Edema Paru 1
Edema Paru 1
Disusun oleh:
Winfrey Pangestu
07120080034
Pembimbing:
JAKARTA 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Edema menunjukkan adanya cairan berlebihan di jaringan tubuh. Pada sebagian besar
keadaan, edema terutama terjadi pada kompartemen cairan esktrasel, tapi dapat juga
melibatkan kompartemen cairan intrasel.
Edema intrasel
Dua kondisi yang memudahkan terjadinya pembengkakan intrasel: (1) depresi sistem
metabolism jaringan dan (2) tidak adanya nutrisi sel yang adekuat. Contohnya, bila aliran darah
ke jaringan menurun, pengiriman oksigen dan nutrien berkurang. Jika aliran darah menjadi
sangat rendah untuk mempertahankan metabolisme jaringan normal, maka pompa ion
membran sel menjadi tertekan. Bila hal ini terjadi, ion natrium yang biasanya masuk ke dalam
sel tidak dapat lagi dipompa keluar dari sel, dan kelebihan ion natrium dalam sel menimbulkan
osmosis air ke dalam sel. Kadang-kadang hal ini dapat meningkatkan volume intrasel suatu
jaringan, bahkan pada seluruh tungkai yang iskemik, contohnya sampai dua atau tiga kali
volume normal. Bila hal ini terjadi, biasanya merupakan awal terjadinya kematian jaringan.
Edema intrasel juga dapat terjadi pada jaringan yang meradang. Peradangan biasanya
mempunyai efek langsung pada membran sel yaitu meningkatkan permeabilitas membran, dan
memungkinkan natrium dan ion-ion lain berdifusi masuk ke dalam sel, yang diikuti osmosis
air ke dalam sel.
Edema ekstrasel
Edema ekstrasel terjadi bila ada akumulasi cairan yang berlebihan dalam ruang
ekstrasel. Ada dua penyebab edema esktrasel yang umum dijumpai: (1) kebocoran abnormal
cairan dari plasma ke ruang interstisial dengan melintasi kapiler dan (2) kegagalan sistem
limfatik untuk mengembalikan cairan dari interstitium ke dalam darah. Penyebab klinis
akumulasi cairan interstisial yang paling sering adalah filtrasi cairan kapiler yang berlebihan.
Filtrasi sepanjang kapiler terjadi karena ada tenaga Starling: perbedaan tekanan hidrostatik
intravaskuler dan interstisiil, dan perbedaan tekanan koloid-osmotik intravaskuler dan
interstisiil. Maka aliran cairan:
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung
(gelembung hawa, alveoli). Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan
endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya ± 90m2. Banyaknya gelembung
paru-paru ini kurang lebih 700 juta buah. Paru-paru dibagi dua: Paru-paru kanan
terdiri dari tiga lobus, lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior.
Paru-paru kiri, terdiri dari dua lobus, pulmo sinistra lobus superior dan lobus
inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil bernama segmen. Paru-
paru kiri mempunyai sepuluh segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus superior,
dan lima buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai sepuluh segmen,
yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dua buah segmen pada lobus medial,
dan tiga buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi
menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Diantara lobulus satu dengan yang
lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan
saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkeolus. Di dalam lobulus,
bronkeolus ini bercabang-cabang yang disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus
alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 – 0,3 mm.
Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga
dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat bagian tampuk paru-paru
yang disebut hilus. Pada mediastinum depan terdapat jantung. Paru-paru dibungkus
oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi dua:
1. Pleura visceral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung
membungkus paru.
2. Pleura parietal, yaitu selaput yang melapisi rongga dada luar. Antara kedua
pleura ini terdapat ronggga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan
normal, kavum pleura ini hampa udara, sehingga paru-paru dapat berkembang
kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk
meminyaki permukaan pleura, menghindari gesekan antara paru-paru dan
dinding dada sewaktu ada gerakan bernafas.
(Anonim, 2009)
2. DEFINISI
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh
tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis
mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan
permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau
sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana yang
dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. (Sjaharudin
Harun & Sally Aman Nasution, 2006)
3. MEKANISME
4. KLASIFIKASI
Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Untuk
pengobatan yang tepat tentunya harus diketahui penyakit dasamya.
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto
toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik
sukar dideteksi dini. Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai dengan
transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya
peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi
tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler,
dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan
sesak nafas. Sering kali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya
sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan
kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena
terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah
paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun
hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat
sedikit perubahan saja.
Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak
sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume
paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary
shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang
berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada
keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati. Edema Paru
yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteria
koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal,
yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya.
Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic
phosphodiesterase akan mengurangi edema' paru sekunder akibat
peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadangkadang penderita dengan
Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya
normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan
edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau
kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
Edema paru kardiogenik merupakan gejala yang dramatik kejadian gagal jantung
kiri. Hal ini diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar atrium kiri, peningkatan
volume yang berlebihan di ventrikel kiri, disfungsi diastolic atau sistolik dari
ventrikel kiri atau obstruksi pada pada jalur keluar pada ventrikel kiri. Peningkatan
tekanan di atrium kiri dan tekanan baji paru mengawali terjadinya edema paru
kardiogenik tersebut. Akibat akhir yang ditimbulkan adalah keadaan hipoksia berat.
