Anda di halaman 1dari 13

MANAJEMEN PERPAJAKAN

ASPEK PAJAK UNTUK INDUSTRI KEUANGAN

(ASURANSI KERUGIAN, ASURANSI JIWA, atau PERBANKAN)

KELOMPOK 5:

Farida Nur Salamah (33694)

Yanita Azaliadiva (33695)

PENDIDIKAN PROGRAM PROFESI AKUNTAN

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI YKPN

YOGYAKARTA
Bad Debt Expense
Dalam meningkatkan persaingan bisnis dan memelihara hubungan pelanggan, salah
satu strategi yang dapat dilakukan perusahaan adalah dengan memberikan fleksibilitas
pembayaran. Salah satu contohnya adalah pembayaran yang dapat dilakukan setelah barang
sampai ditangan customer atau jasa diberikan kepada penerima jasa. Fleksibilitas pembayaran
tentu saja dapat menimbulkan risiko bisnis. Dalam situasi tertentu, bisa jadi proses penagihan
mengalami kendala. Salah satu kebijakan yang diambil perusahaan adalah dengan memberikan
kebijakan perpanjangan jangka waktu pembayaran. Jika proses penagihan yang dilakukan
secara maksimal tidak berujung pada pembayaran, tagihan tersebut dapat menjadi piutang tak
tertagih yang akan dimunculkan dalam laporan rugi laba perusahaan
Secara komersial terdapat dua metode pembebanan piutang tak tertagih yang dapat
dilakukan oleh perusahaan, yaitu menggunakan Metode Penghapusan (Write-off) dan Metode
Penyisihan atau Pencadangan (Bad debt allowance).
Untuk metode penghapusan (Write-off), perusahaan dapat langsung membebankan
piutang yang dihapus dengan mengkreditkan akun piutang tersebut. Namun untuk metode
penyisihan (Bad debt allowance), perusahaan dapat membentuk akun cadangan atas piutang
yang diperkirakan tidak akan tertagih.

Namun dalam menjalankan kewajiban perpajakan perusahaan untuk mengakui beban


piutang tak tertagih secara fiskal, maka perusahaan atau wajib pajak harus memperhatikan
syarat yang harus dipenuhi dalam pembebanan piutang tak tertagih yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Pengertian piutang tak tertagih sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri KEuangan Nomor
105/PMK.03/2009 tentang Piutang Yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih YangDapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto dijelaskan bahwa:
Yang dimaksud dengan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih ialah ;

 piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya,
 yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan
yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.
 tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
Sedangkan pengertian dari Penerbitan umum atau penerbitan khusus ialah:

 Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah


atau media massa cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional; atau
Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada:

 penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Perhimpunan Bank-


Bank Umum Nasional (PERBANAS);
 penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia; dan/atau
 penerbitan yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan
pihak kreditur menjadi anggotanya.

Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 disebutkan bahwa:

Syarat piutang yang nyata-nyata tak tertagih Wajib Pajak dapat membebankan biaya piutang
tak tertagih dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dengan syarat :

 Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan rugi laba komersial;


 Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak, baik dalam bentuk hard copy (dilampirkan SPTnya) dan soft
copy;dan
 Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut : (pilih salah satu)
o telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara;atau
o terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;atau
o telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus (dapat berupa
penerbitan internal asosiasi atau sejenisnya);atau
o adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu.
Dari ketiga syarat diatas, dapat disimpulkan bahwa :
Contoh:
Pada tahun 2015, PT Ortax Indonesia memiliki data piutang tak tertagih secara komersial
kepada pihak debitur dengan rincian sebagai berikut (dalam Ribuan Rupiah)

Dalam kasus diatas dapat dijelaskan bahwa pada nomor 1 dan 4 tidak terpenuhi dikarenakan ;

Pada Nomor 1 (PT ABC)  Syarat mutlak pada huruf b yaitu daftar piutang tidak diserahkan
kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

Pada Nomor 4 (PT JKL)  Daftar piutang tak tertagih tidak memenuhi salah satu syarat pada
huruf c

Sehingga atas nama debitur PT ABC dan PT JKL yang dibebankan sebagai beban piutang tak
tertagih tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung
penghasilan kena pajak bagi PT ABC.
 Lampiran Yang Dibutuhkan:

1. Daftar Nominatif :
harus mencantumkan identitas debitur berupa nama, NPWP, alamat, jumlah plafon utang
yang diberikan, dan jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

Dikecualikan dari keharusan mencantumkan identitas debitur berupa NPWP ialah


piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang berasal dari plafon utang sampai dengan
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), baik yang berasal dari satu utang maupun
gunggungan dari beberapa utang yang diterima dari satu kreditur.

