A. DEFINISI
Thalasemia adalah kelainan kongenital, anomali pada eritropoeisis yang
diturunkan dimana hemoglobin dalam eritrosit sangat berkuarang, oleh
karenanya akan terbentuk eritrosit yang relatif mempunyai fungsi yangsedikit
berkurang (Supardiman, 2002).
Thalasemia merupakan kelompok kelainan genetik heterogen yang timbul
akibat berkurangnya kecepatan sintesis rantai alpha atau beta (Hoffbrand,
2005).
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi
sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah
normal (120 hari). Akibatnya penderita thalasemia akan mengalami gejala
anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur,
nafsu makan hilang, dan infeksi berulang. Thalasemia terjadi akibat
ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk
memproduksi hemoglobin sebagaimanamestinya. Hemoglobin merupakan
protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah dan berfungsi
sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian
tubuh yang membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi hemoglobin
berkurang atau tidak ada, maka pasokan energi yang dibutuhkan untuk
menjalankan fungsi tubuh tidak dapat terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun
terganggu dan tidak mampu lagi menjalankan aktivitasnya secara normal.
Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat
dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam
amino yang membentuk hemoglobin (Ganie, 2004).
Nama Thalassemia berasal dari gabungan dua kata Yunani
yaitu thalassa yang berarti lautan dan anaemia (“weak blood”).
Perkataan Thalassa digunakan karena gangguan darah ini pertama kali
ditemui pada pasien yang berasal dari negara-negara sekitar Mediterranean
(TIF, 2010). Istilah Thalassemia sekarang digunakan pada kelompok
hemoglobinopati yang diklasifikasi berdasarkan rantai globin spesifik di
mana sintesisnya terganggu (Chen, 2006). Nama Mediterranean anemia yang
diperkenalkan oleh Whipple sebenarnya tidak tepat karena kondisi ini bisa
ditemuikan di mana saja dan sesetengah tipe thalasemia biasanya endemik
pada daerah geografi tertentu (Paediatric Thalassemia, Medscape).
Menurut Setianingsih (2008), Talasemia merupakan penyakit genetik yang
menyebabkan gangguan sintesis rantai globin, komponen utama molekul
hemoglobin (Hb).
Talasemia adalah gangguan pembuatan hemoglobin yang diturunkan.
Pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara
1925-1927. Kata Talasemia dimaksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut
dengan penduduk Mediterania, dalam bahasa Yunani Thalasa berarti laut.
(Permono, & Ugrasena, 2006)
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi
sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah
normal (120 hari). Akibatnya penderita thalasemia akan mengalami gejala
anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur,
nafsu makan hilang, dan infeksi berulang (NUCLEUS PRECISE, 2010)
Thalasemia adalah kelainan herediter berupa defisiensi salah satu rantai
globin pada hemoglobin sehingga dapat menyebabkan eristrosit imatur (cepat
lisis) dan menimbulkan anemia (Fatimah, 2009)
Thalassemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang
dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini
pertama kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama
sekali ditemukan oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas
B. Cooley pada tahun 1925. Beliau menjumpai anak-anak yang menderita
anemia dengan pembesaran limpa setelah berusia satu tahun. Selanjutnya,
anemia ini dinamakan anemia splenic atau eritroblastosis atau anemia
mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya.
(Weatherall, 1965 cit Ganie 2005).
Thalasemia adalah kelompok dari anemia herediter yang diakibatkan oleh
berkurang nya sintesis salah satu rantai globin yang mengkombinasikan
hemoglobin (HbA, α 2 β 2). Disebut hemoglobinopathies, tidak terdapat
perbedaan kimia dalam hemoglobin. Nolmalnya HbA memiliki rantai
polipeptida α dan β, dan yang paling penting thalasemia dapat ditetapkan
sebagai α - atau β –thalassemia (Rudolph et al, 2002)
Thalassemia merupakan golongan penyakit anemia hemolitik yang
diturunkan secara autosom resesif, disebabkan mutasi gen tunggal, akibat
adanya gangguan pembentukan rantai globin alfa atau beta.
