Anda di halaman 1dari 21

EDEMA PARU

Disusun oleh:

Winfrey Pangestu

07120080034

Pembimbing:

dr. Nurul Ulfah Hayatunnisa Sp.An

DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI

RSPAD GATOT SUBROTO

JAKARTA 2012

BAB I

PENDAHULUAN
Edema menunjukkan adanya cairan berlebihan di jaringan tubuh. Pada sebagian besar
keadaan, edema terutama terjadi pada kompartemen cairan esktrasel, tapi dapat juga
melibatkan kompartemen cairan intrasel.

Edema intrasel

Dua kondisi yang memudahkan terjadinya pembengkakan intrasel: (1) depresi sistem
metabolism jaringan dan (2) tidak adanya nutrisi sel yang adekuat. Contohnya, bila aliran darah
ke jaringan menurun, pengiriman oksigen dan nutrien berkurang. Jika aliran darah menjadi
sangat rendah untuk mempertahankan metabolisme jaringan normal, maka pompa ion
membran sel menjadi tertekan. Bila hal ini terjadi, ion natrium yang biasanya masuk ke dalam
sel tidak dapat lagi dipompa keluar dari sel, dan kelebihan ion natrium dalam sel menimbulkan
osmosis air ke dalam sel. Kadang-kadang hal ini dapat meningkatkan volume intrasel suatu
jaringan, bahkan pada seluruh tungkai yang iskemik, contohnya sampai dua atau tiga kali
volume normal. Bila hal ini terjadi, biasanya merupakan awal terjadinya kematian jaringan.
Edema intrasel juga dapat terjadi pada jaringan yang meradang. Peradangan biasanya
mempunyai efek langsung pada membran sel yaitu meningkatkan permeabilitas membran, dan
memungkinkan natrium dan ion-ion lain berdifusi masuk ke dalam sel, yang diikuti osmosis
air ke dalam sel.

Edema ekstrasel

Edema ekstrasel terjadi bila ada akumulasi cairan yang berlebihan dalam ruang
ekstrasel. Ada dua penyebab edema esktrasel yang umum dijumpai: (1) kebocoran abnormal
cairan dari plasma ke ruang interstisial dengan melintasi kapiler dan (2) kegagalan sistem
limfatik untuk mengembalikan cairan dari interstitium ke dalam darah. Penyebab klinis
akumulasi cairan interstisial yang paling sering adalah filtrasi cairan kapiler yang berlebihan.