Ketentuan mengenai pengecualian keharusan mencantumkan identitas debitur berupa


NPWP mulai berlaku untuk penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang
dibebankan sejak Tahun Pajak 2015.
2. Lampiran Daftar Nominatif ; (pilih salah satu)
a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan
utang usaha yang telah dilegalisir oleh notaris;
c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus;
atau
d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
yang disetujui oleh kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah
utang tertentu, yang disetujui oleh kreditur.

Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
 Persyaratan Tidak Berlaku Bagi Nilai Piutang :

Persyaratan pada huruf c dalam PMK 207/PMK.010/2015 tidak berlaku untuk piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
- Debitur kecil  jumlah piutangnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang
diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai
akibat adanya pemberian:
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk
usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan
Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung
dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh
bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun
penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung
dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka
intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang
diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilikan rumah sangat
sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah
usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan
modal usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia
dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.
- Debitur kecil lainnya  piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak
melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
 Salah satu ketentuan lainnya yang perlu diperhatikan dalam Beban piutang tak tertagih
ialah;

Apabila Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dalam Pasal 3 dibayar seluruhnya
atau dibayar sebagian oleh debitur, maka jumlah piutang yang dibayar seluruhnya atau dibayar
sebagian tersebut merupakan penghasilan bagi kreditur pada tahun pajak diterimanya
pembayaran.
Pada prinsipnya pembebanan piutang tak tertagih dalam laporan laba/rugi perusahaan
diperbolehkan baik secara akuntansi maupun secara fiskal. Namun wajib pajak harus
memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi secara fiskal, agar tidak dilakukannya
koreksi fiskal oleh petugas pajak atas pembebanan piutang tak tertagih ini.
Terdapat dua syarat utama yang harus dipenuhi oleh wajib pajak:

 wajib pajak harus mengakui beban piutang tak tertagih tersebut dalam laporan rugi
laba komersial
 wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak.

Selain itu, wajib pajak harus memiih salah satu syarat yang harus dipenuhi pada Pasal 3
ayat (1) huruf c PMK 207/PMK.010/2015.
PENYISIHAN PENGAHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF (PPAP)
Dalam dunia perbankan dikenal dengan istilah PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif) yang merupakan cadangan yang dibentuk dengan cara membebankan perhitungan
laba rugi tahun berjalan, untuk menampung kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dan
tidak diterimanya kembali sebagian atau seluruh aktiva produktif, penyisihan penghapusan
aktiva produktif yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap adalah
maksimum persentase terntentu.

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, dewasa ini mengharuskan bank untuk
membentuk cadangan umum Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) sekurang-
kurangnya sebesar 1% dari seluruh Aset Produktif yang digolongkan lancar.

Selain itu bank juga diwajibkan membentuk cadangan khusus seperti yang tertera dalam
PBI Nomor 5/9/PBI/2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) Bagi
Bank Syariah.

Aktiva produktif berfungsi untuk memperoleh pendapatan utama bank. Sebagai


sumber utama, pada asset ini juga terdapat risiko besar. Potensi kerugian yang diakibatkan oleh
buruknya tingkat kolektibilitas asset ini dapat membawa kebangkrutan bank oleh karena itu,
bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) berupa cadangan
umum dan cadangan khusus guna menutupi risiko kemungkinan kerugian tersebut.

Pengenalan PPAP dan CKPN, dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998, pembentukan atau penyisihan dana itu disebut
dengan istilah PPAP atau Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.

Dalam PPAP, menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/148/KEP/DIR
tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, pembentukan cadangan atau
penyisihan tersebut dinilai berdasarkan tingkat kolektibilitas dari kredit debitur dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. Cadangan Umum PPAP : Kredit Kategori Lancar < 1%
2. Cadangan Khusus PPAP :
a. 5% x Kredit Kategori Dalam Perhatian Khusus
b. 15% x (Kredit Kategori Kurang Lancar – Nilai Agunan)
c. 50% x (Kredit Kategori Diragukan – Nilai Agunan)
d. 100% x (Kredit Kategori Macet – Nilai Agunan)

