Makalah Penilaian Otentik Pembelajaran Bahasa Sastra Berorientasi Pada Pendidikan Karakter
Makalah Penilaian Otentik Pembelajaran Bahasa Sastra Berorientasi Pada Pendidikan Karakter
Disusun oleh :
Dasep Nurdiana 16060010
Kikin Sopian 16060095
Indra Kusharnandar 16060097
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia, itu dapat dikatakan bahwa
tuntutan pendidikan adalah terbentuknya kompetensi pada peserta didik (terlepas dari
apakah kurikulum yang sekarang tetap digunakan atau diganti, tetapi pembentukan
kompetensi adalah merupakan suatu keharusan). Untuk itu, perlu dilakukan pembenahan
dalam praktik pembelajaran di sekolah, termasuk praktek penilaiannya.
Dalam proses pembelajaran di Sekolah, siswa tidak hanya dinilai dari kecerdasan
saja tetapi dalam aktivitas yang dilakukan oleh siswa juga. Salah satu penilaian aktivitas
siswa ialah penilaian otentik. Dalam hal ini guru mampu mengetahui karakter dan
kemampuan siswa dalam berbagai hal dalam lingkup pembelajaran.
Penilaian otentik merupakan hal yang perlu diketahui oleh guru dan guru harus
mampu mengidentifikasi setiap aktivitas yang dilakukan siswa, karena penilaian otentik
pada dasarnya mempunyai tujuan atau maksud untuk perkembangan siswa. Guru juga
harus membuat data yang berisikan penilain otentik siswa. Selain itu, Guru diharapkan
mengetahui strategi atau cara pengembangan penilaian karakter dan mengembangakan
model penilaian karakter yang berbasisi penilaian otentik.
Selanjutnya, para guru terutama guru bahasa dan sastra Indonesia ingin
menyumbangkan pemikiran tentang perlunya pendidikan apresiasi sastra terhadap
pembentukan karakter siswa. Melalui sastra diharapkan dapat terwariskan nilai-nilai luhur
kearifan lokal guna membendung pengaruh negatif era globalisasi. Oleh karena itu,
sangatlah penting untuk diketahui tentang sejauhmana “Pengaruh Apresiasi Sastra
terhadap Karakter Siswa”.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah penilaian otentik itu?
2. Apakah pendidikan karakter dan satra itu?
3. Bagaimana relevansi sastra terhadap pendidikan karakter di kalangan siswa?
4. Bagaimana pengaruh apresiasi sastra terhadap karakter siswa?
5. Bagaimana upaya yang bisa dilakukan pendidik untuk menanamkan pendidikan
karakter melalui sastra?
6. Bagaimana langkah penilaian otentik pembelajaran bahasa dan sastra?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penilaian otentik.
2. Untuk mengetahui pengertian pendidikan karakter, bahasa dan sastra.
1
3. Untuk mengetahui relevansi sastra terhadap pendidikan karakter di kalangan
siswa.
4. Untuk mengetahui pengaruh apresiasi sastra terhadap karakter siswa.
5. Untuk mengetahui upaya yang bisa dilakukan pendidik untuk menanamkan
pendidikan karakter melalui sastra.
6. Untuk mengetahui langkah penilaian otentik pembelajaran bahasa dan sastra
BAB II
PEMBAHASAN
2
Dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan dalam pasal
64 ayat 1 dinyatakan bahwa penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh pendidik
dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan.
Pasal 19 ayat 3 dinyatakan bahwa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah penilaian
menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus
dikuasai, dan teknik penilaian tersebut dapat berupa tes tertulis, observasi, praktek dan
penugasan.
Penilaian merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin dipisahkan dari kegiatan
pendidikan dan pengajaran secara umum Semua kegiatan pendidikan yang dilakukan
selalu diikuti atau disertai dengan kegiatan penilaian. (Burhan Nurgiyantoro, 2001: 3).
