Mukositis Oral Sebagai Dampak Kemoterapi Pada Anak Kanker Yang Mendapat Kemoterapi
Mukositis Oral Sebagai Dampak Kemoterapi Pada Anak Kanker Yang Mendapat Kemoterapi
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah
melimpahkan wara nugraha-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis
berupa studi literature dengan judul “Mukositis Oral sebagai Dampak Kemoterapi
pada Anak Kanker yang Mendapat Kemoterapi”. Penulisan studi literatur ini
dilakukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan mahasiswa terkait dampak
kemoterapi bagi anak dan asuhan keperawatannya.
Penyusunan karya tulis ini dapat terlaksana atas bantuan, bimbingan, dan kerjasama
antar staf dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Penulisan karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna sehingga
diharapkan adanya saran dan kritik yang membangun.
Akhir kata, saya berharap Ida Sang Hyang Widhi Wasa membalas kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga karya tulis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu keperawatan.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
tidak memiliki fungsi fisiologis. Abnormalitas dari gen ini dapat diturunkan,
didapat, ataupun terjadi akibat kerusakan ataupun mutasi dari gen normal
karena berbagai sebab (Price & Wilson, 2005; Priestman, 2012). Pada
dasarnya penyebab kanker pada anak belum diketahui secara pasti, namun
antara lain riwayat keluarga, sindrom genetik spesifik (seperti sindrom down),
terpapar radiasi dalam dosis tinggi dan terus menerus, dan agen farmakologi
yang digunakan dalam kemoterapi (NCI, 2012). Sel – sel kanker ini dapat
lain melalui darah atau sistem limfatik. Kanker pada anak biasanya tidak
Saat ini, ancaman kanker di seluruh dunia cukup besar, karena setiap tahun
enam juta penderita kanker setiap tahunnya. NCI (2009) juga memperkirakan
dalam dekade ini akan terjadi sembilan juta kematian akibat kanker per tahun,
dimana empat persen diantaranya adalah kanker yang terjadi pada anak. Di
Indonesia sendiri, saat ini kanker termasuk di dalam sepuluh besar penyakit
utama penyebab kematian pada anak (Depkes RI, 2011). Menurut NCI (2010),
leukemia merupakan jenis kanker paling banyak pada anak usia 0-19 tahun.
NCI (2010) dalam Nurhidayah (2011), mengatakan lima besar kasus kanker
terbanyak pada anak adalah leukemia, tumor otak, dan susunan saraf lainnya,
lunak.
jangka panjang. Chronic Care Model (CCM) menjadi strategi yang tepat
untuk merawat pasien anak dengan kanker. CCM menyatakan kualitas hidup
centered care). Hal ini disebabkan oleh karena penatalaksanaan kanker sangat
energi radioaktif, bersifat sitotoksik dan dapat merusak DNA sel tumor
sehingga tidak mampu membelah diri, sehingga akhirnya mengering dan mati.
Radioterapi memiliki tiga peran utama dalam pengobatan kanker anak, yaitu
samping terapi radiasi tidak selalu muncul. Berbeda dengan kemoterapi yang
efeknya mengenai seluruh tubuh, khususnya sel yang membelah cepat, efek
samping terapi radiasi berbeda-beda tergantung pada area tubuh yang diterapi.
Efek samping yang umumnya terjadi antara lain adalah kulit menjadi merah
atau gosong, rambut rontok, gigi keropos, mukositis oral, mulut kering (bila
dilakukan radioterapi di area kepala dan leher), sesak nafas, muntah, dan
diare. Berhasil atau tidaknya terapi radiasi tergantung dari berbagai faktor
antara lain sensitivitas sel kanker terhadap radiasi, efek samping yang timbul,
untuk menangani tumor yang padat, tetapi dapat digunakan untuk menangani
untuk menangani kanker pada anak yang tidak dapat diatasi secara efektif
dengan pembedahan atau terapi radiasi saja (Bowden & Greenberg, 2010)
Agen kemoterapi secara umum dibedakan menjadi dua golongan, yaitu agen
siklus sel spesifik (cell cycle-specific) dan siklus sel non-spesifik (cell cycle-
nonspesific). Agen kemoterapi yang tergolong dalam agen siklus sel spesifik
memberikan efek maksimal selama fase tertentu dalam siklus sel terutama
adalah alkylating agent, nitrosureas, agen alkaloid, dan agen anti metabolit.
