Anda di halaman 1dari 11

7

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Kritis

Definisi kondisi kritis

Sakit kritis adalah kejadian tiba-tiba dan tidak diharapkan serta


membahayakan hidup bagi pasien dan keluarga yang mengancam ekuilibrium
internal, yang biasanya terpelihara dalam unit keluarga tersebut. Kejadian tersebut
dapat berupa sakit akut atau trauma & perburukan akut penyakit kronis (Morton et
al, 2011).

2.2 Efek Kondisi Kritis pada Pasien dan Keluarga


Sakit kritis merupakan kejadian yg tiba - tiba dan tidak diharapkan serta
membahayakan hidup bagi pasien dan keluarga yang mengancam keadaan stabil.
Stress dan penyakit merupakan efek dari kondisi kritis terhadap pasien. Stress
didefinisikan sebagai suatu stimulus yang mengakibatkan ketidakseimbangan fungsi
fisiologis dan psikologis. Pada kenyataannya, bahwa dengan diterimanya pasien di
ICU menjadikan tanpa adanya ancaman terhadap kehidupan dan kesejahteraan pada
semua individu yang dirawat. Di sisi lain, perawat keperawatan kritis merasakan
bahwa unit keperawatan kritis merupakan tempat di mana hidup dengan
kewaspadaan. Di sisi lain juga pasien dan keluarga merasa bahwa diterimanya di ICU
sebagai tanda akan tiba kematian karena pengalaman mereka sendiri atau orang lain.
Karena perbedaan persepsi tentang perawatan kritis antara pasien, keluarga, dan
perawat, maka terputusnya komunikasi kedua pihak harus diantisipasi. Peran sakit
pada pasien yg sering ditemukan adalah peran tidak berdaya. Stres karena penerimaan
peran sakit, ketidakberdayaan dapat menyebabkan terputusnya komunikasi antara
pasien dan perawat. Ketidakberdayaan sering dihubungkan dengan ansietas yang
menjelaskan bahwa mengalami kemunduran pada pasien dewasa. Berbagai macam
perilaku koping pasien seperti mengingkari, marah, pasif, atau agresif umumnya dapat
dijumpai pada pasien. Upaya koping pasien mungkin efektif atau tidak efektif dalam
mengatasi stres dan ini mengakibatkan ansietas. Jika perilaku koping efektif, energi
dibebaskan dan diarahkan langsung kepenyembuhan. Jika upaya koping gagal atau
tidakefektif, maka keadaan tegang meningkatan dan terjadi peningkatan kebutuhan
energi. Hubungan antara stres, ansietas, dan mekanisme koping adalah kompleks dan
ditunjukkan secara kontinyu dalam berbagai situasi keperawatan kritis. Tingkat stres
yg ekstrem merusak jaringan tubuh dandapat mempengaruhi respon adaptif jaringan
patologis. Jika koping tidak efektif, ketidakseimbangan dapat terjadi dan respon
pikiran serta tubuh akan meningkat berupaya untuk mengembalikan keseimbangan.
2.2.1 Efek Kondisi Kritis Terhadap Keluarga
Keluarga dalam lingkup ini diartikan sebagai orang yang berbagi
secara intim dan rutin sepanjang hari kehidupan dalam proses asuhan
keperawatan. Orang- orang tersebut mengalami gangguan
homeostasisnya oleh karena masuknya pasien ke area kritis. Siapa saja
yang merupakan bagian penting dari pola hidup normal pasien
dipertimbangkan sebagai anggota keluarga. Di area keperawatan kritis
keterlibatan keluarga merupakan bagian integral dari perawatan pasien
di ICU dan telah memiliki kontribusi positif terhadap kesembuhan
pasien (Wardah, 2013).

Adapun stimulus atau rangsangan disini terdiri dari 4 unsur


pokok yaitu: sakit, penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan
lingkungan. Terkait dengan respon keluarga pada anggota keluarga yang
dirawat di ruang intensif, keluarga seringkali merasakan stress ataupun
cemas. Kecemasan yang tinggi muncul akibat beban yang harus diambil
dalam pengambilan keputusan dan pengobatan yang terbaik bagi pasien.
Respon keluarga terhadap stres bergantung pada persepsi terhadap
stress, kekuatan, dan perubahan gaya hidup yang dirasakan terkait
dengan penyakit kritis pada anggota keluarga. Pada titik kritis ini, fungsi
keluarga inti secara signifikan berisiko mengalami gangguan (Nurhadi,
2014).

