Anda di halaman 1dari 35

MUKOSITIS ORAL SEBAGAI DAMPAK KEMOTERAPI PADA ANAK

KANKER YANG MENDAPAT KEMOTERAPI

NS. KADEK CAHYA UTAMI, S.KEP., M.KEP

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah
melimpahkan wara nugraha-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis
berupa studi literature dengan judul “Mukositis Oral sebagai Dampak Kemoterapi
pada Anak Kanker yang Mendapat Kemoterapi”. Penulisan studi literatur ini
dilakukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan mahasiswa terkait dampak
kemoterapi bagi anak dan asuhan keperawatannya.

Penyusunan karya tulis ini dapat terlaksana atas bantuan, bimbingan, dan kerjasama
antar staf dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Penulisan karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna sehingga
diharapkan adanya saran dan kritik yang membangun.

Akhir kata, saya berharap Ida Sang Hyang Widhi Wasa membalas kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga karya tulis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu keperawatan.

Denpasar, April 2017

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

1. Kanker pada Anak ............................................................................................. 1


1.1 Pengertian Kanker ............................................................................... 1
1.2 Insiden Kanker pada Anak .................................................................. 1
1.3 Penatalaksanaan Kanker pada Anak .................................................... 2
2. Kemoterapi pada Anak dengan Kanker ............................................................ 4
2.1 Definisi Kemoterapi ............................................................................ 4
2.2 Agen Kemoterapi ................................................................................. 5
2.3 Prinsip Kerja Kemoterapi ..................................................................... 6
2.4 Efek Samping Kemoterapi.................................................................... 7
3. Mukositis Oral................................................................................................... 8
3.1 Pengerian Mukositis Oral .................................................................... 8
3.2 Insiden Mukositis Oral ........................................................................ 9
3.3 Faktor Risiko yang Mempengaruhi Mukositis Oral ............................ 9
3.4 Patofisiologi Mukositis Oral ................................................................ 12
3.5 Manifestasi Klinis Mukositis Oral ....................................................... 14
3.6 Penatalaksanaan Mukositis Oral .......................................................... 17
3.7 Instrumen Pengkajian Mukositis Oral ................................................. 20
3.8 Penggunaan Intervensi Mengunyah Permen Karet Bebas Gula .......... 23
MUKOSITIS ORAL SEBAGAI DAMPAK KEMOTERAPI PADA ANAK

KANKER YANG MENDAPAT KEMOTERAPI

1. Kanker pada Anak

1.1 Pengertian Kanker

Kanker merupakan kumpulan sel abnormal yang terbentuk secara terus

menerus, tidak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan

tidak memiliki fungsi fisiologis. Abnormalitas dari gen ini dapat diturunkan,

didapat, ataupun terjadi akibat kerusakan ataupun mutasi dari gen normal

karena berbagai sebab (Price & Wilson, 2005; Priestman, 2012). Pada

dasarnya penyebab kanker pada anak belum diketahui secara pasti, namun

beberapa faktor berkontribusi meningkatkan risiko anak mengalami kanker

antara lain riwayat keluarga, sindrom genetik spesifik (seperti sindrom down),

terpapar radiasi dalam dosis tinggi dan terus menerus, dan agen farmakologi

yang digunakan dalam kemoterapi (NCI, 2012). Sel – sel kanker ini dapat

menginvasi jaringan di sekitarnya dan dapat bermigrasi ke bagian tubuh yang

lain melalui darah atau sistem limfatik. Kanker pada anak biasanya tidak

terdeteksi sampai dokter menegakkan diagnosis berdasarkan hasil

pemeriksaan yang lengkap (Bowden & Greenberg, 2010).

1.2 Insiden Kanker pada Anak

Saat ini, ancaman kanker di seluruh dunia cukup besar, karena setiap tahun

terjadi peningkatan jumlah penderita baru kanker pada anak. Menurut


National Cancer Institute atau NCI (2009), diperkirakan terdapat lebih dari

enam juta penderita kanker setiap tahunnya. NCI (2009) juga memperkirakan

dalam dekade ini akan terjadi sembilan juta kematian akibat kanker per tahun,

dimana empat persen diantaranya adalah kanker yang terjadi pada anak. Di

Indonesia sendiri, saat ini kanker termasuk di dalam sepuluh besar penyakit

utama penyebab kematian pada anak (Depkes RI, 2011). Menurut NCI (2010),

leukemia merupakan jenis kanker paling banyak pada anak usia 0-19 tahun.

NCI (2010) dalam Nurhidayah (2011), mengatakan lima besar kasus kanker

terbanyak pada anak adalah leukemia, tumor otak, dan susunan saraf lainnya,

limfoma Hodgkin’s, limfoma non-Hodgkin’s, serta kanker pada jaringan

lunak.

1.3 Penatalaksanaan Kanker pada Anak

Kanker merupakan salah satu penyakit kronis yang membutuhkan terapi

jangka panjang. Chronic Care Model (CCM) menjadi strategi yang tepat

untuk merawat pasien anak dengan kanker. CCM menyatakan kualitas hidup

pasien anak dengan penyakit kronik sangat ditentukan dari kemampuan

manajemen diri (self management) dan partisipasi aktif keluarga (family

centered care). Hal ini disebabkan oleh karena penatalaksanaan kanker sangat

bervariasi dan sangat ditentukan dari kondisi masing-masing anak.

Menurut Bowden dan Greenberg (2010) penatalaksanaan kanker meliputi

pembedahan, radioterapi, tranplantasi sumsum tulang, dan kemoterapi.


pembedahan merupakan terapi definitif pada hampir sebagian besar kanker

pada anak. Pembedahan dapat juga digunakan sebagai diagnosis (biopsi),

rehabilitasi, dan paliatif. Pembedahan biasanya bukan merupakan terapi

tunggal, namun dikombinasikan dengan kemoterapi atau radioterapi.

Radioterapi merupakan terapi yang menggunakan radiasi yang bersumber dari

energi radioaktif, bersifat sitotoksik dan dapat merusak DNA sel tumor

sehingga tidak mampu membelah diri, sehingga akhirnya mengering dan mati.

Radioterapi memiliki tiga peran utama dalam pengobatan kanker anak, yaitu

pengobatan dengan tujuan kuratif, pengobatan paliatif, dan pengobatan yang

ditujukan untuk mengendalikan gejala. Secara garis besar radioterapi terbagi

atas radiasi eksternal (menggunakan mesin di luar tubuh), radiasi internal

(susuk/implant), dan radiasi sistemik yang mengikuti aliran darah ke seluruh

tubuh. Radiasi eksternal merupakan radiasi yang paling sering digunakan.

Sebagian merupakan perpaduan antara radiasi eksternal dan internal atau

sistemik. Kedua jenis radiasi kadang diberikan bergantian, kadang bersamaan.

Radioterapi umumnya dilakukan apabila secara lokal-regional pembedahan

tidak menjamin penyembuhan atau bilamana pembedahan radikal akan

mengganggu struktur serta fungsi dari organ yang bersangkutan. Efek

samping terapi radiasi tidak selalu muncul. Berbeda dengan kemoterapi yang

efeknya mengenai seluruh tubuh, khususnya sel yang membelah cepat, efek

samping terapi radiasi berbeda-beda tergantung pada area tubuh yang diterapi.

