Anda di halaman 1dari 53

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA Tn.

K DENGAN
OSTEOPOROSIS DI UPT PSTW JOMBANG di PARE
Makalah disusun sebagai salah satu tugas dalam menyelesaikan
Program Pendidikan Profesi Ners Stase Gerontik

OLEH :
1. Khoirul Anam (181004030)
2. Ucik Wilujeng R. (181004056)
3. Syafaatun Fitriyah (181004053)
4. Wemmy Wahyu S (181004059)
5. Lutfi Maghfiruddin (181004034)
6. Cici Yunitasari A. (181004011)
7. Vivie Arviyanti (181004058)
8. Hesti Retnosari (181004025)
9. Nasrul Mu’minin (181004038)
10. Oktavia Dwi P. (181004041)
11. Iftakhul Khoir (181004027)
12. Uvia Mufarokhah (181004057)

MAHASISWA PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PEMKAB JOMBANG
TAHUN AJARAN 2018/2019

KATA PENGANTAR
Puji syukur, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Studi Kasus Asuhan Keperawatan
Gerontikyang berjudul “Asuhan Keperawatan Gerontik Pada Tn. K dengan
Osteoporosis di PSTW Jombang di Pare”. Dalam penyusunan makalah ini, penulis
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Ahmad Nur Khoiri, S. Kep., Ns.,M. Kep selaku dosen pembimbing
akademik.
2. Daliman S. Sos. Msi selaku pembimbing lahan sekaligus Kepala Seksi
Pelayanan Sosial UPT PSTW Jombang di Pare
3. Semua pihak yng tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari, makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai
pihak demi sempurnanya makalah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik
bagi penulis maupun bagi pembaca.

Pare, April 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Osteoporosis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang
menjadi permasalahan global di bidang kesehatan termasuk di Indonesia.
Osteoporosis merupakan penyakit ditandai dengan massa tulang yang rendah
atau berkurang, disertai gangguan mikro arsitektur tulang dan penurunan
kualitas tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang (Wardhana, 2012
dan Hikmiyah dan Martin, 2013). Osteoporosis memiliki dampak yang cukup
parah bagi kesehatan. Dampak dari penderita osteoporosis yaitu beresiko
mengalami fraktur. Osteoporosis juga menyebabkan kecacatan,
ketergantungan pada orang lain, gangguan psikologis sehingga menurunkan
kualitas dan fungsi hidup serta meningkatkan mortalitas (Hikmiyah dan
Martin, 2013).
Prevalensi osteoporosis di dunia masih cukup tinggi. World Health
Organization (WHO) menyebutkan bahwa sekitar 200 juta orang menderita
Osteoporosis di seluruh dunia. Pada tahun 2050, diperkirakan angka patah
tulang pinggul akan meningkat 2 kali lipat pada wanita dan 3 kali lipat pada
pria (Kemenkes RI, 2012). Menurut DepKes RI (2013) dampak osteoporosis
di Indonesia sudah dalam tingkat yang patut diwaspadai,, yaitu mencapai
19,7% dari populasi. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS)
tahun 2010, angka insiden patah tulang paha atas tercatat sekitar 200/100.000
kasus pada wanita dan pria diatas usia 40 tahun diakibatkan osteoporosis.
World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa 50% patah tulang
paha atas ini akan menimbulkan kecacatan seumur hidup dan menyebabkan
angka kematian mencapai 30% pada tahun pertama akibat 2 komplikasi
imobilisasi. Data ini belum termasuk patah tulang belakang dan lengan bawah
serta yang tidak memperoleh perawatan medis di Rumah Sakit (Kemenkes
RI, 2012). Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya osteoporosis, yaitu
faktor risiko yang dapat diubah dan yang tidak dapat diubah. Faktor risiko
yang tidak dapat diubah antara lain adalah usia, jenis kelamin, riwayat
keluarga, sedangkan faktor risiko yang dapat diubah antara lain adalah status
gizi, asupan kalsium, konsumsi alkohol, kopi, merokok, hormon endogen

iii
seperti estrogen, menopause dini, aktifitas fisik, dan penggunaan steroid
jangka panjang ( Wardhana, 2012 ).
Peningkatan usia berhubungan dengan peningkatan risiko
osteoporosis. Seiring dengan meningkatnya usia, pertumbuhan tulang akan
semakin menurun. Sel osteoblas akan lebih cepat mati karena adanya sel
osteoklas yang menjadi lebih aktif, sehingga tulang tidak dapat digantikan
dengan baik dan massa tulang akan terus menurun (Agustin, 2009). Hasil
penelitian Prihatini, et al (2010) menyatakan bahwa pada usia kurang dari 35
tahun 5,7 sampel beresiko osteoporosis dan proporsinya terus meningkat
dengan bertambahnya usia. Proporsinya mulai meningkat tajam pada usia 55
tahun. Status gizi berkaitan erat dengan berat badan. Berat badan yang ringan,
indeks massa tubuh yang rendah, dan kekuatan tulang yang menurun
memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap berkurangnya massa tulang pada
semua bagian tubuh wanita (Krisdiana, 2012).
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan melakukan seminar
tentang asuhan keperawatan gerontik dengan osteoporosis di PSTW Jombang
di Pare.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas di simpulkan fokus perawat


pada pasien osteoporosis yaitu mengeksplorasi lebih dalam tentang
masalah keperawatan tersebut masih belum banyak di bahas. Oleh karena
itu, rumusan masalah yang di gunakan adalah “bagaimana eksplorasi
proses keperawatan pada pasien osteoporosis dengan masalah keperawatan
Nyeri kronis?”

1.3 TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi asuhan keperawatan
pada pasien osteoporosis dengan masalah keperawatan nyeri kronis di
UPT PSTW Jombang di Pare.

1.4 MANFAAT
Manfaat dari pembahasan ini, dapat di gunakan untuk penulis, institusi
tempat praktik, keluarga dan pasien, serta pengembangan ilmu keperawatan.
1.4.1
Bagi Perawat
Asuhan keperawatan ini di harapkan dapat memberikan masukan untuk
pelaksanaan tindakan keperawatan khususnya mengenai perkembangan
proses keperawatan pada pasien lansia dengan osteoporosis.
1.4.2Bagi Institusi Tempat Penelitian
Asuhan keperawatan inni di harapkan dapat menjadi acuan untuk
standart operasional prosedur atau meningkatkan mutu layanan
keperawatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas layanan asuhan
keperawatan pada pasien lansia dengan osteoporosis.
1.4.3Bagi Keluarga dan Pasien
Asuhan keperawatan ini di harapkan dapat meningkatkan kualitas
layanan asuhan keperawatan lansia dengan osteoporosis.
1.4.4Bagi Peneliti Selanjutnya
Asuhan keperawatan ini di harapkan dapat menambah informasi tentang
pelaksanaan asuhan keperawata pada lansia dengan osteoporosis.

BAB II

TINJAUAN TEORI LANSIA

2.1 Pengertian Lanjut Usia (Lansia)


 Usia lanjut adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari (Azwar,
2006).
 Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan
dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses
penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005).
 WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan
bahwa usia 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah
suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar
tubuh.
 Menurut UU no 4 tahun 1945 Lansia adalah seseorang yang mencapai
umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan
hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi,
2000).
2.2 Batasan Lansia
WHO (1999) menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis/
biologis menjadi 4 kelompok yaitu :
1) Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59
2) Lanjut usia (elderly) berusia antara 60 dan 74 tahun
3) Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun
4) Usia sangat tua (Very old) di atas 90 tahun.
2.3 Karakteristik Lansia
Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui
keberadaan masalah kesehatan lansia adalah:
a. Jenis kelamin
Lansia lebih banyak pada wanita. Terdapat perbedaan kebutuhan dan
masalah kesehatan yang berbeda antara lansia laki-laki dan perempuan.
Misalnya lansia laki-laki sibuk dengan hipertropi prostat, maka
perempuan mungkin menghadapi osteoporosis.
b. Status perkawinan
Status masih pasangan lengkap atau sudah hidup janda atau duda akan
mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologis.
c. Living arrangement:
misalnya keadaan pasangan, tinggal sendiri atau bersama instri, anak
atau kekuarga lainnya.
d. Kondisi kesehatan
1) .Kondisi umum: Kemampuan umum untuk tidak tergantung kepada
orang lain dalam kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air besar
dan kecil.
2).Frekuensi sakit: Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi
tidak produktif lagi bahkan mulai tergantung kepada orang lain.
e. Keadaan ekonomi
1).Sumber pendapatan resmi: Pensiunan ditambah sumber pendapatan
lain kalau masih bisa aktif.
2).Sumber pendapatan keluarga: Ada bahkan tidaknya bantuan
keuangan dari anak atau keluarga lainnya atau bahkan masih ada
anggota keluarga yang tergantung padanya.
3).kemampuan pendapatan: Lansia memerlukan biaya yang lebih tinggi,
sementara pendapatan semakin menurun. Status ekonomi sangat
terancam, sehinga cukup beralasan untuk melakukann berbagai
perubahan besar dalam kehidupan, menentukan kondisi hidup yang
dengan perubahan status ekonomi dan kondisi fisik
2.4 Permasalahan Yang Terjadi Pada Lansia
Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan
lanjut usia, antara lain: (Setiabudhi,1999)
a. Permasalahan umum
1).Makin besar jumlah lansia yang berada dibawah garis kemiskinan.
2).Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang
berusia lanjut kurang diperhatikan , dihargai dan dihormati.
3).Lahirnya kelompok masyarakat industri.
4) Masih rendahnya kuantitas dan kulaitas tenaga profesional pelayanan
lanjut usia.
5) Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan
kesejahteraan lansia.
b.Permasalahan khusus :
1). Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah
baik fisik, mental maupun sosial.
2). Berkurangnya integrasi sosial lanjut usia.
3). Rendahnya produktifitas kerja lansia.
4). Banyaknya lansia yang miskin, terlantar dan cacat.
5). Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan
masyarakat individualistik.
6). Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat
mengganggu kesehatan fisik lansia.
2.5 Perubahan – perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri
manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial
dan sexual (Azizah, 2011)
a. Perubahan Fisik
1. Sistem Indra
Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh
karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang
tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60
tahun.