1. Efek Psikologis
a. Stres akibat kondisi penyakit pasien (anggota keluarga)
Respon terhadap stress:
1) Teori Stress Keluarga

Respon keluarga terhadap stress yang dirasakan ketika


menghadapi anggota keluarga mendapatkan perawatan kritis,
dapat dijelaskan melalui Stres Keluarga Hill. Teori tersebut
dikenal dengan model ABCX. Kerangka ABCX memiliki dua
bagian. Pertama adalah pernyataan yang berhubungan dengan
penentu krisis keluarga: A (Peristiwa dan kesulitan terkait)
berinteraksi dengan B (Sumber berhadapan dengan krisis
keluarga) yang berinteraksi dengan C (definisi yang dibuat
keluarga mengenai peristiwa tersebut) menghasilkan X (krisis).

Krisis atau
Sumber Koping (B) bukan krisis
Stressor
keluarga (A) (X)

Persepsi tentang
stressor (C)

Gambar Teori Stres Keluarga menurut Hill (Friedman, 2010)

Gambar Teori stres keluarga menampilkan gambar visual


mengenai teori dari adaptasi model Hill. Faktor A adalah stressor
yang atau adanya peristiwa aktual yang memaksa keluarga
mempertahankan dengan cara stereotip yang diikuti oleh
mekanisme koping keluarga (B). Jika keluarga tidak menggunakan
sumber dan mekanisme koping, maka hasilnya sama yakni seolah-
olah keluarga tidak memiliki sumber koping. Intervensi lebih
mudah pada kasus ini karena tidak terlalu sulit untuk membantu
keluarga memanfaatkan pola koping masa lalu dibandingkan
membantu keluarga belajar cara berespon yang baru.

Faktor C merupakan persepsi dan interpretasi keluarga


terhadap stressor atau peristiwa stres. Penilaian keluarga terhadap
stressor mempengaruhi apa upaya koping yang digunakan beserta
hasilnya nanti. Keluarga yang fungsional akan mampu melihat
peristiwa sebagai sesuatu yang dapat dipahami dan dapat dikelola.
Faktor X terkait dengan krisis atau bukan krisis. Terjadinya
kecenderungan krisis menunjukkan bagaimana keluarga mengatasi
faktor B dan C. Ketika keluarga terpajan krisis, maka cenderung
mengalami peristiwa stressor dan keparahan yang lebih besar (A)
serta mendefinisikannya lebih sering sebagai krisis (C). Tipe
keluarga seperti ini lebih rentan terhadap peristiwa stressor karena
kurangnya sumber dan kemampuan koping (B) yang mereka
miliki. Selain itu, keluarga yang gagal belajar dari krisis masa lalu,
menyebabkan mereka melihat stressor baru sebagai ancaman dan
pencetus krisis. Faktor X ini, tidak dilihat sebagai hasil akhir
melainkan berpengaruh dalam hubungan dan penampilan peran
anggota keluarga (Friedman, 2010).

2) Koping Keluarga

Koping keluarga merupakan proses aktif saat keluarga


memanfaatkan sumber keluarga yang ada dan mengembangkan
perilaku serta sumber baru yang akan memperkuat unit keluarga
dan mengurangi dampak peristiwa hidup yang penuh stres. Strategi
koping keluarga ketika menghadapi stres dapat dilakukan melalui
pencarian dukungan sosial (Nurhadi, 2014).
Dukungan yang diberikan oleh perawat intensif kepada
anggota keluarga pasien merupakan salah satu bentuk dukungan
sosial formal. Dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga,
teman dan tetangga disebut ‘informational support’ dan dukungan
sosial yang diberikan oleh penyedia layanan formal disebut ‘formal
support’. Ketika kebutuhan pasien dan keluarga bersinergi dengan
kompetensi perawat, maka hasil perawatan pasien akan optimal
(Wardah, 2013).
Dukungan sosial didefinisikan sebagai pertukaran informasi
pada tingkat interpersonal yang memberikan empati dukungan
yakni dukungan emosional, harga diri, jaringan, penilaian dan
altruistik. Dukungan emosional merupakan keyakinan bahwa
individu dalam keluarga dicintai dan disayangi. Kebutuhan
emosional ini mencakup kebutuhan akan harapan dan jaminan
dukungan spiritual. Pemahaman mengenai pentingnya pemenuhan
kebutuhan keluarga oleh tenaga kesehatan profesional pada
perawatan kritis bermanfaat agar keluarga dapat mengontrol pada
situasi rentan dan hal tersebut juga dapat dilakukan oleh petugas
kesehatan ketika berada pada keadaan yang sama (Brysiewicz,
2006).
b. Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian pada pasien
(anggota keluarga)