Efek samping yang umumnya terjadi antara lain adalah kulit menjadi merah
atau gosong, rambut rontok, gigi keropos, mukositis oral, mulut kering (bila

dilakukan radioterapi di area kepala dan leher), sesak nafas, muntah, dan

diare. Berhasil atau tidaknya terapi radiasi tergantung dari berbagai faktor

antara lain sensitivitas sel kanker terhadap radiasi, efek samping yang timbul,

pengalaman radioterapis, serta penderita yang kooperatif (Otto, 2001;

Tomlinson & Kline, 2005).

Intervensi lainnya adalah transplantasi sumsum tulang. Tujuan dari

transplantasi sumsum tulang ini adalah menyediakan sumsum tulang yang

sesuai (compatible) untuk anak. Transplantasi sumsum tulang tidak hanya

untuk menangani tumor yang padat, tetapi dapat digunakan untuk menangani

gangguan hematologis yang mempengaruhi sistem hematopoetik, sistem

imun, dan metabolisme. Selanjutnya terapi penanganan kanker yang paling

sering digunakan, terutama pada leukemia adalah kemoterapi. tujuan dari

kemoterapi ini hampir sama dengan radioterapi, yaitu untuk menekan

pertumbuhan dan penyebaran sel kanker (Chu & Devita, 2015).

2. Kemoterapi pada Anak dengan Kanker

2.1 Definisi Kemoterapi

Kemoterapi adalah memberikan segolongan obat-obatan sitostatika yang

dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh sel kanker (NHS,

2007). Dengan demikian, diharapkan pertumbuhan sel kanker terhambat,

metastase dapat dikurangi, sehingga gejala gangguan metabolisme akibat sel


kanker dapat diminimalkan. Kemoterapi dapat menjadi bentuk terapi primer,

atau kombinasi dengan pembedahan atau terapi radiasi. Kemoterapi efektif

untuk menangani kanker pada anak yang tidak dapat diatasi secara efektif

dengan pembedahan atau terapi radiasi saja (Bowden & Greenberg, 2010)

2.2 Agen Kemoterapi

Agen kemoterapi secara umum dibedakan menjadi dua golongan, yaitu agen

siklus sel spesifik (cell cycle-specific) dan siklus sel non-spesifik (cell cycle-

nonspesific). Agen kemoterapi yang tergolong dalam agen siklus sel spesifik

memberikan efek maksimal selama fase tertentu dalam siklus sel terutama

pembelahan sel (mitosis). Agen kemoterapi siklus sel spesifik, contohnya

adalah alkylating agent, nitrosureas, agen alkaloid, dan agen anti metabolit.

Selanjutnya agen kemoterapi yang tergolong dalam agen siklus sel non

spesifik bekerja pada satu sel yang tidak spesifik pada fase tertentu, sehingga

bisa mempengaruhi seluruh fase, contohnya adalah agen anti tumor antibiotik.

Agen ini juga menyebabkan gangguan metabolisme sel, memblok transkripsi

DNA dan RNA (Chu & Devita, 2015). Kedua agen ini dapat menyebabkan

kerusakan pada DNA sel tumor ataupun DNA sel host yang masih sehat

sehingga selain menimbulkan efek terapeutik, agen ini juga menimbulkan

efek samping. Agen kemoterapi dengan potensi mukosatoksik dapat dilihat

dalam Tabel 2.1.


Tabel 2.1 Agen Kemoterapi dengan Potensi Mukosatoksik

Agen Antineoplastik yang Bersifat Mukosatoksik


(Agen neoplastik yang paling berpotensi tinggi
menyebabkan mukositis oral ditulis dengan cetak
tebal)
Actinomycin D Amsacrin Bleomycin
Carboplatin Carmustin Chlorambucil
Cisplatin Cyclophosphamide Cytarabine
Dacarbazine Dactinomycin Daunorubicin
Docetaxel Doxorubicin Epirubicin
Estramustine Etoposide Floxuridine
5-Fluorouracil Fludarabine Gemcitabine
Hydroxyurea Idarubicin Ifosfamide
Irinotecan Lomustine Mechlorethamine
Melphalan Mercaptopurine Mercaptopurine
Methotrexate Mithramycin Mitomycin
Mitotane Mitoxantron Paclitaxel
Plicamycin Procarbazin Streptozotocin
Thioguanin Thiotepa Topotecan
Vinblastine Vincristine Vindesine
Vinorelbine Interleukin-2 Interferons
(Sumber: Kostler et al., 2001)

2.3 Prinsip Kerja Kemoterapi

Kemoterapi dapat diberikan sebagai terapi primer, adjuvant, neoadjuvant, dan

terapi kombinasi. Kemoterapi sebagai terapi primer artinya kemoterapi

menjadi terapi utama tanpa pembedahan atau radiasi. Hal ini biasanya

dilakukan untuk menangani kanker darah dan limfoma. Kemoterapi sebagai

adjuvant, artinya kemoterapi digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien

yang telah mendapatkan pembedahan dan radiasi, sedangkan kemoterapi

sebagai neoadjuvant, kemoterapi diberikan pada pasien yang akan mendapat


terapi lokal, pembedahan, atau radiasi. Sebagai kombinasi, artinya kemoterapi

diberikan bersamaan dengan terapi radiasi atau pembedahan (Chu & Devita,

2015).

Pada prinsipnya, semua agen kemoterapi didesain untuk membunuh sel-sel

yang dapat membelah dengan cepat, yaitu sel-sel kanker, namun ternyata agen

kemoterapi belum dapat membedakan antara sel kanker dengan sel normal

yang mengalami pembelahan yang cepat, seperti sel epitel, mukosa, dan

folikel rambut. Oleh karena itu biasanya sel tersebut akan mendapatkan efek

samping kemoterapi yang lebih berat dibandingkan sel normal lainnya.

2.4 Efek Samping Kemoterapi

Seperti yang dijelaskan di atas, selain memiliki efek terapeutik, kemoterapi

juga dapat menimbulkan efek samping. Hal ini karena agen kemoterapi

bersifat sitotoksik pada sel-sel yang membelah dengan cepat, seperti sel

kanker, namun sel normal yang memiliki karakteristik pembelahan yang

cepat, seperti epitel, mukosa, dan folikel rambut ikut mengalami kerusakan.

Efek samping kemoterapi yang sering ditemukan pada anak adalah mual,

muntah, diare, kelelahan, kerusakan sistem saraf, konstipasi, kerusakan folikel

rambut, risiko infeksi, dan gangguan kesehatan mulut, seperti mukositis oral

(Bowden & Greenberg, 2010; Chu & Devita, 2015).


Mukositis oral merupakan salah satu efek samping kemoterapi maupun

radioterapi yang sering terjadi, dan berpengaruh secara signifikan pada aspek

fisik maupun psikologis pada pasien yang menjalani pengobatan kanker.

