Makalah Tentang Kajian Politik Timur Tengah Mesir & Libya
Makalah Tentang Kajian Politik Timur Tengah Mesir & Libya
Di Susun Oleh :
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum membicarakan soal pemikiran politik Islam, ada baiknya penulis memberikan
definisi terlebih dahulu tentang variabel-variabel judul di atas. Kata Pengertian yang dapat
diungkapkan dari pemikiran Islam, ialah kegiatan manusia dalam mencari hubungan sebab
akibat ataupun asal mula dari sesuatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap sesuatu
wujud, baik materinya maupun esensinya, sehingga dapat diungkapkan hubungan sebab dan
akibat dari sesuatu materi ataupun esensi, asal mula kejadiannya serta substansi dari wujud atau
eksistensi sesuatu yang menjadi objek pemikiran.[ 5 Longman Group, Longman Dictionary of
contemporary English, England: 1987, hal. 1105 dan Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu
Khaldun, terj. Ahmad Toha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hal. 523-525.] Abad berarti masa
seratus tahun,[ Lih. Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal.1] modern berarti yang terbaru.[ Lih.
KamusUmum Bahasa Indonesia, hal. 6] Abad modern dimulai setelah terlaksananya perjanjian
Carltouiz (carlouiz) melumpuhkan Usmani menjadi negara kecil.[ Ali, K. Muslim O Adhunik
Bissher. Dhaka: Ali Publication, 1969, hal. 32-33. dalam Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah
Kebudayaan Islam, terj. Jahdan Ibnu Humam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1986, hal. 372
dalam M. Abdul karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. 1. Yogyakarta: Pustaka
Book Publister, 2007, hal.341] Secara umun, istilah modern berasal dari kata moderna yang
artinya: “sekarang” (Jerman: Jetzeit).
Dengan pengertian itu, ditahui bahwa yang disebut modern, manakala semangat
kekinian menjadi kesadaran seseorang. Jadi, kalau ada orang atau masyarakat yang hidup di
era sekarang tetapi kesadarannya berada di abad pertengahan, maka pertanda mereka belum
modern, dan bisa dikatakan manusia primitif. Abad modern ini merupakan spirit zaman baru
(zeitgeist) yang dimulai pada abad ke-19. Sebagai bentuk peradaban dan semangat zaman,
modernitas dicirikan oleh tiga hal yaitu: indifidualistik, rasionalisme dan kemajuan[
http://blog.uin-malang.ac.id/ivageje/2011/01/01]. Dalam bahasa Indonesia, untuk merujuk
suatu kemajuan selalu dipakai kata modern, modernisasi, atau modernisme. Masyarakat Barat
menggunakan istilah modernisme tersebut untuk suatu yang mengandung arti pikiran, aliran
atau paradigma baru. Istilah ini disesuaikan untuk suasana baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan, baik oleh ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dari penjelasan definisi di atas dapat
diartikan bahwa perkembangan pemikiran dan peradaban berarti terbukanya pikiran manusia
dan kebudayaannya pada era saat ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan pemikiran politik islam pada abad modern di Negara
Mesir dan Libya?
2. Bagaimana cakupan bidang-bidang lain dalam proses pemikiran politik islam pada
abad modern di Negara Mesir dan Libya?
C. Tujuan Makalah
1. Guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester
2. Guna menambah wawasan kita dalam pengetahuan politik islam di tanah timur
tengah
BAB II
PEMBAHASAN
I. NEGARA LIBYA
A. POLITIK DAN PERUNDANG – UNDANG DI LIBYA
Republik Jamariah Libiya terletak di Afrika Utara pada pantai laut tengah. Jumlah
penduduknya mencapai 2,1 juta jiwa dan presentase kaum muslimin mencapai kurang lebih
99%. pada saat kemerdekaanya, Libya mengadopsi Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP)
tahun 1953 yang didasarkan pada hukum barat sebagaimana terefleksi dalam KUHP Mesir
tahun 1948. Namun demikian pada tahun 1971 dibentuklah sebuah komisi untuk merevisi
undang-undang Negara agar sesuai dengan prinsip-prisip syari'at islam.
Dan pada tahun 1973, di negara ini telah berlaku undang-undang baru tentang kejahatan
terhadap harta kekayaan dan undang-undang lainnya tentang zina, yang keduanya berdasarkan
hukum islam, Negara inilah yang diakui sebagai Negara pertama yang melakukan kodifikasi
hukum pidana islam dengan teknik perundang-undangan modern.
