Anda di halaman 1dari 14

2.1 Terminal Barang.

Definisi terminal menurut Undang-Undang No, 22 Tahun 2009 tentang Lalu Linta
dan Angkutan Jalan, terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang
digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan
menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan. Menurut
Keputusan Menteri Perhubungan No 31 Tahun 1995 tentang Terminal
Transportasi Jalan, terminal barang adalah prasarana transportasi jalan untuk
keperluan membongkar dan memuat barang serta perpindahan intra dan/atau antar
moda transportasi (Pasal 1 ayat 2). Terminal barang berfungsi melayani kegiatan
bongkar dan/atau muat barang, serta perpindahan intra dan/atau moda transportasi
(Pasal 24).

Menurut Pasal 27 Keputusan Menteri Perhubungan No 31 Tahun 1995 tentang


Terminal Transportasi Jalan, penentuan lokasi terminal barang dilakukan dengan
memperhatikan rencana kebutuhan lokasi simpul yang merupakan bagian dari
rencana umum jaringan transportasi jalan. Dalam pasal 28 penentuan lokasi
terminal barang dilakukan dengan memperhatikan:

a. rencana umum tata ruang


b. kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan di sekitar terminal;
c. keterpaduan moda transportasi baik intra maupun antar moda;
d. kondisi topografi lokasi terminal;
e. kelestarian lingkungan.

Dijelaskan juga dalam pasal 28, lokasi terminal barang selain harus memenuhi
persyaratan:

a. terletak dalam jaringan lintas angkutan barang;


b. terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas IIIA;
c. tersedia lahan sekurang-kurangnya 3 Ha untuk terminal di Pulau Jawa, dan
2 Ha untuk terminal di pulau lainnya.
d. mempunai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal dengan
jarak sekurang kurangnya 50 m di Pulau Jawa dan 30 m di pulau lainnya,
dihitung dari jalan ke pintu keluar atau masuk terminal.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Lokasi Terminal Barang, yaitu:

a. Aksesibilitas: tingkat pencapaian kemudahan yang dapat dinyatakan


dengan jarak, waktu, atau biaya angkutan;
b. Struktur wilayah: untuk mencapai efisiensi dan efektifitas pelayanan
terminal terhadap elemen-elemen perkotaan yang mempunyai fungsi
pelayanan primer dan sekunder;
c. Lalu lintas. Terminal merupakan pembangkit lalu lintas. Oleh karena itu,
penentuan lokasi terminal harus tidak lebih menimbulkan dampak lalu
lintas tetapi justru harus dapat mengurangi dampak lalu lintas;
d. Biaya. Penentuan lokasi terminal perlu memperhatikan biaya yang
dikeluarkan oleh pemakai jasa. Oleh sebab itu, faktor biaya ini harus
dipertimbangkan agar penggunaan kendaraan umum khususnya angkutan
barang dapat diselenggarakan secara cepat, aman, dan murah.

Untuk perencanaan terminal barang harus mempertimbangkan kriteria berikut ini:

a. Sirkulasi lalu lintas: (1). Jalan masuk dan keluar kendaraan harus lancar,
dan dapat bergerak dengan mudah; (2). Barang dapat dengan mudah
diturunkan dan dinaikkan ke atas kendaraan dengan peralatan yang
memadai; (3). Kendaraan di dalam terminal harus dapat bergerak tanpa
halangan yang tidak perlu. Sistem sirkulasi kendaraan barang di dalam
terminal, ditentukan berdasarkan: (1). Arah perjalanan; (2). Frekuensi
kendaraan; (3). Waktu yang diperlukan untuk menurunkan dan/atau
menaikkan barang.
b. Tempat pemungutan retribusi terminal harus tidak menimbulkan
kemacetan atau menghalangi sirkulasi lalu lintas;
c. Saat menurunkan atau menaikkan barang dan parkir kendaraan barang
harus tidak mengganggu kelancaran sirkulasi kendaraan barang itu sendiri;
d. Luas bangunan ditentukan menurut kebutuhan pada jam puncak
berdasarkan kegiatan sirkulasi barang;
e. Tata ruang dalam dan luar bangunan terminal harus memberikan kesan
yang nyaman dan aman;
f. Pelataran terminal terdiri dari: (1). Pelataran jalur tiba dan berangkat; (2).
Pelataran persiapan berangkat; (3). Pelataran docking; (4). Pelataran
bongkar muat barang; (5). Pelataran parkir kendaraan; dan (6). Pelataran
bengkel sementara.
g. Luas pelataran terminal tersebut diatas, ditentukan berdasarkan kebutuhan
pada jam puncak, yaitu: (1). Frekuensi keluar masuk kendaraan; (2).
Kecepatan waktu bongkar muat barang; (3). Banyaknya jurusan yang perlu
ditampung dalam sistem jalur.
Gambar 2. 1. Bagan Proses Arus Terminal Barang Umum

(Sumber: Morlok, 1978: xx)

2.2 Freight Village.

Menurut Gilberto Galloni (1996:xx) Freight Village didefinisikan sebagai area


atau wilayah dimana segala aktivitas yang melibatkan bidang transportasi,
logistik, dan distribusi barang lintas nasional maupun internasional yang
dikerjakan oleh beberapa operator.

Gambar 2. 2 Premilnary Logistics Center Hierarchy

(Sumber: MITL, 2011:xx).

Sedangkan menutut McMaster Institute for Transportation and Logistics (2011),


Freight Village merupakan area suatu lahan yang dikhususkan untuk sejumlah
transportasi dan fasilitas, kegiatan, dan pelayanan logistik dimana tidak hanya
berada dilokasi yang sama tetapi juga berkoordinasi untuk mendorong sinergitas
dan efiensi yang maksimal. Menurut EUROPLATFORMS, konsep Freight
Village didasarkan pada 3 elemen penting sebagai berikut:
1. Perencanaan wilayah bersama rasionaliasi infrastuktur.
2. Kualitas kondisi transportasi. Pelayanan kualitas layanan merupakah salah
satu elemen yang paling penting.
3. Pengembangan Intermodality.

Adapaun keuntungan dari Freight Village dapat dilihat di Gambar 2.6.

Gambar 2. 3 Keuntungan dari Freight Village

(Sumber: The Logistic Institute Asia Pasific, 2015)


Gambar 2. 4 Freight Distribution Center

(Sumber: MITL, 2011).

Jenis Freight Village menurut EUROPLATFORM dan European Union (FV-


2000, 1999) dapat dibedakan menjadi:

- Freight Village yang terintegrasi (Integrated Freight Village).


- Freight Village yang tidak terintegrasi (Non-Integrated Freight Village).

Freight Village mempunyai peran dan fungsi yang lebih dibandingkan terminal
barang. Adapun peran dan fungsi Freight Village sebagai berikut:

- Intermodal infrastructure. Salah satu fungsi utama Freight Village adalah


mempromosikan transportasi intermoda. Menurut Tsamboulans dan
Dimitropoulos (1999) melihat terminal intermodal sebagai komponen utama
dari Freight Village dan selanjutnya Tsamboulans dan Kapros (2003)
menyebut Freight Village sebagai integrator berbagai moda transportasi
dengan tujuan mempromosikan intermoda. UN ESCAP (2009)
mendefinisikan Freight Village sebagai terminal intermoda dan
EUROPLATFORMS (2004) memandang terminal tersebut sama pentingnya
untuk mendorong transportasi intermoda.
Salah satu fungsi utama dari Freight Village sebagai terminal intermoda
adalah mempromosikan perpindahan moda dari jalan ke rel kereta api an
memperbaiki jaringan intermoda antara beberapa area kota antar wilayah.
Pada dasarnya untuk menciptaka jaringan hub dan spoke untuk transportasi
barang.
Gambar 2. 5 Regional Road and Freight Village Networks

(Sumber: MITL, 2011:xx).