Mukositis oral mempengaruhi kualitas hidup pasien , bahkan dapat

mengancam nyawa karena infeksi berat dan menimbulkan tertundanya

ataupun tidak tuntasnya pengobatan antikanker (Cawley & Benson, 2005;

Bensinger, 2008; Gupta, 2013).

3. Mukositis Oral

3.1 Pengertian Mukositis Oral

Mukositis adalah kerusakan membran mukosa sebagai akibat sekunder dari

terapi kanker, dapat terjadi pada rongga mulut, faring, laring, esophagus, dan

area lain pada saluran gastrointestinal. Hal ini seringkali terjadi pada beberapa

hari setelah pemberian obat kemoterapi, dan dapat menetap sampai satu

minggu setelahnya (Priestman, 2012). Mukositis oral merupakan inflamasi

akut pada mukosa oral akibat nekrosis dari lapisan basalis dari mukosa oral,

yang ditandai dengan adanya eritema dan atau ulserasi pada mukosa oral, dan

dapat menimbulkan nyeri hebat, membutuhkan analgesik opioid, mengganggu

asupan nutrisi, dan kualitas hidup pasien (Chiappelli, 2005; Volpato et al.,

2007; Lalla et al., 2014).


3.2 Insiden Mukositis Oral

Di Amerika Serikat, sekitar 132.000 kasus mukositis oral terjadi setiap tahun

(Epstein & Schubert, 2004), 40% diantaranya terjadi pada pasien onkologi

yang mendapatkan kemoterapi dan radioterapi (Fulton, Middleton, & McPail,

2002; Brown & Wingard, 2004; Dodd, 2004; Cawley & Benson, 2005; Lalla,

Sonis, & Peterson, 2008), terutama di area kepala dan leher (Avritscher,

Cooksley, & Elting, 2004; Brown & Wingard, 2004). Frekuensi kejadian dari

mukositis oral yang dilaporkan sekitar 20-40% pada pasien yang

mendapatkan kemoterapi konvensional, 80% pada pasien dengan kemoterapi

dosis tinggi, dan terjadi pada hampir semua pasien yang mendapatkan radiasi

area kepala dan leher (Miranzadeh et al., 2014). Beberapa studi bahkan

menyatakan, insiden mukositis oral pada anak lebih tinggi dibandingkan

orang dewasa. Hal ini berhubungan dengan protokol terapi yang diperoleh

lebih intensif dan menggunakan dosis yang tinggi (Didem et al., 2014).

3.3 Faktor Risiko yang Mempengaruhi terjadinya Mukositis Oral

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi dalam meningkatkan terjadinya

mukositis oral terbagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang

berhubungan dengan pasien sendiri, dan faktor risiko yang berhubungan

dengan terapi. Faktor risiko yang berhubungan dengan pasien, meliputi umur

dan jenis kelamin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Barasch dan

Peterson (2003) dalam Gupta (2013), didapatkan kesimpulan bahwa usia

mempengaruhi terjadinya mukositis oral, terutama pada usia lanjut akibat


ketidakefektifan perbaikan DNA, sehingga perbaikan jaringan menjadi lebih

lama. Sedangkan, menurut Sonis dan Fey (2002) dalam Gupta (2013),

populasi anak-anak juga memiliki risiko lebih tinggi karena proliferasi

jaringan epitel sel anak lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Menurut

Eilers (2004), anak-anak memiliki sel epitel yang lebih sensitif mengalami

toksisitas, dan keganasan hematologi dapat menyebabkan mielosupresi yang

memicu terjadinya mukositis oral. Secara keseluruhan berdasarkan jenis

kelamin, perempuan memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan laki-laki,

terutama bila mereka mendapatkan kemoterapi jenis 5 Fluorouracil (FU).

Terkait dengan faktor risiko yang berhubungan dengan terapi yang diperoleh,

mukositis oral dipengaruhi oleh agen kemoterapi, dosis kemoterapi, intensitas

pengulangan terapi. Agen kemoterapi yang paling sering terkait dengan

mukositis adalah antimetabolit yang meliputi etoposide, 5 FU, dan

methotrexate (Cawley & Benson, 2005). Obat ini sangat sering diberikan pada

pasien kanker darah dan nasofaring. Anak yang mendapat terapi dengan dosis

lebih besar, seperti misalnya pada anak yang resisten terhadap pengobatan

akan lebih rentan mengalami mukositis. Kemoterapi yang dilakukan dalam

waktu yang lama, seperti pada anak yang mengalami relaps juga

meningkatkan risiko terjadinya mukositis. Selain itu pasien yang mendapat

kombinasi terapi juga memiliki risiko lebih tinggi mengalami mukositis

dibandingkan dengan terapi tunggal (Eilers, 2004; Chang, Cheng & Yuen,

2008).
Tingkat keparahan mukositis berpengaruh langsung pada perencanaan terapi

yang perlu mempertimbangkan pengurangan dosis, penundaan, bahkan

penghentian kemoterapi. Kondisi ini juga dapat memperparah infeksi yang

dapat mengancam nyawa, khususnya bila pasien jatuh dalam kondisi

neutropenia ( D’ Hondt et al., 2006)

Faktor risiko lainnya yang berkontribusi menyebabkan terjadinya mukositis

oral pada pasien, antara lain adalah riwayat terkena Virus Herpes Simpleks

dan pengobatannya seperti penggunaan acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir

(Valtrex), pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang, dan pasien

yang mengalami penurunan produksi saliva serta pH saliva. Adanya

penurunan produksi dan pH saliva tersebut juga merupakan efek samping dari

kemoterapi yang diberikan (Chu & Devita, 2015). Status gizi juga

mempengaruhi terjadinya mukositis. Pada asupan glukosa dan protein yang

tinggi, serta malnutrisi kekurangan protein berkontribusi menyebabkan

mukosa mulut kering sehingga meningkatkan risiko terjadinya iritasi dan

penurunan pertumbuhan sel-sel epitel mukosa (Eilers, 2004). Hal ini juga

dipertegas dengan penelitian yang dilakukan oleh Peterson dan Carrielo

(2004) yang menyatakan bahwa anak dengan status gizi kurang atau gizi

buruk lebih berisiko mengalami mukositis, namun penelitian lain yang

dilakukan oleh Robien et al. (2004), anak dengan Body Mass Index (BMI)

yang lebih tinggi, seperti gizi normal, overweight, dan obesitas lebih berisiko
mengalami mukositis dibandingkan dengan anak yang memiliki Body Mass

Index rendah, yaitu pada pasien kurus dan sangat kurus.

3.4 Patofisiologi Mukositis Oral

Mekanisme terjadinya mukositis oral akibat kemoterapi dapat terjadi secara

langsung (direct mucosatoxicity) dan tidak langsung (indirect mucosatoxicity).

Direct mucosatoxicity terjadi bila kemoterapi secara langsung menyerang sel

epitel yang mengalami pembelahan sehingga sel tersebut berhenti membelah

dan menyebabkan atropi jaringan yang berakhir pada ulserasi, sedangkan

indirect mucosatoxicity terjadi bila kemoterapi menyebabkan penekanan pada

sistem imun pasien (imunosupresi) yang dapat meningkatkan risiko infeksi di

rongga mulut yang pada akhirnya mencetuskan mukositis oral.

