Dalam transaksi bisnis, utang yang diberikan oleh suatu entitas hukum (Kreditur)
kepada pihak lain (debitur) merupakan aset yang berbentuk Piutang bagi Kreditur
sebagaimana tercermin dalam neraca keuangannya. Walau demikian, sebagian dari
asset tersebut memungkinkan, baik apakah itu sebagian ataupun keseluruhan
menjadi tak tertagih sebelum jangka waktunya berakhir. Hal ini diakibatkan oleh
kondisi-kondisi tertentu yang ada di sisi Debitur, di antaranya keuangan debitur yang
tidak sehat akibat pengaruh faktor internal maupun eksternal dari sisi bisnis debitur.
Dalam beberapa literatur, piutang tak tertagih juga disebut sebagai “bad debt”
sebagaimana merujuk dalam pemahaman gramatikal berikut: “Bad debt means the debt
which cannot be collcted. An income tax deduction is allowed for bad debts.“[1]. Terminologi ini
hendak menunjukkan implikasi hukum atas utang yang tidak bisa ditagih, di mana hal
ini menimbulkan hak secara hukum bagi Kreditur untuk memperlakukan status piutang
tak tertagihnya itu menjadi biaya yang dapat menjadi faktor pengurang Pajak
Penghasilan.
Secara perikatan hukum, sebuah Perjanjian Utang Piutang yang diberikan oleh Kreditur
kepada Debitur telah mengatur mengenai pembayaran pinjaman dan bunga. Oleh
karena Kreditur mengakui adanya potensi gagal bayar dari Debitur, maka biasanya suku
bunga yang dikenakan kepada Debitur secara umum lebih tinggi dari suku bunga
terhadap pinjaman yang tak beresiko (secured-loan).
Secara historikal,[2] ada 2 (dua) buah metode yang biasanya dipergunakan untuk
menghitung penghapusan atas “bad debts” yakni charge-off / direct write-off (PENGHAPUSAN
LANGSUNG) dan reserve method (BERTAHAP MELALUI CARA DICADANGKAN) . Dalam charge-off
method, jumlah yang tidak bisa ditagih itu diakui dalam nilai yang sama juga sebagai
biaya (PIUTANG TAK TERTAGIH = BIAYA), atau dalam bahasa lain ketika piutang sudah
tidak tertagih lagi, maka hal tersebut direalisasikan dengan mengurangi saldo piutang
dan memunculkan biaya piutang tak tertagih. Jika ternyata, nilai utang yang awalnya
tidak bisa ditagih itu akhirnya dapat dibayarkan di kemudian hari oleh Debitur, maka
hal tersebut diperlakukan sebagai “Penghasilan Lain-Lain”.
Sementara itu, dalam reserve method, piutang dicatat sebesar nilai nominal sampai mereka
benar-benar menjadi tidak tertagih. Oleh karenanya, DIBENTUK SUATU CADANGAN sesuai
dengan fakta hukum yang ada terkait jumlah piutang yang benar-benar tidak bisa
ditagih. Kedua metode tersebut memiliki tingkat kesulitan dalam mengidentifikasi
kapan suatu utang tersebut sebenarnya menjadi tidak dapat ditagih di masa depan oleh
Kreditur.
Dalam hukum positif Indonesia, hal-hal terkait piutang tak tertagih diatur dalam Pasal 6
ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (“UU
PPh”) yang berbunyi,“piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (dan memenuhi syarat
tertentu) dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung
penghasilan kena pajak (sebagai deductable expenses).” Syarat-syarat yang ditetapkan agar
biaya kerugian penghapusan piutang tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurang
penghasilan bruto adalah sebagai berikut :
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial ;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau
4. adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam
penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tersebut dijelaskan: “Piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak (red.
Kreditur) telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan telah melakukan
upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir, misalnya melakukan somasi secara
patut kepada Debitur, mengadakan pertemuan untuk melakukan penyelesaian utang piutang dengan
Debitur, dan upaya maksimal lainnya.”
Secara spesifik, konsekuensi/dampak hukum yang muncul akibat dipergunakannya
ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh (unsur butir 4) di atas adalah sebagai
berikut:
1. Utang Debitur Lunas, berlaku ketentuan Pasal 1439 KUH Perdata yang pada intinya
menggaris bawahi bahwa,” Pembebasan utang adalah suatu perikatan yang menyatakan
bahwa kreditur dengan SUKARELA membebaskan debitur dari segala kewajiban utangnya.”
2. Pembebasan utang tersebut berakibat bahwa Debitur mendapatkan keuntungan karena
utangnya lunas sehingga mewajibkan Debitur untuk membayar kewajiban perpajakannya
(Pasal 4 ayat [1] huruf k UU PPh);[3]
3. Piutang Kreditur yang tidak bisa ditagih tersebut bergeser menjadi Biaya dalam laporan
laba rugi Kreditur (red. Biaya Piutang Tak Tertagih) yang menjadi faktor pengurang
terhadap penghasilan kena pajak (taxable income) bagi Kreditur.
Dari hasil uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa metode penyelesaian
atas piutang tak tertagih dimungkinkan menggunakan cara yang diatur dalam Pasal 6
ayat (1) huruf h UU PPh, di samping beberapa cara lain yang lazim dipergunakan dalam
praktek seperti misalnya melakukan restrukturisasi utang, penyelesaian melalui
mekanisme PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dan/atau Kepailitan,
Gugatan Wanprestasi, dan/atau upaya hukum lainnya.