Penilaian otentik adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar
siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses
pembelajaran dengan benar. Jika data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa
siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru akan segera bisa mengambil
tindakan yang tepat untuk siswa tersebut, sehigga siswa terbebas dari kemacetan belajar.
Penilaian ini tidak dilakukan di akhir periode saja (akhir semester), tetapi dilakukan
bersamaan dengan kegiatan pembelajaran. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu
diperlukan di sepanjang proses pembelajaran.
Penilaian otentik adalah suatu penilaian belajar yang merujuk pada situasi atau
konteks dunia “nyata” yang memerlukan berbagai macam pendekatan untuk memecahkan
masalah yang memberikan kemungkinan bahwa satu masalah bisa mempunyai lebih dari
satu macam pemecahan. Dengan kata lain, asesmen otentik memonitor dan mengukur
kemampuan siswa dalam bermacam-macam kemungkinan pemecahan masalah yang
dihadapi dalam situasi atau konteks dunia nyata. Dalam suatu proses pembelajaran, nyata.
Dalam suatu proses pembelajaran, penilaian otentik mengukur, memonitor dan menilai
semua aspek hasil belajar (yang tercakup dalam domain kognitif, afektif, dan
psikomotor), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran,
maupun berupa perubahan dan perkembangan aktivitas, dan perolehan belajar selama
proses pembelajaran didalam kelas maupun diluar kelas.
Menurut (Hart, 1994), asesmen otentik yaitu suatu asesmen yang melibatkan
siswa di dalam tugas-tugas otentik yang bermanfaat, penting, dan bermakna. Berbagai
tipe asesmen otentik menurut Hibbard (2000) adalah: 1) asesmen kinerja, 2) observasi
dan pertanyaan, 3) presentasi dan diskusi, 4) proyek dan investigasi, dan 5) portofolio dan
jurnal. Hal senada juga dijelaskan oleh David W. Johnson dan Roger T. Johnson (2002)
3
bahwa otentik asesmen meminta siswa untuk mendemonstrasikan keterampilan atau
prosedur dalam konteks dunia nyata.
Terdapat banyak bentuk-bentuk penilaian alternatif yang dikemukakan oleh
O'Malley and Pierce (1996), yaitu :
1. Asesmen kinerja (Performance assessment).
2. Observasi dan pertanyaan (Observation and. Presentasi dan Diskusi (Presentation
and Discussion).
3. Proyek /Pameran (Projects/Exhibition)
4. Eksperimen/demonstrasi (Experiments/demonstration)
5. Bercerita (Story or text retelling)
6. Evaluasi diri oleh siswa (Self assessment)
7. Portofolio dan Jurnal.
2. Sastra
Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti
“teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti
“instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk
merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau
4
keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi
sastra tertulis dan sastra lisan. Maksud dari sastra lisan di sini ialah sastra yang tidak
banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana
untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
3. Pendidikan Karakter
Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat
kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu
perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan.
Pengertian karakter menurut para ahli, aadalah sebagai berikut:
a. Menurut Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama,
baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
b. Menurut Pritchard (1988: 467) mendefinisikan karakter sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan
cenderung positif.
5
membangun karakter siswa menjadi pekerjaan bersama (khususnya para guru dan orang
tua) yang amat penting.
Pengajaran di sekolah, termasuk pengajaran sastra, menjadi tumpuan yang
sangat vital. Jika kita gagal membentuk karakter yang positif dan unggul pada diri siswa,
bisa-bisa masa depan bangsa ini akan semakin terpuruk, kehilangan harapan, atau
setidaknya akan kehilangan kepribadian dan gampang dijajah serta ”diperbudak” oleh
bangsa lain yang lebih adidaya.