Selanjutnya agen kemoterapi yang tergolong dalam agen siklus sel non
spesifik bekerja pada satu sel yang tidak spesifik pada fase tertentu, sehingga
bisa mempengaruhi seluruh fase, contohnya adalah agen anti tumor antibiotik.
DNA dan RNA (Chu & Devita, 2015). Kedua agen ini dapat menyebabkan
kerusakan pada DNA sel tumor ataupun DNA sel host yang masih sehat
menjadi terapi utama tanpa pembedahan atau radiasi. Hal ini biasanya
diberikan bersamaan dengan terapi radiasi atau pembedahan (Chu & Devita,
2015).
yang dapat membelah dengan cepat, yaitu sel-sel kanker, namun ternyata agen
kemoterapi belum dapat membedakan antara sel kanker dengan sel normal
yang mengalami pembelahan yang cepat, seperti sel epitel, mukosa, dan
folikel rambut. Oleh karena itu biasanya sel tersebut akan mendapatkan efek
juga dapat menimbulkan efek samping. Hal ini karena agen kemoterapi
bersifat sitotoksik pada sel-sel yang membelah dengan cepat, seperti sel
cepat, seperti epitel, mukosa, dan folikel rambut ikut mengalami kerusakan.
Efek samping kemoterapi yang sering ditemukan pada anak adalah mual,
rambut, risiko infeksi, dan gangguan kesehatan mulut, seperti mukositis oral
radioterapi yang sering terjadi, dan berpengaruh secara signifikan pada aspek
3. Mukositis Oral
terapi kanker, dapat terjadi pada rongga mulut, faring, laring, esophagus, dan
area lain pada saluran gastrointestinal. Hal ini seringkali terjadi pada beberapa
hari setelah pemberian obat kemoterapi, dan dapat menetap sampai satu
akut pada mukosa oral akibat nekrosis dari lapisan basalis dari mukosa oral,
yang ditandai dengan adanya eritema dan atau ulserasi pada mukosa oral, dan
asupan nutrisi, dan kualitas hidup pasien (Chiappelli, 2005; Volpato et al.,
Di Amerika Serikat, sekitar 132.000 kasus mukositis oral terjadi setiap tahun
(Epstein & Schubert, 2004), 40% diantaranya terjadi pada pasien onkologi
2002; Brown & Wingard, 2004; Dodd, 2004; Cawley & Benson, 2005; Lalla,
Sonis, & Peterson, 2008), terutama di area kepala dan leher (Avritscher,
Cooksley, & Elting, 2004; Brown & Wingard, 2004). Frekuensi kejadian dari
dosis tinggi, dan terjadi pada hampir semua pasien yang mendapatkan radiasi
area kepala dan leher (Miranzadeh et al., 2014). Beberapa studi bahkan
orang dewasa. Hal ini berhubungan dengan protokol terapi yang diperoleh
lebih intensif dan menggunakan dosis yang tinggi (Didem et al., 2014).
mukositis oral terbagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang
dengan terapi. Faktor risiko yang berhubungan dengan pasien, meliputi umur
lama. Sedangkan, menurut Sonis dan Fey (2002) dalam Gupta (2013),
jaringan epitel sel anak lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Menurut
Eilers (2004), anak-anak memiliki sel epitel yang lebih sensitif mengalami
Terkait dengan faktor risiko yang berhubungan dengan terapi yang diperoleh,
methotrexate (Cawley & Benson, 2005). Obat ini sangat sering diberikan pada
pasien kanker darah dan nasofaring. Anak yang mendapat terapi dengan dosis
lebih besar, seperti misalnya pada anak yang resisten terhadap pengobatan
waktu yang lama, seperti pada anak yang mengalami relaps juga
dibandingkan dengan terapi tunggal (Eilers, 2004; Chang, Cheng & Yuen,
2008).