Beberapa studi menunjukkan bahwa patofisiologi dari mukositis oral

sangatlah kompleks, meliputi efek langsung dari agen kemoterapi pada sel

epitel, bahkan dapat mencapai submukosa dan matriks ekstrasellular, disertai

dengan aktivitas dari sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6.

Berbagai faktor lain berinterferensi pada proses ini, seperti mikroorganisme

oral, status imunitas pasien, trauma lokal, dan kondisi oral hygiene pasien.

Lebih jauh lagi, terdapat suatu kemungkinan adanya polimorfisme pada

respon inflamasi, yang dapat membuat individu lebih rentan terhadap

mukositis dibandingkan dengan individu lainnya (Sonis, 2004).


Proses terjadinya mukositis oral meliputi 5 fase, fase awal adalah fase inisiasi

yang merupakan fase awal kontaknya agen kemoterapi dengan sel mukosa

yang membawa radikal bebas. Fase berikutnya merupakan proses transkripsi

dari nuclear factor kappaB (NFkB) yang mengaktivasi mediator

proinflamatori seperti interleukin (IL)-1 beta dan tumor necrosis factor (TNF-

alpha). IL-1beta dapat meningkatkan konsentrasi agen kemoterapi pada sel

yang diserang dan TNF-alpha dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Fase

ketiga adalah respon terhadap stimulasi mediator proinflamatori, seperti

adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan udema pada

mukosa, atropi, dan akhirnya mengalami fase ulserasi. Fase ulserasi

merupakan fase mulai timbulnya lesi. Pada fase ini akan terjadi kolonisasi

bakteri maupun organisme patogen lainnya, seperti Candida albicans pada

ulserasi yang terjadi, dan kemudian mengarah pada infeksi sekunder. Kondisi

ini diperparah dengan adanya kondisi neutropenia sehingga tidak mampu

melawan kolonisasi bakteri yang terbentuk. Bakteri akan mengeluarkan

endotoksin yang akan menstimulasi IL-1 dan TNF-alpha lebih banyak lagi.

Pada fase ini, pasien akan mengeluhkan nyeri yang hebat dan sensasi seperti

terbakar pada mukosa oral. Ulserasi juga diperberat dengan adanya

mikrotrauma yang terjadi pada saat pasien membuka mulut, makan,

mengunyah, dan berbicara. Fase terakhir adalah fase penyembuhan, yaitu

adanya proliferasi sel dan reepitelisasi pada ulkus sehingga mukosa akan

kembali normal. Perbaikan jaringan juga disertai dengan peningkatan leukosit,

khususnya neutrophil untuk mengontrol pertumbuhan bakteri. Fase


penyembuhan berlangsung selama kurang lebih 12-16 hari tergantung dari

kecepatan proliferasi atau epitelisasi jaringan, perbaikan sistem hematopoetik,

dan ada tidaknya faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka seperti

proses infeksi dan iritasi mekanik (Kostler, 2001; Shih et al., 2003; Naidu et

al., 2004; Sonis, 2004; Price & Wilson, 2005; Lalla et al., 2008; Sonis, 2009).

3.5 Manifestasi Klinis Mukositis Oral

Mukositis oral ini biasa terjadi 5-10 hari setelah inisiasi kemoterapi dan

berakhir pada hari ke-7-14, tergantung derajat keparahannya. Manifestasi

klinisnya dapat bervariasi tergantung derajat keparahannya. Seringkali tidak

hanya berupa rasa tidak nyaman, namun juga dapat sangat mengganggu bila

disertai dengan terbentuknya ulserasi mukosa. Karena pasien seringkali dalam

kondisi neutropenia, kondisi ini dapat diperparah dengan berkembangnya

infeksi jamur di rongga mulut, yang tersering adalah oral moniliasis yang

tampak sebagai bercak – bercak keputihan pada permukaan mukosa rongga

mulut dan lidah (Priestman, 2012). Manifestasi klinis yang sering muncul

antara lain ulserasi berukuran 0,5-4 cm, eritema yang ditutupi garis kuning

atau fibrin berwarna putih yang disebut sebagai pseudomembran.


Gambar 2.1 Manifestasi Klinis Mukositis Oral

(Sumber: Kostler et al., 2001)

Pada mukositis oral yang dalam, pasien akan merasakan nyeri, sensasi seperti

terbakar, sulit untuk membuka mulutnya, dan kesulitan memasukkan makanan

atau minuman melalui mulut, dan sulit untuk berbicara. Lesi dapat terjadi

bilateral, di bagian ventral atau lateral dari lidah, mukosa labial, bagian dasar

mulut, palatum mole, dan area orofaringeal. Penyembuhan spontan mukositis

oral (mulai dari timbulnya eritema sampai perbaikan jaringan), tanpa

pembentukan scar atau jaringan ikat membutuhkan waktu sekitar 2-3 minggu.

Beberapa pasien yang mendapatkan radiasi atau kemoterapi, terkadang juga

mengalami trombositopenia, sehingga terkadang ditemukan perdarahan pada

ulserasi mukositis oral (Dodd, 2004). Pasien mukositis oral juga menunjukkan

adanya penurunan produksi saliva sehingga lidah menjadi kering. Hal ini

menyebabkan lidah mengalami penurunan fungsi pengecapan sehingga

penderita mengeluhkan mengenai pengecapan yang dirasa berbeda, bahkan

tidak dapat mengecap rasa, serta menurunkan nafsu makan (Priestman, 2012).
Derajat keparahan dari mukositis oral tergantung pada dosis terapi, fraksi dari

dosis agen kemoterapi, volume dari jaringan yang terkena paparan agen

kemoterapi, status nutrisi, tipe dari radiasi, riwayat paparan dengan

kombinasi radioterapi dan kemoterapi, adanya penyakit sistemik sepeti

diabetes melitus dan kelainan vaskuler (Volpato et al., 2007).

Untuk kepentingan klinis dan penelitian, oleh WHO dan NCI dibuat suatu

pembagian derajat mukositis dengan kriteria yang sudah terstandarisasi

sebagai berikut:

Tabel 2. Pembagian Derajat Mukositis

Derajat World Health Organization National Cancer Institute


Mukositis (WHO) (NCI)
Derajat 0 Tanpa tanda dan gejala -
Derajat 1 Ulkus yang tiak nyeri, Ulkus yang tiak nyeri,
disertai edema, atau sorenessdisertai edema, atau
ringan soreness ringan
Derajat 2 Eritema yang sangat nyeri, Eritema yang sangat nyeri,
edema, atau ulkus, namun edema, atau ulkus, namun
masih bisa makan masih bisa makan
Derajat 3 Eritema yang sangat nyeri, Eritema yang sangat nyeri,
edema, atau ulkus, tidak bisaedema, atau ulkus, tidak
makan bisa makan
Derajat 4 Memerlukan dukunganMemerlukan dukungan
nutrisi enteral atau parenteral
nutrisi enteral atau
parenteral
(Sumber: WHO, 1979 ;Wilkes, 1998; Bensadoun et al., 2001)
3.6 Penatalaksanaan Mukositis Oral

Penatalaksanaan lesi dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis.