Kebanyakan truk jarak jauh menuju suatu kota dari beberapa titik asal.
Biasanya, muatan yang mereka angkut terdiri dari beberapa muatan yang
telah dikelompokkan. Artinya, barang-barang tersebut dikirim untuk
beberapa tujuan yang berbeda (Herzog dalam SUTIP, 2012).
Sungguh tidak ekonomis (dan tidak ramah lingkungan) untuk menugaskan
truk jarak jauh ini berhenti di setiap titik pengiriman di kota, muatan
dibongkar dan dipilah di pusat-pusat logistik (gudang). Fasilitas ini sering
kali disebut pusat distribusi, terminal truk, atau pusat konsolidasi
logistik/gudang konsolidasi. Apabila pusat logistik ini menyediakan ruang,
penyediaan jasa secara kolektif dan akses (biasanya multimoda) diberikan
bukan hanya kepada satu operator logistik saja, namum diberikan ke
beberapa operator, istilah yang tepat adalah kawasan logistik (Herzog dalam
SUTIP, 2012).
Ketika truk jarak jauh tiba di gudang konsolidasi, semua barang muatan
diturunkan. Lalu mereka dipilah-pilah dan dipindahkan ke kendaraan
pengantar yang beroperasi pada rute spesifik, berdasarkan informasi yang
tertera pada dokumen barang (nota tagihan, nota pengiriman, dan lain
sebagainya). Proses ini disebut konsolidasi muatan atau cross-docking
(Herzog dalam SUTIP, 2012).
Gambar 2. 6 Pola perdagangan pasar tradisional tanpa pusat/induk distribusi

(Sumber: Herzog dalam SUTIP, 2012).

Gambar 2. 7 Pola perdagangan pasar modern dengan pusat distribusi/hirarki pusat

(Sumber: Herzog dalam SUTIP, 2012).

Gambar 2.10 dan 2.11 membandingkan sistem pengantaran barang langsung


dan sistem pusat-sub-pusat (hirarki) melalui suatu pusat distribusi (gudang
konsolidasi).
 Tanpa pengaturan logistik;
 Perjalanan berlipat ganda;
 Biaya transportasi tinggi.

Gambar 2. 8. Freight Village Urban Distribution Function

(Sumber: MITL, 2011).

- Generator of Business and Economic Development. Peran kedua dari


Freight Village menyangkut pengembangan ekonomi. Meidute (2005)
mencatat dalam tinjauan pustaka di Jepang,Singapura, Cina, Amerika
Serikat dan beberapa negara eropa bahwa Freight Village tidak hanya
bagian dari infrastruktur intermoda tetapi berperan penting untuk bisnis.

Gambar 2. 9. Synergic Benefits of a Freight Village

(Sumber: MITL, 2011).

Adapun contoh beberapa Freight Village di negara lain sebagai berikut:


1. Kawasan Logistik Bologna

Terletak di jantung zona ekonomi/manufaktur, dilalui oleh lima jalur kereta api
utama dan empat jalur tol, Bologna adalah titik vital bagi perdagangan nasional
dan Eropa. Kota ini terletak di persimpangan jalan poros utara-selatan, yang
berperan memindahkan 35% dari barang yang melalui Italia, dan 16% dari
keseluruhan Eropa daratan, tergantung pada arus lalu lintas yang selalu
meningkat.