1) Pengertian

Cemas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan


menyebar yang berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan
tidak berdaya. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi
sebagai stimulus cemas. Kecemasan adalah perasaan tidak
senang dan tidak nyaman serta sebagian besar orang berusaha
untuk menghindarinya (Stuart, 2009). Gangguan kejiwaan yang
sebagian besar terjadi di Amerika Serikat adalah gangguan
kecemasan dan terjadi antara 15% - 25% populasi (Rapaport,
dkk dalam Stuart, 2010). Cemas yang berhasil diobservasi
merupakan kombinasi dengan emosi lain (Stuart, 2009).
Penyebab Kecemasan

2) Teori penyebab kecemasan (Stuart, 2009) :


Teori Perilaku (Behaviour)
Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan
periodik frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan. Pada teori ini
menyatakan bahwa kecemasan akan meningkat melalui
konflik yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman
mengenai dua hal yang bersaing dan harus memilih salah satu
di antaranya. Dengan demikian terdapat hubungan yang
muncul antara kecemasan dengan konflik. Konflik akan
menyebabkan kecemasan dan kecemasan akan meciptakan
persepsi terhadap konflik dengan memproduksi rasa tidak
berdaya (Stuart, 2009).
Keluarga dengan anggota keluarga yang dirawat di
ruang intensif berada dalam kondisi penuh kekhawatiran
terhadap keadaan dan prognosis pasien. Keluarga juga
mengalami berbagai risiko gangguan kesehatan fisik dan
mental baik selama bahkan setelah keluar dari ruang intensif.
Efek hospitalisasi dapat berupa kurang tidur, gangguan nafsu
makan dan pencernaan, ketakutan, stress, kecemasan, depresi
hingga post traumatic syndrome. Dalam keadaan ini, keluarga
membutuhkan berbagai macam kebutuhan spesifik yang harus
dipenuhi (Wardah, 2013).
Tabel Respon fisiologis terhadap ansietas (Stuart, 2009)

Sistem tubuh Respon


Kardiovaskuler Palpitasi, tekanan darah meningkat, rasa
mau pingsan, tekanan darah menurun,
denyut nadi menurun, jantung seperti
terbakar.
Pernafasan Nafas cepat, nafas pendek, tekanan pada
dada, nafas dangkal, pembengkakan pada
tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-
engah.
Gastrointestinal Kehilangan nafsu makan, menolak
makan, ketidaknyamanan abdomen,
mual, diare
Traktus urinarius Tidak dapat menahan kencing, sering
kencing
Neuromuskuler Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata
berkedip- kedip, insomnia, tremor,
rigiditas, wajah tegang, kelemahan
umum, gerakan yang janggal
Kulit Wajah kemerahan, telapak tangan
berkeringat, gatal, rasa panas dan dingin
pada kulit, wajah pucat