Secara lebih mendasar ekonomi Libya lebih bersandar pada hasil minyak bumi dari
pada sumber lain seperti pertanian, hasil laut, pertambangan selain minyak, dan perdagangan.
Melalui hasil minyak inilah perkembangan Libya nampak begitu pesat, dapat disaksikan dari
keberlangsungan hidup masyarakat yang samakin mapan, pembangunan yang terus bergilir di
setiap tempat, dan perkembangan lainnya.
Sesuai data terkini penduduk Libya berjumlah 5.670.688 jiwa yang mayoritas
bermukim di dua perkotaan besar ” Tripoli dan Banghazi”, dan sebagian lagi bermukim di
pinggiran pesisir Libya. Penghasilan yang menjadi tonggak kehidupan masyarakat Libya
adalah hasil perminyakan, sebagian lagi ada yang berprofesi sebagai sopir taxi, dan sebagian
kecil ada yang terus menggeluti usaha kecil menengah. Kondisi sosial Libya akhir-akhir ini
seakan terasa berubah dengan adanya hubungan baik antar Negara tetangga “Eropa”,
perubahan tersebut sangat mencolok dalam hal adat istiadat, terutama pakain.
Hampir 95 persen produksi minyak diekspor ke negara Barat. Terlebih setelah
perubahan platform politik Muammar Ghadafi yang mulai mendekat kepada Barat serta
dibukanya terusan Suez, maka ratusan perusahaan minyak dan gas seluruh dunia melakukan
investasi di Libya. Krisis politik di Libya berdampak terhadap pasokan energi minyak dan gas
dunia. Empat dekade kekuasaan Muammar Ghadafi ikut menjamin stabilitas dan kebutuhan
energi global.
Produksi minyak Libya mencapai 4,5 juta barrel/hari, sehingga memiliki peran teramat
penting bagi keamanan energi dunia, terutama Amerika dan Eropa yang sangat tergantung
dengan pasokan minyak dari negara Afrika Utara itu. Situasi bertambah genting saat ini di
Eropa dan Amerika selain resesi ekonomi, juga karena tidak terjaminnya pasokan minyak bagi
kepentingan mereka.
Sebagai anggota OPEC, Libya memiliki cadangan minyak sebesar 47 miliar barrel.
Negara penghasil minyak terbesar ke-9 di dunia itu merupakan negara paling kaya minyak di
benua Afrika. Kekayaan tersebut membuat Libya menjadi faktor penting bagi stabilitas energi
dunia, terlebih negara itu juga memiliki cadangan gas sebesar 54 triliun kubik.
Kerjasama semakin terbuka sejak 2003 ketika PBB mencabut sanksi atas Libya serta
Amerika Serikat mencabut status Libya sebagai negara teroris pada 2006. Setelah selama 19
tahun absen, beberapa perusahaan raksasa Barat dan Amerika kembali melakukan invansi dan
eksploitasi besar-besaran minyak di Libya, sehingga saat ini mereka menguasai ladang-ladang
minyak negara itu.
Sistem politik
Akibat perang saudara yang berlangsung sejak Februari hingga Oktober 2011,
pemerintah Libya, yang pada saat itu telah berkuasa selama lebih dari 40 tahun, tumbang dan
Libya memasuki periode pemerintahan oleh suatu pemerintahan sementara yang disebut
Dewan Transisi Nasional(NTC). NTC akan mengawasi tahap pertama suatu transisi menuju
demokrasi, dimana setelah itu lembaga tersebut akan bubar dan digantikan oleh suatu dewan
perwakilan.
Begitu kuatnya hubungan kemitraan, hubungan antara Indonesia dan Libya yang
dimulai pada tahun 1991 terganggu oleh Musim Semi Arab yang mempengaruhi pandangan
politik Libya. Perdagangan memburuk, perusahaan dan investor menghentikan operasinya, dan
banyak orang Indonesia – baik pekerja maupun siswa – memutuskan untuk kembali ke rumah
mereka. Namun, saat ini kedua pemerintah tersebut tampaknya mencurahkan upaya untuk
memulihkan hubungan mereka karena kedua negara mengakui kembali pentingnya hubungan
satu sama lain. Hal ini ditegaskan publik oleh Presiden Indonesia Joko Widodo tahun lalu
dalam sebuah pertemuan bilateral di sela-sela Rapat Luar Biasa Organisasi Kerjasama Islam
(OKI) di Jakarta.
Sebelum revolusi, Indonesia memiliki hubungan yang relatif kuat dengan Libya.
Meskipun hubungan ekonomi terbatas, kedua negara terutama terkait oleh kepentingan politik.