Hubungan tekanan koloid osmotik dan tekanan hidrostatik


1. Tekanan Hidrostatik Tekanan permukaan air pada tubuh sama dengan tekanan atmosfir
tetapi tekananmeningkat 1 mmHg untuk setiap jarak 13,6 mm dibawah permukaan.
Tekanan ini diakibatkan oleh berat air yang disebut tekanan hidrostatik. Tekanan
hidrostatik timbul di sistem vaskuler manusia akibat darah pembuluh. Tekanan
hidrostatik jugamempengaruhi tekanan di arteri perifer dan kapiler.Tekanan hidrostatik
dibagi dua, yaitu:
a. Tekanan Hidrostatik Kapiler (Pc) Tekanan yang bekerja pada bagian dalam
dinding kapiler. Tekanan ini cenderung mendorong cairan keluar melalui
membran kapiler. Rata-rata tekanan hidrostatik diujung arteriol kapiler jaringan
adalah 37 mmHg dan semakain menurun menjadi 17mmHg di ujung venula.
b. Tekanan Hidrostatik Cairan Interstitium (Pi )
Tekanan cairan yang bekerja di bagian luar dinding kapiler oleh cairan
interstitium. Tekanan ini cenderung mendorong cairan ke dalam melalui
membran kapiler.
2. Tekanan Osmotik
Osmosis molekul air yang melintasi membran permeabel dapat dihambat dengan
memberi tekanan yang berlawanan arah dengan osmosis. Besar tekanan yang
dibutuhkan untuk hal ini disebut tekanan osmotik. Tekanan osmotik sama dengan
tekanan yang harus diberikan untuk mencegah difusi akhir melalui membran. Semakin
tinggi tekanan osmotik suatu larutan, konsentrasi air semakin rendah tetapi konsentrasi
zat terlarut semakin tinggi.
Tekanan osmotik ada 2, yaitu:
a. Tekanan Koloid Osmotik plasma.
Tekanan osmotik dikenal juga sebagai tekanan onkotik yang merupakan gaya
yang disebabkan oleh dispersi koloid protein-protein plasma. Tekanan ini
cenderung menimbulkan osmosis cairan ke dalam melalui membran kapiler.
Karena terdapat perbedaan konsentrasi antara protein plasma dan cairan
interstititium juga perbedaan konsentrasi air antar dua kompartemen tersebut,
maka menimbulkan efek yang mendorong air dari daerah dengan konsentrasi
air rendah di plasma.
b. Tekanan Koloid Cairan Interstitium.
Tekanan ini menimbulkan osmosis cairan keluar melalui membran
kapiler.Tekanan ini tidak banyak berperan dalam bulk flow karena sebagian
kecil protein plasma yang bocor keluar dinding kapiler dan masuk ke ruang
interstitium dalam keadaan normal dikembalikan ke dalam darah melalui sistem
limfe. Dengan demikian, konsentrasi protein dalam cairan intertitium sangat
rendah dan tekanan osmotik koloid cairan intertitium mendekati nol. Tetapi
apabila protein plasma bocor secara patologis, protein yang bocor menimbulkan
efek osmotik yang akan mendorong perpindahan cairan keluar dari kapiler dan
masuk ke cairan interstisium

Filtrasi sepanjang kapiler terjadi karena ada tenaga Starling: perbedaan tekanan hidrostatik
intravaskuler dan interstisiil, dan perbedaan tekanan koloid-osmotik intravaskuler dan
interstisiil. Maka aliran cairan:

(Guyton & Hall, 2007)


B A B II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI

Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung
(gelembung hawa, alveoli). Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan
endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya ± 90m2. Banyaknya gelembung
paru-paru ini kurang lebih 700 juta buah. Paru-paru dibagi dua: Paru-paru kanan
terdiri dari tiga lobus, lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior.
Paru-paru kiri, terdiri dari dua lobus, pulmo sinistra lobus superior dan lobus
inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil bernama segmen. Paru-
paru kiri mempunyai sepuluh segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus superior,
dan lima buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai sepuluh segmen,
yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dua buah segmen pada lobus medial,
dan tiga buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi
menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Diantara lobulus satu dengan yang
lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan
saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkeolus. Di dalam lobulus,
bronkeolus ini bercabang-cabang yang disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus
alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 – 0,3 mm.
Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga
dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat bagian tampuk paru-paru
yang disebut hilus. Pada mediastinum depan terdapat jantung. Paru-paru dibungkus
oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi dua:
1. Pleura visceral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung
membungkus paru.
2. Pleura parietal, yaitu selaput yang melapisi rongga dada luar. Antara kedua
pleura ini terdapat ronggga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan
normal, kavum pleura ini hampa udara, sehingga paru-paru dapat berkembang
kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk
meminyaki permukaan pleura, menghindari gesekan antara paru-paru dan
dinding dada sewaktu ada gerakan bernafas.

(Anonim, 2009)

2. DEFINISI

Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh
tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis
mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan
permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau
sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana yang
dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. (Sjaharudin
Harun & Sally Aman Nasution, 2006)

3. MEKANISME

Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:


1. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke
dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam
keadaan normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh
darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum
Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi
sistemik.
2. Sistem limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan cairan
balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di daerah
interstisial peribronkial dan perivascular dan dengan peningkatan
kemampuan dari interstisium non alveolar ini, cairan lebih sering meningkat
jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik
tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal
jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan
berat badan 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira
20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai
200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi
peningkatan tekanan di atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan
mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi
filtrate kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah
terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensinya terjadi edema
interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.

