan laut Berbasis Masyarakat. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta.
United Nations (2012), The Future We Want, at the Rio+20 Conference, Rio
de Janeiro, Brazil, 20-22 June
Usman, Sunyoto. 2003. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Veron, J. 2006, L‟urbanisation du Monde, Collection reperès, Paris: la
Découverte.
Wilson, E & Piper, J. 2010. Spatial Planning and Climate Change, Oxon:
Routledge
Woolley, Tom. 1997. Green Building Handbook Volume 1. New York:E & FN
Spon.
Wright, H. 2011. Understanding green infrastructure: the development of a
contested concept in England. Local Environment, 16, 1003–1019.
Yudohusodo, Siswono. 1991. Tumbuhnya Permukiman-Permukiman Liar di
Kawasan Perkotaan. JIIS Nimor 1. Jakarta.

Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir 106


GLOSARIUM

Adaptif : Mudah menyesuaikan (diri) dengan keadaan

Abrasi : Pengikisan batuan oleh air, es, atau angin yang


mengandung dan mengangkut hancuran bahan

Administratif : Sebuah wilayah administratif di Indonesia yang


dipimpin oleh gubernur, bupat ataupun wali kota

Adopsi : Penerimaan suatu usul

Aglomerasi : Perkerumunan atau pengumpulan atau pemusatan


dl lokasi atau kawasan tertentu

Angin Topan : Angin puting beliung

Antropologi : Ilmu tentang manusia, masa lalu dan kini, yang


menggambarkan manusia melalui pengetahuan
ilmu sosial dan ilmu hayati (alam), dan juga
humaniora.

Areal : Wilayah geografis yang digunakan untuk keperluan


khusus
B

Banjir : Peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya


kering) karena volume air yang meningkat

Basis : Asas, dasar

Bermukim : Bertempat tinggal

Biota : Keseluruhan flora dan fauna yang terdapat di dl


suatu daerah

Budaya : Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang


sudah sukar diubah

Budidaya : Usaha yang bermanfaat dan memberi hasil


Budidaya : Bentuk pemeliharaan dan penangkaran berbagai

Perencanaan Pengembangan Pesisir 107


Perairan macam hewan atau tumbuhan perairan yang
menggunakan air sebagai komponen pokoknya.

Bupati : Sebutan untuk kepala daerah tingkat kabupaten.

D
Daerah : Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
menurut prakarsa sendiri

Daerah Pinggiran Daerah yang terletak di pinggir kota;

Danau : Genangan air yang amat luas, dikelilingi daratan;


telaga dan tasik

Daratan : Tanah yang luas (sebagai lawan laut atau pulau)

Dekade : Masa 10 tahun

Demorgrafi : Ilmu yang mempelajari dinamika kependudukan


manusia

Desa : Kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah


keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan
sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa)

Dinamis : Penuh semangat dan tenaga sehingga cepat


bergerak dan mudah menyesuaikan diri dng
keadaan

Disonansi : Kombinasi bunyi yg dianggap kurang enak


didengar

Drainase : Saluran air

E
Edukasi : Pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan
kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari
satu generasi ke generasi berikutnya melalui
pengajaran
Ekologi : Ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk
hidup dan (kondisi) alam sekitarnya

Perencanaan Pengembangan Pesisir 108


(lingkungannya)

Ekologis : Bersifat ekologi: menjamurnya gerakan-gerakan yg


bermakna -merupakan kendala bagi laju
pertumbuhan ekonomi

Ekosistem : Keadaan khusus tempat komunitas suatu


organisme hidup dan komponen organisme tidak
hidup dari suatu lingkungan yang saling
berinteraksi

Eksploitasi : Politik pemanfaatan yang secara sewenang-


wenang

Eksplorasi : Tindakan mencari atau melakukan penjelajahan


dengan tujuan menemukan sesuat

Elemen : Bagian (yang penting, yang dibutuhkan) dari


keseluruhan yang lebih besar

Eliminasi : Penyingkiran; pengasingan

Elite : Kelompok kecil orang-orang terpandang atau


berderajat tinggi

Emisi : Pemancaran cahaya, panas, atau elektron dr suatu


permukaan benda padat atau cair; pemancaran

Estetika : Mempunyai penilaian terhadap keindahan

Etnik : Suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya


mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya

Fauna : Keseluruhan kehidupan hewan suatu habitat,


daerah, atau strata geologi tertentu.