Baik Libya dan Indonesia adalah anggota Gerakan Non-Blok dan OKI. Saluran-saluran
organisasi ini telah meletakkan dasar bagi hubungan politik yang lebih terkonsolidasi antara
Jakarta dan Tripoli. Kunjungan resmi yang tinggi juga membantu memperkuat kemitraan
tersebut seperti kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke Tripoli pada bulan September
2003, dan kunjungan timbal balik oleh Muammar Gaddafi pada tahun 2004.
Hubungan ekonomi, meski kecil jumlahnya, masih terlihat. Menurut data COMTRADE
Perserikatan Bangsa-Bangsa, ekspor Libya ke Indonesia pada 2010 mencapai dollar AS senilai
$ 154,08 juta. Perdagangan sebagian besar difokuskan pada bahan bakar mineral, minyak,
produk distilasi, bahan kimia organik, karet, besi, dan baja. Kontraktor Indonesia juga aktif
dalam proyek infrastruktur – baik infrastruktur energi dan sipil – di Libya, yang berjumlah
lebih dari US $ 2 miliar.
Melihat manfaat dari hubungan komplementer mereka, Rapat Komite (Sidang Komisi
Bersama) antara Indonesia dan Libya diadakan di Yogyakarta pada tahun 2009. Pertemuan
tersebut dimaksudkan untuk mengevaluasi hubungan sebelumnya dan untuk membahas upaya
konkret memperbaiki hubungan mereka. Dalam pertemuan tersebut, kedua pemerintah yakin
akan prospek kedekatan mereka di masa depan dan mendiskusikan sejumlah upaya untuk
memperkuat kerja sama mereka di berbagai bidang, termasuk pajak, pariwisata, tenaga kerja,
budaya, sosial, dan penerbangan. Di akhir pertemuan, keduanya juga menandatangani sebuah
MOU dalam pembentukan Komisi Bersama dan dua kesepakatan lainnya mengenai konsultasi
politik dan kesejahteraan sosial. Selain itu, Dewan Gabungan Pengusaha Libya-Indonesia juga
dibentuk untuk mengidentifikasi peluang ekonomi yang tersedia di kedua negara tersebut.
Selama periode transisi, Indonesia menampilkan diri sebagai mitra politik yang andal
dengan menunjukkan bahwa ia memiliki pengalaman serupa setelah berakhirnya rezim Suharto
yang menjadi diktator pada tahun 1998 dan bahwa mereka bersedia membantu Libya dalam
proses transisi dari lansekap politiknya. Ini mendapat respon positif dari pihak Libya. Selama
pertemuan OKI di Jakarta pada tahun 2016, yang terakhir mengatakan bahwa mereka bersedia
belajar tentang demokrasi dari Indonesia.
Selain pertemuan mereka di pertemuan OKI, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno
Marsudi juga bertemu dengan rekannya dari Libya Mohammed Attaher selama Forum
Demokrasi Bali pada akhir 2016. Sebelumnya, pada tahun 2014, di Indonesia, diwakili oleh
Ketua Muhammadiyah, Din Syamsudin dan Deputi Energi dan kemudian – Menteri Dalam
Negeri Susilo Siswoutomo, berpartisipasi dalam perayaan Hari Kemerdekaan dan Revolusi
Libya. Pertukaran profil tinggi ini sebagian besar didorong oleh kemauan untuk membangun
kembali hubungan lama mereka.
Pemilu pertama pasca lengsernya Muammar Khadafi merupakan Pemilu yang paling
bersejarah dalam dinamika politik Libya. Kontan saja, pemilu tersebut mendapat sambutan
antusias dari berbagai kalangan. Berdasarkan data dari High National Election Commision
(HNEC) Libya, sebanyak 1,7 juta lebih rakyat Libya turut serta dalam pemilu Parlemen.
Disamping itu, sekitar 160 partai politik –kebanyakan berasaskan Islam- turut dalam pesta
demokrasi yang memperebutkan 80 kursi yang tersedia disamping 120 kursi melalui jalur
independen (www.hnec.ly/-). Dari sekian banyak partai politik hanya beberapa partai saja yang
memiliki basis massa besar. Diantara partai besar tersebut adalah Partai Keadilan dan
Pembangunan yang mengusung tema kampanye seputar ekonomi, persatuan dan keamanan.
Meski para elit partai membantah bahwa partainya merupakan representasi dari gerakan
Ikhwanul Muslimin (IM) Libya yang didirikan pada tahun 1942, Justice and Development
Party (JDP) tetap memiliki basis masa pendukung yang kuat dari kelompok IM dan diyakini
sebagai partai yang paling terorganisir serta mewakili kekuatan politik Islam di Libya.