Tingkat keparahan mukositis berpengaruh langsung pada perencanaan terapi
oral pada pasien, antara lain adalah riwayat terkena Virus Herpes Simpleks
penurunan produksi dan pH saliva tersebut juga merupakan efek samping dari
kemoterapi yang diberikan (Chu & Devita, 2015). Status gizi juga
penurunan pertumbuhan sel-sel epitel mukosa (Eilers, 2004). Hal ini juga
(2004) yang menyatakan bahwa anak dengan status gizi kurang atau gizi
dilakukan oleh Robien et al. (2004), anak dengan Body Mass Index (BMI)
yang lebih tinggi, seperti gizi normal, overweight, dan obesitas lebih berisiko
mengalami mukositis dibandingkan dengan anak yang memiliki Body Mass
sangatlah kompleks, meliputi efek langsung dari agen kemoterapi pada sel
dengan aktivitas dari sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6.
oral, status imunitas pasien, trauma lokal, dan kondisi oral hygiene pasien.
yang merupakan fase awal kontaknya agen kemoterapi dengan sel mukosa
proinflamatori seperti interleukin (IL)-1 beta dan tumor necrosis factor (TNF-
merupakan fase mulai timbulnya lesi. Pada fase ini akan terjadi kolonisasi
ulserasi yang terjadi, dan kemudian mengarah pada infeksi sekunder. Kondisi
endotoksin yang akan menstimulasi IL-1 dan TNF-alpha lebih banyak lagi.
Pada fase ini, pasien akan mengeluhkan nyeri yang hebat dan sensasi seperti
adanya proliferasi sel dan reepitelisasi pada ulkus sehingga mukosa akan
proses infeksi dan iritasi mekanik (Kostler, 2001; Shih et al., 2003; Naidu et
al., 2004; Sonis, 2004; Price & Wilson, 2005; Lalla et al., 2008; Sonis, 2009).
Mukositis oral ini biasa terjadi 5-10 hari setelah inisiasi kemoterapi dan
hanya berupa rasa tidak nyaman, namun juga dapat sangat mengganggu bila
infeksi jamur di rongga mulut, yang tersering adalah oral moniliasis yang
mulut dan lidah (Priestman, 2012). Manifestasi klinis yang sering muncul
antara lain ulserasi berukuran 0,5-4 cm, eritema yang ditutupi garis kuning
Pada mukositis oral yang dalam, pasien akan merasakan nyeri, sensasi seperti
atau minuman melalui mulut, dan sulit untuk berbicara. Lesi dapat terjadi
bilateral, di bagian ventral atau lateral dari lidah, mukosa labial, bagian dasar
pembentukan scar atau jaringan ikat membutuhkan waktu sekitar 2-3 minggu.
ulserasi mukositis oral (Dodd, 2004). Pasien mukositis oral juga menunjukkan
adanya penurunan produksi saliva sehingga lidah menjadi kering. Hal ini
tidak dapat mengecap rasa, serta menurunkan nafsu makan (Priestman, 2012).