12 km dari pusat kota terdapat salah satu kawasan kawasan logistik terbesar di
Eropa, suatu kawasan intermoda, jaringan rel dan infrastuktur jalan, dilengkapi
dengan peralatan untuk memindahkan barang baik untuk keperluan nasional
maupun internasional. Wilayah dengan luas 2 juta kilometer persegi, dimana 350
ribu dari jumlah tersebut adalah berupa ruangan beratap, disinggahi tidak kurang
5.000 truk besar. Kawasan ini dapat diakses langsung oleh jalan tol A13 antara
Bologna – Padua, dan dilalui oleh jalan rel sepanjang 7 km, meliputi 650.000
kilometer persegi. 100 perusahaan domestik dan internasional melayani beroperasi
di dalam kawasan ini, termasuk perusahaan angkutan barang, kepabeanan,
pergudangan, bengkel mekanik, dan cuci truk, kantor pos, restoran, dan kantin
(Promo Bologna, 2010:xx).

Gambar 2. 10. Parkir truk dengan tenaga keamanan di Kota Bologna


(Sumber: PTV Bologna Italia, 2010).

2. Kawasan Logistik di Kota Bremen

Di Jerman, “Deutsche GVZ-Gesellschaft” (DGG), suatu badan di Kota Bremen,


adalah pihak yang mengambil peranan tersebut. Beberapa kota logistik di Jerman
(lihat Gambar 2.14) tidak hanya di dukung, namun juga di monitor dan dibahas
oleh DGG. Badan ini juga berperan sebagai lembaga penelitian dan
pengembangan untuk memastikan agar semua pelajaran yang di petik dari
pengoperasian disebarluaskan pada semua anggoa dan juga pihak-pihak yang
tertarik mempelajari.

Gambar 2. 11. Lokasi-lokasi kawasan logistik di Jerman


(Sumber: GVZ, 2010).

Kawasan Logistik di Kota Bremen, Jerman (GVZ) berdiri diatas lahan seluas 5
km persegi, melayani 135 perusahaan logistik dan perusahaan perdagangan serta
mempekerjakan lebih dari 5.000 karyawan. Kawasan ini terdiri dari terminal truk,
terminal peti kemas (kontainer), pergudangan dan penanganan muatan. Pelayanan
lain termasuk Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), bengkel truk, bea
cukai, dan restoran.

Gambar 2. 12. Terminal barang tiga moda dan pusat konsolidasi muatan di Kota
Bremen Jerman

(Sumber: Nobel, ISL: xx).

3. Pusat Konsolidasi untuk Kota London di South Bermondsey

Beberapa kota, seperti di London dan Stokholm di Eropa, telah menerapkan


skema konsolidasi bahann bangunan. Pusat Konsolidasi Bahan Bangunan/London
Contruction Consolidation Center (LCCC) pertama kali beroperasi pada 2006
atas pendanaan dari Transport for London (GBP 1,85 juta) dan investor swasta
(GBP 1,35 juta). Evaluasi yang dibuat pada tahun 2007 menunjukkan bahwa skea
ini mampu mengurangi penggunaan kendaraan sebesar 68% dan mengurangi
emisi sebesar 75%. Selain itu, jumlah kendaraan angkutan barang yang mogok
berkurang drastis (Dablanc, 2010 dan TFL 2009).

Gambar 2. 13. Pusat Konsolidasi untuk Kota London di South Bermondsey

(Sumber: Transport for London, 2009).

Pengantaran dari LCCC ke lokasi proyek mencapai tingkat keandalan sebesar


97% (yaitu 97% dari bahan bangunan dengan jenis yang benar dan jumlah yang
tepat terkirim tidak lebih dari 15 menit dari jadwal). Standar yang dicapai tanpa
pusat konsolidasi adalah sekitar 39%. Keuntungan lainnya adalah meningkatnya
fleksibilitas pengiriman, karena perusahaan dapat memesan dalam jumat kecil
untuk tiap lokasi proyek sementara pemasok dapat mengirim bahan bangunan
dengan truk bermuatan penuh ke LCCC (Dablanc, 2010 dan TFL 2009).
Gambar 2. 14. Situasi di dalam Pusat Konsolidasi London

(Sumber: Transport for London, 2009).

Anda mungkin juga menyukai