Hukum Dan Politik Dalam Sistem Hukum Indonesia
Hukum Dan Politik Dalam Sistem Hukum Indonesia
Oleh :
Sudirman Simamora (087005059)
Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara
Medan
2008
BAB I
PENDAHULUAN
penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi
atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh
Prof Lili Rasyidi.1 Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki
akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran
positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk
politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan
aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika
yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung
1
Lili Rasyidi & Ira Rasyidi. Pengantar Filsafat dan Teori Hukum. Cet. : VIII. PT. Citra Adtya
Bakti. Bandung. 2001.
2
Bismar Nasution. Catatan Perkuliahan Mata Kuliah Politik Hukum. Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008
1
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat
adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum
dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang
dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya
masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan
hukum adat.3
dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat
pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang
menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini dari sudut
pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan harapan
3
Daniel S. Lev. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan. Cet : I.
LP3S. Jakarta. 1990.
2
akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem
BAB II
mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara
mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. 4 Untuk
atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah
tradisi atau suatu kitab suci. Menurut Fletcher 5 Positivisme hukum mempunyai
sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat
diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi, tetapi karena hukum itu ada karena
4
Achmad Ali. Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. Cet. : II.
Penerbit Gunung Agung. Jakarta. 2002.
5
Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt. Oxford University Press. New York.
1996.
3
dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan
dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus
mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi
dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas
Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat
ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari
mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan
hukum Common Law dan Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang
Menurut John Austin (seperti dikutip Achmad Ali, hlm. 267) 6, hukum
adalah perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum
kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk
6
Ahmad Ali. Loc cit.
4
hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan
negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut
legitimasi. Menurut pandangan Austin, hukum sebagai suatu sistem yang logis,
tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan secara
tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk.
Ada empat unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi, kewajiban dan
kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat
1. Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab
4. Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah
5. Kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau
5
6. Ajaran Austin kurang/ tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup
dalam masyarakat.
penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans
bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des
undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus
dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan
hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari
adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu
bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan
yang paling tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis.
Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih
tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang
senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah
6
Selanjutnya Prof. H. L. A. Hart seperti dikutip oleh Lili Rasyidi 8,
menguraikan tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai
berikut :
being);
2. Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/ penting antara hukum (law)
dan moral atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang
sebenarnya;
dan
4. Pengertian bahwa sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat
8
Lili Rasyidi. Op cit. h. 57.
7
5. Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau
diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai
problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit, pengaturan ini merupakan
aturan, yang secara formal diundangkan. Jadi dengan demikian hukum adalah
BAB III
Dalam khasanah ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi politik pada
khususnya, politik pada dasarnya adalah sebuah konsep yang amat luas
dan disistribusikan dalam sebuah masyarakat. Proses ini tidak selalu terjadi
melulu atas dasar sebuah konsensus tetapi juga sering melalui kompetisi dan
9
Lili Rasyidi. Op cit. h. 39.
8
bahkan konflik atas dasar kombinasi pola “memperebutkan-mempertahankan” di
antara partisipan konflik yang dapat berwujud individu, kelompok, golongan, atau
lembaga. Di samping itu, konsep politik juga sangat terkait dengan beberapa
pengaruh, uang, dan kekayaan itu, di masyarakat manapun, secara relatif selalu
kekuasan itu juga terjadi di masayarakat (civil society), sangat penting di sini
untuk dicatat bahwa negara (state) adalah pusat wilayah perebutan kekuasaan
pokok negara moderen, terdapat tiga cabang kekuasaan negara penting yang
sama-sama telah kita kenal dengan baik itu : kekuasaan judisial, legislatif, dan
kekuasaan yang spesifik. Walaupun demikian, itu tidak berarti ketiga institusi
pokok negara moderen itu tidak saling berinteraksi. Dalam beberapa keadaan,
9
Paradoks itu dapat dilihat di antaranya dalam ihwal hukum. Pada tempat
dalam sebuah parlemen, yakni partai politik. Dengan kata lain, pada dasarnya
hukum yang paling dasar, yakni konstitusi negara dan undang-undang, adalah
sebuah produk politik dari partai-partai politik dominan dalam sebuah parlemen.
