Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menolong dan memberkati kami menyelesaikan refarat ini. Tanpa pertolongan Dia mungkin
kami tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di RSUS Semarang.
Selain itu, penyusunan referat ini juga bertujuan agar penyusun lebih memahami mengenai
Karsinoma Nasofaring.
Dalam penyusunan referat ini, Kami banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dr.
Djoko Prasetyo Adi N, Sp. THT selaku pembimbing kami, atas arahan dan bimbingan dalam
penyusunan referat ini.
Akhir kata, penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, baik
dari pemikran, pengetahuan, penyusunan bahasa, maupun sistematika. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca referat ini sangat
diharapkan guna menjadi pelajaran bagi penyususn dalam menyusun referat di waktu yang
akan datang. Dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
BAB I
2
PENDAHULUAN
3
Penderita Karsinoma Nasofaring tersebar diseluruh dunia dan terdapat daerah
endemik di China selatan. Jenis Karsinoma ini merupakan bentuk keganasan ketiga yang
dijumpai pada pria dengan insidensi di China Selatan berkisar antara 15-50% pertahun. Di
Indonesia Karsinoma Nasofaring paling banyak dijumpai diantara tumor ganas dibidang
THT. Dan usia terbanyak yang menderita adalah usia 40 tahun keatas. Prevalensi Karsinoma
Nasofaring di indonesia sebesar 4,7/100.000 per-penduduk per-tahun. Dibagian THT RSUD
Dr. Soetomo (selama tahun 2000-2001) poliklinik onkologi melaporkan penderita baru
Karsinoma Nasofaring berjumlah 623 orang, laki-laki dua kali lebih banyak dibandingakan
perempuan. Di bagian THT RSUP H. Adam Malik, selama 1991-1996 mendapat kasus 160
tumor ganas, 94 kasus (58,81%) merupakan Karsinoma Nasofaring.
BAB II
ANATOMI FARING
4
Sebelum membahas struktur anatomi dari nasofaring, terlebih dahulu kita membahas
mengenai faring. Faring adalah tenggorokan, ruang muskulo-membranosa di belakang rongga
hidung, mulut, dan laring, berhubungan dengan rongga-rongga tersebut dan dengan esofagus.
Atau secara lebih jelas, faring merupakan bangunan tabung fibromuskuler yang berbentuk
corong ( membesar di bagian atas dan mengecil dibagian bawah ) yang ke arah inferior akan
berlanjut menjadi esofagus. Bangunan ini terbentang mulai dari basis kranii hingga
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servical VI, dengan panjang kurang lebih 5 inci
(13 cm).
1. Nasofaring
2. Orofaring
3. Laringofaring, yang juga sering disebut hipofaring
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku diatas , belakang dan lateral
yang secara anatomi termasuk bagian faring.
- Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang
septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul.
- Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke superior-anterior dan terletak
dibawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan
ruang retrofaring, fasia pre-vertebralis dan otot-otot dinding faring.
- Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustachius dimana
orifisium ini dibatasi superior dan posterior torus tubarius, sehingga penyebaran
tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustachis dan akan
mengganggu pendengaran.
- Ke arah postero-superior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang
merupakan lokasi tersering Karsinoma Nasofaring.
Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh
jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring
umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid. Di nasofaring
terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar
retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).
5
BAB III
KARSINOMA NASOFARING
6
1. EPIDEMIOLOGI
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun
demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2500
kasus baru pertahun untuk propinsi guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000
penduduk.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma Nasofaring,
sehinggga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk China bagian Selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair
dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka dan Tanah Hijau yang di duga penyebabnya
adalah karena mereka memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin dengan
menggunakan bahan pengawet Nitrosamin.
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUDPN Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan
Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, palembang 25 kasus, 15 kasus
setahun di Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi. Demikian pula angka-angka
yang di dapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor
ganas ini terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poloklinik tumor
THT RSCM, pasien Karsinoma Nasofaring dari ras China relatif sedikit lebih banyak dari
suku bangsa lainnya.
7
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis Hidrokarbon
dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa Ekstrak
tumbuhan- tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia terbanyak
adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu
yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma nasofaring.
5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa
nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.
3. MANIFESTASI KLINIK
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan
yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana
tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
A. Gejala Dini :
Gejala telinga :
1. Kataralis/sumbatan tuba eutachius
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat
dini.
2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan
muara tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang
diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran
gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran.
Gejala Hidung :
1. Mimisan
8
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat
terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya
berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,
sehingga berwarna merah jambu. Epistaksis ini juga dapat disebabkan oleh
penjalaran tumor ke selaput lendir hidung yang dapat mencederai dinding
pembuluh darah daerah ini.
2. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-
kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini,
karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-
lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.
B. Gejala Lanjut :
1. Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika
timbulnya di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan
tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai
pertahanan pertama sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan
ini tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran
kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter. Kadang pembesaran kelenjar di leher ini salah didiagnosis sebagai
tuberkulosis kelenjar.
2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.
Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga
tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan
menyebabkan gejala akibat kelumpuhan syaraf otak. Penjalaran melalui foramen
laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V, sehingga
yang sering ditemukan ialah penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan
tampak bola mata juling. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering
ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII
jika penjalaran melalui foramane jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari
nasofaring. Hal ini akan menimbulkan rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai
akhirnya timbul kelumpuhan lidah, bahu, leher dan gangguan pendengaran serta
gangguan penciuman.
Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke
selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang
terkena tumor.
Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral)
tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.
9
3. Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis
jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan
suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.
4. PATOFISIOLOGI
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan
termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa
penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring
(KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu
pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor
yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu:
1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,
yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan
rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan
selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan
pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke
10
dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel
yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel
menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau
virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel
kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel
menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs EBNA1,
LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada
infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase
yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang
paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas
368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein
transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein
transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor ) dan
meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon
imun lokal.
2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentana terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan
gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi
metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah
di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang
awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene
(NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok
yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma
nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
5. HISTOPATOLOGI
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan
limfosit, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan
jaringan limfosit ini sangat erat, sehingga sering disebut “Limfoepitel”. Bloom dan Fawcett
(1965) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1. Epitel selapis thorax bersilia “Simple Columnar Cilated Epithelium”
2. Epitel thorax berlapis “Stratified Columnar Epithelium”
11
3. Epitel thorax berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium”
4. Epitel thorax berlapis semu bersilia “Pseudo-Stratified Columnar Ciliated Epithelium”
60% dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng, dan 80% dari dinding
posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi
oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan
thorax bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang
dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan 2 macam epitel
adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.
6. STADIUM KANKER
Stadium ini berdasarkan kriteria dari American Joint Committee On Cancer (AJCC 2002)
T = Tumor primer
Tis – Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan.
T1 - Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain- lain).
T2 - Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan.
T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb).
T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
mengenai saraf-saraf otak.
N = Nodule
N1 - Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe berukuran 6
cm atau lebih kecil.
N3 - Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau tumor telah
ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio “segitiga leher”
N3A – Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm.
M = Metastasis
M = Metastesis jauh
13
- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0
- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0
14
- Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0
15
7. Penegakan diagnosis karsinoma nasofaring
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor:
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau
sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari
mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan
xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga
kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop
yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila
dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
16
IV. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma ). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma ). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa
jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini
sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval
atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat
dengan jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu
bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada
tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
V. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b)C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos
adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin
tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka
hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika
17
penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-
kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan
dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam
densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-
perubahan pada tulang, gengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring
yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapatdinilai pakah sudah ada
perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta
ada tidaknya penyebaran intracranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
8. Penatalaksanaan
1. Radioterapi(8)
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk
karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Definisi Terapi Radiasi :
Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat
menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.
19
- Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari
terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.
- Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
- Pengobatan kasus kambuh.
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada
keadaan kambuh.
Definisi Kemoterapi
Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active
single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih
meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang
resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis
obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.
Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus
(Cell Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan
20
sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa
bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada
siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat
pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle
nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain
Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja
dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang
tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki
mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja
pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2,
M), Vincristine (fase S, M).
2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil
seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian
menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan
doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul
DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA.
21
2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan
radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut.
3. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan
atau radiasi
4. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama
pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi
(leukemia dan limfoma).
Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi
dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/
profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi
adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai
terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih
sempurna.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa
tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologik dan serologi.(5) Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif
yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada
nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.(1)
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah
virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan
imunoterapi.
Prosedur follow up
tidak sepert keganasan kepala leher lainnya , KNF mempunyai resiko terjadinya
rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan tersering terjadi
kurang dari 5 tahun, 5 – 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga
22
pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. Jadwal follow up yang
dianjurkan sebagai berikut :
- Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan
- Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan
- Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup
9. Prognosis
Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil
pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil
pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula.
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh
beberapa faktor, seperti :
10. Pencegahan
- Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein
Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan
resiko tinggi.
- Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
- Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
- Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-
kemungkinan faktor penyebab.
- Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa
yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara
lebih dini.
23
BAB IV
KESIMPULAN
Oleh karena itu perlunya meningkatkan kesadaran para dokter serts memberikan
penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya masyarakat mengetahui tanda-
tanda stadium awal penyakit dan kemana mereka harus pergi untuk mendapatkan pertolongan
yang tepat dan cepat.
Diagnosis dini harus segera ditegakkan dengan biopsy serta pemeriksaan patologi,
supaya pengobatan tidak terlambat. Diharapkan dengan penemuan kasus dini,
penanggulangan terhadap penyakit ini dapat diperbaiki, sehingga angka kematian dapat
ditekan.
Pada stadium dini pengobatan yang diberikan adalah penyinaran, dan memberikan
angka penyembuhan yang cukup tinggi. Oleh karena itu diharapkan kesadaran masyarakat
untuk segera berobat. Jika terdapat gejala yang mencurigakan, segera memeriksakan diri ke
dokter. Sedangkan pada stadium lanjut, diperlukan pengobatan tambahan yang memerlukan
biaya yang tidak sedikit.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU, 1998.h.
1-20.
2. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13 th Ed. Jilid 1.
Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.h.
391-6.
3. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill
Livingstone, 1989. h. 495-507.
4. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 1989.
5. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar (ed).Tumor
telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FK UI,1989.h. 71-
84.
6. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed. Philadelphia :
Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36.
7. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak
PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.
8. Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir. Cermin
Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20
9. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A. Soepardi (ed).
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketiga. Jakarta : FK UI,
1997. h. 149-53.
10. Davidson. Neck Masses : Differential Diagnosis and Evaluation. San Diego :
University of California. Available at :
http://drdavidson.ucsd.edu/Portals/0/CMO/CMO_05.htm. Accessed July 31, 2009.
25