Finansial : Mengenai (urusan) keuangan

Fisiologi : Cabang biologi yang berkaitan dengan fungsi dan


kegiatan kehidupan atau zat hidup

Flora : Keseluruhan kehidupan jenis tumbuh-tumbuhan

Perencanaan Pengembangan Pesisir 109


suatu habitat, daerah, atau strata geologi tertentu;
alam tumbuh-tumbuhan

Fosil : Sisa tulang belulang binatang atau sisa tumbuhan


zaman purba yang telah membatu dan tertanam di
bawah lapisan tanah

Fundamental : Bersifat dasar (pokok); mendasar

Garis Pantai : Garis yang memisahkan pantai dari daratan yang


mencakup teluk, tetapi memotong lurus muara
sungai dan teluk sempit;
Geografis : Bersangkut-paut dng geografi

Governance : Gerakan penyatuan pelaku-pelaku politik lintas


negara yang bertujuan mencari solusi bagi
permasalahan yang dialami beberapa negara atau
kawasan
Gubernur : Jabatan politik di Indonesia. Gubernur merupakan
kepala daerah untuk wilayah provinsi.

Habitat : Tempat tinggal khas bagi seseorang atau kelom-


pok masyarakat atau makhluk hidup lainnya.

Hakiki : Sesungguhnya

Harmonisasi : Pengharmonisan ; upaya mencari keselarasan

Hidrologi : Cabang ilmu geografi yang mempelajari


pergerakan, distribusi, dan kualitas air di seluruh
bumi, termasuk siklus hidrologi dan sumber daya
air

Hilir : Daerah sepanjang bagian muara sungai (daerah


pesisir)
Hulu : Daerah hulu sungai; daerah pedalaman

Hunian : Tempat tinggal; kediaman (yang dihuni):


masyarakat mengharapkan perumahan yang
nyaman dan amansebagai kawasan

Perencanaan Pengembangan Pesisir 110


I

Iklim : Kondisi rata-rata cuaca berdasarkan waktu yang


panjang untuk suatu lokasi di bumi atau planet lain

Industri : Kegiatan memproses atau mengolah barang


dengan menggunakan sarana dan peralatan

Infrastruktur : Prasarana

Inovatif : Bersifat memperkenalkan sesuatu yang baru

Integrasi : Pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh


atau bulat

Intelektualitas : Totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang


menyangkut pemikiran dan pemahaman

Intensif : Secara sungguh-sungguh dan terus menerus


dalam mengerjakan sesuatu hingga memperoleh
hasil yang optimal

Investasi : Pembelian (dan produksi) dari modal barang yang


tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi
yang akan dating

Irigasi : Upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi


lahan pertanian.

Islamisasi : Pengislaman

Jasa : Aktivitas, kemudahan, manfaat, dan sebagainya


yang dapat dijual kepada orang lain (konsumen)
yang menggunakan atau menikmatinya;

Kabupaten : Pembagian wilayah administratif di Indonesia


setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang bupati

Perencanaan Pengembangan Pesisir 111


Kawasan : Daerah tertentu yang mempunyai ciri tertentu,
seperti tempat tinggal, pertokoan, industri dan lain-
lain

Keahlian : Kemahiran dalam suatu ilmu (kepandaian,


pekerjaan)

Keanekaragaman : Hal atau keadaan beraneka ragam

Kebudayaan : Perubahan dalam unsur kebudayaan yang


menyebabkan unsur itu dapat berfungsi lebih baik
bagi manusia yang mendukungnya;

Kedaulatan : Suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah


pemerintahan dan masyarakat

Kepulauan : Rantai atau gugus kumpulan dari pulau-pulau

Kerentanan : Menghasilkan akibat yg tidak dapat diduga

Kolonial : Berhubungan dengan sifat jajahan

Kompetitif : Berhubungan dng kompetisi (persaingan)