Penatalaksanaan farmakologis dapat dilakukan melalui empat tindakan, yaitu

debridemen oral, dekontaminasi oral, manajemen topikal, dan mengontrol

peradarahan. Debridemen oral dilakukan dengan melepaskan pseudomembran

dari lesi, dan perlu dilakukan secara hati-hati karena pasien mukositis oral

biasanya disertai dengan trombositopenia dan neutropenia yang berisiko

terjadinya perdarahan dan infeksi. Selanjutnya dekontaminasi oral dilakukan

dengan memberikan regimen antifungal, antibakteri, atau antiseptik, namun

kandungan kimia dari agen tersebut dapat menimbulkan mukosa oral kering

dan mudah iritasi. Manajemen topikal digunakan untuk mengurangi nyeri

yang dirasakan oleh pasien baik lokal ataupun sistemik. Terakhir untuk

mengontrol perdarahan, pasien diberikan antifibrinolitik (Gupta, 2013; Lalla

et al., 2014).

Penatalaksanaan non farmakologis dapat dilakukan dengan berbagai upaya,

antara lain perawatan mulut, pengaturan diet, dan pencegahan infeksi.

Perawatan mulut merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan

kesehatan dan integritas mukosa mulut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Rubenstein et al. (2004), yaitu intervensi perawatan mulut

dapat meminimalkan risiko mukositis akibat kemoterapi karena dapat

mengurangi bakteri dan jamur sehingga meminimalkan risiko infeksi,

mengurangi nyeri, dan perdarahan. Menurut Saldanha dan Almeida (2014),


perawatan mulut dengan berkumur menggunakan larutan salin 0,9% menjadi

salah satu pilihan dalam mengurangi derajat mukositis oral. Perawatan mulut

yang dianjurkan pada anak adalah berkumur-kumur minimal empat kali sehari

(Tomlinson & Kline, 2005), atau minimal melakukan perawatan mulut dua

kali setelah makan dan sebelum tidur, dan setiap dua jam sekali bila sudah

mengalami mukositis (Otto, 2001).

Terkait pengaturan diet, makanan dengan konsistensi lembut menjadi pilihan

untuk pasien dengan mukositis oral. Pasien juga harus menjaga kelembaban

mulutnya dengan meningkatkan asupan cairan peroral atau menghisap es batu.

Pasien dengan mukositis oral yang berat wajib memperoleh Total Parenteral

Nutrition (TPN) untuk mencukupi kebutuhan nutrisi pasien. Pasien juga harus

menghindari makanan yang bersifat iritatif, seperti makanan asam, pedas,

asin, ataupun makanan kering ( Lalla et al., 2008; Lalla et al., 2014).

Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk mencegah dan menangani

mukositis oral, antara lain adalah penggunaan cryotherapy (terapi dingin),

estrak tanaman herbal, madu, larutan salin, dan permen karet. Cryotherapy

dilakukan dengan meletakkan es batu atau air es di mulut selama 5 menit

sebelum sampai dengan 5 menit sesudah pemberian kemoterapi. Hasil dari

penelitian ini diperoleh penurunan skala atau derajat keparahan dari mukositis

oral. Mekanisme kerja dari terapi es ini adalah menyebabkan vasokontriksi

pembuluh darah pada membran mukosa oral sehingga menurunkan paparan


mukosa oral terhadap agen mukotoksik dari agen kemoterapi (Heydari,

Sharifi, & Salek, 2012). Penggunaan terapi dingin ini memerlukan kriteria

tertentu, yaitu status gigi anak dalam kondisi sehat (tidak memiliki riwayat

gigi sensitif) karena dapat menimbulkan nyeri atau ketidaknyamanan (Kakoei,

Ghassemi, & Nakhaee, 2013).

Penelitian lain menggunakan ekstrak herbal adalah penelitian yang dilakukan

oleh Miranzadeh et al. (2014), yaitu dengan mencampurkan larutan Achiella

millefolium ke dalam larutan mouthwash dengan perbandingan 50:50. Larutan

A. millefolium ini dibuat dengan mencampurkan 10 kg A. millefolium dengan

50 liter air, dipanaskan sampai menjadi 20 liter air dengan konsentrasi 12

ppm. Hasilnya setelah 14 hari terjadi penurunan derajat keparahan dari

mukositis oral yang dialami pasien. Mekanisme kerja dari daun A.

millefolium adalah efek antibakteri yang menghambat adanya kolonisasi

bakteri di area lesi atau ulserasi. Kelemahan dari penelitian ini bila

diaplikasikan di Indonesia adalah sulitnya menemukan daun A. millefolium

dengan spesies yang sama dengan A. millefolium di tempat penelitian

(Miranzadeh et al., 2014). Penggunaan tanaman herbal sebagai terapi

memerlukan uji klinis untuk membuktikan mengenai dosis terapeutik dan

dosis lethal (toksik) dari suatu tanaman (Al-Snafi, 2015).

Penelitian lain dilakukan oleh Nurhidayah (2011), yaitu menggunakan larutan

madu dalam melakukan perawatan mulut pasien anak kanker yang


memperoleh kemoterapi. Berdasarkan observasi yang dilakukan

menggunakan instrument Oral Assessment Guide, terdapat penurunan yang

signifikan pada rerata skor mukositis pada kelompok intervensi (p<0,005).

Selain madu, terdapat beberapa agen moutwash yang sudah diteliti

keefektifannya, antara lain chlorhexidine 0,2%, benzydamine, natrium

bikarbonat, sukralfat, dan normal salin (Hashemi et al., 2015).

3.7 Instrumen Pengkajian Mukositis Oral

Beberapa instrumen pengkajian yang dipakai saat ini dalam penelitian-

penelitian internasional antara lain Oral Mucositis Assessment Scoring

(OMAS) (Sonis, 1998), Oral Mucositis Index (OMI) oleh McGuire (2002),

Oral Assessment Guide (OAG) (Eilers, Berger, & Petersen, 1988), World

Health Organization’s Mucositis Oral, dan National Cancer Institute

Common Toxicity Criteria (NCI-CTC, 1998). Penggunaan instrumen

pengkajian mukositis ini sudah ada sejak dekade 80-an, namun di Indonesia

belum ada instrumen yang diaplikasikan sebagai standar pengkajian mukositis

oral akibat kemoterapi.

Instrumen pengkajian mukositis oral yang digunakan harus relevan, valid,

memiliki sistem penilaian yang baik, serta mampu mengkaji secara

komprehensif (Sonis et al., 1999 dalam Dodd, 2004). Hal ini disebabkan oleh

karena karakteristik mukositis oral anak bervariasi. Dodd (2004) menyatakan

bahwa instrumen yang baik harus dapat mengkaji respon subjektif seperti
nyeri saat menelan, menilai secara objektif, misalnya derajat ulserasi, dan

respon fungsional seperti ketidakmampuan berbicara, membuka mulut,

makan, atau minum.

Menurut Dodd (2004), Oral Assessment Guide (OAG) merupakan salah satu

instrumen yang dapat digunakan di lahan praktik ataupun dalam penelitian.