2. Sistem Intergumen:
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan
glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal
dengan liver spot.
3 .Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia antara lain sebagai
berikut: Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen sebagai
pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan
pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
4.Kartilago
jaringan kartilago pada persendian lunak dan mengalami granulasi dan
akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian kemampuan
kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi
cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada
persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.
5. Tulang
berkurangnya kepadatan tualng setelah di obserfasi adalah bagian dari
penuaan fisiologi akan mengakibatkan osteoporosis lebih lanjut
mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur.
6. Otot
perubahan struktur otot pada penuaan sangat berfariasi, penurunan
jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan
jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.
7. Sendi
pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan
fasia mengalami penuaan elastisitas.
8. Sistem kardiovaskuler
Massa jantung bertambah, vertikel kiri mengalami hipertropi dan
kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada
jaringan ikat dan penumpukan lipofusin dan klasifikasi Sa nude dan
jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
9. Sistem respirasi
Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total paru
tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah untuk mengompensasi
kenaikan ruang rugi paru, udara yang mengalir ke paru berkurang.
Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan
gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks
berkurang.
10.Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan
produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata :
a). Kehilangan gigi,
b). Indra pengecap menurun,
c). Rasa lapar menurun (sensitifitas lapar menurun),
d).Liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan,
berkurangnya aliran darah
11. Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak
fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi,
dan reabsorpsi oleh ginjal.
12. Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi yang
progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
13. Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya
ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis masih
dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan
secara berangsur-angsur.
b. Perubahan Kognitif
1). Memory (Daya ingat, Ingatan)
2). IQ (Intellegent Quocient)
3). Kemampuan Belajar (Learning)
4). Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5). Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6). Pengambilan Keputusan (Decission Making)
7). Kebijaksanaan (Wisdom)
8). Kinerja (Performance)
9). Motivasi
c. Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
1).Pertama- tama perubahan fisik, khsusnya organ perasa.
2). Kesehatan umum
3). Tingkat pendidikan
4). Keturunan (hereditas)
5). Lingkungan
6). Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
7). Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
8). Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan famili.
9). Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
b. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya
(Maslow, 1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya,
hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray
dan Zentner, 1970)
TINAUAN TEORI
OSTEOPOROSIS
2.1 DEFINISI
Secara harfiah kata osteo berarti tulang dan kata porosis berarti
berlubang atau dalam istilah populer adalah tulang keropos. Zat kapur,
kalsium adalah mineral terbanyak dalam tubuh kurang lebih 98% kalsium
dalam tubuh terdapat di dalam tulang. Osteoporosis adalah penyakit dimana
tulang menjadi rapuh dan mudah patah dimana biasanya yang sering
mengalami kerusakan adalah pinggul, tulang belakang, dan pergelangan
tangan (National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Disease,
2014). Keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis kecuali apabila
telah terjadi fraktur (Thief in the night).

Osteoporosis adalah hilangnya massa tulang dan bukan perubahan


kandungan-kandungannya. Keadaan ini ditandai oleh meningkatnya risiko
fraktur akibat kerapuhan tulang (Rubenstein et al, 2007). Osteoporosis adalah
densitas tulang 2,5 standar deviasi di bawah rata-rata bagi wanita dewasa
kulit putih (WHO dalam Rubenstein et al, 2007).
Osteoporosis adalah hal yang sering dijumpai dan menjadi predisposisi
untuk terjadinya fraktur tulang akibat adanya penurunan kuantitatif dan kedua
komponen matriks tulang yaitu osteoid dan hidroksipati (Davey, 2005).

2.2 FAKTOR RESIKO

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab atau faktor-faktor yang


berisiko terkena osteoporosis, antara lain:
a. Riwayat Keluarga
Seseorang termasuk berisiko tinggi bila orang tuanya juga menderita
osteoporosis. Faktor genetik ini terutama berpengaruh pada ukuran dan
densitas tulang. Wanita yang mempunyai ibu pernah mengalami patah
tulang panggul, dalam usia tua akan dua kali lebih mudah terkena patah
tulang yang sama. Disamping itu keluarga juga berpengaruh dalam hal
kebiasaan makan dan aktifitas fisik.
b. Jenis Kelamin
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan
pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh
sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang
dapat terjadi pada usia 45 tahun. Pada wanita postmenopause kerapuhan
tulang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan pembentukkan tulang.
c. Usia
Kehilangan masa tulang meningkat seiring dengan meningkatnya usia.
Semakin bertambah usia, semakin besar risiko mengalami osteoporosis
karena tulang menjadi berkurang kekuatan dan kepadatannya.
Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia antara 30 sampai
35 tahun. Patah tulang meningkat pada wanita usia >45 tahun, sedangkan
pada laki-laki patah tulang baru meningkat pada usia >75 tahun.
Penyusutan massa tulang sampai 3-6% pertahun terjadi pada 5-10 tahun
pertama pascamenopause. Pada usia lanjut penyusutan terjadi sebanyak
1% per tahun. Namun, pada wanita yang memiliki faktor risiko
penyusutan dapat terjadi hingga 3% per tahun. Selain itu, pada usia lanjut
juga terjadi penurunan kadar 1,25 (OH)2D yang disebabkan oleh
kurangnya masukan vitamin D dalam diet, gangguan absorpsi vitamin D,
dan berkurangnya vitamin D dalam kulit.
d. Aktifitas Fisik
Kurang kegiatan fisik menyebabkan sekresi Ca yang tinggi dan
pembentukan tulang tidak maksimum. Namun aktifitas fisik yang terlalu
berat pada usia menjelang menopause justru dapat menyebabkan
penyusutan tulang. Kurang berolahraga juga dapat menghambat proses
pembentukan tulang sehingga kepadatan massa tulang akan berkurang.
Semakin banyak bergerak dan olah raga, maka otot akan memacu tulang
untuk membentuk massa. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
akivitas fisik seperti berjalan kaki pada dasarnya memberikan pengaruh
melindungi tulang dan menurunkan demineralisasi tulang karena
pertambahan umur. Hasil penelitian Recker et.al dalam Groff dan
Gropper (2000), membuktikan bahwa aktifitas fisik berhubungan dengan
penambahan kepadatan tulang spinal[19,20]. Aktivitas fisik harus
mempunyai unsur pembebanan pada tubuh atau anggota gerak dan
penekanan pada aksis tulang untuk meningkatkan respon osteogenik dari
estrogen.
e. Status Gizi
Zat gizi dan gaya hidup juga mempengaruhi kondisi tulang, meskipun hal
ini mungkin lebih berhubungan dengan variabel luar seperti zat gizi dan
aktifitas fisik yang tidak teratur. Perawakan kurus cenderung memiliki
bobot tubuh cenderung ringan merupakan faktor risiko terjadinya
kepadatan tulang yang rendah. Hubungan positif terjadi bila berat badan
meningkat dan kepadatan tulang juga meningkat.
f. Kebiasaan Konsumsi Asupan Kalsium
Kalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan komponen
utama pembentuk tulang. Sebagai mineral terbanyak, berat Ca yang
terdapat pada kerangka tulang orang dewasa kurang lebih 1 kilogram.
Penyimpanan mineral dalam tulang akan mencapai puncaknya (Peak
Bone Mass atau PBM) sekitar umur 20-30 tahun. Pada priode PBM ini
jika massa tulang tercapai dengan kondisi maksimal akan dapat
menghindari terjadinya osteoporosis pada usia berikutnya. Pencapaian
PBM menjadi rendah jika individu kurang berolahraga, konsumsi Ca
rendah, merokok, dan minum alkohol. Kalsium dan vitamin D
dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang yang kuat. Kalsium juga sangat
penting untuk mengatur kerja jantung, otot, dan fungsi saraf. Semakin
bertambahnya usia, tubuh akan semakin berkurang pula kemampuan
menyerap kalsium dan zat gizi lain. Oleh karena itu, pria dan wanita
lanjut usia membutuhkan konsumsi kalsium yang lebih banyak.
Konsumsi Ca yang dianjurkan National Osteoporosis Foundation (NOF)
adalah 1000 mg untuk usia 19-50 th dan 1200mg untuk usia 50th keatas.
Sumber - sumber kalsium terdapat pada susu, keju, mentega, es krim,
yoghurt dan lain – lain.

g. Kebiasaan Merokok
Wanita yang mempunyai kebiasaan merokok sangat rentan terkena
osteoporosis karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan
tulang dan juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam
tubuh berkurang sehingga susunan sel tulang tidak kuat dalam
menghadapi proses pembentukan tulang.
h. Penyakit Diabetes Mellitus
Orang yang mengidap DM lebih mudah mengalami osteoporosis.
Pemakaian insulin merangsang pengambilan asam amino ke sel tulang
sehingga meningkatkan pembentukkan kolagen tulang, akibatnya orang
yang kekurangan insulin atau resistensi insulin akan mudah terkena
osteoporosis. Kontrol gula yang buruk juga akan memperberat
metabolisme vitamin D dan osteoporosis.