Setelah adanya revisi PSAK 55 pada tahun 2006, maka istilah dari PPAP pun diganti
menjadi CKPN atau Cadangan Kerugian Penurunan Nilai. Dalam CKPN, pembentukan atau
penyisihan dana dinilai dari hasil evaluasi kredit debitur yang dilakukan oleh bank. Jika
menurut suatu bank terdapat bukti objektif bahwa kredit dari debitur itu mengalami impairment
(penurunan), maka bank itu harus membentuk dana atau cadangan atas kredit tersebut.
Karena hasil evaluasi kredit debitur tersebut didasarkan kepada keputusan masing-
masing bank, maka tiap-tiap bank memiliki kebijakan tersendiri dalam membentuk cadangan
dana untuk kreditnya. Walaupun begitu, kebijakan bank itupun tidak boleh melenceng dari
beberapa kriteria yang terdapat dalam PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia) setelah
adanya revisi PSAK 55. Adapun ketentuan pengukuran cadangan menurut CKPN berdasarkan
PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia) Revisi 2008 dibagi menjadi :
1. Individual

Setiap bank dapat memilih perhitungan untuk mengukur nilai CKPN Individual dengan
menggunakan metode seperti di bawah ini :

a. Discounted Cash Flow : Estimasi arus kas masa akan datang (pembayaran pokok + bunga)
yang didiskonto dengan suku bunga

b. Fair Value of Collateral : Dengan memperhitungkan nilai arus kas atas jaminan atau agunan
di masa yang akan datang
c. Observable Market Price : Ditentukan dari harga pasar dari kredit tersebut
2. Kolektif

Setiap bank dapat memilih beberapa ketentuan dalam menentukan nilai CKPN pada kelompok
kolektif ini sebagai berikut :
a. Dilihat dari perhitungan arus kas kontraktual kreditur di masa akan datang

b. Dilihat dari perhitungan tingkat kerugian historis dari kredit debitur setelah dikurangi tingkat
pengembalian kreditnya
Dari beberapa metode pengukuran CKPN diatas, maka akan diperoleh besarnya cadangan atau
penyisihan dana atas kredit debitur tersebut.

PPAP dan CKPN dengan Kredit Perbankan, untuk mengetahui besarnya nilai
penyisihan atau cadangan dana kredit suatu bank berdasarkan perhitungan PPAP, maka kredit
bank tersebut tinggal dikalikan saja dengan persentase dari kolektibilitas kredit tersebut yang
sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh BI.

Sedangkan untuk menentukan besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana dari kredit
suatu bank berdasarkan perhitungan CKPN, maka kita harus menentukan terlebih dahulu kredit
dari debitur mana saja yang mengalami impairment (penurunan nilai). Setelah itu, maka
besarnya nilai cadangan dana kredit itu ditentukan dari selisih antara nilai tunggakan kredit
debitur tersebut sebelum dan sesudah terjadinya impairment (penurunan nilai).

Jika kita bandingkan cara pembentukan dana menurut PPAP dan CKPN, maka dapat
kita lihat bahwa perhitungan PPAP lebih sederhana dibandingkan dengan perhitungan CKPN,
karena kita hanya memperhitungkan penyisihan dananya berdasarkan tingkat kolektibilitas
kredit dari debitur tersebut. Sedangkan untuk perhitungan CKPN, kita perlu mengecek satu per
satu apakah kredit debitur tersebut mengalami impairment atau tidak. Setelah itu kita baru akan
membentuk cadangan dana setelah terdapat bukti bahwa kredit debitur tersebut mengalami
impairment.

Walaupun perhitungan CKPN lebih rumit, tetapi dengan adanya pengecekan kredit
tersebut secara satu per satu, maka pengontrolan kredit tersebut pun menjadi lebih terarah,
karena apabila terjadi impairment, maka bank akan segera mencari jalan keluar agar kredit
debitur tersebut tidak sampai dapat merugikan bank tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya
perhitungan pembentukan atau penyisihan dana kredit berdasarkan perhitungan CKPN ini,
maka setidaknya bank dapat mengurangi terjadinya risiko kredit yang akan dialaminya.

Tujuan awal penggunaan PPAP adalah sebagai alat penerapan prinsip kehati-hatian
(prudential banking). Pada dasarnya, perubahan jumlah PPAP dapat menimbulkan risiko
kerugian bagi bank apabila prediksinya meleset. Hal ini dikarenakan aktiva yang sebenarnya
produktif menjadi bersifat tidak produktif karena sebagai akibat dimasukkan kedalam
cadangan. Selain itu para pengguna laporan keuangan eksternal dan investor akan mengalami
kesulitan untuk mengukur kinerja bank yang sebenarnya.

