“K3 PERTAMBANGAN”
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
2018
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-
NYA sehingga makalah kami yang berjudul “K3 Pertambangan” akhirnya dapat diselesaikan
dengan baik. Makalah ini merupakan tugas dari bapak Ir. H. Abuamat Hak, M.Sc.IE. selaku
dosen pada mata kuliah Kebijakan Tambang.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikannya makalah saya ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, saya sangat terbuka atas kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan dari
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar……………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan………………………………………………………………... 8
3.5.1 SOP……………………………...…………………..……...….. 17
3
BAB IV KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan…………………………………………………………… 22
4.2 Saran……..…………………………………………………………… 22
DAFTAR PUSTAKA
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum
diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi yang buruk jauh di
bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan
daya saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah. Indonesia akan sulit
menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja
(produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu
tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan, pemerintah juga perlu memfasilitasi
dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus
bersifat manusiawi atau bermartabat.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak lama.
Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan dan
pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja
semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020
mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan
dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh
seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta
mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat
2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam
lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga
dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
5
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh,
merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan
dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka
kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan)
menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi
karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang
memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat
pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992
tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan
upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat
dan lingkungan disekitarnya.
Indonesia memiliki berbagai sektor industri yang salah satunya yaitu pertambangan.
Pertambangan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Pertambangan
memberikan peran yang sangat signifikan dalam perekonomian nasional, baik dalam sektor
fiscal, moneter, maupun sektor riil. Peran pertambangan terlihat jelas dimana pertambangan
menjadi salah satu sumber penerimaan negara; berkontribusi dalam pembangunan daerah, baik
dalam bentuk dana bagi hasil maupun program community development atau coorporate social
responsibility; memberikan nilai surplus dalam neraca perdagangan; meningkatkan investasi;
memberikan efek berantai yang positif terhadap ketenagakerjaan; menjadi salah satu faktor
dominan dalam menentukan Indeks Harga Saham Gabungan; dan menjadi salah satu sumber
energy dan bahan baku domestik.
6
Salah satu karakteristik industri pertambangan adalah padat modal, padat teknologi dan
memiliki risiko yang besar. Oleh karena itu, dalam rangka menjamin kelancaran operasi,
menghindari terjadinya kecelakaan kerja, kejadian berbahaya dan penyakit akibat kerja maka
diperlukan implementasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada kegiatan pertambangan.
Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar bagi kelangsungan
suatu usaha. Kerugian yang diderita tidak hanya berupa kerugian materi yang cukup besar namun
lebih dari itu adalah timbulnya korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber
daya manusia ini merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya
sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun.
Upaya pencegahan dan pengendalian bahaya kerja yang dapat menyebabkan terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan penerapan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja di tempat kerja. Secara keilmuan K3, didefinisikan sebagai ilmu dan penerapan
teknologi tentang pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Dari aspek hukum K3
merupakan kumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja.
Melalui peraturan yang jelas dan sanksi yang tegas, perlindungan K3 dapat ditegakkan,
untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang K3. Bahkan ditingkat
internasionalpun telah disepakati adanya konvensi-konvensi yang mengatur tentang K3 secara
universal sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang dikeluarkan
oleh organisasi dunia seperti ILO, WHO, maupun tingkat regional.
Ditinjau dari aspek ekonomis, dengan menerapkan K3, maka tingkat kecelakaan akan
menurun, sehingga kompensasi terhadap kecelakaan juga menurun, dan biaya tenaga kerja dapat
berkurang. Sejalan dengan itu, K3 yang efektif akan dapat meningkatkan produktivitas kerja
sehingga dapat meningkatkan hasil produksi. Hal ini pada gilirannya kemudian dapat mendorong
semua tempat kerja/industri maupun tempat-tempat umum merasakan perlunya dan memiliki
budaya K3 untuk diterapkan disetiap tempat dan waktu, sehingga K3 menjadi salah satu budaya
industrial.