Komprehensif : Bersifat mampu menangkap (menerima) dng baik

Komunitas : Kelompok organism yang hidup dan saling


berinteraksi di dalam daerah tertentu; masyarakat;
paguyuban

Konservasi : Pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara


teratur untuk mencegah kerusakan dan
kemusnahan dengan jalan mengawetkan;
pengawetan; pelestarian;

Konstruktif : Bersifat membina, memperbaiki, membangun, dan


sebagainya

Kontemporer : Pada waktu yang sama; semasa; sewaktu; pada


masa kini

Kontinu : Berkesinambungan ; berkelanjutan; terus-menerus

Perencanaan Pengembangan Pesisir 112


Konvensional : Berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum

Konversi : Perubahan dari satu sistem pengetahuan ke sistem


yang lain

Kota : Kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan


oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi
tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas

Kreatifitas : Proses mental yang melibatkan pemunculan


gagasan atau anggitan (concept) baru, atau
hubungan baru antara gagasan dan anggitan yang
sudah ada.

Kumuh : Cemar (tentang wilayah, kampung)

Lahan : Tanah terbuka; tanah garapan

Lamban : Tidak cekatan

Laut : Kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan


luas) yang menggenangi dan membagi daratan
atas benua atau pulau

Lautan : Laut yang sangat luas ; samudra

Limbah : Sisa proses produksi

Lingkungan : Kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup


keadaan sumber daya alam

Masyarakat : Sekelompok orang yang membentuk sebuah


sistem semi tertutup

Migrasi : Perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat


lain untuk menetap

Mobilitas : Gerak perubahan yang terjadi di antara warga


masyarakat, baik secara fisik maupun secara sosial

Perencanaan Pengembangan Pesisir 113


Monitoring : Pengawasan dan tindakan memverifikasi
kebenaran operasi suatu program

Muara : Wilayah badan air tempat masuknya satu atau lebih


sungai ke laut, samudra, danau, bendungan, atau
bahkan sungai lain yang lebih besar

Nelayan : Istilah bagi orang-orang yang sehari-harinya


bekerja menangkap ikan atau hewan laut lainnya
yang hidup di dasar,maupun permukaan perairan.

Norma : Patokan perilaku dalam suatu kelompok


masyarakat tertentu.

Organisasi : Kesatuan (susunan dan sebagainya) yang terdiri


atas bagian-bagian (orang dan sebagainya) dalam
perkumpulan dan sebagainya untuk tujuan tertentu

Otonomi : Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom


untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan

Pantai : Perbatasan daratan dengan laut atau massa air


lainnya dan bagian yang dapat pengaruh dari air

Partisipasi : Suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang


kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung
jawab di dalamnya

Pasang Surut : Naik atau turunnya posisi permukaan perairan atau


samudera yang disebabkan oleh pengaruh gaya
gravitasi bulan dan matahari

Pasca : Sesudah

Perencanaan Pengembangan Pesisir 114


Pedalaman : Daerah terpencilyang terletak jauh dari kota dan
kurang berhubungan dengan dunia luar

Pelabuhan : Sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau


danau untuk menerima kapal dan memindahkan
barang kargo maupun penumpang ke dalamnya.

Pemerintah : Organisasi yang memiliki kekuasaan untuk


membuat dan menerapkan hukum serta undang-
undang di wilayah tertentu

Pemukiman : Bagian kota wilayah besar yang khusus digunakan


untuk tempat tinggal penduduk;

Penataan : Proses, cara, perbuatan menata; pengaturan;


penyusunan

Pencemaran : Produksi yang tidak dinginkkan

Penduduk : Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah


tersebut

Penimbunan : Proses, cara, perbuatan menimbun; pengumpulan

Penjelajahan : Proses, cara, perbuatan menjelajahi

Perairan : Suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah


tertentu, baik yang bersifat dinamis (bergerak atau
mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis
(tergenang)

Perbatasan : Daerah di sepanjang batas dua negara;

Perdagangan : Kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau


keduanya yang berdasarkan kesepakatan bersama
bukan pemaksaan

Perikanan : Kegiatan manusia yang berhubungan dengan


pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati
perairan.