(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)

4. KLASIFIKASI

Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus


1. Ketidak-seimbangan Starling Forces:
 Peningkatan tekanan kapiler paru:
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal
meningkat sampai melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang
biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal
dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang
merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut.
Etiologi dari keadaan ini antara lain:
1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan
fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).
2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena
gangguan fungsi ventrikel kiri.
3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion
pulmonary edema).
 Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal,
hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau
penyakit nutrisi. Tetapi hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan
edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru.
Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan
menyebabkan edema paru.
 Peningkatan tekanan negatif intersisial:
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural, contoh yangs erring menjadi etiologi adalah:
1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura
(unilateral).
2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi
saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-
expiratory volume (asma).
 Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara
kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgical tertentu
yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini
daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force.
 Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
 Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO).
 Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan,
alpha-naphthyl thiourea).
 Aspirasi asam lambung.
 Pneumonitis radiasi akut.
 Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
 Disseminated Intravascular Coagulation.
 Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin,
leukoagglutinin.
 Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
 Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik:
 Post Lung Transplant.
 Lymphangitic Carcinomatosis.
 Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
 High Altitude Pulmonary Edema.
 Neurogenic Pulmonary Edema.
 Narcotic overdose.
 Pulmonary embolism
 Eclampsia
 Post cardioversion
 Post Anesthesia
 Post Cardiopulmonary Bypass

Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Untuk
pengobatan yang tepat tentunya harus diketahui penyakit dasamya.

(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution, 2006)

5. MANIFESTASI KLINIK EDEMA PARU KARDIOGENIK

Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto
toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik
sukar dideteksi dini. Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai dengan
transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya
peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi
tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler,
dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan
sesak nafas. Sering kali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.

Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya
sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan
kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena
terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah
paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun
hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat
sedikit perubahan saja.
Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak
sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume
paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary
shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang
berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada
keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati. Edema Paru
yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteria
koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal,
yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya.
Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic
phosphodiesterase akan mengurangi edema' paru sekunder akibat
peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadangkadang penderita dengan
Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya
normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan
edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau
kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)

6. DIAGNOSIS DAN ETIOLOGI

Edema paru kardiogenik merupakan gejala yang dramatik kejadian gagal jantung
kiri. Hal ini diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar atrium kiri, peningkatan
volume yang berlebihan di ventrikel kiri, disfungsi diastolic atau sistolik dari
ventrikel kiri atau obstruksi pada pada jalur keluar pada ventrikel kiri. Peningkatan
tekanan di atrium kiri dan tekanan baji paru mengawali terjadinya edema paru
kardiogenik tersebut. Akibat akhir yang ditimbulkan adalah keadaan hipoksia berat.
Bersamaan dengan hal tersebut terjadi juga rasa takut pada pasien karena kesulitan
bernafas, yang berakibat peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sehingga
mengurangi kemampuan pengisian dari ventrikel kiri. Dengan peningkatan rasa
tidak nyaman dan usaha bernapas yang harus kuat akan menambah beban pada
jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun, dan diperberat oleh
keadaan hipoksia. Bila kejadian ini tidak diatasi dengan segera, tingkat mortalitas
edema paru kardiogenik masih tinggi. (Sjaharudin Harun & Sally Aman
Nasution,2006)

Manefestasi klinis dapat diketahui dari:


Anamnesis. Edema paru kardiak berbeda dari ortopnea dan paroksismal nocturnal
dyspnea, karena kejadiannya yang bisa sangat cepat dan terjadinya
hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan
pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka merasa
ketakutan, batu-batuk dan seperti seorang yang akan tenggelam. Pasien
biasnaya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot
bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi, atau sedikit membungkuk
ke depan, sesak hebat, mungkin disertai sianosis, sering berkeringat
dingin, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (frothy
sputum).
Pemeriksaan fisik. Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, dilatasi alae
nasi, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela intercostal dan fossa
supraklavikula yang menunjukkan tekanan negative intrapleural yang
besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan
terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering
disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan protodiastolik
gallop, bunyi jantung II pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat
meningkat.
Radiologis. Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitas
meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial atau
alveolar.
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution, 2006)
Foto thoraks. Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray
dada. Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area
putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-
pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral
column,dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-
bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh
struktur-struktur tulang dari dinding dada.X-ray dada yang khas
dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak
tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya.
Kasus-kasusyang lebih parah dari pulmonary edema dapat
menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada
paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-
bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian
dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia
mungkin memberikan informasi yang minimal tentang
penyabab yang mungkin mendasarinya.

Gambaran Radiologi yang ditemukan:


1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus)
2. Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3. Kranialisasi vaskuler
4. Hilus suram (batas tidak jelas)
5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil
atau nodul milier)

Gambar 1: Edema Intesrtitial Gambaran underlying disease


(kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).

Gambar 2: Kardiomegali dan edema paru


1. Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
2. Edema “butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)
Gambar 3: Bat’s Wing
1. Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada
paru yang mempunyai kelainan sebelumnya, contoh:
emfisema).
(Faruq, 2012)

Laboratorium. Kelainan pemeriksan laboratorium sesuai dengan penyakit dasar.


Uji diagnostic yang dapat dipergunakan untuk membedakan dengan
penyakit lain misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar BNP
(brain natriuretic peptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cepat dan dapat menyingkirkan penyebab dyspnea lain seperti
asma bronkial akut. Pada kadar BNP plasma yang menengah atau
sedang dan gambaran radiologis yang tidak spesifik, harus dipikirkan
penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung
tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah di katup mitral yang harus
dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti ekokardiografi.
EKG. Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda
iskemia atau infark pada infark miokard akut dengan edema paru.
Pasien dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya
menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema
paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan
gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang
khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan
menghiland dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini
belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat
menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan
akut tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat
perubahan metabolik atau katekolamin.
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
Ekokardiografi. Gambaran penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertrofi
ventrikel (hipertensi), segmental wall motion abnormally (Penyakit
Jantung Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan
atrium kiri. Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai
penyebab yang mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran
dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-
BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yangakan timbul
dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar
jantung. Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter
lebih besar dari beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat
tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain,
nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya
menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya.
Metode-metode yang lebih invasif adakalanya diperlukan
untuk membedakanantara cardiac dan noncardiac pulmonary
edema pada situasi-situasi yang lebih rumit dan kritis.
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang
dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar
dari dada atau leher dan dimajukan melalui kamar-kamar sisi
kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-
kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang
kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini
mempunyai kemampuan secara langsung dalam pembuluh-
pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.
Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten
dengan cardiogenic pulmonary edema,
 Sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya
menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema.
Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan
hanya pada intensive care unit (ICU) setting.
(Faruq, 2012)
Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak
(EPNK)
EPK EPNK
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow meter)
Nadi kuat
S3 gallop/kardiomegali (+) (-)
JVP Meningkat Tak meningkat
Ronki Basah Kering
Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)