Derajat keparahan dari mukositis oral tergantung pada dosis terapi, fraksi dari
dosis agen kemoterapi, volume dari jaringan yang terkena paparan agen
Untuk kepentingan klinis dan penelitian, oleh WHO dan NCI dibuat suatu
sebagai berikut:
dari lesi, dan perlu dilakukan secara hati-hati karena pasien mukositis oral
kandungan kimia dari agen tersebut dapat menimbulkan mukosa oral kering
yang dirasakan oleh pasien baik lokal ataupun sistemik. Terakhir untuk
et al., 2014).
kesehatan dan integritas mukosa mulut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
salah satu pilihan dalam mengurangi derajat mukositis oral. Perawatan mulut
yang dianjurkan pada anak adalah berkumur-kumur minimal empat kali sehari
(Tomlinson & Kline, 2005), atau minimal melakukan perawatan mulut dua
kali setelah makan dan sebelum tidur, dan setiap dua jam sekali bila sudah
untuk pasien dengan mukositis oral. Pasien juga harus menjaga kelembaban
Pasien dengan mukositis oral yang berat wajib memperoleh Total Parenteral
Nutrition (TPN) untuk mencukupi kebutuhan nutrisi pasien. Pasien juga harus
asin, ataupun makanan kering ( Lalla et al., 2008; Lalla et al., 2014).
estrak tanaman herbal, madu, larutan salin, dan permen karet. Cryotherapy
penelitian ini diperoleh penurunan skala atau derajat keparahan dari mukositis
Sharifi, & Salek, 2012). Penggunaan terapi dingin ini memerlukan kriteria
tertentu, yaitu status gigi anak dalam kondisi sehat (tidak memiliki riwayat
bakteri di area lesi atau ulserasi. Kelemahan dari penelitian ini bila
(OMAS) (Sonis, 1998), Oral Mucositis Index (OMI) oleh McGuire (2002),
Oral Assessment Guide (OAG) (Eilers, Berger, & Petersen, 1988), World
pengkajian mukositis ini sudah ada sejak dekade 80-an, namun di Indonesia
komprehensif (Sonis et al., 1999 dalam Dodd, 2004). Hal ini disebabkan oleh
bahwa instrumen yang baik harus dapat mengkaji respon subjektif seperti
nyeri saat menelan, menilai secara objektif, misalnya derajat ulserasi, dan
Menurut Dodd (2004), Oral Assessment Guide (OAG) merupakan salah satu
anak sehingga dapat menentukan intervensi yang tepat dan sesuai dengan
komprehensif, meliputi gangguan fisik, perubahan pada kavitas oral, dan juga
Care Nova Stovia (2008), OAG merupakan salah satu instrumen yang masih
digunakan sampai saat ini, dapat digunakan dalam praktik setiap hari dan
berbagai penelitian telah melaporkan bahwa instrument ini valid dan reliabel.
digunakan pada anak dan instrumen lain lebih cocok digunakan pada orang
dewasa.
OAG terdiri atas delapan parameter pengkajian. Parameter tersebut antara lain
lidah, ginggiva, dan gigi. Pengkajian lainnya terkait pengkajian subjektif dan
nyeri menelan. Skor setiap item pengkajian diberi nilai 1-3. Nilai 1 jika
penilaian OAG menjadi tiga kategori, yaitu kategori 1 dengan skor OAG 8
kategori 2, dan kategori 3 (mukositis berat) dengan skor OAG berada pada
rentang 17-24. Penelitian yang dilakukan oleh Dodd et al. (2000) juga
mengkategorikan skor OAG menjadi dua kategori, yaitu tidak mukositis pada
skor OAG < 10, dan mukositis pada skor OAG ≥ 10.
Skala Stadium Mukositis yang berisi empat item penilaian, yaitu jumlah
Llop, Jimeno, Acien, dan Dalmau (2010), mengunyah permen karet dapat
proses mastikasi dan rasa permen karet. Saliva yang dikeluarkan dalam
keadaan tidak terstimulasi sekitar 0,4 ml/menit pada individu yang sehat, dan
dapat meningkat 10-12 kali lipat bila disertai dengan mengunyah permen
permen karet karena sebagian besar komponen permen karet telah terurai di
produksi saliva, namun permen karet jenis xylitol lebih tepat karena
dosis tinggi dan radiasi terutama di area kepala dan leher memiliki risiko
membran mukosa oral menjadi kering, mudah terjadi iritasi dan ulserasi.