itu diselesaikan oleh lembaga legislatif. Namun, secara umum, wilayah ini pada
lembaga eksekutif dan di sebagian sistem lainnya tidak), maka segera setelah itu
hukum baru itu (tampak seperti “tiba-tiba”) menjadi sebuah aturan dasar yang
mengikat semua lembaga negara dan individu, tak terkecuali lembaga yang
tanpa kecuali ini, dalam negara moderen dikenal dengan ajaran tentang
“supremasi hukum”. Ajaran ini pada dasarnya mendiktekan peneguhan atas nilai
10
dan praktik “persamaan di depan hukum” yang mengakibatkan sebuah produk
dengan sendirinya).
gagasan negara hukum itu memiliki pesan tunggal yang amat jelas, yakni tidak
kehendak itu tanpa dilandasi oleh hukum yang berlaku—yang proses pembuatan
dan penetapannyapun diatur oleh hukum yang telah dibuat sebelumnya, baik
dalam kedudukannya yang lebih tinggi maupun yang setara. Pada tempat inilah
Law” yang kerap menjadi dasar dari tegaknya prinsip yang di negeri ini dalam
Hukum yang bersifat dasar dan mengikat semua pihak itu sesungguhnya
merupakan tulisan bahkan kertas belaka apabila tidak ditegakkan. Pada tempat
hukum untuk dilakukan atau tak dilakukan, untuk diindahkan atau dilarang.
11
diembankan kewajiban untuk memastikan hukum tak hanya menjadi tulisan atau
kertas belaka. Birokrasi penegak hukum yang utama dalam negara moderen
adalah polisi. Melalui proses evolusi yang panjang, dalam negara moderen yang
berasas negara hukum itu, lembaga kepolisian memiliki tugas yang paling pokok:
cabang lainnya, yakni lembaga legislatif dan judisial, pada dasarnya memiliki
guna terciptanya ketertiban sosial dan keamanan umum yang sering juga disebut
dengan istilah “social order and public safety”. Tegaknya kepatuhan orang pada
hukum, dalam ajaran ini, dipercaya sebagai dasar untuk menciptakan sebuah
dampak yang bersifat destruktif bagi kehidupan bersama yang berkelanjutan itu.
Masih mengikuti ajaran ini, tanpa aturan bersama yang dipatuhi oleh publik,
pemeriksaan saksi dan atau pencarian bukti hingga pemberkasan. Mandat ini
12
lembaga eksekutif, dan bukan, dan tidak pernah, dan tidak akan pernah, berada
tidak tunduk dan atau berada di bawah pengaruh kekuasaan eksekutif dalam
melakukan fungsi penegakan hukum selain dari hukum itu sendiri. Walaupun
ajaran negara hukum yang sejati. Pengaruh kekuasaan eksekutif atas kewajiban
tidak lain dan tidak ada yang lain selain menegakkan hukum itu sendiri.
kerangka penegakkan hukum demi terjadinya “social order dan public safety”—
yang di Indonesia sering secara awam diringkas menjadi “ketertiban umum” itu
yang lalu saja, lembaga kepolisian di banyak negara menambahkan juga fungsi
antihuru-hara. Apa yang saya hendak katakan di sini tidak lain adalah, semua
fungsi itu dilekatkan pada lembaga kepolisian untuk tujuan penciptaan tertib
sebagai lembaga penuntut perkara hukum ketika telah terjadi pelanggaran yang
telah dikuatkan oleh bukti dan saksi yang oleh hukum dinyatakan sebagai telah
13
eksekutif. Sama dengan prinsip otonomi dan sifat yang penuh yang dimilki
lembaga kepolisian itu, mandat lembaga kejaksaan tidak berkurang atau dapat
pada lembaga kejaksaan tidak lain dan tidak ada yang lain selain melakukan
penuntutan berdasarkan hukum yang berlaku dan mengikat semua orang dan
lembaga itu.