2.3 ETIOLOGI

Menurut etiologinya osteoporosis dapat dikelompokkan dalam osteoporosis


primer dan osteoporosis sekunder (Rubenstein, 2007). Osteoporosis primer terjadi
akibat kekurangan massa tulang yang terjadi karena faktor usia secara alami.
Osteoporosis primer ini terdiri dari dua bagian:
1. Tipe I (Post Menopausal)
Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (usia 53-75 tahun). Ditandai oleh
fraktur tulang belakang tipe crush, Colles’fracture, dan berkurangnya gigi
geligi. Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat
tersebut, dimana jaringan trabekular lebih responsif terhadap defisiensi
estrogen.
2. Tipe II (Senile)
Terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun. Ditandai oleh fraktur panggul
dan tulang belakang tipe wedge. Hilangnya massa tulang kortikal terbesar
terjadi pada usia tersebut.
3. Osteoporosis sekunder dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang
disebabkan oleh penyakit atau kelainan tertentu, atau dapat pula akibat
pemberian obat yang mempercepat pengeroposan tulang. Contoh
penyebab osteoporosis sekunder antara lain gagal ginjal kronis,
hiperparatiroidisme (hormon paratiroid yang meningkat), hipertirodisme
(kelebihan horman gondok), hipogonadisme (kekurangan horman seks),
multiple mieloma, malnutrisi, faktor genetik, dan obat-obatan.
4. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin
yang normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang
( Junaidi, 2007).

2.4 STADIUM OSTEOPOROSIS


Ada beberapa stadium osteoporosis menurut Waluyo (2009) diantaranya:

a. Pada stadium 1, tulang bertumbuh cepat, yang dibentuk masih lebih


banyak dan lebih cepat daripada tulang yang dihancurkan. Ini biasanya
terjadi pada usia 30-35 tahun.
b. Pada stadium 2, umumnya pada usia 35-45 tahun, kepadatan tulang mulai
turun (osteopenia).
c. Pada stadium 3, usia 45-55 tahun, fraktur bisa timbul sekalipun hanya
dengan sentuhan atau benturan ringan.
d. Pada stadium 4, biasanya diatas 55 tahun, rasa nyeri yang hebat akan
timbul akibat patah tulang. Klien tidak bisa bekerja, bergerak, bahkan
mengalami stres dan depresi
2.5 MANIFESTASI KLINIS

Tanda khas dari osteoporosis adalah fraktur yang terjadi akibat trauma ringan
(pada tulang radius distal, fraktur colles, atau kolum femur) atau bahkan tanpa
trauma sama sekali, misalnya fraktur (baji atau crush) pada vertebra daerah
torakal, menyebabkan berkurangnya tinggi badan, kifosis tulang punggung yang
berlebih (punuk janda), dan nyeri (Davey, 2005).
Jadi, seseorang dengan osteoporosis biasanya akan memberikan keluhan atau
gejala sebagai berikut:
1. Tinggi badan berkurang
2. Bungkuk atau bentuk tubuh berubah
3. Patah tulang
4. Nyeri bila ada patah tulang (Tandra, 2009).
2.6 PATOFISIOLOGI

Tulang tidak hanya berfungsi sebagai stabilitator, tetapi juga sebagai


cadangan kalsium, fosfat, magnesium, natrium, kalium, laktat, dan sitrat.
Kalsium merupakan mineral yang sangat penting bagi tubuh. Bila terjadi
kekurangan kalsium tubuh, kadar kalsium dapat dipertahankan stabil melalui
mobilisasi kalsium dari tulang (Price & Wilson, 2005).

Tulang mengalami proses resorpsi dan formasi secara terus menerus yang
disebut sebagai remodelling tulang. Proses remodelling tulang merupakan
proses mengganti tulang yang sudah tua atau rusak, diawali dengan resorpsi
atau penyerapan tulang oleh osteoklas dan diikuti oleh formasi atau
pembentukan tulang oleh osteoblas.

Proses remodelling diawali dengan pengaktifan osteoklast oleh sitokin


tertentu. Sitokin yang berasal dari monosit-monosit dan yang berasal sel-sel
osteoblast (sel induk) itu sendiri sangat berperan pada aktivitas osteoklas.
Estrogen mengurangi aktivitas osteoklas, sedangkan bila kekurangan estrogen
meningkatkan aktivitas osteoklas. Enzim proteolitik, seperti kolagen
membantu osteoklas dalam proses pembentukkan tulang (Guyton, 20007).

Pada tahap resorpsi, osteoklas bekerja mengkikis permukaan daerah


tulang yang perlu diganti. Proses resorpsi ini ditandai dengan pelepasan
berbagai metabolit yang sebagian dapat dipergunakan sebagai pertanda
(marker) untuk menasah tingkat proses dinamisasi tulang. Pada proses
pembentukkan osteoblast mulai bekerja. Sel yang berasal dari sel mesenhim
ini menyusun diri pada daerah permukaan berongga dan membentuk matriks
baru (osteosid) yang kelak akan mengalami proses mineralisasi melalui
pembentukkan kalsium hidroksiapetit dan jaringan matrik kolagen
(Rubenstein, 2007).

Dalam proses pembentukan tulang, hal yang sangat penting adalah


koordinasi yang baik antara osteoklas, osteoblas, dan sel-sel endotel. Selama
sistem ini berada dalam keseimbangan, pembentukkan dan penghancuran
tulang akan selalu seimbang. Pada usia reproduksi, di mana fungsi ovarium
masih baik, terdapat keseimbangan antara proses pembentukkan tulang
(osteoblas) dan proses laju pergantian tulang (osteoklas) sehingga tidak
timbul pengeroposan tulang. Namun, ketika memasuki usia klimakterium,
keseimbangan antara osteoklas dan osteobals mulai mengalami gangguan,
fungsi osteoblas mulai menurun dan pembentukkan tulang baru pun
berkurang, sedangkan osteoklas menjadi hiperaktif dan dengan sendirinya
penggantian tulang berlangsung sangat cepat (high turnover). Aktivitas
osteoklas ditandai dengan terjadinya pengeluaran hidroksiprolin dan
piridinolincrosslink melalui kencing, serta asam fosfat dalam plasma.
Hormon paratiroid dan 1,25 (OH)2 vitamin D3 mengaktifkan osteoklas
sedangkan kalsitonin dan estradiol menghambat kerja osteoklas. Resopsi
tulang menyebabkan mobilisasi kalsium dan hal ini menyebabkan
berkurangnya sekresi hormon paratiroid akibatnya pembentukkan 1,25 (OH)2
vitamin D3 serta resorpsi kalsium oleh usus berkurang (Guyton, 2007).
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan radiologi
Dilakukan untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif.
Gambaran radiologi yang khas pada osteoporosis adalah penipisan
konteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen.
b. Pemeriksaan densitas massa tulang
Desintrometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan untu
menilai densitas massa tulang.
c. Magnetic resonance imaging (MRI)
d. Biopsi tulang dan histomorfetri
e. CT-Scan
f. Pemeriksaan laboratorium

2.8 PENGOBATAN FARMAKOLOGI

Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja


osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat ini obat-
obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Yang termasuk obat
antiresorpsi misalnya: estrogen, kalsitonin, bisfosfonat. Sedangkan Kalsium
dan Vitamin D tidak mempunyai efek antiresorpsi maupun stimulator tulang,
tetapi diperlukan untuk optimalisasi meneralisasi osteoid setelah proses
pembentukan tulang oleh sel osteoblas (Setiyohadi, 2006).
1. Estrogen
Mekanisme estrogen sebagai antiresorpsi, mempengaruhi aktivitas sel
osteoblas maupun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas. Pemberian
terapi estrogen dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis dikenal
sebagai Terapi Sulih Hormon (TSH). Estrogen sangat baik diabsorbsi
melalui kulit, mukosa vagina, dan saluran cerna. Efek samping estrogen
meliputi nyeri payudara (mastalgia), retensi cairan, peningkatan berat
badan, tromboembolisme, dan pada pemakaian jangka panjang dapat
meningkatkan risiko kanker payudara. Kontraindikasi absolut
penggunaan estrogen adalah:
kanker payudara, kanker endometrium, hiperplasi endometrium,
perdarahan uterus disfungsional, hipertensi, penyakit tromboembolik,
karsinoma ovarium, dan penyakit haid yang berat.
2. Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan
osteoporosis. Bifosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2
asam fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon. Bisfosfonat
dapat mengurangi resorpsi tulang oleh sel osteoklas dengan cara
berikatan dengan permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas
dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal di bawah
osteoklas.
3. Monoklonal antibodi RANK-Ligand
Seperti diketahu terjadinya osteoporosis akibat dari jumlah dan aktivitas
sel osteoklas menyerap tulang. Dalam hal ini secara biomolekuler
RANK-L sangat berperan. RANK-L akan bereaksi dengan reseptor
RANK pada osteoklas dan membentuk RANK- RANKL kompleks, yang
lebih lanjut akan mengakibatkan meningkatnya deferensiasi dan aktivitas
osteoklas. Untuk mencegah terjadinya reaksi tersebut digunakanlah
monoklonal antibodi (MAbs) dari RANK-L yang dikenal dengan:
denosumab. Besarnya dosis yang digunakan adalah 60 mg dalam 3 atau 6
bulan.
Latihan pembebanan (olahraga)
Olahraga merupakan bagian yang sangat penting pada pencegahan maupun
pengobatan osteoporosis. Program olahraga bagi penderita osteoporosis
sangat
berbeda dengan olahraga untuk pencegahan osteoporosis. Gerakan-gerakan
tertentu yang dapat meningkatkan risiko patah tulang harus dihindari.48 Jenis
olahraga yang baik adalah dengan pembebanan dan ditambah latihanlatihan
kekuatan otot yang disesuaikan dengan usia dan keadaan individu masing-
masing. Dosis olahraga harus tepat karena terlalu ringan kurang bermanfaat,
sedangkan terlalu berat pada wanita dapat menimbulkan gangguan pola haid
yang justru akan menurunkan densitas tulang. Jadi olahraga sebagai bagian
dari pola hidup sehat dapat menghambat kehilangan mineral tulang,
membantu mempertahankan postur tubuh dan meningkatkan kebugaran
secara umum untuk mengurangi risiko jatuh.