Selain itu saliva memiliki kandungan organik, yang terdiri dari lisosim,
komponen anorganik, antara lain natrium dan klorida, Hal inilah yang
kemudian mendasari pemilihan permen karet bebas gula untuk mencegah dan
dilakukan oleh Didem et al. (2014). Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit
mengunyah permen karet bebas gula selama 20 menit dengan frekuensi 3 kali
per hari selama 10 hari. Anak diinstruksikan untuk tidak makan dan minum
menit, kemudian dilihat perubahan warna yang terjadi. Hasil dari penelitian
ini adalah terdapat penurunan derajat keparahan mukositis oral yang dialami
Hal inilah yang mendasari bahwa mengunyah permen karet dapat digunakan
sebagai intervensi untuk mencegah dan mengatasi mukositis oral pada anak
Abbasi, N.M., Sadrolhefazi, B., Nikoofar, A., Ervan, M., Azizian, H., & Alamy, M.
(2007). Allupurinol mouthwashes for prevention or alleviation radiotherapy
induced oral mucositis: A randomized, placebo-control trial. Oncology
Nursing Journal, 15(4), 227-230.
Barasch, A., & Epstein, J.B. (2011). Management of cancer therapy-induced oral
mucositis. Dermatol Ther, 24, 424-431.
Bardy, J., Slevin, N., Male, K.L., & Mollasiotis, A. (2008). A systematic review of
honey uses and its potential value within oncology care. Journal of Clinical
Nursing, 17(1), 2604-2623.
Bensinger, W et al. (2008). NCCN Task Force Report: Prevention and management
of mucositis in cancer care. J National Compr Canc Netw Suppl, 1, 1-21.
Bowden, V.R., & Greenberg, C.S. (2010). Children and their families the continuum
of care (2nd ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Cancer Care Nova Stovia. (2008). Best practice guidelines for the management of
oral complication from cancer therapy. California: Nova Stovia Government.
Diperoleh dari http://www.cancercare.ns.ca, diakses tanggal 20 November
2015.
Cawley, M. M., & Benson L.M. (2005). Current trends in managing oral mucositis.
Clin J Oncol Nurs. 9(5), 584-592.
Corsello et al. (2004). Compositions for the relief of xerostomia and the treatment of
asscociated disorders. Diperoleh dari http://www.freepatentsonline.com,
diakses tanggal 23 Mei 2015
Costa, E.M., Fernandes, M.Z., Quinder, L.B., De Souza, L.B., & Pinto, L.P. (2003).
Evaluation of an oral preventive protocol in children with acute lymphoblastic
leukemia. Pesquisa Odontologica Brasileira, 17(2), 147-150.
Chu, E., & Devita, V.T. (2015). Cancer chemotherapy: Drug manual. Burlington:
Jones & Bartlett.
Dahlan, M.S. (2011). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika
Depkes RI. (2011). Press release hari kanker anak sedunia. Diperoleh dari
http://www.tvl.com/pressreleaseharikankeranakseduniahtml, diakses tanggal 15
April 2015.
Didem, A., Ayfer, E., & Ferda, O.A. (2014). The effect of chewing gum on oral
mucositis in children receiving chemotherapy. Health Science Journal, 8(3),
373-382.
Dodd, M.J. (2004). The pathogenesis and characteristic of oral mucositis associated
with cancer therapy. Oncology Nursing Forum, 31(4), 5-12.
Dodd, M.J., Miaskowski, C., Dibble, A.L., Paul, S.M., MacPhail, L., Greenspan, D.,
et al., (2000). Factors influencing oral mucositis in patients receiving
chemotherapy. Cancer Practice Journal, 8(6), 291-304.
Dodds, M.W. (2012). The oral health benefits of chewing gum. Journal of the Irish
Dental Association, 58(5), 253-261.
