PADA MAKANAN
Disusun oleh:
Kelompok 2
WAWASAN KEBANGSAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Era globalisasi sekarang ini tidak hanya memicu berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi tetapi juga budaya asing yang masuk memengaruhi keadaan sosial
masyarakat di Indonesia. Hal tersebut tercermin dari perilaku kalangan masyarakat yang
lebih memilih produk dengan merek berbahasa asing karena dinilai memiliki kualitas
produk lebih baik dan lebih bergengsi daripada produk dengan merek berbahasa
Indonesia. Fenomena ini yang banyak dimanfaatkan khususnya oleh para pedagang
ataupun pemilik usaha pangan untuk memberi merek pada produk mereka menggunakan
bahasa asing dengan tujuan menaikkan harga produk karena para pedagang menilai hal
tersebut dapat lebih menarik perhatian konsumen dan menambah nilai jual pada produk
mereka.
Pada era globalisasi sekarang ini, penggunaan bahasa Indonesia secara murni
di masyarakat sudah mulai melemah, apalagi di kalangan anak muda yang seolah tak
menghiraukan pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa
persatuan. Mereka seolah-olah tidak mempunyai rasa bangga terhadap bahasa
Indonesia. Hal tersebut tergambar jelas dari perilaku mereka yang lebih memilih
menggunakan banyak selingan bahasa Inggris untuk berkomunikasi sehari-hari secara
langsung ataupun lewat media sosial.
Saat ini bahasa Inggris mulai dianggap menjadi bahasa yang awam digunakan
sehari-hari dan dianggap memiliki tingkat gengsi lebih tinggi daripada bahasa
Indonesia. Maraknya penggunaan bahasa asing pada percakapan sehari-hari, istilah-
istilah gaul remaja, nama perusahaan, nama merek, dan lain-lain, telah menggeser
kedudukan bahasa Indonesia di mata masyarakat. Posisi Indonesia masih tergolong
sebagai negara berkembang menimbulkan dampak pada masyarakat Indonesia untuk
memiliki kecenderungan meniru budaya yang ada di peradaban negara maju.
Mayoritas masyarakat Indonesia menganggap sesuatu yang asing—terlebih berasal
dari negara maju—pasti lebih baik dan lebih berkelas. Hal ini dimanfaatkan oleh
produsen produk makanan untuk meningkatkan gengsi dan nilai jual produk mereka.
Para produsen tersebut menawarkan makanan mereka melalui penggunaan nama
merek dengan bahasa asing. Padahal beberapa menu yang mereka tawarkan berupa
menu-menu lokal. Maraknya penamaan merek produk dengan bahasa asing ini
sebenarnya merupakan salah satu pemicu yang kuat terhadap melemahnya tingkat
penggunaan bahasa Indonesia di kalangan masyarakat.
Positif :
Negatif :
▪ Rasa cinta terhadap bahasa Indonesia mulai melemah dan bahasa asing akan
diutamakan dalam beberapa aspek dalam kehidupan bermasyarakat.
▪ Rakyat Indonesia semakin lama akan semakin lupa kalau bahasa Indonesia
merupakan bahasa persatuan.
▪ Menimbulkan kebiasaan menggunakan bahasa asing pada anak-anak sehingga
dapat membuat anak-anak tidak mengenal bahasa aslinya sendiri.
▪ Menimbulkan krisis berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
▪ Melunturkan semangat nasionalisme dan sikap bangga pada bahasa dan budaya
sendiri.
Dewasa ini bahasa asing memberikan dampak yang besar pada makanan-
makanan yang dijual di Indonesia. Tidak jarang produk makanan sekarang yang
sebenarnya adalah produk lokal diberi nama dengan bahasa lain, sebagai contoh:
omelette padahal sama saja dengan telur dadar, white coffee sama dengan kopi putih,
dan lain sebagainya. Menanggapi hal tersebut perlu adanya solusi agar kedepannya
bahasa Indonesia dapat setara atau bahkan lebih bergengsi dan lebih bisa
meningkatkan nilai jual suatu produk makanan daripada bahasa asing.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Chamalah, E., Universitas Islam Sultan Agung. Pengaruh Penggunaan Bahasa Inggris
Terhadap Makna Asosiatif Pada Nama Badan Usaha di Kota Semarang, Semarang:
chamalah@unissula.ac.id.
Ismatul Khasanah, Dwita Laksmita, Rosa Da Cosa Tilman, Roy Rizki, 2015. Fenomena
Penggunaan Bahasa Asing dalam Penamaan Bisnis Kuliner di Kawasan Soekarno Hatta Kota
Malang. Jurnal Lingkar Widyaiswara, Volume Edisi 2 No.1, pp. 01 - 11.
Tauhidi, H., 2009. Pengaruh Pemberian Merek Berbahasa Asing, Iklan dan Media Terhadap
Persepsi Konsumen, Jakarta: Helmi Tauhidi.