2.9 PENCEGAHAN

Pencegahan penyakit osteoporosis sebaiknya dilakukan pada usia muda


maupun masa reproduksi. Berikut ini hal-hal yang dapat mencegah osteoporosis,
yaitu:
a. Asupan kalsium cukup
Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dapat dilakukan
dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup. Minum 2 gelas susu dan vitamin
D setiap hari, bisa meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah baya
yang sebelumya tidak mendapatkan cukup kalsium. Sebaiknya konsumsi
kalsium setiap hari. Dosis yang dianjurkan untuk usia produktif adalah 1000
mg kalsium per hari, sedangkan untuk lansia 1200 mg per hari. Kebutuhan
kalsium dapat terpenuhi dari makanan sehari-hari yang kaya kalsium seperti
ikan teri, brokoli, tempe, tahu, keju dan kacang-kacangan.
b. Paparan sinar matahari
Sinar matahari terutama UVB membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang
dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan massa tulang. Berjemurlah
dibawah sinar matahari selama 20-30 menit, 3x/minggu. Sebaiknya berjemur
dilakukan pada pagi hari sebelum jam 9 dan sore hari sesudah jam 4. Sinar
matahari membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang dibutuhkan oleh
tubuh dalam pembentukan massa tulang (Ernawati, 2008).
c. Melakukan olahraga dengan beban
Selain olahraga menggunakan alat beban, berat badan sendiri juga dapat
berfungsi sebagai beban yang dapat meningkatkan kepadatan tulang.
tangga
Olahraga beban misalnya senam aerobik, berjalan dan menaiki . Olahraga
yang teratur merupakan upaya pencegahan yang penting. Tinggalkan gaya
hidup santai, mulailah berolahraga beban yang ringan, kemudian tingkatkan
intensitasnya. Yang penting adalah melakukannya dengan teratur dan benar.
Latihan fisik atau olahraga untuk penderita osteoporosis berbeda dengan
olahraga untuk mencegah osteoporosis.
Latihan yang tidak boleh dilakukan oleh penderita osteoporosis adalah
sebagai berikut:
1) Latihan atau aktivitas fisik yang berisiko terjadi benturan dan
pembebanan pada tulang punggung. Hal ini akan menambah risiko patah
tulang punggung karena ruas tulang punggung yang lemah tidak mampu
menahan beban tersebut. Hindari latihan berupa lompatan, senam aerobik
dan joging.
2) Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan membungkuk kedepan
dengan punggung melengkung. Hal ini berbahaya karena dapat
mengakibatkan cedera ruas tulang belakang. Juga tidak boleh melakukan
sit up, meraih jari kaki, dan lain-lain.
3) Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan menggerakkan kaki
kesamping atau menyilangkan dengan badan, juga meningkatkan risiko
patah tulang, karena tulang panggul dalam kondisi lemah.
Berikut ini latihan olahraga yang boleh dilakukan oleh penderita osteoporosis:
Low Impact
1) Jalan kaki secara teratur, karena memungkinkan sekitar 4,5 km/jam
selama 50 menit, lima kali dalam seminggu. Ini diperlukan untuk
mempertahankan kekuatan tulang. Jalan kaki lebih cepat (6 km/jam) akan
bermanfaat untuk jantung dan paru-paru.
2) Aerobik ringan
3) Elips (jalan kaki menggunakan alat)
4) Naik tangga
5) Thai chi
6) Latihan beban untuk kekuatan otot, yaitu dengan mengangkat ”dumbble”
kecil untuk menguatkan pinggul, paha, punggung, lengan dan bahu.
7) Latihan untuk meningkatkan keseimbangan dan kesigapan.
8) Latihan untuk melengkungkan punggung ke belakang, dapat dilakukan
dengan duduk dikursi, dengan atau tanpa penahan. Hal ini dapat
menguatkan otot-otot yang menahan punggung agar tetap tegak,
mengurangi kemungkinan bengkok, sekaligus memperkuat punggung.
High Impact
1) Jogging atau berlari
2) Menari aerobik
3) Memanjat
4) Lompat tali
5) Menaiki tangga
Untuk pencegahan osteoporosis, latihan fisik yang dianjurkan adalah latihan
fisik yang bersifat pembebanan, terutama pada daerah yang mempunyai
risiko tinggi terjadi osteoporosis dan patah tulang. Jangan lakukan senam
segera sesudah makan. Beri waktu kira-kira 1 jam perut kosong sebelum
mulai dan sesudah senam. Dianjurkan untuk berlatih senam tiga kali
seminggu, minimal 20 menit dan maksimal 60 menit. Sebaiknya senam
dikombinasikan dengan olahraga jalan secara bergantian, misalnya hari
pertama senam, hari kedua jalan kaki, hari ketiga senam, hari keempat jalan
kaki, hari kelima senam, hari keenam dan hari ketujuh istirahat. Jalan kaki
merupakan olahraga yang paling mudah, murah dan aman, serta sangat
bermanfaat. Gerakannya sangat mudah dilakukan, melangkahkan salah satu
kaki kedepan kaki yang lain secara bergantian. Lakukanlah jalan kaki 20-30
menit, paling sedikit tiga kali seminggu.dianjurkan berjalan lebih cepat dari
biasa, disertai ayunan lengan. Setiap latihan fisik harus diawali dengan
pemanasan untuk:
1) Menyiapkan otot dan urat agar meregang secara perlahan dan mantap
sehingg mencegah terjadinya cedera.
2) Meningkatkan denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh sedikit demi
sedikit.
3) Menyelaraskan koordinasi gerakan tubuh dengan keseimbangan gerak
dan
4) Menimbulkan rasa santai.
Lakukan selama 10 menit dengan jalan ditempat, gerakan kepala, bahu, siku
dan tangan, kaki, lutut dan pinggul. Kemudian lakukan peregangan selama
kira-kira 5 menit. Latihan peregangan akan menghasilkan selama kira-kira 5
menit. Latihan peregangan akan menghasilkan kelenturan otot dan
kemudahan gerakan sendi. Latihan ini dilakukan secara berhati-hati dan
bertahap, jangan sampai menyebabkan cedera. Biasanya dimulai dengan
peregangan otot-otot lengan, dada, punggung, tungkai atas dan bawah, serta
otot-otot kaki Latihan inti, kira-kira 20 menit, merupakan kumpulan gerak
yang bersifat ritmis atau berirama agak cepat sehingga mempunyai nilai
latihan yang bermanfaat. Utamakan gerakan, tarikan dan tekanan pada
daerah tulang yang sering mengalami osteoporosis, yaitu tulang punggung,
tulang paha, tulang panggul dan tulang pergelangan tangan. Kemudian
lakukan juga latihan beban. Dapat dibantu dengan bantal pasir, dumbble,
atau apa saja yang dapat digenggam dengan berat 300-1000 gram untuk 1
tangan, mulai dengan beban ringan untuk pemula, dan jangan melebihi 1000
gram. Beban untuk tulang belakang dan tungkai sudah cukup memdai
dengan beban dari tubuh itu sendiri.
Setelah latihan inti harus dilakukan pendinginan dengan memulai gerakan
peregangan seperti awal pemanasan dan lakukan gerakan menarik napas
atau ambil napas dan buang napas secara teratur. Jika masih memungkinkan.
Lakukan senam lantai kira-kira 10 menit. Latihan ini merupakan gabungan
peregangan, penguatan dan koordinasi. Lakukan dengan lembut dan
perlahan dalam posisi nyaman, rileks dan napas yang teratur (Santoso,
2009).
d. Hindari rokok dan minuman beralkohol
Menghentikan kebiasaan merokok merupakan upaya penting dalam
mengurangi faktor risiko terjadinya osteoporosis. Terlalu banyak minum
alkohol juga bisa merusak tulang.
e. Deteksi dini osteoporosis
Karena osteoporosis merupakan suatu penyakit yang biasanya tidak diawali
dengan gejala, maka langkah yang paling penting dalam mencegah dan
mengobati osteoporosis adalah pemeriksaan secara dini untuk mengetahui
apakah kita sudah terkena osteoporosis atau belum, sehingga dari
pemeriksaan ini kita akan tahu langkah selanjutnya.
2.10 PATHWAY

Menopause Usia Diet Ca yang Merokok Diabetes Melitus Penurunan


buruk tonus otot

FSH menurun Fungsi osteoblas Nikotin Penurunan


menurun Rangsangan sekresi
insulin Trauma
PTH
Esterogen menurun Esterogen Pengambilan asam
Pembentukan tulang menurun Cedera
Aktivasi osteoklas amino
baru berkurang
Osteoklas meningkat
Terputusnya jaringan
Reabsorbsi Ca Pembentukan
kulit
tulang meningkat kolagen tulang
Pengikisan permukaan
daerah tulang meningkat
Spasme otot