Instrumen OAG mudah digunakan, sederhana, reliable, dan valid. OAG

dirancang secara objektif untuk memudahkan perawat dalam menilai respon

anak sehingga dapat menentukan intervensi yang tepat dan sesuai dengan

kondisi mukositis pada anak (Dodd, 2004). OAG mengkaji secara

komprehensif, meliputi gangguan fisik, perubahan pada kavitas oral, dan juga

melihat kesejahteraan akibat mukositis pasien secara umum. Menurut Cancer

Care Nova Stovia (2008), OAG merupakan salah satu instrumen yang masih

digunakan sampai saat ini, dapat digunakan dalam praktik setiap hari dan

berbagai penelitian telah melaporkan bahwa instrument ini valid dan reliabel.

Instrumen ini direkomendasikan oleh United Kingdom Cancer Care Study

Group (UKCCSG) dan Pediatric Oncology Nurses Forum (PONF) dalam

protocol penanganan mukositis pada anak kanker yang sedang menjalani

terapi (UKCCSG-PONF, 2006). UKCCSG-PONF (2006), RNAO (2008), dan

Cancer Care Nova Stovia (2008) dalam Nurhidayah (2011), menyatakan

bahwa instrumen OAG merupakan instrumen yang paling sesuai untuk

digunakan pada anak dan instrumen lain lebih cocok digunakan pada orang

dewasa.
OAG terdiri atas delapan parameter pengkajian. Parameter tersebut antara lain

pengkajian objektif untuk mengobservasi keadaan membran mukosa, bibir,

lidah, ginggiva, dan gigi. Pengkajian lainnya terkait pengkajian subjektif dan

fungsional, yaitu mengkaji suara, produksi saliva, kemampuan menelan, dan

nyeri menelan. Skor setiap item pengkajian diberi nilai 1-3. Nilai 1 jika

parameter normal, nilai 2 jika parameter mengalami perubahan sedang, dan

nilai 3 jika parameter mengalami perubahan berat. Nilai setiap parameter

kemudian dijumlahkan semua, dimana nilai terendah adalah 8 dan tertinggi

24. The Royal Children’s Hospital Australia (2009) mengkategorikan

penilaian OAG menjadi tiga kategori, yaitu kategori 1 dengan skor OAG 8

dikategorikan normal, mukositis ringan-sedang bila skor OAG 9-16 tergolong

kategori 2, dan kategori 3 (mukositis berat) dengan skor OAG berada pada

rentang 17-24. Penelitian yang dilakukan oleh Dodd et al. (2000) juga

mengkategorikan skor OAG menjadi dua kategori, yaitu tidak mukositis pada

skor OAG < 10, dan mukositis pada skor OAG ≥ 10.

Di Indonesia sendiri, Nurhidayatun (2012) mengembangkan instrumen

berdasarkan karakteristik stadium menurut WHO, Radiation Therapy

Oncology Group (RTOG), dan Western Consortium for Cancer Nursing

Research (WCCNR). Instrumen yang dikembangkan peneliti diberi nama

Skala Stadium Mukositis yang berisi empat item penilaian, yaitu jumlah

ulserasi, luas ulserasi, nyeri pada mulut, dan kemampuan makan.


3.8 Penggunaan Intervensi Mengunyah Permen Karet Bebas Gula dalam

Mencegah dan Menangani Mukositis Oral

Pada beberapa studi yang dilakukan, aktivitas mengunyah dibuktikan dapat

meningkatkan produksi saliva dan pH saliva (Costa et al., 2003). Menurut

Llop, Jimeno, Acien, dan Dalmau (2010), mengunyah permen karet dapat

menstimulasi produksi saliva. Mengunyah permen karet rendah gula sebanyak

4 potong sehari selama 8 minggu terbukti tidak hanya bermanfaat

meningkatkan produksi saliva saja, namun dapat membantu mengurangi

pengikisan mineral gigi. Peningkatan produksi saliva merupakan hasil dari

proses mastikasi dan rasa permen karet. Saliva yang dikeluarkan dalam

keadaan tidak terstimulasi sekitar 0,4 ml/menit pada individu yang sehat, dan

dapat meningkat 10-12 kali lipat bila disertai dengan mengunyah permen

karet. Peningkatan produksi saliva terjadi setelah 5-7 menit mengunyah

permen karet karena sebagian besar komponen permen karet telah terurai di

dalam mulut (Dodd, 2000).

Seluruh permen karet sebenarnya dapat digunakan untuk meningkatkan

produksi saliva, namun permen karet jenis xylitol lebih tepat karena

mengandung kadar gula lebih rendah, bahkan menurut penelitian Corsello et

al. (2004), permen karet yang mengandung xylitol dapat meningkatkan

produksi saliva lebih banyak dibandingkan permen karet non xylitol.


Mekanisme peningkatan produksi saliva dan peningkatan pH saliva sebagai

akibat dari mengunyah permen karet sangat menguntungkan bagi penderita

kanker yang memperoleh kemoterapi. Pasien yang memperoleh kemoterapi

dosis tinggi dan radiasi terutama di area kepala dan leher memiliki risiko

mengalami penurunan produksi saliva dan pH saliva yang berdampak pada

membran mukosa oral menjadi kering, mudah terjadi iritasi dan ulserasi.

Selain itu saliva memiliki kandungan organik, yang terdiri dari lisosim,

laktoperoksidase untuk menghambat perkembangan mikrorganisme, serta

protein kaya prolin untuk regenerasi jaringan. Saliva juga mengandung

komponen anorganik, antara lain natrium dan klorida, Hal inilah yang

kemudian mendasari pemilihan permen karet bebas gula untuk mencegah dan

menurunkan derajat keparahan mukositis oral yang terjadi pada sebagian

besar pasien kanker dengan kemoterapi (Didem et al., 2014).

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, ditemukan satu penelitian yang

dilakukan oleh Didem et al. (2014). Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit

Pendidikan di Istanbul, menggunakan sampel sebanyak 60 orang anak usia 6-

18 tahun yang mendapatkan kemoterapi. Sampel dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu kelompok kontrol yang diberikan intervensi standar

perawatan mulut dan kelompok perlakuan yang diberikan intervensi

mengunyah permen karet bebas gula selama 20 menit dengan frekuensi 3 kali

per hari selama 10 hari. Anak diinstruksikan untuk tidak makan dan minum

selama 1 jam sebelum intervensi tersebut dilakukan. Penilaian mukositis oral


pada penelitian ini didasarkan pada instrumen WHO Oral Mucositis

Assessment Scale, Eilers’ Oral Assessment Guide dan pH saliva dengan

menggunakan pH colormatic strips yang diletakkan pada lidah selama 2

menit, kemudian dilihat perubahan warna yang terjadi. Hasil dari penelitian

ini adalah terdapat penurunan derajat keparahan mukositis oral yang dialami

oleh kelompok intervensi secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol.

Hal inilah yang mendasari bahwa mengunyah permen karet dapat digunakan

sebagai intervensi untuk mencegah dan mengatasi mukositis oral pada anak

yang mengalami kemoterapi.