Eilers, J. (2004). Nursing intervention and supportive care for the prevention and
treatment of oral mucositis associated with cancer treatment. Oncology Nursing
Forum, 31(4), 13-18.
Eilers, J., Berger, A.M., & Petersen, M.C. (1988). Development, testing and
application of oral assessment guide. Oncology Nursing Forum, 15, 325-330.
Elting, L.S., Cooksley, C., Chamber, M., Cantor, S.B., Manzullo, E., & Rubenstein,
E.B. (2003). The burdens of cancer therapy, clinical, and economic outcomes of
chemotherapy induced mucositis. Cancer, 98(7), 1531-1539.
Epstein, J. B., & Schubert, M. M. (2004). Managing pain in mucositis. Seminars in
Oncology Nursing, 20(1), 30-37.
Ertekin, M.V., Cok, M., Karslioglou, L., & Sezen, O. (2004). Zinc sulfate in the
prevention of radiation-induced oropharyngeal mucositis: A prospective,
placebo-control trial, randomized study. International Journal of Radiation
Oncology, Biology and Physic, 58(1), 167-174.
Fulton, J., Middleton, G., & McPail, J. (2002). Management of oral complications.
Seminars in Oncology Nursing, 18(1), 28-35.
Gupta, N., & Khan, M. (2013). Oral Mucositis. E-Journal of Dentistry. 3(3), 405-410.
Guyton & Hall. (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran (Edisi 11). Jakarta: EGC.
Harris, J.D., Eilers, J., Harriman, A., Cashavelly, B., & Maxwell, C. (2008). Putting
evidence into practice: Evidence based intervention for management of oral
mucositis. Clinical Journal of Oncology Nursing, 12(1), 141-147
Hashemi, A., Bahrololoumi, Z., Khaksar, Y., Saffarzadeh, N., Neamatzade, H., &
Foroughi, E. (2015). Mouth-rinses for the prevention of chemotherapy induced
oral mucositis in children: A systematic review. Iranian Journal of Pediatric
Hematology Oncology, 15(2), 106-112.
He, M. (2011). Interventions for preventing oral mucositis in patients with cancer
receiving treatment. Clinical Nurse Spesialist, 25(6), 284-285.
Heydari, A., Sharifi, H., & Salek, R. (2012). Effect of oral chryotherapy on
combination chemotherapy-induced oral mucositis: A randomized clinical trial.
Middle East Journal of Cancer, 3(2 & 3), 55-64.
Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2009). Wong’s essential of pediatric nursing (8th
ed). Missouri: Mosby Company.
Kakoei, S., Ghassemi, A., & Nakhaee, N. (2013). Effect of cryotherapy on oral
mucositis in patients with head and neck cancers receiving radiotherapy.
International Journal of Radiation Research, 11(2), 117-120.
Lalla, R.V., Bowen, J., Barasch, A., Elting, L., Epstein, J., Keefe, D.M., et al. (2014).
MASCC/ISOO clinical practice guidelines for the management of mucositis
secondary to cancer therapy. Cancer, 120(10), 1453–1461.
Lalla et al. (2008). Management of oral mucositis in patients who have cancer. Dent
Clin North Am, 52, 61-77.
Llop, M.R., Jimeno, F.G., Acien, R,M., & Dalmau, L.J.B. (2010). Effect of xylitol
chewing gum on salivary flow rate, ph, buffering capacity and presence of
Streptococcus mutans in saliva. European Journal of Paediatric Dentistry,
11(1), 9-14.
McGraw, H., & Arnhold, M. (2014). Sex differences in cortisol levels. Diperoleh dari
https://minds.wisconsin.edu, diakses tanggal 6 Juni 2016.
National Cancer Institute. (2012). Fact Sheet: Childhood Cancers. National Institutes
of Health, National Cancer Institute. Diperoleh dari
http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/Sites‐Types/childhood, diakses
tanggal 14 Februari 2016.
National Cancer Institute. (2010). Surveilance, epidemiology and end result (SEER).