Bersamaan dengan hal tersebut terjadi juga rasa takut pada pasien karena kesulitan
bernafas, yang berakibat peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sehingga
mengurangi kemampuan pengisian dari ventrikel kiri. Dengan peningkatan rasa
tidak nyaman dan usaha bernapas yang harus kuat akan menambah beban pada
jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun, dan diperberat oleh
keadaan hipoksia. Bila kejadian ini tidak diatasi dengan segera, tingkat mortalitas
edema paru kardiogenik masih tinggi. (Sjaharudin Harun & Sally Aman
Nasution,2006)
8. DIAGNOSIS BANDING
Penderita Payah Jantung Kronik yang mendapat factor presipitasi akan dapat
menderita Payah Jantung Kiri Akut dengan tanda-tanda Edema Paru Kardiogenik.
(Braunwald E Ingram RH Jr., 1988)
11. PENGOBATAN
Ada dua langkah untuk mengatasi edema paru :
1. Langkah pertama:
Letakkan pasien dalam posisi duduk sehingga meningkatkan volume
dan kapasitas vital paru, mengurangi usaha otot pernafasan, dan
menurunkan aliran darah vena balik ke jantung.
Sungkup O2 dengan dosis 6-10 L/menit diberikan bersamaan dengan
pemasangan jalur IV dan monitor EKG (O, I, M). Nonrebreather
mask with reservoir O2 dapat menyalurkan 90-100% O2.
Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi
walaupun saturasi O2 kurang akurat karena terjadi penurunan perfusi
perifer. Oleh karena itu, dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis
gas darah untuk mengetahui ventilasi dan asam basa.
Tekanan ekspirasi akhir positif (positive end expiratory pressure)
dapat diberikan untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki
pertukaran gas.
Kantung nafas-sungkup muka menggantikan simple mask bila
terjadi hipoventilasi.
Continuous positive airway pressure diberikan bila pasien bernafas
spontan dengan sungkup muka atau pipa endotrakea.
Intubasi dilakukan bila PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 60
mmHg walau telah diberikan O2 100%, munculnya gejala hipoksi
serebral, meningkatnya PCO2 dan asidosis secara progresif.
Bila TD 70-100 mmHg disertai gejala-gejala dan tanda syok, berikan
Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV. Bila tidak membaik dengan
Dopamin dosis >20 mcg/kg/mnt segera tambahkan Norephinephrine
0,5-30 mcg/menit IV, sedangkan Dopamine diturunkan sampai 10
mcg/kgBB/menit. Bila tanpa gejala syok berikan Dobutamine 2-20
mcg/kgBB/menit IV.
Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi
edema paru karena mengurangi preload, diberikan 2 tablet masing-
masing 0,4 mg sublingual atau semprot, dapat diulang 5-10 menit
bila TD tetap >90-100 mmHg. Isosorbide semprot oral bisa
diberikan tetapi nitrogliserin pasta transkutan atau isosorbid oral
kurang dianjurkan karena vasokonstriksi perifer tidak
memungkinkan penyerapan yang optimal.
Furosemide adalah obat pokok pada Edema paru, diberikan IV 0,5-
1,0 mg/kg. Efek bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi
venodilatasi sehingga aliran (preload). Efek kedua adalah diuresis
yang mencapai puncaknya setelah 30-60 menit. Efektifitas
furosemide tidak harus dicapai dengan diuresis berlebihan. Bila
furosemide sudah rutin diminum sebelumnya maka dosis bisa
digandakan. Bila dalam 20 menit belum didapat hasil yang
diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal dan dosis bisa lebih tinggi
bila retensi cairan menonjol dan bila fungsi ginjal terganggu.
Morfin sulfate diencerkan dengan 9cc NaCl 0,9%, berikan 2-4 mg
IV bila TD >100mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pokok
pada edema paru namun dianjurkan diberikan di rumah sakit. Efek
venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah
balik ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian
ventrikel kiri (preload), dan juga mempunyai efek vasodilator ringan
sehingga afterload berkurang. Efek sedasi dari morfin sulfat
menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga pernafasan.
(Santoso Karo et al, 2008)
B A B III
PENUTUP
Edema paru ialah kondisi dimana terjadi penumpukan cairan pada sistem respirasi yang
disebabkan oleh ketidakmampuan jantung sebagai pompa darah untuk memenuhi secara
adekuat kebutuhan metabolisme tubuh. Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan
dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan
kembali ke darah atau melalui saluran limfatik.
Edema paru bisa terjadi disebabkan oleh faktor peningkatan tekanan pembuluh kapiler
paru (misalnya pada gagal jantung kiri), tapi edema paru pada ARDS timbul akibat peningkatan
permeabilitas kapiler alveolar.
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara tekanan onkotik (osmotik) dan
hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang pada gagal jantung
menyebabkan edema paru. Sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang
menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik sehingga terjadi edema paru.
Edema paru dibedakan oleh karena sebab kardiogenik dan nonkardiogenik. Hal ini
penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema paru kardiogenik
disebabkan oleh adanya payah jantung kiri apapun sebabnya. Edema paru kardiogenik yang
akut disebabkan oleh adanya payah jantung kiri akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi,
dapat terjadi pula pada penderita payah jantung kiri kronik. Edema paru dapat terjadi oleh
karena banyak mekanisme.
B A B IV
DAFTAR PUSTAKA
2. Hall, Guyton &. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2007.
3. Harun S, Nasution SA. Edema Paru Akut. In : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simandibarata, Setiati S. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.
4. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and noncardiogenic.
In: Han Disease. Textbook pf Cardiovascular Medicine. Braunwald E. (Ed). 3rd ed.
Philadelphia : WB Saunders Co. 1988, pp. 544-60
6. Santoso Karo, SpJP et al. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut
ACLS 2008. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia,
2008.