Menurunkan Pelepasan
Risiko Cedera densitas tulang Osteoporosis mediator nyeri
Kurang terpapar
informasi SSP
Penurunan tonus otot Perubahan bentuk Perubahan tulang
tulang punggung
Kurang pengetahuan Reseptor nyeri
Kerusakan mobilitas fisik mengenai osteoporosis
Perubahan body Spasme otot
image
bedrest Nyeri
Ketakutan akan
Nyeri punggung Ansietas
fraktur
Ketidakefektifan
konstipasi koping individu
Nyeri
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

Pengkajian Umum
a. Identitas klien
Nama: mengetahui identitas klien
Umur dan tanggal lahir: meningkat seiring bertambahnya usia, kepadatan
tulang menurun mulai usia 30 sampai 35 tahun. Patah tulang meningkat pada
wanita usia >45 tahun, sedangkan pada laki-laki patah tulang baru meningkat
pada usia >75 tahun.
Jenis kelamin: bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan dan meningkat pada
perempuan.
Suku bangsa: dapat terjadi pada semua suku bangsa
Pekerjaan: osteoporosis meningkat pada orang dengan pekerjaan yang kurang
melakukan aktivitas fisik.
Pendidikan: pendidikan menentukan pengetahuan dalam memahami proses
penyakit
Status menikah: dukungan dari istri/suami dapat mempercepat proses
penyembuhan dari pada klien yang hidup sendiri.
Alamat: mengetahui identitas klien
Tanggal MRS: mengetahui identitas klien
Diagnosa medis: Osteoporosis
b. Identitas penaggung jawab meliputi nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin,
alamat.
c. Alasan MRS dan Keluhan Utama: Tanyakan sejak kapan pasien merasakan
keluhan seperti yang ada pada keluhan utama dan tindakan apa saja yang
dilakukan pasien untuk menanggulanginya.
d. Riwayat penyakit sekarang: Informasi yang dapat diperoleh meliputi
informasi mengenai keluhan.
e. Riwayat penyakit dahulu: penyakit kronik (misalnya ginjal, dan paru),
diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV), ketergantungan
alkohol, aspirasi (misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru terjadi
(misalnya influenza), malnutrisi, ventilasi mekanik, pascaoperasi (Jeremy,
2007; Misnadirly, 2008).
f. Riwayat penyakit keluarga: tanyakan pada pasien apakah keluarga pasien ada
yang mengalami hal yang sama dengan pasien atau apakah keluarga ada yang
mengalami penyakit degeneratif.
g. Pola pemeliharaan kesehatan
Merupakan pola kesehatan yang sering dilakukan misalnya :
1. Kebiasaan minum alkohol
2. Kebiasaan merokok
3. Menggunakan obat-obatan
4. Aktifitas atau olahraga
5. Stress

Pengkajian Fisik (B1-B6)


Setelah melaukan anamnesa yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan secara persistem (B1-B6) dengan
focus pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari klien. Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa
TTV. Pada klien pneumonia biasanya didapatkan (Muttaqin, 2008).

B1 Breathing
Inspeksi : ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang
Palpasi : traktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi : pada usia lanjut biasanya didapatkan suara ronki
B2 Blood
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik sering terjadi keringat dingin dan
pusing, adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh
darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat.

B3 Brain
Kesadaran biasanya kompos mentis, pada kasus yang lebih parah klien dapat
mengeluh pusing dan gelisah.
B4 Bladder
Produksi urine dalam batas normal dan tidak ada keluhan padasistem
perkemihan
B5 Bowel
Untuk kasus osteoporosis tidak ada gangguan eleminasi namun perlu dikaji
juga frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses.
B6 Bone
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis, klien osteoporosis
sering menunjukkan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan
tinggi badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length
inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang terjadi adalah antara vertebra
torakalis 8 dan lumbalis 3.
Diagnosis Keperawatan
1. Resiko cedera : fraktur yang berhubungan dengan tulang oestoporotik
2. Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot
3. Nyeri berhubungan dengan spasme otot
4. Kurangnya pengetahuan mengenai osteoporosis dan proses terapi
5. Ansietas berhubungan dengan ketakutan akan fraktur
6. Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi atau ileus
7. Ketidak efektifan koping individu berhubungan dengan body image
INTERVENSI KEPERAWATAN
No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
1 Risiko cedera : fraktur Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama NIC Label >> Environmental management
yang berhubungan 1x15 menit, diharapkan pasien tidak mengalami cedera 1. Ciptakan lingkungan yang seaman mungkin untuk

dengan tulang dengan criteria hasil : pasien


2. Identifikasi kebutuhan akan keamanan pasien
oestoporotik a. NOC Label >> Risk control
berdasarkan tingkat fungsi fisik dan kognitif dan
1) Monitor factor risiko lingkungan secara konsisten
riwayat atau kebiasaan
2) Monitor factor risiko personal behavior secara
3. Singkirkan lingkungan yang berbahaya,benda-benda
konsisten
yang berbahaya dari lingkungan
3) Mengembangkan strategi efektif mengontrol risiko
4. Amankan dengan side-rails/ lapisan side-rail
4) Berkomitmen terhadap strategi control risiko
5. Sediakan tempat tidur ketinggian rendah dan alat-alat
5) Menghindari eksposure yang mengancam kesehatan
adaptive
secara konsisten
6. Tempatkan benda yang sering digunakan dalam
6) Pasien berpartisipasi dalam memantau yang
jangkauan
berhubungan dengan masalah kesehatan
7. Sediakan tempat tidur dan lingkungan yang nyaman dan
7) Menyadari perubahan status kesehatan secara
bersih
konsisten
8. Tempatkan tombol pengatur tempat tidur dalam
b. NOC Label >> Seizure control
jangkauan
1) Menjelaskan factor pencetus serangan secara
9. Singkirkan material yang digunakan saat mengganti
konsisten
pakaian dan eliminasi, serta bahan-bahan residual
2) Secara konsisten menunjukkan melapor pada
lainnya ketika kunjungan dan waktu makan
petugas kesehatan ketika efek samping pengobatan
muncul 10. Kurangi stimulus lingkungan
3) Secara konsisten menunjukkan menghindari factor 11. Hindari pajanan yang tidak diperlukan
risiko serangan 12. Manipulasi cahaya untuk keuntungan terapi
4) Secara konsisten menunjukkan menggunakan teknik 13. Tingkatkan keamanan kebakaran
pereduksi stress yang efektif untuk menurunkan 14. Kontrol lingkungan hama
aktivitas serangan
5) Secara konsisten menunjukkan mempertahankan
pola tidur-bangun
6) Secara konsisten menunjukkan mengikuti program
latihan fisik yang ditentukan
7) Secara konsisten menunjukkan implementasi praktek
yang aman di lingkungan
2 Kerusakan mobilisasi NOC : NIC :
fisik berhubungan  Joint Movement : Active
Exercise therapy : ambulation
dengan penurunan tonus  Mobility Level
1. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan
 Self care : ADLs
otot lihat respon pasien saat latihan
 Transfer performance
2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
ambulasi sesuai dengan kebutuhan
selama….gangguan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria
3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan
hasil:
dan cegah terhadap cedera
 Klien meningkat dalam aktivitas fisik
4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang
 Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
teknik ambulasi
 Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan
kekuatan dan kemampuan berpindah 5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
 Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
mobilisasi (walker) secara mandiri sesuai kemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs ps.
8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
3 Nyeri berhubungan NOC : NIC:
dengan spasme otot - Pain Level, Pain Management
- pain control, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
- comfort level termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama 2 x 24 jam dan faktor presipitasi
Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari menemukan dukungan
bantuan) 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
dengan menggunakan manajemen nyeri 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, 6. Kaji tipe dan sumber nyeri
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dada,
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
berkurang 8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
e. Tanda vital dalam rentang normal 9. Tingkatkan istirahat
f. Tidak mengalami gangguan tidur 10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
4 Kurangnya pengetahuan NOC: 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga
mengenai osteoporosis  Kowlwdge : disease process 2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal

dan proses terapi  Kowledge : health Behavior ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. pasien cara yang tepat.
menunjukkan pengetahuan tentang proses penyakit dengan 3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada
kriteria hasil: penyakit, dengan cara yang tepat
 Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang 4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan 5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang
 Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur tepat
yang dijelaskan secara benar 6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan
 Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa cara yang tepat
yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya 7. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan
pasien dengan cara yang tepat
8. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
9. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan
second opinion dengan cara yang tepat atau
diindikasikan
10. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan
cara yang tepat
5 Ansietas berhubungan NOC : NIC :
dengan ketakutan akan - Kontrol kecemasan Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)

fraktur - Koping 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan


Setelah dilakukan asuhan selama ……………klien 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku
kecemasan teratasi dgn kriteria hasil: pasien
 Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan 3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan
gejala cemas selama prosedur
 Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan 4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
tehnik untuk mengontol cemas mengurangi takut
 Vital sign dalam batas normal 5. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis,
 Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tindakan prognosis
tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya 6. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
kecemasan 7. Instruksikan pada pasien untuk menggunakan
tehnik relaksasi
8. Dengarkan dengan penuh perhatian
9. Identifikasi tingkat kecemasan
10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan
kecemasan
11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
12. Kelola pemberian obat anti cemas
6 Konstipasi berhubungan NOC: NIC :
dengan imobilisasi atau  Bowl Elimination 1. Manajemen konstipasi
ileus  Hidration 2. Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. 3. Monitor tanda-tanda ruptur bowel/peritonitis
konstipasi pasien teratasi dengan kriteria hasil: 4. Jelaskan penyebab dan rasionalisasi tindakan pada
 Pola BAB dalam batas normal pasien
 Feses lunak 5. Konsultasikan dengan dokter tentang peningkatan dan
 Cairan dan serat adekuat penurunan bising usus
 Aktivitas adekuat 6. Kolaburasi jika ada tanda dan gejala konstipasi yang
 Hidrasi adekuat menetap
7. Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan dan serat)
terhadap eliminasi
8. Jelaskan pada klien konsekuensi menggunakan laxative
dalam waktu yang lama
9. Kolaburasi dengan ahli gizi diet tinggi serat dan cairan
10. Dorong peningkatan aktivitas yang optimal
11. Sediakan privacy dan keamanan selama BAB
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK Tn.K DENGAN OSTEOPOROSIS