DAFTAR REFERENSI

Abbasi, N.M., Sadrolhefazi, B., Nikoofar, A., Ervan, M., Azizian, H., & Alamy, M.
(2007). Allupurinol mouthwashes for prevention or alleviation radiotherapy
induced oral mucositis: A randomized, placebo-control trial. Oncology
Nursing Journal, 15(4), 227-230.

Al-Snafi, A.E. (2015). Therapeutic properties of medical plants: A review of plants


with anti-inflamatory, antipyretic and analgesic activity (part 1). International
Journal of Pharmacy, 5(3), 125-147.

Almeida et al. (2008). Saliva composition and functions: A comprehensive review.


The Journal of Contemporary Dental Practice, 9(3), 1-11.

Avritscher, E. B. C., Cooksley, C. D., & Elting, L. S. (2004). Scope and


epidemiology of cancer therapy-induced oral and gastrointestinal mucositis.
Seminars in Oncology Nursing, 20(1), 3-10.

Barasch, A., & Epstein, J.B. (2011). Management of cancer therapy-induced oral
mucositis. Dermatol Ther, 24, 424-431.

Bardy, J., Slevin, N., Male, K.L., & Mollasiotis, A. (2008). A systematic review of
honey uses and its potential value within oncology care. Journal of Clinical
Nursing, 17(1), 2604-2623.

Bensinger, W et al. (2008). NCCN Task Force Report: Prevention and management
of mucositis in cancer care. J National Compr Canc Netw Suppl, 1, 1-21.

Bowden, V.R., & Greenberg, C.S. (2010). Children and their families the continuum
of care (2nd ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Brown, C. G., & Wingard, J. (2004). Clinical consequences of oral mucositis.


Seminars in Oncology Nursing, 20(1), 16-21.

Cancer Care Nova Stovia. (2008). Best practice guidelines for the management of
oral complication from cancer therapy. California: Nova Stovia Government.
Diperoleh dari http://www.cancercare.ns.ca, diakses tanggal 20 November
2015.

Cawley, M. M., & Benson L.M. (2005). Current trends in managing oral mucositis.
Clin J Oncol Nurs. 9(5), 584-592.
Corsello et al. (2004). Compositions for the relief of xerostomia and the treatment of
asscociated disorders. Diperoleh dari http://www.freepatentsonline.com,
diakses tanggal 23 Mei 2015

Costa, E.M., Fernandes, M.Z., Quinder, L.B., De Souza, L.B., & Pinto, L.P. (2003).
Evaluation of an oral preventive protocol in children with acute lymphoblastic
leukemia. Pesquisa Odontologica Brasileira, 17(2), 147-150.

Chu, E., & Devita, V.T. (2015). Cancer chemotherapy: Drug manual. Burlington:
Jones & Bartlett.

Dahlan, M.S. (2011). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika

D’Hondt et al . Oral mucositis induced by anticancer treatments: physiopathology and


treatments. Therapeutics and Clinical Risk Management, 2(2), 159–168.

Depkes RI. (2011). Press release hari kanker anak sedunia. Diperoleh dari
http://www.tvl.com/pressreleaseharikankeranakseduniahtml, diakses tanggal 15
April 2015.

Didem, A., Ayfer, E., & Ferda, O.A. (2014). The effect of chewing gum on oral
mucositis in children receiving chemotherapy. Health Science Journal, 8(3),
373-382.

Dodd, M.J. (2004). The pathogenesis and characteristic of oral mucositis associated
with cancer therapy. Oncology Nursing Forum, 31(4), 5-12.

Dodd, M.J., Miaskowski, C., Dibble, A.L., Paul, S.M., MacPhail, L., Greenspan, D.,
et al., (2000). Factors influencing oral mucositis in patients receiving
chemotherapy. Cancer Practice Journal, 8(6), 291-304.

Dodds, M.W. (2012). The oral health benefits of chewing gum. Journal of the Irish
Dental Association, 58(5), 253-261.

Eilers, J. (2004). Nursing intervention and supportive care for the prevention and
treatment of oral mucositis associated with cancer treatment. Oncology Nursing
Forum, 31(4), 13-18.

Eilers, J., Berger, A.M., & Petersen, M.C. (1988). Development, testing and
application of oral assessment guide. Oncology Nursing Forum, 15, 325-330.

Elting, L.S., Cooksley, C., Chamber, M., Cantor, S.B., Manzullo, E., & Rubenstein,
E.B. (2003). The burdens of cancer therapy, clinical, and economic outcomes of
chemotherapy induced mucositis. Cancer, 98(7), 1531-1539.
Epstein, J. B., & Schubert, M. M. (2004). Managing pain in mucositis. Seminars in
Oncology Nursing, 20(1), 30-37.

Ertekin, M.V., Cok, M., Karslioglou, L., & Sezen, O. (2004). Zinc sulfate in the
prevention of radiation-induced oropharyngeal mucositis: A prospective,
placebo-control trial, randomized study. International Journal of Radiation
Oncology, Biology and Physic, 58(1), 167-174.

Fulton, J., Middleton, G., & McPail, J. (2002). Management of oral complications.
Seminars in Oncology Nursing, 18(1), 28-35.

Gupta, N., & Khan, M. (2013). Oral Mucositis. E-Journal of Dentistry. 3(3), 405-410.

Guyton & Hall. (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran (Edisi 11). Jakarta: EGC.

Harris, J.D., Eilers, J., Harriman, A., Cashavelly, B., & Maxwell, C. (2008). Putting
evidence into practice: Evidence based intervention for management of oral
mucositis. Clinical Journal of Oncology Nursing, 12(1), 141-147

Hashemi, A., Bahrololoumi, Z., Khaksar, Y., Saffarzadeh, N., Neamatzade, H., &
Foroughi, E. (2015). Mouth-rinses for the prevention of chemotherapy induced
oral mucositis in children: A systematic review. Iranian Journal of Pediatric
Hematology Oncology, 15(2), 106-112.

He, M. (2011). Interventions for preventing oral mucositis in patients with cancer
receiving treatment. Clinical Nurse Spesialist, 25(6), 284-285.

Heydari, A., Sharifi, H., & Salek, R. (2012). Effect of oral chryotherapy on
combination chemotherapy-induced oral mucositis: A randomized clinical trial.
Middle East Journal of Cancer, 3(2 & 3), 55-64.

Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2009). Wong’s essential of pediatric nursing (8th
ed). Missouri: Mosby Company.

Kakoei, S., Ghassemi, A., & Nakhaee, N. (2013). Effect of cryotherapy on oral
mucositis in patients with head and neck cancers receiving radiotherapy.
International Journal of Radiation Research, 11(2), 117-120.

Kostler, W.J., et al. (2001). Oral mucositis complicating chemotherapy and/or


radiotherapy: Option for prevention and treatment. CA Cancer J Clin, 51(5),
290-315.

