Anda di halaman 1dari 3

6/19/2019 Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi di Jawa Timur - Histori

Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi di Jawa


Timur

Gunung Kawi adalah sebuah gunung berapi di Jawa Timur, Indonesia, dekat dengan
Gunung Butak. Tidak ada catatan sejarah mengenai letusan gunung berapi ini.

Gunung Kawi, terletak di sebelah barat kota Malang merupakan obyek wisata yang perlu
untuk dikunjungi bila kita berada di Jawa Timur karena keunikannya, obyek wisata ini lebih
tepat dijuluki sebagai “kota di pegunungan”. Di sini kita tidak akan menemukan suasana
gunung yang sepi, tapi justru kita akan disuguhi sebuah pemandangan mirip di negeri
tiongkok zaman dulu.

Di sepanjang jalan kita akan menemui bangunan bangunan dengan arsitektur khas
Tiongkok, dimana terdapat sebuah kuil/klenteng tempat untuk bersembahyang atau
melakukan ritual khas Kong Hu Cu.

“Gunung tidak perlu tinggi asal ada dewanya.” Pepatah populer di kalangan warga
Tionghoa ini bisa menjelaskan kenapa Gunung Kawi di Desa Wonosari, Kecamatan
Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sangat populer. Kawi bukan gunung tinggi,
hanya sekitar 2.000 meter, juga tidak indah. Tapi gunung ini menjadi objek wisata utama
masyarakat Tionghoa.

Tiap hari ratusan orang Tionghoa, termasuk orang pribumi naik ke Gunung Kawi. Masa
liburan plus cuti bersama Lebaran ini sangat ramai. Karena terkait dengan kepercayaan
Jawa, Kejawen, maka kunjungan biasanya dikaitkan dengan hari-hari pasaran Jawa: Jumat
Legi, Senin Pahing, Syuro, dan Tahun Baru.

https://histori.id/asal-usul-pesugihan-gunung-kawi-di-jawa-timur/ 1/3
6/19/2019 Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi di Jawa Timur - Histori

Baca Juga:
Aksara Kwadrat Kediri
Legenda Asal Usul Gunung Merapi
Dongeng Gunung Lokon dan Gunung Kelabat
Legenda Gunung Wurung

Namun di sisi lain, motif para pengunjung yang datang ke pesarean ini pun sangat
beragam pula. Ada yang hanya sekedar berwisata, mendoakan leluhur, melakukan
penelitian ilmiah, dan yang paling umum adalah kunjungan ziarah untuk memanjatkan doa
agar keinginan lekas terkabul.

Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi

Awalnya makam Eyang Jugo di Gunung Kawi tidak dikenal sebagai tempat pesugihan
hingga datangnya sosok pria dari daratan Cina bernama Tamyang.

Dikisahkan, Eyang Jugo pernah melakukan perjalanan ke daratan Cina. Suatu ketika, dia
bertemu dengan seorang perempuan hamil yang kehilangan suaminya. Lalu Eyang Jugo
membantu ekonomi janda yang hidup dalam kemiskinan ini.

Tentu saja perempuan ini sangat senang dan berterima kasih dengan bantuan Eyang Jugo.
Sesuatu yang sudah menjadi tabiat Eyang Jugo dalam membantu sesama.

Ketika Eyang Jugo hendak kembali ke Pulau Jawa, dia berpesan kepada janda itu agar jika
anaknya sudah besar kelak disuruh datang ke Gunung Kawi di Pulau Jawa. Anak dari janda
miskin inilah yang diberi nama: Tamyang.

Pada era tahun 40-an, datanglah Tamyang ke Gunung Kawi. Tentu saja dia hanya melihat
makam Eyang Jugo, sebab Eyang Jugo sudah wafat beberapa tahun sebelumnya.

Tamyang ingin membalas jasa Eyang Jugo yang telah berbuat baik kepada ibunya di
daratan Cina. Itulah sebabnya, dia merawat makam itu dengan baik.

Pria Cina yang biasa berpakaian hitam-hitam mirip pendekar silat ini merawat makam
Eyang Jugo dan membangun tempat berdoa dengan gaya Cina. Sejak itulah, peziarah
semakin ramai mengunjungi Gunung Kawi. Tetapi anehnya dengan tujuan mencari
pesugihan dan bukan belajar bagaimana menjadi orang bijak seperti Eyang Jugo.

Siapakah sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo?

https://histori.id/asal-usul-pesugihan-gunung-kawi-di-jawa-timur/ 2/3
6/19/2019 Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi di Jawa Timur - Histori

Yang dimakamkan dalam satu liang lahat di pesarean Gunung Kawi ini? Menurut
Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo atau Raden Mas
Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1830 saat
perjuangan terpecah belah oleh siasat kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap
kemudian diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke
wilayah Gunung Kawi ini.
Patung Dewi Kwan Im Di Gunung Kawi

Semenjak itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi
mengubah perjuangan melalui pendidikan. Kedua mantan bhayangkara balatentara
Pangeran Diponegoro ini, selain berdakwah agama islam dan mengajarkan ajaran moral
kejawen, juga mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan serta
ketrampilan lain yang berguna bagi penduduk setempat. Perbuatan dan karya mereka
sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak masyarakat dari
daerah kabupaten Malang dan Blitar datang ke padepokan mereka untuk menjadi murid
atau pengikutnya.

Setelah Eyang Jugo meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo tahun 1876,
para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan,
pengikut dan juga para peziarah lain datang ke makam mereka melakukan peringatan.
Setiap malam Jumat Legi, malam eninggalnya Eyang Jugo, dan juga peringatan wafatnya
Eyang Sujo etiap tanggal 1 bulan Suro (muharram), di tempat ini selalu diadakan erayaan
tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini iasanya dipimpin oleh juru kunci makam
yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.

https://histori.id/asal-usul-pesugihan-gunung-kawi-di-jawa-timur/ 3/3

Anda mungkin juga menyukai