Diperoleh dari http://www.seer.cancer.gov/canque/incidence.html, diakses
tanggal 3 Mei 2015.
Otto, S.E. (2001). Oncology nursing (4th ed). St. Louis: Mosby.
Peterson, D.E., & Cariello, A. (2004). Mucosal damage: A major risk factor for
severe complications after cytotoxic therapy. Seminar in Oncology, 31(3), 35-
44.
Polit, D.F., & Beck, C.T. (2008). Nursing research: Generating and assessing
evidence for nursing practice (8th edition). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: Konsep klinik proses-proses
penyakit. Jakarta: EGC.
Quinn, B., et al. (2008). Guidelines for the assessment of oral mucositis in adult
chemotherapy, radiotherapy, and haematopoietic stem cell transplant patients.
European Journal of Cancer, 44, 61-72.
RNAO. (2008). Oral health: Nursing assessment and intervention. Diperoleh dari
http://www.rnao.org/bestpractice, diakses tanggal 10 Mei 2015.
Robien, K., Schubert, M.M., Bruemmer, B., Lliod, M.E., Potter, J.D., & Ulrich, C.M.
(2004). Predictors of oral mucositis in patients receiving hematopoetic cell
transplants for chronic myelogoneus leukemia. Journal of Clinical Oncology,
22(7), 1268-1275.
Rubenstein, E.B., Petersen, D.E., & Schubert, M. (2004). Clinical practice guideline
for the prevention and treatment of cancer therapy-induced oral and
gastrointestinal mucositis. Cancer Supplement, 100, 2026-2046.
Ruescher, T.J., Sodeifi, A., Scrivani, S.J., Kaban, L.B., & Sonis, S.T. (1998). The
impact of mucositis on alpha hemolytic streptococcal infection in patients
undergoing autologous bone marrow transplantation for hematologic
malignancies. Cancer, 82(11), 2275-2281.
Saldanha, S.P., & Almeida, V.D. (2014). A comparative study to asses the
effectiveness of turmeric mouth wash versus saline mouth wash on Treatment
Induced Oral Mucositis (TIOM) in a selected hospital at Mangalore. J Clinic
Res Bioeth, 5(6). doi: 10.4172/2155-9627.1000200.
Sedighi, I., Molaee, S., Amanati, A., Khoeinipourfar, H., & Nouri, S. (2013).
Antimicrobial activity of natural honey: Topical application of pure natural
honey in prevention of chemotherapy induced oral mucositis. Journal of
Comprehensive Pediatrics, 4(3), 138-142. doi: 10.17795/compreped-10348.
Shih, A., Miaskowski, C., Dodd, M.J., Stotts, M.A., & MacPhail, D. (2003).
Mechanism for radiation-induced oral mucositis and the consequence. Cancer
Nursing, 26, 222-229.
Smith, A. (2010). Effect of chewing gum on cognitive fuction, mood, and physiology
in stressed and non-stressed volunteers. Nutr Neurosci, 13(1), 7-16. Diperoleh
dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20132649.
Sonis, S.T. (1998). Mucositis as a biological process: A new hypothesis for the
development of chemotherapy-induced stomatotoxicity. Oral Oncology, 34(1),
39-43.
Tierney, D.K. (2006). Oral care for mucositis. Stanford Nurse, 26(1), 8-10.
Tomlinson, D., & Kline, N.E. (2005). Pediatric oncology nursing advanced clinical
handbook. Germany: Spinger.
The Royal Children’s Hospital. (2009). Mouth care-oral hygiene for haematology
oncology children. Diperoleh dari http://www.clinicalguidelines.au, diakses
tanggal 3 Mei 2015.
UKCCSG-PONF. (2006). Mouth care for children and young people with cancer:
Evidence based guidelines. Mouth Care Guidelines Report, Version 1, Feb
2006. Diperoleh dari http://www.ukccsg.uk, diakses tanggal 3 Mei 2015.