PPAP dibentuk sebagai salah satu akun kontra aset. PPAP menunjukkan jumlah
kerugian yang diperkirakan atas saldo pinjaman yang belum diselesaikan. Dalam laporan
keuangan, PPAP harus dicantumkan dalam laporan laba rugi sebagai salah satu beban yang
ditanggung bank pada tiap periode pelaporan keuangan. Artinya PPAP memiliki nilai yang
signifikan dalam laporan keuangan dan merupakan area yang memiliki potensi untuk
dimanipulasi oleh para manajer (Tobing et al, 2005).

Perbedaan Aturan PPAP antara Bank Indonesia dan Direktorat Jenderal Pajak
Sesuai Peraturan Bank Indonesia nomor 7/2/PBI/2005 yang sudah dirubah tiga kali
dengan perubahan terakhir adalah Peraturan Bank Indonesia nomor 11/12/PBI/2009 pasal 44
mewajibkan semua Bank Umum untuk melakukan penyisihan penghapusan aktiva.
Pembentukan PPA terhadap aktiva non produktif dimaksudkan untuk mendorong Bank
melakukan upaya penyelesaian bila terjadi wanprestasi dan untuk antisipasi terhadap potensi
kerugian.

Sedangkan dalam perpajakan tidak ditemukan istilah PPAP maupun Penyisihan


Penghapusan Aktiva. Pada PMK nomor 81/PMk.03/2009 disebutkan istilah “Pemupukan Dana
Cadangan”.

Istilah ini diambil dari UU No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pasal 9 ayat 1
yang berbunyi sebagai berikut:
Dari pengertian UU No 36 tahun 2008 ini dapat disimpulkan bahwa pengertian
Pemupukan Dana Cadangan serupa dengan istilah Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif
atau Penyisihan Penghapusan Aktiva.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 81/PMK.03/2009 jelas dibuat sinergis dengan
peraturan perbankan yang dibuat oleh Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter di
Indonesia. Salah satunya adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang sudah dirubah untuk ketiga kalinya dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/2/PBI/2009, hal itu dapat dilihat dari sisi besaran
presentase pemupukan dana cadangan yang diharuskan oleh Bank Indonesia dan yang
diperbolehkan secara ketentuan perpajakan, maupun dari sisi kriteria kualitas yang sama
(lancar/dalam perhatian khusus/kurang lancar/diragukan/macet).

Tetapi ada permasalahan besar dalam aturan PPAP ini dari sisi Bank Indonesia dan dari
sisi Direktorat Jenderal pajak yaitu mengenai Hapus Buku dan Hapus Tagih.

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas


Aktiva Bank Umum yang sudah dirubah untuk ketiga kalinya dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/2/PBI/2009 pasal 71 menyatakan bahawa dalam proses Hapus Buku dan Hapus
Tagih, kewajiban Bank Umum adalah sebagai berikut:

Sedangkan pada penjelasan pasal 71 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005


tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang sudah dirubah untuk ketiga kalinya
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/2/PBI/2009 menyatakan bahwa upaya yang dapat
dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan yang memberikan garansi atas Aktiva Produktif
dimaksud, dan penyelesaian Kredit melalui pengambilalihan agunan.

Sebaliknya pada UU No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pada pasal 6


menyatakan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto bila memenuhi syarat sebagai berikut:

Dapat disimpulkan bahwa apabila sebuah Bank Umum sudah memenuhi ketentuan
pada pasal 71 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum yang sudah dirubah untuk ketiga kalinya dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/2/PBI/2009 maka seharusnya kriteria piutang nyata-nyata tidak tertagih yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai pasal 6 UU Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan pastilah terpenuhi. Tetapi bisa saja tidak terpenuhi karena kriteria penetapan yang
bisa saja berbeda.