Individu homozigot atau compound heterozygous, double
heterozygous bermanifestasi sebagai thalassemia beta mayor yang
membutuhkan transfusi darah secara rutin dan terapi besi untuk
mempertahankan kualitas hidupnya (Munthe, 1997 cit Bulan 2009)
Thalassemia adalah suatu kelainan genetik darah dimana produksi
hemoglobin yang normal tertekan karena defek sintesis satu atau lebih rantai
globin. Thalassemia beta mayor terjadi karena defisiensi sintesis rantai ß
sehingga kadar Hb A(α2ß2) menurun dan terdapat kelebihan dari rantai α,
sebagai kompensasi akan dibentuk banyak rantai γ dan δ yang akan
bergabung dengan rantai α yang berlebihan sehingga pembentukan Hb F
(α2γ2) dan Hb A2 (α2δ2) meningkat (Weatherall, 2004)
B. KLASIFIKASI
Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem tetapi pada Thalassemia
terjadi gangguan produksi rantai α atau β. Dua kromosom 11 mempunyai satu
gen β pada setiap kromosom (total dua gen β) sedangkan dua kromosom 16
mempunyai dua gen α pada setiap kromosom (total empat gen α). Oleh
karena itu satu protein Hb mempunyai dua subunit α dan dua subunit β.
Secara normal setiap gen globin α memproduksi hanya separuh dari kuantitas
protein yang dihasilkan gen globin β, menghasilkan produksi subunit protein
yang seimbang.
Thalassemia terjadi apabila gen globin gagal, dan produksi protein globin
subunit tidak seimbang. Abnormalitas pada gen globin α akan menyebabkan
defek pada seluruh gen, sedangkan abnormalitas pada gen rantai globin β
dapat menyebabkan defek yang menyeluruh atau parsial (Wiwanitkit, 2007).
a. Thalassemia α
Oleh karena terjadi duplikasi gen α (HBA1 dan HBA2) pada kromosom
16, maka akan terdapat total empat gen α (αα/αα). Delesi gen sering terjadi
pada Thalassemia α maka terminologi untuk Thalassemia α tergantung
terhadap delesi yang terjadi, apakah pada satu gen atau dua gen. Apabila
terjadi pada dua gen, kemudian dilihat lokai kedua gen yang delesi berada
pada kromosom yang sama (cis) atau berbeda (trans). Delesi pada satu gen α
dilabel α+ sedangkan pada dua gen dilabel αo (Sachdeva, 2006).
1) Delesi satu gen α / silent carrier/ (-α/αα)
Kehilangan satu gen memberi sedikit efek pada produksi protein α sehingga
secara umum kondisinya kelihatan normal dan perlu pemeriksaan
laboratorium khusus untuk mendeteksinya. Individu tersebut dikatakan
sebagai karier dan bisa menurunkan kepada anaknya (Wiwanitkit, 2007).
2) Delesi dua gen α / Thalassemia α minor (--/αα) atau (-α/-α)
Tipe ini menghasilkan kondisi dengan eritrosit hipokromik mikrositik dan
anemia ringan. Individu dengan tipe ini biasanya kelihatan dan merasa normal
dan mereka merupakan karier yang bisa menurunkan gen kepada anak
(Wiwanitkit, 2007).
3) Delesi 3 gen α / Hemoglobin H (--/-α)
Pada tipe ini penderita dapat mengalami anemia berat dan sering memerlukan
transfusi darah untuk hidup. Ketidakseimbangan besar antara produksi rantai
α dan β menyebabkan akumulasi rantai β di dalam eritrosit menghasilkan
generasi Hb yang abnormal yaitu Hemoglobin H (Hb H/ β4) (Wiwanitkit,
2007).
4) Delesi 4 gen α / Hemoglobin Bart (--/--)
Tipe ini adalah paling berat, penderita tidak dapat hidup dan biasanya
meninggal di dalam kandungan atau beberapa saat setelah dilahirkan, yang
biasanya diakibatkan oleh hydrop fetalis. Kekurangan empat rantai α
menyebabkan kelebihan rantai γ (diproduksi semasa kehidupan fetal) dan
rantai β menghasilkan masing-masing hemoglobin yang abnormal yaitu
Hemoglobin Barts (γ4 / Hb Bart, afiniti terhadap oksigen sangat tinggi)
(Wiwanitkit, 2007) atau Hb H (β4, tidak stabil) (Sachdeva, 2006).
b. Thalasemia β
Thalassemia β disebabkan gangguan pada gen β yang terdapat pada
kromosom 11 (Rodak, 2007). Kebanyakkan dari mutasi Thalassemia β
disebabkan point mutation dibandingkan akibat delesi gen (Chen, 2006).