Dengan melaksanakan K3 akan terwujud perlindungan terhadap tenaga kerja dari risiko
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang dapat terjadi pada waktu melakukan pekerjaan di
tempat kerja. Dengan dilaksanakannya perlindungan K3, diharapkan akan tercipta tempat kerja
7
yang aman, nyaman, sehat dan tenaga kerja yang produktif, sehingga akan meningkatkan
produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan. Dengan demikian K3 sangat besar peranannya
dalam upaya meningkatkan produktivitas perusahaan, terutama dapat mencegah korban manusia.
Oleh karena itu, kami membahas tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja di salah satu industri
yaitu industri pertambangan batubara yang merupakan industri besar diwilayah Indonesia.
B. Tujuan
BAB II
8
TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang saat ini sedang giat melakukan
pembangunan, baik pembangunan infrastruktur, peningkatan sumber daya manusia (SDM),
maupun usaha lain yang bisa menunjang perkembangan Negara ini. Penggunaan teknologi maju
sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara luas, namun tanpa disertai
dengan pengendalian yang tepat akan dapat merugikan manusia itu sendiri. Penggunaan
teknologi maju tidak dapat dielakkan, terutama pada era industrialisasi yang ditandai adanya
proses mekanisasi, elektifikasi dan modernisasi serta transformasi globalisasi. Dalam keadaan
demikian penggunaan mesin-mesin, pesawat, instalasi dan bahan-bahan berbahaya akan terus
meningkat sesuai kebutuhan industrialisasi. Hal tersebut disamping memberikan kemudahan
bagi suatu proses produksi, tentunya efek samping yang tidak dapat dielakkan adalah
bertambahnya jumlah dan ragam sumber bahaya bagi pengguna teknologi itu sendiri. Disamping
itu, faktor lingkungan kerja yang tidak memenuhhi syarat Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3), proses kerja tidak aman dan sistem kerja yang semakin kompleks dan modern dapat
menjadi ancaman tersendiri bagi kesehatan dan keselamatan pekerja (Tarwaka, 2008).
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu masalah penting dalam setiap proses
operasional baik di sektor tradisional maupun sektor modern. Khususnya dalam masyarakat yang
sedang beralih dari satu kebiasaan kepada kebiasaan lain, perubahan-perubahan ini pada
9
umumnya menimbulkan beberapa permasalahan yang jika tidak ditanggulangi secara cermat
dapat membawa berbagai akibat buruk bahkan fatal (Silalahi dan Silalahi, 1995).
Peraturan tentang Keselamatan dan Kesehatan kerja Pertambangan umum sudah ada
sejak tahun 1930 dengan nama Mijn Politie Reglement (MPR) yang merupakan peraturan yang
dibuat pada masa pemerintahan Hindia – Belanda. Disusul dengan PPRI No. 19 tahun 1973
tentang pengaturan dan pengawasan keselamatan kerja di bidang pertambangan yang dilakukan
oleh Menteri Pertambangan. Setelah mempelajari pertimbangan ilmu teknologi modern
mengenai pemakaian peralatan pertambangan dan dalam rangka memperlancar usaha–usaha
aktifitas pembangunan, maka pada tahun 1995 telah disempurnakan dengan terbitnya Keputusan
Menteri Pertambangan dan Energi No. 555/K/26/M.PE/1995 tanggal 22 mei 1995 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum (Direktorat Pertambangan dan Energi,
1995).
Selain itu pemerintah juga mengeluarkan undang-undang guna meningkatkan kesadaran
bagi pihak perusahaan dan karyawan, undang-undang tersebut diantaranya adalah Undang-
Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang menyebutkan bahwa keselamatan
kerja bertujuan untuk (Suma’mur, 1996):
1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk
kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.
Namun pada praktiknya, permasalahan ini belum dianggap menjadi isu penting dan
belum mendapat perhatian yang serius oleh perusahaan dan karyawan dalam menjalankan proses
produksinya. Hal ini terjadi karena safety awareness yaitu kesadaran atas keselamatan yang
masih rendah sehingga kebijakan pemerintah dan kebijakan dari pihak manajemen sangat
mempengaruhi untuk menciptakan behavior basic safety (BBS) dalam lingkungan perusahaan.