7. DIAGNOSIS BANDING DENGAN ASMA BRONKHIAL

Kadang-kadang sulit membedakan Edema Paru Kardiogenik dengan Asma


Bronkhiale yang berat, karena pada keduanya terdapat sesak napas yang hebat,
pulsus paradoksus, lebih enak posisi duduk dan wheezing merata yang menyulitkan
auskultasi jantung. Pada Asma Bronkhiale terdapat riwayat serangan asma yang
sama dan biasanya penderita sudah tahu penyakitnya. Selama serangan akut
penderita tidak selalu banyak berkeringat dan hipoksia arterial kalau ada tidak
cukup menimbulkan sianosis. Sebagai tambahan, dada nampak hiperekspansi,
hipersonor dan penggunaan otot pernapasan sekunder nampak
nyata. Wheezing nadanya lebih tinggi dan musikal, suara tambahan lain seperti
ronkhi tidak menonjol. Penderita Edema Paru Kardiogenik sering mengeluarkan
banyak keringat dan sianotik akibat adanya desaturasi darah arteri dan penurunan
aliran darah ke kulit. Perkusi paru sering redup, tidak ada hiperekspansi, pemakaian
otot pernapasan sekunder juga tidak begitu menonjol dan selain wheezing terdengar
ronkhi basah. Gambaran radiologi paru menunjukkan adanya gambaran edema paru
yang membedakan dengan asma bronkhiale. Setelah penderita sembuh, gambaran
edema paru secara radiologi menghilang lebih lambat dibandingkan penurunan
tekanan kapiler pasak Paru. (Braunwald E Ingram RH Jr., 1988)

8. DIAGNOSIS BANDING

Untuk membedakan edema paru kardiogenik dengan edema paru nonkardiogenik


secara pasti ialah dengan mengukur tekanan kapiler pasak pare dengan memasang
kateter Swan-Ganz. Pada penderita dengan tekanan kapiler pasak paru atau tekanan
diastolik arteri pulmonalis melebihi 25 mmHg (atau melebihi 30mmHg pada
penderita yang sebelumnya terdapat peningkatan kronik tekanan kapiler pant) dan
dengan gambaran klinik edema paru, sangat mencurigakan edema paru
kardiogenik.

9. DIAGNOSIS PENYAKIT DASAR

Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiogenik dibagi


menjadi 3 kelompok:
1. Peningkatan Afterload (Pressure overload):
Terjadi beban yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik.
Contohnya ialah Hipertensi dan Stenosis Aorta.
2. Peningkatan preload (Volume overload):
Terjadi beban yang berlebihan saat diastolik. Contohnya ialah Insufisiensi
Mitral, Insufisiensi Aorta, dan penyakit jantung dengan left-to-right shunt
(Ventricular Septal Defect).
3. Gangguan Kontraksi Miokardium Primer:
Pada Infark Miokard Akut jaringan otot yang sehat berkurang, sedangkan
pada Kardiomiopati Kongestif terdapat gangguan kontraksi miokardium
secara umum. (Ruggie N, 1986)

10. DIAGNOSIS FAKTOR PRESIPITASI

Penderita Payah Jantung Kronik yang mendapat factor presipitasi akan dapat
menderita Payah Jantung Kiri Akut dengan tanda-tanda Edema Paru Kardiogenik.
(Braunwald E Ingram RH Jr., 1988)