A. PENGKAJIAN
IDENTITAS
Nama : Tn. K
Umur : 86 th
Jenis Kelamin : laki-laki
Riwayat Pekerjaan : Tani
Penghasilan :-
Tingkat Pendidikan :-
Status Perkawinan : Kawin
Lama tinggal di panti : 2 tahun 8 bulan
Keluarga yang dapat dihubungi :-

RIWAYAT KEPERAWATAN (NURSING HISTORY)

Keluhan utama : nyeri punggung


P : pengeroposan tulang
Q :cenut-cenut
R :pinggang
S :4
T :malam hari
Keluhan yang dirasakan tiga bulan terakhir
Nyeri punggung, sesak, penurunan penglihatan

Riwayat penyakit sekarang


Tn. K mengatakan nyeri punggung terutama saat malam hari
Upaya yang telah dilakukan: meminum obat piroxicam yang diberikan oleh
petugas medis

Riwayat Kesehatan Terdahulu


Tn K terdiagnosa pengeroposan tulang seak 3 tahun yang lalu dan terkadang
merasa sesak saat nyeri pinggang.
Obat-obat yang biasa dikonsumsi : piroxicam

Kebiasaan berobat : posyandu lansia setiap 1 minggu sekali


Riwayat Kesehatan Keluarga
Genogram :

Alasan datang ke Panti Werda


Tn. K mengatakan tidak punya anak, 3 tahun yang lalu Tn K mengeluh nyeri
hebat kemudian oleh keponakannya diperiksakan ternyata Tn. K mengalami
pengeroposan tulang. Kemudian setelah berobat ke puskesmas Tn. K disarankan
oleh pihak puskesmas untuk mencari pengasuh dikarenakan Tn. K hanya tinggal
dengan istrinya yang sama-sama sudah tua, tetapi pengasuh tersebut tidak betah
dengan Tn. K sehingga Tn. K hanya tinggal dengan istrinya. Oleh keponakannya
kemudian Tn. K beserta istrinya dibawa ke panti werda.
.
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda Vital :
TD : 120/80 mmHg S : 36o C
N : 84 x/menit RR : 20 x/menit

PENGKAJIAN PERSISTEM
Sistem Pernapasan
Keluhan : pasien mengatakan terkadang merasa sesak

 Hidung:
Inspeksi: bentuk simetris, tidak ada polip, keadaan bersih

Palpasi: tidak ada nyeri tekan

 Mulut
Inspeksi : mukosa bibir lembab, tidak ada sianosis

 Leher
Inspeksi : tidak ada lesi, simetris

Palpasi : tidak ada nyeri tekan

 Area dada:
Inspeksi: bentuk simetris, tidak ada lesi, tidak ada retraksi dinding dada

Palpasi: tidak ada nyeri tekan

Perkusi : sonor
Auskultasi : wheezing (-), ronkhi (-)

Cardiovaskuler Dan Limfe


Anamnesa: tidak ada keluhan

 Wajah
Inspeksi : wajah nampak tidak pucat

 Leher
Inspeksi : tidak ada pembesaran vena jugularis

Palpasi : tidak ada nyeri tekan

 Dada
Inspeksi : bentuk simetris

Palpasi : tidak ada nyeri tekan

Auskultasi : BJ1 dan BJ 2 tunggal

 Ekstrimitas Atas
Inspeksi : tidak ada odem

Palpasi : akral hangat, CRT , 2 dtk

 Ekstrimitas Bawah
Inspeksi : tidak ada odem

Palpasi : akral hangat, CRT < 2 dtk

Persyarafan
Anamesis : pasien mengatakan mengalami penurunan penglihatan

Pemeriksaan nervus (diperiksa jika ada indikasi dengan kelainan


persyarafan):
Uji nervus I olfaktorius ( pembau) : pasien bisa mencium bau- bauan

Uji nervus II opticus ( penglihatan) : pasien mengalami penurunan


penglihatan

Uji nervus III, IV, VI : pupil isokor, tidak ada hiperemi konjungtiva

Nervus V trigeminus ( sensasi kulit wajah) : -

Uji nervus VII facialis : pasien bisa mengontrol ekspresi muka dengan
tersenyum, mengerutkan dahi
Nervus VIII auditorius/AKUSTIKUS : -

Nervus IX glosoparingeal dan X vagus: pasien bisa menelan, reflek


muntah (+)

Nervus XI aksesorius : -
.
Nervus XII hypoglosal/ hipoglosum : pergerakan simetris

Tingkat kesadaran (kualitas): compos mentis


Tingkat kesadaran (Kuantitas) :
GCS (Glasgow Coma Scale), yang dinilai yaitu : 4,5,6
- Eye/membuka mata (E) : 4
- Motorik (M) : 5
- Verbal/bicara (V) : 6
Tingkat kesadaran berdasarkan AVPU (Alert Verbal Pain
Unrespon) : Alert
Perkemihan-Eliminasi Uri
Anamnesa : pasien mengatakan tidak ada keluhan
 Pola pemenuhan cairan
 Frekwensi minum : ≥ 5 gelas perhari

 Jenis minuman: air putih dan terkadang kopi

 Pola BAK
 Frekuensi : ± 5x/hari

 Warna urine : kuning jernih

Sistem Pencernaan-Eliminasi Alvi


Anamnesa : pasien mengatakan tidak ada keluhan
 Mulut:
Inspeksi : mukosa bibir lembab

Palpasi : tidak ada nyeri tekan

 Lidah
Inspeksi : bersih, simetris, tidak ada lesi

Palpasi : -

 Abdomen (dibagi menjadi 4 kuadran)


Inspeksi: bentuk simetris, tidak ada distensi abdomen

Auskultasi : Bu 16 x/menit

Perkusi: timpani
Palpasi: tidak ada nyeri tekan

 Pola Pemenuhan kebutuhan nutrisi


Frekwensi makan : 3x sehari
 Jumah makanan yang dihabiskan : 1 porsi habis
 Pola eliminasi BAB
 Frekwensi BAB : ± 2 hari sekali
 Konsisitensi : padat
 Gangguan BAB : tidak terjadi gangguan

Sistem Muskuloskeletal & Integumen


Anamnese : pasien mengatakan nyeri pinggang

Warna kulit : coklat sawo

Kekuatan otot :
5 5
5 5

Sistem Endokrin
Anamnesa : tidak ada keluhan

Kepala :
Inspeksi : persebaran rambut merata, tidak ada lesi

Leher
Inspeksi : simetris, tidak ada lesi

Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

Payudara
Inspeksi : simetris, tidak ada lesi

Genetalia : tidak terkaji

Ekstremitas bawah
Palpasi : tidak ada odem

Sistem Reproduksi
Anamnesa : tidak ada keluhan
Laki-laki :
Anamnesa : tidak ada keluhan

Genetalia : bersih
Persepsi sensori
Anamnesa : adanya penyebaran penglihatan

Mata
Inspeksi : simetris, pupil isokor

Palpasi: tidak ada nyeri tekan

Penciuman (Hidung) : tidak ada keluhan

 Pola Kebiasaan Tidur (persepsi sensori)


 Jumlah waktu tidur : ± 5 jam
 Gangguan tidur berupa : biasanya nyeri pinggang pada malam

hari sehingga Tn. K terbangun


 Penggunaan waktu luang ketika tidak tidur : mengikuti

kegiatan UPT dan bersosialisasi dengan lansia lain.

NILAI DAN KEPERCAYAAN/ SPIRITUAL


Tn. K percaya terhadap Tuhan dan mengerjakan sholat 5 waktu serta
mengikuti pengkajian.

HUBUNGAN PERAN
Bersosialisasi dengan baik dengan lansia yang lain

V. PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL

1. Interaksi sosial
Hubungan Tn. K dengan istri dan lansia yang lain baik, tidak ada
perdebatan, interaksi Tn. K dengan mahasiswa praktek sangat baik dan
ramah.