3) Tanda dan Gejala Kecemasan

Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau


dikemukakan oleh seseorang bervariasi, tergantung dari
beratnya atau tingkatan yang dirasakan oleh individu tersebut
(Hawari, 2004). Keluhan yang sering dikemukakan oleh
seseorang saat mengalami kecemasan secara umum menurut
Hawari (2004), antara lain sebagai berikut:
a) Gejala psikologis: pernyataan cemas/khawatir, firasat
buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung,
merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
b) Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.
c) Gangguan konsentrasi daya ingat.
d) Gangguan tidur : sukar untuk tidur, terbangun pada malam
hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak
mimpi, mimpi buruk dan menakutkan.
e) Gangguan kecerdasan: sukar konsentrasi, daya ingat
menurun dan daya ingat buruk.
f) Perasaan depresi (murung): hilangnya minat,
berkurangnya kesenangan pada hobi, sedih,terbangun pada
saat dini hari dan perasaan berubah-ubah sepanjang hari.
g) Gejala somatik/ fisik (otot): sakit dan nyeri di otot, kaku,
kedutan otot, gigi gemerutuk dan suara tidak stabil.
h) Gejala somatik/ fisik (sensorik): tinitus (telinga
berdenging), penglihatan kabur, muka merah dan pucat,
merasa lemas dan perasaan ditusuk-tusuk.
i) Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah):
takikardi, berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi
mengeras, rasa lesu/lemas seperti mau pingsan dan detak
jantung menghilang/ berhenti sekejap.
j) Gejala respiratori (pernafasan): rasa tertekan atau sempit
di dada, rasa tercekik, sering menarik nafas pendek/ sesak.
k) Gejala gastroentinal: sulit menelan, perut melilit,
gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan,
perasaan terbakar di perut, rasa penuh atau kembung,
mual, muntah, sukar BAB dan kehilangan berat badan.
l) Gejala urogenital: sering buang air kecil, tidak dapat
menahan BAK, tidak datang bulan (menstruasi), masa
haid berkepanjangan, masa haid sangat pendek, haid
beberapa kali dalam sebulan, ejakulasi dini, ereksi
melemah, ereksi hilang dan impotensi.
m) Gejala autoimun: mulut kering, muka merah, mudah
berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat, kepala
terasa sakit dan bulu-bulu berdiri.
n) Tingkah laku/sikap: gelisah tidak tenang, jari gemetar,
kening/ dahi berkerut, wajah tegang/mengeras, nafas
pendek dan cepat serta wajah merah.

4) Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan


Keluarga
a) Umur, menurut Azwar (2009), semakin tua umur seseorang
semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap
masalah maka akan sangat mempengaruhi konsep dirinya.
Umur dipandang sebagai suatu keadaan yang menjadi sadar
kematangan dan perkembangan seseorang.
b) Pendidikan, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
akan semakin mudah menerima informasi. Faktor
pendidikan sangat berpengaruh terhadap tingkat kecemasan
seseorang tentang hal baru yang belum pernah dirasakan
atau sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang
terhadap kesehatannya.
c) Pekerjaan, pekerjaan adalah kesibukan yang harus dilakukan
terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan
keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan tetapi
merupakan cara mencari nafkah yang memiliki banyak
tantangan (Nursalam, 2001).
d) Informasi, informasi adalah pemberitahuan yang dibutuhkan
keluarga dari staf ruang intensif mengenai semua hal yang
berhubungan dengan pasien yang dirawat di ruang intensif.
Kebutuhan akan informasi meliputi informasi tentang
perkembangan penyakit pasien, penyebab atau alasan suatu
tindakan tertentu dilakukan pada pasien, kondisi
sesungguhnya mengenai perkembangan penyakit pasien,
kondisi pasien setelah dilakukan tindakan/ pengobatan,
perkembangan kondisi pasien dapat diperoleh keluarga
paling sedikit sehari sekali, rencana pindah atau keluar
ruangan, dan informasi mengenai peraturan di ruang intensif
(Nurhadi, 2014).

Menurut Peni (2014) terdapat beberapa penyebab lain kecemasan


yang terjadi pada keluarga pasien yang dirawat di ruang intensif,
antara lain:
a) Terpisah secara fisik dengan keluarga yang dirawat di
ruang intensif.
b) Merasa terisolasi secara fisik dan emosi dari keluarganya
yang lain, dukungan lain yang tidak adekuat atau keluarga
lain yang tidak dapat berkumpul karena bertempat tinggal
jauh.
c) Takut kematian atau kecacatan tubuh terjadi pada keluarga
yang sedang dirawat.
d) Kurangnya informasi dan komunikasi dengan staf di ruang
intensif sehingga tidak mengetahui perkembangan kondisi
pasien.
e) Tarif di ruang intensif yang mahal.
f) Masalah keuangan, terutama jika pasien adalah satu-
satunya pencari nafkah dalam keluarga.
g) Lingkungan di ruang intensif yang penuh dengan peralatan
canggih, bunyi alarm, banyaknya selang yang terpasang di
tubuh pasien. Jika pasien diintubasi atau adanya gangguan
kesadaran, sulit atau tidak bisa berkomunikasi diantara
pasien dengan keluarganya. Jam kunjung yang dibatasi,
ruang intensif yang sibuk dan suasananya yang serba cepat
membuat keluarga tidak merasa disambut atau dilayani
dengan baik (FK. Unair, RSUD Dr. Soetomo dalam Peni,
2014)

c. Pengingkaran terhadap kondisi kritis pasien (anggota keluarga)