Belajar sastra adalah salah satu keterampilan yang imajinatif dan komunikatif
bagi siswa sebagai pencipta maupun penikmat sastra. Di dalamnya terdapat muatan
mendidik yang tersirat dan tidak bersifat doktrin. Siswa juga bisa mencerna sesuai dengan
perkembangan jiwanya dan membuatnya sangat peka terhadap karya sastra itu sendiri.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan
karakter. Karya sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki
dalam pendidikan karakter. Cerita rakyat ”Jaka Tarub” mengajarkan anak mengenai
pentingnya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kepercayaan. Cerita binatang
”Pelanduk Jenaka” mengandung pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan protes
sosial. Sementara itu, bentuk puisi seperti pepatah, pantun, dan bidal penuh dengan nilai
pendidikan.
6
dikatakan oleh Sidney (dalam Alwasilah, 2001:31) Apresiasi sastra akan berjalan baik
jika didasari oleh minat yang tinggi pada karya sastra.
Banyak hal yang dapat diperoleh dari sastra. Haryadi (1994) mengemukakan
sembilan manfaat yang dapat diambil dari sastra lama yaitu sebagai berikut:
1. Dapat perperan sebagai hiburan dan media pendidikan,
2. Isinya dapat menumbuhkan kecintaan, kebanggaan berbangsa dan hormat pada
leluhur,
3. Isinya dapat memperluas wawasan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan
peradaban bangsa,
4. Pergelarannya dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan,
5. Proses penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis,
6. Sumber inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain,
7. Proses penciptaannya merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun,
profesional, dan rendah hati,
8. Pergelarannya memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis,
9. Pengaruh asing yang ada di dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan
dan pandangan hidup yang luas.
7
perut ibunya. Dengan dasar ini pendidik bisa menggunakan lagu-lagu dan musik
(musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam benak
peserta didik.
3. Drama
Pendidik bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan
kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio
visual serta aplikasi langsung (pementasan drama) menjadikan peserta didik lebih
mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain itu,
tugas-tugas yang bisa dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa
yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan
sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film di televisi tersebut.
Ini akan lebih menggoreskan nilai-nilai pendidikan karakter yang didapat di
benak peserta didik.
4. Novel
Menggunakan novel sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai atau norma-
norma dalam masyarakat melalui diskusi pun bisa digunakan oleh pendidik.
Novel banyak memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya
berimajinasi dan masuk dalam cerita novel tersebut. Banyak penikmat novel yang
terpengaruh dengan isi yang ada dalam novel, baik itu gaya berbicara, busana
bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat
baik apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa
mempengaruhi peserta didiknya.
5. Pantun
Peserta didik diajak membuat berbagai pantun nasehat untuk memunculkan
berbagai nilai-nilai karakter dalam kehidupan peserta didik. Nasehat-nasehat
yang dibuat akan menggores diingatannya, peserta didik akan
mengaplikasikannya karena nasehat itu berasal dari dirinya sendiri untuk
teman-temannya.
6. Cerita Lisan
Penggunaan contoh sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana
yang baik untuk memberikan contoh kepada peserta didik. Apalagi cerita yang
disampaikan adalah cerita rakyat dari daerah peserta didik sendiri.
8
Selain cara-cara di atas masih banyak cara-cara yang lainnya yang bisa digunakan
oleh pendidik atau bahkan dikombinasikan untuk menyampaikan nilai-nilai dalam
pendidikan karakter, namun jangan terlepas dari penyeleksian atau pemilihan bahan ajar
yang tepat. Karena dengan memilih bahan ajar yang tepat, peserta didik akan merasakan
kedalaman materi yang membuat mereka menyadari makna kehidupan. Kesadaran itulah
yang akan membuat pembelajaran bukan sekadar mengajarkan materi, tetapi juga
mendidik.
9
Menurut Damaianti (2007: 9) tes yang menyangkut kompetensi kebahasaan
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tes struktur dan kosakata. Sasaran tes
struktur ini meliputi pemahaman dan penggunaan pembentukan kata, frasa, dan kalimat.
Sedangkan untuk tes kesastraan sebaiknya difokuskan pada kemampuan apresiasi sastra
yang meliputi tingkat informasi, konsep, perspektif dan tingkat apresiasi.