2. IDENTIFIKASI MASALAH EMOSIONAL


Pertanyaan tahap I
Apakah klien mengalami sukar tidur ? tidak
Apakah klien sering merasa gelisah ? tidak
Apakah klien sering murung atau menangis ? tidak
Apakah klien sering was-was atau kuatir ? tidak
Tn. K tidak mempunyai masalah emosional
3. PENGUKURAN TINGKAT DEPRESI
Skala Depresi Geriatri (GDS)

NO PERNYATAAN Tidak Ya
Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan √
kehidupannya?
Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak √
kegiatan atau kesenangan akhir-akhir ini?
Apakahbapak/ibu sering merasa hampa/kosong di √
dalam hidup ini?
Apakahbapak/ibu sering merasa bosan? √
Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang √
baik di masa depan?
Apakah bapak/ibu mempunyai pikiran jelek yang √
menganggu terus menerus?
Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik √
setiap saat?
Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk √
akan terjadi pada anda?
Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar √
waktu?
Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu √
berbuat apa-apa?
Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?? √
Apakah bapak/ibu lebih senangtinggal dirumah √
daripada keluardan mengerjakan sesuatu?
Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang √
masa depan??
Apakah bapak/ibu akhir-akhir ini sering pelupai? √
Apakah bapak/ibu pikir bahwa hidup bapak/ibu √
sekarang ini menyenangkan?
Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus √
asa?
Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir √
ini?
Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang √
masa lalu?
Apakah bapak/ibu merasa hidup ini √
menggembirakan?
Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan √
yang baru?
Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat? √
Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak √
ada harapan;?
Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang Iain lebih √
baik keadaannya daripada bapak/ibu?
Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang √
sepele?
Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis? √
Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi? √
Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun √
tidur dipagi hari?
Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di √
pertemuan sosial?
Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat suatu √
keputusan?
Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam √
memikirkan sesuatu seperti dulu?

Skor: Hitung jumlah jawaban yang dicentang (Setiap jawaban yang dicentang
mempunyai nilai 1)
0 - 10 = Not depressed
11 - 20 = Mild depression
21 - 30 = Severe depression

GDS 15: 1,2,3,4,7,8,9,10,12,14,15,17,21,22,23 (cut-off 5/6 indicated depression)


GDS 10: 1,2,3,8,9,10,14,21,22,23
GDS 4 : 1,3,8,9 (cut-off Vi indicated depression)

Skor : 13
Interpretasi hasil : depresi ringan

4. TIGKAT KERUSAKAN INTELEKTUAL


Ajukan beberapa pertanyaan dengan mengguakan SPMSQ (Short Portable Mental
Status Quesioner)
Benar Salah Nomor Pertanyaan
√ 1 Tanggal berapa hari ini ?
√ 2 Hari apa sekarang ?
√ 3 Apa nama tempat ini ?
√ 4 Dimana alamat anda ?
√ 5 Kapan anda lahir ?
√ 6 Berapa umur anda ?
√ 7 Siapa kepala panti/lurah sekarang ?
√ 8 Siapa kepala panti/lurahsebelumnya ?
√ 9 Siapa nama ibu anda ?
√ 10 20 dikurangi 3 = ? dan seterusnya dikurangi 3
6 4 JUMLAH

Intepretasi Hasil:kerusakan intelektual ringan


Keterangan :
Salah 0 – 3 : Fungsi Intelektual utuh
Salah 4 – 5 : Kerusakan intelektual ringan
Salah 6 – 8 : Kerusakan intelektual sedang
Salah 9 – 10 : Kerusakan intelektual berat

4. IDENTIFIKASI ASPEK KOGNITIF


Mini Mental State Examination (MMSE)
No Aspek Nilai Nilai Krfiteria
. kognitif Maksimal didapat
1 Orientasi 5 3 Menyebutkan dengan benar
Waktu  Tahun
 Musim
 Tanggal
 Hari
 Bulan
2 Orientasi 5 4 Menyebutkan tempat keberadaan kita
Tempat sekarang
 Negara
 Propinsi
 Kota / Kabupaten
 Panti
3 Registrasi 3 3 Sebutkan tiga nama obyek
4 Perhatian 5 1 Berhitung
dan 100 – 7 sampai 5 tingkat
kalkulasi
5 Mengingat 3 3 Mengulangi menyebutkan obyek pada
no 3
6 Bahasa 9 4  Tunjukkan benda dan tanyakan
namanya
 Buat kalimat dan minta klien
menirukan
 Mengikuti perintah sebanyak tiga
langkah
 Minta untuk melakukan gerakan
 Minta untuk menulis
 Minta untuk menyalin gambar
JUMLAH 18
Intepretasi :gangguan kognitif sedang

Keterangan :
24 – 30 : Tidak ada gangguan kognitif
18 – 23 : Gangguan kognitif sedang
0 – 17 : Gangguan kognitif berat

VI. PENGKAJIAN PERILAKU TERHADAP KESEHATAN


1. POLA PEMENUHAN KEBUTUHAN SEHARI-HARI
 Kegiatan produktif lansia yang sering dilakukan
Mengikuti senam lansia
 Mandi : 2x sehari

 Sikat gigi 2x sehari menggunakan pasta gigi

 Kebiasaan Berganti Pakaian Bersih : ya

2. TINGKAT KEMANDIRIAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI


Pengkajian Fungsional Berdasarkan Barthel Indeks.
NILAI
NO AKTIVITAS
BANTUAN MANDIRI
1. Makan 5 10√
2. Berpindah dari kursi roda ke 5-10 15√
tempat tidur dan sebaiiknya,
termasuk duduk di tempat tidur
3. Kebersian diri, mencuci muka, 0 5√
menyisir, mencukur dan
4. mengosok gigi 5 10√
5. Aktivitas toilet 0 5√
6. Mandi 10 15√
Berjalan di jalan yang datar (jika
7. tidak mampu berjalan lakukan 5√ 10
8. dengan kursi roda) 5 10√
9. Naik turun tangga 5 10√
10. Berpakaian termasuk mengenakan sepatu 5 10√
Mengontrol defekasi
Mengontrol berkemih
JUMLAH 95

Penilaian
0 -2 : Ketergantungan
21 - 61 : Ketergantungan berat/sangat tergantung
62 - 90 : Ketergantungan berat
91 - 99 : Ketergantungan ringan
100 : Mandiri
Kapasitas perawatan diri lansia mengalami penurunan
Interpretasi : ketergantungan ringan

VII. PENGKAJIAN LINGKUNGAN


1. PEMUKIMAN
Luas bangunan : -
Bentuk bangunan : persegi
Jenis bangunan: batu bata
Atap rumah : genting
Dinding : tembok
Lantai : keramik
Ventilasi : ada ventilasi
Pencahayaan : cukup
Pengaturan penataan perabot : baik

2. SANITASI
Penyediaan air bersih (MCK): PDAM
Penyediaan air minum : galon
Pengelolaan jamban : penggunaan septic tank

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri kronis b.d agen cedera biologis
ANALISA DATA
Nyeri Kronis
Ns. Diagnosis Domain 12: kenyamanan
Kelas 1 : kenyamanan fisik

Definisi Pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan dengan


kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau digambarkan sebagai
sesuatu kerusakan; awitan yang tba-tiba atau lambat dengan inetsitas
dari ringan hingga berat, terjadi konstan atau berulang tanpa akhir yang
dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung lebih dari 3 bulan
1. Anoreksia
2. Bukti Nyeri Dengan Menggunakan Standar Daftar Periksa Nyeri
Untuk Pasien Yang Tidak Dapat Mengungkapkannya
3. Ekspresi Wajah Nyeri
4. Fokus Pada Diri Sendiri
5. Hambatan Kemampuan Meneruskan Aktivitas Sebelumya
Batasan 6. Keluhan Tentang Intesitas Menggunakan Standar Skala Nyeri
karakteristik 7. Keluhan Tentang Karakteristik Nyeri
8. Laporan Tentang Perilaku Nyeri/ Perubahan Aktivitas
9. Perubahan Pola Tidur
10. Fraktur
11. Gangguan Muskuloskeletal Kronis
12. Usia > 50 thn
Faktor yang 1. Agen cedera fisik
berhubungan 2. Agen cedera biologis
3. Agen cedera kimia
Data Subjektif Data Objektif
Pasien mengatakan nyeri - terjadi hambatan kemampuan
punggung sejak 3 tahun yang meneruskan aktivitas
lalu - perubahan pola tidur (terbangun
saat nyeri pinggang di malam
hari)
Pengkajian - ekspresi wajah menyeringai
- P : pengeroposan tulang
- Q : cenut-cenut
- R : punggung
- S :4
- T : kebanyakan pada malam
hari

Dx pasien Nyeri kronis b.d agen cedera biologis


C. INTERVENSI
NIC NOC
Intervensi Aktivitas Indikator Outcome
Pain  Monitor kepuasan pasien Setelah dilakukan -Comfort level
managemen terhadap manajemen nyeri tindakan -Pain control
t  Tingkatkan istirahat dan keperawatan selama -Pain level
tidur yang adekuat 3x24 jam nyeri
 Kolaborasi pemberian kronis pasien
analgesik berkurang dengan
 Diet : kriteria hasil:
- Mengkonsumsi  Tidak ada
kalsium dan viitamin gangguan tidur
D yang cukup  Tidak ada
- Konsumsi makanan gangguan
berprotein sesuai konsentrasi
kebutuan tubuh  Tidak ada
- Menghindari minum ekspresi
kafein menahan nyeri
- Konsumsi buah dan dan ungkapan
sayur sesuai kebutuhan secara verbal
 Lakukan teknik
nonfarmakologis dengan
cara distraksi dan
relaksasi, musik, latihan
nafas dalam, kompres air
gaam hangat pada daerah
nyeri
 Aktivitas :
- Dengan berjemur pada
pagi hari
- Mengikuti senam lansia
D. IMPLEMENTASI