Disamping JDP, partai Islam lainnya yang memiliki basis massa yang kuat adalah Partai al-
Wathan yang didirikan oleh Abdul Hakim Belhaj, mantan komandan the Libyan Islamic
Fighting Group (LIFG). Dengan mengusung program-program nasional dalam kerangka Islam,
partai ini mendapat dukungan dari kelompok Salafi yang berpengaruh dibawah pimpinan Ali
Ash-Shallabi.
Sementara itu, kekuatan politik kelompok nasionalis- liberal diwakili oleh tiga partai
besar yakni, National Forces Alliance (Tahaluf al-Qawi al-Wathani) yang dipimpin Mahmoud
Jibril dan mendapat dukungan dari organisasi politik, LSM dan ratusan tokoh independen dari
kalangan nasionalis. Sedangkan National Centrist Party atau partai Tengah didirikan oleh Ali
Tarhouni mantan perdana menteri dan yang bertanggung jawab terhadap keuangan kabinet
sementara Mahmoud Jibril. Seperti halnya Jibril, Tarhouni melalui partainya mengusung isu-
isu keamanan dan penegakkan hukum. Adapun partai nasionalis lainnya adalah National Front
Party (Al-Jabha Al-Wathani), yang didirikan oleh Muhammad Yusuf Al-Magharif, mantan
duta besar Libya untuk India pada era Khadafi. Partainya mengusung desentralisasi, HAM,
ekonomi, rekonsiliasi nasional dan keamanan. Ketiga partai nasionalis tersebut mengklaim
telah memiliki kantor dan basis massa yang besar di beberapa kota di wilayah timur Libya.
Dengan hadirnya beberapa partai besar tersebut, sudah dapat dipastikan akan terjadi
pertarungan sengit antara kubu Islamis yang diwakili oleh JDP dan kubu nasionalis-liberal dari
NFA, NCP dan NFP. Meski demikian bukan berarti kelima partai besar tersebut lebih
diunggulkan dari partai lainnya. Masih ada kekuatan politik lainnya yang menjadi “kuda hitam”
dan siap bersaing dalam pentas politik Libya ke depan.
Politik Etnis
Libya merupakan negara dengan jumlah suku atau kabilah terbanyak di Afrika Utara.
Terdapat sekitar 114 suku di Libya, dengan beberapa suku besar di wilayah barat, seperti al-
Warfala, at-Tarhunah, al-Warsyifana. Di Timur terdapat suku al-Ubaidat dan al-Awaqir,
sedangkan wilayah selatan dihuni mayoritas suku Aulad Sulaiman (keturunan Sulaiman), Az-
Zawiyyah, dan Al-Hasawinah. Pada era Khadafi, suku-suku tersebut berada dalam satu
kordinasi dan kesepakan atau yang dikenal dengan “al-Kaulasah” yang berada dibawah kontrol
pemerintah.
Dalam konteks pemilu Libya, suku-suku tersebut mempunyai peran yang cukup
signifikan untuk mendukung kandidat, terutama di daerah pedalaman Libya. Muhammad Taher
Syaibani misalnya, salah seorang tokoh dari The Libyan National Gathering Party
mengungkapkan, bahwa pada pemilu kali ini dirinya kesulitan memperoleh suara di di daerah-
daerah pedalaman dibanding perkotaan yang jauh dari pengaruh kesukuan, terlebih Syaibani
bukan merupakan keturunan atau tokoh dari salah satu suku yang ada.(www.al-Jazeera.net).
Memang, fanatisme kesukuan dalam politik domestik Libya masih sangat kuat, terutama
menjelang Pilpres yang akan diselenggarakan dalam beberapa bulan kedepan. Masing-masing
suku dipastikan akan mendukung kandidat yang berasal dari sukunya atau paling tidak
mempunyai ikatan kekerabatan dan pengaruh yang besar di daerahnya. Karenanya, dapat
dikatakan mustahil kandidat dari suku at-Tarhunah akan menang didaerah mayoritas Bani
Walid atau sebaliknya. Lain halnya dengan kandidat yang berasal dari perkotaan di wilayah
Timur Libya seperti, Benghazi dan Khumus -dimana seluruh kabilah atau suku berbaur- besar
kemungkinan seorang kandidat dapat memperoleh suara signifikan. Dalam pemilu parlemen
yang telah dilaksanakan beberapa hari lalu, suara pemilih mencapai 67 persen yang mayoritas
berasal dari suku-suku di wilayah timur, barat dan selatan Libya.