Perikanan : Salah satu bentuk budi daya perairan yang khusus


Budidaya membudidayakan ikan di tangki atau ruang tertutup
Perencanaan Pengembangan Pesisir 115
Perikanan : Usaha penangkapan ikan dan organisme air
Tangkap lainnya di alam liar

Periodisasi : Pembagian menurut zamannya

Perkotaan : Wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan


pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman

Permukiman : Bagian wilayah besar yang khusus digunakan


untuk tempat tinggal penduduk;

Pertanian : Daerah yang digunakan untuk bercocok tanam


dengan atau tanpa pengairan

Perubahan Sosial : Perubahan - perubahan yang terjadi pada lembaga-


lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat
yang memengaruhi sistem sosialnya,

Pesisir : Daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah


darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut

Petani : Seseorang yang bergerak di bidang pertanian

Polemik : Perdebatan mengenai suatu masalah yg


dikemukakan secara terbuka dl media massa

Politik : Proses pembentukan dan pembagian kekuasaan


dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan

Populasi : Kumpulan individu sejenis yang berada pada


wilayah tertentu dan pada waktu yang tertentu pula

Postulat : Asumsi yang menjadi pangkal dalil yg dianggap


benar tanpa perlu membuktikannya;

Potensi : Kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk


dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; daya;

Perencanaan Pengembangan Pesisir 116


Preservasi : Konservasi Lingkungan Hidup

Prioritas : Diutamakan daripada yang lain

Produksi : Suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah


nilai guna suatu benda atau menciptakan benda
baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi
kebutuhan

Provinsi : Suatu satuan teritorial, seringnya dijadikan nama


sebuah wilayah administratif pemerintahan di
bawah wilayah negara atau negara bagian
R

Reklamasi : Usaha memperluas tanah (pertanian) dengan


memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna

Relevan : Berguna secara langsung

Rentetan : Rangkaian

Ruang Terbuka : Suatu bentuk pemanfaatan lahan pada satu


Hijau kawasan yang diperuntukan untuk penghijauan
tanaman

Sampah : Material sisa yang tidak diinginkan setelah


berakhirnya suatu proses

Sanitasi : Usaha untuk membina dan menciptakan suatu


keadaan yang baik di bidang kesehatan, terutama
kesehatan masyarakat

Sektoral : Terbagi dalam sektor

Sempadan : Tanda batas

Sinergis : Berkenaan dengan sinergi

Sosiologi : Ilmu pengetahuan tentang masyarakat.

Stakeholders : Pemangku kepentingan

Perencanaan Pengembangan Pesisir 117


sumber Daya : Suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi
atau unsur tertentu dalam kehidupan

Sungai : Aliran air yang besar dan memanjang yang


mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber)
menuju hilir (muara).

Tata Informasi : Pesan (ucapan atau ekspresi) atau kumpulan


pesan yang terdiri dari order sekuens dari simbol,
atau makna yang dapat ditafsirkan dari pesan atau
kumpulan pesan

Teknologi : Keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-


barang yang diperlukan bagi kelangsungan, dan
kenyamanan hidup manusia.

Teluk : Tubuh perairan yang menjorok ke daratan dan


dibatasi oleh daratan pada ketiga sisinya.

Tenaga Kerja : Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan


guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat

Topografi : Keadaan muka bumi pada suatu kawasan atau


daerah

Transmigrasi : Suatu program yang dibuat oleh pemerintah


Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu
daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain
(desa) di dalam wilayah Indonesia

Transportasi : Perpindahan manusia atau barang dari satu tempat


ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah
kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau
mesin.

Urbanisasi : Perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Perencanaan Pengembangan Pesisir 118


V

Visualisasi : Pengungkapan suatu gagasan atau perasaan


dengan menggunakan bentuk gambar, tulisan (kata
dan angka), peta, grafik, dan sebagainya

Waduk : Danau alam atau danau buatan, kolam penyimpan


atau pembendungan sungai yang bertujuan untuk
menyimpan air

Walikota : Merujuk kepada seorang politikus yang bertindak


sebagai pemimpin sebuah kota.

Wilayah Sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi


teritorial dari sebuah kedaulatan

Wilayah Pesisir : Wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut


yang saling berinteraksi, di mana ke arah laut 12
mil dari garis pantai untuk provinsi

Zonasi : Pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi


beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan
pengelolaan

Perencanaan Pengembangan Pesisir 119

Anda mungkin juga menyukai