Kondisi lain adalah masih kurangnya kesadaran dari sebagian besar masyarakat perusahaan, baik
pengusaha maupun tenaga kerja akan arti penting K3 merupakan hambatan yang sering dihadapi.
Berdasarkan data ILO (2003), ditemukan bahwa di Indonesia tingkat pencapaian penerapan
kinerja K3 di perusahaan masih sangat rendah. Dari data tersebut ternyata hanya sekitar 2%
(sekitar 317 buah) perusahaan yang telah menerapkan K3. Sedangkan sisanya sekitar 98%
10
(sekitar 14.700 buah) perusahaan belum menerapkan K3 secara baik. Berdasarkan data
Jamsostek, bahwa pengawasan K3 secara nasional masih belum berjalan secara optimal. Hal ini
dapat dilihat dari jumlah kecelakaan yang terjadi, dimana pada tahun 2003 terjadi kecelakaan
sebanyak 105.846 kasus, tahun 2004 sebanyak 95.418 kasus, tahun 2005 sebanyak 96.081 kasus
dan pada tahun 2006 terjadi kecelakaan sebanyak 70.069 kasus kecelakaan kerja serta sepanjang
tahun 2007 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 65.474 kejadian. Angka tersebut tentunya
masih sangat fantastis dan dapat dijadikan tolak ukur pencapaian kinerja K3 (Tarwaka, 2008).
BAB III
PEMBAHASAN
11
3.1. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya
dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan
sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat
kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi
baik jasa maupun industri. Perkembangan pembangunan setelah Indonesia merdeka
menimbulkan konsekwensi meningkatkan intensitas kerja yang mengakibatkan pula
meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja.
Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi dalam
mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya.
Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan yang dilaksanakan tersebut maka disusunlah
UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami
perubahan menjadi UU No.12 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.
Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral
dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama.
Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka dikeluarkanlah peraturan perundangan-
undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pengganti peraturan sebelumnya
yaitu Veiligheids Reglement, STBl No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai
menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada.
Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja
yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di darat, didalam tanah,
permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum
Republik Indonesia. Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja
dimulai dari perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan,
pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan
aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
12
Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada pelaksaannya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya personil pengawasan, sumber daya
manusia K3 serta sarana yang ada. Oleh karena itu, masih diperlukan upaya untuk
memberdayakan lembaga-lembaga K3 yang ada di masyarakat, meningkatkan sosialisasi dan
kerjasama dengan mitra sosial guna membantu pelaksanaan pengawasan norma K3 agar terjalan
dengan baik.
Kecelakaan tidak terjadi begitu saja, kecelakaan terjadi karena tindakan yang salah atau
kondisi yang tidak aman. Kelalaian sebagai sebab kecelakaan merupakan nilai tersendiri dari
teknik keselamatan. Ada pepatah yang mengungkapkan tindakan yang lalai seperti kegagalan
dalam melihat atau berjalan mencapai suatu yang jauh diatas sebuah tangga. Hal tersebut
menunjukkan cara yang lebih baik selamat untuk menghilangkan kondisi kelalaian dan
memperbaiki kesadaran mengenai keselamatan setiap karyawan pabrik.
1. Faktor Personil
3. Kurang Motivasi
4. Problem Fisik
5. Faktor Pekerjaan
Penyebab Kecelakaan Kerja (Heinrich Mathematical Ratio) dibagi atas 3 bagian Berdasarkan
Prosentasenya:
Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultan dari
tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang
dapat merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi maka bisa
dicapai suatu derajat kesehatan kerja yang optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya
bila terdapat ketidak serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit
ataupun kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.
Kapasitas Kerja
Beban Kerja
14
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis beroperasi 8 – 24
jam sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada laboratorium menuntut adanya
pola kerja bergilirdan tugas/jaga malam. Pola kerja yang berubah-ubah dapat menyebabkan
kelelahan yang meningkat, akibat terjadinya perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor lain
yang turut memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan sosial bagi pekerja yang
masih relatif rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan secara
berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan stres.
Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan kerja
dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident), Penyakit Akibat Kerja dan
Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational Disease & Work Related Diseases).
Kerja tambang adalah Setiap tempat pekerjaan yang bertujuan atau berhubungan langsung
dengan pekerjaan penyelidikan umum, eksplorasi, study kelayakan, konstruksi, operasi produksi,
pengolahan/ pemurnian dan pengangkutan bahan galian golongan a, b, c, termasuk sarana dan
fasilitas penunjang yang ada di atas atau di bawah tanah/air, baik berada dalam satu wilayah atau
tempat yang terpisah atau wilayah proyek.
2. Membuat Cidera Pekerja Tambang atau orang yang diizinkan di tambang oleh KTT
2. Korban tidak mampu melakukan tugas semula lebih dari 1 hari dan kurang dari 3
minggu.
15
3. Cidera Berat (Kecelakaan Berat)
4. Persendian lepas
Perbuatan membahayakan oleh pekerja mencapai 96% antara lain berasal dari :
1. Manajemen K3
16
3.5.1 SOP
Prosedur kerja standar adalah cara melaksanakan pekerjaan yang ditentukan, untuk memperoleh
hasil yang sama secara paling aman, rasional dan efisien, walaupun dilakukan siapapun,
kapanpun, di manapun. Setiap pekerjaan Harus memiliki SOP agar pekerjaan dapat dilakukan
secara benar, efisien dan aman.
3. Komunikasi K3
4. Pembinaan
5. Investigasi Kecelakaan
8. Pelaksanaan Gernas K3
Manajemen K3 memiliki target dan sasaran berupa tercapainya suatu kinerja K3 yang optimal
dan terwujudnya “ZERO ACCIDENT” dalam kegiatan Proses Produksi.
17
k) Kepmen Kesehatan No. 260/MEN/KES/1998
Manajemen Resiko Pertambangan adalah suatu proses interaksi yang digunakan oleh
perusahaan pertambangan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggulangi bahaya di
tempat kerja guna mengurangi resiko bahaya seperti kebakaran, ledakan, tertimbun longsoran
tanah, gas beracun, suhu yang ekstrem,dll. Jadi, manajemen resiko merupakan suatu alat yang
bila digunakan secara benar akan menghasilkan lingkungan kerja yang aman,bebas dari ancaman
bahaya di tempat kerja.
Adapun Faktor Resiko yang sering dijumpai pada Perusahaan Pertambangan adalah sebagai
berikut :
a. Ledakan
Ledakan dapat menimbulkan tekanan udara yang sangat tinggi disertai dengan nyala api.
Setelah itu akan diikuti dengan kepulan asap yang berwarna hitam. Ledakan merambat pada
lobang turbulensi udara akan semakin dahsyat dan dapat menimbulkan kerusakan yang fatal
b. Longsor
Longsor di pertambangan biasanya berasal dari gempa bumi, ledakan yang terjadi di dalam
tambang,serta kondisi tanah yang rentan mengalami longsor. Hal ini bisa juga disebabkan oleh
tidak adanya pengaturan pembuatan terowongan untuk tambang.
c. Kebakaran
Bila akumulasi gas-gas yang tertahan dalam terowongan tambang bawah tanah mengalami
suatu getaran hebat, yang diakibatkan oleh berbagai hal, seperti gerakan roda-roda mesin, tiupan
angin dari kompresor dan sejenisnya, sehingga gas itu terangkat ke udara (beterbangan) dan
kemudian membentuk awan gas dalam kondisi batas ledak (explosive limit) dan ketika itu ada
sulutan api, maka akan terjadi ledakan yang diiringi oleh kebakaran.