Perhitungan PPAP Kredit


Penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) berfungsi sebagai cadangan biaya
antisipasi terhadap kerugian, yang ditempatkan pada pos aktiva pada suatu neraca pada laporan
keuangan. Biasanya PPAP diperhitungkan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap
penambahan dan pengurang dari suatu laporan laba rugi bisnis anda.
Sesuai dengan PBI : 13/26/PBI/2011, Kewajiban membentuk PPAP berupa PPAP
umum dan PPAP khusus, dijabarkan sebagai berikut :

1. PPAP umum berdasarkan pasal 12 ayat 2 dan ayat 4 ditetapkan paling kurang sebesar
0,5% (lima permil) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas Lancar.
Dikecualikan untuk Aktiva Produktif dalam bentuk :
 Penempatan BPR pada SBI ; dan
 Kredit yang dijamin dengan agunan yang bersifat likuid berupa SBI, surat utang yang
diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, tabungan dan/atau deposito yang diblokir
pada BPR yang bersangkutan disertai dengan surat kuasa pencairan dan logam mulia.
2. PPAP khusus ditetapkan berdasarkan pasal 12 ayat 3 paling kurang sebesar:
 10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Kurang Lancar setelah
dikurangi dengan nilai agunan;
 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Diragukan setelah
dikurangi dengan nilai agunan;
 100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet setelah
dikurangi dengan nilai agunan.
3. Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3) ditetapkan paling tinggi sebesar:
a. 100% (seratus perseratus) dari agunan yang bersifat likuid berupa
SBI, surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia, tabungan dan/atau deposito yang diblokir pada BPR yang
bersangkutan disertai dengan surat kuasa pencairan dan logam mulia;
b. 85% (delapan puluh lima perseratus) dari nilai
pasar untuk agunan berupa emas perhiasan;
c. 80% (delapan puluh perseratus) dari nilai hak tanggungan untuk agunan
berupa tanah, bangunan dan/atau rumah yang memiliki sertifikat yang
diikatdengan hak tanggungan;
d. 70% (tujuh puluh perseratus) dari nilai agunan berupa resi gudang yang
penilaiannya dilakukan kurang dari atau sampai dengan 12 (dua belas)
bulan dan sejalan dengan Undang-Undang serta ketentuan dan prosedur
yang berlaku;
e. 60% (enam puluh perseratus) dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) untuk
agunan berupa tanah, bangunan dan/atau rumah yang memiliki sertifikat
yang tidak diikat dengan hak tanggungan;
f. 50% (lima puluh perseratus) dari NJOP untuk agunan berupa tanah
dan/atau bangunan dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter
C) atau yang dipersamakan dengan itu termasuk Akta Jual Beli (AJB)
yang dibuat oleh notarisatau pejabat lainnya yang berwenang yang
dilampiri surat pemberitahuan pajakterhutang (SPPT) pada satu tahun
terakhir;
g. 50% (lima puluh perseratus) dari harga pasar, harga sewa atau harga
pengalihan, untuk agunan berupa tempat usaha/los/kios/lapak/hak
pakai/hak garap yang disertai bukti kepemilikan atau surat ijin
pemakaian tempat usaha/los/ kios/ lapak/ hak pakai/ hak garap yang
dikeluarkan oleh pengelola yang sah dan disertai dengan surat kuasa
menjual atau pengalihan hak yang dibuat/disahkan oleh notaris atau
dibuat oleh pejabat lainnya yang berwenang;
h. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai pasar untuk agunan berupa
kendaraan bermotor, kapal atau perahu bermotor yang disertai dengan
bukti kepemilikan dan telah dilakukan pengikatan sesuai ketentuan yang
berlaku;
i. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai agunan berupa resi gudang yang
penilaiannya dilakukan lebih dari 12 (dua belas) bulan sampai dengan
18 (delapan belas) bulan dan sejalan dengan Undang-Undang serta
ketentuan dan prosedur yang berlaku;
j. 50% (lima puluh perseratus) untuk bagian dana yang dijamin oleh
BUMN/BUMD yang melakukan usaha sebagai penjamin Kredit;
k. 30% (tiga puluh perseratus) dari nilai pasar untuk agunan
berupa kendaraan bermotor, kapal atau perahu bermotor yang disertai
bukti kepemilikan dan disertai dengan surat kuasa menjual yang
dibuat/disahkan oleh notaris;
l. 30% (tiga puluh perseratus) dari nilai agunan berupa resi gudang yang
penilaiannya dilakukan lebih dari 18 (delapan belas) bulan namun belum
melampaui 30 (tiga puluh) bulan dan sejalan dengan Undang-Undang
serta ketentuan dan prosedur yang berlaku.
Untuk nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP
pada Kredit dengan kolektibilitas Kredit Macet sesuai dengan pasal 13 ayat 3 a dan b:
 Setelah jangka waktu 2 (dua) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun, ditetapkan paling
tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai agunan yang diperkenankan untuk
diperhitungkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
 Setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun, tidak dapat diperhitungkan sebagai faktor
pengurang dalam pembentukan PPAP.

Anda mungkin juga menyukai