dalam negara hukum yang memiliki otonomi untuk membuat keputusan akhir
atas perkara hukum melalui sebuah sistem persidangan yang bertingkat. Cara
berdasarkan bunyi pasal-pasal hukum yang berlaku, dan, bila mana diperlukan,
atas keyakinan hukum para hakimnya. Dalam jargon dan retorika hukum,
lembaga ini sering juga disebut sebagai lembaga pemutus keadilan. Walaupun
sering disebut) dipilih dan diangkat melalui proses politik jua. Sekurang-
lembaga legislatif dan atau lembaga eksekutif. Inilah gambaran paradoks yang di
bagian awal tulisan ini telah saya singgung. Di satu pihak, mereka adalah
14
lain mereka saling mempengaruhi melalui proses politik. Itulah potret hukum
yang dalam satu sisinya digambarkan sebagai bersifat objekltif (karena sifatnya
yang mengikat semua pihak) dan di sisi yang lain ia tidak terisolasi oleh proses
politik yang dalam hasrat intinya berbicara tentang kekuasaan: tentang siapa
Keadilan adalah sebuah tema lain yang tidak kurang absorbnya. Sebagai
konsep, keadilan memiliki dimensi yang ragam: teologi, filsafat, hukum, sosial,
sesungguhnya agak berbau mitos, dan sering kali juga sedikit menyesatkan.
Dalam bayangan banyak orang di negeri ini, keadilan adalah sebuah konsep dan
sosiologi hukum, ajaran tentang keadilan yang dipuja dalam hukum itu
sesuatu sebagai adil atau tidak?; keadilan menurut perspektif ruang dan waktu
yang mana? Itu semua adalah sebagian pertanyaan dasar yang sangat rumit
penjelasannya.
hukum dan politik hukum. Tema-tema ini dibahas sebagai wacana akademik oleh
para sarjana hukum di kelas-kelas di perguruan tinggi. Para praktisi hukum yang
15
meliputi polisi, jaksa, hakim, dan para penasihat dan pembela hukum, bergumul
dengan apa yang tertulis dalam kitab undang-undang, bukan pada prinsip-prinsip
abstrak yang memenuhi buku-buku teks pengajaran hukum dan ilmu hukum.
Dengan kata lain, para praktisi hukum sangat terikat dengan apa yang ditulis
dalam hukum positif, bukan dalam hukum yang diiedealkan oleh para sarjana
dan ilmuwan hukum lainnya. Dalam ajaran hukum positif, sangat jelas apa yang
dianggap hukum dan bukan. Yang disebut pertama selalu terdapat dalam
bukanlah hukum positif betapapun itu dipercaya sebagai harus dan atau ideal
dan atau adil oleh banyak orang. Karena itu menilai sebuah keputusan hukum
sebagai adil atau tidak adalah sebuah pekerjaan yang mungkin berguna bagi
banyak orang termasuk ahli hukum, ahli ilmu politik, atau bahkan para politisi,
tetapi tidak untuk para praktisi hukum yang bekerja dalam kerangka ajaran
hukum positif.
masyarakat” yang diangkat dalam seminar adalah sebuah konsep penuh makna
(teoretik atau sosial), keadilan atau rasa keadilan masyarakat itu sangat
ihwal itu. Belum lagi, definisi tentang “masyarakat”, atau “rakyat” itu juga memiliki
wacananya sendiri. Dengan kata lain, tema “keadilan”, “rasa keadilan”, “rasa
16
keadilan masyarakat” adalah sebuah konstruksi sosial yang di dalamnya juga
berselimutkan teori dan perspektif yang dikemas dan diajukan sebagai naskah
akademis.
kekuasaan10. Sebagai sebuah produk politik, hukum adalah sebuh naskah yang
yang di dalamnya mengandung pemihakan nilai. Ia tidak dan tidak pernah netral
dari nilai atau sejumlah nilai tertentu. Begitu pula, ketika naskah itu
“Ketertiban sosial dan keselamatan publik” yang menjadi dasar pokok dalam
Dengan kata lain, selalu ada rasionalitas tertentu dalam hukum dan
sebuah contoh dari hadirnya proses seleksi atas sejumlah nilai. Pengutamaan
sebagai misal yang lain, adalah contoh tentang tak terisolasinya lembaga hukum
10
Bismar Nasution. Catatan Perkuliahan Mata Kuliah Politik Hukum. Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008.