No Dx Tgl/jam Implementasi Paraf


Keperawatan
1 Nyeri kronis 18  Memonitor tingkat kepuasan pasien
b.d agen cedera April terhadap managemen nyeri
biologis 19  Meningkatkan istirahat dan tidur
yang adekuat
 HE pasien tentang penyebab nyeri
(penyebab dari nyeri tersebut
dikarenakan pengeroposan tulang
sejak 3 tahun yang lalu)
 Melakukan teknik nonfarmakologis
(dengan teknik relaksasi dan
distraksi serta ketika terjadi nyeri
dianjurkan untuk dikompres air
garam hangat pada daerah yang
nyeri)
 Kolaborasi dengan tim medis
pemberian analgesik (piroxicam
2x1, cloramphenicol 3x1)

E. EVALUASI
No Dx Keperawatan Tgl/Jam Catatan Perkembangan
1 Nyeri kronis b.d agen 19 April S: pasien mengatakn nyeri berkurang
cedera biologis 19 O: TD 120/80 mmHg
N 79 x/mnt
S 36,4 0C
RR 21 x/mnt
P : nyeri punggung
Q : cenut-cenut
R : punggung
S:3
T : pada malam hari
Saat berajalan memegangi punggung
A: nyeri akut b.d agen cedera biologis
P:
- Observasi TTV dan skala nyeri
- Meningkatkan istirahat dan tidur
yang adekuat
- Melakukan teknik
nonfarmakologis (kompres air
garam hangat)
- Kolaborasi pemberian analgesik

20 April S: pasien mengatakn nyeri berkurang


19 O: TD 130/80 mmHg
N 84 x/mnt
S 36,7 0C
RR 19 x/mnt
P : nyeri punggung
Q : cenut-cenut
R : punggung
S:2
T : pada malam hari
Saat berajalan memegangi punggung
A: nyeri akut b.d agen cedera biologis
P:
- Observasi TTV dan skala nyeri
- Meningkatkan istirahat dan tidur
yang adekuat
- Melakukan teknik
nonfarmakologis (kompres air
garam hangat)
- Kolaborasi pemberian analgesik

BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas mengenai alasan diangat diagnosa prioritas dan alasan
diberikan intervensi mandiri keperawatan dengan kompres air garam hangat.
Berdasarkan pengkajian yang didapat, penulis menegakkan diagnosa keperawatan
prioritas yaitu:
1. Diagnosa
Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis
2. Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis merupakan
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dengan
kerusaan jaringan aktual atau potensial, atau digambarkan sebagai sesuatu
kerusakan; awitan yang tiba-tiba atau lambat dengan intensitas dari ringan
hingga berat, terjadi konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi
atau diprediksi dan berlangsung lebih dari 3 bulan.
3. Alasan diagnosa ditegakkan
4. Diagnosa ini ditegakkan karena pada pasien ditemukan data obektif yaitu
terjadi hambatan kemampuan meneruskan aktivitas, perubahan pola tidur
(terbangun saat nyeri pinggang pada malam hari, ekspresi wajah menyeringai.
Berdasarkan diagnosa keperawatan prioritas yang telah ditegakkan, intervensi
keperawatan mandiri yang dapat ditegakkan yaitu kompres air garam hangat.
Secara teoritis kompres hangat yang dilakukan memberian stimulus panasyang
menimbulkan respon fisiologis yang berbeda tergantung pada respon lokal
terhadap panas. Ini terjadi melalui stimulus ujung syaraf, yang berada pada kulit
mengirimkan impuls dari perifer ke hipotalamus (Potter & Perry, 2006). Reseptor
panas mengaktivasi serat-serat A-beta ketika temperature panas berada antara 4-5
derajat celcius dari temperatur tubuh menjadikan panas mudah beradaptasi,
menyesuaikan temperatur panas dengan tubuh sekitar 5-15 menit (Black &
Hawks, 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Atika Nurrahima (2017) tentang
kompres air garam hangat sebagai upaya mengurangi intensitas nyeri pada sendi
didapatkan hasil bahwa ada perbedaan yang bermakna rata-rata skala nyeri
sebelum dan sesudah diberikan tindakan kompres air garam hangat. Penurunan
intensitas nyeri sendi pada lansia dikarenakan pemberian kompres air garam
hangat pada persendian yang mengalami nyeri dapat memberikan efek
menurunkan spasme otot pada pembuluh darah, melancarkan sirkulasi darah dan
menstimulasi pembuluh darah, mengurangi rasa sakit atau nyeri dan peradangan,
memberikan rasa nyaman dan hangat (Potter & Perry, 2010). Kemudian garam
sendiri mempunyai fungsi khusus di bidang kesehatan terutama karena adanya
garam NaCl adalah untuk melenturkan otot yang sakit, menurunkan gejala
inflamasi, serta menyembuhkan infeksi (Kozier dan Erb, 2009).
Kozier dan Erb (2009) menyatakan bahwa kompres hangat merupakan suatu
tindaan untuk mengatasi nyeri dengan menggunakan teknik konduksi sehingga
dapat menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah, meningkatkan
permeabilitas kapiler, meningkatak metabolisme selular, merelaksasikan otot, dan
meningkatkan aliran darah ke suatu area nyeri. Hal ini didukung dengan
penelitian N (2014) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh kompres hangat
terhadap penurunan intensitas nyeri kepala pada pasien hipertensi.
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Dalam kasus ini pengkajian meliputi keluhan utama klien, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan keluarga, alasan datanng
ke panti, pemeriksaan persistem dengan hasil dapat diketahui klien
mengalami nyeri punggung dengan diagnosa osteoporosis.

2. Diagnose utama adalah nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera


kronis. Diagnosa ini menjadi prioritas karena dapat menimbulkan banyak
masalah.

3. Berdasarkan diagnose keperawaan prioritas yang telah ditegakkan,


intervensi keperawatan mandiri yang dapat diberikan yaitu pemberian
kompres hangat pada daerah yang nyeri agar mengurangi tingkat nyeri.

5.2 Saran
1. Bagi Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit

Hendaknya menggunakan laporan kasus ini sebagai bahan evaluasi dalam


upaya peningkatan mutu pelayanan dalam memberikan asuhan
keperawatan secara komprehensif terutama pada pasien lansia dengan
osteoporosis dengan masalah nyeri kronis.

2. Bagi pengembangan ilmu dan teknologi keperawatan

Hasil laporan kasus ini hendaknya dapat digunakan untuk menambah


keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan untuk pasien
lansia dengan osteoporosis dengan masalah nyeri kronis.

3. Penulis

Penulis dapat memperoleh pengalaman dalam mengapalikasikan ilmu


keperawatan khususnya penatalaksanaan asuhan keperawatan klien lansia
dengan osteoporosis.
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, D.C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner
dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Bulecked, G.M, et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). United


Sates of America: Elsevier.

Davey, P. 2005. At a glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Moorhead, S., et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC). United Sates
of America: Elsevier.
NANDA. 2014. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-2017.
Jakarta: EGC.

National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and skin Disease. 2014. What
is Osteoporosis?. [serial online] http://www.niams.nih.gov/health_info/bone/osteo
porosis/osteoporosis_ff.pdf [05 November 2015].
Pearce, E.C. 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia. Jakarta: Erlangga.

Price, A & Wilson, L. 2004. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.


Jakarta: EGC.
Rachman IA. 2006. Osteoporosis primer (post menopause osteoporosis).
Osteoporosis. Edisi 1. Jakarta: Perhimpunan Osteoporosis Indonesia - CV
Infomedika;.

Rubenstein, et al. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi 6. Jakarta:


Erlangga.

Setiyohadi, B. 2006. Perkembangan terbaru dalam penatalaksanaan osteoporosis.


Osteoporosis. Edisi 1. Jakarta: Perhimpunan Osteoporosis Indonesia – CV
Infomedika;

Soemantri, I. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada


Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
WHO. 2014. Pneumonia. [serial online] http://www.who.int/mediacentre
/factsheets/fs331/en/ [18 April 19]
Nurrahima, Artika. Karya ilmiah, 2017. Pengaruh air garam hangat terhadap
nyeri sendi pada lansia di unit pelayanan sosial lansia wening wardoyo
ungaran. Ejournal.stikestelogorejo.ac.id diakses pada tanggal 21 April 2019
Kozier et al. 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses &
Praktik Edisi 7 Volume 1. Jakarta: EGC
Potter, P.A & Perry, A.G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses dan Praktik. Jakarta:EGC
NOTULENSI SEMINAR KEPERAWATAN STASE GERONTIK
DI UPT PSTW JOMBANG DI PARE
Daftar Pertanyaan:
1. Apabila mengalami nyeri pada malam hari bagaimana penatalaksaan yang
dilakukan?
2. Apakah penatalaksanaan tersebut bisa mengurangi rasa nyeri sedangkan yang
dialami klien sendiri merupakan nyeri yang sudah lama
3. Obat apa yang telah diperikan untuk mengatasi nyeri sendi pada pasien?
Jawaban:
1. Penatalaksanaan mandiri yang bisa dilakukan ketika nyeri pada malam hari
yaitu kompres air garam hangat
2. Berdasarkan catatan perkembangan dan data subjektif pasien setelah
dilakukan teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri sendi yang dialami pasien
3. Obat yang diberikan ke pasien setelah melakukan konfirmasi dengan petugas
PSTW yaitu obat piroxicam yang termasuk golongan nonsteroidal anti-
inflammatory drug (NSAID) yang berfungsi untuk mengurangi rasa sakit,
pembengkakan dan peradangan sendi akibat artrithis.

Anda mungkin juga menyukai