Contoh-contoh Asesmen
Model Skala Gabungan
10
Menceritakan kembali cerita
Nama:
Kelas:
Keterangan:
a. Deskripsi tingkat kemampuan
4 = baik sekali
3 = baik
2 = cukup
1 = kurang
11
3 = dapat menceritakan jalan cerita dengan baik
2 = dapat menceritakan jalan cerita dengan cukup baik
1 = tidak dapat menceritakan jalan cerita dengan baik
4) Penghayatan
4 = dapat menghayati peran setiap tokoh dengan sangat baik
3 = dapat menghayati peran setiap tokoh dengan baik
2 = dapat menghayati peran setiap tokoh dengan cukup baik
1 = tidak dapat menghayati peran setiap tokoh dengan baik
5) Penampilan
4 = sangat mengesankan penonton
3 = mengesankan penonton
2 = cukup mengesankan penonton
1 = tidak mengesankan penonton
BAB III
PENUTUP
12
A. Kesimpulan
Penilaian otentik dalam konteks penilaian karakter merupakan penilaian yang
berdasarkan atas kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik. Hal tersebut
untuk mengetahui perkembangan kreatifitas, kemampuan, belajar dan karakter peserta
didik. Maka dari itu, guru harus mampu mengatur strategi dan mengembangkan model
penilaian karakter berbasis penilaian otentik guna meningkatkan kualitas prestasi peserta
didik. Selain itu, guru berusaha mampu berlaku adil dan mampu menilai atau
mengidentifikasi karakteristik yang dimiliki peserta didik.
Pengaruh sastra dalam pembentukan karakter siswa tidak hanya didasarkan pada
nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat
dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya
sastra pada hakikatnya menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan
luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga siswa akan
cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran.
Pada kegiatan menulis karya sastra, dikembangkan karakter tekun, cermat, taat,
dan kejujuran. Sementara itu, pada kegiatan dokumentatif dikembangkan karakter
ketelitian, dan berpikir ke depan (visioner).
Tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan pengajaran sastra di
sekolah. Peran lembaga pendidikan sangat penting untuk menumbuhkan sikap apresiatif
terhadap karya sastra sejak dini. Pengajaran sastra harus berjalan dengan baik, agar
kemampuan dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra dapat tumbuh secara sehat.
DAFTAR PUSTAKA
13
Kesuma, Dharma; Triatna, Cepi; Permana, Johar. 2011. Pendidikan Karakter. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Burhan Nurgiyantoro. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta.
Hibbard, M. (1995). Performance Assessment in the Science Classroom. New York: The
McGraw-Hill Companies.
http://www.duniaguru.com - Portal Duniaguru Powered by Mambo Generated: Diakses
tanggal 20 Mei 2018.
Sumarna Supranata dan Mohammad Hatta. 2004. Penilaian Portofolio Implementasi
Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Jibis. 2010. Mengakrabi Sastra Membangun Karakter Bangsa. Tersedia pada
http://jibis.pnri.go.id/artikel-27-mengakrabi-sastra-membangun-karakter
-bangsa.html. Di akses tanggal, 20 Mei 2018.
Bektipatria. 2010. Memberdayakan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah. Tersedia
pada http://bektipatria.wordpress.com/2010/12/30/memberdayakan-
pembelajaran-apresiasi-sastra-di-sekolah. Di akses tanggal, 20 Mei 2018.
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. http:// www.
mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html. Di akses tanggal, 20
Mei 2018.
Pritchard, I. 1988. ”Character \education: Research Prospect and Problem” American
Journal of Education. Di akses tanggal, 20 Mei 2018.
Haryadi. 1994. Sastra Melayu. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. Di akses tanggal, 20 Mei
2018.
Alwasilah, A. Chaedar, 2001. Language, Culture, and Education: A Portrait of
Contemporary Indonesia. Bandung: Andir
14