17
Sebagai sebuah wacana sosial dan politik, rasa keadilan masyarakat itu
secara spesifik sekurang-kurangnya merujuk pada tiga hal yang berbeda. Yang
pertanyaan tentang mengapa ada larangan atau perintah hukum untuk sesuatu
dan tidak untuk yang lain. Contoh tentang hadirnya larangan impor pakaian
bekas dan tidak hadirnya larangan truk bekas adalah sebuah ilustrasi yang
mengpa pada kasus yang kedua argumentasi perlindungan indusrtri otomotif dan
pada kasus tertentu diindahkan dan kasus sama yang lain ihwal itu tak
tindak pidana korupsi tertentu dan tidak pada kasus yang lain adalah salah satu
tentang keadilan hukum itu. Contoh yang mirip juga dapat ditemukan pada kasus
di mana pelaku white colar crime cenderung mendapat perlakuan yang berbeda
dengan pelaku blue colar crime selama pemeriksaan hingga semasa terhukum
dengan rasa keadilan numerik dalam persepsi publik. Sebagai misal, mengapa
18
putusan pengadilan pada kasus perampokan dan atau pencurian, sebutlah yang
bernilai 50 juta rupiah, cenderung berakhir dengan putusan hakim yang lebih
berat ketimbang pencurian uang negara yang bernilai milyaran rupiah. Contoh-
contoh serupa dapat saja ditemukan untuk menghasilkan daftar yang lebih
panjang. Intinya, rasa keadilan hukum itu berhubungan penilaian publik atas
terjadinya pembedaan ketiga prinsip itu atas dasar status dan klas sosial,
akan selalu demikian. Pemilihan tentang siapa yang menjadi orang nomor satu di
politik. Jawabannya amat jelas, kedua lembaga ini sangat penting perannya
dalam menentukan adakah sebuah produk hukum itu akan berhenti sekedar
sebagai naskah hukum atau menjadi sebuah hukum yang hidup. Hanya dalam
jabatan puncak itu secara relatif dapat dijauhkan dari pertimbangan politik yang
19
Karena itu, projek yang bertujuan meminimalisasikan politik dari wilayah
hukum akan sangat bergantung pada ihwal lainnya seperti usaha untuk
menciptakan sistem politik dan hukum yang lebih tansparan dan akuntabel.
Dengan cara itu kekuasaan akan lebih mudah untuk dikontrol pemanfaatannya.
BAB IV
adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit
banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara,
seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama,
untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu
11
Daniel S. Lev. Op cit.
12
Daniel S. Lev. Op cit.
20
dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam
hukumnya sendiri.
hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur
dalam kenyataan.13
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi
masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya
suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan
diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup
hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi
13
Mieke Komar, et al., Mochtar Kusumaatmadja : Pendidik dan Negarawan, Kumpulan
Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM.
Alumni. Bandung. 1999.
14
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. : 27. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 2005.
21
politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan
otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa
diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik
kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh
kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam
dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur
adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi
hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat
dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum
dan tradisional.15 Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat,
pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu
hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma
22
undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang
and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945)
setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945
setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan
masing-masing.
warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik
Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya
23
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik,
swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang
bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa
undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini,
mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter
Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master
24
pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal
hidup mati.16
hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak
ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang
suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi
kemampuan untuk memerintah. Karena itu perlu menjadi catatan bagi para
masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini
peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada
16
Walter Lippman. Filsafat Publik. Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik
Philosophy. oleh A. Rahman Zainuddin. Yayasan Obor Indonesia. 1999.
25
rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan
negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang
dengan uraian ini adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip
konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling
sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur
utama, yaitu pemisahan kekuasaan - check and balances - prinsip due process
bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat
dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur
26
politik, maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
saling menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme
dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum
oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang
ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang
memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam
pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar
norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihormati oleh masyarakat dan
merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat
dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik,
menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan
27
hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan
BAB V
KESIMPULAN
sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya
hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang
dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum
itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau
baru.
pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan
konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh
28
paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet.
II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
Lev, Daniel S., Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ”
The Publik Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan
Obor Indonesia, 1999.
29
Muhammad, Bushar, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
Rasyidi, Lili & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT
Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.
30