11. PENGOBATAN
Ada dua langkah untuk mengatasi edema paru :
1. Langkah pertama:
 Letakkan pasien dalam posisi duduk sehingga meningkatkan volume
dan kapasitas vital paru, mengurangi usaha otot pernafasan, dan
menurunkan aliran darah vena balik ke jantung.
 Sungkup O2 dengan dosis 6-10 L/menit diberikan bersamaan dengan
pemasangan jalur IV dan monitor EKG (O, I, M). Nonrebreather
mask with reservoir O2 dapat menyalurkan 90-100% O2.
 Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi
walaupun saturasi O2 kurang akurat karena terjadi penurunan perfusi
perifer. Oleh karena itu, dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis
gas darah untuk mengetahui ventilasi dan asam basa.
 Tekanan ekspirasi akhir positif (positive end expiratory pressure)
dapat diberikan untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki
pertukaran gas.
 Kantung nafas-sungkup muka menggantikan simple mask bila
terjadi hipoventilasi.
 Continuous positive airway pressure diberikan bila pasien bernafas
spontan dengan sungkup muka atau pipa endotrakea.
 Intubasi dilakukan bila PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 60
mmHg walau telah diberikan O2 100%, munculnya gejala hipoksi
serebral, meningkatnya PCO2 dan asidosis secara progresif.
 Bila TD 70-100 mmHg disertai gejala-gejala dan tanda syok, berikan
Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV. Bila tidak membaik dengan
Dopamin dosis >20 mcg/kg/mnt segera tambahkan Norephinephrine
0,5-30 mcg/menit IV, sedangkan Dopamine diturunkan sampai 10
mcg/kgBB/menit. Bila tanpa gejala syok berikan Dobutamine 2-20
mcg/kgBB/menit IV.
 Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi
edema paru karena mengurangi preload, diberikan 2 tablet masing-
masing 0,4 mg sublingual atau semprot, dapat diulang 5-10 menit
bila TD tetap >90-100 mmHg. Isosorbide semprot oral bisa
diberikan tetapi nitrogliserin pasta transkutan atau isosorbid oral
kurang dianjurkan karena vasokonstriksi perifer tidak
memungkinkan penyerapan yang optimal.
 Furosemide adalah obat pokok pada Edema paru, diberikan IV 0,5-
1,0 mg/kg. Efek bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi
venodilatasi sehingga aliran (preload). Efek kedua adalah diuresis
yang mencapai puncaknya setelah 30-60 menit. Efektifitas
furosemide tidak harus dicapai dengan diuresis berlebihan. Bila
furosemide sudah rutin diminum sebelumnya maka dosis bisa
digandakan. Bila dalam 20 menit belum didapat hasil yang
diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal dan dosis bisa lebih tinggi
bila retensi cairan menonjol dan bila fungsi ginjal terganggu.
 Morfin sulfate diencerkan dengan 9cc NaCl 0,9%, berikan 2-4 mg
IV bila TD >100mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pokok
pada edema paru namun dianjurkan diberikan di rumah sakit. Efek
venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah
balik ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian
ventrikel kiri (preload), dan juga mempunyai efek vasodilator ringan
sehingga afterload berkurang. Efek sedasi dari morfin sulfat
menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga pernafasan.
(Santoso Karo et al, 2008)
B A B III

PENUTUP

Edema paru ialah kondisi dimana terjadi penumpukan cairan pada sistem respirasi yang
disebabkan oleh ketidakmampuan jantung sebagai pompa darah untuk memenuhi secara
adekuat kebutuhan metabolisme tubuh. Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan
dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan
kembali ke darah atau melalui saluran limfatik.
Edema paru bisa terjadi disebabkan oleh faktor peningkatan tekanan pembuluh kapiler
paru (misalnya pada gagal jantung kiri), tapi edema paru pada ARDS timbul akibat peningkatan
permeabilitas kapiler alveolar.
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara tekanan onkotik (osmotik) dan
hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang pada gagal jantung
menyebabkan edema paru. Sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang
menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik sehingga terjadi edema paru.
Edema paru dibedakan oleh karena sebab kardiogenik dan nonkardiogenik. Hal ini
penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema paru kardiogenik
disebabkan oleh adanya payah jantung kiri apapun sebabnya. Edema paru kardiogenik yang
akut disebabkan oleh adanya payah jantung kiri akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi,
dapat terjadi pula pada penderita payah jantung kiri kronik. Edema paru dapat terjadi oleh
karena banyak mekanisme.
B A B IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Shvoong.com. Desember 24, 2009. http://id.shvoong.com/medicine-and-


health/1957902-anatomi-paru-paru/#ixzz1tGCI0p2T (accessed April 27, 2012).

2. Hall, Guyton &. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2007.

3. Harun S, Nasution SA. Edema Paru Akut. In : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simandibarata, Setiati S. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.
4. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and noncardiogenic.
In: Han Disease. Textbook pf Cardiovascular Medicine. Braunwald E. (Ed). 3rd ed.
Philadelphia : WB Saunders Co. 1988, pp. 544-60

5. Faruq. scribd.com. 2010. http://www.scribd.com/doc/41785545/Edema-Paru-


Sken4blok18-by-Faruq (accessed April 28, 2012).

6. Santoso Karo, SpJP et al. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut
ACLS 2008. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia,
2008.

Anda mungkin juga menyukai