Anda di halaman 1dari 3

Strategi Belajar Bahasa Arab dan Inggris Ala Gontor

“Berbicara menggunakan bahasa Arab hukumnya wajib, seperti wajibnya solat”, seperti itu bunyi
salah satu kata-kata mutiara penyemangat para santri di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo
untuk giat belajar dan berlatih bahasa. Pondok yang secara resmi berdiri pada tahun 1926 itu sangat
istiqomah mempertahankan budaya dan tradisi billingual language, berbahasa Arab dan Inggris di
kalangan para santrinya. Santri Pondok Modern Darussalam Gontor bukan hanya siswa yang belajar
di dalam kelas atau yang duduk menunggu jama’ah solat di masjid sambil membaca Al-qur’an, akan tetapi
semua penghuni pondok yang terdiri dari guru (ustadz) dan murid (tilmidz) adalah santri di sana.

Gontor sangat masyhur sebagai pondok bahasa yang melahirkan alumni-alumni multi talenta.
Beberapa hal yang dilakukan di Gontor dalam upaya mematangkan kemampuan berbahasa para santri
nya adalah sebagai berikut:

1. Minggu Bahasa

Minggu bahasa merupakan strategi yang digunakan sebagai patokanjadwal berbahasa, berbahasa Inggris
atau berbahasa Arab. Pergantian jadwal berbahasa dilakukan setiap dua minggu sekali, dua minggu
fullpara santri ber-muhadatsah atau berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab dan dua minggu
berikutnya para santri ber-conversation atau berdialog dengan menggunakan bahasa Inggris. Pergantian
jadwal berbahasa ini diumumkan oleh bagian penerangan atau bagian pengumuman setelah selesai solat
maghrib berjamaah di Masjid Jami’ Gontor, sehingga tidak ada hujjah atau alasan bagi para santri bahwa
dirinya tidak mengetahui harus berbahasa apa pada suatu waktu tertentu.

2. Berani berbahasa, salah bukanlah dosa.

Keberanian untuk berbicara, mengemukakan pendapat, ataupun berargumentasi adalah hal yang
sangat didukung di Gontor, termasuk di dalamnya keberanian untuk mengemukakannya dengan Bahasa
Arab dan Bahasa Inggris. Santri dari kelas 1 sampai kelas 6 diwajibkan untuk berani berbicara
menggunakan bahasa Arab dan Inggris serta tidak takut salah, karena kesalahan berbahasa akan
diperbaiki bersama, yang penting berani. santri baru tidak langsung diajari mata pelajaran nahwu, sorf,
ataupun grammar, akan tetapi lebih ditekankan kepada keberanian untuk berbicara meskipun salah.
Dengan melakukan kesalahan kita akan tahu bagaimana cara yang tepat dan benar dalam mengucapkan
suatu perkataan.

3. Ilqoou al-mufrodaat

Ilqoou Al-mufrodat (pemberian kosa kata) dilakukan setiap pagi, setiap hari. Para santri diberi 3 kosa kata
dan 3 kata-kata mutiara setiap harinya untuk dihafalkan. Dari tiap kata yang diberikan para santri
diwajibkan memasukkan kata tersebut ke dalam 3 buah kalimat, misalkan santri diberi kata “handsome”,
maka para mereka wajib membuat tiga kalimat dari kata “handsome”, misalnya “I see the handsome boy
ride the motor cycle” atau “the writer who is handsome write the article on the paper”, demikian dan
seterusnya. Kalau dihitung satu tahun ada 364 hari, berarti minimun kosakata yang dihafal setiap tahun
adalah 364x3, yaitu 1092 kosa kata, dan dalam satu tahun pula tiap santri Gontor menulis 364x9 kalimat,
atau 3276 kalimat. Luarbiasa bukan ? metode seperti ini selaras dengan salah satu semboyan dalam
belajar bahasa Arab, “Kalimatun waahidatun fi alfi jumlatin, khoyrun min alfi kalimatin fi jumlatin
waahidatin”, artinya satu kata yang dibuat menjadi seribu kalimat adalah lebih baik dibandingkan seribu
kata di dalam satu kalimat. Kosakata yang diberikan ini menyesuaikan dengan jadwal bahasa yang sedang
berlaku pada minggu itu.

4. Dinding, lemari, pintu, semuanya berbicara

Bila berkeliling gontor dan masuk ke asrama santri kita akan mendapati banyak sekali tempelan-
tempelan berisi tulisan para santri; di lemari, pintu kamar, dinding asrama bahkan di dinding kamar mandi.
Tulisan-tulisan ini berisikan kata-kata mutiara dari para kyai, percakapan berbahasa Arab dan Inggris
maupun kosa kata yang harus dipahami dan dihafalkan para santri. Gontor tidak mengenal istilah santri
menganggur atau bahkan melamun, karena seluruh hidup mereka betul-betul untuk bekerja, belajar dan
membaca.