Dalam meningkatkan persaingan bisnis dan memelihara hubungan pelanggan, salah satu strategi yang
dapat dilakukan perusahaan adalah dengan memberikan fleksibilitas pembayaran. Salah satu
contohnya adalah pembayaran yang dapat dilakukan setelah barang sampai ditangan customer atau
jasa diberikan kepada penerima jasa. Fleksibilitas pembayaran tentu saja dapat menimbulkan risiko
bisnis. Dalam situasi tertentu, bisa jadi proses penagihan mengalami kendala. Salah satu kebijakan
yang diambil perusahaan adalah dengan memberikan kebijakan perpanjangan jangka waktu
pembayaran. Jika proses penagihan yang dilakukan secara maksimal tidak berujung pada
pembayaran, tagihan tersebut dapat menjadi piutang tak tertagih yang akan dimunculkan dalam
laporan rugi laba perusahaan.
Secara komersial terdapat dua metode pembebanan piutang tak tertagih yang dapat dilakukan oleh
perusahaan, yaitu menggunakan Metode Penghapusan (Write-off) dan Metode Penyisihan atau
Pencadangan (Bad debt allowance). Untuk metode penghapusan (Write-off), perusahaan dapat
langsung membebankan piutang yang dihapus dengan mengkreditkan akun piutang tersebut. Namun
untuk metode penyisihan, perusahaan dapat membentuk akun cadangan atas piutang yang
diperkirakan tidak akan tertagih. Dalam penggunaan metode ini, perusahaan dapat memilih salah satu
metode yang ingin digunakan sesuai dengan jenis kegiatan usahanya.
Namun dalam menjalankan kewajiban perpajakan perusahaan untuk mengakui beban piutang tak
tertagih secara fiskal, maka perusahaan atau wajib pajak harus memperhatikan syarat yang harus
dipenuhi dalam pembebanan piutang tak tertagih yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 36
Tahun 2008 Tentang Pajak Peghasilan.
II. Pembahasan
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 Tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak
Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto dijelaskan bahwa :
Yang dimaksud dengan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih ialah ;
piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya,
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang
maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.
tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
a. Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah atau
media massa cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional; atau
b. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada:
o penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Perhimpunan Bank-Bank Umum
Nasional (PERBANAS);
o penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia; dan/atau
o penerbitan yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan pihak
kreditur menjadi anggotanya.
Wajib Pajak dapat membebankan biaya piutang tak tertagih dalam menghitung Penghasilan Kena
Pajak dengan syarat :
Contoh Kasus :
Pada tahun 2015, PT Ortax Indonesia memiliki data piutang tak tertagih secara komersial kepada pihak
debitur dengan rincian sebagai berikut (dalam Ribuan Rupiah)
Dalam kasus diatas dapat dijelaskan bahwa pada nomor 1 dan 4 tidak terpenuhi dikarenakan ;
Pada Nomor 1 (PT ABC) >> Syarat mutlak pada huruf b yaitu daftar piutang tidak diserahkan
kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Pada Nomor 4 (PT JKL) >> Daftar piutang tak tertagih tidak memenuhi salah satu syarat pada huruf
c
Sehingga atas nama debitur PT ABC dan PT JKL yang dibebankan sebagai beban piutang tak tertagih
tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena
pajak bagi PT ABC.
1. Daftar Nominatif ;
harus mencantumkan identitas debitur
berupa nama, NPWP, alamat, jumlah
plafon utang yang diberikan, dan jumlah
piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih.
Dikecualikan dari keharusan mencantumkan identitas debitur berupa NPWP ialah piutang yang nyata-
nyata tidak dapat ditagih yang berasal dari plafon utang sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah), baik yang berasal dari satu utang maupun gunggungan dari beberapa utang yang diterima
dari satu kreditur.
Ketentuan mengenai pengecualian keharusan mencantumkan identitas debitur berupa NPWP mulai
berlaku untuk penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dibebankan sejak Tahun
Pajak 2015.
Persyaratan pada huruf c dalam PMK 207/PMK.010/2015 tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
Ketentuan Lainnya
Salah satu ketentuan lainnya yang perlu diperhatikan dalam Beban piutang tak tertagih ialah;
Apabila Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dalam Pasal 3 dibayar seluruhnya atau
dibayar sebagian oleh debitur, maka jumlah piutang yang dibayar seluruhnya atau dibayar
sebagian tersebut merupakan penghasilan bagi kreditur pada tahun pajak diterimanya
pembayaran.
III. Penutup
Pada prinsipnya pembebanan piutang tak tertagih dalam laporan laba/rugi perusahaan diperbolehkan
baik secara akuntansi maupun secara fiskal. Namun wajib pajak harus memperhatikan syarat-syarat
yang harus dipenuhi secara fiskal, agar tidak dilakukannya koreksi fiskal oleh petugas pajak atas
pembebanan piutang tak tertagih ini. Terdapat dua syarat utama yang harus dipenuhi oleh wajib pajak
yaitu pertama, wajib pajak harus mengakui beban piutang tak tertagih tersebut dalam laporan rugi laba
komersial dan kedua, wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu, wajib pajak harus memiih salah satu syarat yang harus dipenuhi
pada Pasal 3 ayat (1) huruf c PMK 207/PMK.010/2015.
IV. Referensi