Lalla, R.V., Bowen, J., Barasch, A., Elting, L., Epstein, J., Keefe, D.M., et al. (2014).
MASCC/ISOO clinical practice guidelines for the management of mucositis
secondary to cancer therapy. Cancer, 120(10), 1453–1461.
Lalla et al. (2008). Management of oral mucositis in patients who have cancer. Dent
Clin North Am, 52, 61-77.
Llop, M.R., Jimeno, F.G., Acien, R,M., & Dalmau, L.J.B. (2010). Effect of xylitol
chewing gum on salivary flow rate, ph, buffering capacity and presence of
Streptococcus mutans in saliva. European Journal of Paediatric Dentistry,
11(1), 9-14.

McGraw, H., & Arnhold, M. (2014). Sex differences in cortisol levels. Diperoleh dari
https://minds.wisconsin.edu, diakses tanggal 6 Juni 2016.

Miranzadeh, S., Adib-Hajbaghery, M., Soleymanpoor, L., & Ehsani, M. (2014).


Effect of adding the herb Achiella millefolium on mouthwash on chemotherapy
induced oral mucositis in cancer patients: A double-blind randomized controlled
trial. European Journal of Oncology Nursing, 1-7. doi:
10.1016/j.ejon.2014.10.019

Murthykumar, K. (2014). Saliva composition and function: A review. International


Journal of Pharmaceutical Science and Health Care, 3(4). Diperoleh dari:
http://www.rspublication.com/ijphc/index.html, diakses tanggal 15 Juni 2016.

Naidu, et al. (2004). Chemotherapy-induced and/or radiation therapy–induced oral


mucositis—complicating the treatment of cancer. Neoplasia, 6(5), 423-431.

National Cancer Institute. (2012). Fact Sheet: Childhood Cancers. National Institutes
of Health, National Cancer Institute. Diperoleh dari
http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/Sites‐Types/childhood, diakses
tanggal 14 Februari 2016.

National Cancer Institute. (2010). Surveilance, epidemiology and end result (SEER).
Diperoleh dari http://www.seer.cancer.gov/canque/incidence.html, diakses
tanggal 3 Mei 2015.

----------------------------. (2009). A snapshot of pediatric cancer. Diperoleh dari


http://www.cancer.gov/aboutnci/servingpeople/cancer-snapshot, diakses tanggal
3 Mei 2015.

NHS Foundation Trust. (2007). Evidence based mouthcare policy. London:


Doncaster and Bassetlaw Hospital Release. Diperoleh dari www.dhb.nhs.uk,
diakses tanggal 3 Mei 2015.

Nurhidayah, I. (2011). Pengaruh pemberian madu dalam tindakan keperawatan oral


care terhadap mukositis akibat kemoterapi pada anak di RSUPN DR. Cipto
Mangunkusumo Jakarta (Tesis tidak dipublikasikan). Universitas Indonesia,
Jakarta.
Nurhidayatun. (2012). Uji klinis randomisasi: Pengaruh perawatan mulut dengan
madu terhadap perubahan stadium mukositis pada anak kanker di RS. Kanker
Dharmais Jakarta (Tesis tidak dipublikasikan). Universitas Indonesia, Jakarta.

Otto, S.E. (2001). Oncology nursing (4th ed). St. Louis: Mosby.

Pagano, M., Gauvreau, K. (1993). Principle of biostatistics. California: Wadsworth


Publishing Company.

Peterson, D.E., & Cariello, A. (2004). Mucosal damage: A major risk factor for
severe complications after cytotoxic therapy. Seminar in Oncology, 31(3), 35-
44.

Polit, D.F., & Beck, C.T. (2008). Nursing research: Generating and assessing
evidence for nursing practice (8th edition). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

Price, S.A., & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: Konsep klinik proses-proses
penyakit. Jakarta: EGC.

Quinn, B., et al. (2008). Guidelines for the assessment of oral mucositis in adult
chemotherapy, radiotherapy, and haematopoietic stem cell transplant patients.
European Journal of Cancer, 44, 61-72.

Rahmawati, A. (2013). Pengaruh pemberian permen karet yang mengandung xylithol


terhadap penurunan keluhan xerostomia pada pasien radioterapi kepala dan
leher. Diperoleh dari http://eprints.undip.ac.id, diakses tanggal 15 Maret 2016.

RNAO. (2008). Oral health: Nursing assessment and intervention. Diperoleh dari
http://www.rnao.org/bestpractice, diakses tanggal 10 Mei 2015.

Robien, K., Schubert, M.M., Bruemmer, B., Lliod, M.E., Potter, J.D., & Ulrich, C.M.
(2004). Predictors of oral mucositis in patients receiving hematopoetic cell
transplants for chronic myelogoneus leukemia. Journal of Clinical Oncology,
22(7), 1268-1275.

Rubenstein, E.B., Petersen, D.E., & Schubert, M. (2004). Clinical practice guideline
for the prevention and treatment of cancer therapy-induced oral and
gastrointestinal mucositis. Cancer Supplement, 100, 2026-2046.

Ruescher, T.J., Sodeifi, A., Scrivani, S.J., Kaban, L.B., & Sonis, S.T. (1998). The
impact of mucositis on alpha hemolytic streptococcal infection in patients
undergoing autologous bone marrow transplantation for hematologic
malignancies. Cancer, 82(11), 2275-2281.
Saldanha, S.P., & Almeida, V.D. (2014). A comparative study to asses the
effectiveness of turmeric mouth wash versus saline mouth wash on Treatment
Induced Oral Mucositis (TIOM) in a selected hospital at Mangalore. J Clinic
Res Bioeth, 5(6). doi: 10.4172/2155-9627.1000200.

Sedighi, I., Molaee, S., Amanati, A., Khoeinipourfar, H., & Nouri, S. (2013).
Antimicrobial activity of natural honey: Topical application of pure natural
honey in prevention of chemotherapy induced oral mucositis. Journal of
Comprehensive Pediatrics, 4(3), 138-142. doi: 10.17795/compreped-10348.

Shih, A., Miaskowski, C., Dodd, M.J., Stotts, M.A., & MacPhail, D. (2003).
Mechanism for radiation-induced oral mucositis and the consequence. Cancer
Nursing, 26, 222-229.

Smith, A. (2010). Effect of chewing gum on cognitive fuction, mood, and physiology
in stressed and non-stressed volunteers. Nutr Neurosci, 13(1), 7-16. Diperoleh
dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20132649.

Sonis, S.T. (1998). Mucositis as a biological process: A new hypothesis for the
development of chemotherapy-induced stomatotoxicity. Oral Oncology, 34(1),
39-43.

Tierney, D.K. (2006). Oral care for mucositis. Stanford Nurse, 26(1), 8-10.

Tomlinson, D., & Kline, N.E. (2005). Pediatric oncology nursing advanced clinical
handbook. Germany: Spinger.

The Royal Children’s Hospital. (2009). Mouth care-oral hygiene for haematology
oncology children. Diperoleh dari http://www.clinicalguidelines.au, diakses
tanggal 3 Mei 2015.

UKCCSG-PONF. (2006). Mouth care for children and young people with cancer:
Evidence based guidelines. Mouth Care Guidelines Report, Version 1, Feb
2006. Diperoleh dari http://www.ukccsg.uk, diakses tanggal 3 Mei 2015.

Anda mungkin juga menyukai