Pengelolaan Risiko menempati peran penting dalam organisasi kami karena fungsi ini
mendorong budaya risiko yang disiplin dan menciptakan transparansi dengan menyediakan dasar
18
manajemen yang baik untuk menetapkan profil risiko yang sesuai. Manajemen Risiko bersifat
instrumental dalam memastikan pendekatan yang bijaksana dan cerdas terhadap pengambilan
risiko yang dengan demikian akan menyeimbangkan risiko dan hasil serta mengoptimalkan
alokasi modal di seluruh korporat. Selain itu, melalui budaya manajemen risiko proaktif dan
penggunaan sarana kuantitatif dan kualitatif yang modern, kami berupaya meminimalkan potensi
terhadap kemungkinan risiko yang tidak diharapkan dalam operasional.
Pengendalian risiko diperlukan untuk mengamankan pekerja dari bahaya yang ada di
tempat kerja sesuai dengan persyaratan kerja Peran penilaian risiko dalam kegiatan pengelolaan
diterima dengan baik di banyak industri. Pendekatan ini ditandai dengan empat tahap proses
pengelolaan risiko manajemen risiko adalah sebagai berikut :
Secara umum manfaat Manajemen Resiko pada perusahaan pertambangan adalah sebagai
berikut:
Guna menghindari berbagai kecelakaan kerja pada tambang bawah tanah, terutama dalam bentuk
ledakan gas perlu dilakukan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan ledakan ini harus
dilakukan oleh segenap pihak yang terkait dengan pekerjaan pada tambang bawah tanah tersebut.
Beberapa hal yang perlu dipelajari dalam rangka pencegahan ledakan adalah :
2. Karakteristik gas
20
3. Penebaran debu batuan agak lebih tebal pada lokasi rawan
Sesungguhnya kebakaran tambang dan ledakan gas tidak akan terjadi jika sistem ventilasi
tambang batubara bawah tanah itu cukup baik.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kecelakaan kerja tambang adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan atau tidak dikehendaki
yang benar-benar terjadi dan membuat cidera pekerja tambang atau orang yang diizinkan di
tambang oleh KTT sebagai akibat kegiatan pertambangan pada jam kerja tambang dan pada
wilayah pertambangan.
21
Peran K3 sebagai suatu sistem program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha, kesehatan
dan keselamatan kerja atau K3 diharapkan dapat menjadi upaya preventif terhadap timbulnya
kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja. Pelaksanaan K3
diawali dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian.
Manajemen Resiko Pertambangan adalah suatu proses interaksi yang digunakan oleh perusahaan
pertambangan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggulangi bahaya di tempat kerja
guna mengurangi resiko bahaya seperti kebakaran, ledakan, tertimbun longsoran tanah, gas
beracun, suhu yang ekstrem, dll. Jadi, manajemen resiko merupakan suatu alat yang bila
digunakan secara benar akan menghasilkan lingkungan kerja yang aman, bebas dari ancaman
bahaya di tempat kerja. Pentingnya kebutuhan pengelolaan K3 dalam bentuk manajemen yang
sistematis dan mendasar agar dapat terintegrasi dengan manajemen perusahaan yang lain.
Integrasi tersebut diawali dengan kebijakan dari perusahaan untuk mengelola K3 dengan
menerapkan suatu Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
B. Saran
Kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting dalam pembangunan karena sakit dan
kecelakaan kerja akan menimbulkan kerugian ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan, kerugian
pada diri pekerja, bahkan kerugian pada Negara. Oleh karena itu kesehatan dan keselamatan kerja
harus dikelola secara maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh masyarakat
khusunya masyarakat pekerja di pertambangan tersebut guna meminimalisir segala kerugian yang
dapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Yovita, Selvy. 2009. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Pada Pertambangan Batubara di PT.
Marunda Grahamineral, Job Site Laung Tuhup, Kalimantan Tengah. (online).
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/9999/MjI5Mjk=/Kesehatan-dan-
Keselamatan-Kerja-K3-pada-pertambangan-batubara-di-PT-Marunda-Grahamineral-Job-
22
Site-Laung-Tuhup-Kalimantan-Tengah-abstrak.pdf (diakses pada tanggal 24 September
2018)
23