Penyakit ini diturunkan secara resesif dan biasanya hanya terdapat di daerah
tropis dan subtropis serta di daerah dengan prevalensi malaria yang endemik
(Wiwanitkit, 2007).
o Thalassemia βo
Tipe ini disebabkan tidak ada rantai globin β yang dihasilkan (Rodak,
2007). Satu pertiga penderita Thalassemia mengalami tipe ini (Chen,
2006).
o Thalassemia β+
Pada kondisi ini, defisiensi partial pada produksi rantai globin β terjadi.
Sebanyak 10-50% dari sintesis rantai globin β yang normal dihasilkan
pada keadaan ini (Rodak, 2007).
C. ETIOLOGI
Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan
secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut
sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia
kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur
pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya
sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat
thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat,
sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi
dengan baik). Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan
pengobatan.
Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan
penderita thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit
tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat
thalassemia. Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen
globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang
tuanya masing-masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap
pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si
anak mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari bapak
dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak
hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya
membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen
globin beta normal dari kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah penyakit
keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan
suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik.
Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassaemia trait/pembawasifat
Thalassaemia, maka tidak mungkin mereka menurunkan Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia atau Thalassaemia mayor kepada anak-anak
mereka. Semua anak-anak mereka akan mempunyai darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu
dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan
menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang
diantara anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia mayor. Orang
dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah sehat, mereka
dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-anaknya tanpa ada
yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga memiliki
darah yang normal, atau mereka mungkin juga menderita Thalassaemia
mayor
Skema Penurunan Gen Thalasemia Mendel
D. PATOFISIOLOGI
1. Hemoglobin
Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin.
Hem terdiri dari zat besi (atom Fe) sedangkan globin suatu protein yang
terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin manusia normal pada orang
dewasa terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) yaitu HbA (α2β2
= 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) dan sisanya HbF (α2γ2) kira-
kira 0,5%.
Sintesa globin ini telah dimulai pada awal kehidupan masa embrio
di dalam kandungan sampai dengan 8 minggu kehamilan dan hingga akhir
kehamilan. Organ yang bertanggung jawab pada periode ini adalah hati,
limpa, dan sumsum tulang
Karena rantai globin merupakan suatu protein maka sintesisnya
dikendalikan oleh gen tertentu. Ada 2 kelompok gen yang bertanggung
jawab dalam proses pengaturannya, yaitu kluster gen globin-α yang
terletak pada lengan pendek autosom 16 (16 p 13.3) dan kluster gen
globin-β yang terletak pada lengan pendek autosom 11 (11 p 15.4). Kluster
gen globin-α secara berurutan mulai dari 5’ sampai 3’ yaitu gen 5’-ζ2-ψζ1-
αψ2-αψ1-α2-α1-θ1-3’ (Evans et al., 1990). Sebaliknya kluster gen globin-
β terdiri dari gen 5’-ε-Gγ-Aγ-ψβ-δ-β-3’
Hemoglobin normal adalah terdiri dari dari Hb-A dengan dua
polipeptida rantai alpha dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu
tidak adanya atau kurangnya rantai beta dalam molekul hemoglobin,
sehingga ada gangguan kemampuan eritrosit membawa oksigen. Ada
suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpha, tetapi rantai beta
memproduksi secara terus-menerus sehingga menghasilkan hemoglobin
defektif. Ketidakseimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan
dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis
dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
2. Patofisiologi
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan
kelebihan rantai beta dan gama ditemukan pada alpha thalasemia.
Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presippitasi dalam sel eritrosit.
Globin intra eritrosik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai
rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-
badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis.
Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi
RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow,
produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan
cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi
hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak
adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC
menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder.
Penyebab primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang
tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab
sekunder adalah karena defisiensi asam folat,bertambahnya volume
plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi
eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati. Penelitian
biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga
produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Tejadinya
hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi
berulang,peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang
tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.
Pathway :
E. GEJALA KLINIS
Kelainan genotip Talasemia memberikan fenotip yang khusus, bervariasi,
dan tidak jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan (Atmakusuma, 2009).