(Hudak & Gallo, 1997)

2. Efek Non Psikologis


a. Perubahan struktur peran dalam keluarga
b. Perubahan pelaksanaan fungsi peran dalam keluarga
c. Terbatasnya komunikasi dan waktu bersama
d. Masalah financial keluarga*
e. Perubahan pola hidup keluarga *
(Hudak & Gallo, 1997) *(Morton et al, 2011)
2.2.2 Efek Kondisi Kritis Pada Pasien
1. Efek Psikologis
a. Stres akibat kondisi penyakit
Sebuah penelitian di Norwegia yang mereview beberapa
penelitian kualitatif pada pasien yang dirawat diruang ICU
menemukan bahwa pasien mengalami stres yang berhubungan
dengan 3 tema besar, yaitu:
1) Stres berkaitan dengan tubuh mereka
2) Stres berkaitan dengan ruangan ICU
3) Stres berkaitan dengan relationship
dengan orang lain
(Jastremski, 2000 dalam Suryani, 2012)
b. Rasa cemas dan takut bahwa hidup terancam (kematian)
c. Perasaan isolasi
d. Depresi
e. Perasaan rapuh karena ketergantungan fisik dan emosional*
(Morton et al, 2011) *(Hudak & Gallo, 1997)

2. Efek Non Psikologis


a. Ketidakberdayaan
b. Pukulan (perubahan) konsep diri
c. Perubahan citra diri
d. Perubahan pola hidup
e. Perubahan pada aspek sosial-ekonomi (pekerjaan,
f. financial pasien, kesejahteraan pasien dan keluarga)
g. Keterbatasan komunikasi (tidak mampu berkomunikasi)*
(Morton et al, 2011) *(Suryani, 2012)
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 2009. Sikap Manusia Teori Dan Pengukuranya. Yogyakarta : Pustaka


Pelajar

Brysiewicz, P& Chipps, J. (2006). The Effectiveness of in Hospital Psychosocial


Intervention Programmes for Families of Critically Ill Patients- a Systematic Review.
SAJCC Durban Vol 2 (2), 68-69

Friedman, et al. (2010). Buku ajar Keperawatan Keluarga : Riset, Teori, &
Praktik. Edisi 5. Jakarta: EGC

Hawari, Dadang. 2004. Manajemen stress, cemas dan depresi. Jakarta. FKUI

Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC

Morton, et al. (2011). Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik.


Edisi 8. Volume 1. Jakarta: EGC

Nurrochaya (2018), Definisi Pasien Kritis., Available at :


http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/169/jtptunimus-gdl-nurrochaya-8437-3-babii.pdf,
diakses tanggal 1 Juli 2019

Nurhadi. (2014). Gambaran dukungan perawat pada keluarga pasien kritis di


rumah sakit umum pusat Dr. Kariadi. Program studi S1 Ilmu Keperawatan, Universitas
Diponegoro.

Nursalam. (2001). Proses & Dokumentasi Keperawatan Konsep & Praktik.


Jakarta. EGC Salemba

Peni, T,. (2014). Kecemasan Keluarga Pasien Ruang ICU Rumah Sakit Daerah
Sidoarjo. Hospital Majapahit. Vol. 6 No. 1 Februari 2014.

Suryani. (2012). Aspek Psikososial dalam Merawat Pasien Kritis


[Converence Paper]. Universitas Padjajaran

Stuart, G., W. (2009). Principle and Practice of Psychiatric Nursing 9th edition.
Mosby Elsevier, page 218

Suci Febrianti (2018), Resume Keperawatan Kritis, Available at :


https://www.academia.edu/35303079/Resume_Kep.Kritis, diakses tanggal 1 Juli 2019

Wardah. (2013). Dampak hospitalisasi pada keluarga dan peran perawat dalam
memenuhi kebutuhan informasi diperawatan intensif. Jurnal Husada Mandiri, Fakultas
Keperawatan Universitas Padjajaran Bandung. Volume III No. 6, November 2013, hal.
263-318.

Anda mungkin juga menyukai