Berjalan ke dapur sambil membaca, duduk di depan asrama sambil membaca, menuju masjid sambil
membaca, antri mengambil makan sambil membaca, bahkan antri untuk mandipun sambil membaca.
Prinsip yang ditanamkan oleh pengasuh pondok salah satunya adalah arrohatu fii tabaadulil A’mal
(Istirahat adalah pergantian dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain), jadi bukan prinsip istirahat adalah tidur

5. Membawa kamus dan kutaib kemana saja

Santri baru atau tahun pertama di pondok modern darussalam Gontor wajib membawa kamus
kemanapun dia pergi. Tujuannya sederhana, supaya santri yang tidak tahu pengucapan suatu kata segera
mencari dan mendapatkannya di kamus yang dibawa. Sehingga setiap harinya selalu bertambah jumlah
kata yang dihafalkannya. Kewajiban membawa kamus ini hanya berlaku bagi santri baru saja, sedangkan
semua satri (yang baru maupun lama) wajib membawa kutaib. Kutaib adalah buku kecil (buku saku) yang
menjadi catatan harian bahasa. Kata-kata baru yang paginya sudah diberikan oleh pembimbing di asrama
wajib hadir dan tertulis di buku saku ini.

Tujuannya supaya para santri bisa segera mengetahui kosa kata yang wajib dihafal pada hari itu ketika
lupa. Selain itu kutaib berfungsi sebagai buku kecil yang digunakan untuk menuliskan kata baru atau
kalimat baru yang tidak dimengerti, sehingga sesampainya di asrama para santri bisa menanyakan bahasa
arab/inggris yang benar terkait dengan kata tersebut kepada para pembimbing asrama atau mencarinya
sendiri di kamus pribadi.

6. Hukum dan Sanksi

Paling tidak enak memulai pembahasan tentang hukuman dan sanksi, namun adanya sanksi
sangat penting sebagai lantaran atau perantara intropeksi diri dan perbaikan diri. Begitu juga di Gontor
memberlakukan sanksi bagi pelanggar disiplin bahasa dengan berbagai hukuman atau sanksi sebagai
pemicu gelora semangat berbahasa santri. Pelanggaran bahasa yang biasa dilakukan seperti tidak hafal
kosakata yang sudah diberikan pada pagi hari, tidak menuliskan kosakata yang sudah diberikan di kertas
yang sudah ditempelkan di depan pintu lemari, tidak membawa kamus (bagi santri baru), tidak membawa
buku saku, berbicara tidak dengan bahasa yang seharusnya berlaku pada hari itu, berbicara dengan
bahasa Nasional selain Arab dan Inggris, Berbicara menggunakan bahasa Indonesia, dan berbicara
menggunakan bahasa daerah.
Hukuman yang diberikan beraneka ragam; mulai dari menghafalkan kosa kata tambahan
sebanyak 10 kali atau bahkan 1000 kali (tergantung kebijakan pemberi hukuman), berlari keliling asrama
beberapa kali sambil berteriak-teriak “yaa akhiii, intiquu a’robiyyatan” ---wahai saudaraku, berbicaralah
dengan bahasa Arab--- atau ”my brother, speak english”--- saudaraku berbicaralah dengan bahasa Inggris-
-- hukuman ini diberikan bagi mereka yang tidak berbahasa sesuai dengan jadwal yang ditentukan, atau
berpidato menggunakan bahasa Arab dan Inggris di pinggir jalan pondok yang ramai dengan lalu lalang
santri sambil dikalungi tulisan “I have spoke Indonesia”--- saya berbicara menggunakan bahasa Indonesia-
-- ataupun “antiqu jawawiyyatan”---saya berbicara menggunakan bahasa Jawa---, atau juga berpidato di
dapur umum pada waktu makan siang, atau untuk kesalahan berbahasa dengan bercakap-cakap
menggunakan bahasa daerah (bahasa asal) semua hukuman dijalankan ditambah dengan pembotakan
rambut kepala.

Hukuman-hukuman ini selain memberikan efek jera juga berguna untuk meningkatkan
kemampuan bahasa, justru terkadang saya sendiri merasa kangen dengan hukuman yang diberikan pada
saat di Gontor dulu, karena tidak jarang para santri lebih akrab dan lebih bersatu setelah sama-sama
menerima hukuman.

Orang yang dihukum bukan berarti orang yang ndablek atau bandel. Bisa jadi mereka yang
dihukum adalah orang yang aktif, kreatif dan produktif sehingga mencari sensasi dan suasana lain melalui
hukuman. Pak yai pernah bilang, “jangan mengikuti arah arus, tapi menarilah di atas arus”, kalau
penafsiran saya mengenai kata-kata ini adalah jangan pasrah mengikuti keadaan, tapi ciptakanlah
momentum yang indah dari setiap keadaan.. well

Pelarangan berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah bagi para santri ini bukan berarti gontor
tidak nasionalis atau tidak pro bahasa daerah, karena untuk berbicara Indonesia atau daerah sudah
disediakan jadwal khusus pada saat kumpul konsulat yang diadakan satu kali setiap bulannya. Sebenarnya
tidak hanya ini saja, masih banyak lagi upaya Gontor untuk memfasilitasi santri supaya mahir berbahasa,
namun agaknya tidak cukup waktunya untuk menuliskannya pada saat ini.

Sambil menunggu inspirasi, akan saya gali dan kumpulkan data serta membangkitkan lagi memory
ingatan tentang Gontor yang harus segera dituliskan supaya tidak pudar atau bahkan menghilang. Semoga
segera bisa menuliskannya. Yuuk kita nyanyikan dulu “hymne oh pondokku” sambil menundukkan kepala.

Anda mungkin juga menyukai