Semua Talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi,
tergantung jenis rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya
(mayor atau minor). Sebagian besar penderita mengalami anemia yang
ringan, khususnya anemia hemolitik (Tamam, 2009)
Talasemia-β dibagi tiga sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru
ditentukan, yakni (1) Talasemia-β minor/heterozigot: anemia hemolitik
mikrositik hipokrom. (2) Talasemia-β mayor/homozigot: anemia berat yang
bergantung pada transfusi darah. (3) Talasemia-β intermedia: gejala di antara
Talasemia β mayor dan minor. Terakhir merupakan pembawa sifat
tersembunyi Talasemia-β (silent carrier) (Atmakusuma, 2009).
Empat sindrom klinik Talasemia-α terjadi pada Talasemia-α, bergantung
pada nomor gen dan pasangan cis atau trans dan jumlah rantai-α yang
diproduksi. Keempat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi
Talasemia-α (silent carrier), Talasemia-α trait (Talasemia-α minor),
HbH diseases dan Talasemia-α homozigot (hydrops fetalis) (Atmakusuma,
2009).
Pada bentuk yang lebih berat, khususnya pada Talasemia-β mayor,
penderita dapat mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel darah,
pembesaran limpa dan hati akibat anemia yang lama dan berat, perut
membuncit karena pembesaran kedua organ tersebut, sakit kuning (jaundice),
luka terbuka di kulit (ulkus/borok), batu empedu, pucat, lesu, sesak napas
karena jantung bekerja terlalu berat, yang akan mengakibatkan gagal jantung
dan pembengkakan tungkai bawah. Sumsum tulang yang terlalu aktif dalam
usahanya membentuk darah yang cukup, bisa menyebabkan penebalan dan
pembesaran tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang
menjadi lemah dan mudah patah. Anak-anak yang menderita talasemia akan
tumbuh lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan
anak lainnya yang normal. Karena penyerapan zat besi meningkat dan
seringnya menjalani transfusi, maka kelebihanzat besi bisa terkumpul dan
mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal
jantung (Tamam, 2009).
Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awalnya
tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan
pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Anak
tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai demam
berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan
pembesaran jantung. Terdapat hepatosplenomegali, ikterus ringan mungkin
ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk
muka mongoloid akibat system eritropoesis yang hiperaktif. Adanya
penipisan tulang panjang, tangan dan kaki dapat menimbulkan fraktur
patologis. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng
pada tungkai, dan batu empedu.
1. Thalasemia Mayor:
o Pucat
o Lemah
o Anoreksia
o Sesak napas
o Peka rangsang
o Tebalnya tulang kranial
o Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali
o Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang
o Disritmia
o Epistaksis
o Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
o Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
o Kadar besi serum tinggi
o Ikterik
o Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung lebar
dan datar.
2. Thalasemia Minor
o Pucat
o Hitung sel darah merah normal
o Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di bawah
kadar normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik sedang
F. KOMPLIKASI
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi
darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi
dalam darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh
seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini menyebabkan
gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah
ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda
hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama
disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung (Hassan dan Alatas, 2002)
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah
diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan
sirosis hepatis, diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat
apabila ada hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin (Herdata,
2008)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening
test dan definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai
gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier.
Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis
Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara
dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida
dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas
formasi pori-pori pada membran yang regang bervariasi mengikut
order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007).
Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan
dan berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah
91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false
negative rate 8.53% (Wiwanitkit, 2007).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya
dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai
diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Wiwanitkit,
2007).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan
parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose
seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100,
MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β
(Wiwanitkit, 2007).
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di
dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb
A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar
ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal
bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia
minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2%
dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal
membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J
(Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb
C. Pemeriksaan menggunakan high performance liquid
chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb
A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna
untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi
hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat
terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit, 2007).
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe
Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang berlaku
(Wiwanitkit, 2007).
H. PENCEGAHAN
WHO menganjurkan dua cara pencegahan yakni pemeriksaan
kehamilan dan penapisan (screening) penduduk untuk mencari pembawa
sifat Talasemia. Program itulah yang diharapkan dimasukkan ke program
nasional pemerintah. Menurut Hoffbrand (2005) konseling genetik penting
dilakukan bagi pasangan yang berisiko mempunyai seorang anak yang
menderita suatu defek hemoglobin yang berat. Jika seorang wanita hamil
diketahui menderita kelainan hemoglobin, pasangannya harus diperiksa
untuk menentukan apakah dia juga membawa defek. Jika keduanya
memperlihatkan adanya kelainan dan ada resiko suatu defek yang serius
pada anak (khususnya Talasemia-β mayor) maka penting untuk
menawarkan penegakkan diagnosis antenatal.
1. Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
a. Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah, penapisan
populasi dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot
menikah, 1-4 anak mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan
heterozigot.
b. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa
diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis
prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus dengan Talasemia β berat.
Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda berdasarkan ras.
Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit, bila MCV dan MCH sesuai
gambaran Talasemia, perkiraan kadar HbA2 harus diukur, biasanya meningkat
pada Talasemia β. Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa
menganalisis gen rantai α. Penting untuk membedakan Talasemia αo(-/αα) dan
Talasemia α+(-α/-α), pada kasus pasien tidak memiliki risiko mendapat keturunan
Talesemia αo homozigot. Pada kasus jarang dimana gambaran darah
memperlihatkan Talesemia β heterozigot dengan HbA2 normal dan gen rantai α
utuh, kemungkinannya adalah Talasemia α non delesi atau Talasemia β dengan
HbA2 normal. Kedua hal ini dibedakan dengan sintesis rantai globin dan analisa
DNA. Penting untuk memeriksa Hb elektroforase pada kasus-kasus ini untuk
mencari kemungkinan variasi struktural Hb (Permono, & Ugrasena, 2006).
2. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis rantai globin
pada sampel darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-
20 minggu, meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan
dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel villi chorion
(CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu. Tindakan ini
berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan pada janin
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik CVS,
mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis pertama
yang digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin
menggunakan restriction fragment length polymorphism (RELPs),
dikombinasikan dengan analisis linkage atau deteksi langsung dari mutasi.
Yang lebih baru, perkembangan dari polymerase chain reaction (PCR) untuk
mengidentifikasikan mutasi yang merubah lokasi pemutusan oleh enzim
restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan untuk mendeteksi berbagai bentuk α
dan β dari Talasemia secara langsung dengan analisis DNA janin.
Perkembangan PCR dikombinasikan dengan kemampuan oligonukleotida
untuk mendeteksi mutasi individual, membuka jalan bermacam pendekatan
baru untuk memperbaiki akurasi dan kecepatan deteksi karier dan diagnosis
prenatal. Contohnya diagnosis menggunakan hibridasi dari ujung
oligonukleotida yang diberi label 32P spesifik untuk memperbesar region gen
globin β melalui membran nilon. Sejak sekuensi dari gen globin β dapat
diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat dibatasi sampai 1 jam dan
seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2 jam (Permono, & Ugrasena,
2006).
Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis
prenatal. Contohnya, tehnik ARMS (Amplification refractory mutation
system), berdasarkan pengamatan bahwa pada beberapa kasus,
oligonukleotida (Permono, & Ugrasena, 2006)
Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini, kurang
dari 1%. Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada DNA janin,
non-paterniti, dan rekombinasi genetik jika menggunakan RELP linkage
analysis (Permono, & Ugrasena, 2006).
Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya, maka
pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting dibanding pengobatan.
Program pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa strategi, yakni (1)
penapisan (skrining) pembawa sifat Talasemia, (2) konsultasi genetik (genetic
counseling), dan (3) diagnosis prenatal. Skrining pembawa sifat dapat
dilakukan secara prospektif dan retrospektif. Secara prospektif berarti
mencari secara aktif pembawa sifat thalassemia langsung dari populasi
diberbagai wilayah, sedangkan secara retrospektif ialah menemukan
pembawa sifat melalui penelusuran keluarga penderita Talasemia (family
study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasehat-nasehat
tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan yang
baik untuk Talasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan tersebut.
Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik terutama
di negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan prospektif
memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara usaha
program pencegahan di negara berkembang dengan negara maju. Program
pencegahan retrospektif akan lebih mudah dilaksanakan di negara
berkembang daripada program prospektif.
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain: (Rudolph, 2002; Hassan dan Alatas,
2002; Herdata, 2008)
1. Medikamentosa
o Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar
feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%,
atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg
berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam
dengan minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
o Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi.
o Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
o Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah
2. Bedah
3. Suportif
o Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan
ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan
tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan
perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red
cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
J. PENGKAJIAN
1. Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah
(mediterania). Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri,
thalassemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan
penyakit darah yang paling banyak diderita.
2. Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada
thalasemia minor yang gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru datang
berobat pada umur sekitar 4 – 6 tahun.
3. Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi
lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi
sebagai alat transport.
4. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan
terhadap tumbuh kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh
hipoksia jaringan yang bersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk
thalassemia mayor. Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk umurnya
dan ada keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada
pertumbuhan rambut pubis dan ketiak. Kecerdasan anak juga dapat
mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor sering terlihat
pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5. Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga
berat badan anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
6. Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur /
istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah
7. Riwayat kesehatan keluarga
Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang tua
yang menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita
thalassemia, maka anaknya berisiko menderita thalassemia mayor. Oleh
karena itu, konseling pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena
berfungsi untuk mengetahui adanya penyakit yang mungkin disebabkan
karena keturunan.
8. Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)
Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya
faktor risiko thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat.
Apabila diduga faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan mengenai
risiko yang mungkin dialami oleh anaknya nanti setelah lahir. Untuk
memestikan diagnosis, maka ibu segera dirujuk ke dokter.
9. Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya
adalah:
a. Keadaan umum
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah
aanak seusianya yang normal.
b. Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk
khas, yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid,
yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata lebar, dan
tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
e. Dada
Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya
pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik.
f. Perut
Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa
dan hati ( hepatosplemagali).
g. Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya kurang
dari normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya.
h. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya
pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin
anak tidak dapat mencapai tahap adolesense karena adanya anemia
kronik.
i. Kulit
Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering
mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti
besi akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit
(hemosiderosis).
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan berkurangnya
komponen seluler yang menghantarkan oksigen/nutrisi
2. Intoleransi aktifitas b.d tidak seimbangnya kebutuhan dan suplai oksigen
3. PK: Perdarahan
4. Ketidakseimbangan nitrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
5. Kelelahan b.d malnutrisi, kondisi sakit
6. Nyeri b.d penyakit kronis
7. Kecemasan (orang tua) b.d kurang pengetahuan
L. RENCANA KEPERAWATAN
TUJUAN INTERVENSI
Aktifitas:
3. Manajemen cairan
Definisi: Mempertahankan
keseimbangan cairan dan
mencegah komplikasi akibat
kadar cairan yang abnormal.
Aktifitas:
2. Terapi Oksigen
Definisi: Mengelola
pemberian oksigen dan
memonitor keefektifannya
Aktifitas:
1. Monitor Nutrisi
Definisi : Mengumpulkan
dan menganalisis data pasien
untuk mencegah atau
meminimalkan malnutrisi
Aktifitas:
2. Terapi Oksigen
Definisi: Mengelola
pemberian oksigen dan
memonitor keefektifannya
Aktifitas:
3. Manajemen cairan
Definisi: Mempertahankan
keseimbangan cairan dan
mencegah komplikasi
akibat kadar cairan yang
abnormal.
Aktifitas:
1. Persiapkan pemberian
transfusi (seperti mengecek
darah dengan identitas
pasien, menyiapkan
terpasangnya alat transfusi)
2. Awasi pemberian
komponen darah/transfusi
3. Awasi respon klien selama
pemberian
komponen darah
4. Monitor hasil laboratorium
(kadar Hb, Besi serum)
2. Pemberian analgetik
Definisi: Penggunaan agen
farmakologi untuk
menghentikan atau
mengurangi nyeri.
Aktifitas:
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat.
2. Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan
frekuensi
3. Cek riwayat alergi pada
pasien
4. Kolaborasi pemilihan
analgesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri, rute
pemberian, dan dosis
optimal
5. Monitor tanda vital sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik
6. Kolaborasi pemberian
analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
7. Monitor respon klien
terhadap penggunaan
analgetik
Ganie, A, 2004. Kajian DNA thalasemia alpha di medan. USU Press, Medan
Mansjoer, arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3 Jilid 2.Media
Aesculapius Fkul.
Suriadi S.Kp dan Yuliana Rita S.Kp, 2001, Asuhan Keperawatan Anak, Edisi I.
PT Fajar Interpratama : Jakarta.
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta
http://lpkeperawatan.blogspot.co.id/2013/11/laporan-pendahuluan-
thalasemia.html#.WTp675KGPMw